simalakama pemerataan pembangunan barang publik di indonesia-naranggi pramudya soko

5
Simalakama Pemerataan Pembangunan Barang Publik di Indonesia Naranggi Pramudya Soko 8A DIV Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Tangerang Selatan [email protected] Abstrak –Pemerataan pembangunan di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa diakui memang masih sangat rendah. Hal ini yang sering menjadi keluhan masyarakat di luar Pulau Jawa, hingga muncul anekdot bahwa Indonesia itu adalah Jawa. Menjadi ironis ketika pemerintah membangun fasilitas – fasilitas yang “wah” di luar Pulau Jawa, tetapi pada akhirnya menjadi terbengkalai karena masyarakat daerah tersebut tidak dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Oleh karena itu, penyediaan barang publik di luar Pulau Jawa harus didasarkan pada kajian-kajian yang mendalam agar barang-barang publik tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat daerah. Kata Kunci: Barang publik, pembangunan, Indonesia 1. PENDAHULUAN Barang publik memiliki dua ciri utama yang membedakannya dari kategori barang lainnya. Ciri tersebut adalah yang disebut dengan nonrivalry dan nonexcludable. Suatu barang disebut memiliki sifat nonrivalry adalah ketika konsumsi atas barang tersebut oleh seseorang tidak menghalangi seseorang lainnya untuk ikut menikmati barang tersebut. Barang yang bersifat nonrivalry dapat dinikmati oleh banyak orang secara terus menerus tanpa mengurangi nilai yang dapat diperoleh orang selanjutnya yang menikmati manfaat dari barang tersebut. Sedangkan suatu barang dapat disebut nonexcludable adalah barang yang tidak dimungkinkan untuk mencegah barang tersebut dinikmati oleh seseorang secara cuma – cuma. Masalah sering muncul dalam penyediaan barang publik. Mangkoesoebroto Guritno dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Publik berpendapat bahwa oleh karena sifat dasar barang publik yang nonrivalry dan nonexcludable, keberadaan barang publik akan mengakibatkan kegagalan pasar. Adam Smith berpendapat bahwa terdapat setidaknya dua barang publik yang tidak mungkin dihasilkan oleh mekanisme pasar, yaitu ketahanan nasional dan sistem hukum. Oleh karena pasar gagal untuk menghasilkan barang publik, pemerintah dituntut untuk dapat menyediakannya. Masalah utama yang muncul dalam penyediaan barang publik di Indonesia adalah penyediaannya yang tidak merata. Menjadi rahasia yang umum beredar di masyarakat Indonesia bahwa pembangunan barang publik dalam wujud infrastruktur sangat terpusat di Pulau Jawa. Ketimpangan pembangunan ini menjadi salah satu alasan digulirkannya sistem otonomi daerah pada tahun 1999 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999.

Upload: naranggi-pramudya-soko

Post on 30-Dec-2015

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pemerataan pembangunan di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa diakui memang masih sangat rendah. Hal ini yang sering menjadi keluhan masyarakat di luar Pulau Jawa, hingga muncul anekdot bahwa Indonesia itu adalah Jawa. Menjadi ironis ketika pemerintah membangun fasilitas – fasilitas yang “wah” di luar Pulau Jawa, tetapi pada akhirnya menjadi terbengkalai karena masyarakat daerah tersebut tidak dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Oleh karena itu, penyediaan barang publik di luar Pulau Jawa harus didasarkan pada kajian-kajian yang mendalam agar barang-barang publik tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat daerah.

TRANSCRIPT

Page 1: Simalakama Pemerataan Pembangunan Barang Publik di Indonesia-Naranggi Pramudya Soko

Simalakama Pemerataan Pembangunan Barang Publik di IndonesiaNaranggi Pramudya Soko

8A DIV Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Tangerang [email protected]

Abstrak –Pemerataan pembangunan di Indonesia terutama di luar Pulau Jawa diakui memang masih sangat rendah. Hal ini yang sering menjadi keluhan masyarakat di luar Pulau Jawa, hingga muncul anekdot bahwa Indonesia itu adalah Jawa. Menjadi ironis ketika pemerintah membangun fasilitas – fasilitas yang “wah” di luar Pulau Jawa, tetapi pada akhirnya menjadi terbengkalai karena masyarakat daerah tersebut tidak dapat memanfaatkannya dengan maksimal. Oleh karena itu, penyediaan barang publik di luar Pulau Jawa harus didasarkan pada kajian-kajian yang mendalam agar barang-barang publik tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh masyarakat daerah.Kata Kunci: Barang publik, pembangunan, Indonesia

1. PENDAHULUAN

Barang publik memiliki dua ciri utama yang membedakannya dari kategori barang lainnya. Ciri tersebut adalah yang disebut dengan nonrivalry dan nonexcludable. Suatu barang disebut memiliki sifat nonrivalry adalah ketika konsumsi atas barang tersebut oleh seseorang tidak menghalangi seseorang lainnya untuk ikut menikmati barang tersebut. Barang yang bersifat nonrivalry dapat dinikmati oleh banyak orang secara terus menerus tanpa mengurangi nilai yang dapat diperoleh orang selanjutnya yang menikmati manfaat dari barang tersebut. Sedangkan suatu barang dapat disebut nonexcludable adalah barang yang tidak dimungkinkan untuk mencegah barang tersebut dinikmati oleh seseorang secara cuma – cuma.

Masalah sering muncul dalam penyediaan barang publik. Mangkoesoebroto Guritno dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Publik berpendapat bahwa oleh karena sifat dasar barang publik yang nonrivalry dan nonexcludable, keberadaan barang publik akan mengakibatkan kegagalan pasar. Adam Smith berpendapat bahwa terdapat setidaknya dua barang publik yang tidak mungkin dihasilkan oleh mekanisme pasar, yaitu ketahanan nasional dan sistem hukum. Oleh karena pasar gagal untuk menghasilkan barang publik, pemerintah dituntut untuk dapat menyediakannya.

Masalah utama yang muncul dalam penyediaan barang publik di Indonesia adalah penyediaannya yang tidak merata. Menjadi rahasia yang umum beredar di masyarakat Indonesia bahwa pembangunan barang publik dalam wujud infrastruktur sangat terpusat di Pulau Jawa. Ketimpangan pembangunan ini

menjadi salah satu alasan digulirkannya sistem otonomi daerah pada tahun 1999 melalui UU Nomor 22 Tahun 1999.

2. HASIL DAN PEMBAHASANTerdapat banyak teori dalam menentukan

jumlah barang publik yang disediakan dengan tepat kepada suatu kelompok masyarakat. Teori yang paling sederhana adalah, pada dasarnya untuk menyediakan barang publik kita harus menambah permintaan individu secara vertikal pada kurva permintaan-penawaran agar setiap individu dapat menikmati barang publik dalam tingkat kepuasan yang sama. Sehingga untuk menemukan berapa tingkat kuantitas barang publik yang harus disediakan, kita harus menanyakan berapa banyak kuantitas barang publik yang diperlukan masing-masing orang tersebut dan menjumlahkan hasilnya.

Ide ini dicerminkan pada grafik di bawah ini untuk situasi dengan dua orang.

Garis permintaan total bagi barang publik

Page 2: Simalakama Pemerataan Pembangunan Barang Publik di Indonesia-Naranggi Pramudya Soko

(ditunjukkan dengan garis warna merah) adalah penjumlahan vertikal dari kurva permintaan individu I dan II. Setiap titik pada kurva mencerminkan bagaimana individu I dan individu II bersama-sama membayar barang publik untuk tingkat produksi tertentu. Penambahan produksi satu unit barang publik akan memberikan keuntungan bagi keduanya. Untuk mengevaluasi keuntungan ini, kita harus menjumlahkan penilaian harga setiap orang atas barang tersebut. Hal ini ditunjukkan pada grafik di atas dengan menambahkan berapa yang bersedia dibayarkan oleh individu I dan berapa yang bersedia dibayarkan oleh individu II.

Pada kenyataannya, penyediaan barang publik tidak semudah itu. Preferensi masyarakat yang sangat majemuk membuat bias barang publik apa yang menjadi prioritas bagi pemerintah untuk disediakan bagi masyarakat pada daerah tertentu. Preferensi yang majemuk secara teori dapat ditanggulangi dengan cara memihak pada medium voters, atau suara mayoritas. Tetapi lagi-lagi pada kenyataannya hal ini pun sulit dilakukan karena adanya kepentingan – kepentingan lain yang menungganginya sehingga terkadang pemerintah membangun barang publik secara membabi buta dan tidak tepat sasaran.

Berkaitan dengan isu pemerataan pembangunan di daerah terutama di luar Pulau Jawa, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk pemerataan pembangunan di daerah dalam anggaran belanja daerah yang pada 2013 mencapai nilai Rp 518,9 Triliun, atau 31,3% dari anggaran belanja pemerintah. Ini belum termasuk pembangunan fasilitas – fasilitas yang bersifat nasional di daerah yang tertuang dalam anggaran belanja pembangunan. Ironisnya, pembangunan infrastruktur di daerah terkesan hanya menghabiskan anggaran. Banyak pembangunan infrastruktur di daerah yang tidak tepat sasaran, yang pada akhirnya terbengkalai karena tidak dimanfaatkan oleh masyarakat daerah tersebut. Stadion Gelora Bumi Sriwijaya, kompleks olahraga Tenggarong, dan kompleks olahraga Palaran adalah beberapa contoh dari pembangunan infrastruktur yang dibangun atas nama “pemerataan pembangunan” yang sekarang ini terbengkalai.

Pembangunan barang publik di luar Pulau Jawa saat ini menciptakan suatu pola tertentu; barang publik disediakan karena akan diadakan

suatu venue di daerah tersebut, tidak berdasarkan riset yang mendalam tentang kebutuhan barang publik masyarakat di daerah tersebut. Pembangunan stadion Gelora Bumi Sriwijaya dilakukan untuk menggelar venue PON 2004 yang kemudian dibiarkan terbengkalai dan kemudian diperbaiki lagi untuk Sea Games 2011, kompleks olahraga Tenggarong dan Palarang untuk PON 2008, dan yang terakhir kompleks olahraga di Riau untuk PON 2012 yang juga sekarang telah mulai terbengkalai. Pembangunan – pembangunan tersebut menjadi laiknya buah simalakama; bila tidak dilakukan akan memperkuat anggapan bahwa pemerintah tidak mempedulikan pembangunan di daerah, tetapi ketika dilakukan triliunan rupiah uang negara hilang dalam bentuk pemanfaatan barang publik yang tidak maksimal.

Kepentingan – kepentingan yang menunggangi pemerataan pembangunan di daerah dapat dijadikan kambing hitam atas pembangunan – pembangunan yang mubazir tersebut. Median voters tidak lagi dipertimbangkan, sehingga setelah suatu venue tersebut selesai digelar, tidak ada lagi yang membutuhkan barang – barang publik tersebut. Hal ini sangat sesuai dengan Public Choice Theory, yang secara umum menyatakan bahwa kebijakan – kebijakan pemerintah tidak mempertimbangkan median voters, tetapi para kelompok kepentingan.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh para kelompok kepentingan ini? Beberapa solusi yang dapat digunakan ialah (Rahmadi, 2013):a) Mengurangi monopoli sektor publik dengan

cara memberikan kompetisi untuk memberi kekuatan (suara) lebih kepada pengguna layanan.

b) Memaksimalkan kebebasan rakyat (pengguna layanan) untuk dapat memilih penyedia layanan.

c) Akses informasi yang sama bagi semua pihak, karena pada saat ini informasi lebih banyak tersedia untuk para pemangku kepentingan daripada masyarakat terutama masyarakat di daerah.

d) Peningkatan akuntabilitas di sektor publik.Melalui solusi di atas, diharapkan dapat lebih meningkatkan keterlibatan medium voters dalam pengambilan kebijakan penyediaan barang publik sehingga dapat mengurangi kasus

Page 3: Simalakama Pemerataan Pembangunan Barang Publik di Indonesia-Naranggi Pramudya Soko

terbengkalainya barang publik karena kurangnya pemanfaatan oleh masyarakat.

3. KESIMPULANKetimpangan penyediaan barang publik di

luar Pulau Jawa memaksa pemerintah menggenjot penyediaan barang publik yang pada banyak kasus tidak didasari pada riset yang logis. Hal ini mengakibatkan penyediaan barang publik yang menelan anggaran triliunan rupiah tidak efektif, sehingga banyak dari proyek – proyek penyediaan tersebut yang tidak termanfaatkan dan terbengkalai.

Penyebab utama dari pembangunan tidak didasari pada riset yang baik adalah adanya kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi kebijakan pemerintah. Seharusnya kebijakan pemerintah lebih banyak mempertimbangkan keberadaan medium voters, dengan demikian kebijakan tersebut mampu mewakili keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat. Dengan terwakilinya suara mayoritas masyarakat, maka kebijakan pemerintah (pada khususnya kebijakan penyediaan barang publik) mampu menghasilkan barang publik yang sesuai kebutuhan dan permintaan masyarakat sehingga tidak ada lagi kasus barang publik yang terbengkalai karena tidak lagi dimanfaatkan oleh masyarakat.

DAFTAR REFERENSIGuritno, Mangkoesoebroto, Ekonomi Publik,

Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 1993Trogen, Paul C., Public Goods, Boca Raton:

CRC Press LCC, 2005Eger, Robert J., Provision and Production of

Public Goods , Boca Raton: CRC Press LCC, 2005

Murwanto, Rahmadi, Persoalan Korupsi, _, 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia diakses pada 13 November 2013

http://jumaristoho.wordpress.com/2011/04/09/kegagalan-pasar-dan-campur-tangan-pemerintah/ diakses pada 13 November 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_mikro diakses pada 13 November 2013

http://sports.sindonews.com/read/2013/01/21/51/709527/disayangkan-aset-atletik-terbengkalai diakses pada 13 November 2013

http://sport.detik.com/read/2013/03/08/111753/2189328/82/terbengkalai-perlu-2-bulan-untuk-perbaiki-stadion-utama-riau diakses pada 13 November 2013

http://kurmakurma.wordpress.com/ekonomi/barang-publik/ diakses pada 13 November 2013

http://en.wikipedia.org/wiki/Public_choice diakses pada 13 November 2013