sinopsis buku

9
SINOPSIS BUKU Judul buku : MĚDANG BHŪMI MATARĀM, HEGEMONI KEKUASAAN DAN PERADABAN PARA RAJAKULA Penulis : Zainollah Ahmad, S.Pd Tema : Sejarah Indonesia Tahun : 2016 Halaman : 292 halaman (kertas A4) Dilengkapi : Gambar (foto) dan tabel Mencermati kerajaan Mataram Kuna atau penulis menyebutnya dengan Mědang Bhūmi Matarām, sebenarnya merupakan aset literasi yang sangat menarik. Karena peradaban kita yang dimanifestasikan oleh peradaban Jawa di mana kerajaan ini muncul, telah tercipta lebih dari seribu tahun yang lalu. Hingga sekarang warisan peradaban itu masih menjadi “pride” bagi kita semua khususnya di mata dunia. Pada substansinya buku ini mengupas tentang kerajaan tersebut dari sisi kekuasaan politik dan peradaban (civilization) atau dalam konteks kebudayaan (culture). Sementara, dalam perkembangan sejarah modern, banyak terjadi perubahan yang memungkinkan adanya tafsir baru mengenai beberapa inskripsi warisan dari kerajaan ini. Termasuk sumber penemuan mutakhir yang terkait peninggalannya yang masih bermunculan. Pada Bab I (Pendahuluan), dipaparkan tentang peradaban klasik yang merupakan pintu masuk pada pembabakan sejarah

Upload: solihin-mochamad

Post on 10-Jul-2016

16 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sinopsis Buku

SINOPSIS BUKU

Judul buku : MĚDANG BHŪMI MATARĀM, HEGEMONI KEKUASAAN DAN

PERADABAN PARA RAJAKULA

Penulis : Zainollah Ahmad, S.Pd

Tema : Sejarah Indonesia

Tahun : 2016

Halaman : 292 halaman (kertas A4)

Dilengkapi : Gambar (foto) dan tabel

Mencermati kerajaan Mataram Kuna atau penulis menyebutnya dengan Mědang

Bhūmi Matarām, sebenarnya merupakan aset literasi yang sangat menarik. Karena

peradaban kita yang dimanifestasikan oleh peradaban Jawa di mana kerajaan ini muncul,

telah tercipta lebih dari seribu tahun yang lalu. Hingga sekarang warisan peradaban itu

masih menjadi “pride” bagi kita semua khususnya di mata dunia.

Pada substansinya buku ini mengupas tentang kerajaan tersebut dari sisi kekuasaan

politik dan peradaban (civilization) atau dalam konteks kebudayaan (culture).

Sementara, dalam perkembangan sejarah modern, banyak terjadi perubahan yang

memungkinkan adanya tafsir baru mengenai beberapa inskripsi warisan dari kerajaan ini.

Termasuk sumber penemuan mutakhir yang terkait peninggalannya yang masih

bermunculan.

Pada Bab I (Pendahuluan), dipaparkan tentang peradaban klasik yang merupakan

pintu masuk pada pembabakan sejarah peradaban dan kekuasaan monarki di Indonesia,

karena sebelum memasuki pada sejarah Mědang Bhūmi Matarām, bagian ini merupakan

proses berkembangan awal peradaban Hindu Buddha. Anasir-anasir penting seperti huruf

Pallawa, bahasa Sanskerta pada inskripsi, candi dan petirthaan serta naskah kuna

merupakan bagian tak terpisahkan dari peradaban yang dibahas cukup jelas dalam bab ini

beserta sumbernya.

Konsep tentang peradaban klasik memang tidak bisa dilepaskan dari proses

“Indianisasi”, meskipun banyak menimbulkan polemik. Beberapa sarjana bahkan

berbeda pendapat, manakala membahas pada konsep peradaban ini.

Contoh kecil mengenai perbedaan konsep bisa dilihat pada teori Nicolaus

Ptolemaeus tentang istilah “kota perak” atau Argyre Chora serta Iabadiou –yang

Page 2: Sinopsis Buku

dikonotasikan dengan Pulau Jawa - dikomparasikan pada naskah Sunda Rajya-Rajya I

Bhumi Nusantara.

Sejarah peradaban (baca : Jawa) dalam konteks “Indianisasi” tidak bisa dipisahkan

dari mitos, karena mitos dengan sejarah bisa diibaratkan dua sisi mata uang (Bab II).

Seperti halnya peradaban kerajaan Mědang Bhūmi Matarām yang dimulai pada sekitar

abad VIII tetap mengacu pada simbol-simbol tentang supremasi para dewa, tempat suci

dan yang lainnya yang masih bagian penting dari “Indianisasi”, yang selalu identik

dengan pemitosan.

Dalam buku ini penulis mencoba “menyelundupkan” tentang konsep peradaban

dan mitos yang pada galibnya tidak bisa dipisahkan dari karakter dan mind-set

masyarakat Jawa mulai dulu hingga sekarang. Misalnya penulis menarik link dari era

Mědang Bhūmi Matarām ke era Majapahit dengan ‘setting’ naskah Tantu Panggélaran,

di mana naskah ini lahir. Karena era klasik yang menjadi “tempus delicti” kerajaan ini

merupakan out put peradaban dari tanah Mahameru di Jambhudwipa (India)

sebagaimana naskah kuno tersebut. Secara mitos simbolik, kerajaan Mědang Bhūmi

Matarām sangat berhubungan dengan Tantu Panggělaran, walau secara historis tidak ada

korelasinya.

Begitu juga tentang mitos Aji Ṡaka ikut dikupas sebagai bentuk legitimasi pada

peradaban Jawa Hindu, selain karena setting cerita Aji Saka adalah kerajaan Mědang

Kamūlan, maka diidentikkan dengan Mědang Bhūmi Matarām. Prof. Agus Aris

Munandar mengatakan bahwa Aji Ṡaka adalah tokoh metafora dan merupakan simbol

dari peradaban “Indianisasi” itu sendiri.

Pada bab IV yang membahas tentang pemerintahan monarki di Indonesia mulai

Kutai Kuna, Tarumanegara, Holing dan Kanjuruhan, yang mengupas teori dari para

sejarawan. Misalnya tentang perdebatan berkisar kepindahan kerajaan Holing ke wilayah

timur oleh raja Ki-yen menurut kronik Cina dari dinasti T’ang.

Penulis juga menemukan sumber data dan fakta empiris serta hipotesis para sejarawan

yang terlibat dalam pembahasan kerajaan Pa-lu-ka-si atau Ba-ru-ya-si yang diperkirakan

pernah muncul di wilayah Jember. Sehingga ada keberanian untuk mengembangkan

interpretasi berdasarkan fakta-fakta dan sumber sejarah misalnya keberadaan arca

Buddha Amarawati di Jember (Kutha Blater) dan pernik arca Buddha dari perak di Puger

(hal. 38 – 56). Tetapi pada konteksnya kekuasaan pertama di Jawa Timur dengan teori

Page 3: Sinopsis Buku

mainstream tetap menyebutkan berada di Kanjuruhan Malang sebagai penerus Ho-ling di

Jawa Tengah.

Pembahasan tentang rajakula kerajaan Mědang Bhūmi Matarām dimulai dengan

Rakai Matarām Sang Ratu Sañjaya. Eksistensi raja itu diulas dalam interpretasi para ahli

seperti Coeděs, Chhabra, Casparis dan Krom, yang membedah inskripsi terkait dengan

Rakai Sanjaya sebagai pendiri Mataram. Maka lalu melahirkan kontroversi beragam,

tetapi hakekatnya berada pada pijakan sumber yang mereka akui valid (hal. 65).

Selanjutnya, disebutkan tentang raja kedua Rakai Panangkaran atau Sangkhara

sebagai pengganti Sanjaya, yang disebut “pembangkang” karena murtad dari agama

nenek moyang (Hindu) dengan beralih ke Buddha, ia takut pada guru spiritualnya

(anrṭagurubhayus). Panangkaran juga dikaitkan sebagai pendiri beberapa bangunan

Buddha termasuk Abhayagiriwihara atau Candi Ratu Baka. Nama Panangkaran ini

menjadi sesuatu kajian menarik karena namanya ternyata tercatat juga sebagai Rahyang

Panaraban dalam naskah Sunda Carita Parahyangan.

Penulis menitikberatkan konten buku pada kajian inskripsi, di mana keterangan

para ahli menempati bagian terpenting dalam membeber teorinya. Suatu misal tentang

prasasti Kalasan yang terhubung dengan muasal rajakula Syailendra yang dibahas

Poerbatjaraka, Krom, Vogel, Bosch dan van Naerssen. Keterangan para ahli ini

setidaknya bisa menjungkirbalikkan teori baku tentang rajakula tersebut selama ini,

terutama pangkal persaingan antara Sañjaya dan Ṡyailendra. Di mana justru sejarawan

Nugroho Notosusanto dan Marwati D. Pusponegoro me-negasi-kan keberadaan rajakula

Sañjaya ini (hal, 79), karena tidak disebutkan dalam prasasti manapun. Tidak berhenti di

situ, kembali polemik para ahli menyikapi raja Dharanindra yang sangat kontroversi

terkait gelar “penumpas musuh-musuh perwira” sebagaimana isi prasasti Ligor B, raja ini

juga dianggap sebagi rival tangguh kerajaan Sriwijaya.

Lalu pada Bab IV cukup panjang mendeskripsikan masa pemerintahan para raja

seperti Panunggalan, Warak, Garung, Pikatan Jatiningrat sampai Wawa. Memuat tentang

kontroversi yang disajikan lewat ranah perdebatan para ahli yang menelisik sosok demi

sosok penguasa tersebut. Misalnya tentang Rakai Garung yang disamakan dengan

Samarattungga yang selama ini dikenal sebagai pendiri Candi Borobudur. Rakai Patapan

Pu Palār juga dikupas sebagai tokoh penting yang diidentifikasi salah satu atau dua nama

penguasa rajakula tersebut.

Page 4: Sinopsis Buku

Tentang nama Pramodawarddhani, puteri yang silsilahnya diperdebatkan sebagai Ṡri

Kahulunan menjadi sumber pertikaian antara Rakai Pikatan dengan Balaputradewa yang

lari dan menjadi raja Sriwijaya. Sehingga para ahli beragam dalam penafsiran tentang

siapa rival Rakai Pikatan yang disebutkan dalam sumber mainstream sebagai

Balaputradewa ? Ternyata ada Rakai Walaing Pu Kumbhayoni yang dijustifikasi sebagai

musuh Rakai Pikatan (hal.107).

Peristiwa penting juga dipaparkan pada masa Rakai Kayuwangi seperti skandal

penculikan dalam keluarga kerajaan dalam peristiwa Wuatan Tija (hal.109).

Penggantinya, Rakai Balitung yang merupakan raja terbesar mengangkat peradaban

kerajaan di Jawa Tengah dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan). Selain

itu kekuasaannya disebut sampai wilayah Jawa Timur dan Bantan (Bali) berdasarkan

prasasti Kubu-Kubu (hal. 15).

Dalam penulisan, hasil kajian prasasti dari para ahli menjadi andalan utama dalam

mengungkap kekuasaan dan peradaban kerajaan Mědang Bhūmi Matarām. Buku ini

menampilkan seluruh prasasti pada masanya, utamanya dalam memotret peradaban baik

pranata politik pemerintahan, ekonomi, hukum, dan sosial budaya dan sebagainya.

Sehingga keunikan dari beberapa prasasti seperti tentang kasus hukum kewarganegaraan

Sang Dhanadi dalam prasasti Warudu Kidul, sengketa antara penduduk Himad dan

Walandit di daerah Tengger dan kasus prasasti tinulad yang muncul di era Majapahit

Pada Bab V, pembahasan peradaban dengan deskripsi khusus para raja yang

berhubungan dengan pembangunan candi agung yaitu Borobudur dan Prambanan.

Seperti Pramodawarddhani, Balitung, Pikatan dan Samaratungga. Keterangan-keterangan

para pakar baik Indonesia dan asing memberikan legitimasi penguatan pada sumber-

sumber yang mendasarinya. Warisan peradaban seperti candi memang tidak semuanya

dibahas, namun dibuatkan tabel agar dapat diketahui semua.

Periode Jawa Timur pada Bab VI, pada masa Pu Siṇḍok melakukan eksodus akibat

erupsi Gunung Merapi menurut teori van Bemmelen, tetapi Casparis, Schrieke dan

sarjana lainnya menolak teori ini (hal. 149). Kerajaan periode Jawa Timur kemudian

runtuh dihempas Pralaya tahun 1017 M di mana Dharmmawangṣa tewas dan

keluarganya. Yang menjadi ciri khas dari periode Jawa Timur adalah perpindahan

kerajaan di Pohpitu, Tamwlang dan Watugaluh pada masa Pu Siṇḍok.

Pada bagian bab akhir (VII) dideskripsikan beragam pranata peradaban khususnya

birokrasi politik pemerintahan, yang ternyata masa itu telah mengenal para birokrat

Page 5: Sinopsis Buku

seperti petugas pajak (mangilāla drawya haji), para pejabat ahli yang terlibat sistem

birokrasi kekuasaan seperti pangkur, tawan, dan tirip. Selain itu ada juga banyak istilah

jabatan tinggi seperti hino, halu, sirikan, dan wka, di bawahnya seperti pamgat, samgat,

makudur, wadihati, haji dan samya haji. Juga disebutkan peran penting juru tulis atau

citralekha. Kemudian pembagian wilayah yang dengan watak, wanua dan sima

menunjukkan bahwa system pemerintahan telah terstruktur dengan baik (hal. 180 – 196).

Pada Bab VIII mengupas tentang sistem ketatanegaraan kuna yang terkait landasan

kosmogonis dan kosmologis kerajaan yang mengacu pada sistem Hinduisme di mana

Mahameru sebagai puncak tertinggi. Perlambang-perlambang seperti lokapala (delapan

penjuru angin/astadikpalaka) ternyata masih mengacu pada sistem ketatanegaraan

Kautilya Arthasastra dari India.

Di bidang hukum, pada masa kerajaan Mědang Bhūmi Matarām tidak ada warisan

naskah kitab hukum, sehingga deskripsi administrasi kehakiman hanya dapat disajikan

oleh beberapa prasasti yang merupakan keputusan peradilan (jayapātra) dan keterangan

tentang sukha duhkha yang terdapat dalam prasasti-prasasti lain (hal. 211). Tetapi ada 18

(astadasawyawahara) perbuatan yang bisa dijerat dengan tindak pidana (hal. 212).

Sebagai impelementasi penegakan hukum, ada dua macam yaitu sanksi dan kutukan.

Sedangkan di bidang ekonomi, bidang terpenting adalah pertanian dengan

pengelolaan sistem pengairan seperti saluran air (tamwak), bendungan dan sebagainya.

Kala itu ada istilah anak thani, hulu wras, matamwak, hulu air yang berkaitan dengan

dunia pertanian.

Di bidang moneter, kajian sistem ini dilakukan oleh Wick (1992) dan Christie

(1996/1998). Mereka berpendapat bahwa sistem moneter telah dikenal di Jawa sejak

awal IX. Istilah Sanskerta yang digunakan untuk menyebut satuan mata uang yang

mengindikasikan pengaruh India. Di bidang perdagangan, prasasti bahasa Melayu

menyebut nama Dang Puhawang Glis (nakhoda kapal dagang), sehingga sudah terjadi

kontak perdagangan dan pemukiman niagawan di Jawa Kuna.

Dalam pranata sosial budaya, ada pembagian masyarakat ke dalam lapisan-lapisan

sosial menurut tradisi Hindu (caturwarna). Ada kecenderungan untuk menciptakan

pelapisan tambahan yang khusus dibuat bagi anggota masyarakat dari golongan rendah

(kujanmatraya) yang dikenal dengan chanḍāla, mleccha dan tuccha (hal. 229).

Page 6: Sinopsis Buku