shock anafilaptik

27
SHOCK ANAFILAPTIK DEFINISI Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis). Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen- antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas. EPIDEMIOLOGI Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis. Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih

Upload: stevhen

Post on 30-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jb

TRANSCRIPT

Page 1: Shock Anafilaptik

SHOCK ANAFILAPTIK

DEFINISISecara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.

EPIDEMIOLOGIInsiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.

Page 2: Shock Anafilaptik

FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGIBeberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.

PATOFISIOLOGISCoomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala.Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.

Page 3: Shock Anafilaptik

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

 

Page 4: Shock Anafilaptik

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible.Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika

Page 5: Shock Anafilaptik

edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan elektrolit pada urine.Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel.

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.

Page 6: Shock Anafilaptik

DIAGNOSISPada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.

DIAGNOSA BANDINGBeberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome,Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis alergika.Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak

Page 7: Shock Anafilaptik

tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.

PENATALAKSANAANTindakanKalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah.Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-

Page 8: Shock Anafilaptik

10 liter /menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.

Obat-obatanSampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi menunjukkan perbaikan.Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis

Page 9: Shock Anafilaptik

perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6 mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis β2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus dengan dextrosa 5%.

Page 10: Shock Anafilaptik

Terapi CairanBila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume plasma.Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.ObservasiDalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12

Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Page 11: Shock Anafilaptik

PencegahanPencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok anafilaktik.Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan

Page 12: Shock Anafilaptik

reaksi sebesar 1-3% dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.

PrognosisPenanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti β-blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.

KESIMPULANSyok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik.

Page 13: Shock Anafilaptik

Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian

Page 14: Shock Anafilaptik

Pendahuluan. Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Test kulit yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik pada penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya menghindari timbulnya syok anafilaktik ini hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan yang dapat menolong kita dari malapetaka ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu merupakan senjata ampuh buat kita, tapi bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis bila kejadian itu menimpa kita. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Makalah ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-usaha yang harus dilakukan dalam mengelola syok anafilaktik. Insidens Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000) kejadian. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 % eksposue di Amerika. Gigitan serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak dari syok anafilaktik.(1) PatofisiologiReaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang

Page 15: Shock Anafilaptik

menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. (2)Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.(2,3,4) Reaksi Anafilaktoid Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase. 

 Manifestasi klinikWalaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik

Page 16: Shock Anafilaptik

sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7) Sistem pernafasanGangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik. Sistem sirkulasi Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung. Gangguan kulit.Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat. Gangguan gastrointestinalPerut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik 

Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

Page 17: Shock Anafilaptik

 Pengelolaan Anafilaksis dan syok AnafilaksisSecara umum terapi anafilaksis bertujuan :1. Mencegah efek mediator Menghambat sintesis dan pelepasan mediator

Blokade reseptor

2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator. 

Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi

  

Page 18: Shock Anafilaptik

Penanganan syok anafilaktik I. Terapi medikamentosa (7,8,9)Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu : Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.

Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.0,3 – 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 – 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 – 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

2.AminofilinDapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 – 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 – 10 mg IV atau hidrocortison 100 – 250 mg IV.Obat obat yang dibutuhkan : Adrenalin

Aminofilin

Antihistamin

Kortikosteroid

II. Terapi supportifTerapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)1. Pemberian OksigenJika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 – 5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

Page 19: Shock Anafilaptik

2. Posisi TrendelenburgPosisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.3.Pemasangan infus.Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.Perangkat yang dibutuhkan : Oksigen

Posisi Trendelenburg (kursi)

Infus set dan cairannya

Resusitation kit

Pencegahan1. KewaspadaanTiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.2. Test kulitTest kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.Masalah hukumWalaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit

Page 20: Shock Anafilaptik

sebaiknya dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai obat yang dapat menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada pemberian dosis pernah terjadi syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka pertanyaannya adalah :1. Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar profesi yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.

2. Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan RKP yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.

Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh lebih rendah dan terhindar dari tuntutan hukum. Kesimpulan1. Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-threatening.

2. Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun mekanismenya berbeda.

3. Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai (untuk kepentingan aspek hukum).

4. Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.

5. Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.

6. Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak pada tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.

Referensi.1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56

2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6

3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9

4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.

5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.

6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.

7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.

8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical Association 172 : 4,1960.

9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran Anesthesiology 25: 2, 1964.

Page 21: Shock Anafilaptik

10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British Medical Journal June 1966.

11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.

12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971