sisti serko sis

9
Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan Sapi Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al . (2008) dengan menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan sistiserkus dari Taenia saginata mencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa. Sementara penelitian Kebede et al . (2009) dengan sampel sebanyak 11.227 ternak menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata . Tabel berikut merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya. Universitas Sumatera Utara T abel 2.1 Angka Temuan C. bovis pada Penelitian di Nega ra Lain Negara /Lokasi % Metode Sumber Gambia 0,75 19,2 Inspeksi daging ELISA Unger et al

Upload: andi-husnul-khatimah

Post on 17-Feb-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sisti Serko Sis

TRANSCRIPT

Page 1: Sisti Serko Sis

Epidemiologi Sistiserkosis pada Babi dan SapiDari hasil penelitian yang dilakukan oleh Unger et al.(2008) dengan menggunakan metode inspeksi daging di Gambia, diketahui bahwa temuan sistiserkus dari Taenia saginatamencapai 0.75% dari 1.595 ternak yang diperiksa. Sementara penelitian Kebede et al.(2009) dengan sampel sebanyak 11.227 ternak menunjukkan 7,5% ternak terinfeksi sistiserkus Taenia saginata. Tabel berikut merupakan angka temuan sistiserkus pada sapi pada penelitian lainnya.Universitas Sumatera UtaraTabel 2.1 Angka TemuanC. bovispada Penelitian di Negara LainNegara/Lokasi%MetodeSumberGambia0,7519,2Inspeksi dagingELISAUnger et al., 2008Ethiopia7,5Inspeksi dan Insisi dagingKebede et al., 2009Ethiopia

Page 2: Sisti Serko Sis

4,4Inspeksi dagingMegersa et al., 2010.Kenya2,516,7Inspeksi dagingELISAAsaava et al., 2010Nigeria (Makurdi)9,2Inspeksi dagingOfukwu et al., 2009Jerman 15,6ELISAAbuseir et al., 2006Penelitian mengenai sistiserkus Taenia solium di tahun 2002, didapatkan prevalensi sistiserkosis pada babi di China, India, dan Nepal adalah 5,4, 9,3, dan 32,5% (Rajshekhar et al., 2003). Pada penelitian Vazquez-Florez et al.(2001) memeriksa 53 babi dengan metode palpasi lidah dan serologis dengan hasil penelitian tidak ditemukan adanya sistiserkus (0%). Penelitian oleh Gweba et al. (2010) di Itali, memeriksa babi hidup dengan palpasi lidah dan juga pemeriksaan inspeksi daging. Dari penelitian tersebut, didapatkan angka temuan sistiserkus sebesar 5,85% dan 14,4% dari masing

Page 3: Sisti Serko Sis

-masing pemeriksaan. Penelitian sistiserkosis pada babi yang dilakukan oleh Maitindom (2008) pada Kabupaten Jayawijaya, Papua didapatkan angka prevalensi 77,1%. Selain itu, penelitian lainnya seperti penelitian Suweta (1991) di Bali menunjukkan angka sistiserkosis pada babi sebanyak 0,15%. Pada tabel berikut dapat dilihat angka kejadian sistiserkus pada babi pada penelitian lain.

Biologi dan Morfologi Sistiserkus Sistiserkus adalah fase istirahat larva Cestoda yang terdapat di dalam tubuh hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung skoleks, dan rongga di tengahnya berisi sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008; Garcia et al., 2002). Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus, yaitu larva atau fase metacestoda cacing pita. Sistiserkus atau larva Taenia solium biasanya ditemukan pada ternak babi (Cysticercus cellulosae), sapi (Cysticercus bovis) dan kadang-kadang ditemukan pada manusia (C. cellulosae). Sistiserkosis ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes. Sistiserkosis juga dapat terjadi pada sistem saraf pusat (neurosistiserkosis) (CFSPH, 2005). Kista Cysticercus bovis panjangnya berukuran 6 sampai 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot masseter, jantung, dan pillar dari diafragma, walaupun mungkin pada hewan yang berat terinfeksi mungkin ditemukan pada otot skeletal (Soedarto, 2008). Kista Cysticercus cellulosae memiliki skoleks terletak di satu sisi kista, terinvaginasi, dan terlihat sebagai nodul opak dengan diameter 4-5 mm (Handojo dan Margono, 2008b). Menurut Garcia et al. (2002), diameter kista hidup berukuran 10-20 mm. Kista Cysticercus cellulosae mempunyai ukuran dan bentuk

sesuai jaringan sekitarnya. Kista ini biasanya ditemukan pada otot lidah, punggung, dan pundak babi (Handojo dan Margono, 2008b). Di otak, kista berbentuk bundar dengan diameter 1 cm. Dapat pula ditemukan kapsul dengan ketebalan bervariasi yang terdiri atas astrosit dan serat kolagen, tetapi kapsul di SSP (Sistem Saraf Pusat) dan mata kurang tebal (Wiria, 2008). Dinding kantong terdiri atas tiga lapis: lapisan kutikula yang terdiri microtriches (lapisan glikokaliks karbohidrat), pseudoepitel dan muskularis, jaringan penghubung longgar, dan jaringan kanalikuli (Wiria, 2008).

Siklus Hidup Taenia sp. 2.4.1. Siklus Hidup Taenia solium

Cacing dewasa hidup di dalam tubuh manusia pada usus halus (CFSPH, 2005; Handojo dan Margono, 2008b). Cacing dewasa melepaskan segmen gravid paling ujung yang akan pecah di dalam usus sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita (Wandra et al., 2007; Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Apabila telur cacing yang matur mengkontaminasi tanaman rumput atau pun peternakan dan termakan oleh ternak seperti babi, telur akan pecah di dalam usus hospes perantara dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Pearson, 2009a; Handojo dan Margono, 2008b). Dengan bantuan kait, onkosfer menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh babi, terutama otot lidah, leher, otot jantung, dan otot gerak (Ideham dan Pusarawati, 2007; Handojo dan Margono, 2008b; Tolan, 2011). Dalam waktu

Page 4: Sisti Serko Sis

60-70 hari pasca infeksi, onkosfer berubah menjadi larva sistiserkus yang infeksius (Soedarto, 2008; Tolan, 2011). Manusia terinfeksi dengan cara makan daging babi mentah atau kurang masak, yang mengandung larva sistiserkus (Ideham dan Pusarawati, 2007; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Di dalam usus manusia, skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 5-12 minggu atau 3 bulan, cacing Taenia solium menjadi dewasa dan mampu memproduksi telur. Seekor cacing Taenia solium dapat memproduksi Universitas Sumatera Utara

Page 5: Sisti Serko Sis

50.000 sampai 60.000 telur setiap hari (Tolan, 2011; Garcia et al., 2003; Garcia et al., 2002; Ideham dan Pusarawati, 2007). Proglotid yang telah lepas, telur atau keduanya akan dilepaskan dari hospes definitif (manusia) dalam bentuk feses. Kemudian babi akan terinfeksi jika pada makanannya telah terkontaminasi dengan telur yang berembrio atau proglotid gravid (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007). Manusia juga dapat menjadi hospes perantara untuk Taenia solium (sistiserkorsis) (Pearson, 2009a; Wandra et al., 2007; Tolan, 2011). Hal ini dapat terjadi apabila manusia termakan telur dari cacing tersebut dari hasil ekskresi manusia. Teori lainnya adalah autoinfeksi (Tolan, 2011). Namun, teori ini belum dibuktikan (CFSPH, 2005). Jika terdapat cacing pita dewasa pada usus, peristaltik yang berlawanan pada gravid proglotid akan menyebabkan proglotid bergerak secara retrograd dari usus ke lambung (CFSPH, 2005; Ideham dan Pusarawati, 2007). Telur hanya dapat menetas apabila terpapar dengan sekresi gaster diikuti dengan sekresi usus (CFSPH, 2005) sehingga setelah terjadi peristaltik yang bersifat retrograd, onkosfer akan menetas dan menembus dinding usus, mengikuti aliran kelenjar getah bening atau aliran darah (Soedarto, 2008). Larva selanjutnya akan bermigrasi ke jaringan subkutan, otot, organ viseral, dan sistem saraf pusat dan membentuk sistiserkus (Pearson, 2009a; Ideham dan Pusarawati, 2007). Sistiserkosis dapat terjadi pada berbagai organ dan gejala yang timbul tergantung dari lokasi sistiserkus (Tolan, 2011). Proglotid dari Taenia solium kurang aktif dibandingkan dengan Taenia saginata sehingga kemungkinan untuk ditemukan pada lokasi yang tidak seharusnya lebih jarang (CFSPH, 2005).

Patogenesis dan Patofisiologi Sistiserkosis Sistiserkus hidup hanya menimbulkan sedikit peradangan jaringan sekitar dan hanya sedikit mononuklear serta jumlah eosinofil yang bervariasi. Untuk melengkapi siklus hidupnya, sistiserkus harus mampu hidup dalam otot hospes selama berminggu-minggu sampai bulanan. Oleh karena itu, kista akan mengembangkan mekanisme untuk mengatasi respon imun penjamu. Pada hewan yang telah terinfeksi sebelumnya dengan stadium kista kebal terhadap reinfeksi onkosfer. Imunitas ini dimediasi oleh antibodi dan komplemen. Meskipun begitu dalam infeksi alami, respons antibodi dibangun hanya setelah parasit berubah menjadi bentuk metacestoda yang lebih resisten (Wiria, 2008). Metacestoda dapat mengembangkan sebuah mekanisme untuk memproteksi diri dari destruksi yang dimediasi komplemen dengan menghasilkan paramiosin. Paramiosin akan mengikat C1q dan menghambat jalur klasik aktivasi komplemen. Parasit juga akan mensekresikan inhibitor protease serin yang disebut taeniastatin. Taeniastatin dapat menghambat jalur aktivasi klasik atau alternatif, berintegrasi dengan kemotaksis leukosit, dan menghambat produksi sitokin. Sedangkan polisakarida sulfa, yang melapisi dinding kista, mengaktivasi komplemen untuk menjauhi parasit, menurunkan deposisi komplemen, dan membatasi jumlah sel radang yang menuju parasit. Antibodi saja tidak dapat membunuh metacestoda matang. Kista yang hidup juga dapat menstimulasi produksi sitokin yang dibutuhkan untuk menghasilkan imunoglobulin yang kemudian diambil oleh kista dan diperkirakan ini merupakan sumber protein (CFSPH, 2005; White, 1997). Taeniastatin dan molekul parasit juga dapat menekan respon imun seluler dengan menghambat proliferasi limfosit dan fungsi makrofag. Gejala akan muncul ketika kista tidak dapat lagi memodulasi respons penjamu (White, 1997).

Gejala Klinik Sistiserkosis

Page 6: Sisti Serko Sis

Sistiserkus pada kebanyakan organ biasanya tidak atau sedikit menimbulkan reaksi jaringan (Pearson, 2009a). Suatu penelitian post mortem menyebutkan bahwa 80% dari seluruh kasus sistiserkosis asimptomatik (CFSPH, 2005). Akan tetapi, kista yang telah mati pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan respon jaringan yang berat. Infeksi pada otak (sistiserkosis serebri) dapat menimbulkan gejala yang berat, akibat dari efek massa dan inflamasi yang disebabkan oleh degenerasi sistiserkus dan pelepasan antigen (Pearson, 2009a). Sistiserkus dapat juga menginfeksi sumsum tulang belakang, otot, jaringan subkutan, dan mata (Pearson, 2009a). Perubahan yang terjadi berhubungan dengan stadium peradangan. Dalam stadium koloidal, kista terlihat sama dengan kista koloid dengan materi gelatin dalam cairan kisat dan degenerasi hialin dari larva. Dalam stadium granular-nodular, kista mulai berkontraksi dan dindingnya digantikan dengan nodul fokal limfoid serta nekrosis. Akhirnya, pada stadium kalsifikasi nodular jaringan granulasi digantikan oleh struktur kolagen dan kalsifikasi (Wiria, 2008). Gejala timbul tergantung dari jumlah dan lokasi larva (CFSPH, 2005). Neurosistiserkosis merupakan bentuk sistiserkosis yang menyerang sistem saraf pusat (Tenzer, 2009; CFSPH, 2005; Garcia et al., 2002) dan paling membahayakan. Pada kasus tertentu, gejala yang timbul mungkin timbul sangat lambat, tetapi progresif. Namun, dapat juga gejala timbul secara tiba-tiba akibat obstruksi cairan serebrospinal akibat adanya sistiserkus yang melayang-layang di dalam cairan (CFSPH, 2005). Gejala yang paling sering adalah sakit kepala kronik dan kejang atau epilepsi (70-90%) (Wiria, 2008; CFSPH, 2005; Tenzer, 2009; WHO, 2009; Gracia et al., 2002; Del Brutto, 2005). Gejala lainnya yang mungkin timbul adalah peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus, tanda Universitas Sumatera Utara

Page 7: Sisti Serko Sis

neurologis fokal, perubahan status mental (Pearson, 2009a; Tenzer, 2009), mual, muntah (CFSPH, 2005; Tenzer, 2009), vertigo, ataxia, bingung, gangguan perilaku, dan demensia progresif (CFSPH, 2005), dan sakit kepala kronik (Tenzer, 2009). Sedangkan apabila neurosistiserkosis menyerang sumsum tulang belakang dapat menyebabkan kompresi, transverse myelitis, dan meningitis. Namun kasus ini jarang (CFSPH, 2005). Adapun bentuk manifestasi klinis dari sistiserkosis terbagi atas 4 (Wiria, 2008): a. Infeksi inaktif, ditandai dengan penemuan residu infeksi aktif sebelumnya (kalsifikasi intraparenkimal). Gejala yang timbul: sakit kepala, kejang, psikosis. b. Infeksi aktif, terdiri atas neurosistiserkosis parenkim aktif dan ensefalitis sistiserkal. c. Neurosistiserkosis ekstraparenkimal yang memiliki bentuk neurosistiserkosis ventrikular. d. Bentuk lain: sistiserkosis spinal, sistiserkosis oftalmika, penyakit serebrovaskular, dan lain-lain.

Pada mata (sistiserkosis oftalmika), sistiserkus paling sering ditemukan pada vitreous humor, rongga subretina dan konjungtiva. Gejala yang umum adalah kaburnya penglihatan atau berkurangnya visus, rasa sakit yang berat, sampai buta. Sistiserkus di otot biasanya asimptomatik. Namun, dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pseudohipertrofi, miositis, nyeri otot, kram, dan kelelahan. Larva di jantung menimbulkan gangguan konduksi dan miokarditis (CFSPH, 2005). Pada kulit, sistiserkus mungkin dapat terlihat sebagai nodul subkutan. Larva juga dapat menyebabkan vaskulitis atau obstruksi arteri kecil yang menimbulkan stroke. Akan tetapi, hal ini jarang terjadi (CFSPH, 2005).