sindrom gawat nafas pada neonatus (1)
DESCRIPTION
RDSTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Sindrom Gawat Nafas pada Neonatus (SGNN) merupakan suatu
sindrom yang sering kita temukan pada neonatus (1,2). SGNN sesuai dengan
namanya merupakan suatu kegawatan yang dapat berakibat kematian atau
cacat fisik dan mental di masa depan (1).
Prevalensi SGNN sangat bervariasi. Menurut Farrel dan Avery (dikutip
Yu, 1986), Penyakit Membran Hialin (PMH) prevalensinya adalah 1 % dari
semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (1).
Prevalensinya akan meningkat bila prevalensi BBLR meningkat karena
sebagian besar SGNN itu disebabkan oleh PMH (1,2,3,4).
PMH terutama terjadi pada bayi prematur, jarang ditemukan pada bayi
aterm. Frekuensinya meningkat dengan makin pendeknya masa kehamilan (3,5).
Penyakit ini terjadi pada kira-kira 10 % seluruh bayi prematuri dengan
insidensi terbesar pada bayi-bayi yang memiliki berat badan kurang dari 1500
gram (6). Dengan kata lain insidensinya berbanding terbalik dengan usia
kehamilan dan berat badan bayi (4). Kejadian penyakit akan meningkat pada
bayi lahir kurang bulan (terutama bayi dengan masa gestasi kurang dari 34
minggu) (5). Penyakit ini dapat ditemukan pada sekitar 60 % bayi yang berumur
kurang dari 28 minggu kehamilan, pada sekitar 15-20 % bayi yang berusia
kehamilan antara 32-36 minggu dan sekitar 5 % bayi yang berusia lebih dari 37
minggu kehamilan dan penyakit ini jarang ditemukan pada bayi aterm (4).
Diperkirakan bahwa 50 % dari semua kematian neonatus disebabkan oleh
PMH atau komplikasinya dan penyakit ini bertanggung jawab atas 10.000-
40.000 kematian setiap tahun (4).
Dengan melihat insidensi yang terjadi, sampai saat ini SGNN masih
merupakan salah satu faktor penyebab mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Hal ini terutama disebabkan kompleknya faktor etiologi serta adanya
keterbatasan dalam penatalaksanaan penderita (1,5). Akan tetapi dalam dekade
2
akhir ini tampak kemajuan yang sangat berarti, baik dalam cara diagnostik dini
maupun dalam penatalaksanaan penderita (5). Sehingga angka kesakitan dan
angka kematian penyakit terutama di negara berkembang telah memperlihatkan
penurunan yang cukup bermakna (1).
Walaupun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu faktor
yang memegang peranan dalam tingginya angka kematian perinatal. Sehingga
pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi dini baik
dalam hal pencegahan, diagnostik dan penatalaksanaan penderita merupakan
suatu masalah yang perlu diperhatikan (1,5).
I.2. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan ilmu
pengetahuan bagi para dokter muda khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya sehingga diharapkan para calon dokter mampu mengenali,
menganalisa dan membuat diagnostik yang tepat pada kasus-kasus SGNN
khususnya Penyakit Membran Hialin.
3
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. PENGERTIAN
Dalam Literatur Anglo Saxon, SGNN disebut sebagai Respiratory
Distress Syndrome (1). Namun terminologi ini juga sering dipakai untuk PMH,
sehingga kita harus cermat dalam menginterpretasi pengertiannya (1,7).
Nama lain yang digunakan untuk PMH adalah Idiopatihc Respiratory
Distress Syndrome atau IRDS, bahkan ada yang menyebutnya sebagai IRDS
type one dengan pengertian IRDS type two adalah Transient. Tachypnea of
The Newborn (TTN) atau Wet Lung Disease (1).
Namun semenjak diketahuinya penyebab RDS pada bayi-bayi prematur,
maka istilah IRDS mulai ditinggalkan (7).
Jadi sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya RDS (PMH)
adalah keadaan dimana terdapat kumpulan gejala yang terdiri atas dispne,
sianosis, takipneu, penggunaan otot-otot bantu nafas dan adanya merintih (1).
II.2. FAKTOR RISIKO
SGNN bisa diramalkan dengan mengenali fakotr-faktor risiko
terjadinya SGNN pada kehamilan, kelahiran dan pada bayi (1). Faktor risiko
utama PMH adalah prematuritas (8). Secara umum dapat kita ketahui bahwa
faktor risiko PMH adalah sebagai berikut (1) :
Faktor pada kehamilan :
1. Kehamilan kurang bulan.
2. Kehamilan dengan penyakit Diabetes Melitus.
3. Kehamilan dengan gawat janin.
4. Kehamilan dengan penyakit kronis ibu.
5. Kehamilan dengan pertumbuhan janin terhambat.
6. Kehamilan lebih bulan.
7. Infertilitas.
4
Faktor pada partus :
1. Partus dengan infeksi intra partum.
2. Partus dengan tindakan
3. Partus dengan penggunaan obat sedatif.
Faktor pada bayi :
1. Skor apgar yang rendah.
2. Bayi berat lahir rendah.
3. Bayi kurang bulan.
4. Berat lahir lebih dari 4000 gram.
5. Cacad bawaan.
6. Frekwensi pernafasan dengan 2 kali observasi lebih dari 60/menit.
II.3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Sampai saat ini teori terjadinya PMH yang paling banyak diterima ialah
karena kurangnya surfaktan pada paru (6,7,8). Surfaktan diproduksi oleh sel
epitel saluran nafas yang disebut pneumocyt tipe II (7). Unsur surfaktan yang
terpenting adalah dipalmitil fosfatidilkolin (lesitin), fosfatidilgliserol, dua
apoprotein dan kolesterol (4). Bahan-bahan aktif tersebut memegang peranan
utama dalam stabilisasi pertukaran udara perifer dan berfungsi sebagai faktor
antiatelektasis yang menolong pengendalian ekspansi alveolus pada tekanan
fisiologik, yaitu dengan merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga
tidak terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara fungsional pada akhir
ekspirasi (7).
Pneumocyt tipe II ini mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan
mulai mengeluarkan surface active lipids pada gestasi 24-26 minggu dan mulai
berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Sel ini sangat peka dan berkurang
dalam jumlah pada keadaan asfiksia selama masa perinatal. Kematangan sel ini
terpengaruh oleh adanya keadaan fetal hiperinsulinemia, stress intra uteri yang
kronik, seperti hipertensi pada kehamilan, IUGR (Intra Uterine Growth
Retardation) dan kehamilan kembar (7).
5
Perubahan atau tidak adanya surfaktan pulmonal akan menyebabkan serangkaian peristiwa yang ditunjukkan pada gambar berikut ini (6) :
Gambar 1.
Peranan surfaktan adalah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps dan mampu untuk menahan sisa udara fungsional pada akhir ekspirasi (9). Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya daya kembang paru (paru-paru kaku) (6). Alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk pernafasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar yang disertai usaha inspirasi yang lebih kuat (9). Kerja tambahan ini akan melelahkan bayi dan menimbulkan penurunan ventilasi alveoler, atelektasis dan hipoperfusi alveolar (6). Asfiksasi akan menimbulkan vasokonstriksi pulmonal, dimana darah akan melewati paru-paru melalui jalan pintas janin (Paten Ductus Arteriosus atau Foramen Ovale) sehingga mengurangi aliran darah pulmonal (6,7). Terjadinya iskemia merupakan suatu gangguan tambahan sehingga akan makin mengurangi metabolisme paru-paru dan produksi surfaktan (6).
II.4. PATOGENESIS Defisiensi substansi surfaktan yang ditemukan pada PMH menyebabkan kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitasnya terganggu (9). Hal ini mengakibatkan terganggunya fungsi paru bayi setelah lahir. Pada keadaan defisiensi ini paru bayi akan gagal mempertahankan
METABOLISME PARU ↓ COMPLIANCE
PARU ↓
ALIRAN DARAH PULMONAL ↓↓
VENTILASI ALVEOLAR ↓
SURFAKTAN ↓↓
6
kestabilan alveolus pada akhir ekspirasi, sehingga pada saat inspirasi berikutnya dibutuhkan tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan alveolus yang mengalami kolaps (5). Dan pada setiap ekspirasi terjadinya atelektasis menjadi bertambah (7). Kolaps paru ini akan menyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi CO2 dan asidosis. Hipoksia akan menimbulkan : (1) Oksigeniasi jaringan menurun, sehingga akan terjadi metabolisme anaerobik dengan penimbunan asam laktat dan asam organik lainnya yang menyebabkan terjadinya asidosis metabolik pada bayi. (2) Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya fibrin dan selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang nekrotik membentuk suatu lapisan yang disebut membran hialin (9). Faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis PMH dapat diterangkan
dari gambar berikut ini (4) :
Gambar 2.
Surfaktan yang menurun
Gangguan Metabolisme sel
Atelektasis progresif
Hipoperfusi alveolar
Hipoventilasi
Penyempitan pembuluh Darah paru
↑ pCO2, ↓ pO2, ↓ pH
“Syok” hipotensi
Seksi-C Asfiksia intrapartum
Predisposisi familail
Asidosis
Takipnea sementara Asfiksia neonatal Hipotermia Apnea
Hipovolemia
Prematuritas
7
Defisiensi sintesis atau pengeluaran surfaktan, bersama-sama dengan unit pernafasan yang kecil dan dinding rongga dada yang lunak, mengakibatkan atelektasis, frekwensi pernafasan meningkat, compliance paru berkurang, kerja pernafasan semakin meningkat dan akhirnya ventilasi alveolar tidak mencukupi. Akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya hiperkarbia, hipoksia dan asidosis yang mengakibatkan terjadinya penyempitan pembuluh darah paru (4). Vasokonstriksi pembuluh darah paru yang disebabkan oleh hipoksia menyebabkan terjadinya peninggian tahanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale (5). Terjadinya hipoperfusi alveolar akibat dari vasokonstriksi pembuluh darah paru akan menyebabkan terganggunya metabolisme sel-sel paru dan pada akhirnya akan menurunkan produksi surfaktan (6). Secara singkat dapat diterangkan bahwa dalam tubuh terjadi lingkaran
setan yang terdiri dari : atelektasis → hipoksia → asidosis → transudasi →
penurunan aliran darah paru → hambatan pembentukan substansi surfaktan → atelektasis. Hal ini akan berlangsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian bayi (9).
II.5. GEJALA KLINIS Bayi penderita PMH biasanya bayi kurang bulan yang lahir dengan berat badan antara 1200-2000 gram dengan masa gestasi antara 30-36 minggu. Jarang ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih 2500 gram dan masa gestasi lebih 38 minggu (5). Gejala klinis biasanya mulai terlihat pada beberapa jam pertama setelah lahir terutama pada umur 6-8 jam (5,7). Gejala karakteristik mulai timbul pada usia 24-72 jam dan setelah itu keadaan bayi mungkin memburuk atau mengalami perbaikan (5). Bila keadaan membaik, gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama (9). Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi paru yang menurun (4,9). Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti (1,3,4,5,6) : - Dispnea. - Merintih saat ekspirasi (grunting).
8
- Takipnea (frekwensi pernafasan > 60/menit).
- Pernafasan cuping hidung.
- Retraksi dinding thoraks (suprasternal, epigastrium atau interkostal) pada
saat inspirasi.
- Sianosis.
Gejala-gejala ini timbul dalam 24 jam pertama sesudah bayi lahir
dengan gradasi yang berbeda-beda. Namun yang selalu ada ialah dispnea,
sehingga dapat kita katakan bahwa kita menghadapi sindrom gawat nafas bila
kita menemukan adanya dispnea. Dispnea adalah kesulitan ventilasi paru. Pada
ventilasi paru yang normal tidak dibutuhkan frekuensi ventilasi ekstra atau
bantuan otot pernafasan tambahan. Sehingga kalau telah ada dispnea maka
akan terjadi takipne, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan
sianosis. Jadi praktisnya bila kita melihat adanya dispne pada neonatus pada
dasarnya kita berhadapan dengan SGNN (1).
Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan gejala lain misalnya
brakikardia, hipotensi, kardiomegali, pitting oedema terutama di dorsal
tangan/kaki, hipotermia, tonus otot menurun dan terdapatnya gejala sentral.
Semua gejala tambahan ini sering ditemukan pada PMH yang berat atau yang
sudah mengalami komplikasi (9).
Gejala-gejala dan tanda-tanda penyakit ini dapat mencapai puncaknya
dalam waktu 3 hari, kemudian akan mulai terjadi perbaikan yang berangsur-
angsur. Kematian jarang terjadi setelah 3 hari, kecuali pada bayi yang
perjalanan penyakitnya fatal (4).
II.6. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK
Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat penting
dalam menentukan diagnosis yang tepat (5). Pemeriksaan ini juga untuk
menyingkirkan penyakit lain dengan gejala yang sama dengan PMH seperti
pneumothorax, hernia diafragmatika, dan lain-lain (5,7).
9
Gambaran klasik yang ditemukan pada foto rontgen paru ialah adanya
bercak difus berupa infiltrat retrikulogranukor pada parenkim disertai adanya
tabung-tabung udara bronkus (air bronchogram) (3,5,6,8). Gambaran retikulo
granular ini merupakan manifestasi adanya kolaps alveolus sehingga apabila
penyakit semakin berat gambaran ini akan semakin jelas (5).
II.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksan laboratorium diantaranya
ialah pemeriksaan darah (9) :
- Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih dari
45 mg %, prognosis lebih buruk.
- Kadar bilirubin lebih tinggi bila dibandingkan dengan bayi normal dengan
berat badan sama.
- Kadar PaO2 menurun disebabkan berkurangnya doksigenasi di dalam paru
dan karena adanya pirau arteri vena.
- Kadar PaO2 meninggi, karena gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2
sebagai akibat atelektasis paru.
- PH darah menurun dan defisit basa meningkat akibat adanya asiodosis
respiratorik dan metabolik dalam tubuh.
Juga diperlukan pemeriksaan (7) :
- Hb dan hematokrit untuk petunjuk perlu tidaknya plasma espander bila
bayi jatuh dalam syok.
- Pencarian ke arah sepsis, termasuk darah tepi lengkap, termasuk trombosit,
kultur darah, cairan amnion dan urin, CRP.
- Elektrolit.
- Golongan darah.
- Serum glukosa (dapat rendah atau tinggi).
10
II.8. DIAGNOSIS Diagnosis klinis SGNN kita tegakkan kalau kita tegakkan kalau kita
telah menemukan sindrom sebagai berikut (3,5,7) :
- Dispnea.
- Merintih (grunting).
- Takipne.
- Pernafsan cuping hidung.
- Retraksi dinding toraks.
- Sianosis.
Namun bila pada bayi terdapat faktor risiko terjadinya PMH maka bila
dalam 2 kali observasi frekuensi pernafasan selalu di atas 60 per menit dalam
keadaan bayi tidak menangis maka harus dibuat foto polos. Toraks
anteriposterior untuk menegakkan diagnostik dan untuk menentukan sikap
selanjutnya (1,5).
Di rumah sakit rujukan tindakan diagnostik dikerjakan untuk
mengetahui diagnosis anatomik dan fungsional pada suatu saat. Prosedur
diagnostik yang dilakukan tergantung pada keadaan penderita kemampuan
penderita dan fasilitas yang tersedia (1).
Tindakan diagnostik yang disebut di bawah ini disusun menurut
prioritas berdasarkan keadaan penderita (1) :
1. Radiologi toraks.
2. Analisa gas darah.
3. Glukosa darah.
4. Elektrolit darah.
5. Darah tepi le\ngkap.
6. EKG.
7. USG otak.
Khusus untuk PMH suatu cara yang sederhana yang dapat meramalkan
terjadinya penyakit ini dan untuk membantu penegakkan diagnosis adalah
dengan Shake test, caranya adalah sebagai berikut (1,8) :
1. Ambil 0,5 ml aspirat lambung yang bersih, masukkan ke dalam tabung
reaksi.
11
2. Ke dalam cairan ini dituangkan 0,5 garam fisiologi.
3. Kemudian tambahkan 1 ml larutan etanol 95 %.
4. Dikocok selama 15 detik dan dibiarkan diam dalam rak dalam posisi tegak
lurus selama 15 menit.
Interpretasi :
Positif : Bila terdapat gelembung-gelembung yang membentuk cincin.
Artinya surfaktan terdapat pada paru dalam jumlah yang cukup
(gelembung > 2/3 permukaan).
Negatif : Bila tidak terdapat gelembung. Artinya tidak ada surfaktan dan
kemungkinan akan terjadi PMH besar (gelembung ½ permukaan.
Risiko PMH adalah 60 %.
Ragu : Bila terdapat gelembung tetapi tidak membentuk cincin. Artinya
waspada terhadap kemungkinan terjadinya PMH (gelembung
1/3-2/3 permukaan. Risiko PMH 20-50 %.
Deteksi dini yang lain ialah melakukan pemeriksaan rasio L/S (Lecithin
Sphingomyelin Ratio), pada air ketuban yang diperoleh dengan amniosentesis,
atau dari aspirasi trakea dan lambung. Rasio L/S kurang dari 2 biasanya
berasosiasi dengan PMH (Bluck dan Kulovich, 1973). Deteksi adanya
Phosphatidyl glycerol (PG) menunjukkan kematangan paru sehingga bila PG
positif, PMH kejadiannya rendah sedang bila PG negatif kejadiannya tinggi
(Halliday dkk, 1985) (1).
II.9. PENATALAKSANAAN Dasar tindakan pada penderita adalah mempertahankan penderita dalam
suasana fisiologik yang sebaik-baiknya, agar bayi mampu melanjutkan
perkembangan paru dan organ lain, sehingga ia dapat mengadakan adaptasi
sendiri terhadap sekitarnya (5). Penatalaksanaan penderita PMH tergantung dari
berat ringannya penyakit, sehingga penatalaksanaan yang dapat dilakukan
terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus (5). Tujuan penatalaksanaan
umum ini ialah mengusahakan agar (1) :
- Kebutuhan konsumsi O2 dapat diusahakan seminimal mungkin sehingga
fungsi pernafasan dapat berlangsung optimal.
12
- Kebutuhan makanan bayi dapat terpenuhi.
- Keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan dengan baik.
- Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan baik dan kalau perlu intervensi
dapat dilakukan sedini mungkin (Usha Raj, 1988).
Tindakan umum terutama dilakukan pada penderita ringan atau sebagai
tindakan penunjang pada penderita berat (5). Tindakan umum yang perlu
dikerjakan ialah :
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5° C-37° C) dengan
meletakan bayi dalam inkubator. Humiditas ruangan juga harus adekuat
(70-80 %) (1,9).
2. Makan peroral sebaiknya tidak diberikan dan bayi diberi cairan intravena
yang disesuaikan dengan kebutuhan kalorinya. Adapun pemberian cairan
ini bertujuan untuk memberikan kalori yang cukup, menjaga agar bayi
tidak mengalami dehidrasi, mempertahankan pengeluaran cairan melalui
ginjal dan mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh. Dalam 48 jam
pertama biasanya cairan yang diberikan terdiri dari glukosa/dekstrose 10%
dalam jumlah 100 ml/KgBB/hr. Dengan pemberian secara ini diharapkan
kalori yang dibutuhkan (40 kkal/KgBB/hr) untuk mencegah katabolisme
tubuh dapat dipenuhi (5).
Tindakan khusus meliputi :
1. Pemberian O2
Setiap penderita PMH hampir selalu membutuhkan O2 tambahan.
Pemberian O2 ini perlu dilakukan secara hati-hati, karena O2 punya
pengaruh yang kompleks terhadap bayi baru lahir (5).
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru, kerusakan retina
(fibroplasi retrolental) dan lain-lain. Untuk mencegah komplikasi ini,
pemberian O2 sebaiknya diikuti dengan pemeriksaan tekanan O2 arterial
13
(PaO2) secara teratur. Konsentrasi O2 yang diberikan harus dijaga agar
cukup untuk mempertahankan PaO2 antara 80-100 mgHg. Bila fasilitas
untuk pemeriksaan tekanan gas arterial tidak ada,O2 dapat diberikan
sampai gejala sianosis hilang (9). Untuk mencapai tekanan, O2 ini kadang-
kadang diperlukan konsentrasi O2 sampai 100 %. Konsentrasi demikian
biasanya hanya dapat dicapai apabila O2 diberikan dengan sungkup dan
tidak mungkin dicapai dengan cara pemberian O2 melalui kateter hidung
biasa. Pada penderita yang sangat berat kadang-kadang diperlukan
ventilasi mekanis dimana O2 diberikan dengan respirator (1). Tindakan ini
dilakukan apabila bayi yang telah mendapatkan O2 dengan konsentrasi
100% masih memperlihatkan PaO2 kurang dari 40 mmHg, PCO2 >
70 mmHg, PH darah < 7,2 atau masih adanya serangan apneu berulang (5).
Dasar ventilasi mekanis adalah mengusahakan agar O2 yang diberikan
dapat memperbaiki pertukaran gas tubuh. Beberapa cara pemberian
ventilasi mekanis ini adalah (5) :
a. Pemberian O2 dengan secara tekanan positif yang konstan Constant
positive airway pressure = CPAP). Cara ini dapat dicapai dengan
memberikan tekanan positif terhadap udara yang masuk atau
mengadakan tekanan negatif yang konstans terhadap dinding toraks.
Pemberian secara ini akan mengurangi terjadinya atelektasis alveolus
disertai perbaikan PaO2 darah.
b. Pemberian O2 dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten
(Intermittent Positive Pressure Ventilation = IPPV). Dengan cara ini
keseimbangan pertukaran gas tubuh dapat diatur.
c. Pemberian O2 dengan ventilasi aktif ini dapat dilakukan pula dengan
bermacam cara, misalnya pemberian O2 secara hiperbasik, intermittent
negative pressure ventilation, dan lain-lain.
2. Pemberian Antibiotika
Setiap penderita PMH perlu mendapat antibiotika untuk menegah
terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperberat penyakit (9).
14
Antibiotik diberikan selama bayi mendapat cairan intravena sampai gejala
gangguan nafas tidak ditemukan lagi. Sebaiknya antibiotik yang dipilih
adalah yang mempunyai spektrum luas (5). Antibiotik yang biasa diberikan
adalah penisilin (50.000 U-100.000 U/KgBB/hr) atau ampicilin
(100 mg/KgBB/hr) dengan gentamicin (3-5 mg/KgBB/hr) (9). Bila
pemeriksaan kultur tidak memungkinkan, antibiotik dapat diberikan 5-7
hari. Antibiotik yang dipilih bisa juga kombinasi ampisilin/sefalosporin
dengan aminoglikosid/kemisitin (1).
3. Pemberian NaHCO2
Asidosis metabolik yang selalu terdapat pada penderita, harus segera
diperbaiki dengan pemberian NaHCO3 secara intravena (9). Pemeriksaan
keseimbangan asam basa tubuh harus diperiksa secara teratur agar
NaHCO3 dapat disesuaikan dengan rumus (5,9) :
Konsentrasi NaHCO3 yang diberikan biasanya antara 7,5-8,4 % dan
kebutuhan yang diperlukan sebagian dapat diberikan langsung intravena
dan sisanya diberikan secara tetesan (5). Tujuan pemberian NaHCO3 adalah
untuk mempertahankan PH darah antara 7,35-7,45. Bila fasilitas untuk
pemeriksaan keseimbangan asam basa tidak ada, NaHCO3 dapat diberikan
dengan tetesan. Cairan yang digunakan berupa campuran larutan glukosa
5-10 % dengan NaHCO3 1,5 % dalam perbandingan. 4 : 1. Pada asidosis
yang berat penilaian klinis yang teliti harus dikerjakan untuk menilai
apakah basa yang diberikan sudah cukup adekuat (9).
4. Pemberian Surfaktan Buatan
Penemuan surfaktan buatan untuk terapi PMH termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran. Dengan demikian dapat mengurangi kebutuhan tekanan tinggi dari ventilator dan konsentrasi O2 yang tinggi (7). Surfaktan artifisial yang dibuat dari dipalmitoil fosfatidilkolin dan
Kebutuhan NaHCO3 = Defisit basa x 0,3 x BB(Kg)
15
fosfatidil gliserol dengan perbandingan 7 : 3 telah dapat mengobati penderita penyakit tersebut. Bayi tersebut diberi surfaktan artifisial sebanyak 25 mg dosis tunggal dengan menyemprotkan ke dalam trakea penderita. Akhir-akhir ini telah dapat dibuat surfaktan endogen yang berasal dari cairan amnion manusia. Surfaktan ini disemprotkan ke dalam trakea dengan dosis 60 mg/KgBB. Walaupun cara pengobatan ini masih dalam taraf penelitian, tetapi hasilnya telah memberikan harapan baru (5).
II.10. PENCEGAHAN Usaha pokok penanganan PMH ini harus dipusatkan pada usaha pencegahan (6). Yang paling penting adalah mencegah terjadinya prematuritas, termasuk menghindari faktor risiko untuk terjadinya PMH (1). Pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya : 1. Mencegah kelahiran prematur (1,8). 2. Mencegah kelahiran bayi dengan IUGR (Intra Growth Retardation) (1). 3. Antenatal ultrasound untuk lebih dapat menentukan gestasi secara akurat
dan mendeteksi keadaan fetus (7). 4. Fetal monitoring yang berkelanjutan untuk mendeteksi keadaan fetus dan
mengetahui perlunya intervensi segera bila terjadi fetal distress (7). 5. Menentukan pematangan paru sebelum persalinan dengan pemeriksaan
L/S rasio (7,9). 6. Pengendalian kadar gula ibu hamil yang menderita DM (1). 7. Optimalisasi kesehatan ibu hamil (1). 8. Menghindari SC yang sebenarnya tidak diperlukan (4). 9. Prevensi dan intervensi persalinan prematur dengan tokolitik dan
glukokortikoid untuk merangsang pematangan paru (7). Pemberian kortikosteroid pada wanita hamil 48-72 jam sebelum
persalinan dengan janin masa gestasi ≤ 34 minggu menurunkan insidens dan
mortalitas akibat PMH (7,8). Dengan demikian layak memberikan 1-2 dosis betametason atau deksametason secara IM kepada wanita hamil yang lesitinnya dalam cairan ketuban memberi petunjuk adanya imaturitas paru janin dan yang kemungkinan besar akan melahirkan bayi antara 48-72 jam atau yang persalinannya dapat ditunda selama 48 jam atau lebih (4).
16
Di samping kortikosteroid telah banyak dilaporkan beberapa obat
yang dinyatakan dapat merangsang maturitas paru. Salah satu obat yang
dianggap lebih baik dari kortikosteroid adalah ambroxol. Pemberian sebanyak
1000 mg/hr selama 5 hari berturut-turut pada persalinan prematur yang
mempunyai risiko menderita PMH, dapat menurunkan angka kematian bayi.
Selanjutnya terdapat obat lain seperti aminofilin, tiroksin, isoxsuprine, dan
lain-lain (5).
II.11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat PMH adalah :
1. Perdarahan intrakranial oleh karena belum berkembangnya sistem saraf
pusat terutama sistem vaskularisasinya, adanya hipoksia dan hipotensi
yang kadang-kadang disertai renjatan. Faktor tersebut dapat membuka
nekrosis iskemik, terutama pada pembuluh darah kapiler di daerah
periventrikular dan dapat juga di ganglia bavalis dan jaringan otak
lainnya (5).
2. Pada intubasi trakea bisa terjadi asfiksasi akibat obstruksi pipa,
penghentian jantung (cardiac arrest) selama intubasi atau penyedotan dan
timbulnya stenosis subglotis di kemudian hari (4).
3. Gejala neurologik yang tampak berupa kesadaran yang menurun, apreu,
gerakan bola mata yang aneh, kekakuan extremitas dan bentuk kejang
neonatus lainnya (3).
4. Komplikasi pneumotoraks atau pneuma mediastinum mungkin timbul
pada bayi yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanis. Pemberian O2
dengan tekanan yang tidak terkontrol baik, mungkin menyebabkan
pecahnya alveolus sehingga udara pernafasan yang memasuki rongga-
ronga toraks atau rongga mediastinum (5).
5. Pada PMH yang berat sering ditemukan koagulasi intravaskular
diseminata. Beberapa penderita juga memperlihatkan gangguan faktor
koagulasi (PT dan PTT memanjang) dan trombositopenia yang
merupakan ciri karakteristik penyakit tersebut. Komplikasi ini terutama
17
ditemukan pada penderita PMH yang disertai dengan sepsis oleh kuman
gram negatif atau didahului oleh asfiksia berat (5).
6. Paten ductus arteriolus pada penderita PMH sering menimbulkan
keadaan payah jantung yang sulit untuk ditanggulangi (5).
II.12. PROGNOSIS
Prognosis PMH tergantung dari tingkat prematuritas dan beratnya
penyakit (9). Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi pada hari
ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan sempurna (5). Pada
penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40 % (5,9). Dengan perawatan
yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini dapat menurun (5).
Prognosis jangka panjang sulit diramalkan. Kelainan yang timbul dikemudian
hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan yang diberikan dan
bukan akibat penyakitnya sendiri (5). Pada fungsi paru yang normal pada
kebanyakan bayi yang dapat hidup dari PMH, prognosisnya sangat baik (4).
18
BAB III
KESIMPULAN
1. PMH masih merupakan salah satu faktor yang memegang peranan dalam
tingginya angka kematian perinatal.
2. Sindrom gawat nafas pada neonatus, khususnya PMH adalah keadaan dimana
terdapat kumpulan gejala yang terdiri atas Dispne, merintih (grunting), takipne,
pernafasan cuping hidung, retraksi dinding toraks dan sianosis.
3. Faktor risiko utama OMH adalah prematuritas.
4. Teori terjadinya PMH yang paling banyak diterima adalah karena kurangnya
surfaktan pada paru.
5. Pemeriksaan foto rontgen paru memegang peranan yang sangat penting dalam
menentukan diagnosis yang tepat.
6. Cara sederhana yang dapat meramalkan terjadinya penyakit ini dan untuk
membantu penegakkan diagnosis adalah : shake test, pemeriksaan rasio L/S
(lechitin/spingomelin ratio) dan deteksi adanya phosphatidyl glycerol.
7. Penatalaksanaan PMH terdiri dari tindakan umum dan tindakan khusus.
Tindakan umum meliputi pemberian lingkungan yang optimal dan pemberian
diet. Sementara tindakan khusus meliputi pemberian O2, antibiotika, NaHCO3,
dan surfaktan buatan.
8. Pencegahan yang paling penting adalah menghindari terjadinya prematuritas
termasuk menghindari faktor risiko terjadinya PMH.
9. Komplikasi PMH dapat disebabkan oleh penyakitnya sendiri atau akibat efek
samping dari pengobatan/penatalaksanaan PMH,
10. Prognosis PMH tergantung dari tingkat prematuritas dan berat ringannya
penyakit.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Monintja, H.E, Rulina Suradi, Asril Aminullah, Sindrom Gawat Nafas Pada Neonatus, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA XXIII, FKUI, Jakarta, 1991, hal. 1-7. 55. 65-66.
2. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, Edition II, A Lange
Medical Book, by Appleton & Lange, 1993, hal. 33. 3. Pincus Catzel & Lan Roberts, Kapita Selekta Pediatri, Edisi II, Editor, Dr. Petrus
Andrianto, EGC, Jakarta, 1991, hal. 45-46. 4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar, M.R,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1988, hal. 622-627. 5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak FKUI, Jakarta, 1991, hal. 303-306. 6. Klaus & Fanaroff, Penatalaksanaan Neonatus Risiko Tinggi, Edisi 4, Editor :
Achmad Surjono, EGC, Jakarta, 1998, hal. 286-289. 7. Winarno, dkk, Penatalaksanaan Kegawatan Neonatus, dalam Simposium Gawat
Darurat Neonatus, Unit Kerja Koordinasi Pediatri Darurat IDAI, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1991, hal. 151-153.
8. Arif Masjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Edisi 3, Media
Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000, hal. 507-508. 9. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Editor :
Rusepno Hassan & Husein Alatas, Bagian IKA FKUI, Jakarta 1985, hal.