sholat pendahuluan, isi, penutup, daftar pustaka
TRANSCRIPT
SHALAT
Syarat-syarat Sholat
Syarat dari sesuatu yaitu apa-apa yang mengakibatkan tiada hasilnya sesuatu bila
ia tidak ada, tetapi dengan adanya semata, belum berarti ada atau tidaknya sesuatu
itu. Misalnya wudhu bagi sholat, maka tanpa adanya, sholat tidak ada. Tetapi
dengan berwudhu semata, belum tentu sholat akan hasil.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu :
1. Syarat-syarat wajib shalat
yaitu syarat-syarat diwajibkannya seseorang mengerjakan shalat. Jika
seseorang tidak memenuhi syarat-syarat itu, tidak diwajibkan mengerjakan
shalat yaitu :
a. Islam
Orang yang tidak Islam tidak wajib mengerjakan shalat.
b. Suci dari Haid dan Nifas
Perempuan yang sedang Haid (datang bulan) atau baru melahirkan tidak
wajib mengerjakan shalat.
c. Berakal Sehat
Orang yang tidak berakal sehat seperti orang gila, orang yang mabuk, dan
pingsan tidak wajib mengerjakan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah
Saw. :
"Ada tiga golongan manusia yang telah diangkat pena darinya (tidak diberi
beban syari'at) yaitu; orang yang tidur sampai dia terjaga, anak kecil
sampai dia baligh dan orang yang gila sampai dia sembuh."
(HR. Abu Daud)
d. Baliqh (dewasa)
Orang yang belum baliqh tidak wajib mengerjakan shalat. Tanda-tanda
orang yang sudah baliqh :
- Sudah berumur 10 tahun
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
"Perintahkanlah anak-anak untuk melaksanakan shalat apabila telah
berumur tujuh tahun, dan apabila dia telah berumur sepuluh tahun,
maka pukullah dia kalau tidak melaksanakannya."
(HR. Abu Daud)
- Mimpi bersetubuh
- Mulai keluar darah haid (datang bulan) bagi anak perempuan
e. Telah sampai da'wah kepadanya
Orang yang belum pernah mendapatkan da'wah atau seruan agama tidak
wajib mengerjakan shalat.
f. Terjaga
Orang yang sedang tertidur tidak wajib mengerjakan shalat.
2. Syarat-syarat sah shalat
Yaitu yang harus dipenuhi apabila seseorang hendak melakukan shalat.
Apabila salah satu syarat tidak dipenuhi maka tidak sah shalatnya. Syarat-
syarat tersebut ialah :
a. Masuk waktu shalat
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
�ا �اب �ت ن� ك �ي م�ؤم�ن �ت ع�ل�ى ال �ان �ة� ك �ن� الص�ال إ
�ا م�وق�وت“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang ditetapkan waktunya
bagi kaum mukminin.”
(QS. An-Nisa`: 103)
Dalam hadits Rasulullah Saw., banyak sekali kita dapatkan dalil
tentang permasalahan ini. Kaum muslimin pun sepakat, akan tidak sahnya
shalat yang dikerjakan sebelum masuk waktunya. Bila seseorang shalat
sebelum waktunya dengan sengaja maka shalatnya batal dan ia tidak selamat
dari dosa. Namun bila tidak sengaja, dalam arti ia mengira telah masuk
waktu shalat padahal belum, maka ia tidak berdosa. Shalatnya tersebut
teranggap shalat nafilah (shalat sunnah) dan ia wajib mengulangi shalatnya
setelah masuk waktunya.
(Asy-Syarhul Mumti’ 1/398)
b. Suci dari hadats besar dan kecil
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
�ة� �ل�ى الص�ال �م إ �ذ�ا ق�مت �وا إ ن� آم�ن �ذ�ي 'ه�ا ال ي� �ا أ ي
اف�ق� م�ر� �ل�ى ال �م إ �ك د�ي �ي �م و�أ �وا و�ج�وه�ك ل ف�اغس�
ن� �ي �عب ك �ل�ى ال �م إ �ك ل ج� ر� �م و�أ ك ء�وس� �ر� ح�وا ب و�امس�
وا �ا ف�اط�ه�ر� �ب ن �م ج� ت �ن �ن ك و�إ“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak menegakkan
shalat, basuhlah wajah kalian dan lengan kalian sampai siku, lalu usaplah
kepala kalian dan cucilah kaki kalian sampai mata kaki. Dan jika kalian
junub, bersucilah….”
(QS. Al-Ma`idah: 6)
Dalam ayat di atas ada perintah dari Allah Swt. kepada hamba-hamba-
Nya yang ingin shalat sementara mereka belum bersuci, agar membasuh
wajah dan tangan mereka sampai siku dengan menggunakan air, dan
seterusnya dari amalan wudhu.
(Jami’ul Bayan fit Ta`wil Ayil Qur`an, 4/50)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
rahimahullahu mengatakan bahwa dalam ayat yang agung ini terkandung
banyak hukum, di antaranya:
Disyaratkannya thaharah untuk sahnya shalat, karena Allah Swt.
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berthaharah ketika hendak
menunaikan shalat. Sementara, hukum asal suatu perintah adalah wajib.
Thaharah tidak wajib dilakukan ketika telah masuk waktu shalat, namun
thaharah hanya diwajibkan ketika seseorang ingin mengerjakan shalat.
Seluruh amalan yang dinamakan shalat, baik shalat itu wajib atau nafilah,
maupun shalat yang fardhu kifayah seperti shalat jenazah, disyaratkan
thaharah sebelumnya.
(Tafsir Al-Karimir Rahman, hal. 222)
Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
� �و�ض�أ �ت �ى ي �حد�ث� ح�ت �ة� م�ن أ �ل� ص�ال �قب � ت ال“Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats hingga ia berwudhu.”
(HR. Al-Bukhari no. 135 dan Muslim no. 536)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu memaknakan hadits di atas:
“(Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats) hingga ia bersuci
dengan air atau tanah/debu. Dalam hadits, Nabi Saw. hanya menyebut
wudhu karena asal mula bersuci itu dengan wudhu (bila tidak ada air, baru
menggantinya dengan yang lain) dan itu yang lebih banyak dilakukan.
Wallahu a’lam.”
(Al-Minhaj, 3/99)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Saw. bersabda:
Bرر� ط�ه�و �غ�ي �ةD ب �ل� ص�ال �قب � ت ... ال“Tidak diterima shalat tanpa bersuci...”
(HR. Muslim no. 534)
Hadits di atas merupakan nash yang menunjukkan wajibnya thaharah
bila hendak mengerjakan shalat, sementara ia dalam keadaan berhadats. Dan
ulama sepakat bahwa thaharah ini merupakan syarat sahnya shalat.
(Tharhut Tatsrib 2/400, 409, Al-Minhaj 3/98)
Hadats yang dimaksudkan dalam pembahasan di sini mencakup hadats
besar seperti janabah dan hadats kecil seperti buang air besar, kencing,
buang angin, dan sebagainya.
c. Suci badan, pakaian dan tempat shalat dari najis
Dalil tentang sucinya pakaian didapatkan dari firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
�ك� ف�ط�هFر �اب �ي و�ث“Dan pakaianmu sucikanlah.”
(QS. Al-Mudatstsir: 4)
Dari As-Sunnah didapatkan banyak dalil, seperti hadits Asma` bintu
Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah Saw., ‘Ya Rasulullah,
apa pendapatmu bila pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid,
apa yang harus diperbuatnya?” Rasulullah Saw. bersabda memberi
bimbingan:
�ن� الد�م� م�ن� �حد�اك �وب� إ ص�اب� ث� �ذ�ا أ إ
�م� �م�اءB ث ض�حه� ب �ن �ت �م� ل �قر�صه� ث ت ض�ة� ف�ل ح�ي ال
ه� �ص�لFي ف�ي �ت ل“Apabila pakaian salah seorang dari kalian terkena darah haid, hendaklah
ia mengeriknya kemudian membasuhnya dengan air. Setelah itu, ia boleh
mengenakannya untuk shalat.”
(HR. Al-Bukhari no. 307 dan Muslim no. 673)
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu, dalam hadits
ini terdapat isyarat dilarangnya shalat bila mengenakan pakaian yang
terkena najis.
(Fathul Bari, 1/532)
Demikian pula hadits tentang Rasulullah Saw. melepas sandalnya
ketika shalat, sebagaimana diberitakan Abu Sa’id Al-Khudri r.a.:
�ص�لFي �م� ي ل ه� و�س� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� �م�ا ر� ن �ي ب
ار�ه�. �س� ه�، ف�و�ض�ع�ه�م�ا ع�ن ي �ي �عل �ع� ن ل �ذ خ� �ه� إ اب صح�� �أ ب
�م�ا ق�ض�ى . ف�ل �ه�م �ع�ال ق�وا ن �ل ق�وم� أ �ك� ال �ى ذ�ل أ �م�ا ر� ف�ل
: �ه� ق�ال� �ت �م� ص�ال ل ه� و�س� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� ر�
�اك� ن �ي أ �وا: ر� ؟ ق�ال �م �ك �ع�ال �م ن �ك ق�ائ �ل �م ع�ل�ى إ �ك م�ا ح�م�ل
ول� الله� س� �ا. ف�ق�ال� ر� �ن �ع�ال �ا ن ن ق�ي ل� ك� ف�أ �ي �عل ت� ن ق�ي �ل أ
�م� ال ه� الس� �ي ل� ع�ل ر�ي ب �ن� ج� : إ �م� ل ه� و�س� �ي ص�ل�ى الله� ع�ل
�ذ�ى -. : أ و ق�ال�� ا - أ ه�م�ا ق�ذ�ر� �ن� ف�ي �ي أ ن �ر� ب خ
� �ي ف�أ �ان �ت أ
، ظ�ر �ن ي ج�د� ف�ل م�س �ل�ى ال �م إ �ح�د�ك �ء� أ �ذ�ا جا : إ و�ق�ال�
حه� �مس� ي �ذ�ى ف�ل و أ� ا أ ه� ق�ذ�ر� �ي �عل �ى ف�ي ن أ �ن ر� ف�إ
ه�م�ا �ص�لF ف�ي ي و�ل“Tatkala Rasulullah Saw. sedang shalat bersama shahabat-shahabat
beliau, tiba-tiba beliau melepas kedua sandalnya lalu meletakkannya di
sebelah kiri beliau. Ketika melihat hal tersebut, mereka (para shahabat)
pun melepaskan sandal mereka. Selesai dari shalat, Rasulullah bertanya,
“Ada apa kalian melepaskan sandal-sandal kalian?” Mereka menjawab,
“Kami melihatmu melepas sandalmu maka kami pun melepaskan sandal-
sandal kami.” Rasulullah Saw. menjelaskan, “Tadi Jibril mendatangiku dan
mengabarkan bahwa pada kedua sandalku ada kotoran/najis, maka akupun
melepaskan keduanya.” Beliau juga mengatakan, “Apabila salah seorang
dari kalian datang ke masjid, sebelum masuk masjid hendaklah ia melihat
kedua sandalnya. Bila ia lihat ada kotoran atau najis maka hendaklah
membersihkannya. Setelah bersih, ia boleh shalat dengan mengenakan
kedua sandalnya.”
(HR. Abu Dawud no. 650 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud, Irwa`ul Ghalil no. 284 dan
Ashlu Shifati Shalatin Nabi Saw., 1/110)
Mengenai kesucian badan maka tentunya lebih utama daripada
sucinya pakaian yang dikenakan. Di samping ada pula hadits yang
menunjukkan wajibnya membersihkan najis yang ada pada badan seperti
hadits Anas r.a. Ia berkata, Nabi Saw. bersabda:
ر� ق�ب �ن� ع�ام�ة� ع�ذ�اب� ال ، ف�إ �ول� ب ه�وا م�ن� ال �ز� �ن ت
ه� م�ن
“Bersucilah kalian dari kencing karena kebanyakan adzab kubur
disebabkan kencing.”
(HR. Ad-DaraQathani dalam Sunan-nya hal. 7, dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 280)
Demikian pula hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:
�ل� أ س� �ن أ �ي أ �حي ت س
� ت� أ �ن � م�ذ�اء� ف�ك ج�ال ت� ر� �ن ك
�ه�، �ت ن �ان� اب �م�ك �م� ل ل ه� و�س� �ي �ي� ص�ل�ى الله� ع�ل �ب الن
: �ه�، ف�ق�ال� ل� أ و�د� ف�س� �س أل ن� ا م�قد�اد� ب ت� ال م�ر
� ف�أ� �و�ض�أ �ت ه� وي �ر� ل� ذ�ك �غس� ي
“Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu
menanyakannya langsung kepada Nabi Saw. disebabkan keberadaan putri
beliau (sebagai istriku). Maka aku menyuruh Al-Miqdad ibnul Aswad untuk
menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau, maka beliau Saw.
memberikan tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian
berwudhu’.”
(HR. Al-Bukhari no. 132 dan Muslim no. 693)
Adapun dalil tentang kesucian tempat shalat adalah firman Allah Swt.:
�ع� ك ن� و�الر' �ف�ي ع�اك ن� و�ال �ف�ي �لط�ائ �ي� ل ت �ي ا ب �ن ط�هFر� أ
ج�ود� الس'“Bersihkanlah rumah-Ku (Baitullah) (wahai Ibrahim dan Ismail) untuk
orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’, dan yang sujud.”
(Al-Baqarah: 125)
Demikian pula adanya perintah Nabi Saw. untuk menyiram kencing
A’rabi (Arab gunung/Badui) sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik r.a.:
�ال� ج�د� ف�ب م�س �ة� ال ي �اح� �ل�ى ن cا ق�ام� إ �ي اب �عر� �ن� أ أ
ول� الله� س� �اس�. ف�ق�ال� ر� �ه� الن ه�ا، ف�ص�اح� ب ف�ي
غ� �م�ا ف�ر� : د�ع�وه�. ف�ل �م� ل ه� و�س� �ي ص�ل�ى الله� ع�ل
�م� ل ه� و�س� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� م�ر� ر�� أ
�ه� �ول �وبB ف�ص�ب� ع�ل�ى ب �ذ�ن ب“Ada seorang A’rabi bangkit menuju ke pojok masjid lalu kencing di tempat
tersebut. Melihat hal itu, orang-orang berteriak menghardiknya. Rasulullah
Saw. pun menegur, “Biarkan ia menyelesaikan kencingnya.” Seselesainya
si A’rabi kencing, Rasulullah Saw. memerintahkan agar mengambil air satu
ember penuh, lalu dituangkan di atas kencingnya.”
(HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 658)
Bila seseorang melihat pada tubuh, pakaian atau tempat shalatnya ada
najis setelah selesai shalatnya, apakah ia harus mengulangi shalatnya?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Namun yang rajih, wallahu
a’lam, orang itu tidak wajib mengulangi shalatnya, baik keberadaan najis
tersebut telah diketahuinya sebelum shalat tapi ia lupa, atau lupa
mencucinya, ataupun ia tidak tahu bila najis itu terkena dirinya, atau ia tidak
tahu kalau itu najis, atau ia tidak tahu hukumnya, atau ia tidak tahu apakah
najis itu mengenainya sebelum shalat ataukah sesudah shalat. Pendapat ini
yang dipilih oleh Al-Muwaffaq Ibnu Qudamah, Al-Majdu, Syaikhul Islam,
Ibnul Qayyim, dan selain mereka rahimahumullah. Dalilnya adalah kaidah
umum yang agung yang Allah Saw. letakkan bagi hamba-hamba-Nya, yaitu
firman-Nya:
�ا ن �خط�أ و أ� �ا أ ن ي �س� �ن ن �ا إ �ؤ�اخ�ذن � ت �ا ال �ن ب ر�
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami jika kami lupa
atau keliru….”
(QS. Al-Baqarah: 286)
Dan juga hadits Rasulullah Saw. yang melepas sandal beliau dalam
shalatnya setelah Jibril a.s. mengabarkan bahwa pada sandalnya ada
kotoran/najis. Beliau tidaklah membatalkan shalatnya, namun
melanjutkannya setelah melepas kedua sandalnya.
(Al-Mughni, kitab Ash-Shalah fashl Man Shalla Tsumma Ra`a ‘Alaihi
Najasah fi Badanihi au Tsiyabihi, Asy-Syarhul Mumti’ 1/485, Al-
Mulakhkhashul Fiqhi, 1/94, Taudhihul Ahkam 2/33)
d. Menutup aurat,
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Bج�د �لF م�س د� ك ن �م ع� �ك �ت ن �ي آد�م� خ�ذ�وا ز�ي �ن �ا ب ي“Wahai anak Adam kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju masjid.”
( QS.Al-A’raf: 31)
Al-Imam Asy-Syaukani r.a. berkata: “Mereka diperintah untuk
mengenakan zinah ketika datang ke masjid guna melaksanakan shalat atau
thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya
menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh
jumhur ulama. Bahkan menutup aurat ini wajib dalam segala keadaan,
sekalipun seseorang shalat sendirian sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits-hadits yang shahih.”
(Fathul Qadir, 2/200)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, “(Perintah
Allah Swt. dalam ayat di atas adalah) perintah untuk mengenakan zinah
setiap kali ke masjid, yang dinamakan oleh para fuqaha: bab Sitrul ‘Aurah
fish Shalah (bab Menutup aurat dalam shalat).”
(Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish Shalah hal. 14)
Ibnu ‘Abbas r.a. menerangkan sebab turunnya ayat di atas, “Dulunya
di masa jahiliah, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa
busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Ia thawaf seraya
bersyair:
Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya atau pun seluruhnya
Maka apa yang nampak darinya tidaklah aku halalkan.
Lalu turunlah ayat di atas.”
(HR. Muslim no. 7467)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu dalam tafsirnya terhadap firman
Allah Swt. di atas menyatakan, “Yang dimaksud dengan zinah adalah
pakaian. Mujahid berkata, ‘(Zinah adalah) apa yang menutupi auratmu
walaupun berupa ‘aba'ah.’ Al-Kalbi berkata, ‘Zinah adalah apa yang
menutupi aurat setiap kali ke masjid untuk thawaf dan shalat’.”
(Ma’alimut Tanzil, 2/157)
Dulunya orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan
telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya
tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu
lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut untuk selamanya,
hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung
hingga datang Islam dan Allah Swt. memerintahkan mereka untuk menutup
aurat: “Wahai anak Adam, kenakanlah zinah kalian setiap kali menuju
masjid.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dن� يا ت� ع�ر �ي ب �ال �ط�وف� ب � ي ال“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.”
(HR. Al-Bukhari no. 369, 1622 dan Muslim no. 3274) [Lihat Al-Minhaj
18/357]
Hadits di atas selain dibawakan oleh Al-Imam Al-Bukhari r.a. dalam
Shahih-nya, kitab Al-Hajj bab Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di
Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji, dibawakan pula
oleh beliau dalam kitab Ash-Shalah, bab Wajibnya shalat dengan
mengenakan pakaian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu dalam
penjelasannya terhadap hadits di atas menyatakan:
“Sisi pendalilan hadits ini dengan judul bab yang diberikan Al-Imam Al-
Bukhari rahimahullahu (bab Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian)
adalah apabila dalam thawaf dilarang telanjang, maka larangan hal ini di
dalam shalat lebih utama lagi. Karena apa yang disyaratkan di dalam
shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf, bahkan dalam
shalat ada tambahan. Dan jumhur berpendapat menutup aurat termasuk
syarat shalat.”
(Fathul Bari, 1/604)
Faedah
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah
cukup dengan berpakaian ala kadarnya yang penting menutup aurat, tidak
peduli pakaian itu bau dan kotor misalnya. Namun perlu memerhatikan sisi
keindahan dan kebersihan. Karena Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan)
ketika shalat, sebagaimana dalam ayat di atas. Sehingga sepantasnya
seorang hamba shalat dengan mengenakan pakaiannya yang paling bagus
dan paling indah, karena dia akan ber-munajat dengan Rabb semesta alam
dan berdiri di hadapan-Nya.”
(Al-Ikhtiyarat Ibnu Taimiyyah rahimahullahu hal. 43)
Bedanya Menutup Aurat di Dalam dan di Luar Shalat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, “Mengenakan
zinah di dalam shalat merupakan hak Allah Swt., sehingga tidak boleh bagi
seseorang untuk thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang walaupun
bersendiri di waktu malam. Tidak boleh pula ia shalat dalam keadaan
telanjang walaupun sendirian. Maka mengenakan zinah dalam shalat
bukanlah untuk berhijab (menutup tubuh) dari manusia tapi menunaikan
hak Allah Swt. Dengan demikian, menutup aurat di luar shalat dibedakan
dari menutup aurat di dalam shalat. Kita dapatkan seseorang yang shalat
menutup bagian tubuhnya yang justru boleh tampak bila ia sedang tidak
shalat (di luar shalat). Sebaliknya ia menampakkan dalam shalatnya apa
yang justru harus ditutupnya di luar shalat.”
(Hijabul Mar`ah wa Libasuha fish Shalah hal. 23)
Sebenarnya memang yang diperintahkan dalam shalat adalah berhias
dan berpenampilan bagus karena hendak berdiri di hadapan Allah Swt.. Bila
seseorang merasa malu bertemu dengan seorang raja atau salah seorang
pembesar di muka bumi ini dengan pakaian kotor, bau, kusut masai, atau
terbuka separuh tubuhnya, lalu bagaimana ia tidak malu berdiri di hadapan
Raja Diraja Penguasa alam semesta Swt. dengan pakaian yang tidak patut
dikenakannya ketika shalat? Karena itulah Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma pernah bekata kepada maulanya, Nafi’, yang shalat dalam keadaan
tidak menutup kepala (dengan peci dan semisalnya), “Tutuplah kepalamu!
Apakah engkau biasa keluar ke hadapan manusia dalam keadaan membuka
kepalamu?” Nafi’ menjawab, “Tidak pernah.” “Allah adalah Dzat yang
lebih pantas untuk engkau berhias bila hendak menghadap-Nya”, kata
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
(Syarh Ma’anil Atsar, 1/377)
Dengan demikian, semakin fahamlah kita bahwa yang sebenarnya
dituntut dalam shalat bukan sekedar menutup aurat, tapi mengenakan zinah.
Seseorang yang hendak shalat dituntut agar berada dalam penampilan yang
bagus dan indah, karena ia akan berdiri di hadapan Allah Swt.
(Adz-Dzakhirah lil Qarafi 2/102, Al-Mulakhkhashul Fiqhi 1/93)
Hukum Menutup Pundak bagi Laki-laki di Dalam Shalat
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi Saw. bersabda:
س� �ي و�اح�د� ل �وب� ال �م ف�ي الث �ح�د�ك �ص�لFي أ � ي ال
Dءي ه� ش� �ق�ي ع�ل�ى ع�ات“Tidak boleh seorang lelaki di antara kalian shalat dengan hanya
mengenakan satu kain sementara tidak ada di atas pundaknya sedikitpun
dari kain tersebut.”
(HR. Al-Bukhari no. 359 dan Muslim no. 1151)
Dalam hadits di atas, Nabi Saw. memberikan bimbingan kepada orang
yang shalat dengan mengenakan satu kain saja tanpa ada pakaian lain, agar
tidak mengikat kainnya pada bagian tengah tubuhnya sehingga dua
pundaknya dibiarkan terbuka. Tapi hendaknya ia berselubung dengan kain
tersebut, dua ujung kainnya diangkat lalu disilangkan dan diikatkannya di
atas pundaknya, sehingga kain tersebut keberadaannya seperti izar dan rida`.
Hal ini mungkin dilakukan bila kainnya lebar/lapang. Namun bila sempit
maka terpaksa diikatkan pada pinggang sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:
Fق�ا �ان� ض�ي �ن ك �ه� و�إ �ح�ف ب ت ع�ا ف�ل �ان� و�اس� �ن ك ف�إ
�ه� �ز�ر ب ف�ات“Bila kainmu lebar berselimutlah dengannya (menutupi tubuh bagian
bawah dan atas dengan disilangkan dua ujungnya di atas dua pundak)
namun bila kainmu sempit ikatkanlah pada setengah tubuhmu yang bagian
bawah.”
(HR. Al-Bukhari no. 361) [Syarhus Sunnah Al-Baghawi 2/433]
Dari dua hadits di atas, tergambar bagi kita hukum menutup pundak
dalam shalat. Dalam masalah ini memang ada perselisihan pendapat di
kalangan ahlul ilmi.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam pendapatnya yang masyhur
mengatakan wajib bagi orang yang memiliki kemampuan, berdalil dengan
dzahir hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sementara jumhur ulama, di antaranya imam yang tiga, berpandangan
mustahab, karena yang wajib ditutup hanyalah aurat sementara dua pundak
bukanlah aurat. Adapun larangan dalam hadits tidaklah menunjukkan haram
karena adanya hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu di atas. Sehingga larangan
shalat dalam keadaan pundak terbuka mereka bawa kepada nahyut tanzih
wal karahah, yaitu makruh, bukan haram. Wallahu a’lam.
(Al-Umm kitab Ash-Shalah bab Jima’i Libasil Mushalli, Al-Majmu’
3/181, Al-Mughni kitab Ash-Shalah fashl Hukmi Sitril Mankibain,
Raddul Mukhtar ‘Ala Ad-Darril Mukhtar Syarhu Tanwiril Abshar
Ibnu ‘Abidin 2/76, Subulus Salam 1/211, Taisirul Allam 1/259,260,
Tamamul Minnah hal. 163)
Faedah
Apakah shalat seseorang batal bila di tengah shalatnya tersingkap
bagian tubuhnya yang mesti ditutupi dalam shalat?
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu
menerangkan:
Bila ia melakukannya dengan sengaja maka batal shalatnya, baik sedikit
atau banyak bagian tubuhnya yang tersingkap, lama ataupun hanya
sebentar.
Bila tidak sengaja dan yang tersingkap hanya sedikit, shalatnya tidak
batal.
Bila tidak sengaja namun yang tersingkap banyak dalam waktu yang
singkat, shalatnya tidak batal.
Tersingkap banyak bagian tubuhnya tanpa sengaja dalam waktu yang
lama, ia tidak tahu kecuali di akhir shalatnya atau setelah salam, maka
shalatnya tidak sah.
Misalnya: Seseorang shalat memakai sirwal (celana panjang yang
luas/longgar) dan kain. Selesai salam dari shalatnya, ia dapatkan
sirwalnya sobek besar pada bagian kemaluannya hingga
menampakkannya, maka shalatnya tidak sah dan ia harus mengulangi
shalatnya karena menutup aurat termasuk syarat sahnya shalat. Adapun
bila di tengah shalat, pakaiannya sobek besar namun dengan segera ia
pegang bagian yang sobek maka shalatnya sah. (Asy-Syarhul Mumti’
1/446-447)
e. Menghadap kiblat
Yang dimaukan dengan kiblat adalah Ka’bah. Dinamakan kiblat
karena manusia menghadapkan wajah mereka dan menuju kepadanya.
(Al-Majmu’ 3/193, Ar-Raudhul Murbi’ Syarhu Zadil Mustaqni’, 1/119,
Asy-Syarhul Mumti’ 1/501, Al-Mulakhkhashul Fiqhi, 1/96)
Awalnya Rasulullah Saw. shalat menghadap ke Baitul Maqdis.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau menghadap
ke Ka’bah, kiblat yang beliau cintai. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
�ك� �ن Fي �و�ل �ن م�اء� ف�ل �ق�ل'ب� و�جه�ك� ف�ي الس� ى ت �ر� ق�د ن
ج�د� م�س طر� ال ض�اه�ا ف�و�لF و�جه�ك� ش� �ر �ة� ت ل ق�ب
�م 'وا و�ج�وه�ك �م ف�و�ل ت �ن ث� م�ا ك � و�ح�ي ام ح�ر� ال
�م�ون� �عل �ي �اب� ل �ت ك �وا ال وت� ن� أ �ذ�ي �ن� ال ه� و�إ طر� ش�
�غ�اف�لB ع�م�ا Fه�م و�م�ا الله� ب ب ح�ق' م�ن ر� �ه� ال ن� أ
�ون� �عم�ل ي“Kami sering melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai. Hadapkanlah wajahmu
ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, hadapkanlah
wajah-wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang
diberi Al-Kitab (dari kalangan Yahudi dan Nasrani) memang mengetahui
bahwa menghadap ke Masjidil Haram itu benar dari Rabb mereka, dan
Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Al-Baqarah: 144)
Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata:
�ل�ى �م� إ ل ه� و�س� �ي �يF ص�ل�ى الله� ع�ل �ب ت� م�ع� الن �ي ص�ل
�ى ا، ح�ت هر� ر� ش� �ة� ع�ش� ت م�قد�س� س� ت� ال �ي ب
ث� م�ا ة� }و�ح�ي �ق�ر� ب �ي ف�ي ال �ت �ة� ال آلي ل�ت� ا �ز� ن
ل�ت �ز� ه�{ ف�ن طر� �م ش� 'وا و�ج�وه�ك �م ف�و�ل ت �ن ك
�م� ل ه� و�س� �ي �ي' ص�ل�ى الله� ع�ل �ب �عد�م�ا ص�ل�ى الن ب
�اسB م�ن� �ن �، ف�م�ر� ب ق�وم ج�لD م�ن� ال ط�ل�ق� ر� ف�ان
�وا �ه�م ف�و�ل ، ف�ح�د�ث 'ون� �ص�ل ص�ار� و�ه�م ي �ن أل ا
ت� �ي ب �ل� ال و�ج�وه�ه�م ق�ب“Aku shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke
arah Baitul Maqdis selama 16 bulan, hingga turunlah ayat dalam surah Al-
Baqarah: ‘Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah (hadapkanlah)
wajah kalian ke arahnya.’ Ayat ini turun setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam shalat. Lalu pergilah seseorang dari mereka yang hadir dalam
shalat berjamaah bersama Nabi. Ia melewati orang-orang Anshar yang
sedang shalat (dalam keadaan masih menghadap ke arah Baitul Maqdis),
maka ia pun menyampaikan kepada mereka tentang perintah perpindahan
arah kiblat. Mendengar hal tersebut orang-orang Anshar pun
memalingkan/menghadapkan wajah-wajah mereka ke arah Baitullah.”
(HR. Muslim no. 1176) [Al-Hawil Kabir 2/68]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangkit untuk shalat,
beliau menghadap Ka’bah, baik dalam shalat wajib maupun shalat nafilah.
Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu:
“Berita ini merupakan sesuatu yang pasti keberadaannya karena
mutawatirnya….”
(Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/55)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang salah
shalatnya:
�م� و�ض�وء� ث �غ� ال ب س� �ة� ف�أ �لى� الص�ال �ذ�ا ق�مت� إ إ
Fر �ب �ة� ف�ك ل ق�ب �ل� ال �قب ت ...اس“Bila engkau bangkit untuk menegakkan shalat maka baguskanlah wudhu
kemudian menghadaplah kiblat, setelah itu bertakbirlah….”
(HR. Al-Bukhari no. 6251 dan Muslim no. 884)
Orang yang Melihat Ka’bah dan yang Tidak Melihatnya
Bagi orang yang shalat dalam keadaan dapat melihat Ka’bah maka
wajib baginya shalat menghadap persis ke Ka’bah, seperti keadaan orang
yang shalat di Masjidil Haram. Adapun orang yang tidak bisa menyaksikan
Ka’bah secara langsung karena negerinya jauh dari Makkah misalnya, maka
wajib baginya menghadap ke arah Ka’bah. Dalam hal ini perkaranya lapang,
dalam arti bila seseorang shalat dalam keadaan menyimpang sedikit dari
arah kiblat maka hal itu tidak menjadi masalah. Karena tetap saja ia
dikatakan menghadap ke arah kiblat, berdasarkan firman Allah Swt.:
ع�ه�ا � و�س �ال ا إ �فس� �لFف� الله� ن �ك � ي ال“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.”
(Al-Baqarah: 286)
Dan juga berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dة� ل م�غر�ب� ق�ب ـ ر�ق� و�ال م�ش ن� ال �ي م�ا ب“Antara timur dan barat adalah kiblat.”
(HR. At-Tirmidzi no. 342, Ibnu Majah no. 1011, dan selain keduanya.
Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no.
292) [Lihat Al-Umm, kitab Ash Shalah, bab Istiqbalil Qiblah, Al-
Majmu’ 3/195, Subulus Salam 1/214, Asy-Syarhul Mumti’ 1/509, Al-
Mulakhkhashul Fiqhi, 1/96,97, Taudhihul Ahkam 2/17,18]
Keberadaan arah kiblat di antara timur dan barat ini berlaku bagi
penduduk Madinah dan negeri-negeri yang searah dengan Madinah. Dengan
demikian, bagian selatan seluruhnya kiblat bagi mereka. Adapun yang tidak
searah maka tentunya akan berbeda, arah kiblatnya bukan antara timur dan
barat. Seperti kita di Indonesia ini, arah kiblatnya justru antara utara dan
selatan. Wallahu a’lam.
Kapan Gugur Kewajiban Menghadap Kiblat?
Menghadap kiblat sebagai salah satu syarat shalat yang harus dipenuhi
dapat gugur kewajibannya dalam keadaan-keadaan berikut ini:
a. Shalat tathawwu’ (shalat sunnah) bagi orang yang berkendaraan, baik
kendaraannya berupa hewan tunggangan ataupun berupa alat transportasi
modern seperti mobil, kereta api, dan kapal laut.
Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhuma berkata:
�م� ف�ي ل ه� و�س� �ي �ي� ص�ل�ى الله� ع�ل �ب ت� الن �ي أ ر�
�و�جFه�ا �ه� م�ت �ت ل اح� �ص�لFي ع�ل�ى ر� م�ارB ي ن� و�ة� أ غ�ز
�ط�وFع�ا ر�ق� م�ت م�ش �ل� ال ق�ب
“Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Anmar
mengerjakan shalat sunnah di atas hewan tunggangannya sementara
hewan tersebut menghadap ke timur.”
(HR. Al-Bukhari no. 4140)
Jabir radhiyallahu ‘anhu juga mengabarkan:
�م� ل ه� و�س� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� �ان� ر� ك
�ذ�ا ، ف�إ �و�ج�ه�ت ث� ت �ه� ح�ي �ت ل اح� �ص�لFي ع�ل�ى ر� ي
�ة� ل ق�ب �ل� ال �قب ت ل� ف�اس �ز� ض�ة� ن ف�ر�ي اد� ال ر�� أ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat
sunnah di atas hewan tunggangannya ke arah mana saja hewan itu
menghadap. Namun bila beliau hendak mengerjakan shalat fardhu,
beliau turun dari tunggangannya lalu menghadap kiblat.”
(HR. Al-Bukhari no. 400)
Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu berkata:
�م� ل ه� و�س� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� ت� ر� �ي أ ر�
ه� س� أ �ر� �وم�ئ� ب ، ي Fح� ب �س� �ة� ي ل اح� و�ه�و� ع�ل�ى الر�
ول� الله� س� �ن ر� �ك �م ي �و�ج�ه�، و�ل يF و�جهB ت� �ل� أ ق�ب
�ك� ف�ي �ع� ذ�ل �صن �م� ي ل ه� و�س� �ي ص�ل�ى الله� ع�ل
�ة� �وب ت م�ك �ة� ال الص�ال“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat nafilah di
atas hewan tunggangannya menghadap ke arah mana saja hewan itu
menghadap, beliau memberi isyarat dengan kepalanya (ketika
melakukan ruku’ dan sujud). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah melakukan hal itu dalam shalat fardhu.”
(HR. Al-Bukhari no. 1097)
b. Shalat orang yang dicekam rasa takut seperti dalam keadaan perang,
orang yang sakit, orang yang lemah, dan orang yang dipaksa (di bawah
tekanan).
Orang yang tidak mampu menghadap kiblat disebabkan takut,
sakit, atau dipaksa, ataupun dalam situasi berkecamuk perang maka
diberi udzur baginya untuk shalat dengan tidak menghadap kiblat,
berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ع�ه�ا � و�س �ال ا إ �فس� �لFف� الله� ن �ك � ي ال“Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
�ا �ان ب ك و ر�� � أ �م ف�ر�ج�اال �ن خ�فت ف�إ
“Jika kalian dalam keadaan takut maka shalatlah dalam keadaan
berjalan kaki atau berkendaraan.”
(QS. Al-Baqarah: 239)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma setelah menjelaskan tata cara
shalat khauf, pada akhirnya beliau berkata:
'وا ، ص�ل �ك� د' م�ن ذ�ل �ش� �ان� خ�وف� ه�و� أ �ن ك ف�إ
�ا �ان ب ك و ر�� �قد�ام�ه�م أ �ام�ا ع�ل�ى أ � ق�ي ر�ج�اال
ه�ا �ي �ل �قب ت ر� م�س و غ�ي� �ة� أ ل ق�ب �ل�ي ال �قب ت م�س
“Bila keadaan ketakutan lebih dahsyat daripada itu, mereka shalat
dengan berjalan di atas kaki-kaki mereka atau berkendaraan, dalam
keadaan mereka menghadap kiblat ataupun tidak.”
(HR. Al-Bukhari no. 4535)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga berkata:
ه� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� وت� م�ع� ر� غ�ز�
�ا ع�د�و�، ف�ص�اف�فن �ا ال ن ي �جدB، ف�و�از� �ل� ن �م� ق�ب ل و�س�
ه� �ي ول� الله� ص�ل�ى الله� ع�ل س� �ه�م ف�ق�ام� ر� ل
�ا �ن �ص�لFي ل �م� ي ل ...و�س�“Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam di arah Najd. Kami berhadapan dengan musuh, lalu beliau
mengatur shaf/barisan kami untuk menghadapi musuh. Setelahnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami kami ….”
(HR. Al-Bukhari no. 942)
Hadits di atas menunjukkan ketika situasi perang, seseorang tidak
harus menghadap kiblat. Namun dia bisa menghadap ke mana saja sesuai
dengan keadaan dan posisi musuh. (Al-Umm kitab Ash-Shalah, bab
Al-Halain Al-Ladzaini Yajuzu Fihima Istiqbalu Ghairil Qiblah, Al-
Hawil Kabir 2/70, 72,73, Al-Majmu’ 3/212, 213, Ar-Raudhul Murbi’
Syarhu Zadil Mustaqni’ 1/119, Al-Muhalla bil Atsar 2/257, Adz-
Dzakhirah 2/118,122, Subulus Salam 1/214,215, Al-Mulakhkhashul
Fiqhi, 1/97, Taudhihul Ahkam 2/20,21)
Orang yang Tersamar baginya Arah Kiblat
Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:
�م� ف�ي ل ه� و�س� �ي �يF ص�ل�ى الله� ع�ل �ب �ا م�ع� الن �ن ك
ن� �ي �در� أ �م ن �م�ةB ف�ل �ةB م�ظل ل �ي ف�رB ف�ي ل س�
�ه�، �ال ي �ىح� �ا ع�ل ج�لB م�ن �ل' ر� �ة�، ف�ص�ل�ى ك ل ق�ب ال
�يF ص�ل�ى الله� �ب �لن �ك� ل �ا ذ�ل ن �ر �ا ذ�ك ن �ح صب� �م�ا أ ف�ل
�م� و�جه� 'وا ف�ث �و�ل �م�ا ت ن ي� ل� }ف�أ �ز� �م� ف�ن ل ه� و�س� �ي ع�ل
الله�{“Kami pernah bersama Nabi Saw. satu safar di malam yang gelap.
Ketika hendak shalat, kami tidak tahu di mana arah kiblat. Maka
masing-masing orang shalat menghadap arah depannya. Di pagi
harinya, kami ceritakan hal itu kepada Rasulullah Saw., turunlah ayat
‘Maka ke mana saja kalian menghadap, di sanalah wajah Allah’.”
(HR. At-Tirmidzi no. 345, Ibnu Majah no. 1020. Dihasankan Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Shahih
Ibni Majah, dan Al-Irwa` no. 291)
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami pernah bersama
Rasulullah Saw. dalam satu pasukan perang. Ketika itu, kami ditimpa
mendung hingga kami bingung dan berselisih tentang arah kiblat. Pada
akhirnya masing-masing dari kami shalat menurut arah yang
diyakininya. Mulailah salah seorang dari kami membuat garis di
hadapannya guna mengetahui posisi kami. Ketika pagi hari, kami
melihat garis tersebut dan dari situ kami tahu bahwa kami shalat tidak
menghadap arah kiblat. Kami ceritakan hal tersebut kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak menyuruh kami
mengulang shalat. Beliau bersabda: “Shalat kalian telah mencukupi.”
(HR. Ad-DaraQathani, Al-Hakim dll. Dihasankan Asy-Syaikh Al-
Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` 1/323)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Tatkala
orang-orang sedang mengerjakan shalat subuh di Quba`, tiba-tiba ada
orang yang datang seraya berkata, ‘Semalam telah diturunkan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ayat Al-Qur`an. Beliau
diperintah untuk shalat menghadap ke Ka’bah.’ Mendengar hal tersebut,
orang-orang yang sedang shalat itu pun mengubah posisi menghadap ke
arah Ka’bah. Tadinya wajah mereka menghadap ke arah Syam,
kemudian mereka membelakanginya untuk menghadap ke arah Ka’bah.”
(HR. Al-Bukhari no. 403, 4491, 7251 dan Muslim no. 1178)
Hendaknya seseorang mencurahkan segala upayanya untuk
mengetahui arah kiblatnya. Bila jelas baginya setelah selesai shalat
bahwa ia menghadap selain arah kiblat, ia tidak perlu mengulang
shalatnya karena shalat yang telah dikerjakannya telah mencukupi.
(Subulus Salam, 1/213)
ZAKAT
Harta Yang Wajib Dizakati
Pada hal ini zakat adalah harta pemberian Allah SWT. sebagai tanda syukur
dan terimakasih kepada Allah SWT, disamping pembersih harta milik dan pensuci
badan jasmani, menunjukan kebaktian kepada Allah SWT. serta menghidupkan
kejiwaan tolong menolong.
1. Emas dan Perak
Allah SWT berfirman dalam surat At Taubah ayat 3:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta
orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan
Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka,
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
Yang dimaksud emas dan perak diatas adalah emas dan perak pada
umumnya, termasuk emas murni dalam berbagai bentuk, uang emas atau perak,
barang hiasan atau pakaian lainya. Emas dan perak yang telah mencapai batas
minimal (nisab) dan mencukupi (haul) maka telah diwajibkan baginya zakat.
Adapun nisab zakat emas adalah 20 dinar , sedangkan perak nisabnya 200
dirham. Dinar adalah mata uang dari emas, sedangkan dirham adalah mata uang
dari perak. Imam malik dalam Al Muwata menetapkan 20 dinar = 200 dirham.
Menurut putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah 20 dinar itu = 85 gram emas.
Sedangkan 200 dirham = 672 gram perak.
“Tidak ada kewajiban suatu apapun bagimu dalam hal emas sehingga engkau
memiliki 20 dinar. Jikalau milikmu telah mencapai 20 dinar, dan mencapai
masa 1 tahun, keluarkan zakatnya setengah dinar. Kelebihannya dihitung sama
seperti itu. Tidak wajib zakat pada suatu harta apapun hingga mencapai masa
haulnya”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Bayhaqi, serta di syakan oleh Imam Bukhari dari
Sahabat Ali Bin Abi Talib RA).
Sedangkan untuk perak diterangkan oleh hadist Nabi Muhammad saw.:
”Kurang dari lima awaq perak, maka tidaklah terkena zakat ”
(HR. Muslim dari Sahabat abir)
Barang perhiasan yang terdiri dari emas dan perak termasuk rangkaiannya
seperti permata dalam perhiasan itu, lebih utama dikaitkan perhitungannya
dengan perhiasan dari emas atau perak. Dengan memperhitungkan harga
perhiasan keseluruhan dan dikeluarkan zakatnya 2, 5 %.
2. Zakat dari Hasil Pertanian
Apabila tumbuhnya zakat pertanian itu karena siraman air hujan, sumber
air, bendungan, nisabnya 5 wasaq (± 700 kg) maka zakat yang dikeluarkan 10
%. Apabila tumbuhnya tanaman memakai tenaga manusia atau mesin dengan
biaya pengairan, sama juga 750 kg, sedangkan zakatnya 5%.
”Tidaklah dikenakan zakat atas biji makanan, dan tidak pula terhadap kurma,
sehingga sampai lima wasaq.”
(HR. Muslim dari Abi Sa’id A Khudry)
Nabi Muhammad SAW. bersabda : ”Terhadap tanaman yang disiram
hujan dari langit dan dari mata air, atau yang digenangi air sungai, dikenakan
zakat sepersepuluhnya, sedangkan tanaman yang disiram dengan irigasi
seperdua sepuluhnya”.
(HR.Bukhari dan Ahmad dan Ahlu Sunan dari sahabat Umar)
Dahulu orang berbeda pendapat tentang zakat hasil tanaman selain padi
dan makanan yang mengenyangkan. Karena padi sebenarnya tidak disebutkan
zakatnya, yang disebutkan adalah gandum, kurma. Pendeknya makanan yang
mengenyangkan pada waktu itu. Maksudnya dahulu orang berbeda pendapat
apakah hasil tanaman yang tidak mengenyangkan tetapi mempunyai harga jual
tinggi tidak perlu dizakati? Sebagian ulama berpendapat selain yang
mengenyangkan tidak perlu dizakati, tetapi sebagian lain sekalipun tidak
mengenyangkan perlu dizakati juga. Menurut keputusan Muktamar Tarji di
Garut, tersebut dalam Al Amwaal fil Isam dinyatakan bahwa zakat hasil
tanaman adalah sebagai berikut :
Hasil tanaman (yang dikenakan zakat)
- Gandum, beras, jagung, cantel dan yang sejenis bahan makanan pokok,
demikian pula buah kurma dan zabib (kismis), dikenakan zakat bila sudah
cukup senisab, yaitu lima wasak (± 7,5 kwintal).
- Hasil tanaman selain tersebut di atas seperti tebu, kayu, getah, kelapa, lada,
cengkeh, buah-buahan, sayur-mayur dan lain-lainnya, ketentuan nisabnya
adalah nilai harga 7,5 kwintal hasil tanaman tersebut di atas.
Dasar pengenaan zakat baik tanaman pokok maupun lainnya adalah firman
Allah surah Al Baqarah ayat 267 dan Surah An An’aam ayat 141.
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
3. Zakat Tijarah (perniagaan)
Adalah semua bentuk harta yang dipromosikan untuk diperjual belikan
dengan bermacam-macam cara serta membawa manfaat bagi kebaikan dan
kesejahteraan manusia. Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 267.
4. Zakat Hewan
Apabila mempunyai hewan ternak yaitu : unta, kambing atau sapi sampai
pada nisabnya, yaitu : 5 ekor unta, 40 ekor kambing, atau 30 ekor sapi, sedang
telah setahun menjadi kepunyaanmu maka kelurakan zakatnya sebagai berikut :
Unta
Nisab:
- 1-4 ekor unta tidak ada zakatnya.
- 5-24 ekor unta, tiap lima ekor unta dikenakan zakatnya seekor kambing.
- 25-35 ekor unta dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 2 tahun.
- 36-45 ekor unta dikenakan zakatnya seekor anak unta betina umur 3 tahun.
- 46-60 ekor unta, dikenakan zakatnya seekor anak unta betin aumur 4 tahun
- 61-75 ekor unta dikenekan zakatnya seekor anak unta betina umur 5 tahun
- 76-90 ekor unta dikenakan zakatnya 2 ekor anak unta betina umur 3 tahun
- 91-120 ekor unta dikenakan zakatnya 2 ekor anak betina umur 4 tahun.
Catatan :
Lebih dari 120 ekor, setiap 50 ekor maka zakatnya adalah 1 ekor hiqqoh dan
setiap 40 ekor zakatnya adalah 1 ekor bintu labun.
Bintu makhad betina : Unta yang umurnya genap 1 tahun.
Bintu labun : Unta yang umurnya genap 2 tahun.
Hiqqoh : Unta yang umurnya genap 3 tahun.
Jadz’ah : Unta yang umurnya genap 4 tahun.
Kambing
Nisabnya:
- 40-120 ekor dikenakan zakatnya seekor anak kambing
- 121-200 ekor dikenakan zakatnya 2 ekor kambing.
- 201-300 ekor dikenakan zakatnya 3 ekor kambing
- Lebih dari 300 ekor kambing, maka tiap 100 ekor dikenakan zakatnya seekor
kambing.
Catatan :
Jika ternak kambing / domba jumlahnya lebih dari 400 ekor, maka setiap
kelipatan 100 ekor zakat yang dikeluarkan adalah 1 ekor kambing / domba.
Dalam mengeluarkan zakat kambing atau domba, maka tidak boleh
mengeluarkan :
1. Kambing / domba jantan
2. Kambing / domba yang umurnya telah tua
3. Kambing / domba yang matanya buta semelha
4. Kambing /domba yang sedang hamil,
5. Kambing / domba yang bernilai tinggi.
Jadz’ah dha’n : kambing / domba yang genap berumur 6 bulan
Tsani ma’iz : Kambing / domba yang genap berumur 1 tahun.
Sapi
Nizab
1 - 29 tidak ada zakatnya
30 - 39 zakat yang dikeluarkan sebesar 1 ekor sapi jantan / betina tabi’
40 - 59 zakat yang dikeluarkan sebesar 1 ekor sapi jantan / betina mussinnah
Catatan :
Jika jumlahnya enam puluh ekor atau lebih, setiap kelipatan 30 ekor sapi, maka
zakat yang harus dikeluarkan adalah 1 ekor tabi’.
Dan untuk kelipatan 40 ekor sapi, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah 1
ekor musinnah.
Tabi’ / Tabi’ah : Sapi yang telah berumur 1 tahun
Musinn / Musinnah : Sapi yang telah berumur 2 tahun
Syarat Zakat Hewan
- Milik orang Islam
- Yang memiliki adalah orang merdeka
- Milik penuh (dimiliki dan menjadi hak penuh)
- Sampai nisabnya
- Genap satu tahun
- Makannya dengan pengembalaan, bukan dengan rumput belian
- Binatang itu bukan digunakan untuk bekerja seperti angkutan dan
sebagainya
5. Zakat Rikaz
Harta Rikaz yang berwujud emas atau perak ditemukan peninggalan masa
purba wajib dikeluarkan zakatnya 20 % (seperlima).
Sabda Nabi Muhammad saw. :
Artinya: ”Dari Abu Hurairah telah bersabda Rasulullaah saw ” Zakat Rikaz
seperlimanya”
( HR. Bukhari Muslim)
6. Zakat Purbakala (Ma’din)
Menurut kitab ssulubus menegaskan ma’din adalah hasil yang dikeluarkan
dari dalam bumi laut maupun darat. Sebagai rizki yang dikeluarkan berlimpah
oleh Allah SWT dari dalam bumi. Sesuai penjelasan Qur’an Surat Al Baqarah
ayat 267.
7. Zakat Bagi Pegawai
HTP (Himpunan Putusan Tarjih) dijelaskan :
a. Harta yang diberikan oleh Allah adalah sutau kenikmatan dan amanah allah
perlu disyukuri dan perlu dipenuhi hak-hak dan kewajiban bagi pemiliknya.
b. Yang dikenai zakat itu semua harta pemberian Allah SWT. hasil usaha
manusia pada umumnya dan hasil usah adari hasil bumi, berdasarkan Al
Baqarah : 267
c. Pengeluaran zakat itu didasarkan pada pemenuhan perintah Allah sebagai
ibadah juga untuk membersihkan harta itu dan hati pemiliknya. Berdasar surat
At Taubah : 103 dan Adz Dzariyat : 19
Artinya : ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
8. Zakat Uang Koperasi
Bardasarkan keputusan konferensi Lembaga Fiqih Islam yang keempat di
jedah tahun 1998, dimana ketua PP Majlis Tarjih Muhammadiyah turut
menghadirinya sebagai wakil Indonesia. Diputuskan zakat harta saham antara
lain :
a. Wajib mengeluarkan zakat harga saham bagi pemilik-pemilik syirkah (seperti
PT….. koperasi di indonesia)
b. Pengeluaran zakat oleh pemilik Syirkah itu sebagaimana pengeluaran zakat
perorangan untuk hartanya.
Maksudnya ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi zakat perorangan itu
menjadi ketentuan zakat yang dilakukan oleh pengurus syirkah. Pengeluaran
zakat harta syirkah ini atas dasar mewakili pemegang saham. Karenanya tidak
perlu dikeluarkan zakat harta yayasan yang bergerak dalam urusan
kesejahteraan umum seperti yayasan yang mengurus wakaf umum dan
yayasan yang mengurus anak yatim dan orang tua jompo.
Melihat keputusan itu koperasi tidak perlu membayar zakatnya
sejumlah 2,5 % kali jumlah modal koperasi pada akhir tahun, sekalipun
jumlah modal mencapai 55 juta lebih melihat ukuran nisab telah tercapai.
9. Zakat Profesi
Profesi dianggap sebagai pendapatan yang wajib dizakati. Adapun batas
nisab untuk profesi adalah senilai nisab emas (85 gram) dan jumlah yang wajib
dikeluarkan adalah 2,5 %, dengan berpedoman pada harga emas pada saat wajib
mengeluarkan zakat.
Cara mengeluarkan zakat profesi :
- Apabila pendapatan bersih yang diperoleh dari profesi dalam satu waktu,
telah mencapai nisab, maka waktu itu juga wajib mengeluarkan zakat.
- Boleh juga mengeluarkan zakat profesi dengan tanpa ketentuan nisab dan
tahun namun pada waktu diperoleh penerimaan. Ini pendapat Ibnu Abbas,
Ibnu Mas'ud, Mu'awiyah (sahabat), Zuhri, Hasan Basri, beberapa ulama Syiah
seperti Baqir, Shadiq, dan Nasir, demikian juga pendapat Dawud al-Dzahiri.
- Apabila pendapatan bersih dari profesi, bila dijumlah dalam satu tahun
mencapai nisab yang ditentukan, maka harus mengeluarkan zakat dalam
hitungan per tahun.
Yang dimaksud dengan pendapatan bersih adalah pendapatan yang diperoleh
setelah dikurangi beaya kebutuhan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar, Abu, Jabir Al-Jaza’iri. 2009. Minhajul Muslim. Surakarta: Insan Kamil.
Sabiq, Sayyid. 1973. Fikih Sunnah 1. Bandung: PT. Alma’arif.
http://azurahkio.wordpress.com/2008/09/22/pengertian-zakat-macam-macamnya/
http://amplopzakat.blogspot.com/2009/08/pengertian-zakat.html
http://adheem.blogspot.com/.../macam-macam-zakat-dan-penghitungannya.html
http://fikriyansyah8.wordpress.com/tag/macam-macam-zakat
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=540