serial pembelajaran anis matta

28
SERIAL PEMBELAJARAN adalah tulisan Anis Matta terbaru. Tulisan ini dimuat di majalah Tarbawi. Ia sempat berhenti beberapa edisi, mungkin karena kesibukan pemilu, dan kemudian -alhamdulillah- kini bisa kita dapatkan rutin di setiap edisi Majalah Tarbawi sejak edisi 212 (Para Pencipta Kemakmuran). SERIAL PEMBELAJARAN merupakan serial tulisan Anis Matta yang ketiga di Majalah Tarbawi. Sebelumnya sudah ada serial kepahlawanan yang kemudian dibukukan menjadi MENCARI PAHLAWAN INDONESIA dan serial cinta yang dibukukan dengan judul SERIAL CINTA. Insya Allah, nantinya Serial Pembelajaran ini juga akan dibukukan. Entah diberi judul apa, yang pasti ia akan dinantikan banyak pembaca setianya. Sambil menunggu SERIAL PEMBELAJARAN ini selesai dan berwujud buku, pembaca bisa menikmati membacanya di blog ini yang isya Allah akan diposting per tema. Alhamdulillah sampai saat ini sudah ada 13 seri sebagai berikut (dengan mengklik judul tulisan, pembaca akan diarahkan pada tulisan detailnya) : SERIAL PEMBELAJARAN 1. Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar 2. Mendaki Sejarah 3. Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan 4. Peradaban Para Pembelajar 5. Kepemimpinan Para Pembelajar 6. Mujahid Badui Penakluk Imperium 7. Teknologi Jihad untuk Narasi Peradaban 8. Para Pencipta Kemakmuran 9. Dunia Kita Hidup Kita

Upload: jagonya

Post on 24-Jun-2015

456 views

Category:

Documents


33 download

TRANSCRIPT

Page 1: Serial Pembelajaran Anis Matta

SERIAL PEMBELAJARAN adalah tulisan Anis Matta terbaru. Tulisan ini dimuat di majalah Tarbawi. Ia sempat berhenti beberapa edisi, mungkin karena kesibukan pemilu, dan kemudian -alhamdulillah- kini bisa kita dapatkan rutin di setiap edisi Majalah Tarbawi sejak edisi 212 (Para Pencipta Kemakmuran). SERIAL PEMBELAJARAN merupakan serial tulisan Anis Matta yang ketiga di Majalah Tarbawi. Sebelumnya sudah ada serial kepahlawanan yang kemudian dibukukan menjadi MENCARI PAHLAWAN INDONESIA dan serial cinta yang dibukukan dengan judul SERIAL CINTA. Insya Allah, nantinya Serial Pembelajaran ini juga akan dibukukan. Entah diberi judul apa, yang pasti ia akan dinantikan banyak pembaca setianya. Sambil menunggu SERIAL PEMBELAJARAN ini selesai dan berwujud buku, pembaca bisa menikmati membacanya di blog ini yang isya Allah akan diposting per tema. Alhamdulillah sampai saat ini sudah ada 13 seri sebagai berikut (dengan mengklik judul tulisan, pembaca akan diarahkan pada tulisan detailnya) : SERIAL PEMBELAJARAN 1. Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar 2. Mendaki Sejarah 3. Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan 4. Peradaban Para Pembelajar 5. Kepemimpinan Para Pembelajar 6. Mujahid Badui Penakluk Imperium 7. Teknologi Jihad untuk Narasi Peradaban 8. Para Pencipta Kemakmuran 9. Dunia Kita Hidup Kita

Page 3: Serial Pembelajaran Anis Matta

1. Pahlawan, Pecinta dan Pembelajar Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang menggerakkan segenap raga kita untuk menciptakan taman kehidupan yang indah bagi diri kita dan orang lain. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk berjalan dengan cara yang benar pada peta jalan yang tepat menuju ke sana. Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang mendorong kita untuk terus-menerus memberi, untuk berkontribusi tanpa henti dalam menciptakan taman kehidupan yang indah itu. Tapi pembelajaran menuntun kita untuk mengembangkan kapasitas diri kita, juga tanpa henti, agar semangat memberi berbanding lurus dengan kemampuan kita untuk memberi. Sebab mereka yang tidak punya apa-apa, kata pepatah Arab, takkan bisa memberi apa-apa. Semangat kepahlawanan dan kekuatan cinta adalah sumber energi yang lahir dari keikhlasan dan ketulusan niat, tumbuh berkembang dalam lingkungan hati yang mulia dan luhur, mekar dan berbuah dalam rengkuhan jiwa yang baik dan bijak. Maka seluruh niatnya adalah kebajikan. Maka segala cintanya adalah ketinggian. Tapi pembelajaran membingkai niat baik itu denga cara yang benar dan tepat. Maka berpadulah ketulusan dengan kebenaran. Maka bertautlah kebaikan dengan ketepatan. Maka menyatulah keluhuran dengan keterarahan. Maka bersamalah ketinggian cita dengan peta jalan yang terang benderang. Begitulah pada mulanya pahlawan sejati menapaki tilas sejarah mereka. Mereka mendengar panggilan sejarah yang diteriakkan oleh pekik nurani mereka. Maka mereka terbangun, tersadar, lalu bergerak. Lalu datanglah cinta memberi tenaga pada gerak mereka. Maka langkah kaki mereka menancap kokoh di tapak sejarah, melaju secepat angin, kuat bertenaga bagai badai. Tapi mereka menyadari makna waktu dalam aksi mereka; bahwa ada keterbatasan waktu yang tidak bisa mereka kendalikan padahal cita mereka teramat tingggi; bahwa memberi adalah proses yang tak boleh berhenti seperti kompetisi maraton yang mensyaratkan nafas panjang. Mereka memiliki sumber energi yang dahsyat, tapi mereka juga tahu bagaimana mengelola energi itu untuk bisa menciptakan karya kehidupan yang maksimal. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki keterbatasan yang rapuh, tetapi mereka juga tahu bagaimana mensiasati keterbatasan itu untuk bisa tetap bertumbuh sampai ke puncak. 2. Mendaki Sejarah Di alam batin para pahlawan, pencinta dan pembelajar sejati, hidup selalu dimaknai dengan pendakian sejarah. Kita akan sampai ke puncak kalau kita selamanya mempunyai energi dan rute pendakian yang jelas. Pendakian kita akan terhenti

Page 4: Serial Pembelajaran Anis Matta

begitu kita kehabisan nafas dan kehilangan arah. Energi dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan fundamental yang selamanya membuat kita terus mendaki, selamanya membuat hidup terus bertumbuh. Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki. Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab kesadaran tentang jarak memberikan kita kita kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang tersedia. Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi terarah. Keterarahan, atau perasaan terarah, sense of direction, memberi kita kepastian dan kemantapan hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh menjangkau masa depan, menembus tabir ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita tahu ke mana kita melangkah, berapa jauh jarak yang harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita perlukan. Ketika kita menengok ke belakang, atau melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita juga tahu jarak yang telah kita lalui. Ilham dari masa lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah dalam realitas kekinian. Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata Muhammad Iqbal. Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode Makkah, Allah menegur keras para sahabat Rasulullah SAW, generasi pertama Islam, untuk tidak banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan dengan kekhusyukan: “Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusukkan diri mengingat Allah dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran itu (Al- Qur’an)”. 3. Awalnya Pembelajaran, Ujungnya Kesempurnaan Lelaki buta huruf itu tiba-tiba disuruh membaca. Bukan. Bukan disuruh. Tepatnya dipaksa. Sampai tiga kali. Dan pecahlah peristiwa itu dalam sejarah manusia; lelaki

Page 5: Serial Pembelajaran Anis Matta

buta huruf itu lantas diangkat menjadi nabi, bahkan penutup mata rantai kenabian hingga akhir zaman. Begitulah perintah membaca mengawali pengangkatan Muhammad menjadi Nabi. Kelak, setelah menunaikan tugas kenabian itu selama 23 tahun, atau tepatnya 22 tahun 2 bulan 22 hari, Allah SWT menutup perjuangan beliau dengan satu ayat tentang kesempurnaan: ”Hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan pula nikmat-Ku untukmu dan Aku ridho Islam sebagai agamamu.” Risalah kenabian itu dibuka dengan perintah membaca, dan kelak ditutup dengan pernyataan penyempurnaan dan keridhoan. Awalnya adalah pembacaan. Ujungnya adalah penyempurnaan. Maka berkembanglah agama terakhir ini dari seorang Nabi menjadi seratusan ribu manusia Muslim, dari komunitas kecil para penggembala kambing jazirah Arab yang tandus menjadi sebuah peradaban besar yang memimpin kemanusiaan selama lebih dari seribu tahun. Kitab kehidupan ini memang begitu seharusnya dipahami: bukalah ia dengan pembacaan yang menyeluruh, niscaya engkau akan mengkhatamkannya dengan kesempurnaan. Jika kita belajar lebih banyak di awal kehidupan, niscaya kita akan mencapai kesempurnaan di penghujung umur, dan menutup mata dengan senyum dalan keridhaan Allah SWT. Cara kita menjalani hidup selamanya ditentukan oleh cara kita memahami hidup. Seperti apa cara kita memahami hidup, seperti itu pula cara kita menjalaninya. Coba masuk ke dalam hutan belantara tanpa peta. Pasti tersesat. Bahkan mungkin tidak bisa keluar. Begitu juga kehidupan. Membaca adalah peta. Makin menyeluruh dan akurat peta yang kita miliki, makin cepat dan pasti kita sampai ke tujuan. Diantara pembelajaran dan kesempurnaan, ada satu jembatan emas yang menghubungkannya: pertumbuhan. Pertumbuhan adalah adalah jalan menuju kesempurnaan. Mereka belajar maka mereka tumbuh. Kesempurnaan adalah ujung hidup yang dicapai dari tapak demi tapak kehidupan. Mereka menjadi sempurna karena mereka tidak pernah berhenti menjadi lebih baik. 4. Peradaban Para Pembelajar Akal-akal besar itu selalu mampu mengunyah semua masalah zamannya. Tak jarang bahkan akal mereka menembus dinding waktu zaman mereka, dan merengkuh semua masalah yang terjadi berpuluh bahkan beratus tahun sesudah mereka pergi. Bukan karena ilmu yang datang bagai embun pagi yang diteteskan di atas daun otak mereka maka mereka tahu semuanya. Bukan, mereka mengunyah semua masalah zaman mereka melalui upaya memahami yang tidak pernah berhenti. Maka mereka selalu sanggup merespon semua masalah yang muncul di zaman mereka.

Page 6: Serial Pembelajaran Anis Matta

Mereka bukan orang yang tahu segala hal. Tapi mereka adalah pembelajar yang konstan yang selamanya dipicu oleh rasa ingin tahu yang tak habis-habis. Maka realitas menyediakan tantangan. Dan mereka memberikan solusi. Qur’an dan hadits sebagai sumber utama Islam dijaga Allah sepanjang zaman melalui akal-akal besar itu. Al Qur’an dikumpulkan di zaman Abu Bakar lalu ditulis secara formal di zaman Utsman dan dijadikan sebagai standar bacaan serta digandakan dalam lima mushaf. Ini yang kemudian dikenal sebagai mushaf utsmani. Dengan begitu kemurnian Al-Qur’an terjaga dari semua bentuk penyimpangan sepanjang masa. Selamanya. Penjagaan kemurnian Hadist Rasulullah Saw mungkin jauh lebih kompleks. Di samping perlu waktu untuk memisahkan teks-teks Hadist dari teks-teks Qur’an karena secara lisan keduanya diucapkan oleh lisan yang sama tapi dengan rasa bahasa yang sedikit berbeda, juga rentang waktu pengucapannya serta jalur periwayatannya yang rumit. Tapi ada akal besar di zaman Umar Bin Abdul Aziz, yaitu Imam Al Zuhri, yang kemudian ditugasi sang khalifah untuk memulai kodifikasi hadist-hadist Rasulullah. Ratusan tahun kemudian dunia ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa metode ilmu hadits ini adalah salah satu warisan pengetahuan Islam yang tidak pernah tertandingi oleh semua peradaban lain. Seandainya metode itu dipakai untuk meriwayatkan sabda-sabda Nabi Isa a.s., atau meriwayatkan para filosof Yunani, mungkin takkan ada riwayat yang sahih yang sampai kepada kita. Akal-akal besar itu yang kemudian menjadikan ilmu fiqh sebagai ilmu yang terus menerus mengayomi pertumbuhan peradaban Islam, khususnya di era para imam pendiri mazhab dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, dari ujung abad pertama hingga awal abad ketiga hijrah. Ilmu fiqh telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang menjawab semua masalah dalam semua aspek kehidupan. Imam Syafii bahkan mendirikan ilmu ushul fiqh yang jauh lebih solid dibanding ilmu logika dan filsafat Yunani. Mereka bahkan masih sempat menjawab masalah yang belum terjadi. Lalu ketika Imam Abu Hanifah ditanya mengapa mereka melakukan itu, beliau hanya tersenyum sembari menjawab: ”Orang berakal menyediakan jawaban sebelum pertanyaannya datang.” Begitulah peradaban tumbuh dan berkembang di tangan akal-akal besar, yang sebenarnya juga tidak serba tahu, tapi karena mereka adalah pembelajar sejati. Mereka selalu ingin memahami segalanya secara lebih baik, maka mereka menjawab tantangan zaman mereka secara lebih baik. 5. Kepemimpinan Para Pembelajar Umar Bin Khattab termenung lama. Lama sekali. Apakah ini kebaikan atau musibah? Begitu ia bertanya pada dirinya sendiri tentang fenomena kemenangan–kemenangan besar yang ia peroleh. Tiba-tiba ia tersadar bahwa eranya terlalu jauh berbeda

Page 7: Serial Pembelajaran Anis Matta

dengan era kedua pendahulunya: Rasulullah SAW dan Abu Bakar As-Siddiq. Di era Umar teritori Khilafah menjadi lebih dari 18 negara kalau dikonversi dengan era sekarang. Populasi umat Islam juga bertambah begitu pesat. Lahirlah sebuah masyarakat yang mulitikultur yang sangat besar. Lalu ada kemakmuran dan kesejahteraan serta kekayaan yang melimpah ruah. Ini semua belum ada di era Nabi dan Khalifah pertama. Itu meresahkan Umar. Apakah ini kebaikan? Atau malah musibah? Kalau ini kebaikan, mengapa ini tidak terjadi pada masa sebelumnya? Kalau ini musibah, Apakah Allah hendak memisahkan aku dari kedua pendahulu? Ini resah seorang pemimpin yang tidak pernah selesai belajar. Ia bertanya dan terus bertanya. Ia berpikir dan terus berpikir. Dan hasilnya nyata. Hasil pembelajaranya sekarang menjadi sumber pembelajaran nyata. Hasil pembelajarannya sekarang menjadi sumber pembelajaran kita semua. Beliau telah mendampingi Rasulullah SAW sekitar 18 tahun dan mendampingi Abu Bakar selama 2.5 tahun. Beliau telah belajar banyak. Jadi walaupun zaman yang beliau lalui terlalu jauh berbeda, tetapi beliau memiliki sumber pembelajaran lapangan selama 20-an tahun dan itu memadai untuk membantu beliau meletakkan dasar-dasar negara baru di Madinah. Beliau meletakkan dasar-dasar dari konstitusi dan sistem pemerintahan, menata sistem keuangan negara, memulai pembentukan dan pengorganisasian tentara profesional setelah sebelumnya setiap warga negara diharuskan menjadi mujahid dan prajurit negara, mengatur strategi ekspansi militer yang kemudian melahirkan futuhat atau pembebasan-pembebasan besar yang berpuncak pada pembebasan Al-Aqsha, mendistribusi para ulama ke berbagai wilayah, membentuk pemerintahan-pemerintahan daerah di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan. Itu sebabnya, Rasulullah SAW dan Abu Bakar bersama Umar Bin Khattab selalu diletakkan sebagai founding fathers dari Negara Madinah. Suatu saat sang pendiri negara itu berpesan kepada siapapun yang akan menjadi pemimpin: “Ta’allamu Qobla An Tasuuduu: Belajarlah sebelum kalian memimpin.” 6. Mujahid Badui Penakluk Imperium Apa penjelasannya, bahwa 3.000 mujahid dari badui-badui gurun jazirah Arab, berani melawan 200.000 pasukan Romawi dalam perang Muktah? Mereka tidak menang, memang, dalam pertempuran yang berlangsung tahun kedelapan hijriah itu. Tiga panglima mereka gugur sebagai syuhada; Zaid Bin Haritsah, Ja’far Bin Abi Thalib, Abdullah Bin Rawahah. Ketika Khalid mengambil alih kepemimpinan, yang ia lakukan adalah mundur teratur untuk menyelamatkan nyawa mujahidin yang tersisa. Sementara anak-anak melempari mereka dengan batu saat kembali ke Madinah, karena dianggap melarikan diri, Rasulullah justru menggelari Khalid sebagai

Page 8: Serial Pembelajaran Anis Matta

Syaifullah Al Maslul. Pedang Allah yang terhunus. Menyelamatkan nyawa pasukan adalah keputusan bijak seorang pemberani. Berhasil mundur dari kejaran pasukan sebesar itu adalah keahlian tempur seorang jenius perang. Tapi berani melawan pasukan sebesar itu adalah pesan penting bagi Romawi; pertempuran sudah kita mulai, dan kami akan kembali. Perang Yarmuk adalah saksi kejeniusan perang Khalid. Pertempuran yang terjadi sekitar enam tahun setelah setelah pertempuran Muktah itu, memang terlalu legendaris. Bayangkan 36.000 mujahid Muslim melawan 240.000 pasukan Romawi. Gelar Rasulullah Saw kepada Khalid jadi kenyataan. Sejak itu Romawi diusir dari wilayah jazirah Arab, Syam kemudian Mesir. Apa penjelasannya, bahwa mujahid Badui itu bisa menaklukkan imperium besar seperti Romawi dan Persi? Dalam pendekatan aqidah dan iman, kemenangan itu dapat dengan mudah ditafsirkan. Tapi dalam pendekatan strategi perang, kita mungkin perlu mempelajari The Art of War dari Sun Tzu, strategi perang tertua yang ditulis 500 tahun sebelum Masehi dan telah mengilhami China dan Jepang selama 2400 tahun. Atau The Military Institution of The Romans yang ditulis oleh Vegetius kepada Valentinian II sekitar tahun 390 M, dan kelak mengawali pengembangan tentara regular di Eropa. Atau My Reveries Upon Art of War yang ditulis Jenderal Maurice De Saxe tahun 1732 M. Strategi ini merupakan kembangan ide-ide Vegetius dan kelak banyak mengilhami Napoleon seperti diurai Stonewall Jackson dalam The Military Maxims of Napoleon. Atau The Secrets Instruction Frederick The Great to His Generals yang secara kebetulan ditemukan dalam kopor kecil Jenderal Czetteritz tahun 1760. Atau On War dari Carl Von Clausewitz’s tahun 1832. Kedua pemikiran strategi militer inilah yang melatari semua pengembangan strategi perang Jerman. Kebesaran Mujahid Badui yang telah menaklukkan Imperium Persi dan Romawi itu hanya mungkin kita pahami dalam kerangka pemikiran-pemikiran strategi perang itu. Khalid tumbuh dalam tradisi perang gerilya yang menjadi ciri perang masyarakat jazirah. Tapi ia menguasai cara berpikir tentara regular Romawi yang mengusai pola perang konvensional dengan alutsista besar sejak 200 tahun sebelumnya. Keteraturan adalah ciri pasukan Persi dan Romawi, atau tentara Modern. Ketidakteraturan adalah ciri pasukan gerilya. Diperlukan waktu untuk menemukan pola dalam ketidakteraturan itu. Khalid mempelajari keteraturan itu sebagai sebuah kekuatan, tapi tetap menggunakan pola perang gerilya sebagai kombinasi dari pusat kekuatannya. Tapi mereka gerilyawan yang agresif. Jadi secara strategi ia unggul. Ia tahu cara berpikir musuhnya. Tapi musuh tidak tahu keseluruhan cara berpikirnya. Ketahuilah cara berpikir musuhmu, tapi jangan berpikir dengan cara berpikirnya. 7. Teknologi Jihad untuk Narasi Peradaban

Page 9: Serial Pembelajaran Anis Matta

Para penakluk imperium dari jazirah itu menyisakan satu realitas yang lucu. Mereka tumbuh di tengah gurun sahara dan tidak bisa berenang. Itulah yang yang jadi kendala pasukan Muslim saat akan menaklukkan Persia di mana mereka harus menyeberangi sungai Eufrat dan Tigris. Dalam waktu singkat kendala itu bisa dilalui. Sebab itu cuma sungai. Begitu juga ketika pasukan Muslim di bawah komando Amr bin Ash itu harus menaklukkan Mesir dari kolonialisme Romawi. Sebab masih ada jalur darat untuk sampai ke sana. Kendala menjadi lebih besar ketika Syam, Irak dan Mesir sudah ditaklukkan. Sebab semua ekspansi setelah itu harus melewati laut. Itulah yang menggusarkan Umar bin Khattab. Itu terlalu berisiko. Apalagi ketika beliau bertanya kepada Amr bin ‘Ash tentang suasana di atas kapal di tengah laut. Amr yang cerdas dan humoris melukiskan suasana itu dengan cara yang agak dramatis. Bayangkan saja, ada sebatang pohon yang terapung di atas laut yang berombak, sementara ulat-ulat yang ada dalam batang kayu itu berusaha untuk tetap bertahan dan tidak jatuh atau terseret ombak. Begitu juga manusia-manusia yang ada di atas perahu atau kapal. Umar bin Khattab tentu saja tidak buta dengan dramatisasi dalam deskripsi Amr bin ‘Ash itu. Tapi ia toh akhirnya menghentikan semua ekspansi yang harus melewati laut. Ada alasan lain memang. Teritori mereka sudah terlalu luas, masyarakat Muslim yang baru ini juga terlalu multi kultur. Persoalannya terletak pada pengendalian. Tapi kemudian kebijakan Umar itu mengalihkan arah ekspansi ke kawasan Asia Tengah dari arah Irak, sementara ekspansi ke arah Cyprus menuju Konstantinopel dihentikan. Inilaha kemudian yang menjadi pembeda dalam riwayat Umar dan Utsman. Sebab Utsman justru melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah Romawi. Dan itu memicu penemuan teknologi Maritim dalam sejarah peradaban Islam untuk pengembangan armada laut pasukan Muslim. Dari situlah mereka berekspansi ke teritori terakhir Mesir, Alexandria selanjutnya ke Afrika Selatan dan Utara, lalu membebaskan Cyprus dan Rhodes. Itu di luar ekspansi yang berlanjut ke Armenia. Jadi hampir seluruh koloni Romawi sudah jatuh ke tangan Islam sejak saat itu. Yang tersisa adalah pusat kekuasaan mereka di Timur, Konstantinopel, dan di barat Roma. Putera Heraklius, Constantine, bahkan dibunuh pasukannya sendiri di kamar mandinya di Cyprus akibat kekalahan bertubi-tubi itu. Tujuh abad kemudian, dengan armada laut pula Muhammad Al-Fatih membebaskan Konstantinopel yang sudah terlalu lama terkepung dan kesepian. Peradaban adalah sebuah narasi besar. Tapi para mujahid itu telah mengubah narasi besar itu menjadi kapasitas besar. Maka mereka mengembangkan teknologi jihad untuk mengimbangi narasi besar mereka. Teknologi berkembang mengikuti semangat jihad mereka. Dan bukan hanya ketika ada teknologi baru mereka berjihad. Mereka adalah para mujahid pembelajar. Lalu, takdir sejarah mempertemukan dua

Page 10: Serial Pembelajaran Anis Matta

kekuatan dahsyat itu; narasi peradaban untuk generasi penakluk. Jadi kalau kamu punya cita-cita besar, kamu harus menjadi pembelajar cepat. Pembelajaran niscaya akan mengubahmu menjadi penakluk. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi] 8. Para Pencipta Kemakmuran Lelaki kaya raya itu menangis tersedu-sedu, selama berhari-hari, menjelang kematiannya. Bukan karena ia takut mati. Atau sedih karena harus meninggalkan kekayaanya yang melimpah ruah. Ia justru sedih karena tak mengerti bagaimana menafsirkan kekayaan dan kemakmurannya Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya, hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka, jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang melimpah ruah ini sementara mereka tidak?? Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku ke neraka??" Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-ulang pertanyaan itu, sembari menangis, sampai ia menghembuskan nafasnya yang terakhir Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu. Tapi begitu kita menarik konteks di mana Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja kita temukan nama beliau di deretan para sahabat Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal lelah, penderma yang tidak pernah berhenti berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ, persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud itu kita nisbatkan kepada dirinya Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf, satu diantara sekian nama besar pengusaha dari kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi pemimpin peradaban baru. Pembebasan-pembebasan yang terjadi sejak masa Abu Bakar hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah, atau dari sumber yang baru seperti jizyah, kharaj dan usyur

Page 11: Serial Pembelajaran Anis Matta

Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa yang makmur selalu mencatat sejarah kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua serta perang dingin. Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran. Pembebasan-pembebasan besar memberikan kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki pengusaha-pengusaha besar yang bisa memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah kemakmuran terjadi di era itu: pembebasan-pembebasan besar memberi tambahan sumber daya, tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh, seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan, sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah. Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para mujahidin yang terus-menerus membebaskan wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya mendominasi wilayah itu. Amerika mungkin punya jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya Bill Gate yang mengisi komputer-komputer kita dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi lantai bursa kita dengan investasi-investasinya. Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya sebagai pengusaha mengimbangi peran para mujahidin di mata Allah?? [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 212 hal.78-79] 9. Dunia Kita Hidup Kita Bisakah kita membayangkan bagaimana dulu, Adam dan Hawa, menjalani hidup ketika hanya mereka berdua yang menghuni bumi ini? Mungkin mudah membayangkan bagaimana mereka mencari makan untuk menyambung hidup, atau membuat rumah tempat mereka berteduh, atau membuat pakaian untuk menutup aurat mereka. Tapi coba bayangkan bagaimana pada mulanya mereka menemukan bahasa sebagai alat komunikasi mereka? Atau bagaimana pada mulanya mereka mengenal satu per satu dari jengkal tanah bumi ini? Bagaimana mereka mengetahui atau menyepakati bahwa tempat mereka berjalan itu bernama tanah, bahwa benda yang tampak jauh di ketinggian sana, yang

Page 12: Serial Pembelajaran Anis Matta

berwarna biru adalah langit, bahwa ada makhluk lain di dunia selain mereka yang bernama binatang dan tumbuhan, bahwa ada malampu besar yang membuat hari-hari mereka terbelah dalam terang dan gelap, dan bahwa ketika hari siang itu namanya siang dan ketika hari gelap itu namanya malam? Tapi kenapa kemudian kita, anak cucu Adam dan Hawa, bisa punya ribuan kata yang berbeda untuk satu benda? Mengapa kita punya banyak bahasa? Lalu bagaimana pula cara kakek nenek kita itu mengenal dunia yang mereka huni ini? Berapa luaskah dari bumi ini, yang sekarang dihuni oleh sekitar 6 milyar anak cucunya, yang bisa mereka jangkau? Bukankah bumi ini terlalu luas untuk mereka berdua, dan karenanya bisa sangat menyeramkan? Lalu seperti apakah bumi dalam persepsi mereka berdua; datar atau bulat? Indah atau jelek? Menyenangkan atau menyengsarakan? Begitu Adam dan Hawa turun ke bumi ini, tiba-tiba saja mereka menemukan dunia yang begitu berbeda dengan surga yang sebelumnya mereka huni. Ini dunia baru. Sepenuhnya dunia baru. Tak ada satu yang ia tahu di sini. Sama sekali tak ada. Jadi apa yang pertama mereka lakukan? Belajar! Itulah yang mereka lakukan. Bukan makan dan minum. Dan siapa yang mengajar mereka? Hanya Allah! “Dan Allah mengajarkan Adam nama-nama itu, seluruhnya.” Seluruhnya; nama benda, perbuatan, pikiran, perasaan, nilai, dan seterusnya. Jadi begitulah hidup pada mulanya dijalani; dengan pembelajaran. Dan kemudian, seperti apa cara kita memahami dunia kita, seperti itulah kelak menjalani hidup. Coba bayangkan, berapa ribu tahun yang diperlukan manusia untuk sampai pada pengetahuan bahwa bumi ini bulat dan bukan datar? Dan apa yang kemudian berubah dalam hidup manusia begitu mereka sampai pada pengetahuan itu? Berapa ribu tahun yang diperlukan oleh manusia untuk sampai pada pengetahuan bahwa minyak adalah sumber energi? Dan apa kemudian yang berubah dalam hidup manusia setelah pengetahuan itu? Dan inilah kaidahnya: wajah dunia kita berubah setiap kita menemukan satu pengetahuan baru, hidup kita berubah setiap kali pengetahuan kita bertambah. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 213 hal.80] 10. Lukisan yang Tak Selesai Setiap saat, dalam perjalanan hidup yang panjang, kita selalu menemukan satu per satu rahasia kehidupan. Setiap satu rahasia yang kita temukan, menambah pengetahuan kita tentang hidup. Setiap kali pengetahuan kita bertambah, kita menjadi lebih arif dan bijaksana. Situasi itulah yang terekam dalam salah satu warisan hikmah orang Arab. Mereka

Page 13: Serial Pembelajaran Anis Matta

mengatakan, sebodoh-bodohnya manusia, umur akan tetap membuatnya lebih bijaksana. Kebijaksanaan terbentuk dari akumulasi informasi yang membentuk pengetahuan kita tentang hidup. Karena seifatnya yang akumulatif, maka kesadaran hidup kita tidak akan pernah bisa terbentuk seketika. Karena tidak terbentuk seketika, maka sikap hidup kita juga berubah dari waktu ke waktu. Tapi kapankah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Atau, jika pertanyaannya lebih mendasar lagi, bisakah pengetahuan kita tentang hidup menjadi sempurna dan lengkap? Jawabannya pasti. Tidak. Tidak akan pernah bisa pengetahuan kita tentang hidup ini menjadi sempurna dan lengkap. Salah satu sebabnya karena Allah setiap saat menciptakan makhluk-makhluk baru, baik manusia, hewan dan tumbuhan, atau benda-benda lain di alam raya ini, atau ciptaan-ciptaan yang tak terlihat seperti pikiran-pikiran dan ide-ide baru. “Dan Tuhanmu, menciptakan apa saja yang Dia kehendaki dan memilih dari ciptaan-ciptaan itu.” Setiap satu ciptaan baru tentu melahirkan fakta baru, yang kemudian terintegrasi ke dalam fakta-fakta yang ada sebelumnya, lalu terjadilah semacam rekonfigurasi keseluruhan fakta-fakta itu. Itulah yang menjelaskan mengapa pengetahuan itu bersifat akumulatif, dan harus diwariskan secara turun temurun agar kita tidak setiap saat harus memulainya dari awal. Itu juga yang menjelaskan mengapa pengetahuan, seperti kata Ibnu Jauzi, harus diikat dengan tulisan; tulisan membuat proses pewarisannya menjadi lebih mudah. Warisan pengetahuan dari peradaban Yunani, Romawi dan Islam secara akumulatif diwarisi oleh Barat sekarang, dan lahirlah wajah peradaban baru seperti yang sekarang kita saksikan. Karena pengetahuan kita tentang hidup ini tidak akan pernah sempurna dan lengkap, maka kesadaran hidup kita juga tidak akan pernah sempurna dan lengkap. Maka manusia kepada hidup, seperti tiga orang buta yang melukiskan gajah dari sudut yang mereka pegang. Ini adalah lukisan yang tak selesai. Dan takkan pernah selesai. Sebab Allah sendiri yang mengatakan bahwa: “Tiadalah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit saja.” Maka proses pembelajaran juga tak boleh selesai. Pepatah lama itu rasanya teramat bijak: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat.” [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 214 hal.80] 11. Keangkuhan yang Rapuh Karena dunia, dalam benak kita sebagai manusia, adalah lukisan yang tak selesai, maka selamanya cara pandang kita tentang dunia dan hidup kita akan mengandung kenaifan yang permanen. Dan itu selamanya akan menurun pada sikap-sikap kita yang juga naif. Sebab sikap-sikap kita adalah buah dari cara pandang dan

Page 14: Serial Pembelajaran Anis Matta

pemahaman kita tentang sesuatu. Sekarang, walaupun kita hidup di tengah sebuah peradaban ilmu dan teknologi yang canggih, akses tak terbatas pada sumber informasi yang juga tak terbatas, di mana setiap hari kita dicekoki dengan doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, di mana apa yang ada di alas bumi, di perut bumi, dan di angkasa sana semuanya masuk dalam wilayah penjelajahan ilmu pengetahuan manusia modern; semua itu tidak bisa menghapus fakta kita bahwa lukisan kita tentang dunia ini tetaplah tak pernah selesai, dan karenanya kenaifan kita sebagai manusia tetap permanen. Begitulah Allah menitahkan: “Dan tiadalah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit.” Tapi doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan adalah doktrin yang sebenarnya benar. Pengetahuan, dalam sejarah peradaban manusia, selalu berbanding lurus dengan kekuasaan. Peradaban Yunani, Romawi, Islam dan sekarang Barat, semuanya menjadi pemimpin peradaban manusia di eranya karena basis pengetahuan mereka yang sangat kokoh. Bahkan, dalam sejarah nabi-nabi, Sulaiman menjadi begitu berkuasa juga karena pengetahuannya, serta banyaknya ilmuwan yang menjadi pembantunya. Pengetahuan adalah landasan bagi sebuah kekuasaan yang kokoh. Namun masalah manusia juga muncul dari situ, pertambahan pengetahuan biasanya memang membuat manusia makin berkuasa. Tapi semakin berkuasa, manusia berpeluang menjadi sombong, angkuh dan melampaui batas. Dan itu ironis. Karena pengetahuannya sebenarnya tak pernah lengkap, tak pernah sempurna, jadi alasan untuk sombong dan angkuh juga tak pernah cukup. Keangkuhan manusia itu selamanya rapuh. Masalahnya adalah bahwa kesombongan dan keangkuhan itu adalah sifat Allah. Berbeda dengan sifat Allah yang lain, Allah sama sekali tidak mengizinkan manusia mengambil sifat itu. Maka dosa manusia yang paling cepat dibalas Allah adalah kesombongan. Dan Allah punya ribuan cara untuk memangkas dan bahkan meluluhlantakkan kesombongan manusia itu. misalnya melalui bencana alam. Sebagian maksud dari begitu banyak bencana alam yang terjadi di dunia kita adalah meluluhlantakkan keangkuhan manusia itu. Seakan-akan Allah hendak berkata: coba kalau kamu bisa! Bahkan ketika salah seorang nabi dan Rasul-Nya, Nabi Musa a.s., suatu saat merasa terlalu tahu, Allah pun memangkas perasaan itu dalam dirinya. Itulah latar dari cerita pembelajaran Nabi Musa kepada Khidir. Itu cara Allah mengajarkan beliau akan makna keangkuhan manusia yang rapuh, makna kerendahan hati dan kesadaran yang mendalam bahwa “Dan di atas setiap orang yang memiliki ilmu, ada Yang Maha Mengetahui.” Makna itulah yang diajarkan juga oleh Imam Ghazali, bahwa “Siapa yang mengatakan

Page 15: Serial Pembelajaran Anis Matta

dia telah tahu, maka sesungguhnya dia bodoh.” Makna itu pula yang diajarkan Imam Ahmad bin Hanbal ketika beliau mengatakan, bahwa “Siapa yang mengatakan Allaahu a’lam bish Shawab (Allah lebih tahu apa yang benar), maka dia telah mendapat setengah pengetahuan.” Kita takkan pernah bisa menjadi pembelajar sejati kecuali ketika kita menyadari ketidaktahuan kita, sekaligus merasakan kebutuhan yang kuat untuk mengetahui. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 215 hal.80] 12. Antara Embun dan Laut Cerita Muda dan Khidir adalah cara Allah mendidik Nabi-Nya, Musa a.s., untuk tidak merasa terlalu tahu, untuk tidak merasa hebat. Dengan cara itu Allah hendak memangkas keangkuhannya, sekaligus menanamkan kepadanya sebuah kesadaran baru bahwa apa yang tidak kita ketahui jauh lebih banyak daripada apa yang kita ketahui. Semua yang kita ketahui dan yang tidak kita ketahui terangkum lengkap dalam ilmu Allah. Yang kita ketahui itu terbatas. Sementara yang tidak kita ketahui itu tidak terbatas. Pengetahuan kita adalah gambaran keterbatasan kita sebagai manusia. Sementara ketidaktahuan kita adalah gambaran ketidakterbatasan Allah, sekaligus ketergantungan kita kepada-Nya. Bisakah embun mengalahkan laut? Tidak! Tapi itu juga bukan perbandingan yang setara. Ilmu kita memang hanya ibarat setetes embun di tengah lautan. Tapi lautan sendiri takkan pernah cukup untuk menulis ilmu Allah itu. Itu sebabnya di penghujung surat Al-Kahfi di mana Allah mengisahkan cerita Musa dan Khidir, Allah mengatakan: “Andaikan laut dijadikan tinta untuk menulis kalimat-kalimat Allah, niscaya habislah laut itu sebelum kalimat-kalimat Allah itu habis, walaupun Kami mendatangkan laut lain sebanyak itu lagi”. Laut itu akan kering sebelum semua ilmu-Nya, segenap kebijaksanaan-Nya, tercatat! Semakin dalam kita menyadari betapa luasnya ketidatahuan kita, semakin cepat kita sampai pada sebuah kesadaran baru, bahwa adalah salah besar untuk menafsirkan keberhasilan-keberhasilan kita dengan pengetahuan. Tentu saja pengetahuan kita berhubungan dengan kesuksesan kita. Katakanlah misalnya antara pengetahuan dan kekayaan. Tapi hubungan itu tidaklah bersifat kausalitas mutlak. Pengetahuan hanyalah salah satu faktor yang bisa menjelaskan kekayaan seseorang atau sebuah bangsa. Tapi apa yang menjelaskan fakta bahwa banyak orang pintar yang miskin, dan sebaliknya, banyak juga orang bodoh yang kaya raya? Pengetahuan mungkin menjelaskan kekayaan Bill Gates dan Amerika. Tapi mungkinkah Bill Gates sekaya itu seandainya dia lahir dua ratus tahun yang lalu? Sebaliknya, apa yang menjelaskan kekayaan negara-negara Teluk? Pengetahuan? Atau keberuntungan? Selain itu, apa yang terjadi seandainya Allah memberikan semua pengetahuan dan

Page 16: Serial Pembelajaran Anis Matta

sumber daya alam kepada bangsa-bangsa Barat, dan membiarkan bangsa-bangsa Teluk hidup tanpa pengetahuan dan sumber daya alam? Pengetahuan adalah karunia Allah. Sumber daya alam adalah juga karunia Allah. Dengan membelahnya ke Barat dan Timur, Allah menciptakan interdependensi dalam kehidupan manusia. Dalam makna ini pula Allah menghadirkan kisah Qarun, Haman dan Fir'aun dalam keseluruhan riwayat hidup Nabi Musa. Qarun adalah simbol kekayaan. Haman adalah simbol pengetahuan. Fir'aun adalah simbol kekuasaan. Ketiganya tenggelam ditelan laut dan bumi. Karena Qarun, misalnya, menafsirkan kekayaannya dengan tafsir tunggal “sesungguhnya aku diberi kekayaan ini karena pengetahuan yang kumiliki”. Ketiga tokoh simbol itu adalah cerita tentang keangkuhan yang rapuh. Dan dihadirkan untuk mengajari kita makna perbedaan antara embun dan laut. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 216] 13. Saat Embun Menembus Batu Pengetahuan kita memang sedikit. Teramat sedikit. Hanya seperti setetes embun di lautan pengetahuan Allah. Itupun tidak bisa dengan sendirinya menciptakan peristiwa-peristiwa kehidupan kita. Kesalahan kita, dengan begitu, selalu ada di situ; saat di mana kita menafsirkan seluruh proses kehidupan kita dengan pengetahuan sebagai tafsir tunggal. Tapi setetes embun itu yang sebenarnya memberikan sedikit kuasa bagi manusia atas peserta alam raya lainnya, dan karenanya membedakan dari mereka. Walaupun bukan dalam kerangka hubungan kausalitas mutlak, Allah tetap saja menyebutnya sultan; kekuasaan, kekuatan. Pengetahuan menjadi kekuasaan dan kekuatan karena Allah dengan kehendak-Nya meniupkan kuasa dan kekuatan itu ke dalamnya kapan saja Ia menghendakinya. Dan karena pengetahuan itu adalah input Allah yang diberikannya kepada akal sebagai infrastruktur komunikasi manusia dengan-Nya, maka ia menjadi penting sebagai penuntun bagi kehidupan manusia. Dalam kerangka itulah Allah mengulangi kata ilmu, dengan seluruh perubahan morfologisnya, lebih dari 700 kali dalam Al-Qur'an. Di jalur makna seperti itu pula Rasulullah SAW mengatakan: "Siapa yang menginginkan dunia hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan akhirat hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan kedua-duanya hendaklah ia berilmu." Ada sesuatu yang tampak tidak bertemu di sini; antara ilmu yang sedikit, dan kuasa yang diberikan Allah pada ilmu yang sedikit itu. Yang pertama menyadarkan kita akan ketidakberdayaan kita. Tapi yang kedua menggoda kita dengan kekuasaan besar atas dunia kita. Kisah Fir'aun, Haman dan Qarun, adalah kisah orang-orang yang gagal menemukan titik temu antara keduanya. Sebaliknya ada kisah Yusuf dan Sulaiman yang menemukan simpul perekat antara kedua situasi itu.

Page 17: Serial Pembelajaran Anis Matta

Yusuf menguasai perbendaharaan negara karena ia, seperti yang beliau lukiskan sendiri. Hafiz 'aliim; penjaga harta yang tahu bagaimana cara menjaganya. Ilmu tentang bagaimana menjaga harta kekayaan negara telah memberinya posisi tawar politik yang kuat dalam kerajaan. Bergitu juga dengan kerajaan Sulaiman yang disangga oleh para ilmuwan yang bahkan melampaui kedalaman ilmu pasukan jinnya. Sebab pasukan Jin hanya mampu memindahkan singgasana Balqis dari Yaman ke Palestina dalam waktu antara duduk dan berdirinya Sulaiman. Sementara para ilmuwannya mampu memindahkan singgasana itu dalam satu kedipan mata. Itu bukan pengiriman data dan suara seperti dalam sms dan hubungan telepon. Tapi pengiriman barang atau cargo. Luar biasa. Bukan terutama pengetahuannya yang luar biasa. Tapi tafsir Sulaiman atas itu semua: "Ini adalah keutamaan dari Tuhanku, yang dengan itu Ia hendak mengjui aku, apakah aku akan bersyukur atau mengingkari (kufur) nikmat itu." Sulaiman memahami bahwa Allahlah yang meniupkan sedikit kuasa pada pengetahuan itu. Sedikit kuasa itu membuatnya percaya diri di depan Balqis dengan menggunakan diplomasi teknologi dalam menyampaikan risalah, tapi juga membuatnya rendah hati dan bersyukur di depan Allah. Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena kerendahan hati, tapi tak pernah berhenti menetes karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa menembus batu. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 217] 14. Perahu Nuh Mereka mengejeknya. Mereka bilang itu pekerjaan yang sia-sia belaka. Mereka bilang tak ada hajat sama sekali untuk membuat perahu. Lantas mengapa? Mengapa Nuh membuatnya? Tapi Nuh toh tak bergeming. Ia tetap saja melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan keyakinan penuh. Mereka yang pandangan matanya pendek, selalu hanya melihat hujan yang turun di depan mata mereka. Mereka takkan sanggup melihat awan. Apalagi melihat awan menyerap air dari bumi. Mereka juga tidak bisa melihat bagaimana hujan mengubah wajah bumi kita. Mereka yang pandangan matanya pendek, selalu memfokuskan tatapannya pada hilir dari sebuah sungai. Mereka tidak pernah bisa melihat hulu dari mana sungai itu mengalir. Apalagi menemukan mata air yang menyemburkan air itu. Sebagian dari kuasa pengetahuan itu terletak pada fakta bahwa ia membuka mata kita untuk melihat lebih jauh dari apa yang dapat dilihat orang lain, melihat horizon yang lebih luas dari apa yang mungkin dilihat orang lain, dan karenanya membantu tangan kita menjangkau lebih banyak dari apa yang dijangkau tangan orang lain. Pengetahuan membuka mata kita untuk melihat fakta-fakta secara lebih apa adanya,

Page 18: Serial Pembelajaran Anis Matta

menyeluruh dan jelas, terang, dan karenanya membantu kita merekonstruksi realitas dalam kerangka ruang dan waktu, serta menentukan sikap dan tindakan terhadap realitas tersebut. Pengetahuan yang diperoleh Nuh dari sumber wahyu tentang akan datangnya sebuah banjir besar mengharuskan beliau menyiapkan perahu. Beliau tahu apa yang akan terjadi, maka ia tahu apa yang harus dilakukan. Itu sebabnya beliau bekerja dengan keyakinan penuh, menanggapi semua ejekan dengan tenang, santai dan dingin. Beliau melihat lebih jauh dari kaumnya. Beliau lebih antisipatif dari kaumnya. Karenanya beliau bisa menjangkau lebih dari mereka. Pengetahuan membuat ruang masa depan, dengan segenap peristiwa-peristiwanya, tergambar jelas dalam benak Nuh. Bahwa ada ancaman yang akan membinasakan mereka. Dan itu pasti, karena sumbernya dari langit. Maka perahu itu adalah tindakan antisipasinya. Itulah sebagian dari kuasa pengetahuan itu: ia membantu kita bereaksi secara tepat, bersikap secara teratur dan bertindak lebih cepat. Mereka yang memiliki pengetahuan, biasanya memiliki speed of life yang lebih cepat. Speed itulah yang sering tidak dapat dipahami orang ramai. Maka mereka bereaksi secara negative: mengejek atau menuduh, bukan bertanya dan mencari tahu. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 218] 15. Lembah Ibrahim Enam milyar manusia yang menghuni bumi hari ini adalah turunan dari sekitar 12 pasang manusia yang tersisa dan selamat dalam perahu Nuh. Itu sedikit kuasa ilmu yang memberi Nuh kemampuan antisipasi atas musibah yang sedang mengancam. Dengan kuasa ilmu yang sama, kita membaca cerita tentang lembah Ibrahim. Nama itu tak pernah ada. Sebab memang Qur'an tidak memberinya nama. Qur'an hanya menyebut sebuah ciri: lembah yang tak ditumbuhi sedikit pun tumbuhan. Jadi anggap saja itu lembah Ibrahim. Itu lembah atau tanah datar yang kering dan gersang. Ke sanalah Ibrahim membawa istrinya, Hajar dan bayinya, Ismail. Lebih dari 80 tahun lelaki itu menantikan kehadiran anak ini, tapi ketika ia hadir di pangkuannya saat keputusasaan memenuhi rongga dadanya, ia justru membawa anaknya ke lembah itu. Seakan-akan ia hanya datang menitip mereka kepada alam. Kita sering mendengar cerita ini sebagai latar pengorbanan tanpa batas dari sebuah keluarga kenabian. Tapi tidak pernah menanyakan apa rencana Allah di balik itu semua. Itu jelas bukan rencana Ibrahim. Ia bahkan tak bisa menjawab ke mana ketika Hajar bertanya padanya saat akan meninggalkan mereka. Tapi ketika Hajar bertanya, apakah ini perintah Allah yang diwahyukan padamu, Ibrahim mengiyakan.

Page 19: Serial Pembelajaran Anis Matta

Lembah itu seperti hilang dari memori sejarah sampai lebih dari 2500 tahun kemudian ketika Muhammad diangkat menjadi nabi. Lembah itu yang kemudian dikenal dengan jazirah Arab. Dalam isolasi peradaban itulah Ismail beranak pinak dengan sebuah kabilah bernama Jurhum, darimana kemudian bangsa Arab berasal. Sebuah disain demografi baru, bangsa dan bahasa baru, terbentuk secara perlahan dalam kurun waktu itu, dan kelak bukan hanya menjadi mata rantai terakhir dari silsilah kenabian, tapi juga menjadi cikal bakal peradaban baru yang mewarnai langit sejarah manusia sampai hari ini. Kalau perahu Nuh adalah cerita tentang antisipasi, maka lembah Ibrahim adalah cerita tentang disain, tentang sebuah rencana besar yang skala waktunya ribuan tahun. Tapi kedua cerita itu bertemu pada fakta yang sama: bahwa pengetahuan, dari semua sumber termasuk wahyu dalam kedua cerita ini, membuat Nuh dan Ibrahim melakukan tindakan yang tak terpahami dengan nalar kaum dan zamannya. Sebuah rencana besar, yang berskala waktu panjang, selalu dimulai dari tindakan-tindakan awal yang tampak absurd, tak jelas dan tak terpahami. Tapi pengetahuan tentang akhir dari sebuah cerita atau hilir dari sebuah sungai, membuat kita yakin melalui era penolakan itu. Terus bekerja, terus mendayung, karena ujungnya adalah penerimaan. Manusia berpengetahuan selalu melihat lebih jauh dari apa yang dapat dilihat dengan kasat mata oleh manusia tak berpengetahuan. Maka Allah mengatakan: “Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?” [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 219] 16. Tongkat Musa Tongkat itu seketika menjadi ular raksasa. Para penyihir Fir’aun terperangah. Fir’aun dan rakyat Mesir yang menyaksikan pertarunga itu terkesiap. Tapi semua hanya berlangsung sesaat, karena ular-ular mereka seketika ditelan habis oleh ular raksasa Musa. Dan panggung pun jadi gundah. Para penyihir itu takluk. Lalu bersujud dan menyatakan ikrar iman kepada Tuhan yang disembah Musa. Namun pertarungan tak selesai di situ. Fir’aun terus mengejar Musa. Kisah itu pun berkembag menjadi sebuah drama paling kolosal sepanjang sejarah manusia. Puncaknya adalah pengejaran fisik terhadap Musa bersama seluruh pengikutnya. Dalam situasi terpojok seperti itu seharusnya Musa berlari ke gunung seperti yang kita baca dalam ilmu strategi perang. Tapi Musa justru berlari ke tepi laut. Berita itu membuat Fir’aun tersenyum penuh kemenangan. Seperti yakin bahwa riwayat Musa akan berakhir di situ. Namun justru riwayat Fir’aunlah yang berakhir di situ. Sebab tongkat Musa sekali lagi bekerja dengan cara lain. Tongkat itu membelah laut

Page 20: Serial Pembelajaran Anis Matta

merah yang kemudian memberi jalan bagi mereka berlari dari kejaran tentara Fir’aun. Dan Fir’aun tidak juga menyadari kalau itu adalah jebakan terakhir yang akan menutup riwayat keangkuhan dan kerajaannya. Begitulah Fir’aun menyeberangi laut yang seketika tertutup kembali setelah sebelumnya dibelah oleh tongkat Musa. Tongkat Musa bukanlah simbol pengetahuan. Itu adalah simbol dari apa yang oleh para ahli strategi sekarang disebut sebagai hard power. Itu merupakan tools yang digunakan untuk mengajar, bukan terutama untuk menghancurkan. Karena nabi-nabi itu seluruhnya diturunkan untuk satu misi: mengajar manusia. Cara manusia belajarlah yang membedakan tools yang tepat yang digunakan untuk mengajar mereka. Dalam situasi Fir’aun dan zamannya, hanya hard power yang bisa menundukkan dan menaklukkan mereka, serta menyadarkan mereka bahwa di atas kebesaran mereka ada yang jauh lebih Maha Besar. Itu cara belajar yang primitive karena sepenuhnya bertumpu pada dimensi visual, dan relatif mengabaikan semua dimensi penalaran. Di sini nasihat tidak berpengaruh. Kebenaran berpengaruh hanya ketika ia menang dalam pertarungan fisik. Hard power itu, di zaman kita, adalah kuasa teknologi yang sebagiannya menjelma pada mesin perang modern. Jika tongkat Musa adalah symbol hard power, maka keunggulan itu berasal dari mukjizat Allah yang diwahyukan kepada Musa. Itu pengetahuan di atas pengetahuan zamannya, persis seperti Nuh yang diwahyukan membuat perahu untuk mengantisipasi banjir. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 221] 17. Tangan Isa Mereka semua gusar. Tuan rumah, tetamu dan seluruh penghuni rumah itu yang umumnya kaum fakir miskin dan nestapa. Pasalnya, tuan rumah kehilangan uangnya dalam rumahnya. Tentu saja sang tamu, seorang ibu dan anak lelakinya, yang paling gusar di antara mereka. Karena kejadiannya bertepatan dengan kedatangan mereka. Pantaslah kalau kecurigaan gampang tertuju pada mereka. Dan anak lelaki kecil itu menangkap kegusaran yang hebat di wajah ibunya, selain kegusaran di wajah tuan rumah dan segenap penghuni rumah lainnya. Ia pun segera bertindak. Diantara para penghuni itu ada seorang lelaki buta dan seorang lelaki lumpuh. Tiba-tiba anak kecil itu mendatangi mereka berdua dan berkata kepada si buta: “Ambil tangan sahabatmu yang lumpuh itu. Lalu bawa dia ke tempat kalian mengambil uang itu.” Si buta terhenyak lalu menjawab: “Aku tidak bisa melihat dan sahabatku tidak bisa bergerak.” Tapi anak kecil itu terus mendesak mereka dan berkata: “Kamu pasti bisa. Sebab tadi kalian berdua yang mengambil uang itu.” Akhirnya si buta dan si lumpuh mengakui perbuatan mereka dan segera mengembalikan uang itu.

Page 21: Serial Pembelajaran Anis Matta

Semua terkesima menyaksikan keajaiban anak itu. Tapi mereka lebih terkesima lagi ketika di lain kesempatan tuan rumah menghadapi masalah yang bisa sangat mempermalukannya. Ketika hendak mengadakan pesta makan malam, tiba-tiba semua botol anggurnya kosong. Ia panik dan semua keluarga panik. Akan kecil itu menyaksikan kepanikan mereka. Ia pun datang memegang botol-botol itu. Dan seketika botol-botol itu terisi kembali. Bukan dengan anggur. Tapi dengan minuman lain yang lebih segar yang tidak mereka rasakan sebelumnya. Itulah Isa putera Maryam. Itulah ia di masa kecilnya yang diceritakan dengan indah oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah. Selalu menjadi solusi. Selalu hadir menyelesaikan masalah. Selalu mengurai kerumitan. Selalu menenangkan kepanikan. Selalu datang membawa kelapangan di tengah kesempitan. Selalu meniupkan harapan di tengah keputusasaan. Sejak kecil hingga kelak menjadi nabi dan rasul dimana sentuhan tangannya menyembuhkan orang sakit, membuka mata orang buta, memperjalankan orang lumpuh, menghilangkan kusta hingga menghidupkan orang mati. Ia disebut Al-Masih, yang salah satu maknanya adalah pengasih dan penyayang. Mukjizatnya ada pada sentuhan tangannya. Dan sentuhan tangannya adalah sentuhan kasih yang menyelesaikan masalah. Sentuhan tangannya adalah solusi. Sentuhan tangannya adalah mukjizat; pengetahuan di atas pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. Sentuhan tangannya adalah kebalikan dari tongkat Musa yang merupakan simbol hard power. Sentuhan tangannya adalah simbol dari soft power. Namun keduanya menjalankan fungsi yang sama: persuasi untuk meyakinkan orang kepada hakikat keimanan. Fungsi persuasi dengan menggunakan hard power dan soft power itu dilakukan di tengah masyarakat manusia yang kemampuan pembelajarannya terutama bertumpu pada dimensi visual. Mereka tidak bisa menalar. Mereka hanya bisa mengindera. Mereka terpengaruh oleh apa yang mereka lihat, bukan oleh apa yang mereka pikirkan. Tapi yang pasti mereka harus mengungguli kaumnya. Pengetahuan mereka harus ada di atas pengetahuan kaum mereka. Kalau Musa mengubah dengan kemenangan yang keras, maka Isa mengubah dengan solusi. Tapi kemenangan Musa dan solusi Isa sama-sama membawa satu pesan: bahwa perubahan itu adalah fungsi pengetahuan. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 222] 18. Narasi Muhammad “Aku bisa berdoa kepada Allah untuk menyembuhkan butamu dan mengembalikan penglihatanmu. Tapi jika kamu bisa bersabar dalam kebutaan itu, kamu akan masuk

Page 22: Serial Pembelajaran Anis Matta

surga. Kamu pilih yang mana?” Itu dialog Nabi Muhammad dengan seorang wanita buta yang datang mengadukan kebutaannya kepada beliau, dan meminta didoakan agar Allah mengembalikan penglihatannya. Dialog yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas itu berujung dengan pilihan yang begitu mengharukan: "Saya akan bersabar, dan berdoalah agar Allah tidak mengembalikan penglihatanku." Beliau juga bisa menyembuhkan seperti Nabi Isa, tapi beliau menawarkan pilihan lain: bersabar. Sebab kesabaran adalah karakter inti yang memungkinkan kita survive dan bertahan melalui seluruh rintangan kehidupan. Kesabaran adalah karakter orang kuat. Sebaliknya, tidak ada jaminan bahwa dengan bisa melihat, wanita itu akan bisa melakukan lebih banyak amal saleh yang bisa mengantarnya ke surga. Tapi di sini, kesabaran itu adalah jalan pintas ke surga. Selain itu, penglihatan adalah fasilitas yang kelak harus dipertanggungjawabkan di depan Allah, karena fasilitas berbanding lurus dengan beban dan pertanggungjawaban. Ada manusia, kata Ibnu Taimiyah, lebih bisa lulus dalam ujian kesulitan yang alatnya adalah sabar ketimbang ujian kebaikan yang alatnya adalah syukur. Nabi Muhammad juga berperang seperti Nabi Musa. Bahkan Malaikat Jibril pun pernah meminta beliau menyetujui untuk menghancurkan Thaif. Tapi beliau menolaknya. Sembari mengucurkan darah dari kakinya beliau malah balik berdoa: "Saya berharap semoga Allah melahirkan dari tulang sulbi mereka anak-anak yang akan menyembah Allah." Muhammad bisa menyembuhkan seperti Isa. Juga bisa membelah laut seperti Musa. Bahkan bulan pun bisa dibelahnya. Muhammad punya dua jenis kekuatan itu: soft power dan hard power. Muhammad mempunyai semua mukjizat yang pernah diberikan kepada seluruh Nabi dan Rasul sebelumnya. Tapi beliau selalu menghindari penggunaannya sebagai alat untuk meyakinkan orang kepada agama yang dibawanya. Beliau memilih kata. Beliau memilih narasi. Karena itu mukjizatnya adalah kata: Al-Qur'an. Karena itu sabdanya pun di atas semua kata yang mungkin diciptakan semua manusia. Itu karena narasi bisa menembus tembok penglihatan manusia menuju pusat eksistensi dan jantung kehidupannya: akal dan hatinya. Jauh lebih dalam daripada apa yang mungkin dirasakan manusia yang kaget terbelalak seketika menyaksikan laut terbelah, atau saat menyaksikan orang buta melihat kembali. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 223] 19. Penutup Nubuwwah

Page 23: Serial Pembelajaran Anis Matta

Umar marah besar. "Siapa yang mengatakan Muhammad sudah mati", katanya saat mendengar berita kematian itu, "niscaya akan kupenggal lehernya." Ali terdiam tak sanggup bicara, Usman tergagap tak sanggup berkata. Hanya Abu Bakar yang masuk membuka kafan yang menutupi tubuh Muhammad. Setelah melihat wajahnya, Abu Bakar lantas mencium keningnya lalu berkata: "Alangkah baiknya kamu saat hidup dan saat wafat." Setelah itu keluarlah beliau sambil berkata: "Siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Dan siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tak akan mati." Sang Nabi telah wafat. Berita kematian itu segera mengguncang seluruh Madinah, jazirah Arab bahkan dunia. Tapi ada peristiwa yang jauh lebih penting dari itu: kematian Muhammad juga telah menjadi penutup mata rantai kenabian yang panjang yang telah mengisi lembar kehidupan umat manusia. Itu adalah kesedihan di atas kesedihan. Selama ini kita hanya membaca 25 kisah nabi dan rasul dalam Al-Qur'an. Padahal jumlah nabi dan rasul jauh lebih banyak dari itu. Beberapa ulama bahkan menyebut angkanya sekitar 350 nabi dan rasul. Kehidupan manusia dimulai dari seorang lelaki, Adam, dan seorang perempuan, Hawa, yang kemudian membentuk keluarga. Keluarga itu kemudian beranak pinak dan secara perlahan membentuk suku. Lalu suku yang menjadi simpul besar keluarga berkembang makin banyak sampai pada suatu skala yang kemudian kita sebut bangsa. Bersamaan dengan itu wilayah bumi yang dihuni manusia juga makin luas. Pada setiap tahapan pertumbuhan itu selalu ada nabi dan rasul yang datang membawa risalah yang sesuai dengan keadaan dan kondisi mereka. Pesan intinya adalah tauhid, tapi syariatnya yang disesuaikan dengan situasi mereka. Mereka adalah kafilah para pengajar yang datang membawa kitab suci. Ada guru ada kitab. Itulah inti dari semua proses pembelajaran. Tapi ketika Muhammad diutus, manusia telah sampai pada tahap kematangan akal yang memungkinkannya belajar melalui kitab tanpa kehadiran sang guru. Maka menutup mata rantai kenabian setelah Muhammad adalah manifestasi kepercayaan Allah kepada kemampuan akal manusia untuk belajar melalui hanya narasi, tanpa narator. Itu sebabnya Allah berkata: "Sungguh telah Kami mudahkan Al-Qur'an ini, adakah yang mau memahami?" [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 224] 20. Bangsa Petualang Penutur >>>>> baca TARBAWI Edisi 226 Th.11, Jumadil Awal 1431, 22 April 2010 TIDAK ADA FILENYA

Page 24: Serial Pembelajaran Anis Matta

21. Pengajaran Langit

Jika ratusan ribu nabi dan rasul harus diturunkan untuk satu pekerjaan yang sama, yaitu mengjar manusia, maka itu tidak hanya meyakinkan kita betapa pentingnya pengetahuan dalam kehidupan kita, tapi juga menyimpan sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana sebenarnya cara Allah mengajar kita? Kita tentu berangkat dari sebuah aksioma paling mendasar bahwa Allah adalah sumber dari segala sumber pengetahuan. Allah kemudian mengajar manusia dengan dua cara: langsung dan tidak langsung. Pengajaran langsung itu dilakukan dengan dua cara: yang satu melalui wahyu dan lainnya melalui ilham. Selain itu ada pengajaran yang tidak langusng yang dilakukan melalui dua cara: yang satu melalui penalaran dan lainnya melalui penginderaan. Jadi itulah empat sumber pengetahuan kita: wahyu, ilham, nalar, dan indera. Wahyu itulah yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Itu semacam pengetahuan yang "dipahat" ke dalam hati mereka, maka ia tertancap kuat dan dalam, terpatri dan tak terlupakan, dan harus terucap kembali sebagaimana ia adanya, dalam formulasi bahasa yang terpahami oleh manusia tapi tidak terjangkau oleh kemampuan narasi mereka yang paling maksimal. Karena itu kenabian merupakan pemberian Tuhan atau mihnah rabbaniyah, bukan hasil kerja atau usaha manusia atau iktisab basyari. Jadi sifat buta huruf misalnya pada Muhammad sebelum menjadi nabi, memang diciptakan untuk memperkuat pembuktian pengangkatan menjadi nabi. Ilham sebenarnya agak mirip dengan wahyu pada sifat pengajaran langsung, tapi berbeda pada manusia yang menerimanya. Yang menerima ilham ini tidak disebut nabi atau rasul. Tapi biasanya diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allah. Contohnya panggilan shalat jamaah melalui azan. Ini berawal dari kegelisahan sejumlah kalangan sahabat untuk menemukan cara panggil yang membedakan masjid dengan gereja atau sinagog atau tempat ibadah lainnya. Rasulullah SAW memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk memikirkan solusinya. Beberapa hari kemudian mereka datang dengan usulan azan itu yang umumnya ditemukan mereka dalam mimpi. Ia berbeda dengan cara panggil lainnya karena ia berasal dari suara manusia, bukan benda. Ia juga berbentuk kata yang punya makna, bukan sekadar bunyi tanpa makna. Sebagian lain dari pengetahuan diturunkan Allah kepada manusia melalui akal yang berfungsi menalar, dan panca indera yang berfungsi merasa dengan cara melihat, mendengar dan meraba. Tapi yang ini mengharuskan adanya usaha dari manusia. Usaha inilah yang kelak membedakan derajat manusia di antara sesama mereka dan di depan Tuhan. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 228]

Page 25: Serial Pembelajaran Anis Matta

22. Yang Tersisa adalah Teks Wahyu dari langit sudah terputus ketika Muhammad SAW menghembuskan nafas terakhirnya. Tak ada lagi nabi. Tak ada lagi kitab suci. Tapi pembelajaran melalui wahyu tidak berakhir. Karena ada jaminan Allah bahwa kitab suci terakhir itu, Al-Qur’an Al-Karim, akan menjadi kitab yang abadi, yang autentitasnya selamanya akan terjaga, kata dan hurufnya takkan terjangkau oleh perubahan dan penyimpangan, kebenaran substansinya akan menembus semua batas ruang dan waktu hingga kiamat. Jika sahabat-sahabat yang beriman dan hidup bersama Muhammad SAW berinteraksi dengan wahyu secara langsung bersama penerima wahyu, maka pembelajaran mereka menjadi jauh lebih mudah dan sempurna. Karena mereka mendengarkan teks, mendengarkan penjelasan atas teks, dan yang lebih penting dari itu semua, adalah melihat contoh hidup yang menerapkan teks itu. Ada kaidah ada contoh. Ada teori ada praktek. Ada ide ada gerak. Ada berita ada peristiwa. Ada bunyi ada rupa. Ada yang terdengar ada yang terlihat. Itu karunia yang merupakan takdir mereka. Takdir kita mungkin tidak sebagus mereka. Kita sekarang kehilangan satu aspek dari proses dan metode pembelajaran itu, yaitu contoh hidup yang bersanding bersama teks. Tapi kekurangan itu bisa tertutupi oleh fakta bahwa semua gerak dan kata contoh hidup tersebut tetap sampai kepada kita melalui riwayat dan metodologi periwayatan yang sangat akurat yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manapun di dunia. Sedemikian akuratnya metodologi periwayatan itu, sehingga jika ia diterapkan, misalnya, pada sejarah bangsa Yunani, maka semua riwayat tentang Plato atau Aristoteles atau Socrates, takkan kita percayai seperti sekarang kita mempercayainya. Nubuwwah adalah pemberian. Bukan pencapaian. Bukan karena kita punya otak raksasa maka kita boleh jadi nabi. Bukan karena kita punya kerajaan besar maka kita berhak jadi nabi. Bukan karena kita punya harta segudang maka kita punya alasan jadi nabi. Jadi begitu kenabian ditutup, maka yang tersisa dari pengajaran langsung hanya melalui ilham. Tapi karena ada warisan teks yang sampai pada kita, yaitu Al-Qur'an dan Hadits, maka pembelajaran langsung termediasi dengan teks. Begitulah takdir manusia selanjutnya: mereka harus bergelut dengan teks untuk menemukan pesan langit yang bisa membimbing mereka meniti hidup di bumi. Pergelutan dengan teks itu adalah saat di mana kita berusaha menemukan alamat kehidupan di lika liku jalan bumi melalui peta langit. Tertatih mungkin. Tapi tetap terbimbing. Lelah mungin. Tapi tetap terarah. Sulitnya tidak lantas membuat kita putus asa. Mudahnya tidak juga membuat kita lantas tidak harus menggunakan akal. Tapi begitu kita menemukan alamatnya, tiba-tiba kita tersadar bahwa pergulatan dengan teks itu adalah peristiwa kehidupan yang terlalu dahsyat. Terlalu indah. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 229]

Page 26: Serial Pembelajaran Anis Matta

23. Para Pewaris Nabi Seperti ketika kita sedang mencari alamat tertentu, kita biasanya bertemu dengan berbagai orang di sepanjang jalan yang dapat kita tanyai. Kita tetap memerlukan orang-orang seperti itu sekalipun ada peta di tangan kita. Bahkan sekalipun peta sudah sangat jelas dan mudah. Allah mengerti kebutuhan itu. dan orang-orang yang kita tanyai di sepanjang jalan itu adalah para ulama. Sebagai peta jalan kehidupan, Allah telah membuat semua petunjuk dalam Al-Qur’an begitu mudah dan jelas. Sebegitu mudah dan jelasnya, hingga Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagian besar isinya dapat dipahami oleh sebagian besar manusia dengan hanya menggunakan akal sehat. Hanya sedikit sekali yang tidak kita pahami. Dan itu adalah wilayah para ulama. Begitulah Allah SWT memfasilitasi proses pembelajaran manusia. Ketika ia memutuskan nubuwwah, dan menyisakan teks serta mengabadikannya, membiarkan manusia bergelut dengannya, Ia tetap membuatnya tidak sampai pada batas kesulitan yang bisa menghempaskan manusia dalam keputusasaan. Di samping memudahkan isi dan bahasa dari teks tersebut, Allah SWT juga membangkitkan orang-orang tertentu yang mewarisi kerja-kerja kenabian walaupun tidak memberikan status nubuwwah: yaitu mengajar manusia. Dalam makna pewarisan itulah Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya para nabi itu tidak mewarsikan dinar dan dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu. Siapa saja yang mengambilnya, sungguh ia telah mendapatkan jatah (warisan) yang banyak”. Para pewaris nabi itu adalah kafilah panjang yang akan terus menerus mengisi ruang kehidupan manusia dan mempertahankan jejak kenabian dalam narasi zaman. Jumlah mereka tidak banyak. Tapi selalu tampak seperti tugu kehidupan yang tegak dengan kekar. Dalam rangkaian itulah Rasulullah SAW menyampaikan janji Allah SWT bahwa ia akan membangkitkan pada setiap rotasi seratus tahun para ulama yang akan memperbaharui ajaran agama ini. Mewariskan kerja nubuwwah tanpa memberikan statusnya adalah salah satu rahasia Allah SWT dalam memudahkan manusia menemukan alamat kehidupannya. Dengan begitu Allah menutup semua pintu yang dapat dijadikan alasan oleh manusia untuk tidak menemukan alamat yang ditujunya. Kehadiran para pewaris nabi itulah yang menjelaskan kepada kita sebuah rahhasia sejarah tentang mengapa Islam pasti akan memenangkan pertarungan dengan agama dan ideologi lain dalam merebut akal dan hati manusia. Maka keabadian teks itu bersanding harmoni dengan jumlah pemeluk agama ini yang terus bertambah dan

Page 27: Serial Pembelajaran Anis Matta

memenuhi ruang bumi kita hingga kiamat kelak. [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 230] 24. Tidak Ada Filenya 25. Sikap Jiwa pada Teks Teks memang sudah dimudahkan. Para pewaris nabi juga sudah menjelaskan dan menafsirkannya. Para pembaharu dibangkitkan dari waktu ke waktu untuk memperbaharui memori, pemahaman dan juga komitmen. Tapi persolan dengan teks tidak selesai hanya dengan itu semua. Proses pembelajaran melalui teks bukan merupakan rangkaian perburuan pada makna-makna yang rumit. Seperti misalnya yang dilakukan para arkeolog ketika mereka menerjemahkan sebuah naskah kuno. Atau seperti pergumulan para filosof untuk menemukan makna dari sebuah rangkaian kata yang gelap. Ini bukan sekedar sebuah pergumulan intelektual. Teks yang sudah dimudahkan ini adalah narasi dari sebuah sistem kehidupan. Ia adalah content dari ruang dan waktu manusia. Hanya ketika content itu diintegrasikan ke dalam kerangka ruang dan waktu di mana manusia menjadi pelaku maka sebuah wajah kehidupan akan muncul.ke permukaan. Jadi pergumulan dengan teks tidak boleh berhenti pada sekadar mengetahui makna, tapi harus berlanjut pada merasakan makna di dalam jiwa dan melalui tindakan. Dengan begitu pergumulan dengan teks seharusnya melalui tiga tapan itu: mengetahui, merasakan dan melakukan. Dua tahapan yang pertama, yaitu mengetahui dan merasakan, menghasilkan pengetahuan tentang kebenaran dari sebuah teks. Ia membuat kita sadar, lalu yakin, lalu tercerahkan. Tapi tapan yang ketiga, yaitu melakukan, menghasilkan pengalaman. Yang terakhir ini menyatukan teks dengan raga kita, dan bukan hanya dengan jiwa. Dari situ makna bukan hanya terpatri dalam jiwa, tapi bahkan mengalir dalam darah. Menyatu dengan teks dengan cara begitu akan membuat pengetahuan kita terkuatkan oleh pengalaman. Dan itulah fungsi dari pengalaman: membuat pengetahuan jadi solid. Menyatu dengan teks adalah pencapaian tertinggi dari seluruh proses pembelajaran kita dengan teks. Tapi itu justru bisa dicapai ketika kita mendekati teks dengan cara sederhana: datanglah pada teks dengan pikiran dan jiwa yang kosong, lalu bertanyalah: apa yang harus saya lakukan dalam hidup? Maka jawaban kita pasti sama dengan jawaban Umar bin Khatab ketika beliau ditanya tentang mengapa baru di akhir hayatnya beliau menghafal Al-Qur’an. Katanya: ”karena baru sekarang saya melaksanakan semua isinya”. Itu yang menginspirasi Sayyid Qutb ketika beliau menulis Fi Zhilalil Qur’an. Bahwa

Page 28: Serial Pembelajaran Anis Matta

sikap jiwa kita pada teks memang seharusnya begitu: menerima untuk melaksanakan (at talaqqii lit tanfiidz). [Anis Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 233]