skripsi all revised 190609

Download Skripsi All Revised 190609

If you can't read please download the document

Upload: nauli-panjaitan

Post on 11-Dec-2014

50 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semua orang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya bahkan menurut Aristoteles (dalam Bertens, 1993) kebahagiaan merupakan tujuan utama dari eksistensi manusia di dunia. Kebahagiaan itu sendiri dapat dicapai dengan terpenuhinya kebutuhan hidup dan ada banyak cara yang ditempuh oleh masingmasing individu. Orang bekerja untuk memperoleh penghasilan dan pencapaian karier. Orang berkeluarga untuk memenuhi kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Begitu pula orang belajar untuk memenuhi kebutuhan akan ilmu pengetahuan. Semua kegiatan tersebut dilakukan untuk memperoleh satu tujuan, yaitu kebahagiaan. Bagi masyarakat awam sendiri, kebahagiaan mempunyai arti yang berbeda bagi tiap individu dan seringkali menjadi tumpang tindih dengan kepuasan hidup dan kualitas hidup. Hal ini bisa terlihat bila kita mengetikkan kata kebahagian, kepuasan hidup dan kualitas hidup di berbagai forum internet. Hasilnya menunjukkan bahwa ternyata di masyarakat definisi ketiga istilah tersebut saling tumpang tindih satu sama lain. Bagi beberapa orang kebahagiaan mungkin berarti mempunyai kelimpahan materi atau mendapatkan semua yang diinginkan. Bagi mereka, kebahagiaan diukur dengan pencapaian materi yang seringkali menganggap orang yang kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang hidup serba kekurangan. Namun bila ditanyakan lebih lanjut kepada orang yang kaya ternyata mereka pun belum tentu merasa bahagia dengan segala kelimpahan materi yang dimilikinya. Selanjutnya ada pula yang akan merasa bahagia bila bisa membuat orang lain bahagia atau memberikan manfaat kepada sesama manusia (http://www.kickandy.com /forum/viewtopic.php). Atau bagi sebagian orang dengan menikmati dan mensyukuri apa yang dimilikinya dapat membuatnya merasakan kebahagiaan (http://www.edo.web.id/wp / 2008/02/19/bahagia/). Pada pendapat terakhir terlihat bahwa kebahagiaan berkaitan dengan rasa puas terhadap hidup, yaitu dengan mensyukuri apa yang dimiliki atau dengan kata lain akan bahagia bila merasa puas dengan hidupnya.

Universitas Indonesia

2

Kepuasan hidup itu sendiri merupakan istilah yang sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kualitas hidup. Bagi sebagian orang kebahagiaan diukur dengan cara melihat kepuasan akan hidupnya. Bila mereka merasa puas maka mereka juga akan mengatakan dirinya bahagia. Sedangkan untuk menilai kepuasan hidup itu berbeda bagi tiap individu. Masing-masing individu mempunyai batasan ideal sendiri yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan hidupnya. Oleh karena itu kepuasan hidup pun menjadi sangat subjektif sesuai dengan batasan ideal yang dimiliki oleh masing-masing individu. Bila kita bicara mengenai kepuasan hidup maka tidak bisa dilepaskan dari bagaimana seseorang menilai kualitas hidupnya. Penilaian kualitas hidup biasanya dilihat dari kepuasan individu terhadap hidupnya begitu pula sebaliknya. Orang akan merasa puas bila kualitas hidupnya baik. Di lain pihak orang mempunyai kualitas hidup yang baik karena merasa puas akan pencapaian yang diraihnya dalam hidup. Tetapi pada kenyataannya dapat ditemui orang yang merasa puas dengan segala yang dimiliki dalam hidup, seperti materi, jabatan dan keluarga tetapi masih belum merasa bahagia dengan hidupnya. Ada juga yang merasa kualitas hidupnya buruk tetapi ternyata di dalam keterpurukannya itu masih bisa merasakan kebahagiaan. Maka dapat dikatakan bahwa bisa saja seseorang merasa puas tetapi tidak bahagia, merasa bahagia tetapi hidupnya buruk atau merasa bahagia walaupun tidak puas dengan hidupnya. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti mengenai batasan dan hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup satu sama lain pada masyarakat. Perbedaan pengertian yang tumpang tindih di dalam masyarakat mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup bukanlah menjadi suatu hal yang mengherankan karena secara teoritis kedua hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan afektif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Sedangkan yang dimaksud dengan kepuasan hidup adalah penilaian subjektif atas kualitas hidup seseorang (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Lebih jauh lagi dapat diartikan sebagai kepuasan atau penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh.

Universitas Indonesia

3

Berdasarkan pengertian diatas saja terlihat bahwa antara kebahagiaan dan kepuasan hidup ternyata saling berkaitan. Satu istilah lain yang juga berkaitan dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup adalah subjective well-being (SWB). Van Hoorn (2007) secara spesifik menyebutkan bahwa SWB terdiri dari dua komponen yang terpisah, yaitu bagian afektif yang merupakan evaluasi hedonis melalui emosi dan perasaan, serta bagian kognitif yang merupakan informasi berdasarkan penilaian seseorang akan harapannya terhadap kehidupan ideal. OConnor (1993) menyebutkan bahwa istilah kepuasan hidup dapat juga mengacu pada SWB yaitu merupakan penilaian individual akan kebahagiaan atau kepuasan yang menggambarkan penilaian global atas keseluruhan aspek dalam hidup seseorang. Galati, Manzano & Sotgiu (2006) menyatakan bahwa pada kenyataannya ketiga istilah di atas sering digunakan untuk menjelaskan jenis fenomena yang sama. Sebagai contoh, kebahagiaan dapat dilihat sebagai komponen dari subjective well-being (SWB) dan komponen lainya adalah kepuasan. Lebih lanjut diutarakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup berhubungan sangat erat tetapi tidak sama (Gundelach & Kreiner, 2004). Sedangkan Diener, et al (dalam Panggabean, 2006) menyebutkan bahwa kepuasan hidup merupakan satu faktor di dalam konstruk yang lebih umum, yaitu subjective well-being, yang terdiri dari tiga komponen yaitu dorongan afeksi positif, dorongan afeksi negatif, dan kepuasan hidup. Saat ini hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup secara menyeluruh masih menjadi perdebatan dan setiap tokoh memiliki pandangan yang berbeda mengenai istilah-istilah tersebut. Tidak hanya ketumpangtindihan definisi tetapi ternyata faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pun nampaknya sama dan saling berkaitan. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketiganya adalah kepribadian. Kepribadian orang berbeda-beda, maka penilaian hidup pun menjadi berbeda bagi tiap individu. Orang yang memiliki kepribadian ekstravert, optimis, harga diri tinggi dan locus of control internal dilaporkan memiliki tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup yang lebih tinggi (Carr, 2004; Sousa & Lybormirsky, 2001). Hal ini dapat terjadi karena ia menilai kualitas hidupnya lebih baik yang ditandai pada setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupnya.

Universitas Indonesia

4

Selain kerancuan tersebut, sebenarnya ada pula yang menyebutnya sebagai konsep yang berbeda. Berdasarkan Indonesian Happiness Index (IHI) pada tahun 2007 yang merupakan indikator tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat kota besar, Jakarta berada di urutan kelima dari enam kota besar yang diteliti. Tingkat kebahagiaan Jakarta lebih rendah bila dibandingkan dengan kota besar lainnya, yaitu Semarang pada urutan pertama dan diikuti oleh Makassar, Bandung, dan Surabaya (http://www.frontier.co.id/awardsdetail. php? id=10). Walaupun tingkat kebahagiaan masyarakat Jakarta lebih rendah dibanding kota besar lainnya, tetapi ternyata kualitas hidup penduduk Jakarta adalah yang tertinggi di Indonesia bila dilihat dari karakteristik pendidikan, kesehatan, perekonomian, dan keluarga. Lima wilayah yang memiliki ranking kualitas hidup terendah adalah Propinsi Nusa Tenggara Timur, Irian jaya, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Di propinsi DKI Jakarta sendiri, Jakarta Timur menduduki peringkat tertinggi dalam hal kualitas hidup (Fadjri dalam http://www.digilib.ui.ac.id/). Berdasarkan kedua data diatas menunjukkan bahwa Kota Jakarta memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih rendah dibandingkan kota lainnya namun ternyata malah menjadi kota dengan ranking kualitas hidup terbaik di Indonesia. Membandingkan kedua hal tersebut membuat peneliti ingin melakukan penelitian mengenai hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat suatu kota. Pada negara berkembang, kondisi perekonomian, kesehatan, keamanan dan aspek lainnya masih belum stabil dan masih mengandung persoalan seiring dengan pertumbuhan negara. Hal tersebut ternyata berhubungan dengan kepuasan hidup secara keseluruhan masyarakat di dalam negara tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Khizindar (2009) mengenai kualitas hidup di Saudi Arabia yang merupakan salah satu negara berkembang menyebutkan bahwa kepuasan hidup secara keseluruhan didapatkan melalui domain kebahagiaan materi, emosional, komunitas, kesehatan dan keamanan. Beberapa keadaan demografis juga berhubungan secara signifikan terhadap nilai kualitas hidup secara keseluruhan. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga tentunya memiliki kondisi yang berbeda dengan negara berkembang lainnya, maka

Universitas Indonesia

5

penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh keadaan negara terhadap kepuasan hidup masyarakatnya. Sebagai kota metropolitan, Jakarta telah mengalami banyak sekali kemajuan dan perkembangan ini berjalan sangat cepat. Kita dapat membandingkan keadaan kota Jakarta kini dengan sepuluh tahun lalu. Dalam sepuluh tahun terakhir, pembangunan berjalan sangat cepat. Sekarang banyak mal, perumahan, sekolah hingga rumah sakit dan pekantoran yang baru dibangun di Jakarta. Pada tahun 2007, sebanyak 45 persen investasi dalam negeri ditempatkan di Jakarta sebagai pusat administratif, politis, ekonomi dan kebudayaan (Hadar, 2007). Maka tak heran bila banyak orang yang mencoba mengadu nasib di Jakarta karena kota ini menjanjikan segala macam fasilitas bagi masyarakatnya. Di Jakarta sendiri dapat ditemui masyarakat dengan bermacam-macam latar belakang, seperti agama, suku, pekerjaan, pendidikan, dll. Pembangunan yang pesat ini tentunya memberikan kemudahan dan kesenangan bagi masyarakatnya. Namun, selain mengalami kemajuan dalam pembangunan, ternyata kota Jakarta juga menyimpan banyak masalah yang masih harus dibenahi. Persoalan pelik pertama yang dihadapai Jakarta adalah masalah transportasi. Kemacetan sudah menjadi hal yang wajar di Jakarta, masyarakat Jakarta pun sudah terbiasa dengan macet yang terjadi setiap harinya di jalanan ibukota ditambah dengan sarana transportasi yang kurang memadai (Hadar, 2007). Kemiskinan dan pengangguran juga menjadi masalah yang terus dihadapi oleh masyarakat Jakarta. Pada tahun 2007 jumlah pengangguran di Jakarta mencapai 12,57 persen atau meningkat bila dibandingkan dengan level 10 tahun yang lalu (http://www.antara.co.id/). Banyaknya tenaga kerja tidak seimbang dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini menimbulkan banyaknya masyarakat yang mengalami kemiskinan. Di balik semua masalah dan pembangunan yang terjadi di Jakarta, tentunya akan mempengaruhi masyarakatnya yang tinggal di Jakarta. Dengan melihat penjelasan mengenai kota Jakarta, terlihat bahwa masyarakat yang tinggal di Jakarta akan dihadapkan pada sebuah kehidupan yang dilematis, yaitu antara pesatnya pembangunan yang terus terjadi dengan semakin banyaknya masalah yang juga tetap menyertainya. Misalnya ada banyak pusat

Universitas Indonesia

6

perbelanjaan yang terdapat di Jakarta tetapi untuk mencapainya orang harus melewati kemacetan lalu lintas yang selalu terjadi di jalan raya. Atau kemewahan harta yang malah mengundang orang untuk melakukan tindakan kriminalitas. Berdasarkan pada kenyataan tersebut munculah suatu pertanyaan yang menarik, yaitu bagaimana kualitas hidup masyarakat yang tinggal di Jakarta sesuai dengan dinamika perkembangan dan masalah yang dihadapi? Selanjutnya apakah masyarakat yang tinggal di Jakarta ini tetap mampu merasa bahagia dan puas akan kehidupannya seiring dengan perkembangan kota Jakarta serta persoalan yang juga menyertainya? Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti ingin melihat lebih dalam mengenai gambaran kebahagian dan kepuasan hidup yang dimiliki oleh masayarakat Jakarta. Lalu bagaimana hubungannya satu sama lain dan kaitannya terhadap kualitas hidup secara menyeluruh pada masyarakat Jakarta dan sekitarnya sebagai salah satu kota di negara berkembang yang tentunya memiliki banyak sisi yang menarik. Pada penelitian ini responden yang akan digunakan adalah masyarakat tingkat menengah kota Jakarta karena dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka sehingga dapat lebih menggambarkan kebahagiaan yang dimiliki terlepas dari masalah pemenuhan kebutuhan (Izawa, 2005). Selain masyarakat yang tinggal di Jakarta, peneliti juga mengambil sampel pada masayarakat yang tinggal di sekitar Jakarta yang sebenarnya

menggantungkan perekonomiannya di Jakarta tetapi karena terbatasnya lahan perumahan membuat mereka tinggal di daerah sekitar Jakarta, seperti Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang diajukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 2. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek?

Universitas Indonesia

7

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran nilai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup serta hubungannya satu sama lain pada masyarakat kelas menengah kota Jakarta dan sekitarnya. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan baru yang diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam mengenai hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Penelitian ini juga dapat memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya yang juga membahas aliran psikologi positif yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Selanjutnya hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu informasi untuk penelitian selanjutnya mengenai kualitas hidup. Secara praktis diharapkan hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah Jabodetabek dalam membuat keputusan menyangkut kesejahteraan masyarakatnya. 1.5. Sitematika Penulisan Laporan penelitian ini terdiri dari enam bagian. Pada bagian pertama merupakan pendahuluan dan sistematika selanjutnya adalah sebagai berikut: Bab II: Bab II mengulas dasar-dasar teori yang digunakan untuk mendukung penelitian yang akan dilakukan, yaitu teori mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup yang merupakan variabel dalam penelitian ini. Bab III: Bab III menguraikan mengenai permasalahan, hipotesis, dan variabel penelitian, baik secara konseptual maupun operasional. Bab IV: Bab IV memberikan penjelasan mengenai metode penelitian yang digunakan, yang terdiri dari tipe dan desain penelitian, partisipan penelitian, teknik pengambilan sampel, instrumen penelitian, pengujian instrumen penelitian, dan prosedur pelaksanaan penelitian. Bab V: Bab V merupakan bagian hasil dan analisis hasil dari data penelitian. Pada bagian ini dijelaskan mengenai gambaran umum kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup pada masyarakat kelas menengah

Universitas Indonesia

8

Jabodetabek, serta hubungan menyeluruh antara ketiganya. Selain itu juga disertakan hasil tambahan yang didapatkan dari penelitian ini. Bab VI: Bab VI berisi kesimpulan yang menjawab permasalahan penelitian, diskusi yang memuat perbandingan dengan temuan-temuan sebelumnya serta keterbatasan penelitian, saran metodologis untuk mengembangkan penelitian, dan saran praktis yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian.

Universitas Indonesia

9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang digunakan dan sebagai acuan teoritis dalam penelitian ini. Terdapat tiga tinjauan utama, yaitu mengenai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup. Penjelasan ini meliputi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi serta bagaimana cara pengukurannya. Kemudian juga dijelaskan mengenai gambaran masyarakat Jebodetabek. 2.1 Kebahagiaan 2.1.1 Definisi kebahagiaan Istilah happiness atau kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan aliran baru di bidang psikologi, yaitu psikologi positif yang lebih menekankan pada aspek positif karakteristik yang dimiliki manusia. Hingga saat ini terdapat banyak pengertian mengenai kebahagiaan. Diener, Scollon dan Lucas (2003) menyebutkan bahwa kebahagiaan tidaklah bisa didefinisikan dalam satu bentuk cara saja. Kebahagiaan bisa berarti kesenangan, kepuasan hidup, emosi positif, kebermaknaan hidup atau rasa suka. Beberapa pengertian kebahagiaan adalah sebagai berikut: Galati, Manzano & Sotgiu (2006) mengartikan kebahagiaan adalah sebagai sebuah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap, yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Veenhoven (2007) mendefinisikan kebahagiaan sebagai apresiasi keseluruhan tentang kehidupan seseorang sebagai suatu kesatuan. Kedua pengertian tersebut mendefinisikan kebahagiaan sebagai penilaian subjektif secara keseluruhan terhadap kehidupan masing-masing individu yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Karena kebahagiaan sangatlah subjektif, maka para para peneliti memilih untuk lebih menggunakan istilah subjective well being (SWB) karena SWB lebih menekankan pada penilaian individu sendiri terhadap hidupnya dan bukan merupakan penilaian ahli. Kebahagiaan kadangkala digunakan sebagai sinonim dari SWB (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Carr

Universitas Indonesia

10

(2004) bahkan memberi definisi yang sama antara kebahagiaan dan SWB, yakni sebuah keadaan psikologis positif yang dikarakteristikan dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap hidup, tingginya tingkat afek positif, dan rendahnya tingkat afek negatif. Menurut Diener, Scollon dan Lucas (2003) SWB itu sendiri memiliki beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan. Berdasarkan beberapa definisi diatas maka peneliti menganggap bahwa kebahagiaan dianggap sinonim dari SWB mengacu pada Diener, Scollon dan Lucas (2003) serta definisi yang digunakan adalah penilaian individu terhadap kehidupannya sendiri yang meliputi afek positif, rendahnya afek negatif, kepuasan hidup secara umum dan domain kepuasan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai komponen-komponen Subjective Well Being. 2.1.1.1 Komponen Subjective Well Being Subjective well being (SWB) menggambarkan evaluasi yang menyeluruh mengenai kehidupan seseorang, namun secara lebih dalam dan tepat, SWB terdiri atas beberapa komponen, yaitu afek positif, afek negatif, kepuasan dan domain kepuasan yang cukup berkorelasi satu sama lain dan secara konseptual berhubungan (Diener, Scollon dan Lucas, 2003). Lebih jauh lagi penjelasan mengenai komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Afek positif dan negatif Afek pleasant dan unpleasant merefleksikan pengalaman mendasar atas peristiwa yang sedang terjadi di dalam kehidupan seseorang. Maka banyak penelitian yang menyebutkan bahwa penilaian afektif ini merupakan bentuk utama dari penilaian SWB. Penilaian afektif dapat berbentuk emosi dan mood. Emosi merupakan reaksi singkat yang berdasarkan pada peristiwa khusus atau stimulus eksternal, sedangkan mood merupakan perasaan yang lebih panjang atau menetap dan tidak didasarkan pada peristiwa khusus. Penilaian afektif penting karena dengan mengetahui jenis afeksi yang dialami oleh individu maka peneliti bisa memahami cara

Universitas Indonesia

11

individu tersebut mengevaluasi kondisi dan pertistiwa yang terjadi di dalam hidupnya. 2. Kepuasan hidup Kepuasan hidup adalah penilaian individu terhadap kualitas kehidupannya secara global. Individu dapat menilai kondisi kehidupannya, menentukan kepentingan dari kondisi itu dan mengevaluasi kehidupannya pada skala yang berkisar dari tidak puas hingga puas. Kepuasan hidup menrupakan komponen kognitif dari SWB karena memerlukan proses kognitif, sedangkan afek positif dan negatif merupakan komponen afektif. 3. Domain kepuasan Domain kepuasan merefleksikan eveluasi seseorang mengenai aspek khusus dalam hidupnya. Domain kepuasan ini penting karena dengan mengukur kepentingan domain dari kehidupan seseorang, maka kita dapat mengkonstruk kembali penilaian kepuasan hidupnya secara global. Domain kepuasan ini dapat memberikan informasi mengenai bagaimana seseorang menyusun penilaian globalnya mengenai kebahagiaan dan juga memberikan informasi yang detil tentang aspek khusus kehidupan seseorang. 2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan Diener (dalam Carr, 2004) menyebutkan bahwa untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada kebahagiaan bukanlah merupakan hal yang mudah. Tetapi pada kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa faktor kepribadian dan demografis merupakan faktor utama yang menyebabkan dan berhubungan dengan kebahgaiaan (Carr, 2004; Argyle, 1999). Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang (Argyle, 1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005): 1. Kepribadian Berdasarkan penelitian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orang yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang berbeda (Diener dkk dalam Carr, 2004).

Universitas Indonesia

12

Hubungan antara trait kepribadian dan kebahagiaan tidak bersifat universal pada semua budaya. Pada budaya barat yang individualistik, orang yang bahagia adalah yang memiliki trait ekstraversi, optimis, harga diri yang tinggi dan locus of control internal. Sedangkan orang yang tidak bahagia adalah orang yang memiliki tingkat neurotik yang tinggi. Hal tersebut berbeda dengan orang-orang di budaya timur yang menganut budaya kolektivistik dimana faktor-faktor tersebut tidak berhubungan dengan kebahagiaan. Jadi nilai budaya menentukan trait kepribadian yang mempengaruhi kebahagiaan (Carr, 2004). Menurut Eddington & Shuman (2005) kepribadian menunjukkan peran yang lebih signifikan dibandingkan dengan peristiwa hidup spesifik lainnya dalam menentukan SWB. 2. Variabel demografis Faktor lain yang juga mempengaruhi kebahagiaan adalah variabel demografis dan lingkungan (Eddington & Shuman, 2005). Faktorfaktor demografis itu adalah: a. Jenis Kelamin Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin merupakan faktor yang sangat kecil dalam menentukan kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang (Inglehart & Michalos dalam Eddington & Shuman, 2005). b. Usia Pada banyak penelitian dan survey menunjukkan bahwa pengaruh usia terhadap kebahagiaan adalah kecil (Argyle, 1999). c. Pendidikan Hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan adalah kecil tetapi signifikan (Campbell, Cantril, Diener et al dalam Eddington & Shuman, 2005). Namun hubungan antara pendidikan dan kebahagiaan merupakan hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan pendapatan

Universitas Indonesia

13

(Campbell, Witter et al dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999). d. Pendapatan Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa pendapatan berhubungan dengan kebahagiaan Diener et al (1999). Secara umum, orang yang lebih kaya akan merasa lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang lebih miskin (Eddington & Shuman, 2005). e. Perkawinan Orang yang menikah memiliki kebahagiaan lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menikah, bercerai, berpisah, atau janda (Eddington & Shuman, 2005). Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama (kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tinggal seorang diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington & Shuman, 2005). Perkawinan sering ditemukan menjadi salah satu fakrot terkuat yang berkorelasi dengan kebahagiaan (Glenn & Weaver dalam Argyle, 1999), f. Pekerjaan Orang yang bekerja akan lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang tidak bekerja (Argyle, 1999; Eddington & Shuman, 2005). Orang yang tidak bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandinkan dengan orang yang bekerja (Eddington & Shuman, 2005). g. Kesehatan Hubungan yang kuat antara kesehatan dan kebahagiaan muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara objektif dalam mempengaruhi kebahagiaan (Eddington & Shuman, 2005).

Universitas Indonesia

14

h. Agama Banyak survey yang menunjukkan bahwa kebahagiaan berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan seseorang dengan Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan (Eddington & Shuman, 2005). i. Waktu luang Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999) menunjukan bahwa kebahagiaan berkorelasi cukup tinggi dengan kepuasan waktu luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan pada waktu luang dapat meningkatkan kebahagiaan, seperti aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan. Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman, 2005; Argyle, 1999). j. Etnis Etnis minoritas di suatu negara memiliki kebahagiaan yang lebih kecil karena berdasarkan pada rendahnya pendapatan, pendidikan, dan status pekerjaan yang diperoleh (Argyle, 1999). k. Peristiwa kehidupan Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak mempengaruhi kebahagiaan sebagian karena jarang terjadi (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005). l. Kompetensi Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi inteligensi dan kebahagiaan sangat kecil tetapi positif. Kebahagiaan juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan kemampuan heteroseksual (Argyle, 1999 Eddington & Shuman, 2005)

Universitas Indonesia

15

2.1.3 Cara mengukur kebahagiaan Pada penelitian tentang kebahagiaan telah digunakan berbagai macam teknik. Di banyak survey digunakan satu pertanyaan dengan pilihan jawaban menggnakna skala untuk mengukur kebahagiaan (Carr, 2004). Secara umum para peneliti lebih mengandalkan self-reports yang terkadang dilengkapi dengan data informasi, wawancara oleh petugas klinis yang terlatih, observasi ekspresi nonverbal dan pengukuran psikologis lainnya (Lepper &Lyubomirsky, 1997). Pada penelitian saat ini kebahagiaan atau SWB mengukur baik satu atau dua komponen (afektif atau kognitif) merupakan item tunggal penilaian global. Maka responden diminta untuk memberikan tingkatan dari afek positif dan negatif pada periode waktu tertentu atau memberikan penilaian atas kualitas hidup secara keseluruhan (Lepper &Lyubomirsky, 1997). Penelitian akhir-akhir ini lebih banyak menggunakan skala multi item yang memiliki nilai validitas dan reliabilitas baik. Alat ukur yang sering digunakan adalah 29-item Revised Axford Happiness Scale yang secara luas digunakan di Inggris, 5 item Satisfaction With Life Scale yang banyak digunakan di Amerika, dan 18 item well-being scale pada Personality Questionnaire. Selain itu juga sering digunakan skala afek positif dari Positive and Negative Affect Scales dan segi perasaan positif dari World Health Organisation Quality of Life Scale (Carr, 2004). 2.2 Kepuasan Hidup 2.2.1 Definisi Kepuasan Hidup Kepuasan hidup merupakan sebuah penilaian subjektif atas kualitas kehidupan seseorang (Sousa & Luybomirsky, 2001). Tak jauh beda, menurut Veenhoven (dalam Dockery, 1987) definisi kepuasan hidup (life satisfaction) adalah derajat dimana penilaian individual terhadap kualitas keseluruhan atas hidupnya. Kepuasan sendiri menyatakan sebuah kesenangan atau penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh (Sousa & Lyubomirsky, 2001). Karena kepuasan hidup merupakan evaluasi, maka penilaian kepuasan hidup mempunyai komponen kognitif yang besar.

Universitas Indonesia

16

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kebahagiaan atau SWB mempunyai dua komponen, yaitu afektif dan kognitif. (Diener et al dalam Sousa & Lybormirsky, 2001). Komponen afektif meliputi seberapa sering individu mengalami afek positif dan negatif. Sedangkan kepuasan hidup dianggap sebagai komponen kognitif. Lebih jauh lagi bila dibandingkan dengan domain kepuasan, kepuasan hidup lebih luas karena meliputi penilaian individu secara lebih komprehensif atas hidupnya, dimana domain kepuasan hanya meliputi daerah khusus dalam kehidupan seseorang, misalnya pekerjaan, perkawinan, dan pendapatan. Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan hidup adalah penilaian kognitif seseorang yang bersifat subjektif atas hidupnya secara menyeluruh dan merupakan aspek kognitif dari kebahagiaan. 2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan hidup Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kepuasan hidup tidak berubah pada komponen trait kepribadian dan trait lingkungan. Kepuasan hidup akan tetap sepanjang waktu dan konsisten pada beberapa situasi. Namun pada penelitian terakhir menyebutkan bahwa kepribadian mempunyai peran yang signifikan pada wanita dalam menilai kepuasan hidupnya. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa variabel kepribadian seperti resiliensi, asertivitas, empati, locus of control internal, ekstraversi, dan keterbukaan terhadap pengalaman berhubungan dengan kepuasan hidup. Bagaimanapun juga, faktor lingkungan dapat pula mempengaruhi penilaian kepuasan hidup pada jangka waktu yang singkat. Jadi dapat disimpulkan bahwa baik kepribadian dan lingkungan dapat mempengaruhi kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001). Berikut ini merupakan penjelasan mengenai variabel demografis yang mempengaruhi kepuasan hidup: 1. Budaya Kepuasan tampak sebagai term yang universal dan lintas budaya karena para peneliti dapat dengan mudah mengalihbahasakan ke dalam berbagai macam bahasa. Kepuasan juga bukan merupakan konsep barat tetapi juga sering digunakan di budaya timur. Negara

Universitas Indonesia

17

dengan budaya individualisme memiliki kepuasan yang lebih besar dibandingkan dengan budaya kolektivisme. Negara industri juga memiliki kepuasan keseluruhan yang sangat tinggai dibandingkan dengan negara miskin atau negara dunia ketiga. 2. Gender Secara teori wanita menunjukkan rata-rata depresi yang lebih tinggi dibanding pria, tapi secara bersamaan juga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki kepuasan hidup yang hampir sama berdasarkan penilaian kognitif. Tingkat kepuasan pria dan wanita diperoleh dari sumber kepuasan hidup yang berbeda. 3. Usia Kepuasan hidup tidak menurun sejalannya usia dan secara umum tetap sepanjang kehidupan. Penelitian menunjukkan hanya terjadi peningkatan tipis antara usia 20 hingga 80 tahun. 4. Hubungan sosial Tingkat dukungan sosial yang tinggi berhubungan kuta dengan tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula. Pada negara barat, perkawinan lebih mempengaruhi kepuasan hidup dibandingkan hubungan pertemanan dan keluarga. Pasangan kohabitasi yang tidak menikah, khususnya yang berasal dari budaya kolektivisme, mempunyai kepuasan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pasangan menikah. Mempunyai anak tidak dapat meningkatkan kepuasan hidup seseorang. Namun hubungan orang tua dan anak berhubungan tinggi dengan tingkat kepuasan hidup secara keseluruhan. Kepuasan hidup akan menurun dengan meningkatnya jumlah anak yang dimiliki. 5. Pendapatan Secara umum individu yang lebih makmur memiliki kepuasan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang miskin.

Universitas Indonesia

18

6. Pekerjaan Orang yang tidak bekerja secara signifikan tingkat kepuasannya berkurang dibandingkan dengan orang yang bekerja. Hubungan antara pekerjaan dan kepuasan hidup lebih besar pada pria dibanding wanita. 7. Pendidikan Korelasi antara pendidikan dan kepuasan hidup adalah kecil dan korelasi tersebut akan menghilang bila secara statistik pendapatan dan pekerjaan sudah terkontrol. Hubungan ini lebih kepada bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan berhubungan dengan pendapatan yang lebih tinggi pula. 2.2.3 Cara mengukur kepuasan hidup Para peneliti memilih untuk mengukur kepuasan hidup melalui self-report. Pengukuran melalui self-report ini meminta responden untuk mengindikasikan tingkat kepuasan kehidupan mereka dengan memilih simbol (angka atau ekspresi wajah) dalam sebuah skala biasanya berkisar 1-7. Peneliti mengasumsikan kepuasan hidup sebagai sebuah penilaian, maka metode self-report ini dipercaya sebagai metode yang paling akurat untuk mengukur kepuasan hidup tersebut (Sousa & Lybormirsky, 2001). Banyak self- report yang mengukur kepuasan hidup dan dapat berbentuk single-item atau multi-item. Namun secara keseluruhan para peneliti setuju bahwa skala dengan multi-item lebih baik dibandingkan single-item dalam mengukur kepuasan hidup (Sousa & Lybormirsky, 2001). Sebagai tambahan, menurut Diener (dalam Sousa & Lybormirsky, 2001), skala dengan multi-item secara keseluruhan memiliki reabilitas dan validitas lebih besar dibandingkan dengan skala singleitem. Skala yang paling banyak digunakan saat ini adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS). Skala ini disusun oleh Ed Diener dkk yang berisi 5 item untuk mengukur kepuasan hidup secara global karena dalam skala ini hanya mengukur kepuasan hidup yang merupakan komponen kognitif dari kebahagiaan tanpa menyebut pada afeksi (Sousa & Lybormirsky, 2001).

Universitas Indonesia

19

Sousa & Lybormirsky (2001) menjelaskan bahwa secara individual seseorang akan menilai kepuasan hidupnya berdasarkan pada apa yang diinginkan dan apa yang telah dimiliki atau secara konseptual berdasarkan realitas dan ideal. Terdapat dua prosedur mengenai bagaimana seseorang menentukan kepuasan hidupnya, yaitu melalui prosedur top-down atau bottom-up. Pada prosedur top-down seseorang akan merefleksikan nilai kehidupannya sebagai suatu kesatuan dengan menggunakan intuisi untuk mengetahui seberapa bahagia dan puas secara keseluruhan, kemudian menyimpulkan bahwa seharusnya ia memiliki hidup yang baik atau tidak. Misalnya seorang yang religious akan menilai hidupnya secara umum berdasarkan nilai-nilai religi yang dianutnya, kemudian ia akan menyimpulkan sendiri kehidupannya apakah ia sudah menjadi orang baik atu belum. Sedangkan pada prosedur bottom-up seseorang akan berpikir terlebih dahulu mengenai beberapa domain dalam hidupnya yang kemudian dapat menilai kepuasan hidupnya berdasarkan kepuasan rata-rata yang diperoleh pada tiap domainnya. Misalnya seorang ibu rumah tangga akan menilai terlebih dahulu beberapa domain dalam hidupnya seperti pernikahan, anak-anak, pekerjaan, dan pertemanan. Ia akan menilai terlebih dahulu masing-masing domain dan kemudian menentukan kepuasan hidupnya berdasarkan pada rata-rata nilai kepuasan yang diperolehnya dari tiap domain. 2.3 Kualitas hidup 2.3.1 Definisi kualitas hidup Istilah kualitas hidup mempunyai banyak arti dan salah satunya mengacu pada keadaan material, seperti kualitas hidup yang baik ditunjukkan dengan baiknya kesehatan fisik, materi, keluarga dan teman-teman (OConnor, 1993). Goodinson & Singleton (dalam OConnor, 1993) menyatakan definisi kualitas hidup sebagai derajat tingkat kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat ini. Sedangkan Ontario Social Development Council (dalam Wardhani, 2006) mendefinisikan kualitas hidup sebagai respons personal mengenai perbedaan yang dirasakan antara kenyataan dan kegiatan yang diinginkan. Hal ini didukung pula oleh Bergner (dalam OConnor, 1993) yang menyatakan bahwa kualitas hidup dapat meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang

Universitas Indonesia

20

ingin dicapai makin berkurang. Secara umum definisi kualitas hidup yang digunakan adalah penilaian subjektif seseorang akan kebahagiaanya yang diperoleh melalui pengalaman hidup secara keseluruhan (Donovan dkk dalam OConnor, 1993). Carr & Higginson (2001) mengatakan bahwa kualitas hidup ditentukan oleh beberapa hal, yaitu: seberapa jauh kesesuaian antara harapan dan ambisi dilihat dari pengalaman persepsi individu mengenai posisi mereka dalam hidup dilihat dari konteks budaya dan sistem nilai dimana mereka tinggal dan hubungannya dengna tujuan, harapan, standard, dan hal-hal lain yang menjadi perhatian individu tersebut. Penilaian mengenai keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi ideal tertentu Hal-hal yang dianggap penting dalam kehidupan seseorang Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan kualitas hidup adalah penilaian subjektif seseorang atas apa yang telah terjadi dengan apa yang diinginkan terjadi di dalam hidupnya yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman. 2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup Goodinson dan Singleton (dalam OConnor, 1993) mengatakan ada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup yaitu keadaan lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan personal individu. Kemudian Zhan (dalam Vallerand dkk, 1998) menjelaskan bahwa selain faktor tersebut, ternyata latar belakang kesehatan dan faktor budaya turut mempengaruhi kualitas hidup. OConnor (1993) menyebutkan bahwa beberapa faktor eksternal seperti pendapatan, kekuatan untuk bertahan dan kesehatan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Lebih lanjut lagi, Oconnor juga menyebutkan bahwa faktor-faktor yang muncul dan paat mempengaruhi kualitas tersebut sebiaknya diidentifikasi dengan kondisi fisik saja.

Universitas Indonesia

21

2.3.3 Cara mengukur kualitas hidup Kualitas hidup susah untuk dapat diukur karena bersifat personal dan subjektif, perbedaan persepsi atas pemuasan dan perbedaan individual mempengaruhi bagaimana mereka menilai tingkat kesejahteraannya pada periode waktu tertentu (Benbow, 2008). Untuk mengukur kualitas hidup masyarakat suatu negara digunakan beberapa indikator seperti yang diutarakan oleh Organization of Economic and Culture Development (OECD), yaitu pendapatan, perumahan, lingkungan, stabilitas sosial, kesehatan, pendidikan dan kesempatan kerja. Tiap pemerintahan negara seperti negara komunis dan nonkomunis memiliki standar kualitas hidup yang berbeda dan sesuai dengan perkembangan jaman perkembangan indikator mengarah pada indikator non fisik, misalnya kebahagiaan, kenyamanan, kepuasan, dll (Faturochman, 1990). Pengukuran lain terhadap kualitas hidup melihat persepsi subjektif individu terhadap kehidupannya. Pada kuesioner yang tradisional sudah melibatkan sistem nilai eksternal yang menjadi bagian dari kuesioner yang telah terstandardisasi namun semua instruments dalam kuesioner didasrkan pada respon rata-rata sampel dan tidak berdasar pandangan subjektif tiap individu (Browne dkk, 1997). Hickey dkk (1996) juga menambahkan mungkin pengukuran melalui kuesioner ini dapat mengukur secara reliabel, namun tidak relevan dengan situasi kehidupan secara individual. Oleh karena itu dikembangkan The Schedule for the Evaluation of Individual Quality of Life (SEIQoL) yang dapat mengevaluasi kualitas hidup secara individual berdasarkan perspektif masing-masing individu. Dalam SEIQoL, individu memilih sendiri aspek-aspek yang ia pertimbangkan sebagai prioritas utama yang mempengaruhi kualitas hidupnya dan menggunakan sistem nilai mereka sendiri untuk mendeskripsikan status fungsional (kondisi/ posisinya saat ini dalam aspek kehidupan tersebut) dan derajat kepentingan relatif (sejauh mana ia menganggap aspek kehidupan tersebut penting baginya) dari masing-masing aspek-aspek yang ia pilih (Browne dkk, 1997). Dengan demikian, SEIQoL sebagai alat ukur memungkinkan pengukuran kualitas hidup yang didasarkan pada perspektif individual itu sendiri (Hickey dkk, 1996) dan mampu memberi gambaran mengenai persepsi individu mengenai kualitas hidup dan aspek-aspek kehidupan yang mempengaruhinya.

Universitas Indonesia

22

2.4 Gambaran Masyarakat Jabodetabek DKI Jakarta adalah ibukota Indonesia dan dapat pula digolongkan menjadi salah satu kota metropolitan. Kota metropolitan sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu kawasan yang merupakan aglomerasi dari beberapa kota yang berdekatan dan terkait dalam satu sistem kegiatan sosial ekonomi, termasuk prasarana dan sarana penunjangnya, dengan satu kota utama berperan sebagai inti dan kota-kota lainnya sebagai satelit (http://www.pu.go.id). Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kota lainnya sebagai satelit, yaitu Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Bila dilihat secara demografis, kota metropolitan memiliki ciri berpenduduk besar dan mempunyai kepadatan tinggi (dikatakan tinggi bila mencapai 100 jiwa/km2) (http://www.pu.go.id). Jakarta bersama metropolitan Jabotabek dengan penduduk sekitar 23 juta jiwa merupakan wilayah metropolitan terbesar di Indonesia dan urutan keenam di dunia (http://www.kependudukancapil.go.id). Sebagai inti dari kota metropolitan Jabodetabek, kota Jakarta memiliki jumlah fasilitas yang banyak dan lengkap untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduknya. Selain itu, pembangunan pun berpusat di Jakarta dengan adanya investasi dalam negeri sebesar 45% yang ditempatkan di Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek) (Hadar dalam http://www.sinarharapan.co. id/berita/0706 / 23/opi01.html). Jakarta memiliki berbagai macam fasilitas, seperti fasilitas pendidikan dari berbagai macam tingkatannya, badan usaha pemerintah maupun swasta, kesehatan, tempat peribadatan, hingga tempat hiburan. Lengkapnya dan banyaknya fasilitas yang dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat, telah mendorong banyak orang dari luar Jakarta berbondong-bondong mencari rezeki di ibu kota Indonesia ini. Hal ini membawa dampak pula bagi daerah-daerah di sekitar kota Jakarta yang kemudian menjadi daerah penunjang mengingat padatnya penduduk serta keterbatasan lahan yang dimiliki Jakarta. Maka pada Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 ditetapkanlah kota Bogor, Tangerang, Bekasi sebagai kota satelit Jakarta (Yudhistira dalam http://megapolitan.kompas.com/read /xml/2009 /03/16 /

Universitas Indonesia

23

06484682). Oleh karena itu maka kehidupan masyarakat yang tinggal di kota-kota satelit tersebut pun tak jauh berbeda dengan masyarakat yang tinggal di Jakarta. Seiring dengan pembangunan yang terjadi dan jumlah penduduk serta kepadatan Jakarta yang tinggi, seringkali menimbulkan beberapa dampak sosial yang sangat sulit tertangani. Masalah sosial tersebut antara lain seperti masalah pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta (http://www. datastatistik-indonesia.com), angka pengangguran dan penduduk miskin di Jakarta setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) tercatat sejumlah 580.510 orang. Sedangkan angka penduduk miskin di Jakarta pada tahun 2007 mencapai 4,48% dari total penduduk Jakarta. Seperti angka pengangguran dan kemiskinan, angka kriminalitas juga semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data pada Januari 2009, jumlah tindakan kriminal mengalami peningkatan sebesar 15,7% dari tahun sebelumnya. Masalah lain yang juga dialami oleh penduduk Jakarta adalah masalah transportasi yang kian meningkat jumlahnya hingga menimbulkan kemacetan, masalah ketersediaan air bersih, masalah sampah dan pencemaran udara (Hadar dalam http://www.sinarharapan.co.id/berita /0706/23/opi01.html). Masalah yang sama juga dihadapi oleh kota-kota penunjang Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Kota Depok yang mengalami perkembangan pesat dengan dipindahnya kegiatan akademis Universitas Indonesia pada tahun 1987 memiliki masalah yang berkaitan dengan lahan hijau, sampah, air bersih, transportasi dan area pemukiman (http://www2.kompas.com/ kompas-cetak/0311/19/otonomi/694818.htm). Begitu pula yang terjadi dengan kota lainnya, masalah yang dihadapi antara lain mengenai pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, transportasi, pendidikan, dan kesehatan (http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/03/16/06484682/). 2.5 Hubungan antara kebahagiaan, kepuasan hidup, dan kualitas hidup Kebahagiaan mempunyai arti yang abstrak bagi masing-masing individu dan ternyata hingga saat ini masih terdapat berbagai macam pandangan mengenai kebahagiaan. Secara umum kebahagiaan merupakan penilaian menyeluruh

Universitas Indonesia

24

seseorang atas kehidupannya yang meliputi aspek afektif dan kognitif (Galati, Manzano & Sotgiu, 2006). Diener, Scollon, dan Lucas (2003) menyebut kebahagiaan identik dengan subjective well-being (SWB) dan lebih memilih untuk memakai istilah SWB karena lebih menekankan pada penilaian individu sendiri dan bukanlah hasil dari penilaian ahli. Menurut Diener, Scollon, dan Lucas (2003) SWB itu sendiri terdiri dari beberapa komponen penting, yaitu adanya afek positif, ketiadaannya afek negatif, kepuasan hidup dan domain kepuasan. Keempat komponen tersbut dapat digolongkan menjadi aspek afektif dan kognitif. Komponen afektif menyatakan seberapa sering individu merasakan afeksi positif dan negatif, sedangkan komponen kognitif merupakan penilaian individu atas hidupnya secara menyeluruh atau yang disebut sebagai kepuasan hidup. Bila dilihat dari pemaparan diatas maka terlihat bahwa kepuasan hidup adalah bagian dari kebahagiaan (SWB) yang merupakan komponen kognitif. Namun berdasarkan penelitain yang dilakukan oleh Gundelach & Kreiner, (2004) menyebutkan bahwa kepuasan dan kebahagiaan merupakan dua variabel yang berbeda. Dengan kata lain, kebahagiaan dan kepuasan tidak bisa diberlakukan secara identik. Hal ini terjadi karena kepuasan merupakan pengalaman kognitif atau penilaian sedangkan kebahagiaan mengacu pada pengalaman perasaan atau afeksi (Campbell dalam Gundelach & Kreiner, 2004). Sedangkan untuk kualitas hidup sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat kepuasan terhadap hidup karena kualitas hidup merupakan derajat tingkat kepuasan atas penerimaan kondisi kehidupan saat ini (Goodinson & Singleton dalam OConnor, 1993). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kualitas hidup dapat meningkat apabila jarak antara tujuan yang telah dicapai dengan tujuan yang ingin dicapai makin berkurang (Bergner dalam OConnor, 1993). Dengan kata lain bahwa seseorang akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik apabila ia merasa puas dengan hidupnya dan kepuasan itu sendiri merupakan bagian dari kebahagiaan yang merupakan komponen kognitif. Selanjutnya bila dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi ketiganya ternyata juga mempunyai kesamaan. Seperti tipe kepribadian seseorang ternyata dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidupnya. Kepribadian juga menentukan bagaimana orang tersebut memandang hidupnya dan menilai

Universitas Indonesia

25

hidupnya secara subjektif yang berkaitan dengan kebahagiaan, kepuasan dan kualitas hidupnya secara menyeluruh. Kepribadian yang berbeda ternyata memberikan dampak yang berbeda pula dalam menilai kehidupannya. Misalnya pada orang yang berkepribadian ekstravert dilaporkan akan memiliki kebahagiaan yang lebih tinggi (Carr, 2004). Selain memiliki kebahagiaan yang tinggi, ternyata orang yang ekstravert memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi pula (Sousa & Lybormirsky, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menilai kehidupannya, faktor kepribadian juga turut mempengaruhi di mana pada orang ekstovert yang lebih terbuka akan memandang peristiwa dalam hidupnya lebih positif. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi adalah faktor demografis, seperti jenis kelamin, usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, status perkawinan dan kesehatan. Faktor demografis berperan penting dalam mempengaruhi tingkat kebahagiaan dan kepuasan hidup. Sedangkan kondisi demografis juga menjadi aspek kehidupan yang juga dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang dalam hal pencapaiannya. Misalkan saja pendapatan, orang yang berpenghasilan tinggi dilaporkan akan lebih merasa bahagia dan cenderung puas akan kehidupannya serta akan menempatkan keuangan sebagai salah satu aspek yang penting di dalam kehidupannya.

Universitas Indonesia

26

BAB 3 PERMASALAHAN, HIPOTESIS dan VARIABEL PENELITIAN Bagian ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai permasalahan penelitian kemudian hipotesis penelitian yang dibuat berdasarkan permasalahan serta variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian. 3.1 Permasalahan Penelitian Permasalahan merupakan sebuah kalimat atau pernyatanyaan yang menanyakan hubungan yang terjadi antara dua variabel atu lebih (Kerlinger dan Lee, 2000). Lebih lanjut juga dikatakan terdapat tiga kriteria dalam membuat permasalahan yang baik, yakni permasalahan haruslah menunjukkan sebuah hubungan antara dua atau lebih variabel, permasalahan harus dinyatakan secara jelas dan tidak ambigu dalam bentuk kalimat tanya, serta memungkinkan diadakan pengujian secara empiris. Permasalahan yang muncul dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Jabodetabek? 2. Bagaimana gambaran kepuasan hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 3. Bagaimana gambaran kualitas hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 4. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kepuasan hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 5. Bagaimana hubungan antara kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 6. Bagaimana hubungan antara kualitas hidup dan kepuasan hidup masyarakat kelas menengah Jabodetabek? 3.2 Hipotesis Penelitian Sebuah hipotesis merupakan dugaan, asumsi, prasangka, pernyataan atau gagasan mengenai sebuah fenomena, hubungan, atau situasi kenyataan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki (Kumar, 1999). Kumar juga menyatakan gambaran kebahagiaan masyarakat kelas menengah

Universitas Indonesia

27

bahwa hipotesis membawa kejelasan dan membuat peneliti menjadi fokus pada permasalahan penelitian karena dapat memberikan arahan yang khusus. Menurut Seniati, Yulianto & Setiadi (2005) terdapat dua jenis hipotesis, yaitu hipotesis ilmiah dan hipotesis statistik. Berikut ini merupakan penjabaran lebih lanjut mengenai hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. 3.2.1 Hipotesis Ilmiah Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dibuat beberapa hipotesis ilmiah, yaitu: H1: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kepuasan hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek H2: Terdapat korelasi antara kebahagiaan dan kualitas hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek H3: Terdapat korelasi antara kualitas hidup dan kepuasan hidup pada masyarakat kelas menengah Jabodetabek 3.2.2 Hipotesis Statistik Hipotesis statistik merupakan pernyataan yang dapat diuji secara statistik mengenai hubungan antara dua atau lebih variabel penelitian (Seniati, Yulianto & Setiadi, 2005). Adapun hipotesis statistik memiliki dua bentuk, yaitu hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan adanya hubungan antar variabel dan hipotesis null (Ho) yang menyatakan tidak adanya hubungan antar variabel. Berdasarkan pemaparan tersebut maka untuk penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut. 1. Hipotesis alternative (Ha) Ha1: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale Ha2: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW. Ha3: Terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-DW dengan skor Satisfaction With Life Scale

Universitas Indonesia

28

2. Hipotesis Null (Ho) Ho1: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective Happiness Scale dengan skor Satisfaction With Life Scale. Ho2: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor total Subjective Happiness Scale dengan skor Global SEIQoL-DW. Ho3: Tidak terdapat korelasi yang signifikan antara skor Global SEIQoL-DW dengan skor Satisfaction With Life Scale. 3.3 Variabel Penelitian Pada penelitian ini digunakan tiga variabel, yaitu kebahagiaan, kepuasan hidap dan kualitas hidup. Berikut ini merupakan penjelasan masing-masing variabel. 3.3.1 Variabel I: Kebahagiaan Definisi konseptual dari kebahagiaan adalah penilaian menyeluruh tentang kehidupan secara lengkap yang meliputi aspek kognitif dan afektif. Sedangkan untuk definisi operasional dari kebahagiaan adalah skor total dari alat ukur Subjective Happiness Scale yang sudah diadaptasi secara budaya. Hal ini didapat dari mencari rata-rata dari masing-masing skor item yang memiliki rentang 1-6. Skor total yang didapatkan pun memiliki rentang 1-6 Semakin besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang semakin besar pula (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). 3.3.2 Variabel II: Kepuasan Hidup Definisi konseptual dari kepuasan hidup adalah sebuah kesenangan atau penerimaan seseorang atas peristiwa di dalam hidupnya atau pemenuhan keinginan dan kebutuhan seseorang di dalam kehidupannya secara menyeluruh. Sedangkan definisi operasionalnya adalah skor total dari alat ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS) yang sudah diadaptasi secara budaya. Skor dari masing-masing item memiliki rentang 1-6. Skor total didapatkannya dengan menjumlahkan skor pada masing-masing item. Semakin besar skor menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimilikinya.

Universitas Indonesia

29

3.3.3 Variabel III: Kualitas Hidup Definisi konseptual kualitas hidup yang digunakan adalah penilaian/evaluasi individu terhadap aspek spesifik kehidupannya yang dianggap penting. Hal ini dilihat dengan cara melihat aspek-aspek apa yang dianggap penting oleh individu dan penilaian mengenai kondisi individu pada aspek-aspek tersebut. Sedangkan definisi operasionalnya adalah dengan cara melihat lima aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu. Kemudian individu tersebut diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100, di mana angka 0 menunjukkan bahwa kondisi individu pada aspek tertentu berada pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa kondisi individu pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah itu tingkat kepentingan diukur dengan melihat proporsi masing-masing aspek dengan pie chart sehingga bila dijumlahkan seluruh tingkat kepentingan masing-masing aspek adalah 100. Semakin besar skor menunjukkan semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup.

Universitas Indonesia

30

BAB 4 METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan meliputi responden penelitian, desain penelitian, alat ukur, kemudian prosedur penelitian dan metode pengolahan data. 4.1 Responden Penelitian 4.1.1 Populasi penelitian Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah masyarakat kelas menengah yang tinggal di Jabodetabek pada rentang usia dewasa. Seperti yang telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup seseorang tidaklah dipengaruhi oleh faktor usia (Argyle, 1999; Carr, 2004; Eddington & Shuman, 2005). Oleh karena itu pada penelitian ini kriteria dewasa diambil karena dianggap sudah melewati konflik identity versus identity confusion sehingga dapat mengevaluasi diri secara lebih baik (Miller, 1993). Hal ini dipilih untuk memudahkan dalam pengisian kuesioner karena usia dewasa dianggap sudah mampu mengevaluasi diri lebih baik. Sedangkan kelas menengah dipilih karena pada kelas ekonomi ini diharapkan telah memenuhi kebutuhan dasar physiological dan safety pada teori hirarki kebutuhan Maslow. Ketika kebutuhan dasar tersebut belum terpenuhi, maka kebahagiaan individu cenderung dipengaruhi oleh hal-hal yang sifatnya materialistis, seperti uang untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan (Izawa, 2005). Selanjutnya populasi yang digunakan juga minimal berpendidikan SMU karena diharapkan sudah memiliki berbagai macam pemahaman yang diperoleh selama sekolah yang dapat membantu pengerjaan kuesioner yang digunakan. 4.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan pemikiran yang telah dijabarkan pada sub bab sebelumnya, maka karakteristik dari responden yang dapat mengikuti penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Pengeluaran keluarga lebih dari tiga juta rupiah perbulannya

Universitas Indonesia

31

Pemilihan batasan ini berdasarkan pada kriteria kelas menengah dari AC Nielsen (dalam Harinowo, 2008). b. Berusia minimal 18 tahun Karakteristik ini dipilih sesuai dengan batasan umur dewasa karena dianggap telah melewati konflik identity versus identity confusion (Miller, 1993). c. Pendidikan minimal SMU d. Berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi 4.1.3 Teknik Pengambilan Sampel Sampling merupakan pengambilan porsi dari populasi sebagai perwakilan dari populasi (Kerlinger dan Lee, 2000). Teknik pengambilan sampel yang dilakukan termasuk dalam non-random/probability sampling di mana seluruh individu di dalam populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel (Kerlinger dan Lee, 2000). Menurut Kumar (1999) teknik ini digunakan bila jumlah di dalam populasi tidak diketahui atau tidak dapat diidentifikasi secara individual. Jenis non-random/probability sampling yang dipakai adalah accidental sampling, di mana pemilihan partisipan didasarkan pada ketersediaan dan kemudahan dalam mengakses populasi partisipan penelitian (Kumar, 1999). Pada penelitian ini digunakan metode household survey dengan cara mendatangi rumah-rumah yang tersebar di wilayah Jabodetabek. Metode ini digunakan untuk mempermudah pengambilan data pada wilayah yang besar karena mampu memperoleh jumlah partisipan yang banyak dalam satu rumah. 4.1.4 Jumlah Partisipan Kerlinger dan Lee (2000) mengatakan bahwa semakin besar jumlah sampel yang digunakan, maka kesalahan (error) statistik yang terjadi akan semakin kecil. Hal senada juga diutarakan oleh Kumar (1999), secara umum semakin besar jumlah sampel semakin tepat estimasi yang diberikan. Tetapi secara praktis, besarnya anggaran menentukan besarnya jumlah sampel. Pada penelitian ini sudah ditentukan dari awal bahwa sampel akan diambil dari 270 rumah yang tersebar di Jabodetabek. Masing-masing wilayah akan diambil sebanyak 30 rumah dan di tiap rumahnya diharapkan minimal terdapat satu orang yang

Universitas Indonesia

32

menjadi responden. Jumlah tersebut telah memenuhi batasan minimum dari tiga puluh orang sampel yang dapat mengakibatkan penyebaran data mendekati penyebaran distribusi normal (Guilford dan Fructher 1981). 4.2. Desain Penelitian Berdasarkan number of contacts, penelitian ini tergolong sebagai penelitian cross-sectional karena hanya dilakukan sekali pengambilan data. Desain penelitian ini digunakan ketika ingin melihat gambaran mengenai suatu fenomena di saat penelitian dilakukan (Kumar, 1999). Sedangkan bila berdasarkan reference of period, penelitian ini tergolong sebagai penelitian retrospective karena penelitian ini ingin melihat fenomena yang terjadi saat ini/masa lalu. Data yang digunakan pun merupakan data yang tersedia hanya pada saat penelitian dilakukan (Kumar, 1999). Berdasarkan nature of investigation, penelitian ini tergolong sebagai penelitian non-experimental, karena tidak adanya manipulasi perlakuan terhadap variabel yang digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu variabel (Kumar, 1999). 4.3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai metode untuk mengumpulkan data. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang harus dijawab oleh subjek dengan menuliskan atau menandai jawaban yang dianggap tepat (Kumar, 1999). Peneliti memilih kuesioner sebagai alat pengumpul data karena biayanya relatif murah, tetapi dapat menjangkau subjek yang banyak dalam waktu singkat (Kumar, 1999). Kuesioner juga memungkinkan peneliti untuk menjaga anonimitas subjek (Kumar, 1999). Tidak semua subjek merasa aman dan nyaman untuk membagi informasi yang mereka tulis di kuesioner tersebut. Selain itu, kuesioner dapat menghindari interviewer bias (Kumar, 1999), seperti kualitas interviewer, kualitas interaksi, dan lain-lain. Kumar (1999) menyatakan bahwa kuesioner juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: kuesioner hanya dapat diaplikasikan pada populasi yang dapat membaca dan menulis, respon pengembalian yang rendah terutama bila diberikan secara individual, subjek tidak memiliki kesempatan untuk

Universitas Indonesia

33

mendapatkan klarifikasi dari pernyataan yang tidak dimengerti oleh mereka, subjek memiliki cukup banyak waktu untuk berefleksi sebelum memberikan jawaban, respon terhadap sebuah pertanyaan dapat dipengaruhi oleh respon terhadap pertanyaan lain, subjek memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi dengan orang lain, jawaban yang diberikan oleh subjek tidak dapat ditambahkan dengan informasi lain (Kumar, 1999). 4.4. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan di dalam penelitian ini adalah tiga buah kuesioner yang mengukur kebahagiaan, kepuasan hidup dan kualitas hidup. Di bawah ini merupakan penjelasan mengenai masing-masing kuesioner tersebut. 4.4.1 Alat Ukur Subjective Happiness Scale Subjective Happiness Scale dikembangkan berdasarkan teori dari subjective well-being, bahwa kebahagiaan dinilai berdasarkan kriteria-kriteria subjektif yang dimiliki individu, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumbersumber kebahagiaan bervariasi dari individu ke individu lain (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). Pengembangan Subjective Happiness Scale ini dilakukan karena ketidakpuasan pembuat inventory pada alat ukur yang mengukur subjective wellbeing. Alat-alat ukur yang sudah ada, biasanya hanya melihat masing-masing komponen dari subjective well-being. Sedangkan alat ukur yang melihatnya secara global biasanya hanya terdiri dari satu item saja sehingga sulit untuk dilakukan pengujian properti psikometri. Oleh karena itu, pembuat inventory ini merasa diperlukan adanya alat ukur yang mengukur subjective well-being secara global dan terdiri dari beberapa item sehingga dapat diuji properti psikometrinya (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). 4.4.1.1 Metode Skoring Alat ukur ini terdiri dari empat item dengan pilihan jawaban politomi yang memiliki rentang 1-7. Namun setelah dilakukan adaptasi budaya, maka yang digunakan pada penelitian ini adalah rentang 1-6.

Universitas Indonesia

34

Untuk item pada nomor 1, 2, dan 3 merupakan pernyataan positif, sedangkan pada nomor 4 merupakan pernyataan negatif. Maka untuk penyataan positf, skala 6 menunjukkan kondisi yang bahagia sedangkan untuk pernyataan negatif skala 6 menunjukkan kondisi tidak bahagia. Skor total didapat dengan acara mencari rata-rata nilai dari jumlah skor masing-masing item. Semakin besar skor, menunjukkan kebahagiaan yang semakin besar pula (Lyubomirsky dan Lepper, 1997). 4.4.2 Alat Ukur Satisfaction With Life Scale Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kepuasan hidup responden pada penelitian ini adalah Satisfaction With Life Scale (SWLS). SWLS dikembangkan untuk mengukur kepuasan hidup seseorang secara menyeluruh, yang merupakan komponen kognitif dari subjective well-being. Alat ukur ini tidak mengukur kepuasan terhadap domain kehidupan, seperti kesehatan atau keuangan, tetapi memberikan kesempatan pada responden untuk menggabungkan dan mengukur domain-domain tersebut dalam cara apapun yang ingin mereka pilih (Pavot & Diener, 1993). Skala yang mengukur kepuasan hidup secara umum sebenarnya sudah banyak dikembangkan sebelumnya. Sayangnya, mayoritas skala tersebut hanya terdiri dari satu item, sehingga memiliki banyak kekurangan. Selain itu, skalaskala yang ada tersebut dibuat dan hanya sesuai untuk populasi usia lanjut atau manula saja (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Oleh karena itu, dibutuhkanlah skala multi-item untuk mengukur kepuasan hidup secara global. 4.4.2 .1 Metode Skoring SWLS terdiri dari lima buah item yang berupa pernyataan (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985). Pada setiap item, responden diminta untuk memberikan persetujuan menggunakan skala 1-7. Namun setelah dilakukan adaptasi secara budaya, maka skala yang digunakan menjadi 1-6 dimana skala tersebut mengandung arti 1 = sangat tidak sesuai, 2 = tidak sesuai, 3 = agak tidak sesuai, 4 = agak sesuai, 5 = sesuai, 6 = sangat sesuai. Skor total diperoleh dengan menjumlahkan skor dari kelima item.

Universitas Indonesia

35

Setiap item memiliki nilai dari 1 hingga 6. Skor total diperoleh dengan cara mencari jumlah total kelima item sehingga kisaran skor total yang diperoleh pada alat ukur ini adalah dari 5-30. Semakin besar skor menunjukkan semakin besar pula kepuasan hidup yang dimiliki (Pavot & Diener, 1993). 4.4.3 Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life Direct Weighing Sebelum dikembangkannya SEIQoL, metode untuk mengevaluasi kualitas hidup seseorang hanya didasarkan pada sistem nilai eksternal. Komponenkomponen dari kuesioner pun biasanya terstandarisasi dan sudah baku. Walau pengukuran tersebut reliabel, relevansi kualitas hidup pada seorang individu mungkin saja tidak relevan. Hal ini terjadi karena tingkah laku yang sama belum tentu berarti sama pada orang lain. Untuk benar-benar mengukur kualitas hidup seseorang, diperlukan alat ukur yang dapat mengevaluasi aspek kehidupan yang penting bagi individu, di mana individu tersebut menilai sendiri kondisinya pada aspek kehidupan yang ia anggap penting, dan menilai sendiri aspek mana yang paling penting bagi dirinya pada waktu tertentu (Hickey, Bury, OBoyle, Bradley, OKelly, dan Shannon, 1996). SEIQoL dikembangkan untuk melihat kualitas hidup individu melalui perspektif itu sendiri. Alat ukur ini merupakan instrumen pengukuran dengan dasar wawancara dengan menggunakan decision analysis technique yang dikenal dengan nama judgment analysis. Namun, penggunaannya dan pengolahan data yang didapat sangatlah kompleks sehingga dikembangkan versi pendek dari alat ukur tersebut dengan menggunakan teknik direct weighing. Alat ukur versi pendek dari SEIQoL tersebut, dikenal dengan nama SEIQoL-DW. Hasil yang diperoleh dari SEIQoL-DW telah dibandingkan dengan SEIQoL dan terbukti valid dan reliabel dalam mengukur domain kualitas hidup (Hickey, Bury, OBoyle, Bradley, OKelly, dan Shannon, 1996).

Universitas Indonesia

36

4.4.3 .1 Metode skoring Alat ukur ini terdiri dari 3 item yang saling berhubungan. Pada item pertama, subjek diminta untuk menyebutkan lima aspek kehidupan yang dianggap penting oleh individu. Kemudian pada item kedua, subjek diminta untuk menilai kondisi hidupnya dengan skala 0-100, di mana angka 0 menunjukkan bahwa kondisi subjek pada aspek tertentu berada pada kemungkinan terburuk, sedangkan angka 100 menunjukkan bahwa kondisi subjek pada aspek tertentu berada pada kemungkin terbaik. Setelah itu pada item ketiga, subjek diminta untuk menyebutkan tingkat kepentingan masing-masing aspek. Tingkat kepentingan ini diukur dengan melihat proporsi masing-masing aspek yang bila dijumlahkan seluruh tingkat kepentingan masing-masing aspek adalah 100. Skor total diperoleh dengan mengalikan penilaian individu tentang kondisinya saat ini dengan proporsi kepentingan pada masing-masing aspek, lalu menjumlahkan keseluruhan hasil kelima aspek tersebut. 4.4.4 Data Partisipan Selain ketiga alat ukur yang digunakan, yakni Subjective Happiness Scale (SHS), Satisfaction With Life Scale (SWLS), dan Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life Direct Weighing (SEIQoL-DW), di dalam kuesioner pun disertakan pula Data Partisipan. Data partisipan memuat pertanyaanpertanyaan untuk mengontrol subjek penelitian berdasarkan karakteristik yang sudah ditetapkan sebelumnya dan diharapkan dapat memberikan gambaran karakteristik umum subjek penelitian secara jelas. Terdapat dua jenis Data Partisipan, yaitu data partisipan yang harus diisi individual dan data keluarga yang cukup diisi satu pada tiap rumah. Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada data partisipan individual meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan variabel demografis, yaitu: usia, jenis kelamin, status pernikahan, usia pernikahan, kedudukan dalam keluarga, latar belakang pendidikan, status pekerjaan, penghasilan, pengeluaran, dan daerah tempat tinggal. Sedangkan untuk data keluarga meliputi jumlah anggota keluarga, sumber penghasilan keluarga, jumlah pengeluaran rutin perbulan, dan jumlah

Universitas Indonesia

37

pengeluaran tidak rutin perbulan. Keseluruhan data tersebut digunakan untuk melihat kesesuaian karakteristik responden dengan karakteristik populasi yang diinginkan. 4.5. Prosedur Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian payung yang beranggotakan sembilan orang mahasiswa. Oleh karena itu semua prosedur penelitian ini dilaksanakan bersama-sama dengan semua peneliti lain. Rangkaian proses penelitian ini juga meliputi proses adaptasi alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian. Seluruh prosedur ini terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu tahap persiapan, uji coba alat ukur, pelaksanaan dan tahap akhir. 4.5.1. Tahap Persiapan Hal-hal yang dilakukan dalam tahap persiapan antara lain : 1. Menentukan topik atau permasalahan yang akan diteliti 2. Mencari informasi lebih jauh mengenai fenomena yang akan diteliti, meliputi studi kepustakaan serta informasi lainnya melalui internet. 3. Merumuskan permasalahan penelitian 4. Membuat hipotesis penelitian 5. Menentukan populasi dan sampel penelitian yang akan digunakan dalam penelitian. 6. Melakukan adaptasi alat ukur Pada penelitian ini alat ukur yang digunakan adalah Subjective Happiness Scale, Satisfaction With Life Scale dan Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life Direct Weighing (SEIQoL-DW). Ketiga alat ukur ini sering digunakan di luar negeri dan memiliki nilai validitas serta reliabilitas yang baik. Namun agar dapat digunakan di Indonesia, ketiga alat ukur ini perlu diadaptasi terlebih dahulu sesuai dengan budaya dan populasi yang dituju. Karena penelitian ini merupakan penelitian payung, maka proses pengadaptasian alat ukur ini dilakukan peneliti bersama dengan peneliti lain yang memang secara fokus membahas tentang pengadaptasian alat ukur.

Universitas Indonesia

38

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam adaptasi ketiga alat ukur tersebut adalah: 1) Menerjemahkan bahasa yang digunakan alat ukur ke dalam bahasa Indonesia, sesuai dengan bahasa yang umum digunakan oleh responden penelitian 2) Melakukan back translate. Hal ini dilakukan untuk memeriksa apakah hasil terjemahan tidak mengubah maksud atau isi dari kalimat aslinya. 3) Melakukan uji keterbacaan terhadap alat ukur yang telah diterjemahkan. Hal ini dilakukan dengan menanyakan kejelasan isi alat ukur kepada 25 orang yang sesuai dengan karakteristik populasi penelitian. Subjek dibagi ke dalam beberapa kelompok focus group discussion agar dapat lebih menggali pendapat mereka. Pertanyaan yang diajukan antara lain adalah bagaimana bentuk pernyataan dalam alat ukur, apakah pernyataan yang diberikan cukup jelas atau membingungkan, adakah saran agar alat ukur lebih baik dimengerti. 4) Merevisi alat ukur berdasarkan hasil uji keterbacaan. Revisi yang dilakukan antara lain adalah mengubah skala pada alat ukur Subjective Happiness Scale dan Satisfaction With Life Scale. Dari skala 1-7 menjadi skala 1-6 untuk menghilangkan nilai netral yang dapat membingungkan responden. 5) Melakukan uji coba alat ukur. Uji coba ini dilakukan menggunakan responden yang lebih besar, yaitu 89 orang pada tanggal 4-15 Maret 2009. 6) Menguji reliabilitas, validitas, dan analisis item alat ukur 7) Melakukan revisi alat ukur berdasarkan hasil uji coba. 8) Melakukan latihan pengambilan data 7. Memperbanyak kuesioner yang berisi ketiga alat ukur tersebut dan data partisipan yang akan disebarkan kepada responden. 8. Memilih dan membeli reward yang akan diberikan kepada partisipan sebagai ucapan terima kasih. 9. Membuat dan mengurus surat perizinan dari pihak Fakultas yang dilanjutkan kepada pengurus RT/RW dari sembilan wilayah Jabodetabek untuk melakukan pengambilan data wilayah tersebut.

Universitas Indonesia

39

4.5.2 Tahap Uji Coba Alat Ukur Setelah seluruh item pada masing-masing alat ukur selesai diterjemahkan kemudian disusun menjadi kuesioner yang terdiri dari tiga bagian. Tim peneliti kemudian melakukan uji coba kuesioner tersebut terhadap sejumlah orang yang sesuai dengan karakteristik responden penelitian ini. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai proses uji coba alat ukur yang terdiri dari dua tahap, yaitu Expert judgment dan uji keterbacaan, serta Try Out Alat Ukur. 4.5.2.1 Expert judgment dan uji keterbacaan Expert judgment dilakukan kepada dosen pembimbing yang juga merupakan dosen bagian Psikologi Klinis. Kuesioner yang sudah jadi didiskusikan bersama antara tim peneliti dan dosen pembimbing. Sedangkan untuk uji keterbacaan dilakukan terhadap 30 orang yang sesuai karakteristik responden yang terbagi ke dalam lima kelompok focus group discussion. Hasil yang diperoleh untuk masing-masing alat ukur adalah sebagai berikut: a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS) Hampir semua subjek mengalami kesulitan pada item nomor 3 dan 4 karena kalimat yang digunakan terlalu panjang sehingga menjadi sulit dimengerti. Oleh karena itu dilakukan revisi dengan mengganti kalimat menjadi kalimat yang lebih mudah dipahami oleh orang awam. Selain itu, ternyata skala 1-7 yang digunakan membuat subjek cenderung untuk memilih skala 4 yang mengandung nilai netral. Untuk mengatasi hal tersebut, skalanya diubah menjadi 1-6 untuk menghilangkan skala yang bernilai netral. b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS) Sama seperti pada alat ukur SHS, ternyata untuk alat ukur SWLS ini skala 1-7 membuat subjek menjadi bingung karena terdapat nilai netral. Oleh karena itu skala akhirnya diganti menjadi skala 1-6 dengan menghilangkan nilai netral. Selain itu keterangan skala juga diganti karena agak sulit dimengerti oleh subjek. Untuk item itu sendiri terdapat perubahan pada item nomor 1, yaitu kata ideal diganti menjadi yang saya inginkan agar dapat lebih mudah dimengerti responden.

Universitas Indonesia

40

c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life Direct Weighing (SEIQoL-DW) Secara umum tidak terdapat kesulitan yang dialami subjek pada instruksi ketiga item alat ukur ini, tapi terdapat beberapa masukan. Untuk item pertama hampir semua subjek merasa kesulitan untuk mengerjakannya karena mereka tidak mengerti dengan konsep aspek kehidupan yang digunakan dalam item. Selain itu, mereka juga bingung menentukan aspek yang penting dalam hidupnya karena mereka tidak mempunyai contoh. Oleh karena itu disarankan untuk memberikan contoh atau daftar aspek kehidupan yang dapat memudahkan responden. Pada item ketiga peneliti memberikan dua bentuk alternatif. Kebanyakan subjek lebih memilih alternatif kedua, yaitu memberikan proporsi kepentingan secara langsung pada tiap aspek dibandingkan dengan alternatif pertama dengan cara menggambarkan proporsi. Setelah alat ukur direvisi sesuai dengan hasil uji keterbacaan kemudian dilakukan uji keterbacaan kembali terhadap sembilan orang subjek bilingual yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan baik yang sesuai dengan karakteristik sampel penelitian. Hasil uji keterbacaan ini menunjukkan bahwa semua subjek merasakan bahwa baik alat ukur yang asli maupun adaptasi merupakan alat ukur yang sama dan tidak terjadi perubahan makan pada tiap item alat ukur. Sehingga dapat dikatakan bahwa terjemahan yang digunakan sudah cukup baik. Maka tahapan selanjutnya adalah melakukan try out alat ukur. 4.5.2.2 Try Out Alat Ukur Try Out dilakukan terhadap 89 orang subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden penelitian. Uji coba ini dilakukan pada tanggal 4-15 Maret 2009 yang kemudian hasilnya dihitung reliabilitas, validitas dan analisis item pada masing-masing alat ukur sehingga alat ukur tersebut dapat dianggap layak digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu pada uji coba ini selain ketiga alat ukur yang digunakan disertakan pula alat ukur Inventori Karakteristik

Universitas Indonesia

41

Aktualisasi Diri (IKAD) dan Back Depression Inventory (BDI) untuk uji validitas konvergen. Untuk pengujian reliabilitas, validitas dan analisis item ketiga alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dihitung secara khusus oleh salah satu anggota payung penelitian yang memang mengkhususkan pada proses pengadaptasian alat ukur. Pengujian reliabilitas dibutuhkan untuk melihat konsistensi skor dari orang yang mengerjakan tes saat dites kembali dengan tes yang serupa atau dengan bentuk yang setara dari tes. (Anastasi dan Urbina, 1997). Cohen dan Swerdlik (2005) mengatakan bahwa reliabilitas mengacu pada konsistensi dalam pengukuran. Terdapat berbagai jenis pengujian reliabilitas. Pada penelitian ini untuk pengujian alat ukur subjective happiness scale dan satisfaction with life scale digunakan penghitungan keofisien alpha. Hal ini karena ingin melihat internal consistency dari kedua alat ukur tersebut. Alat ukur tersebut dikatakan reliabel apabila memiliki konsistensi internal yang tinggi yaitu bila item-itemnya secara konsisten mengukur satu konstruk yang sama. Selain pengujian reliabilitas, alat ukur yang baik juga perlu diuji validitasnya, yaitu apakah alat ukur tersebut benar-benar mengukut hal yang ingin diukur. Validitas adalah penilaian atau estimasi seberapa jauh suatu tes mengukur apa yang hendak di ukur dalam konteks tertentu (Cohen & Swerdlik, 2005). Sebuah konstruk dikatakan valid apabila hasil yang didapatkan dari alat ukur tertentu berkorelasi dengan variabel lain yang secara teoritis berkorelasi dengan konstruk tersebut (Anastasi dan Urbina, 1997). Secara teoritis, konstruk subjective happiness berhubungan dengan teori hirarki kebutuhan dari Maslow (Izawa, 2004). Seseorang akan merasa lebih bahagia terhadap hidupnya bila kebutuhankebutuhannya terpenuhi (Izawa, 2004). Inventori Karakteristik Aktualisasi Diri (IKAD) ingin melihat karakteristik aktualisasi diri dari individu. Berdasarkan pemikiran tersebut, seseorang yang memiliki karakteristik aktualisasi diri merupakan individu yang dapat memenuhi kebutuhan aktualisasi dirinya. Selain itu, ketika seseorang telah memiliki karakteristik aktualisasi diri, berarti kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah dari aktualisasi diri pun lebih terpenuhi. Sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki karakteristik aktualisasi diri memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.

Universitas Indonesia

42

Lebih lanjut, gangguan depresi merupakan kelainan mengenai perasaan dasar (mood). Penilaian subjective happiness dipengaruhi oleh mood sesuai dengan mekanisme subjective well-being, sehingga terdapat hubungan secara teoritis antara subjective happiness dengan gangguan depresi. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat subjective happiness seharusnya diikuti dengan semakin rendahnya tingkat depresi. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengujian validitas menggunakan alat ukur BDI dan IKAD yang digunakan sebagai kriteria eksternal. Kedua alat ukur tersebut sebelumnya sudah teruji validitas dan reliabilitasnya. Masukin nilai valid dan reliable IKAD & BDI Selanjutnya pada sebuah alat ukur, item yang baik adalah item yang dapat membedakan individu dengan atribut yang tinggi dengan individu dengan atribut rendah. Dalam penghitungannya daya beda tersebut dapat dilihat dengan cara melihat corrected item-total correlation, yaitu merupakan korelasi antara item dalam alat ukur dengan skor total item tanpa memasukkan skor item yang diperiksa tersebut. Item yang memiliki daya beda yang baik adalah item yang memiliki koefisien corrected item-total correlation di atas 0,2. Sedangkan item yang memiliki koefisien dibawah itu akan dieliminasi atau perlu direvisi. Berikut ini merupakan penjabaran hasil uji coba pada masing-masing alat ukur. a. Alat Ukur Happiness Scale (SHS) Alat ukur ini mengukur konstruk kebahagiaan yang merupakan konstruk unidimensional sehingga item-item yang terdapat dalam alat ukur ini merupakan item-item yang mengukur satu hal yang sama. Oleh karena itu, item-item dalam alat ukur ini merupakan item yang homogen yang diharapkan benar-benar secara konsisten mengukur satu konstruk yang sama. Penghitungan reliabilitas dengan menggunakan SPSS 17.0 didapatkan nilai koefisien alpha sebesar 0.640. Maka dapat dikatakan bahwa sebanyak 64% varians merupakan varians true score dan 36 % varians merupakan varians error. Menurut Aiken & Groth-Marnat (2006) nilai minimum reliabilitas adalah 0.6 sehingga nilai diatas 0.6 sudah dianggap baik. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa alat ukur SHS ini merupakan alat ukur yang reliabel.

Universitas Indonesia

43

Sedangkan untuk pengujian validitas, skor SHS ini dikorelasikan dengan skor BDI dan diperoleh hasil yang signifikan pada los 0.05 (p=0.002) dengan koefisien korelasi sebesar -0.318. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya skor SHS ini juga dikorelasikan dengan skor IKAD dan diperoleh hasil yang signifikan pada los 0.05 (p=0.003) dengan koefisien korelasi sebesar 0.310. Oleh karena itu dapat dikatakan bahawa dengan semakin tingginya tingkat kebahagiaan seseorang akan diikuti dengan semakin tinggi pula karakteristik aktualisasi diri. Berdasarkan kedua korelasi tersebut menunjukkan bahwa alat ukur SHS ini dapat secara tepat mengukur konstruk kebahagiaan. Untuk pengujian analisis item keempat item yang terdapat pada alat ukur ini telah memenuhi persyaratan item yang baik, yaitu seluruh item mempunyai koefisien corrected item-total correlation di atas 0,2. Maka dapat dikatakan bahwa item-item yang terdapat pada alat ukur ini mampu membedakan individu yang mempunyai tingkat kebahagiaan tinggi dengan indvidu yang tingkat kebahagiaannya rendah. Berikut ini merupakan hasil penghitungan corrected item-total correlation dengan menggunakan SPSS 17.0: Tabel 4.1 Analisis Diskriminasi Item Subjective happiness scale Subjective happiness scale ( = 0.640) Item No. 1 Item No. 2 Item No. 3 Item No. 4 Corrected Item-Total Correlation 0.601 0.554 0.459 0.225 Alpha Coef. If Item Deleted 0.481 0.490 0.547 0.781

b. Alat Ukur Satisfaction With Life Scale (SWLS) Sama halnya dengan kebahagiaan, konstruk kepuasan hidup juga merupakan konstruk yang unidimensional sehingga item-item yang terdapat pada Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan item-item yang mengukur satu konstruk yang sama. Oleh karena itu diharapkan lat

Universitas Indonesia

44

ukur ini memiliki item-item yang homogen dan benar-benar secara konsisten mengukur satu konstruk yang sama. Berdasarkan pada penghitungan yang menggunakan SPSS 17.0 didapatkan koefisien alpha sebesar 0.640. Hal ini menunjukkan bahwa 64 % varians merupakan varians true score dan 36 % varians merupakan varians error. Aiken & Groth-Marnat (2006) menyebutkan bahwa batas reliabilitas yang dianggap baik adalah bila diatas 0.6. Maka dapat dikatakan bahwa alat ukur SWLS ini merupakan alat ukur yang reliabel. Untuk pengujian validitas SWLS juga sama seperti SHS yaitu dengan melakukan korelasi dengan skor BDI dan IKAD. Hasil koefisien korelasi antara skor SWLS dengan skor BDI diperoleh sebesar -0.399 yang signifikan pada los 0.05 (p=0.000). Hal ini berarti semakin besar tingkat kepuasan hidup seseorangan akan diikuti pula dengan semakin rendahnya tingkat depresi yang dimiliki. Selanjutnya untuk korelasi dengan skor IKAD diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.368 yang signifikan pada los 0.05 (p=0.006). hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kepuasan hidup seseorang akan diikuti pula dengan semakin tingginya karakteristik aktualisasi diri yang dimilikinya. Berdasarkan kedua korelasi tersebut dapat disimpulkan bahwa alat ukur SWLS ini dapat secara tepat mengukur konstruk kepuasan hidup. Sedangkan untuk pengujian analisis item SWLS diperoleh hasil bahwa kelima item yang terdapat dalam alat ukur tersebut memiliki corrected item-total correlation di atas 0,2. Sehingga dapat dikatakan bahwa keseluruhan item merupakan item yang mempunyai daya beda yang baik dalam arti dapat membedakan antara individu yang tingkat kepuasan hidupnya tinggi dengan individu yang tingkat kepuasan hidupnya rendah. Berikut ini merupakan hasil perhitungan corrected item-total correlation dengan menggunakan SPSS 17.0:

Tabel 4.2 Analisis Diskriminasi Item Satisfaction With Life Scale

Universitas Indonesia

45

Satisfaction With Life Scale ( = 0.760) Item No. 1 Item No. 2 Item No. 3 Item No. 4 Item No. 5

Corrected ItemTotal Correlation 0.631 0.518 0.567 0.615 0.428

Alpha Coef. If Item Deleted 0.690 0.725 0.705 0.688 0.787

c. Alat Ukur Schedule for Evaluation of Individual Quality of Life Direct Weighing (SEIQoL-DW) Alat ukur ini sebenarnya merupakan alat ukur yang dikembangkan dari wawancara berstruktur yang terdiri dari 3 pertanyaan yang saling berkaitan. Karena jenisnya yang berbeda pada tiap itemnya maka ketiga item tersebut tidak dapat diukur konsitensinya. Oleh karena itu, untuk pengujian ini peneliti hanya melakukan pengujian validitas, yaitu untuk melihat seberapa tepat tes mengukur apa yang hendak diukur (Anastasi & Urbina, 1997). Berdasarkan hasil penghitungan korelasi antara skor SEIQOL-DW dengan skor BDI didapatkan hasil yang signifikan pada los 0.05 (p=0.013) dengan koefisien korelasi sebesar -0.262. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas hidup seseorang akan diikuti dengan semakin rendahnya tingkat depresi yang dimilikinya. Selanjutnya untuk korelasi antara skor SEIQOL-DW dengan skor IKAD diperoleh hasil yang tidak signifikan pada los 0.05 (p=0.066) dengan koefisien korelasi sebesar 0.541. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara global quality of life dengan karakteristik aktualisasi diri. 4.5.3 Tahap Pelaksanaan Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pelaksanaan antara lain : 1. Melakukan pengambilan data Pengambilan data dilakukan dengan metode survei, yaitu household survey. Peneliti memilih 30 rumah dari setiap daerah di Jakarta dan sekitarnya yang dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2009 17 April 2009.

Universitas Indonesia

46

Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai proses pengambilan data yang dilakukan bersama-sama dalam payung penelitian ini: Pengambilan data dilakukan di kelima kotamadya di Jakarta dan juga di Bogor, Tangerang, Depok serta Bekasi. Pada tiap wilayahnya ditargetkan 30 rumah. Pemilihan sampel yang dilakukan tidaklah secara random tetapi berdasarkan pada lokasi tempat tinggal para peneliti berada. Pertama-tama peneliti meminta izin pada ketua RT sebagai pihak yang berwenang di daerah pengambilan data. Setelah memperoleh izin, pengambilan data dilakukan dengan mendatangi rumah-rumah. Peneliti tidak mengambil data di wilayah tempat tinggalnya sendiri melainkan dilakukan oleh peneliti payung lainnya. Di setiap rumah, data diambil dari seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut yang memenuhi karakteristik subjek penelitian, yaitu berusia 18 tahun ke atas dengan pendidikan minimal SMA, dan berada pada kelas sosial menengah ke atas. Pada saat memberikan kuesioner, peneliti menjelaskan cara pengisiannya terlebih dahulu kepada para responden. Apabila responden bersedia langsung mengisi kuesioner tersebut, maka peneliti akan menungguinya. Tetapi bila tidak, maka kuesioner akan ditinggal dan diambil kembali keesokan harinya. Begitu pula yang terjadi bagi responden lainnya yang terdapat di dalam rumah tersebut namun pada saat peneliti datang sedang tidak berada di rumah. 2. Mengumpulkan dan menyiapkan data untuk diolah. Peneliti mengumpulkan kembali semua kuesioner yang telah disebar sebelumnya. Peneliti juga mengecek kelengkapan pengisian kuesioner. Bila ada yang kurang lengkap, peneliti mencoba menanyakan kembali kepada responden. Pada pengambilan data pada 291 keluraga berhasil diperoleh kuesioner sebanyak 583 buah, tetapi setelah dilakukan pengecakan hanya terdapat 578 kuesioner yang dapat digunakan. Bila berdasarkan rencana, maka

Universitas Indonesia

47

hanya diambil 270 rumah, tetapi ternyata dalam proses pengambilannya pada beberapa wilayah melebihi target. Hal ini terjadi karena peneliti mengantisipasi pada beberapa keluarga yang kemungkinan pengembalian kuesionernya rendah, sehingga peneliti menyebarkan pada lebih dari 30 rumah. 4.5.4 Tahap Akhir Hal-hal yang dilakukan dalam tahap akhir antara lain : 1. Melakukan skoring terhadap data dari alat ukur. 2. Melakukan entry data dan melakukan pengecekan tiap data kelima dengan kuesioner aslinya untuk meminimalisir kesalahan pemasukan data. 3. Menginterpretasikan hasil analisis statistik berdasarkan teori dan kerangka berpikir yang telah disusun sebelumnya. 4. Melakukan analisa dan pembahasan berdasarkan data yang diperoleh. 5. Menarik kesimpulan. 6. Mengajukan saran tindak lanjut. 7. Menyusun dan melakukan perbaikan terhadap laporan penelitian. 4.6. Analisis Data Pada penilitian ini digunakan penghitungan secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS for Windows 13.0. Metode pengolahan yang akan digunakan adalah: 1. Metode Analisis Deskriptif Statistik deskriptif merupakan prosedur statistik yang digunakan untuk merangkum, mengorganisasi, dan menyederhanakan data (Gravetter & Wallnau, 2007). Metode ini digunakan untuk melihat frekuensi, mean, median dan standard deviasi penyebaran hasil responden pada tiap variabel yang diukur. Statistik deskriptif juga digunakan untuk menggambarkan data demografis responden. 2. Korelasi Pearson Product Moment Korelasi Pea