sindrom hellp
DESCRIPTION
obgynTRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Preeklampsia berat (PEB) dan eklampsia masih merupakan salah satu penyebab
utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Mereka diklasifikasikan
kedalam penyakit hipertensi yang disebabkan karena kehamilan. PEB ditandai oleh
adanya hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif. Sedangkan
eklampsia ditandai oleh adanya koma dan/atau kejang di samping ketiga tanda khas
PEB.1 Preeklampsia-Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara
langsung disebabkan oleh kehamilan. Pre-eklampsia adalah hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi.
Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklampsia yang disusul dengan
koma. Kejang disini bukan akibat kelainan neurologis. Hemolisis, kelainan tes fungsi
hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama dikenal sebagai komplikasi
dari preeklampsi-eklampsia.
Sindrom HELLP merupakan kumpulan tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL
untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelets. Sindrom HELLP juga
merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa dan berpotensi mempersulit
kehamilan. Sindrom HELLP dulu dikenal sebagai edema – proteinuria-hipertensi
1
pada awal abad ke 20 dan kemudian berganti nama pada tahun 1982 oleh Louis
Weinstein.1,2,3
Kejadian sindrom HELLP pada saat kehamilan (70%) paling sering terjadi pada umur
kehamilan 27 – 35 minggu (70%) dan 30% terjadi pasca persalinan. Timbulnya
sindrom HELLP pada kehamilan memiliki risiko yang tinggi pada maternal dan
perinatal. Dilaporkan kematian maternal sebesar 24% dan kematian perinatal berkisar
30-40%. Sindrom HELLP secara signifikan terbanyak pada wanita berkulit putih dan
wanita keturunan eropa. Sindrom HELLP telah terbukti terjadi pada kelompok usia
ibu yang lebih tua, dengan usia rata-rata 25 tahun. Sebaliknya, preeklamsia paling
sering terjadi pada pasien yang lebih muda (usia rata-rata, 19 tahun). 2,3
Penanganan sindrom HELLP masih kontroversial antara perawatan konservatif atau
pengakhiran kehamilan yang jauh dari aterm. Sindrom HELLP merupakan
komplikasi yang berat dari kehamilan yang akan meningkatakan morbiditas dan
mortalitas ibu dan perinatal. Penggunaan steroid diduga akan meningkatkan angka
hematologi dan nilai biokimia pada penderita sindrom HELLP yang akan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pada penderita sindrom HELLP.1,2,3
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Preeklamsia berat adalah preeklamsia dengan tekanan darah sistolik ≥160mmHg
dan tekanan darah sistolik ≥110 mmHg disertai dengan proteinuria lebih
5g/24jam.2 Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsi, yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma.2
Sindrom HELLP adalah komplikasi dari preeklampsia yang merupakan kumpulan
tanda dan gejala : H untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP
untuk Low Platelets atau:
- Hemolisis (penghancuran sel darah merah)
- Peningkatan enzim hati (yang menunjukkan adanya kerusakan hati)
- Penurunan jumlah trombosit
2.2 Etiologi dan Patogenesis
Preeklamsia – eklamsia
Sampai saat ini belum diketahui etiologi dari preeklampsia, hanya ada beberapa
teori mengenai penyebab dari preeklampsia, antara lain :
3
Teori kelainan vaskularisasi
Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
ke dalam lapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arterialis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Hal ini
memberi dampak penururnan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat sehingga dapat
menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Pada hipertensi dalam kehamilan
tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan
matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan
vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokontriksi, sehingga
aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(radikal bebas).Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran sel
endotel pembuluh darah. Radikal ini akan merusak membran sel yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.
4
Peroksida lemak selain dapat merusak membran sel, juga akan merusak nukleus
dan protein sel endotel. Jika sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak maka
akan terjadi disfungsi endotel, yang akan berakibat:
- Gangguan metabolisme prostaglandin
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
- Agregasi trombosit memproduksi tromboksan suatu vasokonstriktor kuat.
Pada hipertensi kehamilan kadar tromboksan lebih tinggi sehingga terjadi
vasokontriksi, dan terjadi kenaikan tekanan darah
- Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus
- Peningkatan permeabilitas kapilar
- Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin
- Peningkatan faktor koagulasi
- HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel NK
ibu, sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta).
- HLA-G mempermudah invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu.
- Nulipara.
- Usia ibu pada saat hamil <20 tahun atau >35 tahun.
- Riwayat keluarga preeklampsia
- Konsumsi asam lemak jenuh
- Merokok
- Konsumsi alkohol
- Penyakit metabolik seperti DM
5
- Hipertensi kronik
- Kehamilan multipel
Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin
Pada perempuan hamil normal, terdapat Human Leucocyte Antigen Protein
G (HLA-G). Namun, pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi
penurunan ekspresi HLA-G. Penurunan HLA-G akan menghambat invasi
trofoblas ke dalam desidua. Padahal Invasi trofoblas penting agar jaringan
desidua lunak dan gembur sehingga memudahkan dilatasi arteri spiralis.
Teori Adaptasi Kardiovaskuler
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan vasopressor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan
vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokontriksi. Terjadinya refrakter pembuluh darah karena
adanya sintesis PG pada sel endotel pembuluh darah. Akan tetapi, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokonstriktor dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan vasopresor.
6
Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familiar dengan model gen tunggal. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuan akan
mengalami preeklampsia pula dan 8% anak menantu mengalami preeklampsia.
Teori Defisiensi Gizi
Beberapa hasil penetilian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi
berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti defisiensi kalsium
pada wanita hamil dapat mengakibatkan risiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia.
Teori Stimulus Inflamasi
Pada kehamilan normal plasenta akan melepkaskan debris trofoblas, sebagai sisa
proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-
bahan ini selanjutnya akan merangsang proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga
masih dalam batas normal. Hal tersebut berbeda dengan proses apoptosis pada
preeklampsia, dimana terjadi peningkatan stress oksidatif à ↑ produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas. Sehingga menjadi bebas reaksi inflamasi dalam
darah ibu sampai menimbulkan gejala-gejala preeklampsia padai ibu.
7
Vasokonstriksi merupakan dasar patogenesis preeklampsia-eklampsia.
Vasokonstriksi menimbulkan peningkatan total perifer resisten dan menimbulkan
hipertensi. Adanya vasokonstriksi juga akan menimbulkan hipoksia pada endotel
setempat, sehingga terjadi kerusakan endotel, kebocoran arteriole disertai disertai
perdarahan mikro pada tempat endotel. Adanya vasokonstriksi arteri spiralis akan
menyebabkan terjadinya penurunan perfusi uteroplasenter yang selanjutnya akan
menimbulkan maladaptasi plasenta. Hipoksia/ anoksia jaringan merupakan
sumber reaksi hiperoksidase lemak, sedangkan proses hiperoksidasi itu sendiri
memerlukan peningkatan konsumsi oksigen, sehingga dengan demikian akan
mengganggu metabolisme di dalam sel. Peroksidase lemak adalah hasil proses
oksidase lemak tak jenuh yang menghasilkan hiperoksidase lemak jenuh.
Peroksidase lemak merupakan radikal bebas. Apabila keseimbangan antara
peroksidase terganggu, dimana peroksidase dan oksidan lebih dominan, maka
akan timbul keadaan yang disebut stess oksidatif. Pada preeklampsia-eklampsia
serum anti oksidan kadarnya menurun dan plasenta menjadi sumber terjadinya
peroksidase lemak. Sedangkan pada wanita hamil normal, serumnya
mengandung transferin, ion tembaga dan sulfhidril yang berperan sebagai
antioksidan yang cukup kuat. Peroksidase lemak beredar dalam aliran darah
melalui ikatan lipoprotein. Peroksidase lemak ini akan sampai kesemua
komponen sel yang dilewati termasuk sel-sel endotel yang akan mengakibatkan
rusaknya sel-sel endotel tersebut. Rusaknya sel-sel endotel tersebut akan
mengakibatkan antara lain :
8
1. adhesi dan agregasi trombosit.
2. gangguan permeabilitas lapisan endotel terhadap plasma.
3. terlepasnya enzim lisosom, tromboksan dan serotonin sebagai akibat dari
rusaknya trombosit.
4. produksi prostasiklin terhenti.
5. terganggunya keseimbangan prostasiklin dan tromboksan.
6. terjadi hipoksia plasenta akibat konsumsi oksigen oleh peroksidase
lemak
Sindrom HELLP
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada
penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya.
Sindrom ini merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel
mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler; akibatnya terjadi
vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan
endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemia hemolitik mikroangiopati
merupakan tanda khas.1,2,3,4
Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi
ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells.1,2,3,4
9
Pada sindrom HELLP terjadi perubahan pada hati sehingga terjadi peningkatan
kadar enzim hati. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat
obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid Pada gambaran
histopatologisnya terlihat nekrosis parenkim periportal atau fokal yang disertai
dengan deposit hialin dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid.
Adanya mikrotrombus dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan
obstruksi aliran darah di hepar yang merupakan dasar terjadinya peningkatan
enzim hepar dan terdapatnya nyeri perut kuadran kanan atas. Gambaran nekrosis
seluler dan perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat
dijumpai adanya pendarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur
hepar.
Penurunan jumlah trombosit pada sindrom HELLP disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi dan destruksi trombosit. Meningkatnya konsumsi
trombosit terjadi karena agregasi trombosit yang diakibatkan karena kerusakan
sel endotel, penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun
peningkatan jumlah radikal bebas.
2.3 Faktor Resiko
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi (Tabel 1). pasien
sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun)
10
dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur
19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit putih dan multipara.. 1,2,3,4,5
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul pada
umur kehamilan <27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69% pasiendan pada
masa postpartum sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas,dalam
waktu 48 jam pertama post partum. 1,4,5
Sindrom HELLP Pre – eklampsi
Multipara
Usia ibu >25 tahun
Ras kulit putih
Riwayat Obstetri Jelek
Nullipara
Usia ibu < 20 tahun atau >40 tahun
Riwayat keluarga pre – eklampsi
ANC yang minimal
Diabetes Melitus
Hipertensi Kronik
Kehamilan Multipel
Tabel 1. Faktor Resiko Sindrom HELLP 5
2.4 Manifestasi Klinis
11
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat
bervariasi, dari yang bernilai daignostik sampai semua gejala dan tanda pada
pasien preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita sindrom HELLP.
Pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas
(90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lain bergejala seperti
infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama
beberapa hari sebelum tanda lain. Mual dan atau muntah dan nyeri epigastrium
diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh
deposit fibrin intravaskuler. Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan
berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang penting adalah
bahwa hipertensi berat (sistolik160 mmHg, diastolik 110 mmHg) tidak selalu
ditemukan. 2,4,5
2.5 Diagnosis
Kriteria diagnosis sindrom HELLP berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
antara lain kelasifikasi Mississippi dan Tennessee. Bila dikombinasikan kedua
klasifikasi ini maka kelas 1 termasuk kelompok sindrom HELLP komplit
sedangkan kelas 2 dan 3 merupakan sindrom HELLP parsial. 2
Sistem Mississippi Sistem Tennessee
- Kelas 1 Trombosit ≤ 50 K/mm3 Sindrom Komplit:
12
- Kelas 2 Trombosit > 50 - ≤100
K/mm3
- Kelas 3 Trombosit >100 - ≤ 150
K/mm3
- Hemolisis (gambaran sel abnormal)
- AST ≥ 70 IU/L
- Platelet < 100 K/mm3
- LDH ≥ 600 IU/L
- AST dan atau ALT ≥ 40IU/L
- Hemolisis (gambaran sel abnormal)
Sindrom Parsial:
Terdapat satu atau dua tanda diatas
- LDH ≥ 600 IU/L
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Sindrom HELLP 2
2.6 Penatalaksanaan 3,4
a. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip
dengan sindrom HELLP
b. Pengobatan sindrom HELLP juga harus memperhatikan cara-cara perawatan
dan pengobatan pada preeklampsia dan eklampsia
c. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi
vasospasme dan kerusakan sel endotel.
d. Bila akan dilakukan section caesarea dan bila trombosit < 50.000/cc, maka
perlu diberikan transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/cc, dan akan
dilakukan section caesarea maka perlu diberi transfusi darah segar
e. Dapat pula diberikan “plasma exchange” dengan “fresh frozen plasma”
dengan tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.
13
f. Pemberian double strength dexamethasone diberikan 10 mg IV tiap 12 jam
segera setelah diagnosis sindrom HELLP ditegakkan. Kegunaan
pemberiannya yaitu untuk meningkatkan pematangan paru pada kehamilan
preterm dan dapat mempercepat perbaikan gejala klinis dan laboratoris.
g. Pada sindrom HELLP post partum diberikan dexamethasone 10 mg IV setiap
12 jam disusul pemberian 5 mg dexamethasone 2 kali dalam selang waktu 12
jam.
h. Perbaikan gejala klinik setelah pemberian dexamethasone dapat diketahui
dengan :
- Meningkatnya produksi urin
- Meningkatnya trombosit
- Menurunnya tekanan darah
- Menurunnya kadar LDH dan AST
i. Bila terjadi ruptur hepar, sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.
j. Sikap terhadap kehamilan pada sindrom HELLP, lahirkan bayi tanpa
memandang usia kehamilan.
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada
penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama
adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di
14
samping penggunaan MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak,
solusio plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah
diastolik 90 - 100 mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine
iv dalam dosis kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan
darah yang diinginkan tercapai. Labetalol dan nifedipin juga digunakan dan
memberikan hasil baik. Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan
MgSO4 diberikan bersamaan. Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga
tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes
tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin
terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan.
Amniosentesis dapat dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis
menganggap sindrom ini merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan
dengan seksio sesarea, namun yang lain merekomendasikan pendekatan lebih
konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin masih immatur.
Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di NICU
(Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom
gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam
literatur sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
15
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika
ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya,
maka terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium
adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk
akselerasi pematangan paru janin, dan kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun
kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu selama periode ini. Terapi
konservatif dengan istirahat dapat meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga
menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha ekspansi volume plasma ini akan
menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit. Thiagarajah meneliti bahwa
peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai dengan pemberian
prednison atau betametason.
Sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan istirahat mutlak dan penggunaan
kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10 hari, dan semua
persalinan melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah trombosit
lebih dari 100.000/mm3 atau mempunyai enzim hati yang normal. Penggunaan
kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan perbaikan hasil
laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12
mg/24 jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin
tapi juga menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason
16
mengalami penurunan aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-
rata (MAP) dan peningkatan produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti
hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi. Tanda vital dan produksi urine harus
dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika gejala nyeri kepala, mual,
muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil <160/110 mmHg
tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50 ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu
kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus
pervaginam. Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu
persalinan dapat dimulai dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk
pasien < 32 minggu serviks harus memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien
dengan serviks belum matang dan umur kehamilan < 32 minggu, seksio sesarea
elektif merupakan cara terbaik.
Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50
mg) intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan
pervaginam. Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena
risiko perdarahan di area ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio
sesarea. Pasien dengan nyeri bahu, syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG
atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya hematom subkapsular hati. Ruptur
hematom subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang
17
paling sering adalah ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi
ini biasanya ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam
sebelum kolaps sirkulasi. Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang
masif, kesulitan bernafas atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah
meninggal.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan
emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah
masif, koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta
laparatomi segera. Pilihan tindakan pada laparatomi meliputi : packing & draining,
ligasi segmen yang mengalami perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen
hati yang terkena dan atau penjahitan omentum atau penjahitan hati. Walaupun
dengan penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih dari 50% terutama karena
eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom gangguan
pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun
pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani
secara konservatif pada pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus
meliputi : pemantauan ketat keadaan hemodinamik dan koagulopati.
18
Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler,
penanganan segera bila terjadi ruptur atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting
dalam penanganan konservatif adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti :
palpasi abdomen, kejang atau muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien.
Peningkatan tekanan intraabdominal yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan ruptur
hematom subkapsular. Pasien harus ditangani di unit perawatan intensif (ICU) dengan
pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik dan cairan untuk
mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika
hitung trombosit < 20.000/mm3. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya
terjadi dengan cepat dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi
ketat di ICU paling sedikit 48 jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam
postpartum; beberapa, khususnya yang DIC, dapat terlambat membaik atau bahkan
memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan lebih intensif untuk beberapa
hari. Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam
penelitian 304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat
postpartum. Pada kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6
hari, sebagian besar dalam 48 jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%)
menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20 pasien (21%) tidak menderita
preeklampsi baik antepartum maupun postpartum. Penanganannya sama dengan
19
pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol
hipertensi harus lebih ketat.
20
ALGORITMA TATALAKSANA SINDROM HELLP 5
21
Kondisi pasien membaik
Kondisi pasien memburuk
Transfer pasien kefasilitas pusat perawatan tersier yang mempunyai NICU
Konsul pasien untuk mendapatkan pertolongan jika kehamilan dilanjutkan 2
minggu untuk kematangan paru janin
Pantau pasien di fasilitas pusat perawatan tersierTerminasi
Kondisi pasien stabil
Kondisi pasien memburuk
Pemberian Kortikosteroid
Terminasi Penanganan konservatif
Observasi respon klinik
Pemberian Kortikosteroid
Umur kehamilan< 34 minggu
Umur kehamilan 32 – 34 minggu
Umur kehamilan< 32 minggu
2.7 Komplikasi
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25%
berkomplikasi serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress
syndrome, kegagalan hepatorenal, udem paru, hematom subkapsular, dan ruptur
hati.4
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa
pertumbuhan janin terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan
pernafasan (RDS).4
22
BAB III
PENUTUP
Sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count)
merupakan suatu variasi dari preeklamsi berat yang disertai trombositopenia,
hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan
preeklampsi pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25
tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi tanpa sindrom HELLP.
Gambaran klinis Sindrom HELLP bervariasi. Oleh sebab itu diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan penunjang untuk mediagnosis Sindrom
HELLP. Pasien – pasien dengan factor resiko, diharapkan melakukan pemeriksaan
kehamilan (ANC) secara teratur.
Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip dengan
sindrom HELLP. Pengobatan sindrom HELLP juga harus memperhatikan cara-cara
perawatan dan pengobatan pada preeklampsia dan eklampsia.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Prawirohardjo, S. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. FK-UI. 2009 : 530-60
2. Jayakusuma A. Sindrom HELLP Parsial Pada Kehamilan Prematur. FK –
UNUD. 2005. 25 – 43
3. Angsar, M. Hipertensi Dalam Kehamilan Edisi II. FK-UNAIR. 2003: 10-19
4. Rambulangi J. Sindrom HELLP. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. FK Unhas.
2006. 24-8
5. Bailis A, Witter F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins
Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed. 2007
24