studi simbolisme dan identifikasi seni patung loro

24
1 ARTIKEL HASIL PENELITIAN STUDI SIMBOLISME DAN IDENTIFIKASI SENI PATUNG LORO BLONYO BERBASIS “HAKI “ SEBAGAI UPAYA MELESTARIKAN KONSEP KESEIMBANGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT JAWA Oleh: Drs. H. Edy Try Sulistyo, M.Pd. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H. UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Nopember 2009

Upload: kusuma-alit

Post on 25-Jun-2015

1.950 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

1

ARTIKEL HASIL PENELITIAN

STUDI SIMBOLISME DAN IDENTIFIKASI SENI PATUNG LORO BLONYO BERBASIS “HAKI “ SEBAGAI

UPAYA MELESTARIKAN KONSEP KESEIMBANGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA

MASYARAKAT JAWA

Oleh:

Drs. H. Edy Try Sulistyo, M.Pd. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H.

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Nopember 2009

Page 2: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

2

THE SYMBOLISM RESEARCH AND IDENTIFICATION OF LORO BLONYO STATUE ART THAT HAS “HAKI” BASIS AS AN EFFORT

TO CONTINUE JAVANESE CULTURE AND SOCIAL ENVIRONMENT BALANCE CONCEPT.

by: Drs. H. Edy Try Sulistyo, M.Pd.

Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H.

ABSTRACT Edy Try Sulistyo; Jamal Wiwoho. 2009. The symbolism research and identification of Loro Blonyo statue art that has “HAKI” basis as an effort to continue Javanese culture and social environment balance concept.

Loro Blonyo – The purpose of this research is to know the visual aspect wholly that consist of size, model and style. The process of visualization class includes the tools and materials that are used. The research aimed also to describe the symbolism meaning (non visual aspect).

This research model is qualitative descriptive with gathering the interview data, FGD, observation and seek references. The concrete step is done with record technique and shooting so that the whole data can be gotten.

The discussion and research result show that loro blonyo statue is made from jati oven wood, nangka, mahoni, pule and sengon. The particular tools needed to make the statue are saw, axe, pethel, some kinds of knives, carver inlay, and any others. For example: grindstone, drill, etc. the size of loro blonyo can be classified into three groups. The first is big, that is loro blonyo statue length 150-170 centimeters. The second is in average that is loro blonyo statue length 50-100 centimeters. The third is small that is loro blonyo statue length 10-20 centimeters. The making process of loro blonyo is begun from: Bakali, cutting the woods, making sketch, perautan (to smooth by cutting), and finishing with giving ornament detail and polishing. The most important step in finishing is coloring with aklirik paint or doing batik process. This batik process is almost same with batik process in making cloth. The difference is melamine final touching in order that shiny.

Many loro blonyo statue styles and shapes belong to Keraton (royal palace), nobles, public or contemporary models show the same with each other, although there are also some differences. For example: the proportion used of colors, and finishing the whole shape belongs to royal palace is smoother than the others. But the noble’s statue is smoother than the public’s statue. While, the newest product is looked profane. It is reflected on using the light color and attribute that is made from woods. The expression shows that the statue that is decorated noble’s home looked mystic, moreover the royal place’s statue. It is very difference from two contemporary statue figures ands statue that is decorated people’s home. The expression form of royal place or noble’s statue looked

Page 3: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

3

more mystic-religious than kawula (common people), moreover loro blonyo statue product at this time.

Javanese people conscious that the human origin and end place is God. Worldly, the human origin is the result of reproduction between lingga and yoni that is presented with the parents, father and mother as a couple of loro blonyo statue. Morally, the origin of wiji (germ or seed) called wiji kodrat is from God, father and mother descend wiji wiradhat and only wadhag that intermediary. So that Javanese people consider that life is few times as the person who travel only mampir ngombe. So they do mystic to make their life balance perfectly, and life prosperously. They also want to be close with God.

According to young generation must know symbolism and philosophy meaning of loro blonyo statue as Javanese culture cosmology illustration so the culture contexts is not lose. And we are not influenced with foreign culture easily.

A. PENDAHULUAN

Patung loro blonyo merupakan patung yang bersifat simbolis-filosofis.

Keberadaannya sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Jawa.

Dalam perilaku social budaya, masyarakat Jawa selalu mengacu pada adat istiadat yang

bersumber pada tata nilai budaya keraton. Keraton diyakini sebagai pusat kosmos yang

berpengaruh dalam tata kehidupan yang penuh dengan keserasian, keharmonisan dan

keselarasan. Konsep tersebut termanifestasi dalam gagasan, perilaku maupun berbagai

bentuk yang kita temui di sekitar lingkungan kita. Posisi patung loro blonyo yang

dipasang berdampingan di ruang yang sacral, suci yaitu di depan krobongan dalam

struktur rumah tradisi Jawa, merupakan lambang keharmonisan hidup, sebagai

perwujudan akan gagasan-perilaku dan bentuk kehidupan masyarakat Jawa. Dalam

sistem kepercayaan Jawa, patung loro blonyo diyakini sebagai penjilmaan dari suatu

pasangan yang harmoni antara dewa dan dewi. Menurut kosmologi Jawa, patung tersebut

diyakini sebagai penjilmaan Dewa yang biasa mendatangkan kesuburan dan

kemakmuran, sehingga mampu mewujudkan tata kehidupaan lingkungan social budaya

yang harmonis, serasi dan seimbang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa patung loro blonyo , yang dimitoskan sebagai

penjilmaan Dewi Sri dan Dewa Sadono dari kayangan (dunia atas), telah menjadi bagian

dari sistem kehidupan masyarakat Jawa. Untuk mengungkap nilai-nilai yang tersurat dan

tersirat pada patung tersebut, hanya bisa dilakukan dengan penelitian. Penelitian loro

Page 4: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

4

blonyo memang telah dilakukan oleh beberapa ahli, antar lain para sarjana seni rupa

seperti: Bambang Tukiyo (1996), Rushartono (1989), Setyawan (2000), Guntur (2000),

Nurkhasanah (2002). Tetapi tema pokok pembahasannya menekankan unsur rupa

(material) semata. Kelemahan yang lain terletak pada wilayah kajiannya selain masih

lokal, kajian yang dilakukan belum dikaitkan dengan konteks budaya yang lebih luas,

yaitu dalam kosmologi budaya Jawa.

Pembahasan loro blonyo juga dilakukan para ahli sastra, seperti Rassers (1959),

Cohen (1902), Suyami (2000), Wuryanto (1989), Eren (1989), Ismaun (1993), LSM

Angin Segar (2001), Sindunata (2000), Supriatun (2002). Akan tetapi sudut pandang

kajiannya terbatas pada satu perspektif kajian tema ceritanya saja. Aspek masyarakat dan

budaya tidak menjadi bagian pokok analisis yang tuntas, sehingga kosmologi pemikiran

dalam konteks budaya Jawa belum terurai rinci. Kajian sastra juga belum mengkaitkan

unsur kesatuan bentuk seni patung sebagai perwujudan dewi Sri –Sadono yang bernilai

simbolik. Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa kajian patung loro blonyo yang

selama ini pernah dilakukan masih belum mampu menjelaskan keberadaannya secara

tuntas dan menyeluruh.

Berkaca dari latar belakang diatas, beberapa masalah yang perlu dikaji yakni

mengenai, ukuran secara fisik patung loro blonyo, media dan alat yang digunakan dalam

membuat serta tahapan prosesnya pembuatannya dan yang terakhir bentuk-bentuk dan

gaya serta makna dan simbolismenya.

SENI PATUNG LORO BLONYO

Penelitian-penelitian patung yang langsung terkait dengan loro blonyo selama ini

telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Apabila diidentifikasi, pendekatan yang

digunakan sebagai kerangka pembahasan pada intinya dapat diklasifikasi menjadi tiga

kelompok, yaitu pendekatan deskriptif, struktural dan interpretatif simbolik. Beberapa

pembahasan yang bertemakan patung loro blonyo , dengan pendekatan deskriptif antara

lain telah dilakukan oleh: Guntur (2000), Rushartono (1996), Umiyatsih (2000),

Nurkhasanah (2002), dan Supriyono (1998), dan pendekatan structural oleh LSM Angin

Segar (2001), serta pendekatan yang bersifat interpretatif simbolik telah dijabarkan:

Setyawan (2000), Supriatun (2002), dan Guntur (2004).

Page 5: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

5

Para penulis yang menggunakan pendekatan deskriptif tersebut, arah

pembahasannya menekankan selain pada aspek estetika dan struktur bentuk, juga pada

nilai bentuk dan gaya patung loro blonyo.Hanya kajian visual yang dilakukan Guntur

tertuju pada perbandingan unsur-unsur persamaan dan perbedaan antara loro blonyo

dengan menong. Namun kajian Rushartono lebih menfokus pada struktur visual soal gaya

(style) loro blonyo antara gaya Surakarta dan Yogyakarta. Tidak beda halnya hasil

penelitian Nurkhasanah, yang orientasi kajiannya masih pada patung sebagai struktur

bentuk, tetapi penekannya selain bentuk atau hasil, ia juga mengetengahkan pada proses

atau tahap pembuatannya. Namun Umiyatsih maupun Supriyono lebih tertarik

pembahasannya pada nilai estetis. Umiyatsih memusatkan pada kajian estetika struktur

bentuk dari waktu ke waktu, sedangkan Supriyono cenderung pada analisis nilai

estetikanya.

Pada simpulannya para penulis tersebut memaknai patung loro blonyo sebagai

bentuk kebudayaan yang bersifat material (kasat mata), sehingga aspek non materialnya

tidak dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan konteks sosial budaya. Pada

dasarnya ukuran loro blonyo sangat variatif dari ukuran panjang/tinggi kurang dari 10

cm hingga lebih dari 100 m untuk patung duduk, sedangkan untuk patung berdiri bisa

sampai kurang lebih 170 cm, atau bahkan terkadang bisa lebih panjang lagi karena

adanya pesanan. Berdasarkan ukuran umumnya maka patung loro blonyo dapat

dikelompokkan menjadi tiga kelompok ukuran sebagai berikut.

a. Besar : untuk posisi duduk ukuran patung loro blonyo 1m, dan untuk patung

loro blonyo posisi berdiri berukuran 150-170 cm.

b. Sedang: berukuran tinggi 50-70 cm

c. Kecil : berukuran tinggi 10-20 cm yang umumnya loro blonyo dalam posisi

duduk. Loro blonyo dengan ukuran kecil ini yang paling banyak diproduksi.

Patung loro blonyo dalam posisi duduk terdiri dari: sepertiga bagian adalah

kepala dan dua-pertiga bagian adalah merupakan bagian badan. Misalnya patung loro

blonyo berukuran tinggi 100cm, maka 30 cm untuk bagian atas leher hingga kepala, dan

70 cm adalah bagian badan hingga kaki.

Page 6: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

6

PROSES PEMBUATAN PATUNG RORO BLONYO

Loro blonyo dibuat dari bahan kayu mentah berupa kayu glondongan dengan

diameter 20-40 cm. Pada dasarnya glondongan kayu berdiameter lebih besar akan lebih

baik dari segi kualitas, karena semakin besar diameter berarti semakin tua kayu sehingga

kualitas kayu lebih baik. Namun disamping sulit diperoleh glondongan layu berukuran

lebih besar, kisaran ukuran tersebut lebih memudahkan pada penggarapan awal seperti

saat pemotongan, pemindahan, dan persiapan pengovenan dalam ruang oven kayu. Loro

blonyo kuno dibuat dari kayu bekualitas sangat baik seperti jati dan nangka. Ketika itu,

permintaan loro blonyo masih terbatas pada lingkungan kerajaan dan pejabat kerajaan

saja dan bahan kayu tersebut masih mudah didapat. Meskipun sedikit keras, kelebihan

kayu jati dan nangka adalah sangat awet dan mudah pengarapannya, perwarnaan dengan

teknik batik akan menghasilkan kualitas yang lebih baik, karena hasil permukaan kayu

yang halus dan tidak berpori sehingga tidak menyerap bahan pewarna. Sekarang untuk

loro blonyo dengan pewarnaan teknik batik lebih banyak menggunakan kayu pule yang

lebih baik dibandingkan kayu sengon dan mahoni, sedangkan loro blonyo dengan teknik

pengecatan lebih banyak dipilih kayu sengon dan mahoni.

Dalam perkembangannnya loro blonyo telah menjadi komoditas komersial pasar

nasional dan bahkan luar negeri sehingga permintaannya semakin meningkat.

Berdasarkan pertimbangan bahwa kayu jati dan nangka sekarang sangat mahal sehingga

tidak ekonomis dan semakin terbatas sehingga sulit didapat, maka sekarang kedua jenis

kayu kurang digunakan sebagai bahan untuk membuat patung loro blonyo.

Berbagai alat dari alat pepotong hingga tatah pemahat digunakan dalam

pembuatan patung loro blonyo. Berikut ini alat utama yang digunakan untuk pembuatan

patung loro blonyo. (1). Gergaji; (2) Pethel, Pethel diperlukan untuk menipiskan bahan

kayu yang terlalu tebal, membuang bagian yang tidak perlu, dan memulai membentuk

kayu menjadi bentuk pola patung awal secara kasar sebelum dibentuk secara detil dengan

alat pahat yang lebih kecil dan susuai; (3). Kampak, Kampak berguna untuk membelah

kayu secara memanjang serat kayu menjadi ketebalan kayu sesuai dengan kebutuhan. (4)

Pukul kayu digunakan untuk memukul tatah pahat. (5). Pisau pahat untuk meraut kayu

sesui dengan bentuk patung yang diinginkan, terutama bentukan relief yang sederhana

yang tidak rumit. (6) Tatah pahat diperlukan untuk membentuk pahatan relief yang

Page 7: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

7

spesifik dan relatif sulit, (7) Mesin elektrik pembuat profil, digunakan untuk membuat

bentukan atau profil tertentu pada patung, sehingga perkejaan menjadi praktis dan cepat;

(8). Mesin bubut kayu, untuk pembuatan bentuk-bentuk kerajian lain dari kayu yang

biasanya dikerjakan juga oleh perajin patung loro blonyo.

Seperti diuraikan di depan, bahan baku yang digunakan adalah kayu, terdapat

beberap jenis kayu yang masing-masing mempeunyai kelemahan dan kekeurangan. Pada

umumnya pengerajin menggunakan kayu jenis Jati. Kayu Jati mempunyai nilai komersil

yang tinggi sehingga setelah mengalami transformasi dalam bentuk patung Loro blonyo

pun nilai ini tidak pernah tergeser. Nilai jual patung dengan bahan kayu jenis ini paling

tinggi. Kayu Jati merupakan kayu yang paling bagus untuk bahan patung. Kayu ini

mudah dibentuk meskipun sifatnya keras dan seratnya padat, kelebihannya antara lain

adalah awet dan tidak mudah pecah. Secara sosiologis Loro blonyo dengan bahan kayu

jati menjadi simbol kedudukan status pemiliknya, karena dari segi harga di antara yang

lain jenis kayu jati paling mahal. Mengingat harganya yang mahal patung bahan kayu jati

hanya dibuat apabila ada pesanan. Harganya patung loro blonyo ukuran tinggi 70 cm

bisa mencapai enam sampai dengan delapan juta rupiah. Pada umumnya para pengerajin

patung menggunakan bahan baku selain dari kayu jati, sedangkan ukuran patung yang

diproduksi cenderung bentuknya kecil-kecil saja, sebagian lainnya ukuran sedang.

Loro blonyo tidak hanya dibuat dari Kayu Jati, namun dapat menggunakan kayu

yang tergolong keras seperti: sengon, pule, puso, wiu, dsb. Dibandingkan dengan kayu

Jati, sengon memiliki kelebihan selain sifatnya yang lunak dan mudah dibentuk, tetapi

juga awet, dan sangat baik untuk finishing dengan menggunakan teknik cat. Namun

ditemukan pula sisi kekurangannya, di antaranya kayu mudah retak terutama apabila kena

sinar panas matahari secara langsung. Selain itu terkstur luarnya juga lebih kasar, karena

seratnya juga tidak terlalu padat. Dari segi ekonomi sengon mempunyai harga jual yang

relative murah disbanding dengan jenis yang lain.

Jenis kayu ketiga yakni kayu Pule, kayu jenis ini lebih halus dibandingkan kayu

sengon. Kayu ini mudah dibentuk, dan hasilnya sangat baik apabila tahap finishingnya

menggunakan teknik batik. Hanya sisi kelemahannya mudah lapuk yang disebabkan oleh

rayap. Jenis kayu ini tidak ditemukan di sekitar Yogyakarta, tetapi didatangkan dari

daerah lain yaitu dari Purworeja dan Wanasaba. Kayu Pule pada umunya bukankayu

Page 8: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

8

yang memang disengaja untuk di budidayakan dengan tujuan ekonomis, karena kayu ini

tergolong sebagai jenis kayu hutan. Namun karena jumlah kayu ini masih dapat

ditemukan dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga jenis kayu ini paling diminati

pengerajin patung Loro blonyo di daerah Jogjakarta.

Jenis kayu yang juga digunakan sebagai bahan Patung Loro blonyo yakni Puso,

kayu ini lebih mudah dibentuk dibandingkan kayu sengaon dan pule. Karena sifat kayu

ini keras dan berserat padat sehingga tidak mudah pecah. Kayu Puso juga bukan jenis

kayu yang di kembangkan dan biasanya merupakan jenis kayu hutan.

Kayu yang digunakan untuk membuat Patung Loro blonyo yang paling baik

mempunyai kandungan air 40%. Kadang kayu yang didapatkan tidak selalu mempunyai

kadar air yang sesuai, sehingga diperlukan berbagai macam cara. Para pengerajin Patung

di daerah ini hanya menggunakan taksiran untuk menentukan kadar air pada kayu yang

akan dikerjakan. Pembuatan patung dalam keadaan kayu masih basah lebih mudah

dilakukan, namun resiko retak atau bahkan kayu pecah sangat besar. Maka biasa

pengerjaan dilakukan jika kayu sudah dalam keadaan kering. Usaha mengatasi kendala

tersebut bisa ditempuh dengan dua cara, pertama melalui cahaya matahari, kedua dengan

menggunakan tungku bakar kayu. Pemanasan dilakukan dalam tungku dengan kekuatan

panas sekitar 50 derajad selama 24 jam atau sehari semalam. Bahan bakar menggunakan

kayu limbah, upaya ini mampu menetralkan kandungan air dari kayu bisa keluar sehingga

tidak pecah.

a. Bakali/ Babaki

Istilah Bakali/ Babaki dalam bahasa Jawa digunakan untuk menyebut

perancangan awal atau permulaan. Untuk memotong kayu yang masih utuh

(glondong) ini digunakan gergaji mesin yang biasa disebut senso. Setelah dipotong

untuk memudahkan pengangkutan. Untuk proses berikutnya pemotongan kayu

menggunakan gergaji circle. Gerjaji circle adalah gerjadi eletrik yang menggunakan

tenaga diesel maupun tenaga listrik, sebagian gergaji ini di pasangkan dengan mesin

mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kayu yang akan dipotong

cukup didorong diatas gergaji tersebut.

b. Pemotongan

Page 9: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

9

Proses yang kedua yakni memotong kayu sesuai perkiraan ukuran patung yang

akan dibentuk. Kayu gelondongan dibiarkan kering secara alami terlebih dahulu

(dijemur + dianginkan) sebelum diolah, karena jika di oven resiko akan pecah dan

mudah retak. Akan tetapi jika pemesanan diminta cepat, maka kayu di oven saja.

Pengeringan kayu dengan di oven, kayu gelondongan yang sudah dikuliti di

masukkan ke oven pengering kayu dan tanpa mengunakan bahan-bahan kimia lain

c. Pengovenan

Pengovenan dilakukan sebelum pemahatan, karena kayu megalami penyusutan 2-5

cm. Pengovenan dilakukan dengan mesin oven atau menggunakan oven manual yang

menggunakan limbah kayu sebagai pemanasnya.

d. Pembuatan sketsa/ pola

Pembuatan sketsa ini yakni dengan menggambar siluet atau lekuk patung pada

kayu yang telah disiapakan, penggambaran ini menggunakan pensil, pensil yang

digunakan biasanya ukuran BO, pensil ukuran ini mempunyai bentuk pensil dan isi

pensil yang pipih, atau oval, selain itu pensil ini juga bersifat keras dantidak mudah

patah. Karena mata pensil yang pipih ukuran ketebalan garisnya pun dapat

disesuaikan dan mempunyai karakter yang jelas atau tebal. Dalam proses inilah mulai

direncanakan apakah patung yang akan dibentuk itu sesuai pakem dan angger-angger

(pola pokok/ asli) atau bahkan dilakukan modifikasi sesuai selera pembaut patung.

e. Perautan

Kayu yang sudah dibuat polanya dengan pensil tersebut, maka akan segera

dipahat dengan menggunakan wadung atau petik. Bentukan yang dibuat dengan alat

ini masih bersifat pola/ garis besar. Karena untuk menjadikannya lebih detil dengan

lekuk-lekuk yang hampir mendekati sempurna diperlukan alat yakni pisau pangut.

Para pengerajin menyebut proses ini dengan dengan pangut, tak ayal karena

dalam proses ini menggunakan pisau pangut. Pisau pangut yang digunakan terdapat

beberapa macam bentuk dan ukuran. Dengan menggunakan pahat ukir jenis cekung,

datar, dan segi tiga ukuran lebar antara 0,3 – 5 cm, dapat untuk membuat lubang

antara badan lengan tangan, dan menghaluskan bagian kapala. Ada dua pisau untuk

membantu proses pembuatannya, pertama pisau ukir, gunanya untuk menghaluskan,

membuat bagian hidung, mata, bibir, membuat kesan rambut dan perhiasan yang

Page 10: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

10

dikenakan. Kedua pisau cecek untuk menggores bagian yang ringan, dalam ukuran

kecil-kecil.

Pada bagian kayu yang cacat biasanya didhempul agar tidak kelihatan cacatnya.

Bahan dhempul merupakan campuran antara grajen halus yang diayak dengan lim

perekat kayu. Beberapa lama gergajen setelah kering lalu diamplas. Langkah

pengamplasan ini merupakan penyempurnaan penghalusan, yang mula-mula

permukaannya masih kasar.

f. Pewarnaan

Setelah patung sudah terbentuk sesuai model yang dikehendaki proses yang

selanjutnya yakni proses pewarnaan. Dalam proses ini bisa dikatakan tidak bisa

dikatakan mudah, karena harus melalui beberapa tahapan. Langkah kemudian adalah

finishing. Tahapan akhir ini pada intinya memberikan warna yang mengesankan

bahwa patung telah selesai dibuat. Pewarnaan yang dilakukan ada dua teknik, teknik

pertama adalah memberi warna dengan cat, dan teknik kedua memberi warna

permukaan patung dengan cara dibatik.

a. Pewarnaan Batik

Patung yang sudah jadi, diamplas terlebih dahulu. Setelah itu di beri

gambar sketsa dengan menggunakan pensil. Setelah sketsa, lalu kemudian diberi

lilin malam sesuai gambar. Tujuan pemberian lilin malam adalah menutup bagian

yang tidak ingin di warna dengan warna yang akan dicelupkan ke patung. Setelah

itu diwarna dengan pewarna naptol. Pewarnaan dimulai dari warna muda terlebih

dahulu. Kebanyakan untuk pemberian warna agar terkesan etnik coklat

kemerahan, menggunkan garam naptol mr.B dan dicampur dengan Tro dan

Kustik.

Untuk melakukan finishing batik digunakan alat canting, wajan kecil, dan

kompor. Canting ini merupakan klawang yang memberikan batas warna dan

cecek untuk isen-isen. Tahapan teknik batik mula-mula membuat sketsa, tahap

pembatikan, pewarnaan dilanjutkan melorod. Sketsa sering dilakukan pada bagian

pakaian, kebaya dan bagian perhiasan yang memang lebih rumit. Tujuan membuat

sketsa untuk memudahkan pembatikan sehingga hasilnya halus dan bagus.

Page 11: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

11

Pembatikan merupakan tahap memberi batas antara warna satu dengan

lainnya, dan menutupi bagian yang sengaja tidak diberi warna bahan lilin yang

dipanaskan dengan alat canting. Pewarnaan digunakan bahan naptol dan bahan

indigosol. Warna bahan naptol banyak digunakan, selain karena warna lebih cerah

juga mudah pengerjaannya yakni dengan cara dicelup. Bahan indigasol jarang

digunakan karena kualitas warna tidak cerah, sehingga apabila kena sinar warna

cepat pudar. Teknik mewarna dari yang paling gelap atau kuat dilakukan dengan

cara di colet, warna yang lebih muda cukup dilakukan dengan cara dicelup.

Setelah dicelup naptol patung diangin-anginkan supaya kering, lalu dibatik. Jika

menghendaki warna lain lagi dibatik dan dicelup dengan warna lagi, begitu terus

sampai semua warna yang dikehendaki selesai.

Tahap terakhir teknik membatik ialah melorod. Setelah proses warna dan

diangin-anginkan lalu diplorod caranya direbus dengan air dicampur dengan

abusoda agar mempermudah pelepasan lilin. Pelorodan biasa menggunakan drum

untuk mendidihkan, kemudian dimasukan ke bak berisi air untuk membersihkan

sisa-sisa lilin yang masih melekat. Setelah pelorodan agar kering dilakukan

pengeringan dengan cara diangin-anginkan di tempat teduh. Melalui serentetan

proses di atas dapat dihasilkan bentuk patung loro blonyo dengan berbagai

ukuran baik yang dilakukan dengan teknik finishing batik. Setelah proses

pewarnaan selesai, lalu untuk proses terakrir diberi lapisan melamin agar warna

tidak mudah luntur. Dan memberi kesan mengkilat.

Pada umumnya teknik cat lebih banyak dilakukan, selain karena cat lebih

murah dan awet, alat-alat seperti dan bahan bisa digunakan berulang kali. Teknik

cat dilakukan dengan menuangkan warna menggunakan kuas ke dalam

permukaan kayu yang akan dijadikan patung loro blonyo . Berbagai alat finishing

cat digunakan kuas besar dan kecil, adonan cat, trek pen, silet, kain lap, dan

ember. Kuas besar untuk membuat dhasaran, bahannya menggunakan cat

tembok, sedangkan kuas kecil digunakan untuk mengecat bagian detil seperti

bagian kain jarik, pakaian dan perhiasan. Bahan cat yang biasa digunakan

merupakan campuran cat tembok warna putih dikombinasi dengan cat sandi.

Perbandingan campuran cat tembok lebih dominan dari bahan cat sandi agar

Page 12: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

12

keadaan cat yang disapukan nanti melekat kuat dan tidak luntur. Jenis cat sandi

jenisnya beragam ada warna merah, biru, kuning, violet, dan hitam. Apabila ingin

membuat warna selain kelima warna yang sudah tersedia, maka dilakukan

campuran sesuai dengan kebutuhan.

Cara mengawetkan topeng dan patung adalah di simpan dari tempat yang

jauh dari tikus dan kayu diberi obat agar tidak mudah dimakan rayap dan

ngengat.- Pemeliharaan topeng yang masih belum jadi dengan di amplas dan

diberi obat pengawet,. Pengerjaan produk yang baik adalah siang hari karena

proses penegringan lebih cepat dan menggunakan sinar matahari.

Pewarnaan terlebih dahulu diolesi warna dasar putih, setelah kering

diamplas. kemudian dicat lagi hingga sampai tiga kali, sehingga benar-benar

halus. Tujuan pengecatan ini untuk menghilangkan bekas goresan kuas agar

pengecatan tampak lebih rapi dan halus. Bagian yang dicat dengan warna dasar

meliputi bagian kemben dan kebaya untuk patung wanita, dan untuk patung pria

pada bagian celana cinde, kebaya dan kampuh. Pengecatan detil juga dilakukan

pada kemben dan kebaya untuk patung wanita, cinde dan sabuk, sedangkan untuk

penganten pria pada bagian kebaya dan kampuh. Pewarnaan detil dilakukan

dengan teknik sungging dan ornamentik.

Selanjutnya pengecatan atau pewarnaan dilakukan pada kuluk dan paes

yang cenderung menggunakan warna hitam. Pewarnaan detil juga dilakukan pada

kulit badan, tangan, muka, bibir dan kuku karena sama-sama menggunakan warna

merah. Pengecatan kemudian pada bagian gelang, kelat bahu dan kalung,

biasanya digunakan warna brom atau keemasan, selanjutnya mewarnai pada

bagian mata dan alis. Untuk membuat alis, isen-isen kebaya, maupun pada

bagian-bagian kecil hiasan pakaian digunakan alat trekpen, namun apabila terjadi

kesalahan cat dihapus dengan silet yaitu dengan cara dikeruk.

Langkah terakhir dalam finishing adalah penyemprotan warna dilakukan

dengan bahan melamin, dimaksudukan agar cat tidak luntur apabila kena air, dan

tampak lebih halus dan mengkilat. Untuk menghasilkan kesan antik biasa

dilakukan campuran antara obat yang disebut peka (PK) dengan air, tingkat

perbandingan 90% air dan PK 10 %.

Page 13: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

13

BENTUK-BENTUK DAN GAYA PATUNG LORO BLONYO

1. Milik Keraton

Secara keseluruhan warna sepasang patung pada kulit adalah kuning keemasan ada

sedikit unsur warna agak coklat tua, mencerminkan luluran warna khas manten Jawa.

Susunan bentuk patung dimodifikasi dengan teknik finishing yang tuntas dan rapi dengan

pewarnaan yang matang. Proporsi antara bagian kepala, anggota badan dan badan serta

bagian bawah tampak sebanding. Pengolahan bentuk pada setiap unsur pada susunan

bagian atas, tengah dan bawah menunjukkan kecermatan anatomis. Dari segi ekspresi

kedua patung menyiratkan sinar kepribadian sepasang penganten adalah khas priyayi

Jawa tampak pandangannya yang bijaksana dengan sikap hormat. Dengan demikian figur

sepasang patung loro blonyo milik Keraton merupakan mencerminkan tampilan realis,

menyerupai struktur dan bentuk manusia layaknya. Unsur-unsur yang ditampilkan baik

bentuk, ekspresi wajah, jenis asesoris, warna, kesan bahan dan sikap anggota badan,

secara keseluruhan menggambarkan pesan simbolis yang merepresentasikan keagungan

dan kewibawaan.

2. Milik Para Bangsawan

Struktur bentuk patung loro blonyo milik bangsawan terkesan sebagai hasil masa

dahulu (lama), perwujudan bentuk ada arah akan menuju realis akan tetapi ada beberapa

hal yang belum mengena, seperti misalnya proporsi belum sebanding dan ornamen lebih

pada corak dekoratif dari pada realis. Meskipun demikian ada kemiripan warna patung

loro blonyo milik Keraton Kasunanan yang cukup matang. Secara keseluruhan patung

loro blonyo masih menunjukkan kesan tradisi, dengan warna khas serta ekspresi magis.

Dengan demikian strukur bentuk patung yang terdiri unsur warna, bentuk asesoris, serta

corak hias khususnya pada kebaya dan selendang merupakan tampilan visual yang

bersifat simbolis.

3. Milik Kawula / Orang Biasa

Dari aspek visual baik patung pria dan wanitanya mengesankan perwujudan yang

impresif, ada keinginan mengejar bentuk manusia yang realis, tetapi tidak bisa mencapai

dengan baik. Hal ini dikarenakan proporsi badan dan anggota yang tidak seimbang.

Demikian pula dalam warna seperti kuning, merah penerapannya dengan teknik blok

Page 14: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

14

sehingga tidak ada kontur. Sementara dari segi ornamen tidak detil, tampak apa adanya.

Secara keseluruhan kedua patung lebih merupakan perwujudan bentuk semata meskipun

belum mendekati sasaran, terkesan polos dan profan, tidak sekuat pada patung milik

bangsawan dan milik Keraton yang tampak magis-mistik-simbolis.

4. Loro blonyo Model Jaman Sekarang

Secara keseluruhan patung loro blonyo yang dihasilkan zaman sekarang ini ada

kecenderungan perwujudannya bersifat lentur, tidak terikat norma lagi. Dalam pemilihan

warna, modifikasi bentuk dan mungkin juga dalam menafsirkan maknanya, rupanya tidak

lagi dilandasi jiwa kolektif kemasyarakatan namun lebih ditentukan oleh otoritas

pemiliknya yang bersifat individual.

Implikasi dari kenyataan ini sebagai misal telah berimpas pada pemolesan warna

kulit putih polos, demikian pula proporsi kaki, jari, tangan yang dibuat tidak sebanding

dan seimbang. Bisa jadi karena orientasinya produsen lebih pada fungsi ekonomi

sehingga terkesan dibuat dalam target pasar ketimbang mengejar kualitas struktur

bentuknya, sehingga figurnya tidak berbobot bahkan tidak berkarakter. Dengan kata lain

pasangan kedua patung belum secara dominan mencerminkan jiwa Jawa. Pemolesan

warna yang membidang dengan intensitas kualitas warna yang belum matang (mentah)

dengan teknik blok, semakin menunjukkan bahwa tampilan bentuk patung lebih bersifat

dekoratif. Hal ini ditopang dengan ornamen yang tidak detil. Bahan pewarna yang

digunakan adalah cat dari pigmen dan cat kayu. Secara keseluruhan perwujudan

cenderung mengejar bentuk dari pada simbolis filosofis, sehingga terkesan penampilan

keseluruhan sepasang patung adalah profan.

Berbagai bentuk patung loro blonyo baik milik Keraton, para bangsawan, rakyat

maupun model kontemporer menunjukkan kemiripan satu sama lain meskipun pula

terdapat beberapa perbedaanya. Perbedaan ini misalnya dalam hal proporsi, penggunaan

warna, serta penyelesaian bentuk keseluruhan milik Keraton lebih halus dari lainnya,

namun milik bangsawan lebih halus dari milik rakyat, sedangkan produk terbaru terkesan

profan, tecermin pada penggunakan warna ringan serta atribut yang dikenakan dibuat

langsung bahan kayu. Ekspresi yang tercermin menunjukkan patung yang dipasang pada

rumah bangsawan lebih tampak mistis, apalagi milik Keraton lebih tampak mistik, sangat

berbeda dengan dua figur patung kontemporer, dan patung yang dipasang pada rumah

Page 15: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

15

orang biasa. Bentuk ekspresi patung milik Keraton maupun para bangawan tampak lebih

religius-mistik dibandingkan milik orang biasa (kawula), apalagi dengan patung loro

blonyo produk masa sekarang. Struktur tingkat kesakralan ini rupanya merupakan

reprentasi dari tingkat status sosial pemiliknya,

Kiranya menjadi semakin jelas bahwa bentuk dan struktur loro blonyo berupa dua

arca atau patung tiruan pengantin (Atmojo, 1994: 198), pria dan wanita dalam sikap

duduk bersimpuh, mengenakan pakaian Jawa tradisional (Darsiti, 1989: 208), busana

gaya basahan, yaitu busana ala pengantin Keraton, dimana pengantin pria mengenakan

kain panjang yang disebut dodot dan bermahkota, tanpa mengenakan baju. Pengantin

wanita mengenakan pakaian sama hanya tanpa mahkota, namun pada bagian tubuh

atasnya dibalut kemben (penutup dada), keduanya dilengkapi dengan perhiasan

(Setyawan, 2001: 45).

MAKNA FILOSOFIS PATUNG LORO BLONYO DALAM KONTEKS BUDAYA

JAWA

Loro blonyo dan Budya Jawa

Sebagai bentuk kebudayaan, seni patung memiliki fungsi dan makna tersendiri bagi

masyarakat dimana patung tersebut berada (Boas, 1955). Bukti-bukti arkelologis

peninggalan masa Hindu di Jawa Tengah ditemukan patung dewa-dewi, pasangan Ciwa

dengan Laksmi. Mitos ini menggambarkan bahwa di tengah-tengah masyarakat budaya

Jawa ada keyakinan, bahwa manusia itu keturunan dewa (Hadiwijono, 1983: 22).

Peninggalan berupa artefak, seperti relief, arca, dan patung, pada dasarnya merupakan

perwujudan pandangan masyarakat pada zamannya, yang ditampilkan sebagai simbol,

atau lambang sebagai sarana untuk ritual yang bermakna religius (Yudoseputro, 1993:

76-77).

Dibandingkan dengan arca-arca sebelumnya, patung loro blonyo yang merupakan

salah satu jenis seni patung tradisional-klasik di Jawa, tampilannya masih menunjukan

ciri-ciri pasangan laki-laki, dan perempuan yang berkaitan pula dengan konsepsi-

konsepsi penyatuan dari pasangan yang berbeda. Memang patung ini tidak ditemukan di

suatu candi sebagaimana patung atau arca masa prasejarah, ataupun masa Hindu-Budha,

namun patung loro blonyo ditemukan pada rumah-rumah milik Pangeran atau priyayi

Page 16: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

16

Jawa yang disebut joglo (Darsiti, 1989: 29). Satu hal yang sangat berbeda dengan patung

loro blonyo produk baru, terletak pada cara penempatan patung tersebut, bentuk patung,

dan juga fungsinya.

Tidak seperti patung loro blonyo model sekarang, kalau dilihat penempatannya

tidak lagi terikat oleh kaidah normatif, bentuknya sudah “distorsi”, dan gaya patung

cenderung mengekpresikan kesan jenaka, serta fungsinya yang bersifat profan (Guntur,

2000). Patung loro blonyo tradisional penempatannya hanya dalam konteks di depan

krobongan (Negoro, 2001: 12), serta bentuknya merupakan manifestasi simbolik, dan

tampilannya menganut kaidah normatif, karena memang dikaitkan dengan fungsi ritual.

Satu sisi yang menarik adalah bahwa patung loro blonyo diletakkan pada ruang

tertentu. Bagi orang Jawa tempat tersebut dinilai sebagai ruang sakral di antara tempat

yang lain dalam suatu rumah tradisional Jawa. Hal lain yang juga mendorong

keiingintahuan lebih jauh, ialah bahwa ruang yang disakralkan tersebut, bagi rumah

rakyat kebanyakan yang disebut petanen atau pasren, merupakan tempat menaruh

untaian padi, yang dibentuk sepasang menyerupai mantenan dan orang Jawa

menyebutnya mbok Sri (Suhardi, 2004: 66). Di depan ruang petanen yang juga disebut

krobongan itu, setiap ritual perkawinan tradisi Jawa dilangsungkan biasanya digunakan

sebagai tempat sepasang temantin melangsungkan prosesi kacar-kucur atau menerima

kekayaan (Batawidjaja, 2000: 116).

Pada posisi inilah patung loro blonyo keberadaannya menjadi semakin jelas, ia

tidak berdiri sendiri, bukan sebagai simbol yang terpisah, bahkan keterkaitan antara unsur

satu dengan yang lain tampak saling bertalian. Persoalan itulah yang menarik untuk

diselidiki lebih jauh, kaitan makna patung loro blonyo dalam konteks kosmologi Jawa.

Ketertarikan akan tema itu, juga karena terdorong oleh suatu kenyataan terhadap

kekhasannya dalam menempatkan patung loro blonyo secara berpasangan, sebab dalam

pandangan orang Jawa, hal tersebut bertalian erat dengan konteks kosmogoni (Suhardi,

2004: 68). Keyakinan terhadap konsep kosmogoni masih menjadi kepercayaan sebagian

masyarakat Jawa yang meyakini secara mitos, asal-usul suatu kehidupan yang bertalian

dengan konsepsi perkawinan dari fenomena pasangan-pasangan, seperti pula tercermin

pada patung loro blonyo tersebut.

Page 17: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

17

Ketertarikan untuk mendalami simbolisme patung loro blonyo , juga didasarkan

pada keprihatinan atas penelitian-penelitian terdahulu yang tertuju, hanya pada

permasalahan unsur-unsur seni rupanya. Unsur-unsur yang dikaji berkutat pada soal

perkembangan bentuk-bentuk patung loro blonyo (Rushartono, 1996; Umiyatsih, 2000),

dan masalah teknik yang menyangkut proses pembuatannya (Nurkhasanah, 2002),

maupun hubungan antara kedua tema kajian yang dikaitkan dengan fungsi patung loro

blonyo dalam konteks pasar (Guntur, 2000). Hal terakhir inilah yang sekarang banyak

dipersoalkan. Pada umumnya kajian masih belum mengkaitkan dengan konteks latar

belakang sosial budaya Jawa. Masalah-masalah yang lebih ideasional simbolik, dan juga

persoalan nilai instrinsik suatu patung yang melebihi dari sekedar wujud semata tidak

banyak dibahas.

Maka kajian secara mendalam patung loro blonyo dalam konteks tradisional

menjadi penting untuk dilakukan, terutama untuk menggali nilai-nilai simbolis-filosofis

yang mencerminkan pandangan-pandangan hidup orang Jawa. Dengan demikian

permasalahan pokok yang akan dibahas adalah bagaimana pandangan hidup orang Jawa

dalam menafsirkan patung loro blonyo yang ditempatkan pada senthong tengah dalam

struktur rumah tradisional Jawa.

Berbagai bentuk dan gaya patung loro blonyo baik milik Keraton, para

bangsawan, rakyat maupun model kontemporer menunjukkan kemiripan satu sama lain

meskipun pula terdapat beberapa perbedaanya. Perbedaan ini misalnya dalam hal

proporsi, penggunaan warna, serta penyelesaian bentuk keseluruhan milik Keraton lebih

halus dari lainnya, namun milik bangsawan lebih halus dari milik rakyat, sedangkan

produk terbaru terkesan profan, tecermin pada penggunakan warna ringan serta atribut

yang dikenakan dibuat langsung bahan kayu. Ekspresi yang tercermin menunjukkan

patung yang dipasang pada rumah bangsawan lebih tampak mistis, apalagi milik Keraton

lebih tampak mistik, sangat berbeda dengan dua figur patung kontemporer, dan patung

yang dipasang pada rumah orang biasa. Bentuk ekspresi patung milik Keraton maupun

para bangawan tampak lebih religius-mistik dibandingkan milik orang biasa (kawula),

apalagi dengan patung loro blonyo produk masa sekarang. Struktur tingkat kesakralan

ini rupanya merupakan reprentasi dari tingkat status sosial pemiliknya, meskipun

demikian bila dicermati terdapat kesamaan struktur. Struktur itu tercermin pada patung

Page 18: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

18

loro blonyo yang merupakan sepasang figur pria dan wanita mengenakan busana ala

pengantin Jawa. Struktur yang lain tercermin pada masing-masing asesoris yang

dikenakan mulai dari bagian kepala (atas), bagian tubuh (tengah) dan bagian kaki

(bawah). Ketiga bagian yang dilengkapi asesoris merupakan serangkaian saling relasi

satu sama lain, sehingga menunjukkan kesatuan tampilan layaknya penganten sesuai

jenis kelamin khas budaya Jawa.

Dari beberapa deskripsi dan tafsiran pada bagian di atas menunjukkan bahwa

sepasang patung loro blonyo yang ditempatkan pada senthong tengah dalam rumah

joglo merupakan simbol ajaran sangkan paraning dumadi, suatu ajaran mistik kejawen.

Orang Jawa menyadari bahwa asal muasal dan tempat berakhirnya manusia adalah Tuhan

Yang Maha Kuasa. Secara lahiriah sangkaning manusa (asal manusia) secara lahiriah

merupakan hasil reproduksi antara lingga dan yoni yang direpresentasikan kedua orang

tua yaitu ayah dan ibu, sebagaimana dilambangkan pada sepasang patung loro

blonyo.Secara batiniah asal wiji atau benih yang disebut wiji kodrat adalah dari Tuhan

Yang Maha Kuasa, pasangan ayah dan ibu yang menurunkan wiji wiradrat hanyalah

wadhag yang memperantarai. Oleh karena itu orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini

hanyalah sebentar ibarat orang bepergian hanya sebatas mampir ngombe, sehingga untuk

bisa menyelaraskan hidupnya secara sempurna agar makmur dan selamat (hidup

sempurna), dirinya senantiasa melakukan laku mistik, sebagai upaya mendekatkan diri

dengan Tuhan (mati sempurna).

Page 19: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

19

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 1986. “Arti Simbolisme Gunungan Kakung pada Upacara Garebeg” dalam Skripsi. Yogyakarta: UGM.

---------------1991. “Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkritisme di Jawa”. Dalam Humaniora. Buletin Fak. Sastra UGM. No. 2 th.

Ahimsa Putra. 1997. “Claude Levi Strauss: Butir-butir Pemikiran Antropologi” dalam

Levi Strauss Empu Antropologi Struktural (Octavio Paz, ed.) Terjemahan: Landung Smatupang. Yogyakarta: LKIS

-------------------------------.2002.”Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian

Antropologi Budaya”. Makalah Diseminarkan pada Seminar Internasional Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli 2002.

Ahmadi, Agus, dkk. 1996.” Tinjauan Korelasional Aspek Denotasi pada Karya Rupa

Perlambang Mitologis dalam Budaya Adat Jawa Daerah Surakarta”. Laporan Penelitian Kelompok. Surkarta: STSI

Anderson, L. Richard. 1979. Art in Primitive Societies. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.

Akkeren, Philip van. 1994. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Jawa

Timir. Diterjemahkan B.A. Abednego. Jakarta: Gunung Mulia. Anonim.”Mula Bukane Pasren” 1989. Djoko Lodang, 30 September. --------------------“Upacara Mapag Sri, Biyen Nganggo Ambung-ambungan” Mekarsari

17 Oktober 1990. ……………….2002. ”Perajin Loro blonyo dan Topeng Desa Bobung Gunung Kidul

Pernah Buat Topeng Milik Keraton”. Dalam Nova. No. 725/XIV 20 Januari Arnheim, Rudolf1960. Expression” dalam Malvin Rader. A Modern Book of Esthetics:

An Athology. New York et al: Holt, Rinehart and Winston, Third Edition, 260-262 Benyamin, Walter. 1968. “The Work of in The Age of Mechanical Reprodukstion”.

Dalam Illuminations. New York: Schocken Books. Boas, F. 19955. Primitive Art. New York: Dover Publications, Inc. Brandon, James R. 1967. Theater in South East Asia. Cambridge, Massachustts:

Harvard University Press Bratawidjaja, T. W. 1985. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan Caillois, R. 1959. Man and The Sacred. Translated by Meyer Barash. Urbana and Chicago: University of Illionis Press

Page 20: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

20

Cambell, Tom. 1994. Seven Theories of Human Society (Terjemahan F Budi Hardiman) Yogyakarta: Kanisius

Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia).

Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia Couto, Nasbahry. 1976.” Simbolisme dalam Seni Primitif di Indonesia (Suatu Tinjauan

tentang Perlambangan dalam Seni Daerah Kalimantan, Irian Jaya dan Nias. Dalam Skripsi SI. Bandung: Nusa Indah

Cremes, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos Memperkenalkan Antropologi Struktural

Claude Levi Strauss. Flores: Nusa Indah Dakung, S.. 1981/1982. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah

Dillistone, F.W.2002 Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta:

Kanisius Dundes, Alan. The Study of Foklore. Berkeley London: Granada Publishing Limited. Eliade, Mircea. 1986. Symbolism, the Sacred, and The Arts. New York: The Crossroad

Publishing Company Eliade, M. 1986. Symbolism, The Sacred, and The Arts. New York: The Crossroad

Publishing Company. Erchack, M. Gerald., T.Th. The Anthropology of Self and Behavior. New Bruswick,

New JerseyJ Rutgers University Press Fanani, Zainudidn. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa. Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Press. Feldman, E.B. 1967. Art as Image and Idea. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice

Hall, Inc. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka

Jaya. Goetz, J.P dan Le Comte, MD. 1984. Ethnography and Qualitative Design in

Educational Research. New York: Academic Press, Inc. Guntur. 2000. “Loro blonyo dan Menongan: Kompaarsi Ekpresi” Hasil Penelitian.

Surakarta : STSI. Hardjowirogo, M. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung: Patma.

Page 21: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

21

Hartowuryanto. 1989. “Dewi Sri lan Raden Sadono”. Mekarsari tgl 22 Februari. Herusatoto, B. 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Holt, C. 1991. Art in Indonesia Continuities and Change. Terjemahan RM. Soedarsono.

Yogyakarta: ISI Hunter, DE. Dan Philip, W. 1976. Encyclopedia of Anthropologiy. Harper and Row

Publisher, Inc. Irmayanti. 1998. “Simbolisme dalam Pawiwahan”. Disertasi S3. Jakarta: PPS UI Isma’un, Banis. 1993. “Paedahe lan Tarakiting Pasren”. Djaka Lodang no. 1067 tgl 27

Februari h 47 Janson, H.W. 1977. History of Art. London: Thmaes and Hudson. Koentjaraningrat. 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Lincoln, YS. And Guba, EG. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage

Publications Lombard, D. 1996. Nusa Jawa, Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama LSM Angin Segar. “Loro blonyo Dewi Sri dan Dewa Sadono”. Katalog Pameran tgl. 5

Februari s/d 15 Maret 2001 di Klaten. Mardimin, J. 1994. Jangan Tangisi Ttradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat

Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius Miles H.B. dan Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sources Book of

New Methods. Beverly Hills, CA: Sage Publications. Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi

Wacana Morphy, H. 1994. “The Anthropology of Art” dalam Encyclopedia of Anthropology

Humanity, Culture and Social Live (Tim Ingold, ed. London and New York: Rodledge, h. 670-672.

Mulder, N. 1992. Individual and Society in Java. A Cultural Analysis. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press

Page 22: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

22

Murray, P. and Linda. 1976. The Penguin Dictionary of Art and Artist. New Zealand: Penguin Books.

Nurkhasanah. 2002. “Kerajinan Loro blonyo di Wonosari” dalam Skripsi SI. Surakarta:

UNS Partahadiningrat. 1989. “Makna Warna Ing Alam Kejawen”. Djaka Lodang no. 878 tgl.

15 Juli Pemberton, J. 1994. On The Subject of “Java”. Ithaca and London: Cornel University

Press Prus, Robert. 11996. Symbolic Interaction and Ethnograpic Research. New York: State

University of New York Press Rahmadi, dkk. 1980. Pasren. Yogyakarta: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum

DIY. Rassers, W.H. 1959. Panji, The Culture Hero: A Structural Studi of Religion in Java.

Martinus Nijhoof. Ritcher, Anne. 1994. Arts and Crafts of Indonesia. London: Thames and Hudson Ranggawarsito. 1994. Serat Pustakaraja Purwa Jilid 3 (Kamajaya-terjemahan)

Surakarta : Yayasan Mangdaeg dan Yogyakarta: Centhini Rushartono, Ario. 1996. “Studi Komparative Patung Loro blonyo Klasik Gaya

Yogyakarta dan Surakarta” Skripsi S1. Yogyakarta: ISI Saleh. 1981. Seni Patung Batak dan Nias. Jakarta: Depdikbud Dirjen Kebudayaan Sastronaryatmo, Moelyono. 1986. Serat Babad Ila-ila I. Jakarta: Depdikbud Proyek

Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Sastronaryatmo, Moelyono. 1986. Serat Babad Ila-ila II. Jakarta: Depdikbud Proyek

Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Schechner, Richard. 1988. Peformance Theory. New York and London: Rouledge Setyawan, Agus Nur. 2000. “Meniti Jejak Makna Kesuburan dalam Simbolisasi Loro

blonyo ”. Jurnal Ilmiah Gradasi Vol 1 no. 1 Mei hal. 45-54 Seymour-Smith, C. 1986. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and

Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. Sindhunoto. 2000. Cikar Bobrok. Yogyakarta: Kanisius.

Page 23: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

23

Soekmono.1981.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius

Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS Suhardi. 1986. “ Konsep Sangkan Paran dan Upacara Selamatan” dalam Budaya Jawa.

Beberapa Aspek Kebduayaan Jawa. (Soedarsono dkk., ed). Yogyakarta: Dep. P & K Dirjen Kebuduyaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.

………... 1993. “Mystical Practices and Religious Belief in Contemporary Central Java”

Thesis for The Degree of Ph. D.,. Canterbury: University of Kent. Suharto, B. 1999. Tayub Pertunjukkan dan Ritus Kesuburan. Bandung: Indonesia Sumarjo, Jacob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Sumarsih, S. 1990. “ Upacara Tolak Bala di Keraton Yogyakarta dan Sekitarnya dalam

Buletin Jarahnitra. Yogyakarta: Dep P&K, Dirjen Kebud Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional

Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal Sunyoto. 1995.Pasren dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Depdikbud

Proyek Pembinaan Permuseuman. Supriatun. 2002. “Loro blonyo : Dewi Sri dan Raden Sadono”. Artista Majalah

Informasi Seni dan Pendidikan Seni. No. 2 Vol 4 Agustus-Oktober, hal 36-37 Suseno, F. M. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup

Jawa. Jakarta: Gramedia. Sutarto, Ayu. 2003. “Mistisisme dalam Masyarakat”. Makalah Disampaikan dalam

Indiginasi Seni Pertunjukkan dan Ilmu Pengetahuan Seminar Internasional. STSI: Surakarta.

Sutarjo, Imam. 1995. “Sikap Generasi Muda terhadap Kesenian Tradisional Wayang

Purwo di Kotamadya Surakarta.” Sumbangsih Jurnal Penelitian UNS. Vol II no. 2 hal 1-9

Suyami. 2001. Serat Carios Dewi Sri dalam Perbandingan. Yogyakarta: Kepel Press Tremmel, W.C. 1958. Religion What Is It?. New York, Chicago: Holt, Rinehart and

Winston. Turner, V.1977. The Ritual Process. Ithaca and London: Cornell University Press

Page 24: Studi Simbolisme Dan Identifikasi Seni Patung Loro

24