skenario 11 (tinea pedis) (2)

Upload: ria-pariury

Post on 13-Oct-2015

41 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kelainan pada Kaki karena Jamur yaitu Tinea PedisKelompok A3Fakultas Kedokteran UkridaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510PendahuluanTinea adalah Infeksi pada kulit yang disebabkan oleh jamur (fungi). Pada sebagian kasus jamur hanya mengenai kulit dan organ-organ pelengkapnya seperti rambut dan kuku, tapi pada sebaian lainnya organ internal lainnya dapat terkena juga. Infeksi tinea dapat mengenai kepala, badan, lipat paha, kaki, dan kuku. Tinea pedis adalah infeksi jamur yang paling sering ditemukan.Infeksi ini sering menjangkiti para remaja dan dewasa muda kendati dapat terjadi pada setiap kelompok usia. Tinea pedis biasanya prevalen pada mereka yang sering mandi pada tempat mandi umum atau berenang di kolam renang. Pada penyakit ini juga didapatkan penyakit-penyakit yang serupa seperti candidiasis intertriginosa, dan dermatitis kontak. Candidiasis adalah suatu infeksi dari jamur. Jenis jamur yang menginfeksi adalah dari genus Candida. Genus Candida adalah sel unisellular yang termasuk dalam Fungi imperfecti atau Deuteromycota, kelas Blastomycetes Biasanya, infeksinya berupa superfisial dari daerah kutaneus tubuh yang lembab. Candidiasis intertriginosa terjadi di lipatan ketiak, lipat paha, lipat payudara, antara jari tangan dan kaki. Gejalanya berupa bercak kemerahan, bersisik, basah, dan dikelilingi lesi-lesi satelit dengan maserasi berwarna keputihan ditengahnya. Dermatitis adalah suatu istilah yang artinya peradangan di kulit. Jadi dermatitis kontak adalah peradangan di kulit karena kontak dengan sesuatu yang dianggap asing oleh tubuh. Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis kontak karena sensitasi alergi terhadap substansi yang beraneka ragam yang menyebabakan reaksi peradangan pada kulit bagi mereka yang mengalami hipersensivitas terhadap alergen sebagai suatu akibat dari pajanan sebelumnya.

Pembahasan

AnamnesisPada dasarnya riwayat dermatologi tidak berbeda dengan riwayat lainnya. Beri perhatian khusus kepada penanganan yang pernah dijalani oleh pasien. Beberapa penanganan mungkin memperngaruhi penampilan dari klinisnya seperti krim kortiko steroid yang dioleskan pada infeksi jamur. Penanganan yang gagal bisa memberi petunjuk berguna untuk membuat diagnosis, serta untuk memandu penyelidikan selanjutnya. Masalah medis atau kulit yang pernah dialami pasien bisa menjadi pedoman untuk memperkirakan diagnosis yang berbeda. Untuk kondisi inflamasinya, tanyakan riwayat keluarga, atau pekerjaan di luar ruangan memperbesar resiko kanker kulit, pasien bisa juga diduga mengalami dermatitis kontak jika memakai zat kimiawi di tempat kerja atau jika rekan kerjanya mengalami penyakit ini, penularan di dalam rumah bisa menandakan infeksi. Riwayat obat yang akurat, termasuk sediaan yang dijual bebas merupakan hal yang sangat penting untuk anamnesis.1

Pemeriksaan FisikTinea ini sering diketemukan pruritus dalam berbagai derajat, nyeri, deskuamasi epitel putih dan sedikit eksudat. Nilai dari pengobatan dan pengenalan ini sebaian terletak pada pengembalian integritas sawar epitel dan dengan demikian mencegah masuknya bakteri seperti streptococcus yang dapat menimbulkan selulitis.2

Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, seperti : Kerokan/guntinganBahan-bahan dari kulit, rambut, atau kuku dapat langsung diperiksa di bawah miksroskop dan/atau dikirim untuk dikultur. Hal ini bermanfaat khususnya bila dicurigai adanya infeksi jamur, atau untuk mencari tungau skabies. Sedikit kerokan pada epidermis akan mengangkat skuama dari permukaan kulit yang dicurigai.3Skuama tadi ditempatkan pada kaca mokroskop, ditetesi dengan kalium hidroksida (KOH) 10% dan ditutup dengan kaca penutup. Sesudah didiamkan beberapa menit guna melarutkan membrane sel epidermis, sediaan siap diperiksa. Pemeriksaan ini bisa dibantu dengan menambahkan tinta Parker Quink apabila dicurigai adanya infeksi oleh malassezia (penyebab prieiasis versikolor). Preparat dari kerokan/apusan juga digunakan sebagai alat bantu diagnostik oleh beberapa dermatology untuk sitodiagnostik pada lepuhan-lepuhan yang dicurigai disebabkan oleh virus dan pemphigus, dengan menggunakan preparat tzank, yang bisa diperiksa langsung di klinik.3

Tes tempelBila dicurigai terjadi dermatitis kontak alergi, lakukan tes temple. Pada pemeriksaan ini allergen yang kemungkinan menjadi penyebab dilarutkan dalam media yang sesuai. Bahan-bahan tes ditempatkan pada lempengan-lempengan tipis yang ditempelkan pada kulit (biasanya di daerah punggung) selama 48 jam. Reaksi positif ( sesudah 48 jam, atau kadang-kadang lebih lambat ) memastikan adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) terhadap bahan penyebab alergi tadi. Teknik pemeriksaan ini dapat diperluas, antara lain untuk pemeriksaan fotoalergi.3

Gambar 1. Tes tempel : (a) lempeng logam yang berisi allergen, dan (b) reaksi tes tempel yang positifSumber : Buku Dermatologi

Sinar UV khusus ( lampu wood )Mengobservasi area terkena dengan sinar UV khusus ( lampu wood) dapat pula mengidentifikasi infeksi jamur. Spora memanarkan cahaya biru-hijau dengan penyinaran ini. bila hyphae atau spora tidak tampak, kulit hasil goresan dibiakkan untuk menegakkan diagnosis. Biakan terkadang dikirim bila spora terlihat.4

Agar Sabouraud Biakan pada medium agar sabouraud ditambahkan antibiotika. Zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan kontaminasi bacterial maupun jamur kontaminan, disimpan pada suhu kamar. 5

Gejala KlinisGejala objektif ini selalu disertai dengan perasaan gatal. Bila kulit yang gatal ini digaruk, papul atau vesikel akan pecah sehingga menimbulkan daerah yang erosive dan bila mengering jadi krusta dan skuama. Kadang-kadang bentuk menyerupai dermatitis ( eczema marginatum), tetapi kadang-kadang pula hanya macula yang hiperpimentasi saja ( Tinea korporis ) dan bila ada infeksi sekunder menyerupai gejala-gejal pioderma ( Impetigenisas ).6 Tinea Pedis dan Tinea ManusTinea pedis disebut juga ATHLETES FOOT = ring worm of the foot. Keluhan subjektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai dengan rasa gatal yang hebat dan rasa nyeri bila ada infeksi sekunder.6

Gambar 2. Lesi khas Tinea pedisSumber : Buku Penyakit Jamur Kulit

Kita dapat membedakan 3 (tiga) bentuk tinea pedis, yaitu : 61. Bentuk intertriginosa Kelainan yang tampak berupa maserasi, skuamasi serta erosi di celah-celah jari utama jari IV dan V. hal ini terjadi akibat kelembaban di celah-celah jari tersebut, membuat jamur hidup lebih subur. Bila menahun dapat terjadi fisura yang nyeri bila kena sentuh. Bila terjadi infeksi dapat menimbulkan selulitis atau erysipelas disertai gejala umum.

Gambar 3. Tinea pedis pada sela-sela jari, merah, skuama dan batas tegas.Sumber : Buku Penyakit Jamur Kulit

1. Bentuk hyperkeratosisDi sini yang tampak lebih jelas ialah terjadinya penebalan kulit disertai sisik, terutama pada telapak kaki, tepi kaki, dan punggung kaki. Bila hyperkeratosis hebat dapat terjadi fisura yang dalam pada bagian lateral telapak kaki. Keadaan ini disebut Moccasin foot.

1. Bentuk vesicular subakutKelainan-kelainan yang timbul dimulai pada daerah sekitar sela jari kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Tampak ada vesikel dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit, disertai perasan gatal yang hebat. Bila vesikel ini memecah akan meninggalkan skuama melingkar yang disebut COLLORETTE.Bila terjadi infeksi akan memperhebat dan memperberat keadaan sehingga dapat terjadi eriseplas. Semua bentuk yang terdapat pada tinea pedis, dapat terjadi pada tine amanus, yaitu dermatofitosis yang menyerang tangan. Penyebab utama infeksi adalah Trichophyton rubrum, T. mentagrophytes, dan Epidermophyton floccosum.

Tenia manus dan tinea pedis harus dibedakan dengan : Dermatitis kontak akut alergis Skabies Psoriasis pustulosa

Gambar 4. Tinea pedis pada telapak kaki, terlihat ada vesikel dan skuama koloretSumber : Buku Penyakit Jamur Kulit

PatofisiologiJamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh.7,8Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea pedis. Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi dan karpet. 7,8 Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada infeksi dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih belum diketahui.7,8

EtiologiJamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), jamur ini mempuyai banyak mikrokonidia, mikrokonidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikrokonidianya terletak pada konidiofora yang pendek , dan tersusun secara satu persatu pada sisi hifa (en thyrse), makrokonidianya berbentuk seperti pensil dan terdiri dari beberapa sel T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte, berbentuk bulat dan jamur ini banyak membentuk hifa spiral. Makrokonidianya juga berbentuk seperti pensil. Seringkali T. mentagrophyte menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang sedangkan E. floccosum, berntuk hifanya melebar. Makrokonidianya berbentuk gada, berdinding tebal dan tersusun atas 2-4 sel. Beberapa makrokonidia ini tersusun atas 1 konidiofora. Mikrokonidia biasanya tidak ditemukan. E. floccosum bisa menyebabkan salah satu dari lesi di atas.7,8

Diagnosis KerjaDiagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas. Pemeriksaaan laboratorium berupa Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20% ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong dan pada kultur ditemukan dermatofit.7

Diagnosis Banding1. Dermatitis Kontak AlergenDermatitis kontak alergik terjadi bila alergen atau senyawa sejenis menyebabkan reaksi hipersensitvitas tipe lamat pada paparan berulang. Dermatitis ini biasnaya timbul sebagai dermatitis vesikuler akut dalam beberapa jam sampai 72 jam setelah kontak. Perjalanan penyakit memuncak pada 7 sampai 10 hari, dan sembuh dalam 2 hari bila tidak terjadi paparan ulang.3,5 Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi tipe IV. Reaksi hipersensititas di kullit timbulnya lambat (delayed hipersensivitas), umumnya dlam waktu 24 jam setelah terpajan dengan alergen. Sebelum seseorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik, terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada kulitnya. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten yang terikat dengan protein, membentuk antigen lengkap. Antigen ini ditangkap dan diproses oleh makrofag dan sel langerhans, selanjutnya dipresentasekan oleh sel T. Setelah kontak dengan ntigten yang telh diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk berdiferensisi dan berploriferasi memebneetuk sel T efektor yang tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga menyebabkab keadaan sensivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase saat kontak pertama sampai kulit menjdi sensitif disebut fase induksi tau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3 minggu. Pada umumnya reaksi sensitisasi ini dipengaruhi oleh derajat kepekaan individu, sifat sensitisasi alergen (sensitizer), jumlah alergen, dan konsentrasi. Sensitizer kuat mempunyai fase yang lebih pendek, sebaliknya sensitizer lemah seperti bahan-bahan yang dijumpai pada kehidupan sehari-hari pada umumnya kelainan kulit pertama muncul setelah lama kontak dengan bahan tersebut, bisa bulanan atau tahunan. Sedangkan periode saat terjadinya pajanan ulang dengan alergen yang sama atau serupa sampai timbulnya gejala klinis disebut fase elisitasi umumnya berlangsung antara 24-48 jam. 7,9Kelainan kulit bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas tegas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi(basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin jugga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedaknn dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran.7

1. Candidiasis intertriginosaKadidiasis intergrinosa menimbulkan lesi-lesi yang timbul biasanya pada daerah-daerah lipatan kulit, seperti ketiak, bawah payudara, lipatan paha, intergluteal, antara jari-jari tangan dan kaki, sekitar pusat dan lipatan leher. 6 Kelainan yang tampak berupa kemerahan kulit yang berbatas tegas, erosi dan bersisik. Lesi-lesi tersebut sering dikelilingi oleh lesi-lesi satelit berupa vesikel-vesikel dan pustula milier, yang bela memecah meninggalkan daerah-daerah yang erosi dan selanjutnya dapat berkembang menyerupai lesi-lesi primernya. Kelainan pada sela-sela jari sering ditemukan pada orang yang banyak berhubungan dengan air, seperti tukang cuci baju atau petani di sawah, orang-orang yang memakai kaus dan sepatu terus menerus. 6Kadidiasis pada kaki dan sela-sela jari ini sering dikenal dengan nama kutu air. Kulit di sela-sela jari menjadi lunak, terjadi maserasi dan dapat mengelupas menyerupai kepala susu. Faktor predisposisi pada kadidiasis adalah orang yang menderita diabetes melitus, kegemukan, banyak berkeringat, pemakaian antibiotik-antibiotik, kortikosteroid, sitostatik, dan penyakit-penyakit yang menyeebabkan daya tahan penderita turun.6

EpidemiologiTinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh perjalanan orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara.10 Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan pada beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang.10 Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi.10

Penatalaksanaan Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.7,8,111. Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.-Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal.- Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.- Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu.1. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.1. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai jenis jamur.-Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi. 1. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). -Terbinafine (Lamisil), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman. 1. Antijamur Topikal Lainnya. -Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.-Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng undesilenat. -Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain : 7,8,11 1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.1. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. 1. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. 1. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.

Komplikasi 1. Selulitis Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Selulitis disebabkan oleh streptococcus B hemolyticus. Terdapat gejala konstitusi : demam, malese. Lapisan kulit yang diserang ialah epidermis dan dermis. Penyakit ini didahului trauma, karena itu biasanya tempat predileksinya di tungkai bawah. Kelainan kulit yang utama ialah eritema yang berwarna merah cerah, berbatas tegas, dan pinggirnya meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai edema, esikel, dan bula. Terdapat leukositosis.7Jika tidak diobati akan menjalar ke sekitarnya terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi elefantiasis. Pengobatannya yaitu istirahat, tungkai bawah dan kaki yang diserang ditinggikan (elevasi), tingginya sedikit lebih lebih tinggi daripada letak kor. Pengobatan sistemik ialah antibiotik, topikal diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptic. Jika terdapat edema diberikan diuretika.71. Tinea Ungium Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis,T. rubrummerupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut.

1. Dermatofid Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal.Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik, imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.

Prognosis Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.

Kesimpulan Berdasarkan hasil dari anamnesis, gejala klinik, pemeriksaan fisik dan penunjang, dapat dipastikan bahwa pasien dalam kasus tersebut telah menderita tenia pedis. Diagnosis banding yang didapatkan adalah dematitis kontak alergen dan candidiasis intertriginosa. Penyakit pada diagnosis banding masih kurang cocok terhadap anamnesis, gejala klinis dan permeriksaan yang didapat.

Daftar Pustaka1. Houghton AR, Gray D. Gejala dan tanda dalam kedokteran klinis pengantar diagnosis medis. Edisi ke-13. Jakarta: PT Indeks; 2012.h.362.1. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnostik fisik dan fungsi di bangsal. Edisi 1. Jakarta: EGC; 2005.h.91.1. Brown GR, Burns T. Dermatologi. Edisi ke-8. Jakarta : Erlangga, 2005.h.16-8.1. Corwin JE. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta : EGC; 2009.h.126. 1. Berhrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC, 2002.h.2309.1. Siregar SR. Penyakit jamur kulit. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2004.h.1-35,50-3.1. Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007.h.89-104,106-9,129-53.1. Susanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editors. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2011.h.319-21,356-61.1. Sudoyo AW et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009.h.378-81.1. Susanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S, editors. Parasitologi kedokteran. Edisi ke-3. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2011. h.319-21,356-61.1. Departemen Farmakologi dan Teraupetik FKUI. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2012.h.574-83.1