sistemik kemoterapi
TRANSCRIPT
A. Sistemik Kemoterapi
Tulang punggung regimen kemoterapi untuk kanker kolon ialah 5- Flourouracil
sebagai terapi ajuvan maupun metastase. Dahulu, dinyatakan pendapat bahwa regimen
kombonasi menyediakan peningkatan efikasi dan angka harapan hidup pasien. Selain 5-
Florourasil, terdapat capecitabine dan tegafur yang digunakan sebagai monoterapi atau
kombonasi dengan oxalipatin dan irinotecan.
1. Regimen untuk ajuvan kemoterapi :
5-Fluorouracil + leucovorin
o 5-Fluorouracil: 500 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu
o Leucovorin: 20 mg/m2 IV seminggu sekali untuk 6 minggu, diberikan sebelum
5-FU
o Siklus diulang setiap 8 minggu untuk total 24 minggu
LV5FU2 (de Gramont regimen)
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX4)
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti 600 mg/m2 IV continuous
infusion untuk 22 jam hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 dan 2 sebagai 2 jam infusion sebelum
5-fluorouracil
o Siklus diulang setiap 2 minggu untuk total 12 minggu
2. Regimen untuk metastasis :
Irinotecan + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFIRI regimen)
o Irinotecan: 180 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus pada hari 1, diikuti dengan 2400 mg/m2
IV continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
1
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (FOLFOX6)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus on day 1, diikuti dengan 2400 mg/m2 IV
continuous infusion untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Oxaliplatin + 5-fluorouracil + leucovorin (mFOLFOX7)
o Oxaliplatin: 100 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 3000 mg/m2 IV continuous infusion pada hari 1 untuk 46 jam
o Leucovorin: 400 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Mengulang siklus setiap 2minggu
Capecitabine + oxaliplatin (XELOX)
o Capecitabine: 850-1000 mg/m2 PO terbagi 2 dosis pada hari 1-14
o Oxaliplatin: 100-130 mg/m2 IV pada hari 1
o Mengulang siklus setiap 21 hari
FOLFOX4 + bevacizumab
o Oxaliplatin: 85 mg/m2 IV pada hari 1
o 5-Fluorouracil: 400 mg/m2 IV bolus, diikuti dengan 600 mg/m2 IV continuous
infusion pada hari 1 dan 2
o Leucovorin: 200 mg/m2 IV pada hari 1 sebagai 2 jam infus sebelum 5-
fluorouracil
o Bevacizumab: 10 mg/kg IV setiap 2 minggu
o Mengulang siklus setiap 2 minggu
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi
ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolon setelah operasi.
Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan
meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Kemoterapi ajuvan tidak
berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes B. Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer
dapat memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki
2
respon setelah diberikan 5FU dan leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel
meliputi : Nd-YAG foto koagulasi laser dan self expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya, seperti gambar
dibawah ini:
Pertimbangan untuk melakukan terapi bedah dilakukan berdasarkan stadium kanker
pasien, seperti bagan bawah ini:
3
Tumor metastasis
Penentuan stadium
Tumor Dukes A dan B1 Tumor Dukes B2 dan C
Pembedahan radikalPembedahan radikal Pembedahan paliatif
Observasi Observasi
Kemoterapi
Percobaan klinis dengan terapi ajuvan
A C B
(sumber : Schein, 1997)
Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan, tetapi
rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus dilakukan. Tindakan
tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan pemeriksaan carciniembryogenik
antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada dengan interval 6 bulan. Kolonoskopi harus
diulangi dalam waktu 1 tahun untuk mendeteksi secara dini adanya pembentukan polip
dan, jika negatif selanjutnya harus diulangi dengan interval 3 tahun. Follow-up yang
lebih ketat diperlukan pada pasien dengan tumor yang timbul pada keadaan peradangan
usus (inflammatory bowel disease) atau sindroma poliposis herediter. Pada kasus
tersebut, harus diambil pertimbangan untuk melakukan kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan muskularis
dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil pertimbangan untuk
memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis terapi ajuvan. Pada saat ini, data
dari percobaan terkontrol tidak mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan
dengan 5-flourouracil (5-FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine (methyl-
CCNU [methyl-cyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).
C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap reseksi paliatif
tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan perforasi mungkin
ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan dengan kemoterapi. Walaupun
pemberian 5-FU secara intravena dengan jadwal setiap minggu atau tiap 5 hari
merupakan seni dalammemberikan pengobatan, penelitian sekarang masih dalam
perkembangan untuk mencari bentuk pengobatan yang lebih efektif baik dengan
kombinasi 5-FU dengan leucovorin dan/methotrexate, atau dengan memberikan infus
intravena setiap 2 minggu dengan cis-platinum. Bagi pasien dengan metastasis ke hepar,
pasien tertentu dengan nodul tumor tunggal mungkin merupakan calon untuk reseksi
hepar parsial yang dalam beberapa penelitian telah menyebabkan kemungkinan hidup
yang lama dan bebas dari penyakit pada 25% kasus. Selain itu, penggunaan infs 5-FU
atau 5-FUDR (5=fluorodeoxyuridine) ke dalam sirkulasi arteri hepatik telah dilaporkan
meningkatkan paliasi dalam beberapa serial, walaupun belum dibuktikan dapat
memperbaiki kemungkinan bertahan hidup dalam kontrol lengkap.
4
B. Terapi radiasi
Radioterapi merupakan modalitas standar bagi pasien dengan kanker rektum, tetapi
terbatas bagi kanker kolon. Terapi ini tidak mempunyai efek ajuvan maupun metastatik,
hanya sebagai terapi paliatif untuk metastasis tulang atau otak.
1. Simulator
Aplikasi teknologi digital dalam proses pencitraan sinar-x pada pemeriksaan radiologi,
umumnya dimanfaatkan untuk tujuan efisiensi faktor eksposi, sekaligus untuk meningkatkan
kualitas gambar radiografi. Kebutuhan akan citra radiografi yang berkualitas ternyata tidak
hanya dibutuhkan untuk proses keperluan diagnosis, akan tetapi juga dibutuhkan dalam
proses simulasi penyinaran pada perencanaan pengobatan radioterapi. Proses simulasi
penyinaran pada radioterapi menghasilkan salah satu output yang berupa citra radiografi (foto
terapi) yang dihasilkan oleh pesawat simulator Radioterapi.
Gambar 2.7 : Foto simulator rekti
Sumber : Dobbs dkk, 1992
Dalam radioterapi energi yang digunakan umumnya berkisar antara 50 KV sampai 10
MV, yang ditujukan untuk mematikan sel-sel ganas (kanker), namun dalam pelaksanaannya
tidak hanya sel-sel ganas yang terkena radiasi, tapi jaringan sehat sekitarnya juga akan ikut
terkena, Maka untuk meminimalisasi jaringan sehat sekitarnya dan memaksimalkan pada sel-
sel ganasnya diperlukan suatu perencanaan penyinaran yang tepat (treatment planning). Salah
satu tahapan penting dalam perencanaan penyinaran radioterapi adalah simulasi.
5
Proses pencitraan sinar-x pada pesawat simulator radioterapi, baik dalam bentuk
fluoroscopy maupun radiografi saat ini telah mulai dilengkapi dengan teknologi digital yang
disebut Digital Theraphy Imaging (DTI).
Simulasi penyinaran radioterapi pada dasamya adalah proses pencitraan sinar-x secara
fluoroskopi yang seolah-olah melakukan teknik penyinaran seperti dengan
pesawat treatment radioterapi yang sesungguhnya. Hal ini diperlukan agar teknik penyinaran
yang akan diberikan pada pasien benar-benar mencapai sasaran secara optimal dan akurat.
Dari proses simulasi ini didapatkan beberapa parameter untuk penyinaran, seperti; luas
lapangan penyinaran, sudut dan arah sumber penyinaran, blokade area yang harus dilindungi,
teknik penyinaran, jarak sentrasi dan sudut kolimasi
Hal-hal yang harus dimiliki sebagai syarat minimum dari pesawat simulator adalah;
memiliki gantry (C-arm) dengan x-ray tube dan Image Intensifier yang terpasang berhadapan
serta dapat diputar 360 derajat dari sumbunya, memiliki kolimator yang dapat diputar 360
derajat terhadap axis sentrasi, memiliki indikator penunjuk jarak Source Axis
Distance (SAD), memiliki meja pemeriksaan yang rata, dapat diatur naik-turun (vertical),
maju-mundur (longitudinal), digeser kiri-kanan (lateral) dan dapat diputar dari axis sejauh
360 derajat (rotation).
Prinsip dasar dari proses pencitraan dalam simulasi adalah; set-up posisi simulasi
(posisi pasien), lalu dilakukan fluoroskopi terhadap pasien pada perkiraan lokasi penyinaran.
Gambaran fluoroskopi diteruskan ke Image Intensifier, lalu keperangkat sirkuit elektronik
dan ditampilkan dimonitor fluoroscopy (cctv). Kemudian akuisisi posisi simulasi, dan
selanjutnya dilakukan eksposi radiografi yang menghasilkan foto simulator (foto terapi).
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan didalam pembuatan simulator untuk kanker
rektum adalah
a. Luas lapangan radiasi meliputi tumor bed dengan jarak ke tepi 2-5 cm, Presacral
nodes dan internal iliac nodes. Untuk stadium T4 external nodes harus masuk. Juga inguinal
nodes pada tumor yang telah menyebar sampai ujung anus.
b. Lapangan radiasi menggunakan tehnik 3 atau 4 lapangan.
c. Untuk pasien pasca operasi, luka bekas operasian harus dimasukkan kedalam lapangan
penyinaran
6
Gambar 2.8 : Lapangan radiasi
2. Treatment Planning System (TPS)
Treatment Planning System atau dapat pula disebut dengan Sistim Perencanaan
Radiasi merupakan suatu proses yang sistematik dalam membuat rencana strategi terapi
radiasi. Meliputi sekumpulan instruksi dari prosedur radioterapi dan mengandung deskripsi
fisik, serta distribusi dosis berdasar pada informasigeometrik/topografi yang ada pada
pencitraan (imajing) agar terapi radiasi dapat diberikan secara tepat. TPS ini dalam
tampilannya bisa 2D bisa juga 3D. Tujuan sistem perencanaan radiasi 2D dan 3D adalah
untuk menyesuaikan dosis pada volume target dan mengurangi dosis untuk jaringan normal
atau organ beresiko yang ada disekitarnya, Hal ini meliputi :
a. Posisi pasien terapi.
b. Imobilisasi
c. Mengumpulkan data pencitraan pasien.
d. Menetapkan volume target dan organ-organ beresiko berdasarkan kumpulan data bentuk-
bentuk sinar yang didesain secara grafis dan orientasi sinar.
e. Bentuk lapangan yang dipilih menggunakan BEV.
f. Distribusi dosis 3 dimensi.
g. Kalkulasi menggunakan algoritma tiga dimensi dan perbandingan informasi yang didapat
dari Histogram Dosis Volume (DHV)
TPS terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:
a. Hardware. Komponen hardware terdiri dari CPU, High resolution graphics, mass storage
(hard disc), disks/CD-ROM, keyboard & mouse, high resolution graphics monitor, digitizer,
laser/color printer, backup storage facility, network connections.
7
b. Software. Komponen software terdiri dari: Input routines, Bentuk dari anatomi, beam
geometry (virtual simulation), kalkulasi dosis, dosis volume histogram, digital recontruction
radiographic.
c. Image Acquisition.
Ada 2 faktor yang sangat berperan pada pembuatan TPS antara lain:
a. Simulasi atau lokalisasi daerah radiasi
Pelaksanaan simulasi ini dilakukan di ruang simulator, di sini seolah-olah pasien
dilakukan radiasi. Untuk itu jarak sumber sinar ke kulit dan posisi pasien harus sama, baik itu
di ruang simulator maupun diruang sinar/linac.
b. CT.Planning/CT Simulator
CT.Scan/CT.Planning penting untuk perencanaan terapi dan merupakan kebutuhan
utama data imajing untuk 3Dimention Radiation Therapy Treatment Planning (3D
RTTP/Perencanaan Terapi Tiga Dimensi). Perencanaan CT Scan ádalah melokalisasi tumor
dengan jumlah irisan yang sangat banyak dan ketebalan 2–10 mm. Semakin tipis irisan maka
jumlah irisan akan semakin banyak dengan demikian kualitas pencitraan dapat meningkat.
Rincian bentuk tumor dan ukuran untuk GTV, struktur organ kritis dan CTV, PTV
dilakukan oleh staf perencanaan terapi dan ahli onkologi radiasi. Struktur–struktur ditandai
secara manual menggunakan sebuah mouse atau bentuk lain dari digitizer. Beberapa struktur
dengan batasan yang jelas misalnya kulit dapat terkontur secara otomatis. Jika menggunakan
piranti lunak yang modern maka pemberian tanda (kontur) membutuhkan waktu sekitar 1–2
jam untuk sebuah seri perencanaan terapi tiga dimensi secara lengkap.
Desain susunan sinar adalah langkah berikutnya dalam proses perencanaan terapi
setelah CTV ditetapkan. Untuk perencanaan tiga dimensi, sistim 3D RTTP harus memiliki
kemampuan untuk menstimulasikan masing–masing fungsi gerak dari peralatan mesin
termasuk panjang, lebar, lebar kolimator, sudut gantri, sudut permukaan meja dan gerak meja
ke lateral, longitudinal serta naik turunnya meja penyinaran
a. Beam’s Eye View Display
Menggunakan BEV maka dipilih arah sinar. Bentuk dan ukuran berkas sinar yang
sesuai dengan bentuk dan ukuran tumor serta perlu tidaknya pelindung/shielding. Pemilihan
tersebut berdasar pada tujuan sasaran. Misalnya PTV yang homogen dengan keakuratan 5 %
dari dosis total 60 Gy dan pada saat yang sama dosis sinar pada jaringan kritis seperti ginjal
8
tidak lebih dari 20 Gy pada 50 % volumenya, dan tidak melebihi 40 Gy untuk medula
spinalis.
b. Room View Display
Room View Display melengkapi BEV secara signifikan dalam fase desain sinar dari
perencanaan terapi, khususnya dalam menempatkan kedalaman isosenter sinar dan
memungkinkan tampilan sinar yang dipilih untuk tehnik membentuk terapi secara lebih baik,
juga untuk melihat volume isodosis tiga dimensi. Room View Displaymensimulasikan setiap
lokasi pandang berdasar opini atau pendapat dalam ruang terapi.
c. Digitally Recontructed Radiograph (DRR), DRR adalah radiographi yang dikontruksi
secara digital untuk memproyeksikan gambar yang dihasilkan komputer dan diperoleh
dengan melalui sinar – sinar divergen secara matematis melalui suatu kumpulan data CT.
Metode kalkulasi dosis secara tradisional didasarkan pada parameter distribusi dosis
yang diukur dalam Water Phantomdalam kondisi dibawah standar tertentu. Dengan adanya
beberapa faktor koreksi:
1. Permukaan kontur tidak rata
2. Kemiringan oblique dari jaringan
3. Heterogenitas jaringan
4. Modifikasi sinar seperti: blok, wedge dan kompensator.
Homogenitas, Distribusi dosis pada target volume disebut homogen bila perbedaan
antara dosis maksimum dan minimum tidak lebih dari 12 % , bentuk kurva isodosis pada
daerah sasaran menunjukan gambaran yang merata. Energi radiasi juga sangat berperan
dalam proses perencanaan radiasi terutama pada distribusi dosis. Bila energi yang dipilih
tepat maka hasil kurva isodosis akan homogen. Sudut penyinaran yang dibentuk oleh sinar
dari arah 00, 900, 2700, 1800 atau diantara 00 – 900, 900 – 1800, atau 00 – 2700, atau 2700 - 1800
terhadap tubuh pasien. Pada TPS menggunakan sudut untuk arah sinar adalah sangat
membantu dalam menghindari organ kritis atau mengurangi dosis pada organ kritis. Wedge
terbuat dari Pb bentuknya persegi panjang dengan bagian yang tebal akan meneruskan sinar
dengan intenditas yang berkurang dibanding dengan bagian lain yang lebih tipis. Kegunaan
wedge untuk menghindarkan hot spotatau kelebihan dosis disuatu tempat didaerah radiasi.
Pada pesawat linac yang sekarang ini sudah dilengkapi dengan wedge yang terpasang dalam
gantry pesawat tersebut dengan ukuran antara 20 – 590. Bolus terbuat dari parafin, yang
mempunyai daya serap radiasi sama dengan jaringan lunak tubuh manusia. Fungsi dari bolus
itu sendiri adalah untuk kompensator distribusi dosis misalnya apabila diperlukan untuk
9
menaikan dosis dikulit atau dipermukaan. Dapat mengurangi dosis di paru pada pemakaian
energi tinggi elektron misalnya 9–12 Mev.
Gambar 2.9. Gambar distribusi dosis kanker rekti dengan pasien prone
Sumber : Dobbs, 1992
3. Penyinaran
Setelah tahapan simulasi dan treatment plnning system(TPS) tahap selanjutnyanya
adalah penyinaran. Didalam penyinaran ini hal-hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa
posisi pasien, parameter-parameter penyinaran serta alat bantu yang digunakan harus sama
dengan hasil simulator. Dosis yang diberikan didalam penyinaran kanker rektum menurut
panduan dari NCCN adalah sebagai berikut :.
a. 45 – 50 Gy dalam 25 – 28 fraksi pada pelvis
b. Untuk kanker-kanker yang resectable, setelah 45 Gy. Pada tumor yang belum dioperasi
ditambah 5,4 Gy dalam 3 fraksi, sedang pada tumor yang sudah dioperasi ditambah 5,4 – 9
Gy dalam 3-5 fraksi.
c. Dosis usus kecil harus kurang dari 45 Gy.
d. Jika dimungkinkan ditambah dengan booster sinar dalam, jika tidak dimungkinkan ditambah
dosis sebesar 10 – 20 Gy radiasi eksterna. Jika tumor sudah dilakukan pembedahan diberikan
kemoterapi adjuvant.
e. Untuk kanker-kanker yang unresectable diberikan dosis lebih tinggi dari 54 Gy.
f. Kemoterapi dengan 5-fluorouracil bisa diberikan berbarengan dengan radiasi
10
Daftar Pustaka
Schein, Philips. 1997. Onkologi Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan. Binarupa
Aksara : Jakarta.
Zaanan A, et al. Defective Mismatch Repair status as a prognostic biomarker of
disease-free survival in stage III colon cancer patients treated with adjuvant FOLFOX
chemotherapy.ClinCancerRes.2011.
National Comprehensive Cancer Network, http://www.nccn.org/index.asp . diunduh
tanggal 04 November 2012
11