sin drom
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah Anugerah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita umat manusia.
Tuhan mempunyai rahasia tersendiri sehingga ada anak yang di lahirkan normal dan ada
pula yang di lahirkan "istimewa" salah satunya adalah anak dengan sindrom Down.
Anak-anak merupakan sumber senyuman dalam keluarga setiap manusia. Setiap anak-
anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Anak-anak memiliki banyak keunikan yang
membuat kita tertawa sepanjang hari. Bahkan saat hati kita sedang sedih ketika melihat
tingkah laku anak kecil yang ada disekitar kita anak siapapun itu kadang membuat kita
tertawa dan melupakan kesedihan yang kita rasakan. Bahkan hanya melihatnya saja hati kita
sudah senang dan mungkin sering kita mengatakan seperti ini ya ampun lucu banget si kamu
dek, ih anak itu lucu deh pengen dicubit aja, ngegemesin.
Namun bagaimana bila kita bertemu dengan anak-anak yang memiliki keistimewaan
atau kekurangan yang ada pada dirinya? Akankah kita mengatakan hal yang sama kepada
mereka? Atau pantaskah kita melihatnya dengan sebelah mata? Sungguh ironis apabila kita
melakukan hal semacam itu kepada anak-anak yang memiliki keistimewaan yang ada
disekitar kita. Seharusnya kita membantu dia dalam menjalani hari-harinya sama seperti
anak-anak pada umumnya.
Sindrom Down adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental
pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Sindrom Down
dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama
kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli
genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya.
Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh
ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome
hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2
kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal membelah diri.
Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat kromosom 21yang istilah teknisnya adalah
trisomi 21. Sindrom Down bukanlah suatu penyakit maka tidak menular, karena sudah terjadi
sejak dalam kandungan.
Bayi yang mengalami down syndrome jarang dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah
30 tahun, tetapi risiko akan bertambah setelah ibu mencapai usia di atas 30 tahun. Pada usia
40 tahun, kemungkinannya sedikit di atas 1 dari 100 bayi, dan pada usia 50 tahun, hampir 1
dari 10 bayi. Risiko terjadinya sindrom Down juga lebih tinggi pada ibu yang berusia di
bawah18 tahun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sindrom Down?
2. Apa penyebab dengan sindrom Down?
3. Bagaimana aspek sitogenetika dengan sindrom Down?
4. Apa manifestasi dari sindrom Down?
5. Bagaimana prevalensi dari sindrom Down?
6. Bagaimana penatalaksanaan terapeutik dari sindrom Down?
7. Penanganan medis dari sindrom Down?
8. Bagaimana pendidikan dari penderita sindrom Down?
9. Bagaimana penyuluhan pada orang tua yang memiliki anak penderita sindrom Down?
10. Bagaimana terapi stimulasi untuk anak penderita sindrom Down?
11. Apa saja permainan yang cocok untuk anak penderita sindrom Down?
12. Bagaimana kualitas hidup penderita sindrom Down?
13. Bagaimana risiko pewarisan dan usaha pencegahan sindrom Down?
14. Bagaimana prognosis sindrom Down?
15. Bagaimana asuhan keperawatan sindrom Down?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak dan diharapkan mahasiswa
mampu memahami trend keperawatan anak, mortalitas, dan morbiitas Sindrom Down.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan sindrom Down
b. Mengetahui penyebab dengan sindrom Down
c. Memahami aspek sitogenetika dengan sindrom Down
d. Mengetahui manifestasi dari sindrom Down
e. Mengetahui prevalensi dari sindrom Down
f. Mengetahui penatalaksanaan terapeutik dari sindrom Down
g. Memahami penanganan medis dari sindrom Down
h. Mengetahui pendidikan dari penderita sindrom Down
i. Mengetahui penyuluhan pada orang tua yang memiliki anak penderita sindrom
Down
j. Mengetahui terapi stimulasi untuk anak penderita sindrom Down
k. Mengetahui permainan yang cocok untuk anak penderita sindrom Down
l. Mengetahui kualitas hidup penderita sindrom Down
m. Mengetahui risiko pewarisan dan usaha pencegahan sindrom Down
n. Mengetahui prognosis sindrom Down
o. Mengetahui asuhan keperawatan sindrom Down
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kelainan kromosom yang umum terjadi an mudah dikenali. Nama sindrom Down berasal
dari nama dokter Inggris, Langdon Down. Adanya lipatan pada kelopak mata penderita yaitu
lipatan epikantur, yang memberi kesan seperti ras Mongoloid, menyebabkan sindrom ini
dinamakan juga Mongolisme. Namun, untuk menghindari pelecehan ras tertentu, nama yang
sering digunakan adalah sindrom Down. (Soediono, 2009)
Sindrom Down bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu kelainan
genetic yang dapat terjadi pada pria dan wanita. Kelainan ini merupakan hasil dari kelainan
kromosom yang tidak selalu diturunkan kepada keturunan berikutnya. Kelainan yang sering
ditemukan adalah kelebihan kromosom 21 yang dinamakan trisomi 21. (Soediono, 2009)
Insidennya 1 dalam 600 sampai 1 dalam 700 kelahiran, lebih dari separuh bayi yang
terkena mengalami abortus spontan selama kehamilan dini. Di Indonesia ditemukan 1 dalam
600 kelahiran hidup. (Soediono, 2009)
B. Etiologi
Menurut Soetjiningsih (1998) selama satu abad sebelumnya banyak hipotesis tentang
penyebab sindrom Down yang dilaporkan. Tetapi sejak ditemukan adanya kelainan
kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959, maka sekarang perhatian dipusatkan pada
kejadian “non-disjunctional” sebagai penyebabnya yaitu:
1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap ”non-disjunctional”. Bukti yang
mendukung teori ini adalah berdasarkan hasil penelitian epidemiologi yang menyatakan
adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindrom
Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya “non-disjunctional”
pada sindrom Down ini. Uchida 1981 (dikutip Pueschel dkk.) menyatakan bahwa sekitar
30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi di
daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Sedangkan penelitian lain tidak mendapati
hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom Down. Sampai
saat ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan
terjadinya “non-disjunctional”.
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkirakan sebagai etiologi sindrom Down adalah aotuimun.
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow
1966 (dikutip Pueschel dkk.) secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan
autoantibodi tiroid pada ibu yang melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu
kontrol yang umurnya sama.
5. Umur ibu
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang
dapat menyebabkan “non-disjunctional” pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya
konsentrasi estriadol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan
secara tajam kadar LH (Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)
secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya “non-disjunctional”.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan adanya pengaruh
umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi
korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.
Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia dan
frekuensi koitus masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari sindrom Down.
C. Aspek-Aspek Sitogenetika
Dibawah ini dapat dilihat daftar kelainan kromososm pada sindrom Down. Sejauh ini,
temuan yang paling sering dan nyata didapat adalah trisomi 21. Melalui penelitian biologi
molecular, pada 80% kasusu telah terbukti bahwa penambahan kromosom pada kromosom
21 diturunkan dari ibu. Risiko kekambuhan trisomi 21 pada keluarga-keluarga ini sekitar 1
persen. Jika seorang perempuan sindrom Down akibat trisomi 21 hamil, maka kemungkinan
anaknya menderita trisomi 21 adalah 50%. Tetapi bila laki-laki sindrom Down menikah
dengan perempuan normal, maka sangat jarang anaknya menderita trisomi 21. (Hull&Derek,
2008)
Temuan-temuan kromosom pada sindrom Down
Trisomi 21, contoh : 47, XY, +21 95 persen
Mosaik, contoh :46, XX,/47, XX, +21 2 persen
Translokasi Robertsonian yang tidak seimbang
Contoh : 46, XX,-15, +t(15q21q) 3 persen
*Karlotip ini dapat dijelaskan sebagai berikut :pasien adalah seorang wanita (46, XX)
dengan sindrom Down akibat penggantian kromosom 15 (-15) dengan kromosom
translokasi yang merupakan penggabungan lengan-lengan panjang satu kromosom 15
dengan satu kromosom 21+(+t(15q21q)).
Anak-anak dengan sindrom Down mosaik mempunyai gambaran klinis yang biasanya
lebih ringan dibandingkan sindrom Down yang sempurna. Jika hanya sebagian kecil sel yang
trisomi, individu-individu ini dapat hidup normal. Bila mempunyai anak, anak tersebut akan
berisiko relatif tinggi menderita trisomi21 sempurna. Risikonya sebading dengan proporsi
gamet yang membawa kromosom 21 tambahan. (Hull&Derek, 2008)
Jika seorang anak menderita sindrom Down akibat translokasi Robertsonian yang tidak
seimbang, ada kemungkinan sebesar 25% bahwa salah satu orangtuanya membawa sifat ini
dalam bentuk yang seimbang. Pada 75% sisanya, kasus muncul sebagau kejadian de novo
dan membawa risiko kekambuhan hanya sekitar 1 persen. Namun demikian, jika orang tua
terbukti membawa sifat (karier), maka anaknya sangat berisiko mengidap sindrom Down,
biasanya risiko sebesar 2-5% bila pembawa sifatnya laki-laki dan 10-15% bila pembawa
sifatnya perempuan. Pada kasus yang sangat jarang , salah satu orang tua membawa sifat
translokasi Robertsonian 21q21q yang seimbang, maka risiko anak yang terlahir hidup
menderita sindrom Down adalah 100%. (Hull&Derek, 2008)
D. Temuan Seluler
Penderita Sindrom Down mempunyai jumlah kromosom 47 dengan kelebihan pada
kromosom 21 sehingga jumlah kromosom 21 menjadi 3, dan karena itu nama lain dari
Sindrom Down adalah Trisomi 21. Kelebihan satu salinan kromosom 21 di dalam genom
dapat berupa : kromosom bebas (trisomo 21 murni), bagian dari fusi translokasi Robertsonian
(fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain), ataupun dalam jumlah yang sedikit ;
sebagai bagian dari translokasi resiprokal (timbal balik dengan kromosom lain). Kelebihan
kromosom 21 bebas ini dapat dalam bentuk murni yaitu dalam seluruh metafase atau bentuk
mosaik yaitu dalam satu individu terdapat campuran 2 macam sel dengan ekstra kromosom
21 (47 kromosom) dan sel normal 46 kromosom. Jadi secara sitogenetik terdapat 3 jenis
kasus Sindrom Down yaitu trisomo 21 murni, mosaik dan translokasi. Akan tetapi pada
pemeriksaan klinik, tidak ada perbedaan antara penderita sindrom Down dengan trisomi 21
dan penderita SindromDown dengan translokasi. (Irdawaty & Muhlisin)
E. Temuan Molekuler
Kromosom 21 merupakan kromosom yang pertama kali DNA nya dapat disekuens. Pada
analisis molekuler, DNA kromosom 21 menunjukan kromosom yang mempunyai sedikit
gen-gen, hal ini yang merupakan salah satu alasan mengapa trisomi 21 dapat bertahan hidup.
Lokasi gen yang berhubungan dengan gejala klinik Sindrom Down diduga pada 21q22.3
lebih kurang 5Mb diantara 21S58-52. Untuk deteksi sindrom down janin dalam kandungan
digunakan analisi DNA (PCR), karena akan didapat hasil lebih cepat dan tidak memerlukan
penanaman sel (kultur) seperti pada analisa kromosom. Pada polyacrylamide gel
electrophoresis produk PCR dari lokus gen penderita sindrom down akan ditemukan 3 pita
(band), sedangkan pada individu normal hanya ditemukan 2 pita. Di laboratorium molekuler
yang telah maju produk PCR tidak lagi dianalisis dengan gel electrophoresistetapi fragmen
DNA dianalisis pada mesin automated sequencer (ABI 3100), sehingga didapat hasil lebih
tepat dan dalam waktu 24 jam berupa grafik dari penderita sindrom down yang menunjukkan
puncak grafik yang lebih tinggi bila dibanding individu normal. (Irdawaty & Muhlisin)
F. Manifestasi Klinis
Berat badan pada waktu lahir dari bayi dengan sindrom Down pada umumnya kurang
dari normal. diperkirakan 20% kasus mempunyai berat badan lahir 2500 gram atau kurang.
Komplikasi pada masa neonatal lebih sering daripada bayi yang normal.
Puschel (1983) membuat suatu tabel tentang frekuaensi yang secara fenotip karakteristik
dan paling sering terdapat pada bayi dengan sindrom Down, yaitu :
%
Sugutura fagitalis yang terpisah 98
Fisura palpebralis yang miring 98
Jarak lebar antara jari kaki I dan II 96
Fontanela “palsu” 95
“plantar crease” jari kaki I dan II 94
Hiperfleksibilitas 91
Peningkatan jaringan sekitar leher 87
Bentuk palatum yang abnormal 85
Hidung hipoplastik 83
Kelemahan otot 81
Hipotonia 77
Bercak brushfield pada mata 75
Mulut terbuka 65
Lidah terjulur 58
Lekukan epikantus 57
“Single palmar crease” pada tangan kiri 55
“Single palmar crease” pada tangan kanan 52
“Brachiclinodactily” tangan kiri 51
“Brachiclinodactily” pada tangan kanan 50
Jarak pupil yang lebar 47
Tangan yang pendek dan lebar 38
Oksiput yang datar 35
Ukuran telinga yang abnormal 34
Kaki yang pendek dan lebar 33
Bentuk/struktur telinga yang abnormal\ 28
Letak telinga yang abnormal 16
Kelainan tangan lainnya 13
Kelainan mata lainnya 11
Sindaktili 11
Kelainan kaki lainnya 8
Kelainan mulut lainnya 2
Peneliti yang lain mungkin akan mendiskripsikan fenotip yang berbeda, terutama kalau
ditemukan pada anak dengan anak dengan sindrom Down dengan umur yang lebih besar. Hal
ini disebabkan oleh karakteristik yang berubah dengan bertambahnya umuranak.seperti
lekukan epikatus atau jaringan tebal sekirang leher akan berkurang dengan bertambahnya
umur anak. Sebaliknya celah lidah yang dalam atau kelainan pada gigi akan Nampak jelas
dengan bertambahnya umur anak. Demikian plua dengan retardasi mental ataupun
perawakan pendek akan bertambah jelas dengan bertambahnya umur anak. (Soetjiningsih,
2006)
Berdasarkan atas diketemukannya karakteristik dengan frekuens yang tinggi pada
sindrom Down, maka gejala-gejala tersebut dianggap sebagai “cardinal sign” dan petunjuk
diagnostik dalam mengidentifikasi sindrom Down secara klinis. Tetapi yang perlu diketahui
adalah ada tidaknya kelainan fisik yang terdapat secara konsisten dan patognomonik pada
sindrom Down. Bentuk muka pada anak dengan sindrom Down pada umumnya sama dengan
lainnya, sehingga tampak seperti saudara.
G. Onset
Onset terjadinya down syndrome adalah sejak bayi masih berada dalam kandungan ibu,
yang disebabkan adanya kelainan susunan kromosom ke-21. Tipe gangguan kromosom yang
dialami oleh subyek adalah Non-Disjuction. Hal ini dibuktikan melalui hasil pemeriksan
genetik dimana terdapat kelebihan kromosom pada sel telur yang seharusnya 23 menjadi 24,
penambahan terjadi pada kromosom 22. Hal ini mengakibatkan distribusi kromosom pada
waktu pembelahan sel tidak merata. Penyebab down syndrome pada subyek diketahui
kemungkinan besar dapat disebabkan oleh faktor usia ibu subyek yang ketika hamil sudah
berusia di atas 40 tahun sehingga resiko anak terkena down syndrome lebih besar.
H. Komplikasi
Adapun beberapa komplikasi dari sindrom Down antara lain :
a. Penyakit Alzheimer’s (penyakit kemunduran susunan syaraf pusat)
b. Leukimia (penyakit dimana sel darah putih melipat ganda tanpa terkendalikan)
Insidensi leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom Down adalah 20 kali lebih
banyak daripada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia
akut. (Wiwik&Haribowo, 2008)
Anak-anak yang menderita sindrom Down memerlukan perhatian khusus. Neonatus
yang menderita sindrom Down dapat mengalami sindrom mieloproliferatif sementara
yang menyerupai leukemia kongenital secara keseluruhan kecuali bahwa sindrom ini
mengalami penyembuhan spontan tanpa terapi. Pada anak yang lebih tua yang menderita
sindrom Down dan Leukimia Non Limfosit Akut (ANLL) memiliki prognosis yang lebih
baik daripada rata-rata anak yang menderita ANLL. Alasannya belum jelas. (Schwartz,
2005)
I. Prevalensi
Menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology (ICBB), Bogor, di
Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down syndrome. Sedangkan angka
kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8 juta jiwa
(Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down syndrome mencapai 1 dalam 1000
kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir 3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini.
Sedangkan di Indonesia prevalensinya lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008).
Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur wanita terbukti berpengaruh besar terhadap
munculnya down syndrome pada bayi yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30
tahun melahirkan bayi dengan down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran
adalah 35 tahun, kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan
munculnya down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).
Sindrom Down dapat ditemukan pada semua etnik penduduk. Sekitar 1 di antara 700 bayi
yang lahir hidup menderita kelainan ini. Telah diketahui adanya hubungan yang erat antara
kejadian sindrom Down dengan semakin lanjutnya usia ibu, yaitu peningkatan insiden
sebesar 1% bila usia mencapai 40 tahun. Makin lanjutnya usia ayah berpengaruh sangat kecil
terhadap insiden kelainan ini. (Hull, 2008)
J. Pemeriksaan Diagnostik
Sindrom Down biasanya dapat didiagnosis berdasarkan manifestasi klinisnya, tetapi
analisis kromosom harus dilakukan ntuk mempertegas abnormalitas genetic.
KEPALA MULUT*Sutura sagitalis terpisah *palatum tinggi, melengkung, sempit Brakisefali Tulang orbital kecil
Tulang tengkorak membulat dan berukuran kecil Lidah menonjol keluar ; mungkin terpisah di bagian bibir di bawah permukaannya
Frontanela anterior membesar Mandibula hipoplastik
Rambut tipis (variabel) Melengkung ke arah bawah (terutama terlihat ketika menangis
GENITALIA WAJAHPeris kecil Profil datarKriptokordisme KAKI
GIGI*Jarak yang lebar anataraibu jari kai dan jari telunjuk pada jari kaki
Terlambat tumbuh *Lipatan telapak kaki antara ibu jari kaki dan jari telunjuk pada jari kaki
Kesejajaran tidak normal umum terjadi Besar gemuk pendekMikrodontia DADAPenyakit periodontal Tulang iga memendek
HIDUNG Anomali pada iga kedua belas*Kecil Pectus excavatum/carinatum*Jembatan hidung melesak (hidung seperti pelana) LEHER
MUSKULOSKELETAL *Kuli berlipat dan kendur *Hiperfleksibiltas Pendek dan besar*Kelemahan Otot KULIT Hipotonia Kering, pecah-pecah, dan sering etak Ketidakstabilan atlantoksial Cutis marmorata (bercak-bercak)
TELINGA ABDOMENKecil MembuncitDaun telinga pendek (telinga memanjang vertikal) Otot kendur dan lunakTelinga luar bagian atas tumpang tindih Rektus diastasissaluran sempit Hernia umbilikus
MANIFESTASI KLINIS LAIN Penurunan berat badan lahir
*paling sering ditemukan
Beberapa masalah fisik dihubungkan dengan sindrom Down. Banyak anak penserita
sindrom Down memiliki malformsi jantung kongenital, yang merupakan defek septum
terumum. Infeksi saluran pernapasan sangat sering dan jika dikombinasikan dengan anomali
jantung, merupakan penyebab kematian tersering, terutama selama tahun pertama kehidupan.
Hipotnitas dada dan otot abdomen serta disfungsi sitem imun merupakan faktor predisposisi
terjadinya infeksi saluran pernapasan. Masalah fisik lain meliputi tiroid, terutama
hipotiroidisme, dan peningkatan insidens leukemia. (Wong, 2009)
K. Tumbuh Kembang Anak dengan Sindrom Down
Keanekaragaman faktor bilogis, fungsi dan prestasi yang terdapat pada manusia normal,
juga terdapat pada anak yang menderita sindrom Down. Sehingga pada anak dengan kelainan
ini juga terdapat variasi yang luas pada semua aspek kehidupannya. Pada pertumbuhan
fisiknya dapat berkisar dari anak yang sangat pendek sampai yang tinggi di atas rata-rata,
dari anak yang beratnya kurang sampai yang obesitas. Demikian pula dengan kemampuan
intelektual anak, yaitu dari anak yang retardasi mental sampai yang intelegensnya normal.
seperti halnya emosi dan perilakunya yang juga bervaariasi sangat luas. Seorang anak dengan
sindrom Down dapat lemah dan tidak aktif, sedangkan yang lainnya agresif dan hiperaktif.
Sehingga gambaran streotipi di masa lalu tentang anak dengan sindrom Down yang pendek,
gemuk, tak menarik, dengan mulut yang selalu terbuka dan idah yang terjulur keluar, serta
retardasi mental yang berat adalah deskripsi yang tidak selalu benar. (Soetjiningsih, 2006)
Kecepatan pertumbuhan fisik anak dengan sindrom Down lebih endah disbanding dengan
anak yang normal. perlu dilakukan pemantauan pertumbuhan secara berkelanjutan pada anak
ini, karena sering disertai juga adanya hipotiroid. Sehingga kalau pertumbuhannya kurang
dari yang diharapkan, sebaiknya diperiksa kadar hormon tiroidnya. Selain itu, anak dengan
sindrom Down yang disertai masalah pada saluran pencernaan atau dengan penyakit bawaan
yang berat, juga lebih pendek bila dibandingkan dengan yang tanpa komplikasi.
Gangguan makan juga dapat terjadi pada anak yang disertai dengan kelainan kongenital
yang lain, sehingga berat badannyasulit naik pada masa bayi/prasekolah. Tetapi setelah masa
sekolah atau pada masa remaja, malah sering terjadi obesitas. (Soetjiningsih, 2006)
Pada umumnya perkembangan anak dengan sindrom Down, lebih lambat dari anak yang
normal. beberapa faktor seperti kelainan jantung kongenital, hipotonia yang berat, masalah
biologis atau lingkungan lainnya dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik
dan keterampilan untuk menolong diri sendiri. Sebaliknya anak yang mendapat program
intervensi dini, orang tua yang memberi lingkungna yang mendukung, serta tanpa adaya
kelainan jantung bawaan,maka perkembangan anak menunjukkan kemajuan yang relatif
pesat. (Soetjiningsih, 2006)
Penelitian terakhir tidak sependapat dengan kesan sebelumnya, bahwa anak dengan
sindrom Down selalu disertai retardasi mental yang berat. Tetapi kebanyakan dari mereka
disertai dengan retardasi mental yang ringan atau sedang. Beberapa anak bahkan taraf IQ nya
“borderline”, hanya sedikit yang retardasi mental berat. (Soetjiningsih, 2006)
Seangkan perilaku anak dengan sindrom Down pada awal kehidupannya tidak
menunjukkan temperamen yang berbeda dengan anak yang normal. demikian pula perilaku
sosialnya mempunyai pola interaksi yang sama dengan anak normal sebayanya. Walaupun
tingkat responnya berbeda secara kuantitatif, tetapi polanya adalah hampir sama.
(Soetjiningsih, 2006)
L. Penatalaksanaan Terapeutik
Walaupun tidak ada obat untuk sindrom Down, sejumlah terapi telah disarankan, seperti
pembedahan untuk mengoreksi anomaly kongenital dan kemungkinan cacat fisik, walaupun
terapi yang disebutkan terakhir controversial. Anak ini jugamendapatkan manfaat dari
perawatan medis yang teratur. Evaluasi penglihatan dan pendengaran penting, dan
pengobatan otitis media diperlukan untuk mencegah kehilangan pendengaran,yang dapat
memengaruhi fungsi kognitif. Pemeriksaan fungsi tiroid secara periodik disarankan, terutama
jika pertumbuhan sangat terlambat. Anak yang ikut serta dalam olahraga yang mungkin
gerakan dalam olahraga tersebut melibatkan tekanan kepala dan leher, seperti senam,
meyelam, gaya kupu-kupu dalam berenang, lompat tinggi, dan sepak bola, harus dievaluasi
secara radiologi terhadap ketidakstabilan atlantoaksial. Gejala gangguan meliputi nyeri leher,
kelemahan, dan tortikolis. Anak yang menderita sindrom Down berisiko mengalami
kompresi medulla spinalis.(Wong,2009)
M. Penanganan Secara Medis
Menurut Soetjiningsih (2006), anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan
penanganan medis yang sama dengan anak yang normal. mereka memerlukan pemeliharaan
kesehatan, imunisasi, kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarganya.
Tetapi terdapat beberapa keadaan dimana anak dengan sindrom Down memerlukan perhatian
khusus, yaitu dalam hal :
1. Pendengarannya
70-80% anak dengan sindrom Down dilaporkan terdapat ganguan pendengaran.
Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan telinga sejak awal kehidupannya, serta
dilakukan tes pendengaran secara berkala oleh ahli THT.
2. Penyakit jantung bawaan
30-40% anak dengan sindrom Down disertai dengan penyakit jantung bawaan.
Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh ahli jatung anak.
3. Penglihatannya
Anak dengan gangguan ini sering mengalami gangguan penglihatan atau katarak.
Sehingga perlu evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
4. Nutrisi
Beberapa kasus, terutama yang disertai kelainan kongenital yang berat lainnya,
akan terjadi gangguan pertumbuhan pada masa bayi/prasekolah. Sebaliknya ada juga
kasus justru terjadi obesitas pada masa remaja atau pada masa dewasa. Sehingga
diperlukan kerja sama dengan ahli gizi.
5. Kelainan tulang
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang mencakup dislokasi
patella, subluksasio pangkal paha atau ketidakstabilan atlantoaksial. Bila keadaan
yang terakhir ini sampai menimbulkan depresi medulla spinalis, atau apabila anak
memegang kepalanya dalam posisi seperti tortikolis, maka diperlukan pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa spina servikalis dan siperlukan konsultasi neurologis.
6. Lain-lain
Aspek medik lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya, meliputi
masalah imunologi, gangguan fungsi metabolism atau kekacauan biokimiawi.
Pada akhir-akhir ini dengan kemajuan dalam bidang biologi molekuler, amaka akan
memungkinkan dilakukan pemeriksaan secara langsung kelainan geneik yang mendasari
sindrom Down.
N. Pendidikan
Ternyata anak dengan sindrom Down mampu berpartisipasi dalam belajar melalui
intervensi dini, Taman Kanak-Kanak, dan melalui pendidikan khusus yang positif akan
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh.
1. intervensi dini
Dengan intervensi dini yang dilakukan pada bayi dengan sindrom Down dan
keluarganya, menyebabkan kemajuan yang tidak mungkin dicapai oleh mereka yang
tidak mengikuti program tersebut. Pada akhir-akhir ini, terdapat program intervensi
dini yang dipakai sebagai pedoman bagi orang tua untuk memberikan lingkungan
yang memadai bagi anak dengan sindrom Down makin meningkat. Anak akan
mendapat manfaat stimulasi sensoris dni, latihan khusus yang mencakup aktivitas
motorik kasar dan halus, dan petunjuk agar anak dapat berbahasa. Demikian pula
dengan mengajari anak mampu menolong diri sendiri, seperti belajar makan, belajar
buang air besar/kecil, mandi, berpakain, akan member kesempatan anak untuk belajar
mandiri. Telah disepakati secara umum bahwa kualitas rangsangan lebih penting
daripada jumlah rangsangan, dalam membentuk perkembangan fisik maupun mental
anak. Oleh karena itu perlu dipergunakan stimuli-stimuli yang spesifik.
(Soetjiningsih, 2006)
2. Taman Bermain/Taman Kanak-Kanak
Taman Bermain/Taman Kanak-Kanak juga mempunyai peranan yang cukup
penting pada awal kehidupan anak. Anaka akan memperoleh peningkatan
keterampilan motorik kasar dan halus dengan bermain dengan temannya. Anak juga
dapat melakukan interaksi sosial dengan temannya. Dengan memberikan kesempatan
bergaul dengan lingkungan di luar rumah, maka akan memungkinkan anak
berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas. (Soetjiningsih, 2006)
3. Pendidikan khusus (SLB-C)
Program pendidikan khusus pada anak dengan sindrom Down akan membantu
anak melihat dunia sebagai suatu tempat yang menarik untuk mengembangkan diri
untuk bekerja. Pengalaman yang diperoleh di sekolah akan membantu mereka
memperoleh perasaan tentang identitas personal, harga diri, dan kesenangan.
Lingkungan sekolah member kepada anak dasar kehidupan dalam perkembangan
keterampilan fisik, akademis dan kemampuan sosial. Sekolah hendaknya memberikan
kesempatan anak untuk menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain, serta
mempersiapkannya menjadi penduduk yang produktif. Kebanyakan anak dengan
sindrom Down adalah mampu didik. Dalam pendidikan anak diajari untuk bekerja
dengan baik dan menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya. Sehingga
anak akan mengerti mana yang salah dan mana yang benar, serta bagaimana harus
bergaul dengan masyarakat. Banyak masyarakat yan menerima anak dengan sindrom
Down apa adanya. (Soetjiningsih, 2006)
O. Penyuluhan Pada Orang Tua
Begitu diagonis sindrom Down ditegakkan, para dokter harus menyampaikan hal ini
secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama sangat menentukan adaptasi dan sikap orang
tua selanjutnya. Dokter harus menyadari bahwa pada waktu memberikan penjelasan yang
pertama kali, reaksi orang tua bervariasi. Penjelasan pertama sebaiknya singkat, oleh karena
pada waktu itu orang tua mungkin masih belum mampu berpikir secara nalar. Mungkin pada
waktu itu mereka dikuasai perasaan sedih ataupun sebagai mekanisme pembelaan dapat saja
mereka bereaksi berupa harapan, tidak mau menerima atau menolak. Dokter harapnya
memberikan cukup waktu, sehingga orang tua telah lebih beradaptasi dengan kenyataan yang
dihadapi. Akan lebih baik apabila kedua orang tua hadir pada waktu kita memberi penjelasan
yang pertama kali, agar mereka dapat saling memberikan dukungan. Dokter harus
menjelaskan bahwa anak dengan sindrom Down adalah individu yang memiliki hak yang
sama dengan anak yang normal, serta pentingnya makna kasih sayang dan pengasuhan orang
tua. (Soetjiningsih, 2006)
Pertemuan lanjutan diperlukan untuk memberikan penjelasan yang lebih lengkap. Waktu
yang diluangkan dokter untuk membicarakan berbagai pokok masalah, akan menyadarkan
orang tua tentang ketulusan hati dokter, dalam menolong mereka dan anaknya. Orang tua
harus diberi penjelasan apa itu sindrom Down, karakteristik fisik yang diketemukan dan
antisipasi masalah umbuh kembangnya. Orang tua harus diberi tahu bahwa fungsi motorik,
perkembangan mental dan bahasa biasanya terlambat pada sindrom Down. Demikian pula
kalau ada hasil analisa kromosom, harus dijelaskan dengan sederhana. Informasi juga
menyangkut tentang risiko terhadpa kehamilan berikutnya. Hal yang penting lainnya adalah
menekankan bahwa bukan ibu ataupun ayah yang dapat dipersalahkan atas kasusu ini. Akibat
terhadap kehidupa keluarga ataupun dampak [ada saudara-saudaranya mungkin pula akan
muncul dalam diskusi. Mungkin orang tua tidak mau meceritakan keadaan anaknya pada
anggota keluarga yang lainnya, untuk itu mereka harus dibesarkan hatinya agar mau terbuka
tentang masalah ini. (Soetjiningsih, 2006)
Walaupun menyampaikan masalah sindrom Down akan menyakitkan baik orang tua
penderita, tetapi ketidakterbukaan justru akan dapat meningkatkan isolasi atau harapan-
harapan yang tidak mungkin dari orang tuanya.
Akan lebih baik, kalau kita dapat melibatkan orang tua lain yang juga mempunyai anak
dengan sindrom Down, agar berbincang-bincang dengan orang tua yang baru punya anak
dengan kelainan yang sama tersebut. Mendengar sendiri tentang pengalaman dari orang yang
senasib biasanya lebih menyentuh perasaannya dan lebih dapat menolong secara efektif.
Sehingga orang tua akan lebih tegar dalam menghadapi kenyataan yang dihadapinya dan
menerima anaknya sebagaimana adanya. (Soetjiningsih, 2006)
P. Terapi Stimulasi
Anak yang mengalami kelainan sindrom down, umumnya memiliki kecerdasan (IQ)
rendah yaitu dibawah 30. Akan tetapi, saat ini dengan deteksi dini serta terapi stimulasi yang
diberikan secara teratur dan intensif, kecerdasan anak yang menderita sindrom Down dapat
diperbaiki hingga sub normal antara 70-90. Bahkan harapan untuk memiliki IQ normal yaitu
lebih dari 90 kini dimungkinkan, meskipun untuk menjadi pandai (IQ lebih dari 110) masih
mustahil. (Irdawati & Muhlisin, 2009)
Untuk merangsang perkembangan IQ anak penderita sindrom Down, terapi stimulasi
diberkan denga melatih gerakan-gerakan motorik anak sejak usia dini. Latihan tersebut dapat
dilakukan sendiri oleh anak dan dapat dibantu oleh ahli fisioterapi. Melalui gerakan-gerakan
motorik itu perkembangan saraf dirangsang sehingga biasa mempengaruhi perkembangan
saraf dan otaknya. (Irdawati & Muhlisin, 2009)
Q. Permainan
Menurut Irdawati & Muhlisin (2011) permainan dapat membantu pemahaman anak-
anak mengenai kehidupan. Melalui permainan juga, anak dengan sindrom Down akan
berupaya memahami hubungan saling terkait, sebab akibat
1. Permainan selidik dan jelajah
a. Terkait pada semua benda
b. Mengintip dan mengambil objek
c. Memutar dan menggosok objek pada permukaan lantai untuk melumat apa
yang terjadi
d. Merangkak dan berlatih serta berkeinginan membuka lemari, laci, bakul, atau kotak.
2. Permainan membina dan kognitif
Misalnya mencantumkan gambar berdasarkan corak, bentuk dan warna
3. Permainan sosial
a. Tertawa apabila digelitik
b. Bermain sembunyi-sembunyi
4. Permainan khayalan
a. Berpura-pura menjadi orang lain dalam suasana berbeda
b. Bermain masak-masak
5. Permainan merangsang pergerakan otot
Berlari, melompat, memanjat, dan menari
6. Permainan bahasa
a. Meniru gaya bicara
b. Menyanyi
R. Kualitas Hidup
Penderita down syndrome pada umumnya mengalami keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental, seperti gangguan dalam koordinasi sensori motorik, gangguan dalam
kognitif, dan sebagainya yang seringkali menyebabkan mereka kurang diterima secara sosial,
karena perilakunya yang tidak terkoordinasi dengan baik. Usia rata-rata pada saat kematian
adalah 49 tahun, namun banyak yang mencapai 50 hingga 60 tahun. Tanpa adanya cacat
jantung, sekitar 90% dari anak-anak dengan down syndrome hidup menjadi remaja pada anak
seumuran mereka. Penderita down syndrome mengalami perubahan fisik lebih cepat,
terutama dalam mengalami penuaan. Gejala seperti demensia, alzheimer, kehilangan daya
ingat, penurunan lebih lanjut dalam hal intelek, dan perubahan kepribadian, dapat
berkembang pada usia dini. Penyakit jantung dan leukemia sering menjadi penyebab
kematian anak dengan down syndrome. Namun, hal ini dapat diminimalisir dengan
menggunakan terapi-terapi bagi penderita down syndrome, sehingga mereka juga dapat
berkembang dan menjalani hidup secara lebih optimal. Pada umumnya, penderita down
syndrome selalu tampak gembira, mereka tidak sadar akan cacat yang dideritanya.
Harapan hidup untuk orang dengan down syndrome hanya sekitar 9 tahun. Dengan
perawatan medis yang lebih baik, banyak orang dengan down syndrome sekarang hidup
dengan baik dalam usia 50 tahunan atau lebih (Suryo, 2001).
S. Risiko Pewarisan dan Usaha Pencegahan
Faktor genetika seorang ibu sangat mempengaruhi tingkat kecerdasan seorang anak,
namun kelainan genetika dari seorang ibu juga dapat diturunkan kepada anak- anaknya,
termasuk diantaranya Retardasi Mental. Pengaruh itu sedemikian besar karena tingkat
kecerdasan seseorang terkait dangan kromosom X yang berasal dari ibu.
(Irdawaty&Muhlisin, 2009)
Untuk mengetahui apakah janin mempunyai kelainan genetik, di negara- negara maju
sudah dilakukan pemeriksaan kromosom secara rutin sebelum bayi lahir yang disebut
diagnosis prenatal. Bila seorang ibu umur >35 tahun atau dicurigai akan melahirkan bayi
dengan sindrom down, dilakukan pengambilan cairan ketuban atau sedikit bagian dari
placenta pada minggu ke 8-15 kehamilan. (Irdawaty&Muhlisin, 2009)
Pada diagnosis prenatal, amplifikasi DNA(PCR) dapat dilakukan sekaligus untuk
beberapa lokus pada beberapa kromosom, yang paling sering mengalami aberasi yaitu
kromosom 21, 13, 18, X dan Y dengan metode Multiplex Ligation dependent Probe
Amplification (MLPA), Dengan cara ini maka dalam waktu 24 jam sudah bisa didapatkan
hasi skrining trisomi 21, 13, 18, X dan Y. (Irdawaty&Muhlisin, 2009)
T. Prognosis
Harapan hidup untuk anak yang menderita sindrom Down telah meningkat dalam
beberapa tahun terakhir tetapi lebih rendah dibandingkan populasi umum. Lebih dari 80%
bertahan samapai usia 30 tahun dan di atas 30 tahun. Seiring dengan prognosis yang semakin
baik untuk individu ini, penting untuk memenuhi kebutuhan perawatan kesehatan jangka
panjang, sosial, dan waktu luang mereka (Wong, 2009)
BAB III
Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
Menurut Wong, D.L. (2009), pengkajian pada anak dengan sindrom Down adalah
sebagai berikut:
1. Pengkajian pada orang tua
Melalui teknik wawancara, kita akan mendapatkan riwayat keluarga, terutama yang
berkaitan dengan usia ibu atau anak lain dalam keluarga yang mengalami keadaan serupa.
2. Pengkajian pada anak
a. Mengkaji identitas dan keadaan umum anak
Pengkajian ini terdiri dari pemeriksaan secara umum seperti pengkajian identitas
anak, pemeriksaan status kesadaran, status gizi, tanda-tanda vital, dan lain-lain.
(Hidayat, A.A., 2005: 115).
b. Melakukan pengkajian perkembangan anak
Untuk menilai perkembangan anak pertama yang dapat dilakukan adalah dengan
wawancara tentang factor kemungkinan yang menyebabkan gangguan dalam
perkembangan, kemudian melakukan tes skrining perkembangan anak dengan DDST,
tes IQ, dan tes psikologi lainnya. Selain itu juga dapat dilakukan tes lainnya seperti
evaluasi dalam lingkungan anak yaitu interaksi anak selama ini, evaluasi fungsi
penglihatan, pendengaran, bicara, dan bahasa. (Hidayat, A.A., 2005: 38).
c. Melakukan pengkajian fisik
Pengkajian fisik yang dapat kita lakukan adalah mengobservasi adanya
manifestasi sindrom Down yang meliputi:
Karakter fisik (paling sering terlihat):
1) Tengkorak bulat kecil dengan oksiput datar
2) Lipatan epikantus bagian dalam dan fisura palpebra serong (mata miring ke atas,
ke luar)
3) Hidung kecil dengan batang hidung tertekan ke bawah (hidung sadel)
4) Lidah menjulur (kadang berfisura)
5) Mandibula hipoplastik (membuat lidah tampak besar)
6) Palatum berlengkung tinggi
7) Leher pendek tebal
8) Muskulatur hipotonik (abdomen buncit, hernia umbilicus)
9) Sendi hiperfleksibel dan lemas
10) Garis simian (puncak transversal pada sisi telapak tangan)
11) Tangan dan kaki lebar, pendek dan tumpul
Intelegensia
1) Bervariasi dari retardasi hebat sampai intelegensia normal rendah
2) Umumnya dalam rentang ringan sampai sedang
3) Kelambatan bahasa lebih berat daripada kelambatan kognitif
Anomali kongenital (peningkatan insidens)
1) Penyakit jantung kongenital (paling umum)
2) Defek lain meliputi:
a) Agenesis renal
b) Atresia duodenum
c) Penyakit Hirscprung
d) Fistula trakeoesofagus
e) Subluksasi pinggul
f) Ketidakstabilan vertebra servikal pertama dan kedua (ketidakstabilan
atlantoaksial)
Masalah sensori (seringkali berhubungan)
Dapat mencakup hal-hal berikut:
1) Kehilangan pendengaran konduktif (sangat umum)
2) Strabismus
3) Myopia
4) Nistagmus
5) Katarak
6) Konjungtivitis
Pertumbuhan dan perkembangan seksual
1) Pertumbuhan tinggi dan berat badan menurun; umumnya obesitas
2) Perkembangan seksual terlambat, tidak lengkap atau keduanya
3) Infertile pada pria, wanita dapat fertile
4) Penuaan premature umum terjadi; harapan hidup rendah
d. Untuk memperoleh data penunjang, kita dapat melakukan test diagnostic
(pemeriksaan penunjang) misalnya:
1) Neuroradiologi
2) Ekoensefalografi
3) Biopsy otak
4) Penelitian biokimiawi
5) Analisis kromosom
6) Rontgent dada
7) Rontgent saluran pencernaan
8) Ekokardiogram
9) EKG
10) Dermatogiflik
11) Uji intelegensi standar
12) Uji perkembangan seperti Denver II
13) Pengukuran fungsi adaptif
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Wong, D.L. (2009),
1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi pernapasan
2. Kerusakan menelan berhubungan dengan hipotonia, lidah besar, kerusakan kognitif
3. Risiko tinggi konstipasi berhubungan dengan hipotonia
4. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan hipotonia, hiperekstensibilitas sendi,
instabilitas atlantoaksial
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang mnederita
sindrom Down
6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan fungsi
kognitif
7. Risiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua
C. Intervensi Keperawatan
1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi pernapasan
Sasaran pasien 1 : pasien tidak menunjukkan bukti-bukti infeksi pernapasan
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Ajarkan keluar tentang penggunaan teknik
mencuci tangan yang baik
Mengurangi pemajanan pada
organism infektif
2 Tekankan pentingnya mengganti posisi
anak dengan sering, terutama penggunaan
postur duduk.
Mencegah penumpukan sekresi dan
memudahkan ekspansi paru
3 Dorong penggunaan vaporize r uap dingin Mencegah krusta sekresi nasal dan
mengeringnya membrane mukosa
4 Ajarkan pada keluarga pengisapan hidung
dengan spuit tipe-bulb
Tulang hidung anak yang tidak
berkembang menyebabkan masalah
kronis ketidakadekuatan drainase
mukus
5 Tekankan pentingny perawatan mulut
yang baik (mis. Lanjutkan pemberian
makan dengan air jernih), sikat gigi
Menjaga mulut sebersih mungkin
6 Dorong kepatuhan terhadap imunisasi
yang dianjurkan
Mencegah infeksi
7 Tekankan pentingnyamenyelesaikan
program antibiotik bila diinstruksikan
Keberhasilan penghilangan infeksi
dan mnecegah pertumbuhan
organism resisten
2. Kerusakan menelan berhubungan dengan hipotonia, lidah besar, kerusakan kognitif
Sasaran pasien 1 : Kesulitan pemberian makan pada masa bayi menjadi minimal
No Intervensi Keperawatan Rasional1 Hisap hidung bayi setiap kali sebelum
pemberian makan, bila perlu
Menghilangkan mukus
2 Jadwalkan pemberian makan sedikit tapi
sering; biarkan anak untuk beristirahat
selama pemberian makan
Mengisap dan makan dalam waktu
lama sulit dilakukan dalam waktu
lama
3 Jelaskan pada keluarga bahwa menarik
lidah merupakan respon normal pada
anak dengan lidah menjulur dan tidak
berarti penolakan terhadap makanan
4 Berikan makanan padat dengan
mendorongnya ke mulut bagian belakang
dan samping; gunakan sendok bayi yang
panjang dan bertangkai lurus ; jika
makanan didorong keluar, berikan
kembali makanan ke mulut bayi.
5 Hitung kebutuhan kalori untuk memenuhi
kebutuhan energi; hitung asupan
berdasarkan urutan usia
Pertumbuhan cenderung lebih lambat
pada anak-anak dengan sindrom
Down
6 Pantau tinggi badan dan berat badan
dengan interval yang teratur
Mengevaluasi asupan nutrisi
7 Rujuk ke spesialis untuk maslah makan
yang spesifik
3. Risiko tinggi konstipasi berhubungan dengan hipotonia
Sasaran pasien 1 : Pasien tidak menunjukkan bukti-bukti konstipasi
No Intervensi keperawatan Rasional
1 Pantau frekuensi dan karakteristik
defekasi
Mendeteksi kosntipasi
2 Tingkatkan hidrasi adekuat Mencegah konstipasi
3 Berikan diet tinggi serat pada anak Meningkatkan evakuasi feses
4 Berikan pelunak feses, supositoria, atau
laksatif sesuai kebutuhan dan instruksi
Eliminasi usus
4. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan hipotonia, hiperekstensibilitas sendi,
instabilitas atlantoaksial
Sasaran pasien 1 : pasien mengalami cedera yang berkaitan dengan aktivitas fisik
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Anjurkan aktivitas bermain dan olahraga
yang sesuai dengan maturasi fisik anak,
ukuran, koordinasi, dan ketahanan
Menghindari cedera
2 Anjurkan anak untuk berpartisipasi dalam
olahraga yang dapat melibatkan tekanan
pada kepala dan leher (mis. Lompat
tinggi, senam, menyelam) yang
dievaluasi secara radiologis instabilitas
atlantoaksial
Mengurangi gejala instabilitas
atlantoaksial
3 Ajarkan keluarga dan pemberi perawatan
lain (mis. Guru, pelatih) gejala intabilitas
atlantoaksial (nyeri leher, kelemahan,
torikolis)
Perawatan yang tepat dapat
diberikan
4 Laporkan dengan segera adanya tanda-
tanda kompresi medulla spinalis (nyeri
leher menetap, hilangnya keterampilan
motorik stabil dan kandung kemih/usus,
perubahan sensasi)
Mencegah keterlambatan pengobatan
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang mnederita
sindrom Down
a. Sasaran pasien (keluaraga) 1 : Pasien (keluarga) menunjukkan perilaku keekatan
orang tua dan bayi
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Tunjukkan penerimaan terhadap anak
melalui perilaku anda sendiri
Orangtua sensitive terhadap sikap
afektif orang lain
2 Jelaskan pada keluarga bahwa kurangnya Hal ini mungkin mudah
molding atau clinging pada bayi adalah
karakteristik fisik dari sindrom Down
diinterprestasikan dengan mudah
sebagai tanda ketidakadekuatan atau
penolakan
3 Anjurkan orang ua untuk membendung
atau menyelimuti bayi dengan ketat dalam
selimut
Memberikan kemanan dan
kompensasi terhadap kurangnya
molding atau clinging
Sasaran pasien (keluarga) 2 : Keluarga siap untuk mengahadapi perawatan anak yang
yang berkenaan dengan defek (uraikan)
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Diskusikan dengan orang tua dan anak
(bila tepat) tentang ketakutan mereka dan
masalah defek jantung dan gejala fisiknya
pada anak
Hal ini sering menyebabkan
ansietas/kekhawatiran
2 Kenali kekhawatiran dan kebutuhan akan
informasi dan dukungan
Mengurangi ansietas
3 Dorong keluarga agar terlibat dalam
perawatan anak
Orang tua akan mengetahui
kebutuhan anak
Sasaran pasien (keluarga) 3 : Pasien (keluarga) mendapatkan dukungan yang adekuat
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Rujuk ke pelayanan konseling genetic bila
diindikasin dan/atau diinginkan
Keluarga mendapatkan informasi dan
dukungan
2 Rujuk pada organisasi atau kelompok
orang tua yang dirancang untuk keluarga
dengan anak sindrom Down
Keluarga mendapatkan dukungan
lanjutan
3 Tekankan aspek positif dari merawat anak
di rumah
Membantu keluarga memaksimalkan
potensi perkembangan anak
6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan fungsi
kognitif
Sasaran pasien 1 : Pasien mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal
No Intervensi Keperawatan Rasional
1 Libatkan anak dan keluarga dalam
program stimulasi dini pada bayi
Membantu memaksimalkan
perkembangan anak
2 Kaji kemajuan perkembangan anak
dengan interval regular; buat catatan yang
terperinci untuk membedakan perubahan
fungsi yang samar
Rencana perawatan dapat diperbaiki
sesuai kebutuhan
3 Bantu keluarga menentukan kesiapan
anak untuk mempelajari tugas-tugas
khusus
Kesiapan anak mungkin tidak mudah
dikenali
4 Bantu keluarga menyusun tujuan yang
realistis untuk anak
Mendorong keberhasilan pencapaian
sasaran dan harga diri
5 Berikan penguatan positif atas tugas-tugas
khusus atau perilaku anak
Memperbaiki motivasi dan
pembelajaran
6 Dorong untuk mempelajari keterampilan
perawatan diri segera setelah anak
mencapai kesiapan
Anak mampu melakukan perawatan
diri
7 Kuatkan aktivitas perawatan diri Memfasilitasi perkembangan yang
optimal
8 Dorong keluarga untuk mencari tahu
program khusus perawatan sehari dan
kelas-kelas pendidikan segera
Orang tua mampu membantu anak
melakukan perawatan
9 Tekankan bahwa anak mempunyai
kebutuhan yang sama dengan anak lain
(mis. Bermain, disiplin, interaksi sosial)
Membantu memaksimalkan
perkembangan anak
10 Sebelum remaja, berikan penyuluhan pada
anak dan orang tua tentang maturasi fisik,
perilaku seksual, perkawinan, dan
Memberi informasi mengenai
perubahan diri ketika maturasi
keluarag
7. Risiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua
Sasaran pasien (keluarga) 1 : Tidak terjadi sindrom Down
No Intervensi keperawatan Rasional
1 Diskusikan dengan wanita berisiko tinggi
tentang bahaya melahirkan anak dengan
sindrom Down
Keluarga dapat membuat keputusan
reproduktif
2 Dorong semua wanita hamil yang
berisiko (lebih dari usia 35, riwayat
keluarga sindrom Down, atau yang
sebelumnya melahirkan anak edngan
sindrom Down) untuk
mempertimbangkan pengambilan sampel
vilus korionik atau amniosintesis
Menyingkirkan sindrom Down pada
janin
3 Diskusikan dengan orang tua anak remaja
sindrom Down tentang kemungkinan
konsepsi pada wanita dan perlunya
metode kontrasepsi
Keluarga dapat membuat keputusan
reproduktif berdasarkan informasi
D. Evaluasi
1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan hipotonia, peningkatan kerentanan terhadap
infeksi pernapasan
Evaluasi :
Anak tidak menunjukkan bukti infeksi atau distress pernapasan
2. Kerusakan menelan berhubungan dengan hipotonia, lidah besar, kerusakan kognitif
Evaluasi :
a. Bayi mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang adekuat yang sesuai dengan usia
dan ukurannya
b. Keluarga malporkan kepuasan dalam meberikana makanan
c. Bayi
d. menambha berat badannya sesuai tabel standar berat badan
e. Keluarga mendapatkan manfaat dari pelayanan spesialis
3. Risiko tinggi konstipasi berhubungan dengan hipotonia
Evaluasi :
Anak tidak mengalami konstipasi.
4. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan hipotonia, hiperekstensibilitas sendi,
instabilitas atlantoaksial
Evaluasi :
a. Anak berpartisipasi dalam aktivitas bermain dan berolahraga.
b. Anak tidak mengalami cedera berkaitan dengan aktivitas fisik.
5. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang mnederita
sindrom Down
Evaluasi :
a. Orang tua dan anak menunjukkan perilaku kedekatan.
b. Keluarga mampu menghadapi perawatan yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah
kesehatan khusus.
c. Anggota keluarga mendapat manfaat dari kelompok pendukung
d. Keluarga menunjukkan sikap positif
6. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan kerusakan fungsi
kognitif
Evaluasi :
Pasien mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal
7. Risiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua
Evaluasi :
a. Wanita hamil yang berisiko memeriksakan diri untuk kemungkinan sindrom Down.
b. Keluarga menunjukkan pemahaman tentang pilihan yang tersedia untuk mereka
c. Keluarga dari anak perempuan yang menderita gangguan ini mencari alat
kontraseptif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sindrom Down merupakan bentuk keterbelakangan mental yang disebabkan karena
adanya abnormalitas kromosom, sehingga berdampak pada kualitas hidup individu.
Walaupun tidak bisa disembuhkan, tetapi penderita ini bisa dilatih dan dididik secara
khusus, dengan cara memberikan keterampilan musik, mengajaknya berinteraksi satu sama
lain, perawatan medis di tempat yang ditentukan, lingkungan keluarga yang kondusif,dan
pelatihan kejuruan dapat meningkatkan perkembangan keseluruhan anak-anak dengan
sindrom Down. Meskipun beberapa keterbatasan genetik fisik sindrom Down tidak dapat
diatasi, pendidikan dan perawatan yang tepat akan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dan hal yang paling penting, adalah sikap memahami dan penerimaan tanpa syarat
(unconditional positive regards) dari orangtua dan keluarga terdekat penderita sindrom
Down, agar mereka juga dapat mengaktualisasikan dirinya dengan segala keterbatasan dan
potensi yang mereka miliki.
B. Saran
Melalui makalah ini kelompok mengharapkan agar pengetahuan mengenai sindrom Down
dapat diketahui oleh para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat buat kehidupan pembaca, baik
dalam aplikasi praktik di lingkungan rumah sakit maupun di lingkungan sekitar sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Wibowo & Haribowo , Andi Sulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada
Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta : Salemba Medika
Hull, david & Derek I. Johnston. 2008. Dasar-Dasar Pediatri. Jakarta : EGC
Schwartz, M.William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC
Soediono, Janti. 2009. Gangguan Tumbuh kembang Dentokraniofasial. Jakarta : EGC
Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Jakarta : EGC