simbolisme wayang dalam falsafah hidup jawa

Upload: arka-sura-putra

Post on 20-Jul-2015

426 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

48697

SIMBOLISME WAYANG DALAM FALSAFAH HIDUP JAWALatar Belakang Ada banyak jenis wayang, namun yang akan kita bahas adalah mengenai wayang kulit. Pertunjukan wayang kulit (purwa/ringgit) telah dikenal di pulau Jawa semenjak 1500 SM. Pagelaran wayang, saat ini hanya dikenal oleh generasi tua saja. Bagi generasi muda, wayang hanyalah sekedar penghias dinding atau barang antik saja. Jika tidak dilestarikan, bukan tidak mungkin wayang akan menghilang dari tanah Jawa. Dan jika kita ingin menyaksikan pertunjukan wayang, kita harus pergi ke luar negeri, karena orang luar pada umumnya dan orang barat pada khususnya sangat tertarik dengan seni pewayangan. Kalau terus dibiarkan, orang Jawa akan kehilangan kejawaannya. Elemen-elemen dalam pergelaran wayang: peralatan, karawitan, cerita, pelaku (dalang, pangrawit, pesinden), dan penonton, dipandang sebagai Simbol kehidupan atau wewanyangane ngaurip. Dalam wayang selain tersimpan nilai moral dan estetika, juga tersirat akan pandangan hidup masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, yang akan kita bahas dalam tulisan ini adalah mengenai simbolisme wayang purwa sebagai pandangan hidup orang Jawa secara umum dan memperkenalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ceritacerita pewayangan. Dari sini penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai hakekat wayang bagi kehidupan manusia. Permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini adalah: Apa itu wayang sebenarnya dan apa saja yang mendukung pagelaran wayang? Cerita-cerita apa saja yang paling sering disajikan? Makna apa yang terkandung dari wayang dan cerita yang disajikan itu sendiri? Dalam penulisannya, penulis mengharapkan agar mahasiswa lebih mengenal wayang sebagai peninggalan budaya yang bernilai sangat tinggi dan memahami secara bijaksana nilai-nilai yang terkandung dalam seni pewayangan, juga agar para mahasiswa dapat mempelajari falsafah hidup orang Jawa dan dapat mengamalkannya. Dalam penulisannya, penulis menggunakan metode kepustakaan dan mencari data dari buku-buku dan sumber dari internet yang mendukung penulisan makalah ini. Serta mencari artikel yang membahas mengenai wayang baik dari majalah atau pun Koran. Mengenal Wayang

148697

48697

Wayang dikenal sejak zaman prasejarah yaitu sekitar 1500 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Indonesia memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. (Wikipedia, 14 April 2011) Ada puluhan jenis wayang yang tersebar di Indonesia. Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dibawakan biasanya berasal dari epos Ramayana dan Mahabharata. Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan baik secara bentuk dan cara pergelaran wayang purwa maupun isi dan fungsinya. Wayang merupakan media yang paling ampuh untuk penyebaran agama Islam di Jawa, karena wayang memiliki makna filosofi yang mendalam. Bentuk wayang yang paling popular di Jawa adalah wayang kulit. Wayang kulit dibuat dari kulit dan diukir dengan indah menyerupai manusia. Wayang digerakkan oleh dalang di depan kelir (kain putih) dengan disinari blencong/ lampu sebagai simbol matahari. Lakon-lakon wayang purwa/kulit diambil dari empat siklus yang bahannya sebagian besar diambil dari India: 1. mitos-mitos masa permulaan kosmos mengenai dewa, raksasa, dan manusia pada permulaan zaman; 2. siklus Arjuna Sasrabahu yang memuat pendahuluan epos Ramayana; 3, siklus Ramayana dan; 4. siklus Mahabarata.1 Namun, di Jawa juga mengenal adanya lakon carangan (lakon cabang) yang menceritakan berbagai cerita tentang seluruh keturunan dari para Pandhawa. Dari 149 lakon yang dicatat Kats, 117 berupa carangan. Hanya ada 32 Lakon pokok. Kebanyakan lakon carangan mengambil tempatnya dalam satu tahun di mana Pandhawa menikmati kekuasaan di Amarta, dengan tidak banyak diganggu-gugat oleh saudara-saudara Kurawa dari Astina (sedangkan seluruh siklus Mahabarata menjangkau enam generasi).2 Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah pertujukan bayang-bayang.(Sri Mulyono,1

Frans Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Ibid., hlm. 164.

Jawa (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm.160.2

248697

48697

Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, 1975, Jakarata, Gunung Agung, hlm. 8-9.). Wayang dalam pengertian hyang, dewa, roh, atau sukma memberikan gambaran bahwa wayang merupakan perkembangan dari upacara pemujaan roh nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lampau (Hazeu, 1979:51). Benang merah dari tradisi ini tampak pada upacara ruwatan, yakni wayang sebagai sarana pembebasan malapetaka bagi seseorang/ kelompok orang yang terkena sukerta/ noda gaib. Di samping itu wayang pun memiliki kekuatan sebagai media pendidikan (Hazim Amir, 1991: 19) dan komunikasi. Wayang berfungsi ganda yaitu wayang sebagai tontonan dan wayang sebagai tuntunan. (Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, 2000, Semarang, Dahara Prize, hlm. 36.) Menurut Soemarsaid Moertono (1985), wayang menghidangkan sesuatu yang bermanfaat bagi setiap penonton yang terdiri dari berbagai macam orang. Sebagai tontonan, wayang memperlihatkan seni pertunjukan yang tinggi. Sebagai contoh dalam wayang kulit3 kita akan menyaksikan perpaduan antara seni rupa, seni musik, dan seni bercerita. Sebagai tuntunan, terdapat banyak pesan moral yang yang terkandung dalm wayang. Kedua fungsi ini berjalan seimbang dan seiring. Dalam wayang, orang dapat melihat adanya sekelompok pemeran atau tokoh yang sangat berbeda dari tokoh-tokoh sebelah kanan dan tokoh-tokoh sebelah kiri, sesuai dengan penggolongan kosmoolgis yang sangat terkenal pada masyarakat Jawa. (Moertono, 1985: 28). Yang ada di sisi kiri merupakan kelompok wayang tang memiliki sifat ala (buruk), sedangkan yang ada di sisi kanan merupakan kelompok wayang yang memiliki sifat becik (baik). Dalam kosmologi Jawa, kita mengena adanya paham tentang keselarasan dan keseimbangan. Sehingga, selalu ada sisi kanan dan sisi kiri, yang baik takkan ada tanpa yang buruk. Dalam hubungan ini, menarik perhatian bahwa dalam Koramasrawa (suatu tulisan dari abad XV), para Kurawa sesudah berakhirnya perang Baratayudha dihidupkan kembali dan peperangan dimulai lagi; karena bagaimana mungkin (dunia) dapat teratur dengan baik apabila tidak ada lagi Kurawa dan Pandawa. Merekalah isi dunia. (Magnis-Suseno, 1984:165-166). Simbolisme Wayang dalam Falsafah Hidup Jawa3

Pertunjukan wayang purwa diadakan pada berbagai kesempatan sosial atau kerumahtanggaan

untuk menjamin agar segala sesuatu berjalan dengan baik dan untuk mencegah berbagai bahaya begitu pula pada hari-hari besar kehidupan seperti perkawinan, slametan, sunat, dll .Lihat Frans Magnis Suseno, 1984; tentang Etika Wayang, hlm. 160.

348697

48697

Kenapa wayang sarat dengan simbolisme? Sebenarnya bukan hanya wayang yang sarat dengan simbol. Cassirer mengungkapkan kita akan menemukan simbol di dalam agama, mite, dan seni. (F. W. Dillistone, The Power of Symbol, 2002, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, hlm. 122.) Simbol dapat membuka realitas yang lebih besar dan transenden yang tidak dapat dibahasakan dengan konsep. Fungsi simbol adalah merangsang daya imajinasi dengan menggunakan sugesti, asosiasi, dan relasi. Menurut Moertono, dengan mempertimbangkan pula sifat sakral pertunjukan wayang, tidak salahlah bila kita menganggap bahwa wayang sesungguhnya mencerminkan cita-cita dan hasrat masyarakat Jawa. Karena itu, wayang sebagai pencerminan cita-cita manusia Jawa tulen juga menyampaikan kepada kita sesuatu mengenai hubungan kawula-gusti yang ideal (Moertono, 1985: 28). Arti filsafat yang lebih mendalam adalah bayangan kehidupan manusia yang digelar dan dirangkai dalam suatu cerita. Pada dasarnya, dunia wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia ini beserta dengan permasalah-permasalahan yang dihadapinya. Namun, wayang mengajarkan kita untuk bertindak bijaksana dalam melakukan suatu usaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Orang Jawa juga percaya akan adanya keselarasankeharmonisan dan untuk itu orang Jawa harus melakukan sesuatu hal untuk mempertahankannya. Entah itu baik atau buruk, bagi orang Jawa asalkan perbuatan yang buruk itu bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang baik, maka perbuatan buruk itu bisa dimaklumi, karena di Jawa, budaya pangertiannya (pangerten) dan budaya ewuh pakewuhnya cukup tinggi dan definisi perbuatan jahat dan baik itu agak samar, dan yang ada adalah antara orang yang bijaksana dan orang yang bodoh. Siapa yang tidak memenuhi etika Jawa tidak terutama dianggap sebagai jahat melainkan sebagai bodoh,4 belum njawani/ belum bijaksana/ belum mengerti dunia/ belum dewasa. Ciri khas pandangan dunia Jawa ialah bahwa manusia tidak dibenarkan mau meninggalkan dunia. Manusia memang jangan mengikat diri pada dunia, melainkan ia hendaknya menjadi bebas hatinya daripadanya, tetapi bukan untuk menarik diri dari dunia, melainkan sebaliknya untuk melepaskan diri dari napsu-napsu dan pamrihnya (egoisme) dan dengan demikian menjadi sanggup untuk memenuhi tugasnya masing-masing dalam dunia demi pemeliharaan masarakat. Oleh karena itu, Bima tidak diperkenankan tetap tinggal dalam4

Ibid., 1984, hlm. 214.

448697

48697

batin Dewaruci5, melainkan harus pulang kepada kakak dan adiknya di Amarta. Dan oleh karena itu pun, orang Jawa tidak begitu semangat mengenai usaha-usaha semadi dan laku tapa yang keras, yang melemahkan tubuh, atau untuk tetap tinggal di pertapaan.6 Setiap wayang telah memiliki nasibnya sendiri yang telah ditentukan oleh para dewa. Apabila setiap wayang memenuhi tugasnya, tatanan seluruh alam semesta dan masyarakat terpelihara. Pada wayang-wayang itu, pada tindakan dan nasib masingmasing, orang Jawa dapat memahami makna kehidupan.7 Secara tradisi, pergelaran wayang kulit dilakukan semalam suntuk, yaitu dari pukul 21.00-06.00, yang dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu 1) pathet nem yang berlangsung dari pukul 21.00 hingga pukul 24.00; 2) pathet sanga berlangsung dari pukul 24.00 hingga pukul 03.00 ; dan pathet manyura yang berlangsung dari pukul 03.00 hingga pukul 06.00. Menurut dalang muda Ki R.T. Ir. Warsena, M. Si. (Slank), pembagian tahapan dalam pergelaran wayang kulit yang menjadi tiga bagian (patet nem, patet sanga, dan patet manyura) itu melambangkan tiga tahapan dalam kehidupan manusia yaitu masa lahir (patet nem), masa dewasa (patet sanga), dan masa kematian (patet manyura). Permulaan pementasan wayang dimulai dengan gunung yang berterbangan begitu pula penutupannya, hampir mirip dengan konsep awal alam semesta yang terjadi setelah ledakan besar, atau seturut kehendak Sang Hyang Widi.8 Wayang digerakkan oleh dalang. Dalang diibaratkan sebagai Sang Hyang Widi yang telah menetapkan nasib masingmasing wayang. Wayang digelar di depan kelir yang diibartkan sebagai dunia. Wayang juga ditancapkan di Debog (Palemahan) yang diibaratkan sebagai bumi/ tanah, tempat manusia berpijak. Dalam pergelaran wayang kulit, tahapan patet nem ditandai dengan penancapan gunungan yang condong ke kiri, tahapan patet sanga ditandai dengan penancapan gunungan tegak lurus, dan patet manyura ditandai dengan penancapan gunungan condong ke kanan. Sesuai dengan adegan-adegannya, tahapan patet nem melambangkan kehidupan manusia pada masa kanak-kanak. Pada adegan kedhaton, di mana raja yang selesai5 6 7 8

Lihat Frans Magnis Suseno, 1984, hlm. 114-121. Ibid., hlm. 145. Ibid., hlm. 160. Wayang, Dunia Wayang, http://wayang.wordpress.com/2010/07/19/dunia-wayang/,

diakses pada 16 April 2011

548697

48697

bersidang diterima oleh permaisuri untuk bersantap bersama diartikan sebagai lambang bayi yang baru lahir untuk disambut di pangkuan sang ibu. Adegan paseban jawi melambangkan kehidupan seorang anak yang mulai mengenal dunia luar. Adegan jaranan yang ditampilkan dengan pasukan binatang diartikan melambangkan watak anak, bahwa anak yang belum dewasa memiliki sifat-sifat seperti binatang. Adegan perang ampyak melambangkan perjalanan kehidupan seorang anak yang sudah beranjak dewasa, mulai menghadapi banyak kesulitan dan hambatan. Akhir dari perang ampyak menunjukkan semua kesulitan dan hambatan dapat diatasi dengan baik. Adegan sabrangan (adegan raksasa) diartikan melambangkan seorang anak yang sudah dewasa namun masih mempunyai watak-watak yang dominan dalam keangkaramurkaan, emosional, dan nafsu. Adegan terakhir dalam patet nem adalah perang gagal, yaitu suatu perang yang belum berakhir dengan suatu kemenangan. Adegan ini melambangkan suatu tataran hidup yang belum mantap, karena belum mempunyai tujuan yang pasti. Adegan pada patet sanga terdiri dari adegan goro-goro, adegan pertapaan atau pandhita, adegan perang kembang, dan adegan sintren. Adegan goro-goro adalah adegan yang paling meriah dan menyenangkan. Adegan ini diartikan bahwa ketika manusia menginjak dewasa, hidup ini terasa sangat indah dan menyenangkan. Tokoh Punakawan dimainkan dalam sesi Goro-Goro. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiap pertunjukkan wayang antara satu lakon dengan lakon yang lain. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh membunuh antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan,mengapa? Dalam falsafah orang Jawa, hal ini diartikan bahwa janganlah emosi kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada,jangan mengambl kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya. Ketika lakon goro-goro selesai dimainkan, barulah ada adegan yang menggambarkan peperangan dan pertumpahan darah. Itu dapat diartikan, Jika musyawarah tidak dapat dilakukan ,maka ada cara lain yang dapat ditempuh dalam menegakkan kebenaran.9 Punakawan merupakan sekelompok wayang yang berpenampilan agak nyleneh (tidak wajar). Mereka selalu digambarkan dengan cacat fisik dan sifat yang tidak senohnoh serta agak kasar, dan mereka dianggap mewakili dan sedikit banyaknya9

Bongki Rebel, Mengapa Harus Ada Goro-Goro? http://www.pitoyo.com/, diakses pada 9

April 2011

648697

48697

melambangkan rakyat biasa.10 Punakawan terdiri dari Semar dan putra-putranya: (Nala) Gareng, Petruk, dan Bagong, mengabdi pada pihak kanan (baik). Togog dan temannya Sarawita (Bilung) mengabdi pada pihak kiri (jahat/ala).11 Semar adalah Bathara Ismaya. Dewa ini turun ke bumi di Karangkedhempel dengan misi suci mengabdi kepada manusia yang berbudi luhur. Istilah Jawanya, dewa ngawula kawula kang ngawula dewa, dewa mengabdi manusia yang beriman kepada Tuhannya. Semar kepemimpinannya atas kelima prinsip sangkan paraning dumadi. Sebagai pasemon, Semar melambangkan kesadaran kita yang paling dalam, yakni rasa eling (ingat). Rasa eling inilah yang memimpin kita meniti jalan kehidupan kita antara sangkan dan paran menuju Yang Abdi. Rasa eling ini diharapkan senantiasa melindungi kita dari goda dan bencana. Jika dalam menghadapi kemelut apapun dan sebesar apapun, kita selalu eling dan waspada, insya Allah kita akan aman dan rahayu slamet nir sambekala.12 suatu penafsiran lain menyamasuaikan Semar dengan keabadian yang tak punya bentuk, sementara putra-putranya; Gareng Petruk dan Bagong dianggap perwujudan masa lalu, masa kini dan masa datang.13 Adegan pandhita adalah adegan pertemuan antara seorang pendeta di pertapaan dengan seorang ksatriya. Adegan ini melambangkan suatu masa di mana manusia sudah mulai mencari guru untuk belajar ilmu pengetahuan. Adegan perang kembang adalah perang antara raksasa melawan seorang ksatria yang diiringi punakawan. Adegan perang kembang melambangkan suatu tataran di mana manusia sudah mulai mampu dan berani memenangkan atau mengalahkan nafsu-nafsu angkaramurka. Adegan sintren adalah adegan yang menggambarkan seorang ksatria sudah menetapkan pilihannya dalam menempuh hidupnya. Adegan tersebut melambangkan tataran di mana manusia sudah mampu menentukan pilihan dalam hidupnya. Adegan pada patet manyura terdiri dari jejer manyura, perang brubuh, dan tancep kayon. Dalam jejer manyura diceritakan bahwa tokoh utama di dalam lakon sudah berhasil dan mengetahui dengan jelas tentang tujuan hidupnya. Adegan ini melambangkan tataran kehidupan manusia, di mana manusia setelah berhasil menentukan pilihan dalam hidupnya, lalu bertekat untuk menggapai tujuan hidupnya tersebut. Adegan perang brubuh disebut pula adegan perang ageng10 11 12

Soemarsaid Moertono, 1985, hlm. 28. Ibid. Pdwi, Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang,

http://www.pdwi.org/, diakses pada 16 April 201113

Soemarsaid Moertono, 1985, hlm. 29.

748697

48697

(perang besar) karena merupakan perang yang paling besar, dengan banyak korban yang berjatuhan. Perang ini diakhiri dengan kemenangan di pihak ksatria. Adegan ini melambangkan bahwa di sini manusia sudah dapat menyingkirkan segala rintangan dan berhasil menumpas segala hambatan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Setelah adegan ini kemudian dilanjutkan dengan tancep kayon sebagai penutup bagi pergelaran wayang tersebut, yaitu kayon ditancapkan di tengah-tengah kelir lagi sebagaimana halnya ketika pergelaran wayang belum dimulai. Adegan tancep kayon ini melambangkan proses maut, yaitu manusia sudah meninggalkan alam fana, menuju ke alam baka yang kekal danabadi. (Jantra Vol. I, No. 1, Juni 2006: 50-52) Selain dalam pertunjukannya wayang juga memiliki makna filosofi dalam ceritanya.

Dalam kisah Mahabaratha misalnya, Pandhawa tidak hanya digambarkan sebagai orangorang yang baik dan Kurawa sebagai orang-orang yang jahat, tetapi Pandhawa adalah simbol kebaikan itu sendiri sedangkan Kurawa adalah simbol nafsu dan angkara murka. Namun, sebagaimana diperlihatkan oleh Anderson, para Pandhawa pun tidak di atas segala kritik. Prabu Yudhistira, Pandhawa yang tertua, menguasai diri secara sempurna, mahir bersemadi dan berbudi luhur sehingga darahnya putih, tetapi ia tidak dapat menolak sesuatu dan k arena menerima tantangan untuk main dadu, mencelakakan diri dan adikadiknya14 hingga mereka harus mengalami pengasingan selama 12 tahun, pada tahun ke13 boleh kembali ke masyarakat tetapi tidak boleh dikenal orang, dan pada tahun ke-14 kembali ke istana.

Ajaran Moral dalam Wayang Salah satu ciri khas wayang menurut Anderson ialah bahwa lakon-lakon dalam pewayangan penuh dengan masalah dan menimbulkan pertanyaanpertanyaan moral15, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan membunuh, jangan berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan lain sebagainnya. Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal dilema atau pilihan. Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan pilihan. Tetapi apapun14 15

Lihat Frans Magnis Suseno, 1984, hlm. 162-163. Frans Magnis-Suseno, 1984, hlm. 161.

848697

48697

pilihannya manusia toh harus memilih, meski pilihan atau keputusan yang diambilnya tidak pernah sempurna. Hal ini menunjukan bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan sempurna. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau yang baik atau yang buruk misalnya; Jamadagni harus memilih membunuh istrinya atau membiarkan istrinya berdosa Rama Parasu harus memmilih membunuh Ibunya atau menentang perintah Ayahnya Harjuna sasra Harus memlilih meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana Wibisana harus memilih ikut angkara atau ikut kebenaran. Kumbakarna pun harus memilih, karena ia merasa berkewajiban untuk tetap setia terhadap kakak dan rajanya yang jahat itu dan untuk membela tanah air, walaupun diketahuinya bahwa Rama merupakan penjelmaan Wisnu dan oleh karena itu akan menang dalam perang. Sri Rama Harus memilih, mengorbankan rakyatnya atau mengonbankan cintanya.16 Atau dalam suatu cerita dalam Mahabharata diceritakan bahwa Salya mendengar bahwa mempelainya tercinta, Satyawati, adalah anak raksasa Bagaspati. Padahal menurut tata karma ksatria, seorang ksatria tidak boleh berkeluarga dengan raksasa. Perkawinan hanya bisa berlangsung apabila Bagaspati dibunuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya Bagaspati sendiri menyuruh Salya untuk membunuhnya. Salya mengetahui bahwa dengan demikian pun ia melanggar kode etika ksatria. Ia membunuh Bagaspati yang sebelum meninggal mengutuk Salya agar mati dengan cara kekerasan.17 Adipati Karna pun harus memilih, ikut Pandhawa yang sebenarnya merupakan adik-adiknya, atau tetap setia dengan Duryudana, raja para Kurawa, yang telah mengangkat derajatnya dari putra seorang Sais (kusir kereta kuda) menjadi seorang Adipati dari Kerajaan Awangga kepadanya, dan karena ia merasa berhutang budi kepadanya. Siapakah dari tokoh-tokoh di atas yang benar? Inilah yang menjadi pertanyaan-pertanyaan moral bagi kita semua. Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah keputusan dan tindakan manusia itu berarti dan bermakna bagi kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasarnya maka sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau eksistensinya. Jadi dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh suatu sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab

16

Wayang, Ajaran Moral dalam Wayang, http://wayang.wordpress.com/2010/07/18/ajaranMagnis-Suseno, 1984, hlm. 161.

moral-dalam-wayang/, diakses pada 16 April 201117

948697

48697

dari tindakan-tindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana manusia harus bersikap. Kesimpulan Wayang merupakan gambaran kehidupan manusia di dunia ini. Perangkat yang harus ada dalam pagelaran adalah: Wayang, kelir, debog, dalang, blencong, kotak, cempala, keprak, dan karawitan. Cerita dalam pewayangan penuh dengan ajaran-ajaran moral. Lakon/ Cerita dalam pewayangan diambil dari mitos mengenai dewa, raksasa, dan manusia pada permulaan zaman, siklus Arjuna Sasrabahu, epos Ramayana, Mahabharata, dan lakon carangan yang berisi tentang kelanjutan dari siklus Mahabharata atau pun dari kisah-kisah legenda asli tanah Jawa dan mengenai kisah kepahlawanan raja-raja Jawa. Ada banyak makna yang dapat diambil dari pertunjukan wayang sesuai dengan lakon yang dibawakan oleh dalang. Misalnya saja lakon Dewa Ruci, walaupun lakon ini terlihat sederhana dan tidak seterkenal lakon lain, namun lakon Dewa Ruci merupakan lakon carangan yang merefleksikan tentang dunia batin orang Jawa. Cerita ini mengandung pesan dan memberikan pengetahuan kepada penontonnya tentang asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi), dan menyingkap kerinduan akan Tuhan dan perjalanan rohani untuk mencapaiNya (manunggaling kawula Gusti). Pada dasarnya wayang merupakan tontonan yang memberikan tuntunan kepada penontonnya, jangan sampai tuntunan menjadi tontonan. Itulah prinsip dari seni pertunjukkan wayang yang harus dipegang teguh oleh kita semua. Daftar Pustaka

Endraswara, Suwardi. 2003. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Magnis-Suseno, Frans. 1984. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Moertono, Soemarsaid. 1985. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suyami. Wayang sebagai Tontonan, Tuntunan, dan Tatanan. Jantra, Vol 1. No 1, Juni 2006, hlm. 47-57. 1048697

48697

48697

Sumber Internet Amrih, Pitoyo. 2010. Dunia Wayang Kita Semua. www.pitoyo.com(diakses pada 9 April 2011) Barata, A. 2008. Reinterpretasi Simbol Wayang. www.pitoyo.com (diakses pada 9 April 2011) Pdwi. 2011. Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika Dalam Wayang, www.pdwi.org/ (diakses pada 16 April 2011) Rebel,Bongki. 2009. Mengapa Harus Ada Goro-Goro? www.pitoyo.com/

(diakses pada 9 April 2011) Saputra, Chandra. 06 Maret 2008. Simbolisme Wayang.

http://menggagasgagasan.blogspot.com (diakses pada 9 April 2011) Senawangi. 2009. Wayang Sekilas www.pitoyo.com(diakses pada 9 April 2011) Wayang. 2010. Ajaran Moral dalam Wayang, http://wayang.wordpress.com/ (diakses pada 16 April 2011) _______, 2010. Dunia Wayang. http://wayang.wordpress.com (diakses pada 16 April 2011) Wikipedia. 2011. Wayang. http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang (diakses pada 16 April 2011.

1148697

48697

48697

1248697