sepsis

197

Upload: iyan-darmawan

Post on 02-Aug-2015

307 views

Category:

Health & Medicine


14 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sepsis
Page 2: Sepsis

UPDATE ON SEPSIS

dr Iyan Darmawan

2008

i

Page 3: Sepsis

ii

UPDATE ON SEPSIS Penulis: dr Iyan Darmawan ISBN: 978-979-95956-8-3 © 2008 Farmedia All rights preserved Hak Cipta dilindungi Undan-Undang DIlarang mengutip, memperbanyak sebagian atau Seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Edisi 1 Cetakan 1: Maret 2008 Perpustakaan Nasional R.I. data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Update on Sepsis/penulis: darmawan,iyan Cetakan 1- Jakarta, Farmedia 2008 200 halaman 12,5 x 21,5 cm ISBN: 978-979-95956-8-3

Page 4: Sepsis

iii

KATA PENGANTAR Buku ini disusun dari berbagai kepustakaan sebagai tambahan informasi bagi para klinisi terkait Sepsis merupakan masalah yang sangat penting dalam ilmu kedokteran dan manajemen yang efektif merupakan tantangan bagi berbagai dokter spesialis, antara lain: spesialis paru, internis, spesialis anak, spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis bedah, spesialis anestesi, intensivist dll. Mengingat mortalitas yang diakibatkan oleh sepsis dan komplikasinya masih sangat tinggi, dibutuhkan pemahaman yang cukup tentang patofisiologi dan berbagai aspek terapinya. Oleh karena itu buku ini diharapkan menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para klinisi, namun tidak luput dari kekurangan di sana-sini, sehingga kritikan dari pembaca sangat membantu untuk memperbaiki isinya. Penerbit

Page 5: Sepsis

iv

DAFTAR ISI Pendahuluan 1

Definisi 4

Epidemiologi 7

Patofisiologi 10

Sepsis Neonatorum 25

Sepsis kateter 43

ARF & Sepsis 48

MOF & sepsis 70

SIRS 84

Peritonitis 93

DIC 122

Syok septik 136

Manajemen sepsis 151

Imunoterapi 159

Drotrecogin 175

Dukungan nutrisi 179

Referensi umum 187

Index 189

Page 6: Sepsis

PENDAHULUAN Sepsis adalah suatu kondisi medis serius yang disebabkan oleh infeksi berat. Diperlukan definisi yang tepat untuk meningkatkan kemampuan menegakkan diagnosis dengan akurat, memonitor dan menangani pasien sepsis. Klinisi harus familiar dengan kondisi-kondisi berikut 1

• Infeksi didefinisikan sebagai proses patologis yang disebabkan oleh serbuan (invasi) jaringan, cairan atau rongga tubuh yang sebelumnya steril, oleh mikro-organisme patogen atau potensial patogen.

• Sepsis didefinisikan sebagai sindroma klinik yang ditandai oleh adanya infeksi ( biakan darah positif) dan respon radang sistemik (sebagai respon terhadap infeksi). Manifestasi klinik mencakup > 2 dari kondisi-kondisi berikut sebagai akibat infeksi: (i) suhu tubuh di atas 38°C atau lebih rendah dari 36°C, (ii) heart rate lebih dari 90/menit, (iii) hiperventilasi yang dibuktikan dengan pernapasan lebih dari 20/menit atau PaCO2 kurang dari 32 mmHg.(iv) Hitung leukosit >12000 sel /µl atau <4000 sel /µl

• SIRS (Systemic Infammatory Response Syndrome) didiagnosis bila pasien memiliki lebih dari satu temuan klinis yang disebut diatas namun tanpa adanya bukti infeksi pada sindroma ini.

Subset yang lebih kritis dari sepsis meliputi sepsis berat (sepsis dengan disfungsi organ akut) dan syok septik (sepsis dengan hipotensi arterial yang refrakter).

Syok septik mencerminkan ujung spektrum dari peradangan dan respon hospes yang semakin meningkat terhadap suatu jejas toksik (yakni infeksi). Tumpang tindih biasa terlihat

1

Page 7: Sepsis

2

selama berbagai langkah dari kejadian-kejadian yang berurutan yang menjurus ke manifestasi syok septik

Septikemia adalah sepsis aliran darah yang disebabkan oleh bakteremia, yakni adanya bakteri di dalam aliran darah. Istilah septikemia juga digunakan untuk mengacu ke sepsis secara umum.

Gejala-Gejala

Respon radang sistemik yang mengaktifkan peradangan dan lintasan pembekuan darah. Ini bisa berlanjut ke disfungsi sistem sirkulasi dan pada terapi yang optimal sekalipun bisa mengakibatkan gagal organ ganda dan akhirnya kematian.

Sepsis lazim dan lebih berbahaya pada pasien lansia, imunokompromi, dan sakit kritis. Kekerapannya 2% dari semua kasus rawat inap dan menempati 25% dari bed ICU. Sepsis merupakan penyebab utama kematian pada unit rawat intensif di seluruh dunia, dengan angka mortalitas berkisar antara 20% untuk sepsis sampai 40% untuk sepsis berat dan >60% karena syok septik . Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien-pasien ICU non-koroner, dan penyebab kesepuluh tersering dari seluruh kematian menurut data tahun 2000 dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention).2

Masalah dalam manajemen pasien sepsis yang tidak adekuat adalah keterlambatan memberikan terapi yang tepat setelah diagnosis sepsis ditegakkan. Suatu kerjasama mancanegara berskala besar diselenggarakan untuk mengedukasi orang tentang sepsis dan memperbaiki prognosis. Kolaborasi ini diberi nama"Surviving Sepsis Campaign." Kampanye tersebut telah dipublikasi sebagai tinjauan berbasis bukti tentang strategi manajemen untuk sepsis berat3 dengan tujuan menerbitkan seperangkat pedoman lengkap dalam 3 tahun.

TATALAKSANA

Terapi sepsis mengandalkan antibiotik, drainase bedah dari kumpulan cairan yang terinfeksi, penggantian cairan tubuh dan

Page 8: Sepsis

3

dukungan yang sesuai untuk disfungsi organ . Mungkin ini mencakup:

1. Hemodialisis untuk gagal ginjal, 2. Ventilasi mekanik pada disfungsi paru, 3. Transfusi plasma darah, trombosit dan faktor

pembekuan untuk menstabilkan pembekuan darah, 4. Obat dan terapi cairan untuk gagal sirkulasi. 5. Dukungan nutrisi jika perlu dengan nutrisi parenteral

penting selama penyakit yang berkepanjangan.

Kebanyakan terapi yang ditujukan pada proses radangnya sendiri gagal memperbaiki prognosis. Namun demikian, drotrecogin (activated protein C, salah satu dari faktor-faktor pembekuan) telah diperlihatkan menurunkan mortalitas dari kitra-kira 31% menjadi sekitar 25% pada sepsis berat .1 Terapi kortisol dosis rendah telah memberi harapan untuk pasien syok septik dengan insufisiensi relatif dari kelenjar adrenal.

REFERENSI:

1. Tslotou AG, Sakorafas GH, Anagnostopoulos G, Bramis J. Septic shock; current pathogenetic concepts from a clinical perspective. Med Sci Monit. 2005 Mar;11(3):RA76-85

2. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of sepsis in the United States from 1979 through 2000. N Engl J Med. 2003 Apr 17;348(16):1546-54

3. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J, Gea-Banacloche J, Keh D, Marshall JC, Parker MM, Ramsay G, Zimmerman JL, Vincent JL, Levy MM; Surviving Sepsis Campaign Management Guidelines Committee. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004 Mar;32(3):858-73. Erratum in: Crit Care Med. 2004 Jun;32(6):1448. Correction of dosage error in text. Crit Care Med. 2004 Oct;32(10):2169-70

Page 9: Sepsis

4

DEFINISI Karena sepsis telah ditetapkan sebagai suatu entiti penyakit spesifik, banyak kemajuan didpat dalam pemahaman tentang patofisiologi dan strategi-strategi untuk pencegahan, diagnosis berbagai proses patologi terkait. Begitupula dengan tatalaksana yang inovatif. Telah berkembang tatanama yang membedakan antara respon-respon fisiologi terhadap rangsang non-infeksi (yakni , systemic inflammatory response syndrome [SIRS]) dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh infeksi . Lebih lanjut, semua kondisi ini dikategorikan sebagai sepsis, severe sepsis, septic shock, dan multiple organ dysfunction syndrome (MODS).

SIRS ditegakkan dengan sembarang 2 dari kondisi-kondisi berikut1:

• Temperatur> 38.0°C atau < 36.0°C; • Heart rate > 90 /menit; • Respiratory rate > 20 /menit; • Partial pressure of carbon dioxide (PCO2) < 32 mm Hg; • Leukositosis > 12,000 /mm3); • Leukopenia < 4000 /mm3); dan • Hitung leukosit normal dengan > 10% bentuk muda.

Pasien tidak harus terinfeksi untuk mengalami SIRS (misal, pankreatitis akut).

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang disebabkan infeksi atau hipoperfusi dengan 2 atau lebih kriteria SIRS.1

Keberadaan infeksi bisa dengan bukti atau sangkaan - biakan darah tidak wajib positif. Sumber-sumber lain (misal urin dan sputum) dapat positif, namun kecurigaan adanya infeksi sudah cukup. Pada tahun 2002, definisi diperluas dengan bukti atau sangkaan infeksi pada sembarang kriteria SIRS atau > 1 dari berikut2:

• Edema signifikan atau imbang cairan positif (> 20 mL/kg dalam 24 jam);

• Hiperglikemia (glukosa plasma > 120 mg/dL) pada pasien non-diabetes;

Page 10: Sepsis

5

• Variabel-variabel radang: plasma C-reactive protein > 2 SD di atas nilai normal atau procalcitonin plasma > 2 SD di atas nilai normal;

• Mixed venous oxygen saturation (SVO2) > 70%; dan • Cardiac index > 3.5

Severe sepsis (sepsis berat) didefinisikan sebagai sepsis yang disertai disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi1

Variabel-variabel disfungsi organ mencakup:

1. Hipoksemia arterial ( rasio PaO2/fraction of inspired oxygen [FiO2] < 300 torr);

2. Oliguria akut (urine output < 0,5 mL/kg/jam selama paling kurang 2 jam);

3. Kreatinin> 2.0 mg/dL; 4. Koagulopati (international normalized ratio > 1.5 atau

activated partial thromboplastin time [APTT] > 60 detik);

5. Trombositopenia (hitung trombosit < 100,000 mm3); 6. Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 2.0 mg/dL

atau 35 mmol/L);

Variabel perfusi jaringan: hiperlaktatemia (> 2 mmol/L); dan

Variabel-variabel hemodinamik: hipotensi arterial (systolic blood pressure [SBP] < 90 mm Hg, mean arterial pressure [MAP] < 70 mm Hg, atau SBP turun > 40 mm Hg).

Syok septik didefinisikan sebagai gagal sirkulasi akut setelah tantangan cairan kristaloid, yang tidak bisa dijelaskan oleh sebab-sebab lain.[1] Lebih lanjut gagal sirkulasi akut didefinisikan sebagai hipotensi arterial persisten(SBP < 90 mm Hg, MAP < 60, atau penurunan SBP > 40 mm Hg dari baseline walaupun telah mendapat resusitasi cairan secara adekuat).

MODS adalah adanya gangguan fungsi dari 2 atau lebih organ pada pasien sakit akut, sehingga homeostasis tidak bisa dipertahankan tanpa intervensi1

Untuk memberikan informasi mutakhir kepada para klinisi tentang diagnosis dan manajemen kondisi-kondisi di atas, the

Page 11: Sepsis

American College of Surgeons' Committee on Peri-operative Care mensponsori suatu sesi tentang "Advances in the Treatment and Recognition of Sepsis and Septic Shock" pada kongres ilmiahnya yang ke 90. David H. Reines, MD, FACS, dari Falls Church, Virginia, Ketua Sidang pada panel tersebut, melaporkan bahwa sepsis adalah penyebab kematian terbanyak di noncoronary intensive care units (ICU),khususnya surgical ICU, dan merupakan penyebab kematian terbanyak ke 11 di Amerika Serikat.[3,4] Dengan 750.000 kasus baru pertahun dan mortalitas harian lebih dari 500, sepsis memiliki angka kematian tertinggi dari setiap penyakit mayor apapun, yakni sampai 50% (Gambar).[3,5]

Gambar. Mortalitas meningkat dengan bertambahnya jumlah systemic inflammatory response syndrome symptoms dan keparahan proses penyakit. (Disadur dari: Rangel-Frausto M, Pttet D, Costigan M, et al. The natural history of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). JAMA. 1995;273:117-123.)

Referensi:

1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644-1655. Abstract

6

Page 12: Sepsis

7

2. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858-873. Abstract

3. National Center for Health Statistics. National Vital Statistics Reports. Table E: deaths and percentage of total deaths for the ten leading causes of death, by race: United States, 2001. National Center for Health Statistics. 2003;52:9. Available at: http://www.cdc.gov/nchs/data/dvs/nvsr52_09p9.pdf Accessed January 11, 2005.

4. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med. 2001;29:1303-1310. Abstract

5. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, et al. Epidemiology of sepsis syndrome in 8 academic medical centers. Academic Medical Center Consortium Sepsis Project Working Group. JAMA. 1997;278:234-240. Abstract

Page 13: Sepsis

8

EPIDEMIOLOGI Angka Kekerapan sepsis di Amerika Serikat dikumpulkan selama 22 tahun yakni dari 1979 sampai 2000 berdasarkan rekam keluar RS (hospital discharge records) yang disandi menurut the International Classification of Diseases, Ninth Revision, Clinical Modification.

Tinjauan terhadap data pasien keluar RS pada sekitar 750 juta rawat-inap di Amerika Serikat selama kurun waktu 22 tahun mengidentifikasi 10.319.418 kasus sepsis. Sepsis lebih banyak pada pria dibandingkan wanita (mean annual relative risk, 1,28 [95 percent confidence interval, 1,24 sampai 1,32]) dan di kalangan penduduk bukan kulit putih lebih banyak dibandingkan orang kulit putih (mean annual relative risk, 1,90 [95 percent confidence interval, 1.81 sampai 2.00]). Antara 1979 dan 2000, terdapat peningkatan setiap tahun dalam insiden sepsis sebesar 8,7 % dari sekitar 164.000 kasus(82,7 per 100,000 penduduk) menjadi hampir 660.000 kasus (240,4 per 100.000 penduduk).

Angka kejadian sepsis karena infeksi jamur meningkat sebesar 207 %. Bakteri gram-positif menjadi patogen paling menonjol setelah 1987. Angka kematian total di RS menurun dari 27,8 % selama kurun waktu 1979 sampai 1984 menjadi 17,9 % selama kurun waktu 1995 sampai 2000, namun jumlah kematian total terus meningkat. Mortalitas paling tinggi pada penduduk kulit hitam. Gagal organ menambah tinggi angka mortalitas, dengan perbaikan temporal dalam survival di antara pasien dengan < 3 organ yang gagal. Lama rawat-inap menurun, dan angka perpindahan ke bangsal non-akut bertambah.

Di Amerika Serikat, ditaksir ada 700.000 kasus sepsis setiap tahun, yang mengakibatkan lebih dari 210.000 kematian; jumlah ini merupakan 10% dari semua kematian per tahun dan melewati angka kematian yang disebabkan infark miokard. Kombinasi gagal ginjal akut dan sepsis menghasilkan mortalitas 70 %, dibandingkan 45 % mortalitas pada pasien gagal ginjal akut tanpa sepsis

Kesimpulan. insiden sepsis dan jumlah penduduk yang meninggal akibat sepsis semakin meningkat, walaupun case

Page 14: Sepsis

9

fatality rate menurun. Ada perbedaan antar ras dan antara pria dan wanita dalam kekerapan sepsis. Bakteri gram-positif dan jamur merupakan penyebab sepsis yang semakin bertambah dari sepsis.

Referensi:

1. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, and Moss M. The Epidemiology of Sepsis in the United States from 1979 through 2000 NEJM 2003 (348):1546-1554

2. Schrier RW, and Wang W, Acute Renal Failure and Sepsis NEJM 2004.(351):159-169

Page 15: Sepsis

PATOFISIOLOGI Kondisi patologis karena peradangan tidak terkontrol?

Teori yang terbanyak dianut adalah sepsis merupakan respon radang yang tidak terkontrol.3,4,5 Lewis Thomas mempopulerkan konsep ini ketika ia menulis " kuman yang dalam tubuh kita seharusnya . malah lebih sebagai penonton. respon tubuh terhadap keberadaan kuman inilah yang membuat sakit. Bala tentara yang memerangi bakteri demikian kuat.sehingga mereka justru lebih berbahaya daripada musuh."6

Konsensus yang diperoleh dari suatu konferensi ilmiah mendefinisikan sepsis sebagai "the systemic inflammatory response syndrome that occurs during infection."3 Berbagai uji klinik telah dilakukan terhadap obat-obat yang menghambat kaskade peradangan (the inflammatory cascade) — kortikosteroid,7 antibodi antiendotoxin 8 antagonis tumor necrosis factor (TNF- ) ,9,10 antagonis reseptor interleukin-1ß,11 dan obat-obat lain.12 Kegagalan obat anti-inflamasi membuat para peneliti bertanya-tanya apakah betul kematian pada pasien sepsis diakibatkan oleh peradangan yang tidak terkendali .4,13,14,15 Uji klinik pada tatalaksana sepsis sangat sukar karena beraneka ragamnya pasien dan tinggi nya angka sepsis dengan kultur negatif. Interpretasi menjadi sulit karena analisis dari outcome menghasilkan stratifikasi post hoc yang sebelumnya tidak didefinisikan.

Teori yang menyatakan bahwa kematian disebabkan oleh sistem imun yang mengalami stimulasi berlebihan didasarkan atas kajian hewan yang belum tentu mencerminkan gambaran klinis pada manusia.16,17,18 Kajian-kajian ini menggunakan dosis besar endotoksin atau bakteri; konsekuensinya kadar sitokin dalam sirkulasi, misal tumor necrosis factor (TNF- ) lebih tinggi dibanding pada pasien sepsis.17 Pada kajian-kajian ini, hewan mati akibat kebanyakan sitokin ("cytokine storm"), sementara senyawa-senyawa dan makromolekul yang menghambat mediator ini meningkatkan survival.16,17,18

10

Page 16: Sepsis

Pada bentuk-bentuk tertentu dari sepsis —sebagai contoh, meningococcemia — kadar TNF- sirkulasi begitu tinggi dan berkorelasi dengan mortalitas.19,20 Dari 55 anak dengan purpura infeksi berat (32 diantaranya dengan infeksi Neisseria meningitidis), 91 persen memiliki kadar TNF- sirkulasi yang tinggi.19 Namun. beberapa kajian telah memperlihatkan bahwa frekuensi dari respon sistemik yang berlebihan lebih rendah daripada yang diperkirakan sebelumnya.21,22,23,24 Debets dkk melaporkan hanya 11 dari 43 pasien dengan kadar TNF- yang bisa dideteksi dalam sirkulasi (batas deteksi, 5 sampai 10 pg per milliliter).21 Pada suatu kajian lain terhadap 87 pasien sepsis, kurang dari 10 persen yang memiliki kadar TNF- atau interleukin-1ß.terdeteksi dalam sirkulasi 22,23

Walaupun sitokin-sitokin dijadikan "kambing hitam" , mereka memiliki efek bermanfaat pada sepsis. Kajian pada hewan dengan peritonitis menunjukkan bahwa penghambatan TNF- memperburuk survival.25,26 Imunoterapi kombinasi terhadap reseptor TNF- interleukin-1ß berakibat fatal pada sepsis neutropenik .27 Pada beberapa uji klinik, antagonis TNF- meningkatkan mortalitas.9 Peran TNF- dalam melawan infeksi ditegaskan baru-baru ini oleh temuan bahwa sepsis dan komplikasi infeksi lain terjadi pada pasien-pasien artritis reumatoid yang diterapi dengan antagonis TNF- .28

Silang pendapat tentang manfaat dari penghambatan sitokin pada pasien sepsis dihangatkan kembali oleh suatu uji klinik baru-baru ini yang menunjukkan bahwa sekelompok pasien sepsis yang diberi terapi antagonis TNF- memiliki survival lebih besar.19 Juga meta-analisis dari uji klinik obat anti-inflamasi pada pasien sepsis memperlihatkan walaupun dosis tinggi umumnya merugikan pada pasien demikian, suatu subkelompok pasien (kira-kira 10%) memperoleh manfaat.13

Kemajuan-kemajuan dalam pemahaman kita tentang lintasan sinyal sel yang menjadi perantara respon terhadap mikroba telah menunjukkan bahwa konsep penghambatan endotoksin untuk mencegah komplikasi sepsis mungkin terlalu sederhana. Sel sistem imun mengenali mikro-organisme dan mencetuskan respon melalui reseptor pengenal pola( pattern-recognition receptors) yang dinamakan toll-like receptors (TLRs)30,21,32 Wacana tentang peran TLR dalam melawan infeksi berasal dari kajian mencit C3H/HeJ .30 Mencit ini resisten terhadap

11

Page 17: Sepsis

endotoksin karena mutasi pada gen toll-like receptor 4 (TLR4). Walaupun resisten terhadap endotoksin, mencit ini memiliki mortalitas yang meningkat pada sepsis.33,34 Mutasi TLR4 telah diidentifikasi pada manusia dan mungkin membuat manusia lebih rentan terhadap infeksi .35 Oleh karena itu, walaupun endotoksin memiliki efek merugikan. penghambatan total terhadap endotoksin juga bisa merusak. Sebab-sebab kegagalan antibodi antiendotoksin monoklonal dalam memperbaiki prognosis pada uji klinik pasien sepsis bersifat kompleks.36

Kegagalan sistem imun?

Pasien sepsis memiliki gambaran yang konsisten dengan imunosupresi, termasuk hilangnya hipersensitivitas lambat, ketidakmampuan mengatasi infeksi, dan predisposisi untuk terjadi infeksi nosokomial.37,38,39 Satu alasan untuk gagalnya strategi anti-inflamasi pada pasien sepsis mungkin adanya perubahan dari sindroma dengan berlalunya waktu. Mula-mula sepsis ditandai oleh peningkatan jumlah mediator radang; tetapi ketika sepsis menetap terjadi pergeseran menuju keadaan anti-inflamasi imunosupresif.38,39 Terdapat bukti imunosupresi pada sepsis dari kajian-kajian yang memperlihatkan bahwa darah pasien sepsis yang distimulasi lipopolisakarida melepaskan lebih sedikit TNF- dan interleukin-1ß dibandingkan pasien kontrol.40 Imunosupresi yang diinduksi sepsis dipulihkan dengan pemberian interferon- pada pasien sepsis.41 Imunostimulan ini memulihkan

produksi TNF- oleh makrofag dan meningkatkan survival.41

Mekanisme supresi imun pada Sepsis

Pergeseran ke sitokin anti-inflamasi

Sel T CD4 teraktivasi diprogram untuk mensekresi sitokin yang memiliki salah satu dari dua profil berbeda dan berlawanan.42,53 Sel T CD4 ini mensekresi sitokin dengan sifat:

1. pro-inflamasi ( helper T-cell tipe 1 [Th1]) , meliputi TNF- , interferon- , and interleukin-2, dan

2. bisa juga sitokin dengan sifat anti-inflamasi ( helper T-cell tipe 2[Th2]) — sebagai contoh, interleukin-4 and interleukin-10.(Gambar 1)

12

Page 18: Sepsis

Faktor-faktor yang menentukan apakah sel T CD4 memiliki respon Th1 atau Th 2 tidak diketahui, tetapi ada kemungkinan dipengaruhi oleh jenis patogen dan ukuran inokulum bakteri, dan tempat infeksi .42

Sel mononuklir dari pasien luka bakar atau trauma memiliki kadar sitokin Th1 rendah, namun kadar sitokin Th2 tinggi( interleukin-4 and interleukin-10). Pemulihan respon Th2 memperbaiki survival pada pasien sepsis.38,33 Kajian lain telah menunjukkan bahwa kadar interleukin-10 meningkat pada pasien sepsis dan kadar ini memprediksi mortalitas.43,45

Gambar 1. Respon terhadap patogen, melibatkan interaksi antara berbagai sel imun, antara lain makrofag, sel dendritik, dan sel T CD4. M akrofag dan sel dendritik diaktifkan oleh bakteri yang masuk tubuh dan dengan perangsangan melalui sitokin(misal., interferon- ) yang disekresi oleh sel T CD4. Cara lain adalah, sel T CD4 yang memiliki profil anti-inflamasi (type 2 helper T cells [Th2]) mensekresi interleukin-10, yang menekan aktivas makrofag. Sel T CD4 T menjadi teraktivas dengan stimulasi melalui makrofag atau sel dendritik. Sebagai contoh, makrofag dan sel dendritik mensekresi interleukin-12, yang mengaktifkan sel T CD4 untuk mensekresi sitokin pro-inflamasi(type 1 helper T-cell [Th1]) . Tergantung pada banyak faktor (misal.,jenis kuman dan tempat infeksi), makrofag dan sel dendritik akan

13

Page 19: Sepsis

14

merespon dengan menginduksi sitokin pro-inflamsi dan anti-inflamasi atau menyebabkan pengurangan global dari produksi sitokin (anergi). Makrofag atau sel dendritik yang sebelumnya telah menelan sel-sel nekrotik akan menginduksi profil sitokin pro-inflamasi (Th1). Ingesti sel-sel apoptosis bisa menginduksi profil sitokin anti-inflamasi atau profil anergi. Tanda + menunjukkan regulasi ke atas, dan tana - menunjukkan regulasi ke bawah;pada kasus di mana terlihat kedua tanda + atau - , dapat terjadi up-regulation ataupun down-regulationtergantung pada berbagai faktor.

Anergi

Anergi adalah status ketidaktanggapan (unresponsiveness) terhadap antigen. Sel T dikatakan anergik jika gagal berproliferasi atau mensekresi sitokin sebagai respon terhadap antigen spesifik. Heidecke dkk. memeriksa fungsi sel T pada pasien dengan peritonitis dan mendapatkan bahwa pasien mengalami penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi sitokin Th2 ; keadaan ini menunjukkan anergi.46 Kegagalan proliferasi sel T dan sekresi sitokin berkorelasi dengan mortalitas.46 Pasien trauma dan luka bakar memiliki kadar sel T sirkulasi yang menurun dan sel T yang bertahan hidup ini bersifat anergik.47

Kematian sel secara apoptosis dapat memicu anergi yang diinduksi sepsis. Walaupun biasa diyakini bahwa kematian sel disebabkan nekrosis, penelitian terbaru telah memperlihatkan bahwa sel bisa mati dengan apoptosis— kematian sel yang diprogram secara genetik. Pada apoptosis sel "bunuh diri" melalui aktivasi enzim protease yang menguraikan sel.48,49 Banyak limfosit dan sel epitel saluran cerna mati dengan apoptosis selama sepsis.50,51,52 Mekanisme yang mungkin dari apoptosis limfosit adalah pelepasan glukokortikoid yang diinduksi stres.53,54 Jenis kematian sel menentukan fungsi imunologis dari sel-sel imun yang selamat.55,56,57 Sel-sel yang apoptotik menginduksi anergi atau sitokin yang mengganggu respon terhadap patogen, sedangkan sel-sel nekrotik menyebabkan stimulasi sistem imun dan meningkatkan pertahanan melawan bakteri .55,56,57

Kematian sel-sel imun

Kajian otopsi pada orang yang meninggal karena sepsis mengungkapkan banyak kehilangan sel-sel sistem imun secara progresif dengan apoptosis50,51,52 Walaupun sel T CD8, sel-sel natural killer atau makrofag tidak hilang, sepsis mengurangi

Page 20: Sepsis

15

kadar sel B , sel T CD4 , dan sel dendritik secara bermakna. Hilangnya limfosit dan sel dendritik penting,karena terjadi selama infeksi yang mengancam jiwa, yakni saat ekspansi klonal limfosit dibutuhkan.............................. Derajat hilangnya limfosit akibat apoptosis selama sepsis jelas terlihat pada pemeriksaan hitung limfosit sirkulasi pada pasien.50 Pada satu kajian, 15 dari 19 pasien sepsis memiliki hitung limfosit absolut di bawah batas bawah normal(nilai mean [±SD] 500±270 per mm3 vs. batas bawah normal 1200 per mm3. Hilangnya sel B, sel T CD4 , dan sel dendritik masing-masing mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag dan presentasi antigen. Pencegahan apoptosis limfosit pada kajian hewan memperbaiki survival.58,59,60,61 Defek imun yang diidentifikasi pada pasien sepsis , termasuk disfungsi monosit 41,62,63 tercantum pada Tabel .

Tabel l. Mekanisme potensial dari Supresi Imun pada Pasien Sepsis Pergeseran (shift) dari respon inflamasi (Th 1) ke respon anti-inflamasi (Th2)

Anergi

Menghilangnya sel T CD4, sel B dan sel dendritik yang diinduksi oleh apoptosis

Menghilangnya ekspresi MHC clas II makrofag dan molekul ko-stimulatorik

Efek imunosuoresi dari sel apoptotik Th 1 = helper cell tipe 1; Th2 = helper cell tipe 2

Kajian Ulang terhadap teori Lewis Thomas

Banyak peneliti menentang teori Lewis 6 yang menyatakan bahwa respon primer tubuh terhadap infeksi dan jejas adalah hiperinflamasi yang tidak terkendali.4,13,14,64 Munford dan Pugin bersikukuh bahwa respon stres normal tubuh adalah aktivasi mekanisme anti-inflamasi. Di luar jaringan yang diserang, respon sistemik yang paling menonjol adalah anti-inflamasi.64

Page 21: Sepsis

Mereka mengemukakan bahwa sel-sel imun dan sitokin memiliki peran patogenik maupun protektif. Penghambatan terhadap mediator-mediator ini bisa memperburuk outcome 64 Heidecke dkk. memeriksa fungsi sel T pada pasien sepsis dan melaporkan bahwa imunosupresi terbukti pada onset sepsis. Ini memberi kesan respon hipoimun primer.46

Weighardt dkk memeriksa produksi sitokin oleh monosit yang diinduksi lipopolisakarida pada pasien sepsis, setelah pembedahan saluran cerna 65 Sepsis pasca bedah yang diikuti oleh: defek produksi sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-inflamasi oleh monosit . Survival berkorelasi dengan pulihnya respon inflamasi bukan respon anti-inflamasi.65 Para peneliti ini menyimpulkan bahwa imunosupresi lebih merupakan respon primer ketimbang respon kompensatorik terhadap sepsis.65 Peneliti-peneliti lain mengemukakan hipotesis respon sekuensial terhadap sepsis. Inflamasi yang mencolok pada awal, disusul dengan imunosupresi.14,38,39

Table 2. Mediator Pro-inflamasi dan Anti-inflamasi pada Sepsis

Mediator Pro-Inflamasi Mediator Anti-inflamasi TNF- IL-1ß IL-6 (yang dilepas dari makrofag aktif) IL-8 PAF Leukotrien Thromboxane A2

IL-receptor antagonist

IL-4

IL-10

Faktor genetik hospes

16

Dari kajian kembar identik dan anak angkat, faktor-faktor genetik diketahui sebagai penentu kerentanan akibat penyakit infeksi.66 Sebagian orang mengalami perubahan pasangan basa tunggal (single base-pair alteration) (single-nucleotide polymorphisms) dalam gen yang mengatur respon hospes terhadap mikroba.67,68,69 Perubahan-perubahan yang

Page 22: Sepsis

diidentifikasi mencakup polimorfisme dalam reseptor TNF receptors, reseptor interleukin-1 , reseptor Fc, dan TLRs.67,68,69 Polimorfisme dalam gen sitokin dapat menentukan konsentrasi sitokin hiperinflamasi atau hipoinflamasi yang diproduksi. Ini bisa mempengaruhi apakah seseorang mengalami respon hiper-inflamasi atau hipo-inflamasi mencolok terhadap infeksi . Risiko kematian pada pasien sepsis telah dikaitkan dengan polimorfisme genetik untuk TNF- - and TNF- . 69 Uji klinik yang memeriksa efek polimorfisme pada pasien pneumonia dan sepsis sedang berlangsung. Polimorfisme demikian bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi untuk terjadinya sepsis dan disfungsi organ selama infeksi. Dengan demikian, di masa depan klinisi bisa menggunakan informasi genetik untuk mengatur terapi imunologis untuk memodulasi respon pada pasien secara individual.

Peran Neutrofil

Neutrofil telah dipandang sebagai pedang bermata dua pada sepsis. Walaupun dulu neutrofil dianggap esensial untuk eradikasi patogen, pelepasan oksidan dan protease oleh neutrofil juga diyakini bertanggung jawab atas kerusakan organ. Karena sekuestrasi neutrofil di paru-paru dan seringnya komplikasi ARDS pada pasien dengan sepsis, hubungan antara aktivasi neutrofil yang berlebihan dan kerusakan organ dianggap mengenai paru secara khusus.70 Walaupun temuan hewan menyiratkan kerusakan jaringan disebabkan neutrofil , kajian-kajian lain yang menggunakan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) memperlihatkan survival lebih baik pada pasien sepsis. (Catatan: G-CSF meningkatkan jumlah neutrofil dan meningkatkan fungsinya)

Dua uji acak G-CSF dilaksanakan pada pasien dengan community-acquired dan hospital-acquired pneumonia.71,72 Kendati ada peningkatan hitung leukosit sampai 70.000 /mm3, tidak ada bukti merugikan terhadap fungsi paru pasien dengan community-acquired pneumonia.71 Walaupun satu subkelompok pasien pneumonia memiliki komplikasi lebih sedikit dan masa rawat di ICU lebih singkat dengan G-CSF, tidak ada perbaikan dalam survival. Serupa halnya, pasien rawat-inap dengan community-acquired atau nosocomial pneumonia yang diterapi dengan G-CSF tidak memperlihatkan manfaat terhadap survival, tidak ada pengurangan dalam

17

Page 23: Sepsis

18

disfungsi organ dan tak ada penurunan dalam masa rawat di ICU.72

Walaupun leukositosis mencolok yang disebabkan G-CSF tidak merusak, dua uji klinis ini menyiratkan bahwa penghambatan fungsi neutrofil untuk mencegah komplikasi sepsis memiliki kemungkinan kecil untuk bermanfaat. Lebih dari itu, terapi yang ditujukan untuk menambah jumlah atau fungsi neutrofil pada pasien sepsis juga kecil kemungkinannya untuk memberi manfaat.

Pelajaran dari kajian otopsi

Kajian otopsi pada pasien-pasien yang meninggal di ICU memperlihatkan bahwa kegagalan mendiagnosis dan mengatasi infeksi dengan antibiotik atau drainase bedah merupakan penyebab kesalahan terbanyak. Ini sebenarnya bisa dihindarkan.73,74 Kajian biopsi dilakukan terhadap 20 pasien yang meninggal di ICU50; izin periksa mayat diperoleh segera setelah pasien meninggal, sehingga jaringan didapat dalam 30 sampai 90 menit setelah meninggal; Ini memungkinkan penilaian morfologi jaringan sebelum terjadi perubahan-perubahan otolisis. Otopsi juga dilakukan pada kelompok kontrol yang terdiri atas pasien-pasien yang meninggal karena sakit kritis namun tanpa sepsis. Analisis histokimia memperlihatkan bahwa pada mayoritas pasien dengan sepsis, hanya dua jenis sel— limfosit dan sel epitel saluran cerna yang sekarat; temuan ini selaras dengan kajian hewan.39,54,75 Sebagaimana diperhatikan sebelumnya, terjadi kehilangan sel-sel sistem imun. Limfosit dan sel epitel saluran cerna normal mengalami pergantian cepat melalui apoptosis; dan sepsis mempercepat proses fisiologis ini. Nekrosis fokal terjadi di sel-sel hati di kawasan vena sentral (diduga karena daerah ini rentan terhadap hipoksia) pada 7 dari 20 pasien. Otak dan jantung pada 3 pasien yang terbukti mengalaii infark sebelum meninggal.

Hibernasi Sel sebagai Mekanisme Disfungsi Organ

Temuan lain yang aneh dari kajian otopsi adalah ketidaksesuaian antara temuan histologis dan derajat disfungsi organ yang terlihat pada pasien yang meninggal karena sepsis.50 Kematian sel dalam jantung, ginjal, hati dan paru

Page 24: Sepsis

19

relatif minor dan tidak mencerminkan bukti klinik dari disfungsi organ yang mencolok. Tidak terdapat bukti jejas ke otot jantung pada pasien sepsis yang mengalami depresi miokard. (Tak ada pasien yang mengidap meningococcemia, yang menyebabkan miokarditis dengan infiltrasi organisme dan granulosit). Temuan histologis pada pasien sepsis dan gagal ginjal akut memperlihatkan hanya jejas fokal sedangkan glomerulus dan tubulus masih utuh.50 Hasil ini serupa dengan kajian pada pasien dengan gagal ginjal akut. Di sini mikroskopi memperlihatkan derajat nekrosis tubulus tidak sesuai dengan tingkat disfungsi ginjal.76,77 Sebagian besar pasien yang selamat dari sepsis dan gagal ginjal akut mengalami pemulihan dari fungsi ginjal ke tingkat asal. Ini memberi kesan bahwa kematian sel ginjal tidak menonjol selama sepsis.78

Banyak disfungsi organ pada pasien sepsis bisa dijelaskan dengan " hibernasi sel" atau"cell stunning," sebagaimana terjadi selama iskemia miokard 79 Ada dugaan, sepsis mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh yang menyebabkan proses sel berkurang sampai basal. Fink dkk.,80 memperlihatkan bahwa enterosit yang mengalami stimulasi imun telah mengurangi konsumsi oksigen sebagai akibat deplesi NAD (nicotinamide adenine dinucleotide). Ini terjadi sekunder terhadap aktivasi enzim inti sel poly–adenosine diphosphate (ADP)–ribose polymerase oleh peroksinitrit dan oksidan-oksidan lain.

Kematian dari Pasien Sepsis

Tak ada kajian otopsi telah mengungkap mengapa pasien sepsis meninggal. Sebagian pasien sepsis meninggal karena syok refrakter, namun ini suatu pengecualian. Walaupun pasien sepsis mengalami depresi miokard yang dalam, biasanya curah jantung dipertahankan oleh dilatasi jantung dan takikardia.81 Walaupun ARDS (acute respiratory distress syndrome) sering berkembang pada pasien sepsis, pasien demikian jarang meninggal karena hipoksemia atau hiperkarbia.82 Gagal ginjal lazim dijumpai, namun jika hanya sendiri tidak fatal, karena bisa digunakan dialisis. Disfungsi hati jarang berlanjut sampai ensefalopati hepatik. Dengan demikian, sebab kematian yang tepat pada pasien sepsis masih kabur. Banyak pasien meninggal bila perawatan diputus

Page 25: Sepsis

20

atau tidak ditingkatkan, ketika keluarga pasien merasa tidak ada gunanya melanjutkan terapi.

Disadur dan Diterjemahkan dari Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. New England Journal Of Medicine.Volume 348:138-150 January 9, 2003 Number 2

Referensi:

1. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med 2001;29:1303-1310.

2. Murphy SL. Deaths: final data for 1998. National vital statistics report. Vol. 48. No. 11. Hyattsville, Md.: National Center for Health Statistics, 2000. (DHHS publication no. (PHS) 2000-1120 0-0487.)

3. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Chest 1992;101:1644-1655.

4. Warren HS. Strategies for the treatment of sepsis. N Engl J Med 1997;336:952-953.

5. Stone R. Search for sepsis drugs goes on despite past failures. Science 1994;264:365-367.

6. Thomas L. Germs. N Engl J Med 1972;287:553-555. 7. Bone RC, Fisher CJ Jr, Clemmer TP, et al. A controlled clinical trial

of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 1987;317:653-658.

8. Ziegler EJ, Fisher CJ Jr, Sprung CL, et al. Treatment of gram-negative bacteremia and septic shock with HA-1A human monoclonal antibody against endotoxin: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. N Engl J Med 1991;324:429-436.

9. Fisher CJ Jr, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock with the tumor necrosis factor receptor:Fc fusion protein. N Engl J Med 1996;334:1697-1702.

10. Abraham E, Wunderink R, Silverman H, et al. Efficacy and safety of monoclonal antibody to human tumor necrosis factor alpha in patients with sepsis syndrome: a randomized, controlled, double-blind, multicenter clinical trial. JAMA 1995;273:934-941

11. Fisher CJ Jr, Slotman GJ, Opal SM, et al. Initial evaluation of human recombinant interleukin-1 receptor antagonist in the treatment of sepsis syndrome: a randomized, open-label, placebo-controlled multicenter trial. Crit Care Med 1994;22:12-21.

12. Bernard GR, Wheeler AP, Russell JA, et al. The effects of ibuprofen on the physiology and survival of patients with sepsis. N Engl J Med 1997;336:912-918.

13. Zeni F, Freeman BF, Natanson C. Anti-inflammatory therapies to treat sepsis and septic shock: a reassessment. Crit Care Med 1997;25:1095-1100.

14. Natanson C, Hoffman WD, Suffredini AF, Eichacker PQ, Danner RL. Selected treatment strategies for septic shock based on proposed mechanisms of pathogenesis. Ann Intern Med 1994;120:771-783

Page 26: Sepsis

21

15. Nelson S. A question of balance. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:1365-1367.

16. Fink MP, Heard SO. Laboratory models of sepsis and septic shock. J Surg Res 1990;49:186-196

17. Deitch EA. Animal models of sepsis and shock: a review and lessons learned. Shock 1998;9:1-11.

18. O'Reilly M, Newcomb DE, Remick D. Endotoxin, sepsis, and the primrose path. Shock 1999;12:411-420.

19. Girardin E, Grau GE, Dayer J-M, Roux-Lombard P, J5 Study Group, Lambert PH. Tumor necrosis factor and interleukin-1 in the serum of children with severe infectious purpura. N Engl J Med 1988;319:397-400.

20. Hatherill M, Tibby SM, Turner C, Ratnavel N, Murdoch IA. Procalcitonin and cytokine levels: relationship to organ failure and mortality in pediatric septic shock. Crit Care Med 2000;28:2591-2594.

21. Debets JMH, Kampmeijer R, van der Linden MPMH, Buurman WA, van der Linden CJ. Plasma tumor necrosis factor and mortality in critically ill septic patients. Crit Care Med 1989;17:489-494.

22. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling -- regulation of the immune response in normal and critically ill states. Crit Care Med 2000;28:Suppl:N3-N12

23. Pruitt JH, Welborn MB, Edwards PD, et al. Increased soluble interleukin-1 type II receptor concentrations in postoperative patients and in patients with sepsis syndrome. Blood 1996;87:3282-3288.

24. Rogy MA, Coyle SM, Oldenburg HS, et al. Persistently elevated soluble tumor necrosis factor receptor and interleukin-1 receptor antagonist levels in critically ill patients. J Am Coll Surg 1994;178:132-138.

25. Eskandari MK, Bolgos G, Miller C, Nguyen DT, DeForge LE, Remick DG. Anti-tumor necrosis factor antibody therapy fails to prevent lethality after cecal ligation and puncture or endotoxemia. J Immunol 1992;148:2724-2730.

26. Echtenacher B, Weigl K, Lehn N, Mannel DN. Tumor necrosis factor-dependent adhesions as a major protective mechanism early in septic peritonitis in mice. Infect Immun 2001;69:3550-3555.

27. Opal SM, Cross AS, Jhung JW, et al. Potential hazards of combination immunotherapy in the treatment of experimental septic shock. J Infect Dis 1996;173:1415-1421.

28. Keane J, Gershon S, Wise RP, et al. Tuberculosis associated with infliximab, a tumor necrosis factor -neutralizing agent. N Engl J Med 2001;345:1098-1104.

29. Reinhart K, Karzai W. Anti-tumor necrosis factor therapy in sepsis: update on clinical trials and lessons learned. Crit Care Med 2001;29:Suppl:S121-S125.

30. Modlin RL, Brightbill HD, Godowski PJ. The toll of innate immunity on microbial pathogens. N Engl J Med 1999;340:1834-1835.[Full Text]

31. Vasselon T, Detmers PA. Toll receptors: a central element in innate immune responses. Infect Immun 2002;70:1033-1041.

32. Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of microbe detection. Curr Opin Immunol 2002;14:103-110.

33. Hagberg L, Briles DE, Eden CS. Evidence for separate genetic defects in C3H/HeJ and C3HeB/FeJ mice, that affect susceptibility to gram-negative infections. J Immunol 1985;134:4118-4122

Page 27: Sepsis

22

34. Hotchkiss RS, Swanson PE, Knudson CM, et al. Overexpression of Bcl-2 in transgenic mice decreases apoptosis and improves survival in sepsis. J Immunol 1999;162:4148-4156.

35. Arbour NC, Lorenz E, Schutte BC, et al. TLR4 mutations are associated with endotoxin hyporesponsiveness in humans. Nat Genet 2000;25:187-191.

36. Warren HS, Amato SF, Fitting C, et al. Assessment of ability of murine and human anti-lipid A monoclonal antibodies to bind and neutralize lipopolysaccharide. J Exp Med 1993;177:89-97.

37. Meakins JL, Pietsch JB, Bubenick O, et al. Delayed hypersensitivity: indicator of acquired failure of host defenses in sepsis and trauma. Ann Surg 1977;186:241-250

38. Lederer JA, Rodrick ML, Mannick JA. The effects of injury on the adaptive immune response. Shock 1999;11:153-159.

39. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Sepsis syndromes: understanding the role of innate and acquired immunity. Shock 2001;16:83-96.

40. Ertel W, Kremer J-P, Kenney J, et al. Downregulation of proinflammatory cytokine release in whole blood from septic patients. Blood 1995;85:1341-1347.

41. Docke WD, Randow F, Syrbe U, et al. Monocyte deactivation in septic patients: restoration by IFN-gamma treatment. Nat Med 1997;3:678-681.

42. Abbas AK, Murphy KM, Sher A. Functional diversity of helper T lymphocytes. Nature 1996;383:787-793

43. Opal SM, DePalo VA. Anti-inflammatory cytokines. Chest 2000;117:1162-1172.

44. O'Sullivan ST, Lederer JA, Horgan AF, Chin DHL, Mannick JA, Rodrick ML. Major injury leads to predominance of the T helper-2 lymphocyte phenotype and diminished interleukin-12 production associated with decreased resistance to infection. Ann Surg 1995;222:482-492

45. Gogos CA, Drosou E, Bassaris HP, Skoutelis A. Pro- versus anti-inflammatory cytokine profile in patients with severe sepsis: a marker for prognosis and future therapeutic options. J Infect Dis 2000;181:176-180.

46. Heidecke C-D, Hensler T, Weighardt H, et al. Selective defects of T lymphocyte function in patients with lethal intraabdominal infection. Am J Surg 1999;178:288-292.

47. Pellegrini JD, De AK, Kodys K, Puyana JC, Furse RK, Miller-Graziano C. Relationships between T lymphocyte apoptosis and anergy following trauma. J Surg Res 2000;88:200-206.

48. Raff M. Cell suicide for beginners. Nature 1998;396:119-122. 49. Haslett C, Savill J. Why is apoptosis important to clinicians? BMJ

2001;322:1499-1500. 50. Hotchkiss RS, Swanson PE, Freeman BD, et al. Apoptotic cell death

in patients with sepsis, shock, and multiple organ dysfunction. Crit Care Med 1999;27:1230-1251.

51. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Sepsis-induced apoptosis causes progressive profound depletion of B and CD4+ T lymphocytes in humans. J Immunol 2001;166:6952-6963.

52. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Depletion of dendritic cells, but not macrophages, in patients with sepsis. J Immunol 2002;168:2493-2500.

Page 28: Sepsis

23

53. Fukuzuka K, Edwards CK III, Clare-Salzler M, Copeland EM III, Moldawer LL, Mozingo DW. Glucocorticoid-induced, caspase-dependent organ apoptosis early after burn injury. Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 2000;278:R1005-R1018.

54. Ayala A, Herdon CD, Lehman DL, DeMaso CM, Ayala CA, Chaudry IH. The induction of accelerated thymic programmed cell death during polymicrobial sepsis: control by corticosteroids but not tumor necrosis factor. Shock 1995;3:259-267.

55. Green DR, Beere HM. Apoptosis: gone but not forgotten. Nature 2000;405:28-29.

56. Voll RE, Herrmann M, Roth EA, Stach C, Kalden JR, Girkontaite I. Immunosuppressive effects of apoptotic cells. Nature 1997;390:350-351.

57. Fadok VA, Bratton DL, Rose DM, Pearson A, Ezekewitz RA, Henson PM. A receptor for phosphatidylserine-specific clearance of apoptotic cells. Nature 2000;405:85-90.

58. Chung CS, Xu YX, Wang W, Chaudry IH, Ayala H. Is Fas ligand or endotoxin responsible for mucosal lymphocyte apoptosis in sepsis? Arch Surg 1998;133:1213-1220.[Abstract/Full Text]

59. Oberholzer C, Oberholzer A, Bahjat FR, et al. Targeted adenovirus-induced expression of IL-10 decreases thymic apoptosis and improves survival in murine sepsis. Proc Natl Acad Sci U S A 2001;98:11503-11508]

60. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Prevention of lymphocyte cell death in sepsis improves survival in mice. Proc Natl Acad Sci U S A 1999;96:14541-14546

61. Hotchkiss RS, Chang KC, Swanson PE, et al. Caspase inhibitors improve survival in sepsis: a critical role of the lymphocyte. Nat Immunol 2000;1:496-501.

62. Manjuck J, Saha DC, Astiz M, Eales LJ, Rackow EC. Decreased response to recall antigens is associated with depressed costimulatory receptor expression in septic critically ill patients. J Lab Clin Med 2000;135:153-160.

63. Ertel W, Morrison MH, Ayala A, Dean RE, Chaudry IH. Interferon-gamma attenuates hemorrhage-induced suppression of macrophage and splenocyte functions and decreases susceptibility to sepsis. Surgery 1992;111:177-187.

64. Munford RS, Pugin J. Normal responses to injury prevent systemic inflammation and can be immunosuppressive. Am J Respir Crit Care Med 2001;163:316-321.

65. Weighardt H, Heidecke C-D, Emmanuilidis K, et al. Sepsis after major visceral surgery is associated with sustained and interferon--resistant defects of monocyte cytokine production. Surgery 2000;127:309-315.

66. Sørensen TIA, Nielsen GG, Andersen PK, Teasdale TW. Genetic and environmental influences on premature death in adult adoptees. N Engl J Med 1988;318:727-732.

67. van Deventer SJ. Cytokine and cytokine receptor polymorphisms in infectious disease. Intensive Care Med 2000;26:Suppl 1:S98-S102.

68. van der Pol WL, Huizinga TW, Vidarsson G, et al. Relevance of Fcgamma receptor and interleukin-10 polymorphisms for meningococcal disease. J Infect Dis 2001;184:1548-1555.

69. Freeman BD, Buchman TG. Gene in a haystack: tumor necrosis factor polymorphisms and outcome in sepsis. Crit Care Med 2000;28:3090-3091.

Page 29: Sepsis

24

70. Kollef MH, Schuster DP. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med 1995;332:27-37.

71. Nelson S, Belknap SM, Carlson RW, et al. A randomized controlled trial of filgrastim as an adjunct to antibiotics for treatment of hospitalized patients with community-acquired pneumonia. J Infect Dis 1998;178:1075-1080.

72. Root RK, Marrie TJ, Lodato RF, et al. A multicenter, double-blind, placebo-controlled study of the use of filgrastim in patients hospitalized with pneumonia and severe sepsis. Crit Care Med (in press).

73. Mort T, Yeston NS. The relationship of pre mortem diagnoses and post mortem findings in a surgical intensive care unit. Crit Care Med 1999;27:299-303.

74. Blosser SA, Zimmerman HE, Stauffer JL. Do autopsies of critically ill patients reveal important findings that were clinically undetected? Crit Care Med 1998;26:1332-1336.

75. Hotchkiss RS, Swanson PE, Cobb JP, Jacobson A, Buchman TG, Karl IE. Apoptosis in lymphoid and parenchymal cells during sepsis: findings in normal and T- and B-cell-deficient mice. Crit Care Med 1997;25:1298-1307.

76. Weinberg JM, Venkatachalam MA. Guanine nucleotides and acute renal failure. J Clin Invest 2001;108:1279-1281

77. Solez K, Morel-Maroger L, Sraer JD. The morphology of "acute tubular necrosis" in man: analysis of 57 renal biopsies and a comparison with the glycerol model. Medicine (Baltimore) 1979;58:362-376.

78. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med 1999;340:207-214.

79. Sawyer DB, Loscalzo J. Myocardial hibernation: restorative or preterminal sleep? Circulation 2002;105:1517-1519.

80. Khan AU, Delude RL, Han YY, et al. Liposomal NAD(+) prevents diminished O(2) consumption by immunostimulated Caco-2 cells. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2002;282:L1082-L1091.

81. Parrillo JE. Pathogenetic mechanisms of septic shock. N Engl J Med 1993;328:1471-1477.

82. Bell RC, Coalson JJ, Smith JD, Johanson WG Jr. Multiple organ system failure and infection in adult respiratory distress syndrome. Ann Intern Med 1983;99:293-298.

Page 30: Sepsis

25

SEPSIS NEONATORUM

Pendahuluan: Ada dua kategori sepsis neonatorum, yaitu onset dini (early onset) dan onset lanjut (late onset). 85% bayi baru lahir dengan infeksi onset dini memperlihatkan gejala dalam 24 jam, 5% dalam 24-48 jam. Persentasi kecil terlihat antara 48 jam dan 6 hari setelah lahir. Sepsis paling cepat muncul pada bayi prematur. Sepsis onset dini dikaitkan dengan penularan dari ibu. Infeksi transplasenta atau infeksi asenden dari serviks dapat disebabkan oleh kuman yang berkoloni di traktus genitourinarius ibu. Bayi mendapat infeksi ketika melewati jalan lahir yang dikoloni oleh kuman. Mikro-organisme yang paling sering dikaitkan dengan infeksi onset dini meliputi group B Streptococcus (GBS), Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria monocytogenes.

Sindrom sepsis onset lanjut terjadi pada 7-90 hari kehidupan dan didapat dari lingkungan pengasuh. Organisme yang diduga terlibat meliputi Stafilokokus koagulase-negatif, Staphylococcus aureus, E coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia, Acinetobacter, dan anaerob. Kuman yang berasal dari lingkungan bisa berkoloni di kulit, saluran napas, konjungtiva, saluran cerna dan umbilikus. Vektor untuk kolonisasi demikian dapat mencakup kateter pembuluh darah atau kateter urin, atau kontak dari pengasuh.

Pneumonia lebih banyak dijumpai pada sepsis onset dini , sedang meningitis dan/atau bakteremia lebih sering pada sepsis onset lanjut. Bayi prematur dan sakit rentan untuk sepsis dan gambaran awalnya tidak jelas dan tidak spesifik, sehingga membutuhkan ketelitian agar sepsis bisa di-identifikasi dan diatasi dengan efektif.

Patofisiologi:

Patogen yang terkait dengan sepsis neonatorum telah berubah dalam 50 tahun terakhir. S aureus dan E coli adalah yang paling berbahaya untuk neonatus pada tahun 1950an di

Page 31: Sepsis

26

Amerika Serikat. Kemudian GBS menggeser S aureus sebagai kuman gram positif yang banyak dijumpai, dan menyebabkan sepsis onset dini pada dekade-dekade berikutnya.Selama 1990an, GBS dan E coli terus dikaitkan dengan infeksi neonatal ; tetapi, S aureus koagulase-negatif sekarang diamati lebih sering. Organisme lain, seperti L monocytogenes, Chlamydia pneumonia, Haemophilus influenzae, Enterobacter aerogenes, dan spesies Bacteroides dan Clostridium juga telah diidentifikasi pada sepsis neonatorum.

Meningoensefalitis dan sepsis neonatorum juga bisa disebabkan oleh infeksi adenovirus, enterovirus, atau coxsackievirus. Juga, penyakit hubungan seksual dan penyakit virus antara lain gonorea, sifilis, herpes simplex virus (HSV), cytomegalovirus (CMV), hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis, Trichomonas vaginalis, dan Candida species, semua telah dilaporkan pada sepsis neonatorum. Bakteri yang resisten terhadap antibiotik juga sudah muncul dan mempersulit manajemen sepsis neonatorum. Pola kolonisasi di ruang bayi dicerminkan oleh organisme yang kini dihubungan dengan infeksi nosokomial. Bayi berat lahir rendah dan prematur di unit rawat intensif neonatus semakin rentan terhadap kuman-kuman ini.

Staphylococcus epidermidis, atau stafilokokus koagulase-negatif makin banyak terlihat sebagai penyebab sepsis nosokomial atau onset lanjut, terutama pada bayi prematur. Ini dianggap sebagai sebab utama infeksi onset lanjut pada bayi demikian. Prevalensinya berbanding dengan kesukaan Stafilokokus pada medium plastik yang ditemukan pada kanula dan selang pintas (shunt). Ini mempermudah masuknya kuman melalui kateter umbilikus dan infus. Kapsul bakteri polisakarida melekat ke polimer plastik dari kateter. Perlekatan ini menciptakan kapsul di antara kuman dan kateter, yang mencegah deposisi C3 dan fagositosis. Juga, protein yang dijumpai dalam kuman[AtlE dan SSP-1] menambah perlekatan ke permukaan kateter.

Biofilm terbentuk dari agregasi kuman yang telah memperbanyak diri. Ingus diproduksi di tempat tersebut dari bahan ekstraselular yang dibentuk oleh organisme. Ingus ini merupakan sawar terhadap pertahanan hospes dan dari aksi antibiotik. Oleh karena itu, bisa dilihat bahwa produksi ingus

Page 32: Sepsis

27

menambah kesulitan untuk mengatasi septikemia yang disebabkan stafilokokus koagulase-negatif. Toksin yang dibentuk oleh organisme ini telah dikaitkan dengan enterokolitis nekrotikan. Stafilokokus koagulase-negatif merupakan pencemar tersering dari biakan darah dan cairan serebro-spinal. Oleh karena itu, bisa menjadi indikator palsu dari septikemia.

Respon neonatus terhadap ancaman infeksi tidak efektif. Neutrofil atau sel PMN neonatus yang vital untuk membunuh bakteri, kurang memiliki kapasitas khemotaksis dan membunuh. Kurangnya perlekatan ke lapisan endotel pembuluh darah membuat sel PMN neonatus tidak bisa menepi dan meninggalkan pembuluh darah untuk menembus jaringan. Sekali di jaringan, sel PMN ini tidak bisa memisah sebagai respon terhadap faktor khemotaksis. Di samping itu, sel PMN neonatus kurang bisa berdeformasi, sehingga kurang bebas bergerak melalui matriks ekstraselular jaringan untuk mencapai lokasi peradangan dan infeksi. Kemampuan sel PMN neonatus yang terbatas untuk melakukan fagositosis dan membunuh bakteri, memburuk ketika bayi sakit kritis. Akhirnya, cadangan neutrofil mudah habis karena berkurangnya respon sumsum tulang, terutama pada bayi prematur.

Konsentrasi dan fungsi monosit pada neonatus sama dengan dewasa; namun khemotaksis makrofag tidak sempurna dan terus demikian sampai masa kanak-kanak dini. Makrofag berkurang dalam paru dan mungkin pada hati dam limpa. Aktivitas khemotaksis dan bekterisidal serta presentasi antigen oleh sel-sel ini tidak sempurna. Produksi sitokin oleh makrofag berkurang . Mungkin disertai produksi sel T yang menurun.

Sel T ditemukan dalam sirkulasi janin pada kehamilan dini dan jumlahnya meningkat sejak lahir sampai usia 6 bulan; tetapi, sel-sel ini mencerminkan populasi peralihan yang tidak matang. Neonatus kurang memiliki sel T dengan fenotipe permukaan sel memori; namun, jumlah sel T ini bertambah dengan semakin meningkatnya usia saat neonatus terpapar ke rangsang antigenik. Sel-sel yang tidak pernah terpapar ke antigen tidak mudah berproliferasi seperti halnya sel T pada orang dewasa bila teraktivasi. Sel T neonatus tidak efektif memproduksi sitokin yang membantu stimulasi dan diferensiasi sel B dan stimulasi proliferasi granulosit/monosit di sumsum

Page 33: Sepsis

28

tulang. Penundaan terjadi dalam pembentukan fungsi memori yang spesifik antigen, setelah infeksi primer. Fungsi sitotoksik dari sel T neonatus adalah 50-10% seefektif sel T dewasa.

Janin telah memiliki sedikit imunoglobulin pra-imun, namun jumlahnya terbatas dibandingkan pada dewasa. Bayi mendapat imunoglobulin G (IgG) sebelum lahir, setelah 16 minggu kehamilan; namun bayi prematur memiliki lebih sedikit IgG karena lebih singkatnya periode transmisi imunoglobulin melalui plasenta.

Sebagai tambahan, jika ibu mengalami imunosupresi, mungkin lebih sedikit IgG yang bisa ditransmisikan ke bayi. Neonatus bisa mensintesis imunoglobulin M (IgM) in utero pada 10 minggu gestasi; namun, kadar IgM umumnya rendah ketika lahir, kecuali bayi terpapar ke patogen selama kehamilan, sehingga merangsang produksi IgM. IgG dan imunoglobulin E bisa disintesis in utero; namun hanya jumlah runut ditemukan di darah tali pusat pada persalinan. Neonatus bisa memperoleh imunoglobulin A (IgA) dari ASI tetapi tidak mensekresi IgA sebelum usia 2-5 minggu. Respon terhadap polisakarida bakteri berkurang dan rendah terus selama usia 2 tahun pertama.

Sel Natural killer (NK) ditemukan dalam konsentrasi lebih besar di darah tepi neonatus dibandingkan pada dewasa. Namun ekspresivitas antigen oleh membran sel berkurang, sehingga menurunkan aktivitas sitolitik .Penurunan respon ini telah diamati pada infeksi herpes pada neonatus.

Janin bisa memproduksi protein komplemen sedini kehamilan 6 minggu; namun ada variasi antar individu. Ada bayi yang memiliki konsentrasi komplemen sama dengan dewasa. Defisiensi terlihat lebih besar pada lintasan alternatif dibanding lintasan klasik . Aktivitas terminal untuk komplemen yang membunuh bakteri tidak efisien. Defisiensi ini lebih mencolok pada bayi prematur. Aktivitas komplemen dewasa tidak dicapai sebelum bayi berusia 6-10 bulan. Fibronectin, atau protein serum yang membantu perlekatan neutrofil dan sifat-sifat opsonin, ditemukan lebih rendah pada neonatus. Oleh karena itu, serum neonatus memiliki efisiensi opsonin yang rendah terhadap GBS, E coli, dan S pneumoniae.

Page 34: Sepsis

29

Sawar fisika dan kimia terhadap infeksi pada tubuh manusia ada pada neonatus tetapi tidak cukup. Kulit dan mukosa mudah retak pada bayi preamtur. Neonatus yang sakit dan/atau prematur lebih memiliki risiko pada tindakan invasif yang berpotensi merusak sawar. Karena interdependensi respon imun, defisiensi berbagai komponen dari sistem imum menjadikan neonatus rentan terhadap infeksi.

Frekuensi

Di Amerika Serikat: insiden sepsis yang terbukti dengan biakan diperkirakan 2 dalam 1000 kelahiran hidup. Dari 7-13% neonatus yang dievaluasi untuk sepsis neonatorum, hanya 3-8% yang memiliki biakan positif. Tanda-tanda dini dari sepsis pada bayi baru lahir tidak spesifik, sehingga banyak neonatus menjalani pemeriksaan diagnostik dan terapi pendahuluan sebelum diagnosis ditegakkan. Di samping itu, karena the American Academy of Pediatrics (AAP), American Academy of Obstetrics and Gynecology (AAOG), dan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah merekomendasikan uji tapis dan/atau terapi sepsis untuk berbagai faktor risiko yang terkait dengan penyakit GBS, banyak neonatus yang asimtomatis memerlukan evaluasi. Karena angka kematian akibat sepsis yang tidak diterapi bisa setinggi 50%, kebanyakan klinisi yakin bahwa bahaya sepsis yang tidak diatasi terlalu besar untuk menunggu konfirmasi dari biakan positif. Oleh karena itu, terapi telah didahului sambil menunggu hasil biakan.

Mortalitas/Morbiditas:

Angka mortalitas pada sepsis neonatorum bisa setinggi 50% untuk bayi yang tidak diterapi dan berkontribusi sebanyak 13-15% dari semua kematian neonatus. Meningitis neonatorum, suatu morbiditas serius pada sepsis neonatorum, terjadi pada 2-4 kasus per 10.000 kelahiran hidup dan memiliki kontribusi bermakna terhadap sepsis neonatorum, dan 4% dari semua kematian neonatus.

Ras: Bayi kulit hitam memiliki insiden tinggi untuk penyakit GBS dan sepsis onset lanjut. Ini terlihat setelah mengendalikan faktor-faktor risiko dari berat lahir rendah dan usia ibu yang muda.

Page 35: Sepsis

30

Jenis Kelamin: insiden sepsis bakteri dan meningitis, terutama basil enterik gram-negatif, lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan.

Usia: Kajian memperlihatkan bayi prematur memiliki insiden lebih tinggi, terutama pada bayi dengan berat lahir sangat rendah(<1000 g), yakni 26 per 1000 kelahiran hidup , dibanding berat lahir 1000-2000 g, yaitu 8-9 per 1000 kelahiran hidup. Risiko kematian atau meningitis dari sepsis lebih tinggi pada bayi dengan berat lahir rendah dibanding neonatus cukup bulan.

Riwayat: Faktor risiko yang paling terkait meliputi kolonisasi GBS pada ibu (terutama jika tidak diterapi selama persalinan), ketuban pecah dini, ketuban sudah lama pecah, prematuritas, dan korioamnionitis.

Faktor predisposisi juga terkait dengan sepsis neonatorum, antara lain Skor APGAR rendah (<6 pada 1 atau 5 menit), demam ibu lebih dari 38,4°C, infeksi saluran kemih maternal , perawatan prenatal yang buruk, gizi ibu buruk, status sosioekonomi rendah, abortus rekuren, penyalahgunaan obat, berat lahir rendah, distosia, asfiksia lahir, mekonium dan kelainan bawaan. Faktor predisposisi ini mencerminkan stres dan penyakit janin saat persalinan, serta bahaya lingkungan uterus sebelum persalinan.

Status GBS ibu

Etiologi tersering dari sepsis bakteri pada neonatus adalah GBS (group B streptococcus). Ada 9 serotipe dan masing-masing berkaitan dengan kapsul polisakarida dari kuman ini. Tipe I, II, dan III biasa terkait dengan infeksi GBS neonatus Strain tipe III telah diperlihatkan paling banyak terkait dengan komplikasi SSP (sistem saraf pusat) pada infeksi onset dini, sedangkan tipe V telah dikaitkan dengan penyakit onset dini tanpa keterlibatan SSP.

• Kuman GBS menghuni saluran cerna dan jalan lahir ibu. Kira-kira 30% wanita memiliki kolonisasi GBS tanpa gejala selama kehamilan. GBS bertanggung jawab atas kira-kira 50.000 infeksi maternal per tahun, tetapi hanya 2 neonatus per 1000 kelahiran hidup yang

Page 36: Sepsis

31

terinfeksi. Wanita dengan kolonisasi GBS yang berat dan biakan yang selalu positif pada kehamilan 23-26 minggu diikuti dengan prematuritas dan berat lahir rendah. Kolonisasi sewaktu persalinan menyebabkan infeksi naonatus. Khemoprofilaksis intrapartum pada wanita dengan biakan positif untuk GBS telah diperlihatkan menurunkan angka penularan kuman ke bayi selama persalinan.

• PROM (premature rupture of membrane, ketuban pecah dini) dapat terjadi sebagai respon terhadap infeksi saluran kemih atau jalan lahir yang tidak diobati dan juga dihubungkan dengan persalinan pematur, perdarahan pada kehamilan, dan konsumsi rokok berat selama kehamilan. . Pecah ketuban tanpa komplikasi lain dalam waktu 24 sebelum persalinan, diikuti dengan 1% peningkatan insiden sepsis neonatorum. Namun, bila korioamnionitis menyertai pecah ketuban dini, insiden infeksi neonatorum menjadi 4 kali lebih tinggi.

• Kajian multisenter terbaru menunjukkan bahwa korioamnionitis dan kolonisasi GBS merupakan prediktor terpenting dari infeksi neonatus setelah PROM. Bila ketuban telah pecah prematur sebelum usia kehamilan 37 minggu, periode laten yang lebih panjang mendahului persalinan per vaginam. Ini meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi. Hubungan antara lama ketuban sudah pecah dan infeksi neonatus berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Oleh karena itu, makin prematur si bayi, makin lama penundaan antara pecah ketuban dan persalinan, dan lebih tinggi kemungkinan sepsis neonatorum.

• Penelitian Seaward dkk mendapatkan bahwa lebih dari 6 pemeriksaan vagina (vaginal toucher) memiliki risiko infeksi neonatus.

• Prematuritas: Hubungan antara PROM dan sepsis neonatorum telah diuraikan baru-baru ini. Namun, hubungan lain antara prematuritas dan sepsis neonatorum meningkatkan risiko untuk bayi prematur. Bayi prematur lebih cenderung menjalani prosedur invasif, seperti kateter umbilikus dan intubasi . Prematuritas terkait dengan infeksi CMV, HSV, hepatitis B, toxoplasmosis, Mycobacterium tuberculo-sis, Campylobacter fetus, dan spesies Listeria.

Page 37: Sepsis

32

Intrauterine growth retardation dan berat lahir rendah juga diamati pada infeksi-infeksi sitomegalovirus ( CMV) dan toxo-plasmosis Bayi prematur kurang memiliki imunitas terhadap infeksi.

Korioamnionitis: Hubungan antara korioamnionitis dan risiko-risiko lain adalah sangat kuat. Curigai korioamnionitis jika ada takikardia janin, nyeri tekan uterus, cairan ketuban purulen, leukositosis maternal dan demam di atas 38°C.

Pemeriksaan Fisik

Tanda-tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik dan berhubungan dengan kuman penyebab dan respon tubuh terhadap invasi . Tanda-tanda yang tidak spesifik ini juga berhubungan dengan penyakit neonatus lainnya, seperti Respiratory Distress Syndrome (RDS), penyakit metabolik, perdarahan intrakranial, dan persalinan traumatik. Oleh karena itu, tegakkan diagnosis sepsis neonatus dengan menyingkirkan proses penyakit lain, dan lakukan pemeriksaan dan tes untuk indikasi lebih spesifik dari sepsis neonatorum.

Paru-paru

• Pneumonia kongenital dan infeksi intrauterin: Lesi-lesi radang diamati dalam paru pada bedah mayat bayi dengan pneumonia kongenital dan intrauterin. Mungkin ini tidak disebabkan oleh aksi kuman itu sendiri, melainkan oleh aspirasi cairan ketuban yang mengandung leukosit dan hancuran sel ibu. Takipnea, respirasi tidak teratur, retraksi , apnea, sianosis, dan rintihan bisa diamati. Neonatus dengan pneumonia intrauterin juga mungkin sakit kritis ketika lahir dan membutuhkan dukungan ventilasi tingkat tinggi. Radiologi toraks dapat memperlihatkan konsolidasi bilateral atau efusi pleura.

• Pneumonia kongenital dan infeksi intrapartum: Neonatus yang terinfeksi selama persalinan mungkin mendapat pneumonia melalui aspirasi kuman. Kolonisasi dapat mengakibatkan infeksi dengan perubahan paru, infiltrasi dan destruksi jaringan bronkopulmoner. Kerusakan ini sebagian disebabkan pelepasan prostaglandin dan leukotrien oleh granulosit

Page 38: Sepsis

33

Eksudat fibrin ke dalam alveolus menghambat fungsi surfaktan dan menyebabkan gagal napas dengan gambaran seperti RDS. Bendungan vaskular, perdarahan dan nekrosis dapat terjadi. Spesies Klebsiella dan S aureus memiliki kesang-gupan merusak paru, menghasilkan mikro-abses dan empiema ; Pneumonia infeksiosa juga ditandai oleh pneumatokel di dalam jaringan paru. Bisa dilihat tanda-tanda batuk, merintih, retraksi iga dan sternum, cuping hidung kembang kempis, takipnea dan/atau pernapasan tidak teratur, ronkhi, bunyi napas melemah dan sianosis. Pada radiologi, atelektasis lobar dan segmental atau pola retikulogranular difus bisa ada, seperti yang terlihat pada RDS. Efusi pleura bisa dilihat pada penyakit lanjut

• Pneumonia postnatal: Pneumonia bisa terjadi pada sembarang usia. karena patogen terdapat di lingkungan, penyebab pneumonia dan sangat tergantung pada lingkungan bayi yang baru. Jika bayi masih berada di NICU , terutama dengan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik, kuman bisa mencakup spesies Staphylococcus atau Pseudomonas. Selain itu, kuman nosokomial ini sering memper-lihatkan multiresisten terhadap antibiotik. Oleh karena itu,pilihan antibiotik pada kasus-kasus demikian membutuhkan pengetahuan tentang kuman yang menjadi penyebab dan pola resistensi kuman di rumah sakit.

Tanda-tanda kardiak:

Pada sepsis berat, fase dini ditandai oleh hipertensi pulmoner, penurunan curah jantung dan hipoksemia. Gangguan kardiopulmoner ini mungkin disebabkan aktivitas mediator yang dikeluarkan granulosit, seperti radikal hidroksil dan tromboksan B2, yang merupakan metabolis asam arakidonat. Senyawa-senyawa ini memiliki aksi vasokonstriktor yang mengakibatkan hipertensi pulmoner bila terlepas ke jaringan paru. Toksin yang berasal dari kapsul polisakarida streptokokus tipe III juga telah diperlihatkan menyebabkan hipertensi pulmoner. Fase dini dari hipertensi pulmoner disusul oleh penurunan progresif dari curah jantung dengan bradikardia dan hipotensi sistemik. Bayi bermanifestasi syok

Page 39: Sepsis

34

dengan pucat, pengisian kapiler buruk dan edema. Tanda-tanda lanjut dari syok menunjukkan gangguan berat dan dikaitkan dengan mortalitas tinggi.

Tanda-tanda metabolik:

Hipoglikemia, asidosis metabolik dan ikterus semuanya merupakan tanda metabolik yang menyertai sindrom sepsis neonatorum. Kebutuhan akan glukosa meningkat. Bayi juga mengalami gangguan nutrisi karena asupan energi yang tidak adekuat. Asidosis metabolik disebabkan oleh konversi ke metabolisme anaerob dengan produksi asam laktat. Bila bayi hipotermia atau tidak dijaga dalam lingkungan suhu netral, upaya tubuh untuk mengatur suhu bisa menyebabkan asidosis metabolik. Ikterus terjadi sebagai respon terhadap berkurangnya glukoronidasi hati yang disebabkan oleh disfungsi hati dan destruksi eritrosit yang meningkat.

Tanda neurologis:

Meningitis merupakan manifestasi lazim dari infeksi sistem saraf pusat. Infeksi primer disebabkan GBS (36%), E coli (31%), dan spesies Listeria (5-10%) , walaupun kuman lain seperti S pneumoniae, S aureus, Staphylococcus epidermis, Haemophilus influenzae, dan spesies Pseudomonas, Klebsiella, Serratia, Enterobacter, dan Proteus bisa menyebabkan meningitis. Gambaran histologis akut dan kronik berhubungan dengan kuman spesifik . Ventrikulitis merupakan kejadian awal dari peradangan di permukaan ventrikel. Bahan eksudatif biasanya muncul di pleksus koroid dan terletak di sebelah luar pleksus. Kemudian, ependymitis terjadi dengan disrupsi dinding ventrikel dan penonjolan rambut glial ke dalam lumen ventrikel. Jembatan glial dapat terbentuk dari rambut-rambut (tuft) dan menyebabkan obstruksi, terutama pada akuaduktus Sylvi. Ventrikel lateral bisa menjadi multilokular yang serupa dengan pembentukan abses.Ventrikel multilokular bisa mengisolasi organisme dalam kawasan tersebut, membuat terapi jadi sukar. Meningitis cenderung timbul di pleksus koroid dan meluas melalui ventrikel dan akuaduktus ke dalam araknoid sampai mengenai permukaan serebrum dan serebelum. Kandungan glikogen tinggi di pleksus koroid neonatus

Page 40: Sepsis

35

merupakan media yang sangat baik untuk bakteri. Asal meningitis di ventrikel menyebabkan masalah pengobatan bermakna karena daerah ini tidak bisa diakses. obstruksi ventrikel menyebabkan masalah tambahan.

Araknoiditis merupakan fase berikutnya dan merupakan petanda meningitis. Araknoid diserbu oleh sel radang yang menghasilkan eksudat yang menebal di dasar otak dan lebih seragam di bagian otak lainnya. Pada awal infeksi, eksudat terdiri terutama atas sel PMN, bakteri, makrofag. Eksudat menonojol di sekitar pembuluh darah dan meluas ke parenkim otak. Pada minggu kedua dan ketiga infeksi, proporsi PMN berkurang; sel-sel yang dominan adalah histiosit, makrofag dan beberapa limfosit dan sel plasma. Infiltrasi eksudat ke radiks saraf kranial ke 3 dan 8 terjadi. Setelah periode ini, eksudat berkurang. Terbentuk benang-benang kolagen tebal, dan terjadi fibrosis araknoid yang mengakibatkan obstruksi. Akibatnya hidrosefalus. Meningitis GBS onset dini ditandai oleh araknoiditis lebih ringan dibandingkan meningitis GBS onset lanjut. Vaskulitis memperluas radang araknoid dan ventrikel ke pembuluh darah sekitar otak. Penyumbatan arteri jarang terjadi; namun keterlibatan vena lebih berat. Flebitis dapat diikuti trombosis dan oklusi lengkap. Trombus fibrin multipel diikuti oleh infark hemoragik. Keterlibatan pembuluh darah nyata pada hari-hari pertama meningitis, dan menjadi lebih mencolok selama minggu kedua dan ketiga. Edema serebral dapat terjadi selama stadium akut meningitis. Edema bisa cukup berat untuk mengurangi lumen pembuluh darah. Penyebab edema tidak diketahui, namun kemungkinan terkait dengan vaskulitis dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Edema juga bisa terkait dengan sitotoksin kuman. Herniasi struktur supratentorial yang edema tidak terjadi pada neonatus karena distensibilitas kranium. Infark merupakan gambaran mencolok dan serius dari meningitis neonatorum. Infark ini terjadi pada 30% bayi yang meninggal. Lesi terjadi karena oklusi vena multipel, yang sering hemoragik. Lokus infark paling sering di korteks serebral dan substansia alba namun bisa juga subependimal di dalam substansia alba. Kehilangan neuron terjadi, terutama di korteks serebral, dan leukomalasia periventrikular bisa muncul kemudian pada daerah sekitar sel neuron yang mati . Meningitis yang disebabkan sepsis neonatorum onset dini biasanya terjadi dalam 24-48 jam dan didominasi oleh tanda-

Page 41: Sepsis

36

tanda non-neurologis. Tanda-tanda neurologis dapat mencakup stupor dan iritabilitas. Tanda-tanda mencolok dari meningitis terjadi hanya pada 30% kasus. Bahkan meningitis yang ditegakkan dengan kultur bisa tidak memperlihatkan perubahan sel darah putih dalam cairan serebrospinal. Meningitis yang disebabkan penyakit onset lanjut lebih cenderung menunjukkan tanda-tanda neurologis (80-90%). Didapatkan penurunan kesadaran (yaitu, stupor dengan atau tanpa iritabilitas), coma, seizures, ubun-ubun besar menonjol, rigiditas ekstensor, tanda serebral fokal, tanda-tanda saraf kranial, dan kaku kuduk . Temuan cairan serbrospinal pada meningitis neonatorum adalah peninggian leukosit (terutama PMN), peninggian kadar protein, dan penurunan kadar glukosa CSF dan biakan positif. Penurunan kadar gluksoa CSF tidak harus mencerminkan hipoglikemia. kelainan kadar glukosa paling hebat di penyakit onset lanjut dan dengan kuman gram-negatif. Leukosit CSF dalam kisaran normal pada 29% infeksi meningitis GBS; pada meningitis gram-negatif, berada dalam kisaran normal hanya pada 4%. Kadar protein dan glukosa dalam kisaran normal ditemukan pada kira-kira 50% pasien dengan meningitis GBS.; namun, pada infeksi gram-negatif kisaran glukosa dan protein normal hanya pada 15-20% . Ketidakstabilan suhu terlihat pada sepsis dan meningitis neonatorum, baik sebagai respon terhadap pirogen yang disekresikan kuman atau dari ketidakstabilan sistem saraf simpatis. neonatus lebih cenderung hipotermik. Bayi juga lemas, letargik dan tidak napsu minum. Tanda hiperaktivitas neurologis lebih cenderung didapatkan pada meningitis onset lanjut.

Tanda-tanda hematologis:

Hitung trombosit pada neonatus sehat jarang di bawah 100.000 per mm3 dalam 10 hari pertama kehidupan . Trombositopenia dengan hitung kurang 100.000 dapat dijumpai pada sepsis neonatorum sebagai respon terhadap produk seluler kuman. Produk selular ini menyebabkan agregasi dan perlekatan trombosit yang akhirnya menjadi rusak . Trombositopenia umumnya terlihat setelah sepsis didiagnosis dan biasanya berlangsung 1 minggu, walaupun bisa selama 3 minggu. Hanya 10-60% bayi sepsis memiliki trombositopenia. Karena pemunculan trombosit yang baru terbentuk, mean platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW)

Page 42: Sepsis

37

diperlihatkan lebih tinggi pada sepsis neonatorum setelah 3 hari. Karena penyebab trombositopenia banyak dan munculnya agak terlambat pada sepsis neonatorum, keberadaan trombositopenia tidak membantu diagnosis sepsis neona-torum.

Leukosit dan hitung jenis lebih sensitif untuk menentukan sepsis dibandingkan hitung trombosit, walaupun hitung leukosit normal bisa dijumpai pada sebanyak 50% kasus sepsis yang terbukti dengan biakan. Bayi yang tidak terinfeksi juga bisa menunjukkan hitung leukosit abnormal, terkait dengan stres persalinan Jumlah neutrofil (PMN dan bentuk muda) sedikit lebih sensitif dalam menentukan sepsis dibandingkan jumlah leukosit toal (percent lymphocyte + monocyte/PMNs + bands). Hitung neutrofil abnormal, yang diambil pada saat muncul gejala pertama, hanya diamati pada dua dari tiga bayi. Oleh karena itu, hitung neutrofil tidak memberikan konfirmasi sepsis yang adekuat. Neutropenia diamati pada hipertensi maternal,asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periven-trikular atau intraventrikular.

Ratio neutrofil lebih berguna dalam mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis; ratio the immature-to-total (I/T) adalah yang paling sensitif. Semua bentuk neutrofil muda dihitung dan ratio maksimum yang bisa diterima untuk menyingkirkan sepsis selama 24 jam pertama adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus ratio menurun menjadi 0,12 dalam 60 jam pertama kehidupan. . Kepekaan I/T ratio berkisar 60-90%, dan peninggian bisa terlihat dengan kejadian fisiologis lain; oleh karena itu, dalam mendiagnosis sepsis, peninggian I/T ratio harus digunakan bersama-sama tanda lain.

Tanda-tanda gastrointestinal:

Saluran cerna bisa dikolonisasi oleh kuman yang berasal dari persalinan dengan menelan air ketuban. Pertahanan imun dari usus tidak matang, khususnya pada bayi prematur. Limfosit berproliferasi dalam usus sebagai respon terhadap stimulasi mitogen; tetapi, proliferasi ini tidak efektif penuh dalam merespon kuman karena pembentukan antibodi dan pembentukan sitokin masih belum matang sebelum kira-kira 46 minggu. Enterokolitis nekrotikan(NEC) telah dihubungkan dengan adanya sejumlah spesies bakteri pada usus yang

Page 43: Sepsis

38

belum matang, dan lewat tumbuh kuman ini pada lumen neonatus merupakan satu dari berbagai faktor patofisiologi dari NEC.

Laboratorium:

Biakan Darah, CSF, Urin Kultur aerob sesuai untuk kebanyakan etiologi bakteri yang terkait dengan sepsis neonatorum. Namun, biakan anaerob diindikasikan pada neonatus dengan pembentukan abses, proses dengan keterlibatan usus, hemolisis massif dan pneumonia refrakter.

• Pewarnaan Gram menghasilkan identifikasi dini dari status gram-positif dan gram-negatif dari kuman untuk identifikasi pendahuan .

• Biakan kuman harus mengungkap kuman infeksi dalam 36-48 jam

• Biakan Darah dan CSF sesuai untuk sepsis onset dini ataupun lanjut . Karena rendahnya insiden meningitis pada neonatus dengan biakan negatif, klinisi harus melakukan biakan CSF hanya pada bayi dengan dugaan atau bukti sepsis.

• Hitung darah lengkap dan hitung jenis harus dipesan serial untuk menentukan perubahan-perubahan yang terkait dengan infeksi, misal trombositopenia atau neutropenia, atau untuk memantau perkembangan pergeseran kekiri atau peninggian I/T ratio. Pemantauan hitung darah lengkap secara serial demikian dapat membantu diferensiasi sepsis dan kelainan nonspesifik yang disebabkan stres persalinan.

Hitung trombosit pada neonatus sehat jarang di bawah 100.000 dalam 10 hari pertama kehidupan. Trombositopenia dengan trombosit kurang dari 100.000 dapat terjadi pada sepsis neonatorum, walaupun tanda ini biasanya diamati pada stadium infeksi lanjut. MPV dan PDW telah diperlihatkan naik secara bermakna pada bayi dengan sepsis setelah 2-3 hari kehidupan. Prosedur ini membantu menentukan etiologi trombositopenia.

Page 44: Sepsis

39

Pemeriksaan Pencitraan:

Foto toraks dapat menggambarkan atelektasis segmental atau lobar, tetapi lebih sering sebagai pola retikulogranular halus dan difus, sebagaimana terlihat pada RDS. Hemotoraks dan efusi pleura juga bisa diamati . CT scan mungkin dibutuhkan kemudian pada meningitis neonatorum untuk mengetahui adanya sumbatan dari aliran CSF, titik penyumbatan dan kejadian infark atau abses. Tanda penyakit stadium kronik, seperti dilatasi ventrikel, ensefalo-malasia multikistik, dan atrofi juga ditunjukkan pada CT scan. USG kepala pada neonatus dengan meningitis memperlihatkan bukti ventrikulitis, ekogenisitas parenkim abnormal , abnormalitas cairan ekstraselular dan perubahan kronik. USG kepala serial bisa menunjukkan perkembangan dari komplikasi-komplikasi.

Manajemen:

Pungsi lumbal diindikasikan untuk sepsis onset dini dan lanjut, walaupun klinisi mungkin tidak berhasil mendapat cairan cukup atau jernih untuk semua pemeriksaan. Bayi dapat diposisikan miring atau duduk dengan penopang, namun regangan yang cukup dibutuhkan untuk menghindari trauma. Karena medula spinalis lebih rendah di dalam kolumna spinalis pada bayi, titik insersi sebaiknya antara L3 dan L4. Jika biakan positif, maka LP lanjutan sering dikerjakan dalam 24-36 jam setelah terapi antibiotik untuk mengetahui sterilitas CSF. Jika kuman masih ada, modifikasi jenis dan dosis antibiotik dibutuhkan untuk mengatasi meningitis secara adekuat LP tambahan dalam 24-36 jam diperlukan jika masih ada kuman.

Perawatan Medis:

Terapi dimulai segera karena sistem imun neonatus lemah untuk melawan infeksi. Mulai antibiotik sejalan dengan tes diagnostik. terapi tambahan telah diteliti untuk sepsis neonatorum, tetapi tidak ada bukti pasti dari manfaat pengobatan tersebut. Terapi tambahan ini meliputi transfusi granulosit, intravenous immune globulin (IVIG), transfusi tukar dan sitokin rekombinan.

Page 45: Sepsis

40

Di Amerika Serikat dan Kanada, pendekatan paling mutakhir untuk mengatasi sindrom sepsis onset dini mencakup kombinasi aminoglikosida IV dan penisilin. Kombinasi ini mencakup kuman gram-positif, terutama GBS dan bakteri gram-negatif seperti E coli. Antibiotik spesifik yang akan digunakan dipilih berdasarkan riwayat maternal, dan trend kolonisasi kuman yang prevalen di ruang bayi . Jika infeksi bersifat nosokomial, cakupan langsung bakteri yang terlibat meliputi S aureus, S epidermis, dan spesies Pseudomonas. Kebanyakan strain S aureus menghasilkan beta-laktamase, yang membuat mereka resisten terhadap penisilin G, ampisilin, karbenisilin, dan tikarsilin. Vankomisin lebih disukai untuk mencakup kuman-kuman ini. Namun ada kekhawatiran bahwa penggunaan berlebihan dari obat ini justru menyebabkan munculnya strain resisten vankomisin. Sefalosporin diminati dalam pengobatan infeksi nosokomial karena toksisitasnya rendah dan kadar serum dan CSF adekuat. Namun, resistensi kuman gram-negatif sudah terjadi dengan penggunaan antibiotik ini. Jangan gunakan seftriakson pada bayi dengan hiperbilirubinemia, karena melepas bilirubin dari albumin serum. Resistensi dan sensitivitas kuman digunakan untuk memiliki obat yang paling efektif.

Aminoglikosida dan vankomisin keduanya ototoksik dan nefrotoksik. Periksa kadar serum setelah 48 jam untuk menetapkan apakah kadarnya melebihi kadar terapi. Dosis atau interval perlu diubah untuk menjamin cakupan yang memadai tetapi tidak toksik. Kadar serum perlu diperiksa bila kondisi klinik bayi belum membaik untuk memastikan bahwa kadar terapi telah dicapai. Di samping itu, fungsi ginjal dan tes pendengaran perlu diperiksa untuk melihat efek toksik obat-obat ini.

Jika biakan negatif namun bayi memiliki risiko bermakna untuk sepsis, klinisi harus memutuskan apakah perlu meneruskan terapi. Tiga hari biakan negatif harus memberi keyakinan; namun sejumlah kecil bayi dengan bukti sepsis pada bedah mayat, memiliki biakan negatif pada awal pemeriksaaan. Lebih lanjut manajemen dipersulit jika si ibu mendapat antibiotik sebelum persalinan, khususnya menjelang persalinan. Ini bisa menyebabkan hasil biakan negatif pada bayi. Tinjau semua data diagnostik, termasuk biakan, faktor-faktor risiko maternal dan intrapartum, hasil CSF, hitung darah lengkap dan radiologi serta gambaran klinik untuk menentukan apakah terapi perlu

Page 46: Sepsis

41

dilanjutkan. Terapi selama 7-10 hari mungkin sesuai, bahkan jika hasil biakan telah negatif pada 48 jam.

Klinisi mungkin membutuhkan pilihan antibiotik berbeda, serta dosis dan/atau lama terapi jika bayi mengidap meningitis bakteri. Lakukan pungsi lumbal lanjutan dalam 24-36 jam setelah terapi antibiotik dimulai untuk menetapkan apakah CSF steril. Jika kuman masih ada, modifikasi jenis atau dosis obat dibutuhkan. Lanjutkan terapi antibiotik selama 2 minggu setelah CSF steril. Dengan kata lain antibiotik diberikan minimum 2 minggu untuk meningitis gram-positif dan 3 minggu untuk meningitis gram-negatif. Kloramfenikol atau trimetoprim-sulfametoksazol telah diperlihatkan efektif dalam terapi meningitis bakteri yang sangat resisten . Transfusi granulosit telah diperlihatkan efektif untuk bayi yang mengalami deplesi cadangan neutrofil, namun dokumentasi deplesi ini membutuhkan aspirasi sumsum tulang. Transfusi granulosit harus diberikan dengan cepat. Jumlah efek samping cukup besar, seperti graft versus host reaction, transmisi CMV atau hepatitis B, dan sekuestrasi leukosit di paru. Oleh karena itu, terapi ini masih bersifat eksperimental . IVIG telah dipertimbangkan untuk sepsis neonatorum untuk memasok antibodi spesifik yang memperbaiki opsonisasi dan fagositosis terhadap bakteri dan memperbaiki aktivasi komplemen dan khemotaksis dari neutrofil. Namun ada kesukaran dalam penggunaan IVIG pada sepsis neonatorum. Efek berlangsung sementara, dan efek samping yang terkait dengan produk darah bisa terjadi.

Pemberian Recombinant human cytokine untuk merangsang sel progenitor granulosit telah diteliti sebagai ajuvan terhadap terapi antibiotik. Terapi ini memberi harapan pada model hewan, khususnya sepsis GBS, tetapi perlu diberikan sebelum atau segera setelah diagnosis. Penggunaan granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) telah diteliti dalam uji klinik, namun kegunaannya dalam neonatologi masih bersifat eksperimental . Bayi dengan sepsis mungkin membutuhkan terapi yang ditujukan untuk mengatasi efek sistemik dari penyakit. Dukungan kardiopulmoner dan nutrisi intraavena mungkin diperlukan selama fase akut penyakit sampai kondisi bayi stabil. Pemantauan tekanan darah, tanda vital, hematokrit dan trombosit perlu dilakukan.

Page 47: Sepsis

42

Perawatan Bedah:

Jika meningitis neonatorum dipersulit oleh hidrosefalus dan ada akumulasi progresif dari CSF, pemasangan pintas ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal [VP] shunt) mungkin perlu untuk mengalirkan kelebihan cairan. Komplikasi dini dari penempatan shunt adalah overdrainase, kegagalan alat, diskoneksi, migrasi kateter atau infeksi shunt. Obstruksi abdomen, kista omentum, perforasi kandung kemih atau usus sering terjadi. VP shunt dapat menyebabkan komplikasi neurologis jangka panjang, termasuk slit-ventricle syndrome, seizures, peroblem neuro-oftalmologis,dan craniosynostosis; namun prognosis anak dengan pemasangan VP shunt umumnya baik dengan follow-up seksama.

Konsultasi

Konsultasi ke subdivisi infeksi berguna, terutama jika bayi tidak memberi respon terhadap terapi dan/atau terlihat tanda klinik yang tidak lazim, misal ruam kulit . Jika diidentifikasi meningitis neonatorum, konsul ke neurolog anak perlu untuk perawatan jangka pendek atau untuk follow-up rawat-jalan dari sekuele neurologis.

Konsultasi ke bagian farmakologi berguna untuk perubahan dosis dan/atau jenis antibiotik yang perlu bila kadar tidak adekuat atau toksik diperoleh

Diet:

Mungkin neonatus perlu dipuasakan(NPO) selama hari-hari pertama terapi karena gejala saluran cerna. Pertimbangkan nutrisi parenteral untuk memastikan bahwa asupan kalori, protein, mineral dan elektrolit cukup selama periode ini. Pemberian makan bisa dimulai kembali via pipa nasogastrik untuk bayi dengan sakit serius. Dorong pemberian ASI karena memiliki kekebalan.

Aktivitas:

bayi dengan suhu tidak stabil memerlukan dukungan termoregulasi dengan pemanas radiasi atau inkubator. Kontak

Page 48: Sepsis

43

dengan orang tua penting untuk menenangkan orang tua yang stres dan melanjutkan ikatan batin antara anak dan orang tua.

Disadur dan Diterjemahkan dari Bellig LL, Ohning BL. Neonatal Sepsis. emedicine.com

Referensi:

1. American Academy of Pediatrics: Red Book 2000. 25th ed. 2000; 20-26, 241-2, 537-543.

2. Hickman ME, Rench MA, Ferrieri P, Baker CJ: Changing epidemiology of group B streptococcal colonization. Pediatrics 1999 Aug; 104(2 Pt 1): 203-9

3. Kemp AS, Campbell DE: The neonatal immune system. Seminar in Neonatology 1996; 1: 67-75.

4. Klein JO, Marcy SM: Bacterial Sepsis and Meningitis. Infectious Diseases of the Fetus & Newborn Infant. 4th ed. 1995; 835-878.

5. Kocherlakota P, La Gamma EF: Preliminary report: rhG-CSF may reduce the incidence of neonatal sepsis in prolonged preeclampsia-associated neutropenia. Pediatrics 1998 Nov; 102(5): 1107-11

6. McKenna DS, Iams JD: Group B streptococcal infections. Seminars in Perinatology 1998; 22: 267-76.

7. Morales WJ, Dickey SS, Bornick P, Lim DV: Change in antibiotic resistance of group B streptococcus: impact on intrapartum management. Am J Obstet Gynecol 1999 Aug; 181(2): 310-4

8. Saez X, McCracken GH: Clinical Pharmacology of Antibacterial Agents. Infectious Diseases of the Fetus & Newborn Infant . 4th ed. 1995; 1294-1327.

9. Seaward PG, Hannah ME, Myhr TL, et al: International multicenter term PROM study: evaluation of predictors of neonatal infection in infants born to patients with premature rupture of membranes at term. Premature Rupture of the Membranes. Am J Obstet Gynecol 1998 Sep; 179(3 Pt 1): 635-9

10. Taketomo CK, Hoddings JH, Kraus DM: Pediatric Dosage Handbook. 3rd ed. 1996-97.

11. Tausch WH, Ballard RA, Avery: Schaffer & Avery's Diseases of the Newborn . 7th ed. 1998; 435-452, 490-512.

Page 49: Sepsis

44

SEPSIS KATETER

Definisi "Days at risk per patient" didefinisikan sebagai interval antara hari pemasangan keteter vena sentral (CVC)pertama kali dan onset infeksi yang disebabkan kateter vena sentral atau hari kateter dilepas.

CVC-related infection didefinisikan sesuai anjuran the Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Infeksi didiagnosis dengan adanya nyeri tekan eritema atau indurasi dalam jarak 2 cm dari jalan keluar kateter di kulit, dengan atau tanpa demam, dengan biakan ujung kateter positif atau sekaligus disertai nanah, bahkan tanpa biakan positif dari ujung kateter.

CVC-related BSI (blood stream infection) didefinisikan sebagai bakteremia/fungemia atau sepsis pada pasien dengan CVC, dengan paling sedikit 1 biakan darah positif dari vena tepi, di mana kuman yang diisolasi sama dengan yang diisolasi dari ujung kateter, dengan manifestasi infeksi sistemik (yaitu, demam, menggigil, atau hipotensi) dan tanpa sumber infeksi lain yang jelas.

Analisis Mikrobiologi

Kateter vena sentral dilepas dengan teknik aseptik dan segmen (ujung) distal kateter dibiak dengan menggunakan teknik yang dianjurkan oleh Maki 1 Hasil dinyatakan sebagai negatif(tidak ada pertumbuhan atau <15 colony-forming units [CFU]) atau positif (15 CFU). Biakan darah diminta bila ada manifestasi infeksi sistemik.

Suatu kajian cohort dilakukan pada pasien dewasa dengan menggunakan CVC dengan atau tanpa nutrisi parenteral2. Pasien yang diikutsertakan adalah mereka yang dirawat-inap di bangsal bedah-penyakit dalam dan ICU RS de Clínicas de Porto Alegre, sebuah RSU di Brazil, dari Mei 2000 sampai Desember 2001.

Page 50: Sepsis

45

Hasil

Dari Mei 2000 sampai Desember 2001, 212 pasien dewasa yang dirawat di ICU dan bangsal penyakit dalam dan bedah dievaluasi. Dari 212 pasien yang diikuti 59 dikeluarkan (13 pasien menerima nutrisi parenteral dan 46 tanpa nutrisi parenteral) karena tidak dilakukan analisis mikrobiologi terhadap ujung kateter CVC yang digunakan. Tak satupun pasien yang dikeluarkan memperlihatkan tanda klinik (lokal atau sistemik) dari CVC-related infection. Karakteristika baseline dari pasien yang dikeluarkan dan tidak dikeluarkan serupa (rasio pria:wanita, BMI, hari perawatan sebelum diapsang CVC, albumin serum dan skor ASIS ), namun pasien-pasien yang dikeluarkan lebih tua (57 vs 62 tahun; p = .034) dan tidak mendapat PN(22.0% vs 39.2%; p = .018)dibandingkan pasien yang tidak dikeluarkan. Kemudian, dilakukan analisis terhadap data-data dari 153 pasien (60 dengan PN dan 93 tanpa PN) diikuti selama 1–99 hari (days at risk per patient) .

Dua puluh delapan pasien memperlihatkan CVC–related infection, yang mencerminkan insiden kumulatif sebesar 18.3% dan densitas insiden 11,7 infeksi per 1000 hari kateter. Tanda-tanda infeksi pada jalan keluar kateter diamati pada 22 pasien. Nanah pada jalan keluar kateter terdapat pada 14 pasien. Pada 8 pasien, ditemukan tanda infeksi dan nanah pada jalan keluar kateter. Mortalitas 26.8% pada 28 hari (41 pasien) dan 39.9% selama periode follow-up(61 pasien).

Menurut 286 kateter yang dipasang (1.9 ± 1.4 kateter per pasien), 60.6% adalah lumen tunggal, 78.0% dimasukkan via vena subklavia(kanan atau kiri), dan 73.5% dimasukkan di sisi kanan (vena subklavia atau jugularis). Empat komplikasi mekanis terjadi pada pemasangan CVC: 3 kejadian pneumotoraks dan 1 kasus sumbatan CVC. Kateter lumen ganda (59.4% vs 36.6%; p = .013), akses jugularis (80.8% vs 63.0%; p = .036), dan kateter yang digunakan untuk PN(semua jenisCVC) (59.4% vs 37.7%; p = .018) lebih sering pada pasien dengan infeksi kateter dibandingkan pasien tanpa infeksi kateter. Tidak diamati perbedaan dalam hal akses sisi kanan (70.4% vs 74.4%; p = .656) dan lama hari pemasangan CVC(10.4 ± 5.1 vs 9.4 ± 6.1; p = .362) antara kedua kelompok.

Page 51: Sepsis

46

CVC dressing diganti setiap 3,4 ± 1,7 hari, tanpa perbedaan antara pasien dengan atau tanpa infeksi kateter(3,5 ± 1,2 vs 3.4 ± 1.9 hari; p = .737). Interval pergantian dressing >7 hari pada 2 pasien dari kelompok pasien tanpa CVC-related infection dan tidak pada seorangpun dari kelompok dengan CVC-related infection (2.5% vs 0%; p = 1.00).

Dari 37 biakan positif dari ujung kateter (dari 28 pasien), diisolasi 45 patogen: 62.2% adalah kuman gram-positif(stafilookokus koagulase-negatif, n = 13; Staphylococcus aureus, n = 12; lain-lain , n = 3); 33.3% berupa kuman gram-negatif (Klebsiella pneumoniae, n = 6; Acinetobacter, n = 3; dan kuman lain, n = 6). Candida albicans didapat dari hasil biakan 2 ujung kateter (4.4%)

Densitas insiden dari CVC-related infection lebih tinggi pada pasien dengan PN (16,02 infeksi/1000 hari CVC) daripada pasien tanpa PN (8,31 infeksi/1000 hariCVC). Jumlah total days at risk per patient (interval antara hari pemasangan kateter dan CVC-related infection [outcome] atau pengangkatan kateter) untuk pasien dengan CVC-related infection adalah 7(kisaran: 1–41) dan untuk pasien tanpa CVC-related infection, 11 (kisaran: 1–99). Insiden kumulatif dari CVC-related infection adalah 28.3% ipada pasien yang terpapar dan 11.8% pasien yang tidak terpapar ke PN (p = .010).

Pasien TPN mengalami 17 episode CVC-related infection vs 11 episode pada pasien tanpa TPN(Figure 1; log rank = 3.01; p = .082).

Page 52: Sepsis

Kesimpulan

Nutrisi parenteral merupakan faktor risiko independen untuk infeksi katater( CVC-related infection) pada pasien rawat-inap Dibutuhkan strategi baru untuk mencegah dan mengurangi insiden infeksi kateter pada pasien yang mendapat nutrisi via vena sentral.

Referensi:

1. Maki DG. Skin as a source of nosocomial infection: directions for future research. Infect Control.1986; 7(suppl 2):S113 –S117

2. Beghetto MG, Victorino J, Teixeira L, de Azevedo MJ. Parenteral Nutrition as a Risk Factor for Central Venous Catheter–Related Infection.Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, Vol. 29, No. 5, 2005 367-373

47

Page 53: Sepsis

ARF (Acute Renal Failure) & SEPSIS Acute renal failure atau Gagal Ginjal akut terjadi pada kira-kira 19% pasien dengan sepsis moderat, 23% dengan sepsis berat dan 51% dengan syok septik bila biakan darah positif (Table 1 and Table 2).1,2 Peningkatan progresif dari ARDS (acute respiratory distress syndrome) juga terjadi pada sepsis moderat, sepsis berat dan syok septik. Di Amerika Serikat, setiap tahun ditaksir ada 700.000 kasus sepsis, yang mengakibatkan lebih dari 210.000 kematian; angka ini merupakan 10 persen dari semua kematian per tahun dan melebihi jumlah kematian yang disebabkan infark miokard.3 Gabungan ARF dan sepsis menyebabkan 70% mortalitas sedangkan mortalitas karena ARF sendiri 45%. Oleh karena itu, kombinasi sepsis dan gagal ginjal akut merupakan masalah serius di Amerika Serikat.4 Banyak kemajuan didapat dalam hal pemahaman bagaimana sepsis diikuti dengan insiden tinggi dari ARF. Lebih dari itu, intervensi klinik yang ditemukan baru-baru ini bisa mengurangi kejadian gagal ginjal akut dan sepsis dan mortalitas terkait.

48

Page 54: Sepsis

Pada sepsis, sintesis nitric oxide yang diperantarai sitokin menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik.5 Vasodilatasi arteri ini memudahkan pasien sepsis mengarah ke gagal ginjal akut, dan membutuhkan ventilasi mekanik, dan akhirnya meningkatkan mortalitas. Efek vasodilatasi arteri yang diperantarai nitric oxide terhadap vasopresor eksogen dan hipotensi diperlihatkan pada Gambar 1. Juga dibahas dalam bab ini:

1. Pemakaian vasopresin arginin pada pasien dengan syok septik.

2. Efek peningkatan kadar hormon vasokonstriktor endogen, seperti katekolamin, angiotensin II, dan endothelin, yang mendukung tekanan arteri pada pasien sepsis yang mengalami vasodilatasi Namun zat-zat ini juga menyebabkan vasokonstriksi arteri renalis dan memudahkan pasien kena gagal ginjal akut. Pasien dengan kombinasi ARF dan sepsis mungkin mengalami efek vasodilatasi sistemik, seperti perubahan efek Sterling di kapiler, edema paru, hipoksia, kebergantungan akan ventilasi mekanik, acute respiratory distress syndrome, dan multiple-organ dysfunction syndrome, yang bersama-sama dapat meningkatkan mortalitas sampai lebih dari 80 persen (Gambar 2).6,7

49

Page 55: Sepsis

3. Intervensi yang mencegah rangkaian peristiwa yang buruk ini.

4. Beberapa uji klinik prospektif dan acak dari intervensi-intervensi yang berpotensi mencegah atau meringankan gagal ginjal akut pada pasien sepsis, sehingga menurunkan mortalitas. Kajian-kajian demikian telah menyinggung terapi antikoagulan, resusitasi dini, terapi hiperglikemia, penggunaan kortikosteroid, durasi ventilasi mekanik yang dipersingkat, dan berbagai jenis terapi pengganti ginjal.

Gambar 1. Vasodilatasi arteri dan vasokonstriksi renal pada pasien dengan Sepsis. Endotoksemia merangsang induksi nitric oxide synthase, yang menyebabkan vasodilatasi arteri. Penurunan pengisian arteri yang ditimbulkan dideteksi oleh baroreseptor dan menghasilkan peningkatan sympathetic outflow dan pelepasan vasopresin arginin dari sistem saraf pusat, dengan aktivasi sistem renin–angiotensin–aldosteron (RAAS). Peningkatan aktivitas simpatis dan angiotensin di ginjal menyebabkan vasokonstriksi dengan retensi natrium dan air, serta predisposisi untuk gagal ginjal akut

50

Page 56: Sepsis

Gambar 2. Efek Vasodilatasi Arteri Sistemik pada Pasien dengan Sepsis dan Gagal ginjal Akut .Sepsis dan endotoksemia dengan ARF bisa mengakibatkan edema paru nonkardiogenik, hipoksia dan kebutuhan akan ventilasi mekanik. Dengan dukungan ventilasi yang lama bisa terjadi ARDS( acute respiratory distress syndrome), gagal organ ganda (multiple-organ dysfunction syndrome), dan mortalitas tinggi. Tujuan terapi adalah melakukan intervensi dini untuk mencegah kelebihan pemberian cairan dan mengurangi kelebihan beban volume dengan hemofiltrasi. Ini akan mencegah kebutuhan akan ventilasi mekanik yang lama yang bisa menimbuljkan kerusakan kapiler paru. Intervensi juga bisa mencegah hipoksia jaringan dan acute respiratory distress syndrome serta menurunkan risiko kematian.

51

Page 57: Sepsis

52

Hemodinamik dan hormon

Gambaran hemodinamik yang khas dari sepsis adalah vasodilatasi umum dari arteri dengan penurunan tahanan tepi. Pengisian arteri yang kurang akibat vasodilatasi arteri terjadi pada beberapa kondisi klinis, termasuk sepsis, dan disertai aktivasi aksis neurohormonal dan peningkatan curah jantung yang terjadi sekunder terhadap penurunan afterload. Aktivasi sistem saraf simpatis dan poros renin–angiotensin–aldosteron, pelepasan vasopresin yang bersifat non-osmotik,dan peningkatan curah jantung mutlak diperlukan untuk mempertahankan integritas sirkulasi arteri pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik (Gambar 1) Namun kejadian-kejaian bisa menjurus ke gagal ginjal akut.8,9,10,11

Vasodilatasi arteri diperantarai oleh sitokin yang meningkatkan ekspresi iNOS( inducible nitric oxide synthase) di pembuluh darah.12,13 Pelepasan nitric oxide dengan inducible nitric oxide synthase, dibandingkan dengan constitutive endothelial nitric oxide synthase,lebih mencolok dan lebih lama. Lebih lanjut, resistensi terhadap respon presor norepinefrin12 dan angiotensin II5 terjadi selama sepsis dan ini diduga akibat efek vasodilator yang kuat dari nitric oxide.12,14,15 Di samping itu, peningkatan kadar ion hidrogen dan laktat serta penurunan ATP di sel otot polos pembuluh darah selama syok septik mengaktifkan saluran kalium,yang juga disebut ATP-sensitive potassium channels (KATP channel).16,17 Akibatnya kalium keluar sel melalui KATP channel dan menyebabkan hiperpolarisasi sel otot polos pembuluh darah dengan penutupan saluran kalsium. Karena efek vasokonstriktor dari norepinefrin dan angiotensin II bergantung pada saluran kalsium yang terbuka, resistensi vaskular terhadap hormon presor bisa terjadi berbarengan dengan asidosis laktat pada pasien sepsis. Lebih dari itu, kadar hormon vasoaktif endogen ini selama sepsis dapat disertai pengurangan jumlah reseptor nya, yang akan menghasilkan pengurangan dari efek-efeknya terhadap vaskulatur.

Efek presor dari vasopresin arginin

Ada bukti bahwa pemberian vasopresin arginin pada pasien syok septik dapat membantu mempertahankan tekanan darah walaupun hormon presor lain tidak efektif, misal norepinefrin

Page 58: Sepsis

53

and angiotensin 11,18,19 Secara spesifik vasopresin arginin bisa menginaktivasi saluran kalium (KATP channel)20 dan dengan ini mengurangi resistensi pembuluh darah terhadap norpeinefrin12 dan angiotensin 5,11 Vasopresin arginin juga mengurangi sintesis nitric oxide (dengan mengurangi ekspresi inducible nitric oxide synthase) serta aksi cyclic guanosine monophosphate (cGMP) oleh nitric oxide,21 sehingga melemahkan vasodilatasi arteri dan resistensi presor selama sepsis. Derajat vasokonstriksi sebagai respon terhadap vasopresin arginin berbanding dengan kadar plasmanya serta pendudukan reseptor V1a pada sel otot polos pembuluh darah. Pada permulaan syok septik atau syok hemoragik, kadar vasopresin arginin meningkat jadi 200 - 300 pg /ml, namun setelah kira-kira satu jam, cadangan vasopresin di neurohipofisis mengalami deplesi dan kadar plasma mungkin turun menjadi kira-kira 30 pg/ml.19 Pada saat ini dengan adanya reseptor V1a yang tidak diduduki, pemberian vasopresin arginin eksogen bisa meningkatkan tekanan darah sebesar 25 sampai 50 mm Hg dengan memulihkan kadar plasma dari hormon antidiuretik tersebut ke kadar sebelumnya yang tinggi.22,23,24,25

Vasopresin arginin diketahui juga bersifat sinergis dengan hormon presor lain seperti norepinefrin dan angiotensin II, karena ketiga hormon ini memiliki signaling intraselular yang sama yang menyebabkan peningkatan kadar Ca++ sitosol. Keuntungan lain dari pemakaian vasopresin arginin sebagai zat presor pada pasien sepsis adalah tempat-termpat vasodilatasi mayor pada sepsis (sirkulasi splansnik, otot dan kulit) merupakan vascular bed yang mengandung banyak reseptor V1a vasopresin arginin receptors.

Filtrasi glomerulus ditentukan oleh selisih bersih dari tekanan arteri antara arteriol aferen dan arteriol eferen (dinamakan transcapillary filtration pressure). Norepinefrin merupakan vasokonstriktor kuat dari arteriol aferen glomerulus, sehingga menurunkan tekanan filtrasi dan dapat mengkontribusi atau memperpanjang perjalanan gagal ginjal akut pada pasien sepsis. Kebalikannya, vasopresin arginin telah diperlihatkan menyebabkan konstriksi arteriol eferen, sehingga meningkatkan tekanan filtrasi, dan selanjutnya meningkatkan laju filtrasi glomerulus.

Page 59: Sepsis

54

Keputusan menggunakan vasopresin arginin sebagai zat vasopresor, harus mempertimbangkan beberapa sifat fisiologis tambahan.12 Kadar vasopresin arginin yang meningkat menyebabkan vasokonstriksi arteri koroner dan telah dilaporkan menyebabkan infark miokard. Berlawanan dengan norepinefrin and angiotensin II, vasopresin arginin tidak memiliki efek inotropik. Jadi, peningkatan afterload selama pemberian infus vasopresin arginin bisa mengurangi curah jantung. Lebih dari itu, selama sepsis, curah jantung yang meningkat umumnya suboptimal bagi pasien, mengingat penurunan tahanan tepi dan afterload. Ini disebabkan sitokin-sitokin sirkulasi seperti TNF yang diinduksi sepsis memiliki sifat menekan jantung.27Lebih lanjut, miokarditis interstisial dan disfungsi diastolik juga telah dilaporkan terjadi selama sepsis.28 Karena vasopresin arginin merupakan vasokonstriktor kuat yang mengurangi kapasitas splansnik(splanchnic compliance), kelebihan cairan yang diberikan akan tersebar lebih ke sentral, dan bisa mengakibatkan edema paru non-kardiogenik (pseudo–acute respiratory distress syndrome).6,29 Walaupun demikian, pemberian vasopresin arginin bisa efektif pada pasien dengan syok septik yang mengalami vasodilatasi dan resistensi relatif terhadap hormon presor lain.

Efek-efek vasodilatasi arterial sistemik terhadap volume cairan tubuh dan Starling Forces

Selisih antara tekanan onkotik dan hidrostatik di pembuluh darah dan interstisial (Starling forces) menentukan apakah air plasma tetap berada dalam lumen pembuluh darah atau merembes ke interstisial. Kajian eksperimental pada tikus memeriksa efek vasodilatasi arteri terhadap Starling forces, distribusi albumin, dan volume cairan tubuh pada hewan normal.30 Pemberian vasodilator arterial yang kuat (minoxidil) ditunjukkan menyebabkan retensi natrium dan air dengan akibat ekspansi volume plasma dan interstisial. Dengan penggunaan kapsul subkutan Guyton's , yang bisa mengukur tekanan interstisial, vasodilatasi arteri pada model tikus ditunjukkan memulihkan tekanan negatif normal di dalam interstisial.30 Selanjutnya, selama loading normal saline, tekanan interstisial meningkat pada hewan tanpa vasodilatasi, sedangkan tekanan interstisial pada hewan yang telah mengalami vasodilatasi tidak bertambah tinggi. Penurunan tekanan interstisial yang terjadi dengan pemberian albumin hiperonkotik pada hewan normal tidak terjadi pada hewan

Page 60: Sepsis

55

dengan vasodilatasi. Efek terakhir ini mungkin disebabkan peningkatan distribusi albumin di dalam ruang interstisial yang terjadi dengan vasodilatasi arteri. Jaringan pembuluh darah paru cenderung menimbun cairan interstisial pada situasi ini. Jika berlaku pada manusia, temuan-temuan ini akan menunjukkan bahwa pasien sepsis yang mengalami vasodilatasi rentan mengalami edema paru nonkardiogenik. Sebenarnya kasus ini sudah terbukti.

Neveu dkk.31 melakukan kajian prospektif yang melibatkan 345 pasien gagal ginjal akut dengan atau tanpa sepsis. Perbedaan yang paling dramatis adalah meningkatnya kebutuhan akan ventilasi mekanik (70 persen vs. 47 persen, P=0.001) dan mortalitas lebih tinggi (74,5 persen vs. 45,2 persen, P<0.001) pada pasien dengan sepsis. Gambar 2 melukiskan rangkaian peristiwa yang terjadi pada pemberian cairan yang terlalu agresif, yang menyebabkan peningkatan volume interstisial pada pasien sepsis dan gagal ginjal akut yang mengalami vasodilatasi.

Model eksperimental Endotoksemia dan Sepsis

Hormon vasoaktif

Terdapat bukti bahwa pada fase dini dari gagal ginjal akut yang terkait sepsis, faktor patogenesis yang dominan adalah vasokonstriksi renal dengan fungsi tubulus utuh, sebagaimana ditunjukkan dengan penigkatan reabsorpsi air dan natrium di tubulus. Jadi, intervensi pada stadium ini bisa mencegah progresi ke ATN(acute tubular necrosis). Sebagai contoh, jika endotoksin diinfuskan ke dalam model hewan yang sadar, kejadian-kejadian dini mencakup eksresi fraksi Na kurang dari 1%, yang menunjukkan fungsi tubulus baik.32 Ekskresi fraksional natrium dihitung sebagai [(natrium urin x kreatining plasma) ÷ (natrium plasma x kreatinin urin)] x 100. Tingkat ekskresi fraksional ini dapat mengakibatkan azotemia pra renal. Jika keadaan azotemia pra renal ini menetap, ekskresi fraksional natrium bertambah. Ini menunjukkan disfungsi tubulus yang bisa berlanjut ke ATN (acute tubular necrosis). Walaupun aktivasi poros neurohumoral selama vasodilatasi arteri yang terjadi pada sepsis sangat penting dalam memelihara integritas sirkulasi arteri, aktivasi ini disertai vasokonstruksi renal(Gambar 1). Kadar katokolamin plasma

Page 61: Sepsis

56

dan aktivasi sistem renin–angiotensin–aldosteron diketahui meninggi pada kasus sepsis10 dan syok septik.11 Pola aktivasi hormonal ini telah diamati pada model tikus normotensif. Endotoksemia diinduksi pada tikus dengan lipopolisakarida (5 mg /kgbb).32 Pada model yang sama, denervasi ginjal memberikan perlindungan besar terhadap penurunan laju filtrasi glomerulus selama 16 jam pertama endotoksemia. Kajian demikian menunjukkan bahwa efek-efek hormon vasoaktif ini terhadap ginjal diperantarai oleh saraf dan dapat berkontribusi terhadap gagal ginjal akut yang terlihat pada kasus sepsis.

Hormon presor lainnya yang telah diamati meninggi pada sepsis adalah endotelin, suatu vasokonstriktor kuat. Vasokonstriksi renal pada sepsis agaknya disebabkan kemampuan TNF melepaskan endotelin. 34 Memang, penyuntikan antiserum endotelin-1 secara intra-renal bisa memulihkan penurunan laju filtrasi glomerulus yang diinduksi endotoksin.35 Selama endotoksemia, endotelin bisa juga menyebabkan kebocoran cairan dari kapiler dan dengan demikian mengurangi volume plasma.36

NO sintase Endotel dan iNOS (Inducible Nitric Oxide Synthase)

Efek vasodilator dari constitutive endothelial nitric oxide synthase didalam ginjal dapat diantisipasi mengurangi vasokonstriksi renal yang diinduksi norepinefrin, angiotensin II, dan endotelin selama sepsis. Tetapi, hasil kajian in vitro menunjukkan bahwa peningkatan kadar nitric oxide plasma yang diinduksi iNOS (inducible nitric oxide synthase) selama endotoksemia menyebabkan penurunan (down-regulated) terhadap endothelial nitric oxide synthase di dalam ginjal.37 Namun, ketika sitokin mengaktifkan inducible nitric oxide synthase, bukan hanya kadar nitric oxide plasma yang naik, melainkan juga ekspresi iNOS meningkat dalam korteks ginjal.32 Berhubungan dengan peningkatan ekspresi iNOS ini, peningkatan progresi dalam CGMP di korteks ginjal terjadi selama 16 jam pertama setelah paparan endotoksin. Kendati demikian, pada 24 jam kadar nitric oxide plasma tetap tinggi, walaupun cGMP ginjal telah menurun. Karena cGMP merupakan pembawa pesan sekunder untuk vasodilatasi yang dimediasi nitric oxide, down-regulation dari enzim ini pada 24

Page 62: Sepsis

57

jam bisa juga berkontribusi terhadap vasokonstriksi renal selama sepsis.

Kerusakan endotel terjadi selama sepsis dan dapat disertai mikrotrombus dan peningkatan kadar von Willebrand factor di dalam sirkulasi.32 Kerusakan endotel yang terkait dengan sepsis bisa juga melemahkan atau menghapus efek normal dari endothelial nitric oxide synthase pada ginjal. Efek ini digunakan untuk melawan efek vasokonstriktor norepinefrin, endotelin, dan angiotensin II. Kajian pada mencit di mana ekspresi endothelial nitric oxide synthase atau inducible nitric oxide synthase telah dihapus, telah banyak membantu dalam menjelaskan pentingnya kerusakan endotel selama sepsis. Karena tidak ada penghambat spesifik dari endothelial nitric oxide synthase, efek endotoksin (lipopolisakarida) diuji pada mencit dengan ablasi endothelial nitric oxide synthase ( knockout mice). Mencit mengalami peningkatan tekanan darah dan tahanan pembuluh darah ginjal bermakna dibandingkan mencit kontrol. Dosis kecil endotoksin, yang tidak mengubah laju filtrasi glomerulus pada mencit kontrol, menyebabkan penurunan mencolok dalam laju filtrasi glomerulus pada mencit ablasi ini ( knockout mice).40

Endotoksemia

Tumor Necrosis Factor dan radikal bebas oksigen (Reactive Oxygen Species)

Telah dilaksanakan juga kajian pada mencit dengan ablasi iNOS untuk menentukan peran kadar nitric oxide yang tinggi pada gagal ginjal akut yang berkaitan dengan endotoksemia. Dosis endotoksin(llipopolisakarida) 5 mg /kgbb menyebabkan kenaikan besar dan progresif dari kadar nitric oxide plasma pada model mencit normotensif melalui iNOS( inducible nitric oxide synthase). Tetapi, mencit di mana iNOS diablasi, dosis endotoksin yang sama gagal menyebabkan kenaikan nitric oxide plasma.38 Walaupun demikian mencit-mencit ablasi iNOS ini(knockout mice) masih mengalami penurunan dalam laju filtrasi glomerulus setelah mendapat endotoksin. Ini memberi kesan bahwa sitokin seperti TNF bisa menyebabkan vasokonstriksi renal sekalipun tanpa iNOS. Peran TNF dalam gagal ginjal akut yang disebabkan endotoksin telah diuji pada kajian hewan dan manusia. Walaupun reseptor soluble TNF

Page 63: Sepsis

58

(TNFsRp55) memberikan proteksi terhadap ginjal pada endotoksemia mencit,38 suatu uji acak prospektif dari antibodi monoklonal terhadap TNF (the MONARCS [Monoclonal Anti-TNF: A Randomized Controlled Sepsis] trial) tidak memperlihatkan perbaikan dalam survival pasien. 41,42

Endotoksemia diketahui berhubungan dengan pembentukan radikal oksigen, sehingga dapat berkontribusi pada fase vasokonstriksi (dini) dari gagal ginjal akut. Senyawa endogen yang bersifat anti radikal oksigen bisa meringankan jejas tubulus ginjal atau jejas pembuluh darah ginjal (atau keduanya) yang disebabkan spesies oksigen reaktif selama endotoksemia. Namun, kadar messenger RNA dan protein dari "the endogenous scavenger" ini ( superoxide dismutase ekstrasel), yang banyak ditemukan di pembuluh darah dan ginjal, telah diamati berkurang pada mencit selama endotoksemia.32 Sebaliknya, "the mitochondrial scavenger" (manganese superoxide dismutase) dan "the cytoplasmic scavenger" (copper–zinc superoxide dismutase) diamati tidak berubah selama endotoksemia. Oxygen-radical scavenger eksogen diperlihatkan memberi perlindungan dari gagal ginjal akut pada endotoksemia model mencit normotensif . Pada model mencit syok septik dan gagal ginjal, pemberian SOD( superoxide dismutase) mimetic yang memiliki sifat-sifat oxygen-radical scavengers menurunkan angka kematian pada hewan. Radikal oksigen juga mengubah nitric oxide menjadi peroksinitrit, suatu spesies radikal bebas yang sangat merusak. Lebih lanjut, penurunan endothelial nitric oxide synthase terjadi pada ginjal bila terdapat kerusakan endotel yang disebabkan radikal oksigen. Ini dapat memperberat fase vasokonstriksi dini dari gagal ginjal akut. Gambar 3 melukiskan efek baik dan efek buruk dari nitric oxide selama sepsis.

Penghambat (inhibitor) non spesifik dari Nitric Oxide Synthase

Kajian-kajian pada hewan dan manusia telah memeriksa peran enzim nitric oxide synthase dalam penurunan laju filtrasi glomerulus selama endotoksemia. Tidak dijumpai perlindungan terhadap ginjal dengan pemberian penghambat non-spesifik dari nitric oxide synthase, yakni NG-nitro-L-arginine methyl ester, pada model tikus gagal ginjal akibat endotoksemia. Pada

Page 64: Sepsis

manusia penggunaan iinhibitor non-spesifik lainnya dari nitric oxide synthase, yaitu NG-monomethyl-L-arginine, didapatkan

59

Gambar 3. Efek-Efek Baik dan Buruk dari Nitric Oxide terhadap Ginjal selama Sepsis

Perangsangan nitric oxide sinthase dan pelepasan radikal oksigen selama

Page 65: Sepsis

sepsis mengakibatkan:

1) kerusakan tubulus karena peroksinitrit,

2) vasodilatasi sistemik, dan

3) down-regulation dari endothelial nitric oxide synthase ginjal . Namun endotoksemia dapat meningkatkan inducible nitric oxide synthase korteks ginjal, dengan hasil peningkatan nitric oxide.

Nitric oxide dapat memberi perlindungan terhadap ginjal dengan menghambat mikrotrombus di glomerulus yang disebabkan agregasi trombosit, dan menyebabkan vasodilatasi oleh cyclic guanosine monophosphate untuk melawan vasokonstriksi ginjal. (yang terjadi karena hiperaktivitas simpatis dan angiotensin II selama sepsis). Anak panah padat menunjukkan aktivasi, sedangkan anak panah terputus menunjukkan penghambatan.

meningkatkan mortalitas pada pasien syok septik.44 Karena inhibitor ini menghambat iNOS maupun endothelial nitric oxide synthases, dilakukan kajian lanjut dengan model tikus dengan penghambat spesifik dari iNOS, yakni N6-(1-iminoethyl)-L-lysine, yang akan menjaga efek protektif dari endothelial nitric oxide synthase terhadap ginjal. 37 N6-(1-iminoethyl)-L-lysine terlihat memiliki efek protektif pada eksperimen, namun hasil-hasil nya memerlukan konfirmasi pada uji klinik.

Sitokin, Khemokin dan molekul adhesi

Fase vasokonstriksi dini dari gagal ginjal akut selama endotoksemia dapat diikuti oleh fase pro-inflamatorik, walaupun mungkin ada tumpang tindih dalam proses-proses ini. Diketahui bahwa caspase mengaktifkan interleukin-1 and interleukin-18 , dengan hasil up-regulation dari molekul-molekul adhesi yang memacu infiltrasi neutrofil selama endotoksemia. Peran caspase dalam endotoksemia telah ditegaskan oleh pengamatan bahwa mencit dengan ablasi caspase-1 terlindung dari gagal ginjal yang diindusi iskemia45 atau endotoksemia.46 Beberapa khemokin juga diekspresikan selama endotoksemia sehubungan dengan infiltrasi neutrofil dan makrofag ke dalam glomerulus dan interstisium.

Kompleks yang tersusun atas lipopolisakarida dan protein pengikat polisakarida mengaktifkan reseptor CD4 dan TLR yang menyebabkan up-regulation dari nuclear factor-B (NF-

60

Page 66: Sepsis

B). NF- B adalah faktor transkripsi untuk promoter berbagai sitokin, khemokin dan molekul adhesi.47 Oleh karena itu, aktivasi NF- B dapat menjadi faktor kritis dalam fase pro-inflamatorik yang melibatkan "badai" sitokin, khemokin dan molekul adhesi, yang bisa menjurus ke gagal ginjal akut dan kematian. Obat penghambat NF- B bisa melindungi dari endotoksemia lebih baik daripada obat yang bekerja pada masing-masing sitokin, khemokin dan molekul adhesi.47 Senyawa-senyawa ini perlu diteliti di laboratorium hewan maupun dalam uji klinik manusia dengan kombinasi sepsis dan gagal ginjal akut.

Lintasan-lintasan komplemen diaktifkan selama sepsis oleh produk bakteri, seperti lipopolisakarida, C-reactive protein, dan rangsang lain. Komplemen C5a yang terbentuk selama sepsis tampaknya memiliki sifat pro-koagulan, dan penghambatan terhadap C5a dan C5a receptor pada model rodent diperlihatkan memperbaiki survival. 49,50,51

Walaupun model hewan dari sepsis dan endotoksemia telah memberikan wawasan ke sepsis dan gagal ginjal akut, ekstrapolasinya ke pasien sepsis harus dilakukan dengan hati-hati. Juga, model mencit dengan sepsis diinduksi dengan pemberian lipopolisakarida. Ini berbeda dari model yang diperoleh dengan ligasi dan pungsi sekum.52,53

Koagulasi Intravaskular Diseminata

Sepsis mempengaruhi ekspresi rangkaian komplemen, koagulasi dan fibrinolisis. Sepsis bisa dipandang sebagai status pro-koagulan yang bisa menjurus ke Koagulasi Intravaskular Diseminata dengan koagulopati, trombosis dan perdarahan. Koagulasi Intravaskular Diseminata telah dikaitkan dengan mikrotrombus dan gagal ginjal akut.54 Uji klinik acak dan prospektif telah dilaksanakan untuk mengevaluasi metode intervensi proses prokoagulan yang terkait dengan sepsis. Kajian acak prospektif yang besar PROWESS (Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis) memperlihatkan bahwa recombinant human activated protein C (drotrecogin alfa) secara bermakna memperbaiki survival pada pasien dengan sepsis berat dibandingkan dengan pasien yang mendapat plasebo (75,3 %t vs. 68,3%,

61

Page 67: Sepsis

62

P=0.006).55 Hasil-hasil tes faal ginjal tidak dilaporkan dalam uji klinik ini

Resusitasi Dini

Karena, fase vasokonstriksi dini dan gagal ginjal akut ada kemungkinan reversibel, waktu yang optimal penting dalam intervensi. Namun, uji klinik yang dilakukan pada pasien sampai 72 jam setelah masuk ICU, di mana dilakukan upaya untuk mengoptimalkan hemodinamik dan pemantauan dengan kateter arteri pulmonalis, hasilnya bukan hanya nihil 56,57,58,59

melainkan memperlihatkan peningkatan mortalitas pada pasien sepsis. Sebaliknya, suatu kajian acak pada 263 pasien dengan kadar kreatinin serum rata-rata 2,6 mg/dl (230 µmol/L) ketika masuk IGD, memperlihatkan bahwa terapi dini yang tepat sasaran selama enam jam setelah masuk memberikan hasil efektif.60 Saturasi oksigen vena sentral dipantau kontinyu saat terapi dimulai. MOD score berkurang bermakna dan mortalitas di RS menurun (30,5 %, dibanding 46,5 % pasien kontrol, yang mendapat perawatan standar; P=0.009). Pendekatan tepat sasaran (The goal-directed approach) meliputi ekspansi volume dini, dan pemberian vasopresor untuk mempertahankan MAP > 65 mm Hg dan transfusi eritrosit untuk menaikkan hematokrit menjadi 30% atau lebih jika saturasi oksigen vena sentral < 70%. Jika intervensi ini gagal menaikkan saturasi oksigen vena sentral menjadi lebih dari 70%, maka terapi dobutamin diberikan.

Hiperglikemia dan Insulin

Hiperglikemia mengganggu fungsi leukosit dan makrofag. Suatu kajian acak pada 1548 pasien membandingkan pengunaan insulin untuk mengendalikan gula darah dengan ketat (mempertahankan kadar glukosa darah antara 80 dan110 mg/dl [4,4 dan 6,1 mmol/l]) dengan terapi konvensional di mana insulin diberikan hanya jika gula darah melewati 215 mg/dl [11,9 mmol/L]. Tujuan terapi konvensional ini mempertahankan kadar glukosa darah antara 180 dan 220 mg/dl [10,0 dan12,2 mmol/L]).61 Kelompok dengan kontrol ketat memperlihatkan mortalitas lebih rendah di ICU dibandingkan dengan terapi konvensional (4,6 % vs. 8 %, P<0.04), 46 % penurunan biakan darah positif dan 41% penurunan gagal ginjal akut yang membutuhkan dialisis atau hemofiltrasi. Gagal

Page 68: Sepsis

63

organ ganda dengan bukti fokus sepsis juga berkurang (8 kasus vs. 33 kasus, P=0.02). Kajian-kajian terbaru mendukung pentingnya kontrol gula darah pada pasien sakit kritis tetapi menyarankan sasaran yang tidak terlalu ketat, yakni glukosa darah pada tingkat < 145 mg/dl (8,0 mmol/L) .62

Glukokortikoid dan Ventilasi Mekanik

Glukokortikoid telah diketahui menambah efek presor dari katekolamin. Tetapi, kajian-kajian terdahulu di mana syok septik diterapi dengan dosis tinggi hormon glukokortikoid untuk waktu singkat, ternyata tidak memperlihatkan manfaat.63,64 Walaupun demikian, suatu uji klinik baru 65 pada pasien syok septik memperlihatkan bahwa pasien tanpa respon ke kortikotropin (didefinisikan sebagai kenaikan kortisol bebas plasma kurang dari 9 µg /dL pada 30 atau 60 menit) yang diterapi selama 7 hari dengan bolus IV 50 mg hidrokortison setiap 6 jam plus fludrokortison oral setiap hari (tablet 50-µg ) mengalami penurunan mortalitas pada 28 hari dibandingkan kelompok plasebo (63 % vs. 53 %, P=0.02). Pada uji klinik acak ini,229 dari 299 pasien syok septik diklasifikasikan sebagai tidak memberi respon. Tidak ada perbedaan mortalitas antara 70 pasien yang memberi respon terhadap kortikotropin. Penghentian (withdrawal) vasopresor juga lebih baik secara bermakna pada 28 hari pada pasien tanpa respon (40 % vs. 57 %, P<0.001).65 Walaupun uji klinik ini tidak melaporkan hasil-hasil fungsi ginjal, diketahui bahwa syok septik berkaitan dengan gagal ginjal akut pada 38% pasien dengan biakan negatif dan 51% pasien dengan biakan positif.2

Kajian-kajian lain memperlihatkan bahwa makin panjang durasi ventilasi mekanik, makin tinggi mortalitas pasien sepsis dengan gagal ginjal akut.31 Satu kajian memperlihatkan bahwa interupsi infus kontinyu obat sedatif pada pasien kritis yang mendapat ventilasi mekanik, mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk ventilator (7,3 vs. 4,9 hari, P=0.004) dan waktu rawat di ICU (9,9 vs. 6,4 hari, P=0.02).66

Pengganti Ginjal (Renal Replacement)

Pasien sepsis dan ARF bersifat hiperkatabolik. Kajian-kajian memberi kesan bahwa peningkatan dosis dialisis memperbaiki survival pada pasien yang hiperkatabolik dan gagal ginjal akut.

Page 69: Sepsis

64

Sebagai contoh, survival membaik dengan hemodialisis agresif dibandingkan PD( peritoneal dialysis) pada pasien dengan heatstroke, rhabdomyolysis, dan ARF.67 Hemofiltrasi telah ditunjukkan menghasilkan survival lebih baik dibandinjg PD pada pasien ARF yang terkait dengan malaria dan infeksi lain.68 Suatu kajian baru memperlihatkan bahwa hemodialisis setiap hari dibandingkan dengan hemodialisis setiap dua hari, diikuti dengan lebih sedikit SIRS atau sepsis (22 % vs. 46 %, P=0.005), mortalitas lebih rendah(28 % vs. 46 %, P<0.01) dan durasi ARF lebih singkat (mean [±SD], 9±2 vs. 16±6 hari; P=0.001).69

CRRT (Continuous renal-replacement therapy) semakin banyak digunakan untuk mengatasi gagal ginjal akut. Suatu uji acak menggunakan CVVH (continuous venovenous hemofiltration) memberi kesan bahwa laju ultrafiltasi 35 atau 45 ml /kg/jam, dibandingkan 20 ml/kg/jam memperbaiki survival pada ARF (P<0.001).70 Lebih lanjut, pada pasien ARF karena sepsis , survival lebih baik diamati dengan laju ultrafiltrasi 45 ml/kg/jam dibandingkan 35 ml/kg/jam. Namun, meta-analisis dari HD dibandingkan CRRT pada ARF belum menunjukkan terapi mana yang lebih unggul.71 Manfaat dari membuang sitokin dengan CRRT juga harus dibuktikan untuk memperbaiki survival pada pasien sepsis dan ARF.

Kesimpulan

Acute renal failure(ARF, gagal ginjal akut) merupakan komplikasi lazim dari sepsis dan syok septik. Pasien yang gagal ginjal akut karena sepsis memiliki mortalitas jauh lebih tinggi daripada ARF sendiri tanpa sepsis. Model eksperimental dari endotoksemia dan sepsis memberikan informasi terhadap patogenesis gagal ginjal akut yang terkait sepsis, tetapi hasil dari model demikian harus diperiksa dengan ketat sebelum menerapkannya pada pasien sepsis. Seperti diperlihatkan pada Gambar 4. uji klinik terbaru mengindikasikan bahwa intervensi yang didasarkan atas berbagai faktor patogenesis yang dikemukakan pada ARF yang terkait sepsis mungkin memiliki efek yang menguntungkan terhadap insiden gagal ginjal akut dan mortalitas pada pasien ARF.

Page 70: Sepsis

Gambar 4. Metode untuk meringankan atau mencegah ARF karena sepsis .Vasopresin arginin (AVP) dan hidrokortison (50 mg setiap 6 jam selama tujuh hari) dapat menjadi terapi yang efektif untuk hipotensi yang resisten terhadap vasopresor, serta mengurangi kemungkinan komplikasi ARF selama syok septik. Resusitasi dini pada pasien sepsis dapat mencegah progresi dari azotemia pra renal menjadi ATN (acute tubular necrosis). Kadar glukosa darah perlu dipertahankan di bawah 145 mg/dL (8 mmol/L). Ini dapat menurunkan insiden gagal ginjal akut. gagal organ ganda ,dan kematian Terakhir, activated protein C bisa mengurangi DIC dengan trombus glomerulus dan mikrovaskular, sehingga menurunkan mortalitas. Tanda T menunjukkan penghambatan. Disadur dan Diterjemahkan dari Schrier RW, Wang W. Acute Renal Failure and Sepsis. New England Journal Of Medicine.Volume 351:159-169 July 8, 2004 Number 2

65

Page 71: Sepsis

66

Referensi

1. Riedemann NC, Guo RF, Ward PA. The enigma of sepsis. J Clin Invest 2003;112:460-467.

2. Rangel-Frausto MS, Pittet D, Costigan M, Hwang T, Davis CS, Wenzel RP. The natural history of the systemic inflammatory respone syndrome (SIRS): a prospective study. JAMA 1995;273:117-123.

3. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med 2001;29:1303-1310.

4. Edelstein CL, Schrier RW. Pathophysiology of ischemic acute renal failure. In: Schrier RW, ed. Diseases of the kidney and urinary tract. 7th ed. Vol. 2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:1041-69.

5. Landry DW, Oliver JA. The pathogenesis of vasodilatory shock. N Engl J Med 2001;345:588-595.

6. Esson ML, Schrier RW. Diagnosis and treatment of acute tubular necrosis. Ann Intern Med 2002;137:744-752.

7. Brivet FG, Kleinknecht DJ, Loirat P, Landais PJ. Acute renal failure in intensive care units -- causes, outcome, and prognostic factors of hospital mortality: a prospective, multicenter study. Crit Care Med 1996;24:192-198.

8. Schrier RW. Body fluid volume regulation in health and disease: a unifying hypothesis. Ann Intern Med 1990;113:155-159.

9. Schrier RW, Abraham WT. Hormones and hemodynamics in heart failure. N Engl J Med 1999;341:577-585.

10. Benedict CR, Rose JA. Arterial norepinefrin changes in patients with septic shock. Circ Shock 1992;38:165-172.

11. Cumming AD, Driedger AA, McDonald JW, Lindsay RM, Solez K, Linton AL. Vasoactive hormones in the renal respone to systemic sepsis. Am J Kidney Dis 1988;11:23-32.

12. Thiemermann C, Szabo C, Mitchell JA, Vane JR. Vascular hyporeactivity to vasoconstrictor agents and hemodynamic decompensation in hemorrhagic shock is mediated by nitric oxide. Proc Natl Acad Sci U S A 1993;90:267-271.

13. Titheradge MA. Nitric oxide in septic shock. Biochim Biophys Acta 1999;1411:437-455.

14. Hollenberg SM, Broussard M, Osman J, Parrillo JE. Increased microvascular reactivity and improved mortality in septic mice lacking inducible nitric oxide synthase. Circ Res 2000;86:774-778.

15. Hollenberg SM, Cunnion RE, Zimmerberg J. Nitric oxide synthase inhibition reverses arteriolar hyporesponiveness to catecholamines in septic rats. Am J Physiol 1993;264:H660-H663.

16. Davies NW. Modulation of ATP-sensitive K+ channels in skeletal muscle by intracellular protons. Nature 1990;343:375-377.

17. Keung EC, Li Q. Lactate activates ATP-sensitive potassium channels in guinea pig ventricular myocytes. J Clin Invest 1991;88:1772-1777.

18. Morales D, Madigan J, Cullinane S, et al. Reversal by vasopressin of intractable hypotension in the late phase of hemorrhagic shock. Circulation 1999;100:226-229.

Page 72: Sepsis

67

19. Landry DW, Levin HR, Gallant EM, et al. Vasopressin deficiency contributes to the vasodilation of septic shock. Circulation 1997;95:1122-1125.

20. Wakatsuki T, Nakaya Y, Inoue I. Vasopressin modulates K(+)-channel activities of cultured smooth muscle cells from porcine coronary artery. Am J Physiol 1992;263:H491-H496.

21. Umino T, Kusano E, Muto S, et al. AVP inhibits LPS- and IL-1beta-stimulated NO and cGMP via V1 receptor in cultured rat mesangial cells. Am J Physiol 1999;276:F433-F441.

22. Zerbe RL, Henry DP, Robertson GL. Vasopressin respone to orthostatic hypotension: etiologic and clinical implications. Am J Med 1983;74:265-271.

23. Kaufmann H, Oribe E, Oliver JA. Plasma endothelin during upright tilt: relevance for orthostatic hypotension? Lancet 1991;338:1542-1545.

24. Arnauld E, Czernichow P, Fumoux F, Vincent JD. The effects of hypotension and hypovolaemia on the liberation of vasopressin during haemorrhage in the unanaesthetized monkey (Macaca mulatta). Pflugers Arch 1977;371:193-200.

25. Bartelstone HJ, Nasmyth PA. Vasopressin potentiation of catecholamine actions in dog, rat, cat, and rat aortic strip. Am J Physiol 1965;208:754-762.

26. Cowley AW Jr, Liard JF. Vasopressin and arterial pressure regulation: special lecture. Hypertension 1988;11:I-25.

27. Kumar A, Haery C, Parrillo JE. Myocardial dysfunction in septic shock. Crit Care Clin 2000;16:251-287.

28. Fernandes Junior CJ, Iervolino M, Neves RA, Sampaio EL, Knobel E. Interstitial myocarditis in sepsis. Am J Cardiol 1994;74:958-958.

29. Schrier RW, Abraham E. Aggressive volume expansion and pseudo-ARDS. Hosp Pract (Off Ed) 1995;30:19, 23-19, 23.

30. Sanz E, Lopez Novoa JM, Linares M, Digiuni E, Caramelo CA. Intravascular and interstitial fluid dynamics in rats treated with minoxidil. J Cardiovasc Pharmacol 1990;15:485-492.

31. Neveu H, Kleinknecht D, Brivet F, Loirat P, Landais P. Prognostic factors in acute renal failure due to sepsis: results of a prospective multicentre study. Nephrol Dial Transplant 1996;11:293-299.

32. Kikeri D, Pennell JP, Hwang KH, Jacob AI, Richman AV, Bourgoignie JJ. Endotoxemic acute renal failure in awake rats. Am J Physiol 1986;250:F1098-F1106.

33. Wang W, Falk SA, Jittikanont S, Gengaro PE, Edelstein CL, Schrier RW. Protective effect of renal denervation on normotensive endotoxemia-induced acute renal failure in mice. Am J Physiol Renal Physiol 2002;283:F583-F587.

34. Hohlfeld T, Klemm P, Thiemermann C, Warner TD, Schror K, Vane JR. The contribution of tumour necrosis factor-alpha and endothelin-1 to the increase of coronary resistance in hearts from rats treated with endotoksin. Br J Pharmacol 1995;116:3309-3315.

35. Kon V, Badr KF. Biological actions and pathophysiologic significance of endothelin in the kidney. Kidney Int 1991;40:1-12.

36. Filep JG. Role for endogenous endothelin in the regulation of plasma volume and albumin escape during endotoksin shock in conscious rats. Br J Pharmacol 2000;129:975-983.

37. Schwartz D, Mendonca M, Schwartz I, et al. Inhibition of constitutive nitric oxide synthase (NOS) by nitric oxide generated by inducible

Page 73: Sepsis

68

NOS after lipopolysaccharide administration provokes renal dysfunction in rats. J Clin Invest 1997;100:439-448.

38. Knotek M, Rogachev B, Wang W, et al. Endotoxemic renal failure in mice: role of tumor necrosis factor independent of inducible nitric oxide synthase. Kidney Int 2001;59:2243-2249.

39. Reinhart K, Bayer O, Brunkhorst F, Meisner M. Markers of endothelial damage in organ dysfunction and sepsis. Crit Care Med 2002;30:Suppl:S302-S312.

40. Wang W, Mitra A, Poole BD, Falk SA, Schrier RW. Endothelial nitric oxide synthase (eNOS) deficient mice exhibit increased susceptibility to endotoksin-induced acute renal failure (ARF). J Am Soc Nephrol (in press).

41. Gallagher J, Fisher C, Sherman B, et al. A multicenter, open-label, prospective, randomized, dose-ranging pharmacokinetic study of the anti-TNF-alpha antibody afelimomab in patients with sepsis syndrome. Intensive Care Med 2001;27:1169-1178.

42. Reinhart K, Karzai W. Anti-tumor necrosis factor therapy in sepsis: update on clinical trials and lessons learned. Crit Care Med 2001;29:Suppl:S121-S125.

43. Wang W, Jittikanont S, Falk SA, et al. Interaction among nitric oxide, reactive oxygen species, and antioxidants during endotoxemia-related acute renal failure. Am J Physiol Renal Physiol 2003;284:F532-F537.

44. Lopez A, Lorente JA, Steingrub J, et al. Multiple-center, randomized, placebo-controlled, double-blind study of the nitric oxide synthase inhibitor 546C88: effect on survival in patients with septic shock. Crit Care Med 2004;32:21-30.

45. Melnikov VY, Ecder T, Fantuzzi G, et al. Impaired IL-18 processing protects caspase-1-deficient mice from ischemic acute renal failure. J Clin Invest 2001;107:1145-1152.

46. Wang W, Reznikof L, Falk SA, et al. Caspase-1 knockout mice are resistant to endotoxemic acute renal failure (ARF). J Am Soc Nephrol 2003;14:350A-350A.

47. Schor N. Acute renal failure and the sepsis syndrome. Kidney Int 2002;61:764-776.

48. Ulloa L, Ochani M, Yang H, et al. Ethyl pyruvate prevents lethality in mice with established lethal sepsis and systemic inflammation. Proc Natl Acad Sci U S A 2002;99:12351-12356.

49. Riedemann NC, Guo RF, Neff TA, et al. Increased C5a receptor expression in sepsis. J Clin Invest 2002;110:101-108.

50. Huber-Lang MS, Riedeman NC, Sarma JV, et al. Protection of innate immunity by C5aR antagonist in septic mice. FASEB J 2002;16:1567-1574.

51. Czermak BJ, Sarma V, Pierson CL, et al. Protective effects of C5a blockade in sepsis. Nat Med 1999;5:788-792.

52. Remick DG, Newcomb DE, Bolgos GL, Call DR. Comparison of the mortality and inflammatory respone of two models of sepsis: lipopolysaccharide vs. cecal ligation and puncture. Shock 2000;13:110-116.

53. Fink MP, Heard SO. Laboratory models of sepsis and septic shock. J Surg Res 1990;49:186-196.

54. Shimamura K, Oka K, Nakazawa M, Kojima M. Distribution patterns of microthrombi in disseminated intravascular coagulation. Arch Pathol Lab Med 1983;107:543-547.

Page 74: Sepsis

69

55. Bernard GR, Vincent J-L, Laterre P-F, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001;344:699-709.

56. Connors AF Jr, Speroff T, Dawson NV, et al. The effectiveness of right heart catheterization in the initial care of critically ill patients. JAMA 1996;276:889-897.

57. Opal SM, Cross AS. Clinical trials for severe sepsis: past failures, and future hospes. Infect Dis Clin North Am 1999;13:285-297.

58. Hayes MA, Timmins AC, Yau EHS, Palazzo M, Hinds CJ, Watson D. Elevation of systemic oxygen delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med 1994;330:1717-1722.

59. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P, et al. A trial of goal-oriented hemodynamic therapy in critically ill patients. N Engl J Med 1995;333:1025-1032.

60. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345:1368-1377.

61. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in critically ill patients. N Engl J Med 2001;345:1359-1367.

62. Finney SJ, Zekveld C, Elia A, Evans TW. Glucose control and mortality in critically ill patients. JAMA 2003;290:2041-2047.

63. Cronin L, Cook DJ, Carlet J, et al. Corticosteroid treatment for sepsis: a critical appraisal and meta-analysis of the literature. Crit Care Med 1995;23:1430-1439.

64. Lefering R, Neugebauer EA. Steroid controversy in sepsis and septic shock: a meta-analysis. Crit Care Med 1995;23:1294-1303.

65. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 2002;288:862-871.

66. Kress JP, Pohlman AS, O'Connor MF, Hall JB. Daily interruption of sedative infusions in critically ill patients undergoing mechanical ventilation. N Engl J Med 2000;342:1471-1477.

67. Schrier RW, Henderson HS, Tisher CC, Tannen RL. Nephropathy associated with heat stress and exercise. Ann Intern Med 1967;67:356-376.

68. Phu NH, Hien TT, Mai NTH, et al. Hemofiltration and peritoneal dialysis in infection-associated acute renal failure in Vietnam. N Engl J Med 2002;347:895-902.

69. Schiffl H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute renal failure. N Engl J Med 2002;346:305-310.

70. Ronco C, Bellomo R, Homel P, et al. Effects of different doses in continuous veno-venous haemofiltration on outcomes of acute renal failure: a prospective randomised trial. Lancet 2000;356:26-30.

71. Tonelli M, Manns B, Feller-Kopman D. Acute renal failure in the intensive care unit: a systematic review of the impact of dialytic modality on mortality and renal recovery. Am J Kidney Dis 2002;40:875-885.

Page 75: Sepsis

70

MOF (MULTIPLE ORGAN FAILURE) & SEPSIS Latar Belakang

Pada th 1914, Schottmueller menulis, "Septicemia is a state of microbial invasion from a portal of entry into the blood stream which causes sign of illness." Definisi tersebut tidak berubah bermakna setelah bertahun-tahun karena sepsis dan septikemia dianggap mengacu sebagai sejumlah kondisi klinis yang tidak tegas di samping bakteremia. Dalam praktek, kedua istilah bisa saling berganti; namun kurang dari 50% pasien yang memiliki tanda dan gejala sepsis memiliki hasil biakan darah positif.

Pada akhir tahun 1960an, beberapa laporan melukiskan gagal organ jauh (misal, gagal paru, gagal hati) sebagai komplikasi sepsis berat. Pada 1975, suatu editorial klasik oleh Baue diberi judul"Multiple, progressive or sequential systems failure, a syndrome of the 1970s." Konsep ini diformulasi sevagai landasan dari suatu sindrom klinis baru. Beberapa istilah dikelompokkan setelah itu, misal gagal organ ganda (multiple organ failure), multiple system organ failure, dan multiple organ system failure, untuk melukiskan sindrom klinis yang berevolusi ini. Lebih baru lagi, telah dikemukan istilah yang lebih sesuai multiple organ dysfunction syndrome (MODS) .

Gagal Organ Ganda Akibat sepsis

Sepsis merupakan suatu sindrom klinis yang menjadi penyulit infeksi berat, dan ditandai oleh peradangan sistemik dan kerusakan jaringan luas. Pada sindrom ini, jaringan memperlihatkan tanda-tanda peradangan seperti vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan akumulasi leukosit. Disfungsi organ ganda adalah suatu continuum, dengan derajat gangguan fisiologis yang makin intensif pada masing-masing organ; jadi lebih merupakan proses ketimbang suatu kejadian. Perubahan fungsi organ bisa bervariasi lebar dari disfungsi ringan sampai gagal organ. Derajat disfungsi organ memiliki dampak klinis. Istilah MODS didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis di mana berkembang suatu disifungsi

Page 76: Sepsis

71

fisiologis yang progresif dan berpotensi reversibel pada 2 atau lebih organ atau sistem organ yang diinduksi oleh berbagai jejas akut yang khas, termasuk sepsis.

Pada tahun 1991, the American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine Consensus Panel mengembangkan definisi berbagai stadium sepsis.

MODS adalah fungsi organ yang berubah pada seseorang sakit kritis sedemikian rupa sehingga homeostasis tidak bisa dipertahankan tanpa intervensi. MODS primer merupakan akibat langsung dari jejas (insult) yang nyata di mana disfungsi organ terjadi dini dan bisa disebabkan oleh jejas itu sendiri. MODS sekunder berkembang sebagai konsekuensi respon hospes dan diidentifikasi dalam konteks SIRS. Respon radang terhadap toksin dan komponen kuman lain menyebabkan manifestasi klinis dari sepsis.

Keterlibatan Organ Spesifik

Disfungsi organ atau gagal organ mungkin menjadi tanda pertama dari sepsis, dan tak satupun sistem organ yang imun dari konsekuensi hiperinflamasi yang ditimbulkan sepsis

Sirkulasi

Gangguan bermakna dari otoregulasi sirkulasi merupakan tanda khas dari sepsis. Mediator vasoaktif menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas mikrovaskular pada lokasi infeksi. Nitric oxide memainkan peran sentral dalam vasodilatasi syok septik. Selain itu, gangguan sekresi vasopresin dapat terjadi, sehingga memungkinkan vasodilatasi menetap

Sirkulasi sentral: Perubahan-perubahan kinerja ventrikel baik sistolik maupun diastolik terjadi pada sepsis. Walaupun menggunakan mekanisme Frank Sterling, curah jantung sering meningkat untuk mempertahankan TD yang dihadapkan pada vasodilatasi sistemik. Pasien yang sebelumnya mengidap penyakit jantung tidak bisa meningkatkan curah jantung dengan baik. Sirkulasi regional: Sepsis mengganggu distribusi

Page 77: Sepsis

72

normal dari aliran darah sistemik ke sistem organ; oleh karena itu, organ-organ inti mungkin tidak mendapat oksigen cukup.

Mikrosirkulasi merupakan organ sasaran untuk kerusakan pada sindrom sepsis. Penurunan jumlah kapiler yang fungsional menyebabkan ketidakmampuan menarik oksigen secara maksimal. Ini disebabkan kompresi kapiler secara intrinsik dan ekstrinsik, serta penyumbatan lumen kapiler oleh sel darah. Permeabilitas endotel yang meningkat menyebab-kan edema yang tersebar luas dengan cairan kaya protein.

Redistribusi volume cairan intravaskular yang terjadi akibat berkurangnya tonus arteri, penurunan alir balik vena, dan pelepasan zat penekan miokard, semuanya menyebabkan hipotensi.

Disfungsi Paru

Kerusakan endotel pembuluh darah di paru mengakibatkan aliran darah kapiler terganggu dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi edema interstisial dan alveolar. Neutrofil yang terjebak di dalam mikrosirkulasi paru memicu dan memperkuat kerusakan terhadap membran kapiler alveolus . Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan manifestasi umum dari efek-efek ini.

Disfungsi Gastrointestinal dan Nutrisi

Saluran cerna dapat mempropagasi jejas sepsis. Lewat tumbuh bakteri di saluran cerna atas dapat diaspirasi ke dalam paru, mengakibatkan pneumonia nosokomial. Fungsi sawar normal dari usus dapat terkena, sehingga memungkinkan translokasi bakteri dan endotoksin ke sirkulasi sistemik dan memperluas respon sepsis. Syok septik biasanya menyebabkan ileus dan penggunaan narkotik dan sedatif menunda pemberian nutrisi enteral. Asupan nutrisi terganggu padahal kebutuhan akan protein dan kalori meningkat.

Hati

Page 78: Sepsis

Mengingat hati sebagai pertahanan hospes, fungsi sintesis abnormal yang disebabkan disfungsi hati bisa berkontribusi sebagai pemicu dan memperberat sepsis. Sistem RES hati bekerja sebagai benteng garis pertama dalam mebersihkan bakteri dan produknya; disfungsi hati menjurus ke "tumpahnya" produk-produk bakteri ini ke dalam sirkulasi.

Disfungsi Ginjal

Gagal ginjal akut sering menyertai sepsis akibat ATN( acute tubular necrosis). Mekanismenya adalah hipotensi sistemik, vasokonstriksi renal langsung , dan pelepasan sitokin (misal TNF), serta aktivasi neutrofil oleh endotoksin dan peptida lain yang berkontribusi sebagai "penyerang" ginjal.

Disfungsi Sistem Saraf Pusat

Keterlibatan SSP dalam sepsis menghasilkan ensefalopati dan neuropati perifer. Patogenesisnya tidak dipahami lengkap.

Mekanisme Disfungsi dan Kerusakan Organ

Mekanisme yang tepat dari jejas (injury) selular dan disfungsi organ yang ditimbulkan pada sepsis tidak dipahami penuh. Multiorgan dysfunction syndrome (sindrom disfungsi organ ganda) diduga akibat jejas sel endotel dan parenkim karena mekanisme-mekanisme berikut:

Hipoksia: Lesi sirkulasi memutus oksigenasi jaringan, mengubah regulasi metabolik terhadap hantaran oksigen jaringan, dan berkontribusi terhadap disfungsi organ. Abnormalitas mikrovaskular dan endotel ikut menyebabkan defek sirkulasi. Spesies oksigen reaktif, enzim litik dan zat vasoaktif (nitric oxide, endothelial growth factors) mengakibat-kan jejas mikrosirkulasi, yang diperberat oleh ketidakmampuan eritrosit untuk menjelajahi mikrosirkulasi.

Sitotoksisitas langsung: Endotoksin, TNF- , dan nitric oxide dapat menyebabkan kerusakan pada transpor elektron mitokondria, sehingga menggangu metabolisme energi. Ini disebut cytopathic anoxia atau histotoxic anoxia, yakni

73

Page 79: Sepsis

74

ketidakmampuan memanfaatkan oksigen sekalipun jumlahnya cukup.

Apoptosis: Apoptosis (programmed cell death) adalah mekanisme utama yang biasanya untuk menyingkirkan sel-sel disfungsional . Sitokin-sitokin pro-inflamasi dapat menunda apoptosis pada makrofag dan neutrofil yang teraktivasi, namun jaringan lain seperti epitel usus dapat mengalami apopotosis yang dipercepat . Oleh karena itu, kekacauan dalam proses apoptosis memainkan peran kritis dalam jejas jaringan pada sepsis. Perbedaan kematian sel akibat apoptosis dan nekrosis digambarkan dalam animasi berikut:

Imunosupresi: Interaksi antara mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi daapt menjurus ke gangguan keseimbangan. Reaksi inflamasi atau imunodefisiensi bisa menonjol, atau keduanya ada.

Koagulopati

Koagulopati subklinis yang ditandai oleh peninggian ringan dari trombin atau aPPT (activated partial thromboplastin time) atau trombositopenia moderat , namun Koagulasi Intravaskular Diseminata(DIC) yang mencolok jarang terjadi. Defisiensi protein sistem koagulasi,antara lain protein C, antithrombin 3, dan tissue factor inhibitor,menyebabkan koagulopati.

Karakteristika Sepsis yang mempengaruhi prognosis

Karakteristika klinis yang berhubungan dengan keparahan sepsis meliputi:

• Respon hospes abnormal terhadap infeksi, • Lokasi dan jenis infeksi, • Timing dan jenis terapi anibiotik, • Kuman etiologi, dan • Terjadinya syok, penyakit dasar, dan kondisi kronik

pasien. • Lokasi pasien pada saat syok septik juga berhubungan

dengan keparahan sepsis.

Page 80: Sepsis

75

Kriteria Disfungsi Organ

Sistem organ Kriteria Ringan Kriteria Berat

Paru Hipoksia/hiperkarbia yang mem-butuhkan dukungan ventilasi selama 3-5 hari

ARDS yang membutuh-kan PEEP* >10 cm H2O dan FiO2† <0.5

Hati

Bilirubin 2-3 mg/dL atau tes faal hati lain lebih dari dua kali nilai normal, PT meninggi dua kali diatas nilai normal

Ikterus dengan bilirubin 8-10 mg/dL

Ginjal Oliguria (<500 mL/d atau peninggian kreatinin) 2-3 mg/dL Dialisis

Gastrointestinal Intolerasi gastric feeding lebih dari 5 hari

Tukak stres yang mem-butuhkan transfusi, Kole-sistisis akalkulus

Hematologi aPTT >125% nilai normal , trombosit <50-80,000

Koagulasi Intravaskular Diseminata

Kardiovaskular Penurunan fraksi ejeksi dengan kebocoran kapiler menetap

Status hiperdinamik yang tidak respon terhadap vasopresor

Sistem Saraf Pusat Kebingungan (confusion) Coma

Sistem Saraf Tepi Neuropati sensorik ringan Defisit gabung motorik

dan sensorik

*Positive end-expiratory pressure . †Fraction of inspired oxygen

Tatalaksana

Perawatan medis

Umum

Tatalaksana awal mencakup dukungan pernapasan dan sirkulasi, oksigen suplemen, ventilasi mekanik, dan terapi cairan. Terapi diluar tiga tindakan pendukung ini meliputi kombinasi beberapa antibiotik parenteral, pengangkatan atau drainase fokus infeksi, terapi penyulit, dan intervensi farmakologi untuk mencegah respon hospes yang merugikan.

Page 81: Sepsis

76

Beri oksigen suplemen kepada setiap pasien sepsis dengan hipoksia atau distres pernapasan. Jika jalan napas tidak terjamin atau pernapasan tidak adekuat, lakukan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanik.

Resusitasi volume intravaskular

Semua pasien sepsis membutuhkan cairan. Kecepatan infus dipandu oleh status volume dan kardiovaskular. Untuk pasien dewasa yang hipotensif, berikan cairan kristaloid isotonik (Ringer asetat atau Ringer laktat) dengan bolus 500 mL (10 mL/kg pada anak ). klinis dinilai ulang setelah setiap bolus. Berikan bolus ulangan sampai tanda perfusi adekuat memulih. Mungkin dibutuhkan totall 4-6 L cairan. Pantau tanda-tanda kelebihan beban cairan, seperti dispnea, ronkhi paru dan edema paru pada foto toraks. Perbaikan, stabilisasi dan normalisasi status mental pasien, heart rate, TD, pengisian kapiler, dan jumlah urin menunjukkan resusitasi volume adekuat.

Pada sebagian pasien penilaian respon terhadap infus cairan mungkin sulit dilakukan. Pasien-pasien ini bisa dinilai dengan pemantauan tekanan vena sentral atau pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) . Tekanan vena sentral 10-15 mm Hg, PAOP > 18 mm Hg, atau kenaikan PAOP sebesar 5 mm Hg atau lebih, menyusul bolus cairan, menunjukkan resusitasi volume adekuat. Pasien demikian rentan terhadap kelebihan beban volume, sehingga pemberian cairan selanjutnya harus hati-hati. Resusitasi koloid (dengan albumin atau pentastarch) tidak terbukti lebih bermanfaat daripada resusitasi dengan kristaloid isotonik.

Terapi Antimikrobial empirik

Pemilihan obat khusus bersifat empirik dan didasarkan pada penilaian mekanisme pertahanan hospes, sumber potensial dari infeksi dan kuman yang paling mungkin sebagai penyebab. Antibiotik harus berspektrum luas dan mencakup gram-positf dan gram-negatif serta anaerob, karena semua kelas bakteri ini menghasilkan gambaran klinis sama. Berikan antibiotik parentral dalam dosis bakterisidal. Banyak kajian mendapatkan perbaikan klinis berkorelasi dengan tercapainya

Page 82: Sepsis

77

kadar serum baketerisidal ketimbang lebih dari satu jenis antibiotik yang diberikan.

Cakupan anaerob dibutuhkan pada pasien dengan infeksi intra-abdomen dan perineum. Cakupan antipseudomonas diindikasikan pada pasien dengan neutropenia atau luka bakar. Pasien imunokompeten bisa diterapi cukup dengan obat tunggal berspektrum luas. Pasien imunokompromi biasanya membutuhkan antibiotik ganda.

Terapi Vasopresor

Bila resusitasi cairan yang baik gagal memulihkan stabilitas hemodinamik dan perfusi jaringan, berikan terapi obat vasopresor. Obat-obat ini adalah dopamin, norepinefrin, epinefrin, dan fenilepfrin. Obat vasokonstriktor mempertahankan TD adekuat selama hipotensi yang mengancam jiwa dan menjaga tekanan perfusi untuk mengoptimalkan aliran ke berbagai organ. TD yang adekuat perlu dipertahankan untuk perfusi splansnik dan renal (mean arterial pressure [MAP] 60 atau 65 mm Hg) berdasarkan atas indeks klinis untuk perfusi organ.

Jika pasien masih hipotensi sekalipun sudah mendapat infus cairan dan dopamin dosis moderat, berikan vasokonstriktor direk(misal, norepinefrin) dengan dosis 0.5 mcg/kg/menit untuk menaikan TD menjadi 90 mm Hg. Walaupun vasokonstriktor kuat (misal, norepinefrin) secara tradisi sudah ditinggalkan karena efek buruknya pada curah jantung dan perfusi ginjal, data manusia telah memperlihatkan bahwa norepinefrin bisa memulihkan syok septik pada pasien yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan dan dopamin. Pasien-pasien ini membutuhkan pemantauan hemodinamik secara invasif dengan line arteri dan kateter arteri pulmonalis.

Obat-Obat Vasopresor

• Dopamin: merupakan prekursor norepinefrin dan epinefrin, dopamin memiliki efek bervariasi sesuai dengan dosisnya. Dosis di bawah 5 mcg/kg/menit menyebabkan vasodilatasi pada arteri renal, mesenterik dan koroner. Pada dosis 5-10 mcg/kg/menit, efek beta-1 adrenergik mengakibatkan

Page 83: Sepsis

vasokonstriksi arteri dan peningkatan TD. Dopamin efektif meningkatkan MAP(mean arterial pressure) pada pasien hipotensi dengan syok septik setelah resusitasi volume. TD meningkat sebagai hasil dari efek inotropik, dan dengan demikian berguna pada pasien yang juga mengalami penurunan fungsi jantung. Efek yang tak diinginkan adalah takikardia, peningkatan shunt pulmoner, potensi mengurangi perfusi splansnik, dan peningkatan PAWP(pulmonary arterial wedge pressure).

• Epinefrin: epinefrin bisa meningkatkan MAP dengan meningkatkan cardiac index, stroke volume, tahanan sistemik dan heart rate. Epinefrin dapat menambah hantaran dan konsumsi oksigen serta mengurangi aliran darah splansnik. Pemberian epinefrin disertai peninggian kadar laktat sistemik dan regional. Penggunaan epinefrin direkomendasikan pada pasien yang tidak responsif terhadap obat tradisional. Efek yang tidak dikehendaki adalah peninggian kadar laktat, potensi menghasilkan iskemia miokard dan aritmia serta pengurangan aliran splansnik.

• Norepinefrin: merupakan agonis -adrenergik yang kuat dengan efek agonis beta-adrenergik yang lemah. Norepinefrin bisa berhasil menaikkan TD pada pasien sepsis dan tetap hipotensi setelah resusitasi cairan dan dopamin. Dosis norepinefrin dapat bervariasi dari 0,2-1,35 mcg/kg/menit; dosis sebesar 3,3 mcg/kg/menit telah digunakan karena down-regulasi reseptor -adrenerik yang dapat terjadi pada sepsis. Indeks perfusi regional, seperti aliran urin dan kadar laktat, telah membaik setelah infusi norepinefrin. Dua uji klinis baru telah memperlihatkan lebih banyak pasien yang diberi norepinefrin berhasil diresusitasi dibandingkan pasien yang diberi dopamin. Oleh karena itu, sebaiknya gunakan norepinefrin dari awal dan tidak menunggu sebagai pilihan terakhir. Kajian-kajian telah menunjukkan efek terhadap konsumsi oksigen splansnik dan produksi glukosa hati, seandainya curah jantung yang adekuat dipelihara.

78

Page 84: Sepsis

• Fenilefrin: Fenilefrin merupakan agonis selektif dari reseptor 1- adrenergik yang digunakan terutama di anestesi untuk meningkatkan TD. Walaupun kajian terbatas, fenilefrin meningkatkan MAP pada pasien sepsis dan hipotensi dengan peningkatan konsumsi oksigen yang berpotensi menurunkan curah jantung. Fenilefrin bisa menjadi pilihan yang baik bila takiaritmia membatasi terapi dengan vasopresor lain.

Terapi inotropik:

Walaupun kinerja miokard berubah selama sepsis dan syok septik, curah jantung biasanya dipelihara pada pasien yang sepsis dan telah mendapat resusitasi cairan. Data dari 1980an dan1990an memberi kesan ada hubungan lurus antara hantaran oksigen dan konsumsi oksigen (pathologic supply dependency), yang mengindikasikan bahwa hantaran oksigen tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik pasien. Namun, penelitian terbaru telah menantang konsep "pathologic supply dependency" dan praktek meningkatkan cardiac index dan hantaran oksigen (hiper-resusitasi) karena intervensi ini belum diketahui memperbaiki prognosis. . Oleh karena itu peran terapi inotropik belum pasti, kecuali kalau pasien memiliki cardiac index, MAP dan saturasi oksigen vena campur, serta urin tidak adekuat kendati telah mendapat resusitasi volume dan terapi vasopresor.

Renal-dose dopamin:

Penggunaan dopamin dengan dosis renal (rendah) pada sepsis masih kontroversial. Dulu, dopamin dosis rendah rutin digunakan pada banyak unit karena diduga memiliki efek proteksi ginjal. Dopamin dengan dosis 2-3 mcg/kg/menit diketahui memicu diuresis dengan meningkatkan aliran darah ginjal pada hewan dan relawan sehat . Banyak uji klinis belum menunjukkan manfaat pemberian dopamin profilaktik atau dosis rendah pada pasien yang terancam gagal ginjal akut, dan tidak ada data yang menyatakan bahwa pendekatan ini memelihara perfusi mesenterik. Penggunaan rutin tidak dianjurkan.

Resusitasi agresif pada pasien syok septik, yang mempertahankan tekanan perfusi adekuat dan menghindari

79

Page 85: Sepsis

80

vasokonstriksi berlebihan merupakan tindak efektif untuk melindungi ginjal

Terapi eksperimental

Walaupun ada bukti teoritis dan eksperimental yang mendukung penggunaan dosis besar kortikosteroid pada sepsis berat dan syok septik, semua uji klinis acak pada manusia (kecuali 1 sejak 1976) mendapatkan bahwa dosis besar kortikosteroid tidak mencegah progresi syok septik dan memulihkan keadaan syok atau memperbaiki mortalitas 14 hari . Tak ada data di kepustakaan yang mendukung penggunaan rutin dosis tinggi kortikosteroid pada pasien dengan sepsis dan syok septik.

Endotoksin, suatu senyawa lipopolisakarida yang ditemukan pada dinding sel bakteri gram-negatif, memainkan peran dalam mencetuskan kaskade humoral yang diamati pada syok septik. Wawasan ini telah mengarahkan ke hipotesis bahwa netralisasi endotoksin sirkulasi dengan pemberian terapi antiendotoksin mungkin bermanfaat. Beberapa produk telah dikembangkan dan sudah menjalani uji klinis. Sampai sekarang belum terbukti manfaat nya

Kadar serum TNF dan IL-1 meninggi pada pasien syok septik. Keduanya menghasilkan efek hemodinamik yang menyerupai efek pada sepsis. Banyak kajian menunjukkan kedua mediator berperan penting pada sepsis dan syok septik. Sebagian ahli berpikir bahwa TNF mungkin merupakan mediaitor terpenting pada sepsis. Serupa dengan antibodi antiendotoksin, antibodi terhadap TNF atau IL-1 dihipotesis berguna pada syok septik. Namun, antibodi anti-TNF atau anti–IL-1 antibodies belum dibuktikan memperbaiki prognosis pada sepsis dan syok septik.

Suatu kajian yang dipublikasi baru-baru ini menyediakan bukti pendahuluan bahwa recombinant human activated protein C yang diberikan secara intravena dapat memperbaiki prognosis pada sepsis berat. Pasien (n = 1690) sepsis berat diacak untuk mendapat plasebo atau recombinant protein C. Risiko kematian relatif berkurang pada kelompok pengobatan sebesar 19,4%, dan risiko kematian absolut berkurang sebesar 6,1%.

Page 86: Sepsis

81

Hasil uji klinis ini harus dikonfirmasikan oleh penelitian lanjut sebelum digunakan secara umum

Perawatan Bedah:

Fokus infeksi harus diintervensi bedah, setelah resusitasi awal dan pemberian antibiotik.

Konsultasi

Pasien yang tidak memberi respon terhadap terapi atau berada dalam syok septik membutuhkan rawat ICU untuk pemantauan kontinyu. Sebaiknya konsul ke intensivist . Ahli bedah digestif perlu dikonsul jika dicurigai atau ada bukti fokus infeksi intra-abdomen . Prognosis:

Beberapa uji klinis telah menunjukkan mortalitas berkisar antara 40-75%pada pasien dengan gagal organ ganda akibat sepsis. Faktor prognosis yang jelek adalah usia lanjut, infeksi dengan kuman resisten, status imun hospes yang buruk dan status gizi buruk. Terjadinya gagal organ berantai sekalipun sudah mendapat dukungan adekuat dan terapi antimikrobial, merupakan firasat buruk.

Pada satu kajian,angka mortalitas 7% dan SIRS, 16% dengan sepsis, 20% dengan sepsis berat, dan 46% dengan syok septik. Suatu uji prospektif multisenter yang dipublikasikan di JAMA melaporkan mortalitas 56% selama rawat di ICU. Dari semua kematian, 27% terjadi dalam 2 hari setelah onset sepsis berat, dan 77% dari semua kematian terjadi dalam 14 hari. Faktor-faktor risiko untuk kematian dini adalah skor keparahan lebih tinggi, adanya > 2 gagal organ pada saat sepsis, syok dan pH rendah (<7.3).

Referensi:

1. Barriere SL, Lowry SF: An overview of mortality risk prediction in sepsis. Crit Care Med 1995 Feb; 23(2): 376-93

Page 87: Sepsis

82

2. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF: Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001 Mar 8; 344(10): 699-709

3. Bone RC, Fisher CJ Jr, Clemmer TP: A controlled clinical trial of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 1987 Sep 10; 317(11): 653-8

4. Bone RC: The pathogenesis of sepsis. Ann Intern Med 1991 Sep 15; 115(6): 457-69

5. Bone RC: Immunologic dissonance: a continuing evolution in our understanding of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS) and the multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Ann Intern Med 1996 Oct 15; 125(8): 680-7

6. Bone RC, Balk RA, Fein AM: A second large controlled clinical study of E5, a monoclonal antibody to endotoxin: results of a prospective, multicenter, randomized, controlled trial. The E5 Sepsis Study Group. Crit Care Med 1995 Jun; 23(6): 994-1006

7. Bone RC, Fisher CJ Jr, Clemmer TP: Sepsis syndrome: a valid clinical entity. Methylprednisolone Severe Sepsis Study Group. Crit Care Med 1989 May; 17(5): 389-93

8. Brun-Buisson C, Doyon F, Carlet J: Bacteremia and severe sepsis in adults: a multicenter prospective survey in ICUs and wards of 24 hospitals. French Bacteremia-Sepsis Study Group. Am J Respir Crit Care Med 1996 Sep; 154(3 Pt 1): 617-24

9. Choi PT, Yip G, Quinonez LG: Crystalloids vs. colloids in fluid resuscitation: a systematic review. Crit Care Med 1999 Jan; 27(1): 200-10

10. Dragsted L, Jorgensen J, Jensen NH: Interhospital comparisons of patient outcome from intensive care: importance of lead-time bias. Crit Care Med 1989 May; 17(5): 418-22

11. Knaus WA, Sun X, Nystrom O: Evaluation of definitions for sepsis. Chest 1992 Jun; 101(6): 1656-62

12. Knaus WA, Draper EA, Wagner DP: APACHE II: a severity of disease classification system. Crit Care Med 1985 Oct; 13(10): 818-29

13. Knaus WA, Wagner DP, Draper EA: The APACHE III prognostic system. Risk prediction of hospital mortality for critically ill hospitalized adults. Chest 1991 Dec; 100(6): 1619-36

14. Kreger BE, Craven DE, McCabe WR: Gram-negative bacteremia. IV. Re-evaluation of clinical features and treatment in 612 patients. Am J Med 1980 Mar; 68(3): 344-55

15. Luce JM: Pathogenesis and management of septic shock. Chest 1987 Jun; 91(6): 883-8

16. Marshall JC, Cook DJ, Christou NV: Multiple organ dysfunction score: a reliable descriptor of a complex clinical outcome. Crit Care Med 1995 Oct; 23(10): 1638-52

17. Pinsky MR, Matuschak GM: Multiple systems organ failure: failure of host defense homeostasis. Crit Care Clin 1989 Apr; 5(2): 199-220

18. Sands KE, Bates DW, Lanken PN: Epidemiology of sepsis syndrome in 8 academic medical centers. Academic Medical Center Consortium Sepsis Project Working Group. JAMA 1997 Jul 16; 278(3): 234-40

19. Sasse KC, Nauenberg E, Long A: Long-term survival after intensive care unit admission with sepsis. Crit Care Med 1995 Jun; 23(6): 1040-7

Page 88: Sepsis

83

20. Shubin H, Weil MH: Bacterial shock. JAMA 1976 Jan 26; 235(4): 421-4

21. Vincent JL, Bihari DJ, Suter PM: The prevalence of nosocomial infection in intensive care units in Europe. Results of the European Prevalence of Infection in Intensive Care (EPIC) Study. EPIC International Advisory Committee. JAMA 1995 Aug 23-30; 274(8): 639-44

22. Wheeler AP, Bernard GR: Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med 1999 Jan 21; 340(3): 207-14

23. Zeni F, Freeman B, Natanson C: Anti-inflammatory therapies to treat sepsis and septic shock: a reassessment. Crit Care Med 1997 Jul; 25(7): 1095-100

Page 89: Sepsis

84

SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)

Pendahuluan:

SIRS terpisah dan berbeda dari sepsis, sepsis berat dan syok septik. Masing-masing kondisi memiliki kriteria diagnostik unik yang berbeda. Peralihan penting dari SIRS ke sepsis menurut definisi ini adalah adanya patogen yang diidentifikasi.

Patofisiologi:

Patofisiologi bersifat kompleks dan sebagai interaksi banyak sistem yang terlibat dalam peradangan dan respons terhadap tantangan imun dan perfusi. Sistem-sistem ini meliputi reaksi komplemen, sitokin, metabolit asam arakidonat, imunitas seluler, reaksi pembekuan dan imun humoral.

Pertanda SIRS adalah munculnya status proinflamasi yang ditandai oleh takikardia, takipnea atau hiperpnea, hipotensi, hipoperfusi, oliguria, leukositosis atau leukopenia, pireksi atau hipotermia dan kebutuhan akan infus volume. Kondisi ini khas tidak mencakup sumber infeksi (misal bakteremia). Asidosis metabolik sering menyertai SIRS, dan terutama berasal dari laktat.

SIRS bisa mengenai semua sistem organ, dan menjurus ke MODS ( multiple organ dysfunction syndrome). Alm. Dr Roger Bone adalah peneliti terbaik dari SIRS dan hubungannya dengan MODS.

Pemicu SIRS belum jelas, namun peneliti terkemuka di bidang ini telah mengemukakan banyak teori yang bersaing satu sama lain. Teori-teori ini meliputi " second-hit hypothesis", usus sebagai motor SIRS, "chaos theory", dan inflamasi imunologis. Masing-masing teori ini terlihat memiliki logika yang melukiskan

Page 90: Sepsis

85

peristiwa-peristiwa yang menjurus dari SIRS ke MODS. Teori yang paling banyak diakui adalah immunologic dissonance theory yang dikumukakan oleh Roger Bone, MD.

Penting diingat bahwa picu untuk kejadian ini masih belum diketahui. Namun beberapa molekul yang memberi signal dari sel ke sel telah diduga terlibat dalam genesis status proinflamasi. Pembawa pesan ini meliputi interleukin (IL)-1, IL-5, IL-6, IL-8, IL-11, IL-15, dan multiple colony stimulating factors, serta khemokin(monocyte chemotactic protein-1; regulated upon activation, normal T cell expressed and secreted [RANTES]; dan growth-related oncogene protein-alpha). Temuan serupa telah dibuat untuk tumor necrosis factor (TNF)-alpha dan molekul-molekul terkait lainnya yang berasal dari mikroba patogen, misal lipopolisakarida, enterotoksin stafilokokus A-E, dan toksin TSS . Daftar ini berfungsi menggambarkan bahwa tak ada pemicu tunggal untuk SIRS. Dengan kata lain, SIRS merupakan respon organisme secara umum terhadap berbagai jenis tantangan imun.

Frekuensi

Di Amerika Aserikat: frekuensi bervariasi dari satu senter ke senter lain. Insiden lebih tinggi pada pasien yang membutukan perawatan di ICU, dibandingkan bangsal umum: Tidak ada perbedaan frekuensi berdasarkan geografi.

Mortalitas/Morbiditas:

Morbiditas dan mortalitas dari SIRS sangat bervariasi dan tergantung pada keberhasilan terapi kelainan dasar dan progresi ke MODS. Mortalitas berkisar antara 25% sampai hampir 100%, saat jumlah organ gagal bertambah . SIRS mencerminkan peradangan hospes. Morbiditas yang disebabkan SIRS berhubungan dengan hipoperfusi dari maldistribusi volume sirkulasi dan kerja pernapasan sebagai kompensasi asidosis metabolik. Sekali gagal organ mulai terjadi (misal, gagal ginjal setelah acute tubular necrosis [ATN]), diagnosis tidak lagi sebagai SIRS tetapi telah berlanjut menjadi MODS.

Ras: Tidak ada predileksi.

Page 91: Sepsis

86

Jenis kelamin: Tak ada predileksi.

Usia: Orang muda lebih bisa memberikan respon inflamasi dibanding orang tua, namun orang muda lebih baik memodifikasi status inflamasi dan memiliki prognosis lebih baik. Dampak dari komorbiditas yang ada jelas memperburuk survival pada pasien usia lanjut dengan SIRS.

Riwayat: Pola kondisi dasar pasien SIRS bervariasi, namun semua memiliki tema yang sama. Semua pasien memiliki abnormalitas perfusi(misal, hipoperfusi), fokus infeksi, atau keduanya. Pasien dengan beberapa penyakit terpisah memiliki abnormalitas patofisiologis ini, dengan kondisi dasar bervariasi (misal, divertikulitis perforasi, trauma, ruptur aneurisma aorta, pneumonia, acute lung injury pasca transfusi). Walaupun lintasan akhir sama, berbagai jenis pemicu dijumpai untuk SIRS.

Temuan Fisik: Temuan dari pemeriksaan fisik bervariasi. Namun, tanda khas selama pemeriksaan berfungsi membantu menegakkan diagnosis. Semua tanda khas ini juga berhubungan dengan hipoperfusi.

• SIRS menginduksi demam (suhu >101°F atau 38.3°C). Temuan ini mungkin tidak ada pada pasien usia lanjut, yang bahkan menunjukkan hipotermia.

• Takikardia adalah tanda khas kondisi ini namun bisa ditumpulkan oleh obat penyekat beta, antagonis kalsium dan obat fungsi ganda (misal amiodaron).

• Tekanan nadi yang menyempit juga merupakan temuan lazim yang menjelaskan berkurangnya volume sirkulasi efektif. Sejalan dengan tekanan nadi yang menyempit adalah oliguria dan suhu ekstremitas dingin, tanda vasokonstriksi karena tubuh berupaya mempertahankan MAP (mean arterial pressure) sebagai indikator perfusi di tingkat organ.

• Tanda- tanda lain (misal selaput lendir kering, tidak ada keringat aksila, vena leher datar dengan pasien berbaring) bervariasi dengan derajat deplesi atau maldistribusi volume sirkulasi.

• Peningkatan ventilasi per menit (hiperpnea) adalah temuan khas dan mencerminkan mekanisme kompensasi untuk mendapar beban asam metabolik

Page 92: Sepsis

87

dengan menurunkan(pCO2). Ini menaikkan pH dalam upaya memulikan homeostasis.

• Hipotensi mencolok tidak lazim kecuali pasien mengalami sepsis berat . Berbagai fokus infeksi atau jejas lain yang mengenai sejumlah jaringan, misal necrotizing fasciitis,juga bisa dijumpai.

• Sebab-sebab : Sebab lazim yang dapat memicu SIRS meliputi hipoperfusi dari sebab apapun, infeksi, tantangan imunologis (termasuk antigen virus), jejas trauma,transfusi produk darah dan operasi baru.

Pemeriksaan Lab

• Hitung darah lengkap (CBC=complete blood count) berguna menilai dan menelusuri progresi hitung leukosit dan adanya bentuk muda(yakni, batang).

• Analisis gas darah arteri berguna untuk menilai asidemia. Menilai imbang antara pH dan pCO2 dalam kaitan dengan kadar laktat arteri dalam memahami genesis asidemia. Peninggian kadar laktat menjelaskan perfusi abnormal. Sayang asidemia laktat tidak bisa membedakan antar pasien SIRS dan syok septik. Keduanya berujung dengan spektrum sindrom sepsis yang menunjukkan hipoperfusi dan keduanya menghasilkan laktat. Pasien syok septik umumnya memiliki kecenderungan kadar laktat lebih tinggi, tetapi belum terbukti dengan analisis statistik. Bedakan hiperlaktatemia(yakni,laktat meninggi > 2 s/d 5 mmol/L tanpa asidemia)dari asedemia laktat. Hiperlaktatemia biasanya disebabkan sebab metabolik yang tidak berkaitan dengan hipoperfusi. Jadi lebih disebabkan hipermetabolisme. Masing-masing penyebab dapat menyertai SIRS, tetapi keduanya memerlukan terapi berbeda.

• Kimia serum memberikan panduan untuk bukti lanjut dari disfungsi organ. Rasio BUN:kreatinin dan kadar masing-masing berguna menilai oliguria dan memberikan informasi tentang perkembangan gagal ginjal akut pada subset pasien yang mengarah ke disfungsi ginjal.Kendati demikian, tidak ada nilai kimia yang diagnostik untuk SIRS;

Page 93: Sepsis

• Demikian juga pemeriksaan yang membantu namun bukan diagnostik adalah profil koagulasi dengan waktu protrombin//activated partial thromboplastin time (PT/aPTT), fibrinogen, D-dimer, atau tromboelas-togram juga mengidentifikasi disfungsi sistem koagulasi. Abnormalitas ini dapat terkait dengan disfungsi hati, serta suatu indiaktor lain bahwa pasien sudah berlanjut dari SIRS menuju MODS.

• Tes fungsi hati berguna seperti halnya kimia serum. Namun, perhatikan bahwa hipoperfusi (yang episodik dan menetap) dapat juga menyebabkan peninggian transaminase sebagai akibat reperfusion injury dan bukan progresi ke MODS.

Pemeriksaan Imaging(pencitraan):

Tidak ada untuk SIRS. Pemilihan pemeriksaan pencitraan tergantung pada etiologi yang menjadi indikasi rawat di RS/ICU.

Tes-tes lain:

• Bebagai jenis pemeriksaan kadar sitokin tersedia di lab klinik. Tingkat pemahaman dewasa ini tidak memungkinkan klinisi membuat keputusan tentang perawatan pasien serta prognosis berdasarkan kadar sitokin. Namun, IL-6, IL-8, TNF- telah diselidiki secara luas sebagai marker dari SIRS atau sepsis dengan hasil nonspesifik.

• Biakan darah serta urin, sputum atau drainase rongga, bernilai karena nilai positif mengubah diagnosis dari SIRS menjadi sepsis(yaitu, SIRS plus biakan positif).

• Identifikasi UA(unmeasured anions) dengan pendekatan Stewart semakin populer dalam menilai gangguan asam basa pada pasien sakit kritis. (Lihat CD-ROM "Manajemen Gangguan Elektrolit , Mertabolik dan Asam Basa". Farmedia 2004 untuk informasi lebih lengkap). Kegagalan untuk mengeliminasi unmeasured anion merupakan prognosis buruk pada pasien tertentu (misal, pasien trauma).

• Belakangan ini kadar prokalsitonin telah ditunjukkan meninggi bermakna pada pasien SIRS dan sepsis. Marker ini membantu dalam diagnosis dini SIRS yang

88

Page 94: Sepsis

89

mengancam. Lebih dari itu nilai absolut dapat membedakan SIRS (0.5-2 ng/mL) dari sepsis (>2 ng/mL) dan dari MODS (>10 and often >100 ng/mL).

Perawatan Medis:

Tindakan terpenting adalah resusitasi volume, proteksi jalan napas dan memelihara hantaran oksigen. Terapi ajuvan ditujukan untuk menghindari komplikasi yang berhubungan dengan diagnosis primer atau perawatan yang diberikan di ICU.

• Resusitasi cairan untuk mencapai euvolemia adalah standar terapi untuk replesi volume sirkulasi yang efektif. Pada beberapa keadaan hipervolemia juga sesuai. Volume cairan merupakan metode untuk meningkatkan kinerja jantung. Peningkatan ini ditujukan untuk mencapai peningkatan hantaran oksigen ke seluruh tubuh dan regional. Rasio hantaran global: konsumsi oksigen adalah kira-kira 4:1. Mortalitas mendekati 50%, bila rasio kira-kira 2:1

• Kateter arteri pulmonalis (PAC) membantu memandu terapi volume dan menilai kinerja jantung pada pasien-pasien ini. PAC membantu klinisi dalam menilai kapan volume intravaskular telah ekspansi maksimal. Ini mengidentifikasi suatu pemicu apakah pasien memerlukan dukungan vasopresor jika dibutukan peningkatan hantaran oksigen. Perlu diingat adanya kontroversi tentang perlunya PAC dalam memandu manajemen.

• Alat pemeriksaan alternatif, seperti esophageal Doppler echo probe atau kateter PiCCO , yang menghasilkan data serupa dengan PAC yang berguna untuk memahami status cairan pasien.

• Resusitasi cairan bisa menggunakan kristaloid atau koloid.

Dalam melakukan resusitasi pasien dengan maldistribusi aliran dan asidosis laktat, awas jangan sampai menginduksi asidosis metabolik hiperkloremik .

Page 95: Sepsis

90

Dampak hiperkloremia pada pasien kritis baru-baru ini telah ditinjau.

Komplikasi:

Komplikasi SIRS bisa mengambil berbagai bentuk. Lintasan akhir yang sama merupakan progresi menjadi sepsis, sepsis berat atau syok septik, dan akhirnya berlanjut ke MODS. Komplikasi berikut terjadi dengan frekuensi lebih besar daripada lainnya sepanjang rangkaian ini:

• Gagal ginjal akut (ARF) yang disebabkan ATN (acute tubular necrosis)

• Acute lung injury atau acute respiratory distress syndrome

• Malnutrisi Protein Energi • Koagulopati dengan defisiensi hepatik akut • Hiperglikemia yang disebabkan hipermetabolisme dan

resistensi insulin • Gastritis stres • Anasarka akibat resusitasi volume dan hipoalbu-

minemia

Komplikasi gangguan elektrolit tersering meliputi:

• Asidosis metabolik hiperkloremik(resusitasi dengan NaCl 0.9%)

• Hipokalemia • Hipomagnesemia • Hipokalsemia dari resusitasi volume • Kehilangan yang cepat ke rongga ketiga atau urin

(mungkin)

Prognosis:

Prognosis pasien SIRS seluruhnya tergantung pada pemulihan kondisi proinflamasi . Suatu sindrom yang diberi nama compensatory antiinflammatory response syndrome (CARS) dapat mengantagonis SIRS dan memulihkan homeostasis antara kondisi inflamasi dan anti-inflamasi. Jika ini berhasil, maka

Page 96: Sepsis

91

prognosisnya sangat baik. Namun, jika kondisi proinflamasi menetap atau jika kondisi anti-inflamasi berlebihan, MODS cenderung terjadi saat pasien beralih melalui mixed antagonist response syndrome (MARS) . Prognosis MODS berkaitan langsung dengan jumlah sistem organ yang gagal. Risiko mortalitas adalah sebagai berikut: 3 sistem (85%), 4 sistem (95%), dan 5 sistem (99%). Lebih sedikit sistem organ yang gagal memiliki angka mortalitas berbeda, tergantung dari sistemnya. Sebagai contoh, ARF membawa risiko angka kematian 30-50% pada pasien bedah, sedangkan toxic-metabolic encephalopathy berisiko hanya 12% angka kematian. Interaksi gagal organ ganda tidak dipahami sempurna dan mungkin terbaik dinilai dengan menggunakan chaos theory. Chaos theory mengemukakan bahwa interaksi sistem(misal, hati, paru) tidak bisa diramalkan linier. Sebenarnya, chaos theory mengesankan bahwa respon yang terlihat langsung dari dinamik antar sistem tidak selalu sama antar individu. Oleh karena itu, derajat hipotensi yang menginduksi acute lung injury dan acute tubular necrosis pada seseorang belum tentu menciptakan respon sama pada pasien lain yang kelihatan serupa.

Referensi:

1. Battistini B, Forget MA, Laight D: Potential roles for endothelins in systemic inflammatory response syndrome with a particular relationship to cytokines. Shock 1996 Mar; 5(3): 167-83

2. Baue AE: Multiple organ failure, multiple organ dysfunction syndrome, and systemic inflammatory response syndrome. Why no magic bullets? Arch Surg 1997 Jul; 132(7): 703-7

3. Bone RC: Toward a theory regarding the pathogenesis of the systemic inflammatory response syndrome: what we do and do not know about cytokine regulation. Crit Care Med 1996 Jan; 24(1): 163-72

4. Bone RC: Systemic inflammatory response syndrome: a unifying concept of systemic inflammation. In: Fein A, Abraham A, et al. Sepsis and Multiorgan Failure. Philadelphia, Pa: Lippencott, Williams, & Wilkins; 1997: 1-10.

5. Davies MG, Hagen PO: Systemic inflammatory response syndrome. Br J Surg 1997 Jul; 84(7): 920-35

6. Forceville X, Vitoux D, Gauzit R: Selenium, systemic immune response syndrome, sepsis, and outcome in critically ill patients. Crit Care Med 1998 Sep; 26(9): 1536-44

7. Fry DE: Sepsis syndrome. Am Surg 2000 Feb; 66(2): 126-32 8. Horn KD: Evolving strategies in the treatment of sepsis and systemic

inflammatory response syndrome (SIRS). QJM 1998 Apr; 91(4): 265-77

9. Jimenez MF, Watson RW, Parodo J: Dysregulated expression of neutrophil apoptosis in the systemic inflammatory response

Page 97: Sepsis

92

syndrome. Arch Surg 1997 Dec; 132(12): 1263-9; discussion 1269-70

10. Kaplan LJ, Bailey H, Kellum J: The etiology and significance of metabolic acidosis in trauma patients. Curr Opin Crit Care 1999; 5: 458-63.

11. Kreimeier U, Peter K: Strategies of volume therapy in sepsis and systemic inflammatory response syndrome. Kidney Int Suppl 1998 Feb; 64: S75-9

12. Levy B, Bollaert PE, Charpentier C: Comparison of norepinephrine and dobutamine to epinephrine for hemodynamics, lactate metabolism, and gastric tonometric variables in septic shock: a prospective, randomized study. Intensive Care Med 1997 Mar; 23(3): 282-7

13. Lieberman JM, Marks WH, Cohn S: Organ failure, infection, and the systemic inflammatory response syndrome are associated with elevated levels of urinary intestinal fatty acid binding protein: study of 100 consecutive patients in a surgical intensive care unit. J Trauma 1998 Nov; 45(5): 900-6

14. McGilvray ID, Rotstein OD: Role of the coagulation system in the local and systemic inflammatory response. World J Surg 1998 Feb; 22(2): 179-86

15. Muckart DJ, Bhagwanjee S: American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference definitions of the systemic inflammatory response syndrome and allied disorders in relation to critically injured patients. Crit Care Med 1997 Nov; 25(11): 1789-95

16. Raymondos K, Leuwer M, Haslam PL: Compositional, structural, and functional alterations in pulmonary surfactant in surgical patients after the early onset of systemic inflammatory response syndrome or sepsis. Crit Care Med 1999 Jan; 27(1): 82-9

17. Stoiser B, Knapp S, Thalhammer F: Time course of immunological markers in patients with the systemic inflammatory response syndrome: evaluation of sCD14, sVCAM-1, sELAM-1, MIP-1 alpha and TGF-beta 2. Eur J Clin Invest 1998 Aug; 28(8): 672-8

18. Talmor M, Hydo L, Barie PS: Relationship of systemic inflammatory response syndrome to organ dysfunction, length of stay, and mortality in critical surgical illness: effect of intensive care unit resuscitation. Arch Surg 1999 Jan; 134(1): 81-7

19. Wakefield CH, Barclay GR, Fearon KC: Proinflammatory mediator activity, endogenous antagonists and the systemic inflammatory response in intra-abdominal sepsis. Scottish Sepsis Intervention Group. Br J Surg 1998 Jun; 85(6): 818-25

Page 98: Sepsis

93

PERITONITIS

Pendahuluan

Peritonitis didefinisikan sebagai radang membran serosa yang melapisi rongga abdomen dan organ-organ yang dikandungnya. Peritonitis sering disebabkan oleh masuknya infeksi ke dalam lingkungan peritoneum yang steril melalui perforasi usus, seperti ruptur apendiks atau divertikulum kolon. Penyakit ini juga bisa disebabkan masuknya bahan iritan kimia, misal asam lambung dari perforasi tukak atau empedu dari perforasi kandung empedu atau robekan hati.Pada wanita,peritonitis lokal sering terjadi di pelvis karena infeksi tuba falopii atau ruptur kista ovarium.

Umumnya, istilah peritonitis mengacu ke sederet tanda dan gejala yang mencakup nyeri abdomen dan nyeri tekan pada palpasi, rigiditas otot dinding perut dan tanda peradangan sistemik Gejala bisa muncul akut atau perlahan.

Peritoneum bereaksi terhadap berbagai rangsang patologis dengan respon yang seragam. Bergantung patologi dasar, peritonitis bisa infeksius atau steril (kimia atau mekanis).

Infeksi peritoneum diklasifikasikan sebagai primer (atau, spontan), sekunder ( berkaitan dengan proses patologis organ viseral) atau tersier infeksi persisten atau rekuren setelah terapi adekuat). Infeksi intra-abdomen dapat terlokalisir atau menyebar dengan atau tanpa pembentukan abses.

Artikel ini memfokuskan diagnosis dan manajemen peritonitis infeksiosa dan abses peritoneum.

Frekuensi

Insiden keseluruhan dari infeksi peritoneum dan pembentukan abses sukar ditentukan dan bervariasi menurut proses abdomen yang mendasari.

Page 99: Sepsis

94

Etiologi tersering dari peritonitis primer adalah peritonitis bakteri spontan(SBP), yang disebabkan penyakit hati kronik. Kira-kira 10-30% semua pasien sirosis hati dengan asites suatu saat mengalami perionitis bakterial.

Etiologi peritonitis sekunder (SP) yang lazim mencakup perforasi apendiks;perforasi tukak lambung dan duodenum ; perforasi kolon (sigmoid) yang disebabkan divertikulitis, volvulus atau kanker, serta strangulasi usus halus (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Sebab-sebab umum dari Peritonitis Sekunder

Sumber Sebab

Esofagus

Sindrom Boerhaave Keganasan Trauma (kebanyakan tembus) Iatrogenik*

Lambung

Perforasi tukak peptik Keganasan (misal, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma gastrointestinal ) Trauma (kebanyakan tembus) Iatrogenik*

Duodenum Perforasi tukak peptik Trauma (tumpul dan tembus) Iatrogenik*

Duktus biliaris

Kolesistitis Perforasi batu dari kandung empedu (yakni, ileus batu empedu) atau duktus koledukus Keganasan Kista koledukus (jarang) Trauma (kebanyakan tembus) Iatrogenik*

Pankreas Pankreatitis Trauma (tumpul dan tembus) Iatrogenik*

Usus halus

Usus iskemik Hernia inkarserata (internal dan eksternal) Obstruksi Penyakit Crohn

Page 100: Sepsis

95

Keganasan (jarang) Divertikulum Meckel Trauma (kebanyakan tembus)

Usus besan dan apendiks

Usus iskemik Divertikulitis Keganasan Kolitis Ulseratif dan Penyakit Crohn Apendisitis Volvulus kolon Trauma (kebanyakan) Iatrogenik

Uterus, salpinx, and ovarium

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tuboovarian abscess, ovarian cyst) Keganasan (jarang) Trauma (tidak lazim))

*Trauma Iatrogenik pada saluran cerna atas, termasuk pankreas dan traktus biliaris dan kolon, sering diakibatkan oleh prosedur endoskopik; dehisens anatastomosis merupakan sebab-sebab bocoran pada periode pasca bedah.

Setelah operasi abdomen elektif untuk etiologi non-infeksi, insiden SBP(yang disebabkan lepasnya anastomosis, lepasnya penutupan enterotomi atau trauma usus insidental) idealnya harus di bawah 2% (McQuaid, 1999; Bufalari, 1996; Paik, 1997). Operasi untuk penyakit radang (yaitu, apendisitis, divertikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi memiliki risiko 10% untuk terjadinya SP dan abses peritoneum. Risiko dapat meningkat di atas 50% pada gangren usus dan perforasi visera.

Setelah operasi untuk trauma tembus abdomen, SP dan pembentukan abses ditemukan pada 1%(setelah operasi untuk luka tusuk) sampai 6% pasien(setelah operasi untuk luka tembak). Faktor-faktor yang meningkatkan risiko infeksi pada kasus-kasus ini adalah keterlibatan duodenum, pankreas serta perforasi kolon, kontaminasi peritoneum, syok perioperatif dan transfusi masif (Ivatury, 1988).

Page 101: Sepsis

96

Etiologi:

SBP terjadi tanpa sumber infeksi intra-abdomen yang nyata dan diamati hampir semuanya hanya pada pasien sirosis hati dengan asites. Kontaminasi rongga peritoneum diduga karena translokasi bakteri melintasi dinding usus atau limfatik mesenteri dan agak jarang melalui penyebaran hematogen jika ada bakteremia.

Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis dan asites mengalami masalah ini. Insiden meningkat sampai lebih 40% jika kandungan protein asites kurang 1 g/dL (pada 15% pasien) , mungkin karena berkurangnya aktivitas opsonin dari cairan asites.

Lebih dari 90% kasus SBP disebabkan infeksi monomikroba. Patogen tersering meliputi kuman gram-negatif (misal, Escherichia coli [40%], Klebsiella pneumoniae [7%], Pseudomonas species, Proteus species, spesies gram-negatif lain[20%]) dan kuman-kuman gram-positif(misal, Streptococcus pneumoniae [15%], spesies Streptococcus lain[15%], spesies Staphylococcus [3%]) (lihat Tabel 2). Mikroorganisme anaerob ditemukan kurang dari 5% kasus dan isolat multipel ditemukan kurang dari 10% (McQuaid, 1999; Eckhauser, 1997; Laroche, 1998; Hoefs, 1985; Osztrogonacz, 1996).

Tabel 2. Mikrobiologi Peritonitis Primer, Sekunder dan Tersier

Kuman Penyebab Peritonitis (Tipe) Kelas Jenis Kuman

Terapi Antibiotik (Anjuran)

Primer Gram-negatif

E coli (40%) K pneumoniae (7%) Pseudomonas species (5%) Proteus species (5%) Spesies Streptococcus (15%) Spesies

Sefalosporin generasi ketiga

Page 102: Sepsis

97

Staphylococcus (3%) Spesies Anaerob(<5%)

Gram-negatif

E coli Spesies Enterobacter Spesies Klebsiella Spesies Proteus

Gram-positif

Spesies Streptococcus spesies Enterococcus

Sekunder

Anaerobic

Bacteroides fragilis Spesies Bacteroides lain Spesies Eubacterium Spesies Clostridium Spesies Anaerobic Streptococcus

Sefalosporin generasi kedua Sefloprosin generasi ketiga Penisilin dengan cakupan anaerob Kuinolon dengan cakupan anaerob Kuinolon dan metronidazol Aminoglikosida dan metronidazol

Gram-negatif

Spesies Enterobacter Spesies Pseudomonas Spesies Enterococcus

Gram-positif Spesies Staphylococcus

Tersier

Jamur Spesies Candida

Sefalosporin generasi kedua Sefloprosin generasi ketiga Penisilin dengan cakupan anaerob Kuinolon dengan cakupan anaerob Kuinolon dan metronidazol Aminoglikosida dan metronidazol Carbapenem Triazol atau

Page 103: Sepsis

98

amfoterisin (dianggap eiologi jamur )(Ubah terapi berdasarkan hasil biakan)

Sejauh ini, SP merupakan bentuk tersering peritonitis dalam praktek. SP disebabkan perforasi atau nekrosis (infeksi intramural) dari suatu organ viseral berongga dengan inokulasi bakteri pada rongga peritoneum. Daftar diagnosis banding yang mungkin bersifat kompleks(lihat Tabel 1).

Spektrum patogen bergantung pada lokasi penyakit asal. Kuman gram-positif mendominasi saluran cerna atas.Namun pergeseran ke kuman gram-negatif dapat diamati pada pasien dengan terapi supresi asam lambung jangka panjang. Kontaminasi dari usus halus distal atau kolon pada permulaan dapat mengakibatkan pelepasan beberapa ratus spesies bakteri (dan jamur); pertahanan hospes cepat mengeliminasi sebagian besar dari kuman-kuman ini. Peritonitis yang terjadi hampir selalu polimikrobial, mengandung campuran bakteri aerob dan anaerob dengan predominansi kuman gran-negatif (lihat Tabel 2).

Sebanyak 15% pasien sirosis dengan asites dan semula diduga mengalami SBP ternyata peritonitis sekunder. Banyak dari pasien-pasien ini tidak memperlihatkan tanda dan gejala spesifik yang bisa membedakan kedua jenis peritonitis ini. Anamnesis seksama, evaluasi cairan peritoneum dan tes diagnostik tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis yang benar dan tetalaksana pada pasien-pasien ini (McQuaid, 1999; Eckhauser, 1997; Laroche, 1998).

Abses peritoneum melukiskan pembentukan kumpulan cairan infeksi yang dibungkus oleh eksudat fibrin, omentum dan/atau organ viseral di dekatnya. Mayoritas abses terjadi setelah SP. Pada kira-kira 50% pasien abses terbentuk sederhana tanpa lokulasi, sedang pada 50% sisanya,abses kompleks sekunder terhadap pembentukan septa fibrin dan pembentukan nanah. Pembentukan abses paling sering di daerah bawah hati, pelvis dan paracolic gutters, tetapi juga bisa didaerah limpa,

Page 104: Sepsis

99

omentum minor, dan antara lengkung usus halus dan mesenterinya(Giangreco, 1997).

Pada umumnya, insiden pembentukan abses setelah pembedahan abdomen kurang dari1-2%, bahkan meskipun operasi dilakukan atas indikasi proses radang akut. insiden meningkat dengan perforasi organ berongga, dengan kontaminasi feses ke rongga peritoneum, iskemia usus, diagnosis lambat, dan imunokompromi. Pada keadaan-keadaan ini, risiko pembentukan abses bisa setinggi 10-30% (Reid, 1999). Secara keseluruhan, pembentukan abses merupakan penyebab infeksi persisten dan terjadinya peritonitis tersier.

Peritonitis tersier merupakan infeksi peritoneum yang persisten dan rekuren setelah terapi adekuat dari SBP atau SP, dan sering tanpa patologi organ viseral semula. Pasien dengan peritonitis tersier sering mengalami abses, atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Biasanya lebih sering pada pasien dengan penyakit lain atau imunokompromi. Walaupun jarang terlihat pada infeksi peritoneum yang tidak berpenyulit, insiden peritonitis tersier pada pasien-pasien yang membutuhkan rawat di ICU karena infeksi abdomen berat dapat setinggi 50-74%.

Pasien peritonitis tersier menunjukkan lama rawat di ICU dan RS lebih panjang, skor disfungsi organ lebih tinggi, dan angka kematian lebih tinggi (50-70%). Kuman yang resisten dan langka(misal, Enterococcus, Candida, Staphylococcus, Enterobacter, dan Pseudomonas species) ditemukan pada sejumlah bermakna kasus peritonitis tersier. Pada kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier terjadi banyak abses atau infeksi yang tidak terlokalisir dan sukar didrainase. Terapi antibiotik terlihat kurang efektif dibandingkan pada bentuk peritonitis lain (Nathens, 1998).

Tuberculous peritonitis (TP) atau peritonitis tbc di Amerika Serikat jarang(<2% semua penyebab peritonitis), tetapi menjadi masalah di negara berkembang dan pada pasien dengan penyakit HIV. Gejala sering tidak spesifik dan muncul perlahan (misal, demam ringan, anoreksia dan penurunan berat badan).

Page 105: Sepsis

100

Lebih dari 95% pasien memperlihatkan bukti asites pada pemeriksaan radiologi, dan asites positif pada pemeriksaan fisik lebih dari 50% pasien . Kebanyakan pasien mengidap sirosis dan diagnosis TP mungkin tidak dicurigai. Temuan Foto toraks abnormal pada kebanyakan pasien, penyakit paru aktif dijumpai pada < 30% pasien.Hasil pewarnaan Gram dari cairan asites jarang positif, dan biakan bisa negatif palsu pada sampai 80% pasien. Kadar protein cairan peritoneum di atas 2.5 g/dL, kadar lactate dehydrogenase (LDH) lebih dari 90 U/mL, atau hitung leukosit mononuklir lebih 500 cells/mL harus menimbulkan kecurigaan untuk diagnosis, tetapi ini tidak spesifik. Laparoskopi dan visualisasi granuloma pada biopsi peritoneum,serta hasil biakan positif(membutuhkan 4-6 minggu) mungkin dibutuhkan untuk diagnosis definitif; namun, terapi empirik sudah bisa diberikan segera (McQuaid, 1999).

Peritonitis kimia (steril) dapat disebabkan zat iritan seperti empedu, darah, barium, dan zat lain atau proses radang organ viseral (misal, penyakit Crohn ) tanpa inokuluasi bakteri di rongga peritoneum. Tanda dan gejala klinis tak bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneum. Pendekatan diagnostik dan terapetik harus sama

Patofisiologi:

Pembentukan abses dianggap sebagai mekanisme pertahanan hospes untuk melokalisir infeksi; namun proses ini bisa menjurus ke infeksi persisten dan spesis yang mengancam jiwa.

Pembentukan abses memerlukan pelepasan bakteri dan zat potensiasi abses ke dalam lingkungan yang biasanya steril. Pertahanan hospes tidak sanggup mengeliminasi patogen dan berupaya mengendalikan penyebaran dengan kompartmen-talisasi. Proses ini dibantu oleh kombinasi faktor-faktor yang memiliki ciri sama, yaitu daya fagositosis bakteri yang terganggu (Finlay-Jones, 1999). Beberapa kajian memberi kesan bahwa jumlah bakteri yang ada pada onset infeksi abdomen jauh lebih tinggi dari yang semula diduga (kira-kira 2 X 108 CFU/mL, jauh lebih tinggi dari inokulum yang biasa digunakan 5 X 105 CFU/mL untuk pengujian sensitivitas in vitro). Beban bakteri ini dapat mengalahkan pertahanan lokal hospes (Konig, 1998).

Page 106: Sepsis

101

Peritonitis menurunkan aktivitas fibrinolitik intra-abdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor terhadap tPA,dan menyebabkan sekuestrasi fibrin dengan pembentukan perlengketan setelah itu (van Goor, 1994). Produksi eksudat fibrin dianggap sebagai bagian penting dari pertahanan hospes, namun sejumlah besar bakteri dapat tersekuestrasi di dalam matriks fibrin ini. Ini bisa menyebabkan terlambatnya penyebaran dan diseminasi sietemik dan dapat menurunkan angka kematian dini dari sepsis, namun juga menyebabkan terjadinya infeksi residual dan pembentukan abses. Saat matriks fibrin terbentuk lengkap, bakteri di dalamnya terlindung dari mekanisme "sweeping" oleh hospes (Rotstein, 1992).

Efek akhir fibrin (isolasi kuman versus infeksi persisten) dapat berkaitan dengan derajat kontaminasi bakteri. Pada kajian hewan peritonitis oleh bakteri campuran, kontaminasi berat selalu mengakibatkan peritonitis berat dengan kematian dini (<48 jam)akibat sepsis (McRitchie, 1991).

Peran sitokin dalam mediasi respon imun tubuh dan perannya dalam perkembangan SIRS dan MOF telah menjadi fokus utama dari riset selama dekade terakhir. Namun sedikit data tentang derajat respon intraperitoneum/abses terhadap sitokin dan implikasinya bagi hospes. Data yang ada memberi kesan bahwa peritonitis bakteri diikuti oleh respon sitokin yang terlokalisir dalam peritoneum. Kadar tinggi dari beberapa sitokin tertentu (yakni, tumor necrosis factor-alpha [TNF-a], interleukin [IL]-6) telah dihubungkan dengan prognosis jelek, serta aktivasi sekunder (yang tak terkontrol) dari kaskade SIRS (Schein, 1996).

Gambaran Klinis:

Nyeri abdomen bisa akut atau muncul perlahan-lahan. Pada awal, nyeri sering tumpul dan kurang terlokalisir (peritoneum viseral) dan kemudian berlanjut menjadi nyeri yang lebih menetap, hebat dan lebih terlokalisir (peritoneum parietal). Jika prose infeksi tidak dilokalisir, nyeri menjadi difus. Pada keadaan tertentu (misal, perforasi lambung, pankreatitis akut, iskemia usus), nyeri abdomen bisa umum sejak awal.

Anoreksia dan nausea sering dijumpai dan dapat mendahului nyeri abdomen. Muntah-muntah dapat terjadi karena patologi

Page 107: Sepsis

102

organ visera yang mendasari (yaitu, obstruksi) atau sekunder terhadap iritasi peritoneum.

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis paling sering terlihat tampak sakit berat dan dalam distres akut. Demam bisa di atas 38ºC , tetapi pasien dengan sepsis berat bisa juga hipotermia. Takikardia disebabkan pelepasan mediator radang dan hipovolemia intravaskular yang disebabkan anoreksia dan muntah, demam dan kehilangan ke rongga ketiga ke dalam rongga peritoneum. Dengan dehidrasi progresif, pasien bisa menjadi hipotensi, oliguria dan pada peritonitis berat bisa terjadi syok septik.

Pemeriksaan abdomen: nyeri tekan pada palpasi dan nyeri lepas, dinding abdomen kaku. Pasien dengan peritonitis berat sering menghindari bergerak dan selalu menjaga pinggul dalam keadaan fleksi untuk meredakan tegangan dinding perut. Abdomen sering distensi, dengan bising usus lemah atau negatif. Temuan ini mencerminkan ileus generalisata, dan mungkin tidak ada jika infeksi terlokalisir dengan baik. Kadang-kadang pemeriksaan abdomen mengungkap massa radang.

Pemeriksaan rektum sering mencetuskan nyeri abdomen, khususnya dengan peradangan organ panggul tetapi jarang menunjukkan diagnosis spesifik. Masa readang yang nyeri tekan ke arah kanan mungkin menunjukkan apendisits, dan masa penuh dan berfluktuasi di anterior dapat menunjukkan abses cul de sac .

Pada pasien perempuan, pemeriksaan vaginal dapat mengarahkan ke diagnosis banding radang panggul /pelvic inflammatory disease (misal, endometritis, salfingo-oforitis, abses tubo-ovarium), namun temuan sering sukar untuk menginterpretasikan peritonitis berat.

Dalam menilai pasien dengan suspek infeksi peritoneum, penting dilakukan pemeriksaan fisik lengkap.Proses di rongga dada (misal,empiema), proses ekstraperitoneal(misal, pielonefritis, sistitis, retensi urin akut) dan proses dinding dada(misal, infeksi, rectus hematoma) dapat menyerupai tanda dan gejala tertentu dari peritonitis. Hernia eksternal dan inkarserata usus harus disingkirkan.

Page 108: Sepsis

103

Temuan pada pemeriksaan klinis mungkin tidak konklusif atau tidak bisa diandalkan pada:

• Pasien dengan imunosupresi yang bermakna(misal, diabetes berat, penggunaan steroid, status pasca transplantasi, HIV),

• Pasien dengan perubahan status mental (misal, trauma kepala, ensefalopati toksik,syok septik,obat analgesik),

• Pasien dengan paraplegia, dan • Pasien usia lanjut.

Dengan infeksi peritoneum yang dalam dan terlokalisir, deman dan /atau leukositosis mungkin merupakan satu-satunya tanda yang ada. Sebanyak 20% pasien dengan SBP memperlihatkan tanda dan gejala yang samar. Ensefalopati yang baru muncul atau memburuk mungkin merupakan satu-satunya tanda infeksi pada pemeriksaan awal. Kebanyakan pasien TP memperlihatkan hanya gejala samar dan tidak demam.

Pengendalian dini dari sumber sepsis diperlukan dan bisa dicapai dengan cara operatif ataupun nonoperatif. Intervensi nonoperatif mencakup, drainase abses perkutan dan penempatan stent endoskopik.Jika abses bisa diakses dengan drainase perkutan dan patologi organ viseral tidak memerlukan pendekatan bedah, drainase perkutan bisa digunakan dengan aman dan efektif sebagai terapi utama (Levison, 1992; Hemming, 1991; Rothlin, 1998).

Manajemen bedah diperlukan untuk mengendalikan sumber infeksi dan melenyapkan bakteri dan toksin. Jenis dan luas operasi bergantung pada proses penyakit dan keparahan infeksi intra-abdomen(Wittmann, 1998).

Operasi

Tindakan bedah masih merupakan modalitas terapi yang penting untuk semua kasus infeksi peritoneum.Masalah penentuan waktu dan kecukupan kontrol sumber infeksi sangat penting kareena operasi yang tidak tepat waktu memperburuk prognosis (dibanding intervensi medis). Namun, pada sepsis abdomen yang berat, penundaan operasi bisa menyebabkan

Page 109: Sepsis

104

prognosis lebih buruk; eksplorasi dini( yaitu sebelum pemeriksaan diagnostik selesai) dapat diindikasikan (Anderson, 1996; Wittmann, 1996).

Drainase perkutan dicadangkan untuk manajemen kumpulan cairan peripankreas pada pasien stabil. Abses pankreas atau nekrosis pankreas sebaiknya diatasi dengan debridement bedah dan eksplorasi. Jika dehisens anastomosis dicurigai , drainase perkutan kurang bermanfaat dan pasien harus dioperasi.

Pemeriksaan Lab:

• Hitung darah lengkap dan panel elektrolit, berikut BUN dan kreatinin

o Kebanyakan pasien leukositosis (>11,000 /mL) dengan bentuk muda lebih banyak. Pada sepsis berat, imunokompromi dan beberapa jenis infeksi tertentu(misal, jamur, cytome-galovirus) hitung leukosit mungkin normal atau leukopenia.

o BUN meningkat karena dehidrasi, dan bisa ada gangguan elektrolit karena muntah-muntah, diare, fistula dan disfungsi ginjal, serta asites. Asidosis metabolik bisa dijumpai.

• Profil koagulasi(yaitu, waktu protrombin [PT] dan activated partial thromboplastin time [aPTT]) jika direncanakan operasi.

• Tes faal hati (yaitu, alanine aminotransferase, glutamine aminotransferase, alkaline phosphatase, bilirubin total dan direk, protein dan albumin serum) jika dicurigai disfungsi hati,malnutrisi atau penyakit hepatobilier.

• Kadar amilase dan lipase serum pada suspek pankreatitis.

Page 110: Sepsis

105

• Urinalisis untuk menyingkirkan penyakit urinarius (misal, pielonefritis, kolik ginjal), yang dapat menyerupai peritonitis; tetapi, pasien ddengan infeksi abdomen bawah atau panggul sering menunjukkan leukosit dalam urin dan hematuria. Piuria, sedimen leukosit dan eritrosit , serta bakteri dalam spesimen mengesankan sumber traktus urinarius.

• Pada pasien diare, periksa sampel tinja untuk pengujian toksin Clostridium difficile , hitung leukosit dan biakan spesifik (yaitu, Salmonella, Shigella, cytomegalovirus [CMV]) jika anamnesis mengesankan enterokolitis infeksi.

• Pada pasien dengan bukti sepsis dari infeksi intra-abdomen, periksa biakan darah untuk aerob dan anaerob; namun, biakan awal bisa negatif pada > 90% kasus, walaupun ada bukti klinis sepsis (McQuaid, 1999; Eckhauser, 1997; Pai, 1995).

• Cairan peritoneum ( parasentesis, aspirasi , biakan cairan intraoperatif)

o pH, glukosa, protein, lactate dehydrogenase (LDH), hitung sel, pewarnaan Gram , dan biakan aerob dan anaerob.

o Amilase jika dicurigai pankreatitis atau kebocoran pankreas.

o Bilirubin jika dicurigai kebocoran empedu o Kreatinin jika dicurigai kebocoran urin.

Bandingkan dengan kadar peritoneal dan kadar serum .

o Pada peritonitis bakteri, pH rendah dan hipoglikemia, serta peninggian protein dan kadar LDH. pH cairan , 7.1 (dan PO2<49 mm Hg) telah menunjukkan kadar prediktif positif dan negatif lebih dari 98% pada beberapa kajian (pH median 6.75 versus 7.49 untuk bedah elektif, dengan PO2 28 versus 144 mm Hg) (Simmen, 1993). Penurunan pH cairan

Page 111: Sepsis

106

peritoneum(dan PO2) lebih mencolok pada infeksi campur dan kontaminasi bakteri berat, dengan peningkatan jumlah bakteri anaerob pada keadaan-keadaan ini(Sawyer RG, Spengler MD, 1991).

• Pada SBP, hitung leukosit cairan peritoneum > 250 sel/mL (>500 pada beberapa kajian), dengan >50% PMN merupakan indikasi terapi antibiotilk. Walaupun sampai 30% biakan masih negatif pasien harus diterapi. Penurunan kadar glukosa (<50 mg/dL),kadar LDH lebih tinggi dari kadar LDH serum, hitung leukosit lebih dari 10.000 sel/mL, pH <7.0, kadar amilase tinggi, banyak jenis kuman pada pewarnaan Gram , atau ditemukannya anaerob dari biakan merupakan indikasi SP. Sebagian penulis menganjurkan parasentesis ulang dalam 48-72 jam untuk memantau keberhasilan terapi (penurunan hitung leukosit <50% dari nilai asal) (Hoefs, 1985).

• Pada TP, hasil pewarnaan Gram dan basil tahan asam jarang positif, dan biakan rutin negatif palsu pada sebanyak 80% kasus. Kadar protein lebih dari 2,5 g/dL, LDH > 90 U/mL, dan sel mononuklir >500 /mL merupakan indikasi TP, tetapi tes tidak spesifik. Laparoskopi dengan visualisasi granuloma pada biopsi peritoneum dan biakan spesifik (memerlukan 4-6 minggu ) mungkin dibutuhkan untuk diagnosis definitif.

• Biakan cairan peritoneum intraoperatif pada penyakit akut tertentu (yakni , perforasi tukak lambung dan duodenum, apendisitis, divertikulitis atau perforasi kolon yang disebabkan obstruksi atau iskemia) masih diperdebatkan. Beberapa kajian tidak mendapatkan perbedaan bermakna pada pasien apendisitis, divertikulitis, dan etiologi lazim lainnya dari segi komplikasi pasca bedah dan prognosis. Regimen antibiotik hanya diganti pada 8-10% (Bilik, 1998; Mosdell, 1991; Farber, 1997). Pada pasien yang sebelumnya menjalani operasi atau intrumentasi abdomen (misal , kateter dialisis peritoneum, stent perkutan) dan pasien yang mendapat terapi antibiotik jangka panjang, sakit kritis, dan/atau rawat-inap, hasil

Page 112: Sepsis

107

biakan dapat menunjukkan resistensi dan mengha-ruskan penggantian antibiotik.

Pencitraan:

• Radiograf

o Foto polos abdomen(misal, berbaring, tegak, dan lateral dekubitus) sering merupakan pemeriksaan pertama pada pasien dengan gejala peritonitis. Nilai diagnostik terbatas. Paling sering, film ini memperlihatkan bukti ileus, dan distensi usus dengan air-fluid level. Temuan ini bisa terlokalisir pada satu kuadran pada infeksi dini; namun, pola gas yang nonspesifik atau hilangnya gas tidak menyingkirkan infeksi peritoneum. Kadang-kadang distensi usus yang terisolasi (biasanya menipis pada titik obstruksi) bisa diidentifikasi dan menunjukkan closed-loop obstruction atau volvulus.

o Pada iskemia dan peradangan usus, penebalan dinding usus dapat diketahui dengan memisahkan loop yang didekatnya. Namun temuan ini juga bisa disebabkan oleh resusitasi volume, obstruksi usus yang lama dan malnutrisi, sehingga temuan ini umumnya tidak spesifik.

o Massa radang yang besar atau abses bisa menggeser loop usus dan menyebabkan daerah dengan opasitas bertambah. Peritonitis generalisata yang menyebabkan eksudasi cairan atau asites dapat menghasilkan tampilan ground-glass pada foto polos.

o Udara bebas ditemukan pada kebanyakan kasus perforasi lambung anterior dan deuodenum, namun lebih jarang dibanding perforasi usus halus dan kolon, dan tidak lazim pada perforasi apendiks. Foto tegak berguna mengidentifikasi udara dibawah diafragma

Page 113: Sepsis

108

(paling sering di kanan) sebagai indikasi perforasi organ. Walaupun pada beberapa kasus udara bisa divisualisasikan sebagai daerah hiperlusen bundar di tengah pada foto berbaring, temuan ini sering luput deteksi. Udara bebas juga bisa luput deteksi pada film portabel di mana pasien dengan posisi setengah baring. Film lateral dikubitus kiri dapat membantu menegakkan diagnosis. Adanya udara bebas tidak harus ada dengan perforasi organ visera dan sejumlah kecil udara mudah luput pada foto polos.

• Ultrasonografi

o USG abdomen membantu menilai patologi di kuadran kanan atas (misal, abses perihepatik, kolesistitis, biloma,pankreatitis, pseudokista pankreas), kuadran kanan bawah dan pelvis (misal, apendisits, abses tubo-ovarium, abses cavum Douglassi), namun kadang-kadang pemeriksaan terbatas karena pasien tidak nyaman, distensi abdomen dan interferensi gas usus.

o Ultrasonografi bisa mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneum (asites), tetapi kemampuan mendeteksi <100 mL terbatas. Rongga peritoneum sentral (perimesenteric) tidak divisualisasikan dengan baik dengan USG abdomen. Pemeriksaan dari pinggang(flank) atau punggung mungkin lebih informatif. Dengan ahli USG yang berpengalaman, keakuratan lebih dari 85% telah dilaporkan(Pai, 1995; Taylor, 1978).

o Dalam beberapa tahun terakhir, aspirasi yang dipandu USG dan penempatan drain sudah menjadi sarana diagnosis dan terapi yang bernilai pada pengumpulan cairan abdomen

• Computed tomography scan

Page 114: Sepsis

109

o CT scan abdomen menjadi standar kriteria diagnosis peritonitis, abses peritoneum dan patologi visera terkait. CT scan diindikasikan pada semua kasus yang tidak bisa ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan foto polos abdomen. Bila mungkin CT scan dilakukan dengan zat kontras usus dan intravena. CT scan bisa mendeteksi jumlah kecil cairan, daerah radang dan patologi saluran cerna lain dengan kepekaan mendekati100%. Kespesifikan CT berkisar dari serendah 16% (apendisitis) sampai setinggi 95% pada berbagai patologi lain. Diagnosis bisa ditegakkan pada 80sampai >95% kasus, dan strategi terapi primer bisa dimodifikasi pada sampai 30% pasien (Taourel, 1992; Korobkin, 1978; Moir, 1982).

o Tanda paling lazim dari abses peritoneum meliputi lesi densitas rendah (homogen atau heterogen), mass effect, dinding dengan densitas lebih tinggi (dengan atau tanpa enhancement), dan adanya gas ekstra-intesinal(Kleinhaus, 1982; Simon, 1985; Weyant, 2000).

o Abses periteum bisa Diaspirasi untuk diagnosis dan drainase dibawah panduan CT; teknik ini sudah menjadi standar.

• Nuclear medicine scans (misal , gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan) (Lerer, 1979)

o Pemeriksaan ini memiliki kegunaan sedikit pada evaluasi dini peritonitis intra-abdomen. Tersering digunakan pada demam tanpa sebab atau pasien dengan demam persisten walaupun sudah mendapat terapi antibiotik adekuat dan temuan CT negatif. Kajian terdahulu telah melaporkan bahwa gallium citrate Ga 67 scanning dapat berguna pada

Page 115: Sepsis

110

diagnosis suspek TP (Steinbach, 1976; Perez, 1977; Gobar, 1997).

o Leukosit dengan label 99mTc-hexamethyl-propyleneamine oxime (HMPAO) dan 111In telah digunakan secara luas untuk visualisasi radang, termasuk penyakit readang usus. Peritonitis difus bisa menyerupai temuan penyakit radang usus pada scan 111In leukocyte , sehingga manfaat scan ini terbatas.

Magnetic resonance imaging

o Magnetic resonance imaging: Abses abdomen menunjukkan intensitas signal yang berkurang pada T1-weighted images peningkatan intensitas signal pada T2-weighted images; Abses terlihat paling tegas dengan gadolinium-enhanced, T1-weighted, fat-suppressed images . Pada beberapa kajian kepekaan mendekati 100% dan kepekaan dilaporkan 94%, dengan nilai prediksi negatif dan positif 88% dan 100% serta keakuratan secara keseluruhan 96% (Noone, 1998).

Biaya tinggi dan waktu pemeriksaan lama menyebabkan kegunaannya sangat kecil

• Kajian zat kontras

o Pemeriksaan konvensional dengan zat kontras (yakni, bubur Gastrografin , enama kolorektal, fistulogram, pemeriksaan kontras dari drain dan stent)dicadangkan untuk indikasi spesifik.

o Bila dicurigai perforasi, zat kontras barium dikontraindikasikan. Gastrografin bisa digunakan untuk menilai patensi dan fungsi esofagus,lambung, usus halus dan keutuhan anstomosis.

o Pada obstuksi atau ileus berat, dibutuhkan waktu lama untuk mencapai usus halus distal. Zat Kontras hiperosmolar dapat memperburuk gejala. Sisa kontras di usus bisa mempersulit interpretasi CT

Page 116: Sepsis

111

o Penyuntikan kontras melalui drain atau stent bisa memperlihatkan hubungan persisten dengan lumen usus (fistula) dan bisa digunakan memantau pengurangan rongga abses sebagai tanda keberhasilan terapi.

Terapi

Terapi Medis:

Prinsip Umum: (1) kendalikan sumber infeksi, (2) eliminasi bakteri dan toksin, (3) pertahankan fungsi organ(4) kendalikan proses radang.

Dukungan medis meliputi

(1) terapi antibiotik sistemik;

(2) rawat intensif dengan dukungan hemodinamik,pulmonal dan pengganti renal;

(3) dukungan nutrisi dan metabolik

(4) terapi modulasi respon radang.

Terapi Antibiotik

• Pada SBP, Mulai terapi empirik dengan sefalosporin generasi ketiga dan sesuaikan berdasarkan hasil biakan.Hindari aminoglikosida karena pasien dengan penyakit hati kronik memiliki risiko tinggi untuk nefrotoksisitas. Lama terapi yang optimal tidak diketahui; biasanya dianjurkan10 hari, walaupun uji klinik yang baru memberi kesan 5 hari (dengan dokumentasi hitung leukosit cairan peritoneum <250 sel/mL) cukup untuk banyak kasus (McQuaid, 1999; Eckhauser, 1997).

• Pada SP dan TP , terapi antibiotik sistemik adalah prioritas kedua. Beberapa kajian memberi kesan bahwa terapi antibiotik tidak efektif pada stadium

Page 117: Sepsis

112

lanjut, dan terapi dini (preoperatif) bisa menghasilkan penurunan bermakna dari konsentrasi dan pertumbuhan bakteri dalam cairan peritoneum. Oleh karena itu, berikan segera terapi empirik setelah ditegakkan diagnosis infeksi peritoneum (Bohnen, 1996; Krukowski, 1987). Terapi awal untuk SP harus aktif terhadap kuman gram-negatif (misal, E coli, spesies Enterobacteriaceae ) dan anaerob(misal, B fragilis).

• Pada infeksi yang didapat dari luar RS, sefalosporin generasi kedua atau ketiga, atau kuinolon dengan atau tanpa metronidazol memberi cakupan yang memadai, bergitupula penisilin spektrum luas dengan aktivitas anaerob yakni, ampisilin/sulbaktam)dan kuinolon baru (yakni, trovafloxacin, clinafloxacin). Kebanyakan uji klinis memberi kesan bahwa monoterapi sama efektif dengan kombinasi dua atau tiga antibiotik pada infeksi abdomen ringan sampai sedang.

• Pada infeksi abdomen berat atau nosokomial, imipenem, piperacillin/tazobactam, dan kombinasi aminoglikosida dan metronidazol sering efektif. Uji klinis pada hampir 400 pasien melaporkan bahwa ertapenem, suatu karbapenem baru dengan waktu paruh yang memungkinkan dosis sekali sehari, efektif (86.7% angka keberhasilan) dibandingkan piperacillin/ tazobactam (81.2% angka keberhasilan) dalam pengobatan infeksi intra-abdomen komplikasi dan ditoleransi dengan baik(Solomkin, 2001).

• Infeksi persisten (yaitu, peritonitis tersier atau TP) dan sakit kritis berkepanjangan, biakan cairan peritoneum/abses diperlukan untuk mengatasi patogen yang tidak lazim(misal, kuman gram-positif, jamur) dan kuman resisten (misal, Enterococcus, Staphylococcus, Pseudomonas,Bacteroides yang resisten , dan spesies Candida species) (Nathens, 1998; Gnocchi, 1999; Bartlett, 1995). Kondisi tertentu yang sudah ada sebelumnya, seperti imunokompromi, terapi supresi asam lambung, pemakaian antibiotik juga mempengaruhi spektrum kuman. Konsultasi dengan spesialis penyakit infeksi dianjurkan(Farber, 1997).

Page 118: Sepsis

113

Durasi optimal dan terapi antibiotik harus diindividualisasikan dan bergantung pada patologi dasar, keparahan infeksi dan kecepatan kontrol dini dari sumber infeksi, serta respon pasien terhadap terapi. Pada peritonitis nonkomplikasi pemberian 5-7 hari sudah cukup pada banyak kasus. Kasus ringan misal apendisitis dini, kolesistitis) mungkin tidak memerlukan lebih dari 24-72 jam pasca operasi. Terapi awal yang tidak adekuat akan memperburuk prognosis dan tidak bisa berubah bermakna dengan modifikasi atau pemanjangan terapi (Mosdell, 1991).

Pada infeksi yang persisten dan dengan komplikasi pada pasien imunokompromi mungkin terapi antibiotik perlu diperpanjang.

Sebagian pasien memperlihatkan tanda peradangan menetap tanpa fokus infeksi yang bisa dideteksi. Pada pasien ini terapi antibiotik spektrum luas yang diteruskan lebih merugikan daripada bermanfaat (karena munculnya strain resisten, C difficile colitis) (Farber, 1997).

Akhirnya perlu disadari bahwa antibiotik sistemik sendiri jarang memadai untuk mengatasi abses intra-abdomen, dan drainase abses yang adekuat sangat penting. Untuk kebanyakan antibiotik yang digunakan,kadar antibiotik di cairan abses umumnya berada di bawah kadar hambat minimum(KHM 90) untukB fragilis danE coli, sehingga pengulangan dosis atau pemberian dosis tinggi tidak memperbaiki penetrasi secara bermakna (Galandiuk, 1995).

Drainase nonoperatif

Dewasa ini, banyak literatur mencatat keamanan dan efektivitas drainase perkutan abses abdomen dan ekstraperitoneum yang dipandu oleh USG dan CT (Risse, 1998).

Keberhasilan drainase perkutan umumnya didefinisI-kan sebagau kontrol sumber infeksi yang efektif, sehingga tindakan bedah bisa dihindari. Pada

Page 119: Sepsis

114

beberapa keadaan, keberhasilan juga mancakup kemampuan menunda operasi sebelum proses akut dan sepsis mereda, sehingga prosedur definitif bisa dilakukan secara elektif.

Etiologi, lokasi dan morfologi abses perlu diketahui sebelum drainase; nilai adanya kebocoran usus atau pembentukan fistula. Dengan indikasi yang benar, kebanyakan kajian melaporkan angka keberhasilan lebih dari 80% (kisaran 33-100%) untuk drainase abses lokal yang nonlokulasi; Namun, angka keberhasilan bergantung pada derajat patologi dasar. Pada kajian-kajian ini tidak didapat perbedaan bermakna antara manajemen operatif dan nonoperatif, dari segi morbiditas keseluruhan dan lama rawat-inap (lama drainase rata-rata ,8,5 hari) (Henrich, 1998; Ayak, 1996; Saleem, 2000; Mac Erlean, 1983; Bartels, 1997; Voros, 1996; Schechter, 1994; McLoughlin, 1995).

Alasan-alasan umum untuk kegagalan manajemen primer nonoperatif adalah fistula enterik(misal dehisens anastomosis), keterlibatan pankreas, bekuan terinfeksi, dan abses multipel atau multilokulasi. Komplikasi yang disebabkan prosedur terjadi pada kurang dari10% kasus (kisaran 5-27%),dengan angka kematian 1% oleh dokter yang berpengalaman (Ayuk, 1996, Bartels, 1997; Voros, 1996; Schechter, 1994).

Pada pembentukan abses peritoneum yang disebabkan perforasi usus (misal, divertikulitis, penyakit Crohn, apendisitis), drainase perkutan berhasil pada sebagian besar pasien (Ayak, 1996). Pasien penyakit Crohn yang menjalani drainase perkutan lebih sedikit memiliki fistula. Kegagalan pada pasien ini terkait dengan adanya fistula dan pembentukan striktura yang luas(Sahai, 1997; Cybulski, 1990).

Sebagai kesimpukan, drainase perkutan dan drainase bedah tidak perlu dipandang bersaing melainkan saling melengkapi. Jika abses bisa diakses dengan drainase perkutan dan patologi organ visera tidak memerlukan

Page 120: Sepsis

115

tindakan bedah, maka drainase perkutan bisa menjadi terapi primer yang aman dan efektif (Levison, 1992; Hemming, 1991; Rothlin, 1998).

Terapi bedah:

Pembedahan masih merupakan tindakan terapi yang penting untuk semua kasus infeksi peritoneum. Setiap operasi harus berdasarkan 2 prinsip pertama dari terapi infeksi intraperitoneum:

1) kontrol sumber infeksi secara dini dan definitif dan 2) membasmi bakteri dan toksin dari rongga abdomen.

Disadur dan diterjemahkan dari Genuit T. Peritonitis and Abdominal Sepsis. emedicine.com

Referensi

1. Alden SM, Frank E, Flancbaum L: Abdominal candidiasis in surgical patients. Am Surg 1989 Jan; 55(1): 45-9[Medline].

2. Anderson ID, Fearon KC, Grant IS: Laparotomy for abdominal sepsis in the critically ill. Br J Surg 1996 Apr; 83(4): 535-9[Medline].

3. Ayuk P, Williams N, Scott NA, et al: Management of intra-abdominal abscesses in Crohn's disease. Ann R Coll Surg Engl 1996 Jan; 78(1): 5-10[Medline].

4. Bailey J, Shapiro MJ: Abdominal compartment syndrome. Crit Care 2000; 4(1): 23-9[Medline][Full Text].

5. Balint A, Batorfi J, Mate M, et al: Intraabdominal abscess managed successfully via the laparoscopic approach. Surg Endosc 2000 Jun; 14(6): 593-4[Medline].

6. Bartels H, Theisen J, Berger H, Siewert JR: [Interventional therapy of intra-abdominal abscess: outcome and limits]. Langenbecks Arch Chir Suppl Kongressbd 1997; 114: 956-8[Medline].

7. Bartlett JG: Intra-abdominal sepsis. Med Clin North Am 1995 May; 79(3): 599-617[Medline].

8. Berger D, Buttenschoen K: Management of abdominal sepsis. Langenbecks Arch Surg 1998 Mar; 383(1): 35-43[Medline][Full Text].

9. Bilik R, Burnweit C, Shandling B: Is abdominal cavity culture of any value in appendicitis? Am J Surg 1998 Apr; 175(4): 267-70[Medline].

10. Bohnen JM: Duration of antibiotic treatment in surgical infections of the abdomen. Postoperative peritonitis. Eur J Surg Suppl 1996; (576): 50-2[Medline].

11. Bohnen JM, Mustard RA: A critical look at scheduled relaparotomy for secondary bacterial peritonitis. Surg Gynecol Obstet 1991; 172 Suppl: 25-9[Medline].

12. Bosscha K, Hulstaert PF, Visser MR, et al: Open management of the abdomen and planned reoperations in severe bacterial peritonitis. Eur J Surg 2000 Jan; 166(1): 44-9[Medline].

Page 121: Sepsis

116

13. Brugger LE, Seiler CA, Mittler M, et al: [New approaches to the surgical treatment of diffuse peritonitis]. Zentralbl Chir 1999; 124(3): 181-6[Medline].

14. Bufalari A, Giustozzi G, Moggi L: Postoperative intraabdominal abscesses: percutaneous versus surgical treatment. Acta Chir Belg 1996 Sep-Oct; 96(5): 197-200[Medline].

15. Cheatham ML, White MW, Sagraves SG, et al: Abdominal perfusion pressure: a superior parameter in the assessment of intra-abdominal hypertension. J Trauma 2000 Oct; 49(4): 621-6; discussion 626-7[Medline][Full Text].

16. Chen RJ, Fang JF, Lin BC, Kao JL: Laparoscopic decompression of abdominal compartment syndrome after blunt hepatic trauma. Surg Endosc 2000 Oct; 14(10): 966[Medline][Full Text].

17. Christou NV, Barie PS, Dellinger EP, et al: Surgical Infection Society intra-abdominal infection study. Prospective evaluation of management techniques and outcome. Arch Surg 1993 Feb; 128(2): 193-8; discussion 198-9[Medline].

18. Cybulsky IJ, Tam P: Intra-abdominal abscesses in Crohn's disease. Am Surg 1990 Nov; 56(11): 678-82[Medline]. Dellinger EP, Wertz MJ, Meakins JL, et al: Surgical infection stratification system for intra-abdominal infection. Multicenter trial. Arch Surg 1985 Jan; 120(1): 21-9[Medline].

19. Dougherty SH: Role of enterococcus in intraabdominal sepsis. Am J Surg 1984 Sep; 148(3): 308-12[Medline].

20. Dubrow T, Schwartz RJ, McKissock J, Wilson SE: Effect of aerosolized fibrin solution on intraperitoneal contamination. Arch Surg 1991 Jan; 126(1): 80-3[Medline].

21. Eckhauser FE, Raper SE, Turcotte JG: Cirrhosis and portal hypertension. In: Greenfield LJ, Mulholand M, Oldham KT, Zelenock GB, Lillemoe KD, eds. Surgery: Scientific Principles and Practice. 2nd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven Publishers; 1997: 972-1008.

22. Farber MS, Abrams JH: Antibiotics for the acute abdomen. Surg Clin North Am 1997 Dec; 77(6): 1395-417[Medline].

23. Finlay-Jones JJ, Davies KV, Sturm LP, et al: Inflammatory processes in a murine model of intra-abdominal abscess formation. J Leukoc Biol 1999 Oct; 66(4): 583-7[Medline].

24. Finlay-Jones JJ, Kenny PA, Nulsen MF, et al: Pathogenesis of intraabdominal abscess formation: abscess-potentiating agents and inhibition of complement-dependent opsonization of abscess- inducing bacteria. J Infect Dis 1991 Dec; 164(6): 1173-9[Medline].

25. Galandiuk S, Lamos J, Montgomery W, et al: Antibiotic penetration of experimental intra-abdominal abscesses. Am Surg 1995 Jun; 61(6): 521-5[Medline].

26. Gallinaro RN, Polk HC Jr: Intra-abdominal sepsis: the role of surgery. Baillieres Clin Gastroenterol 1991 Sep; 5(3 Pt 1): 611-37[Medline].

27. Garcia-Sabrido JL, Tallado JM, Christou NV, et al: Treatment of severe intra-abdominal sepsis and/or necrotic foci by an 'open-abdomen' approach. Zipper and zipper-mesh techniques. Arch Surg 1988 Feb; 123(2): 152-6[Medline].

28. Giangreco L, Di Palo S, Castrucci M, et al: [Abdominal abscesses: their treatment and the study of prognostic factors]. Minerva Chir 1997 Apr; 52(4): 369-76[Medline].

Page 122: Sepsis

117

29. Gibson FC 3rd, Onderdonk AB, Kasper DL, Tzianabos AO: Cellular mechanism of intraabdominal abscess formation by Bacteroides fragilis. J Immunol 1998 May 15; 160(10): 5000-6[Medline].

30. Gnocchi CA: [Intra-abdominal infection and new quinolones]. Medicina (B Aires) 1999; 59 Suppl 1: 47-54[Medline].

31. Gobar LS, Graham R, Harrison KA: Indium-111-leukocyte imaging: a case of peritonitis mimicking inflammatory bowel disease. J Nucl Med 1997 Jul; 38(7): 1138-40[Medline].

32. Hakkiluoto A, Hannukainen J: Open management with mesh and zipper of patients with intra-abdominal abscesses or diffuse peritonitis. Eur J Surg 1992 Aug; 158(8): 403-5[Medline].

33. Hedderich GS, Wexler MJ, McLean AP, Meakins JL: The septic abdomen: open management with Marlex mesh with a zipper. Surgery 1986 Apr; 99(4): 399-408[Medline].

34. Hemming A, Davis NL, Robins RE: Surgical versus percutaneous drainage of intra-abdominal abscesses. Am J Surg 1991 May; 161(5): 593-5[Medline].

35. Henrich H, Muller RD, Erhard J, et al: [CT-controlled percutaneous drainage of intra-abdominal abscesses with basket catheters]. Zentralbl Chir 1998; 123(3): 251-6[Medline].

36. Hoefs JC, Runyon BA: Spontaneous bacterial peritonitis. Dis Mon 1985 Sep; 31(9): 1-48[Medline].

37. Ivatury RR, Zubowski R, Psarras P, et al: Intra-abdominal abscess after penetrating abdominal trauma. J Trauma 1988 Aug; 28(8): 1238-43[Medline].

38. Kirschner M: Die Behandlund der akuten eitrigen freien Bauchfellentzundung. Langenb Arch Chir 1926; 142: 253-267.

39. Kleinhaus U, Goldsher D, Kaftori JK: Computed tomographic diagnosis of abdominal abscesses. Radiologe 1982 May; 22(5): 230-4[Medline].

40. Kok KY, Yapp SK: Laparoscopic drainage of postoperative complicated intra-abdominal abscesses. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech 2000 Oct; 10(5): 311-3[Medline].

41. Konig C, Simmen HP, Blaser J: Bacterial concentrations in pus and infected peritoneal fluid-- implications for bactericidal activity of antibiotics. J Antimicrob Chemother 1998 Aug; 42(2): 227-32[Medline].

42. Koperna T, Schulz F: Prognosis and treatment of peritonitis. Do we need new scoring systems? Arch Surg 1996 Feb; 131(2): 180-6[Medline][Full Text].

43. Korobkin M, Callen PW, Filly RA, et al: Comparison of computed tomography, ultrasonography, and gallium-67 scanning in the evaluation of suspected abdominal abscess. Radiology 1978 Oct; 129(1): 89-93[Medline].

44. Krenzien J, Lorenz W: [Scoring systems for severe intra-abdominal infections]. Zentralbl Chir 1990; 115(17): 1065-79[Medline].

45. Krukowski ZH, Al-Sayer HM, Reid TM, Matheson NA: Effect of topical and systemic antibiotics on bacterial growth kinesis in generalized peritonitis in man. Br J Surg 1987 Apr; 74(4): 303-6[Medline].

46. Lam SC, Kwok SP, Leong HT: Laparoscopic intracavitary drainage of subphrenic abscess. J Laparoendosc Adv Surg Tech A 1998 Feb; 8(1): 57-60[Medline].

47. Laroche M, Harding G: Primary and secondary peritonitis: an update. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1998 Aug; 17(8): 542-50[Medline].

Page 123: Sepsis

118

48. Lee FY, Leung KL, Lai BS, et al: Predicting mortality and morbidity of patients operated on for perforated peptic ulcers. Arch Surg 2001 Jan; 136(1): 90-4[Medline].

49. Lee FY, Leung KL, Lai PB, Lau JW: Selection of patients for laparoscopic repair of perforated peptic ulcer. Br J Surg 2001 Jan; 88(1): 133-6[Medline].

50. Lerer S, Romano T, Denmark L: Gallium-67-citrate scanning in tuberculous peritonitis. Am J Gastroenterol 1979 Mar; 71(3): 264-8[Medline].

51. Levison MA: Percutaneous versus open operative drainage of intra-abdominal abscesses. Infect Dis Clin North Am 1992 Sep; 6(3): 525-44[Medline].

52. Mac Erlean DP, Gibney RG: Radiological management of abdominal abscess. J R Soc Med 1983 Apr; 76(4): 256-61[Medline].

53. Mayberry JC, Mullins RJ, Crass RA: Prevention of abdominal compartment syndrome by absorbable mesh prosthesis closure. Arch Surg 1997 Sep; 132(9): 957-61; discussion 961-2[Medline].

54. McLoughlin RF, Mathieson JR, Cooperberg PL, et al: Peritoneal abscesses due to bowel perforation: effect of extent on outcome after percutaneous drainage. J Vasc Interv Radiol 1995 Mar-Apr; 6(2): 185-9[Medline].

55. McQuaid KR: Diseases of the peritoneum. In: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA, eds. Current Medical Diagnosis and Treatment. New York, NY: McGraw Hill Professional Publishing; 1999: 558-563.

56. McRitchie DI, Girotti MJ, Glynn MF, et al: Effect of systemic fibrinogen depletion on intraabdominal abscess formation. J Lab Clin Med 1991 Jul; 118(1): 48-55[Medline].

57. Michelet I, Agresta F: Perforated peptic ulcer: laparoscopic approach. Eur J Surg 2000 May; 166(5): 405-8[Medline].

58. Moir C, Robins RE: Role of ultrasonography, gallium scanning, and computed tomography in the diagnosis of intraabdominal abscess. Am J Surg 1982 May; 143(5): 582-5[Medline].

59. Montravers P, Andremont A, Massias L, Carbon C: Investigation of the potential role of Enterococcus faecalis in the pathophysiology of experimental peritonitis. J Infect Dis 1994 Apr; 169(4): 821-30[Medline].

60. Mosdell DM, Morris DM, Voltura A, et al: Antibiotic treatment for surgical peritonitis. Ann Surg 1991 Nov; 214(5): 543-9[Medline].

61. Naesgaard JM, Edwin B, Reiertsen O, et al: Laparoscopic and open operation in patients with perforated peptic ulcer. Eur J Surg 1999 Mar; 165(3): 209-14[Medline].

62. Nathens AB, Rotstein OD, Marshall JC: Tertiary peritonitis: clinical features of a complex nosocomial infection. World J Surg 1998 Feb; 22(2): 158-63[Medline].

63. Noone TC, Semelka RC, Worawattanakul S, Marcos HB: Intraperitoneal abscesses: diagnostic accuracy of and appearances at MR imaging. Radiology 1998 Aug; 208(2): 525-8[Medline].

64. O'Sullivan GC, Murphy D, O'Brien MG, Ireland A: Laparoscopic management of generalized peritonitis due to perforated colonic diverticula. Am J Surg 1996 Apr; 171(4): 432-4[Medline].

65. Osztrogonacz H, Horvath G, Tolvaj G, et al: [Incidence of spontaneous bacterial peritonitis in cirrhotic patients with ascites. A two-year prospective study]. Orv Hetil 1996 Jan 28; 137(4): 179-82[Medline].

Page 124: Sepsis

119

66. Pacelli F, Doglietto GB, Alfieri S, et al: Prognosis in intra-abdominal infections. Multivariate analysis on 604 patients. Arch Surg 1996 Jun; 131(6): 641-5[Medline].

67. Pai PR, Supe AN, Bapat RD, Samsi AB: Intraperitoneal abscesses: diagnostic dilemmas and therapeutic options. Indian J Gastroenterol 1995 Jan; 14(1): 3-7[Medline].

68. Paik PS, Towson JA, Anthone GJ, et al: Intra-Abdominal Abscesses Following Laparoscopic and Open Appendectomies. J Gastrointest Surg 1997 Mar; 1(2): 188-193[Medline].

69. Perdue PW, Kazarian KK, Nevola J, et al: The use of local and systemic antibiotics in rat fecal peritonitis. J Surg Res 1994 Sep; 57(3): 360-5[Medline].

70. Perez J, Rivera JV, Bermudez RH: Peritoneal localization of gallium-67. Radiology 1977 Jun; 123(3): 695-7[Medline]. Petit P, Bret PM, Lough JO, Reinhold C: Risks associated with intestinal perforation during experimental percutaneous drainage. Invest Radiol 1992 Dec; 27(12): 1012-9[Medline].

71. Reid RI, Dobbs BR, Frizelle FA: Risk factors for post-appendicectomy intra-abdominal abscess. Aust N Z J Surg 1999 May; 69(5): 373-4[Medline].

72. Risse JH, Keulers P, Gunther RW: [CT guided percutaneous drainage of retro- and extraperitoneal abscesses and fluid collection]. Rofo Fortschr Geb Rontgenstr Neuen Bildgeb Verfahr 1998 Mar; 168(3): 281-6[Medline].

73. Rothlin MA, Schob O, Klotz H, et al: Percutaneous drainage of abdominal abscesses: are large-bore catheters necessary? Eur J Surg 1998 Jun; 164(6): 419-24[Medline].

74. Rotstein OD: Role of fibrin deposition in the pathogenesis of intraabdominal infection. Eur J Clin Microbiol Infect Dis 1992 Nov; 11(11): 1064-8[Medline].

75. Saha SK: Efficacy of metronidazole lavage in treatment of intraperitoneal sepsis. A prospective study. Dig Dis Sci 1996 Jul; 41(7): 1313-8[Medline].

76. Sahai A, Belair M, Gianfelice D, et al: Percutaneous drainage of intra-abdominal abscesses in Crohn's disease: short and long-term outcome. Am J Gastroenterol 1997 Feb; 92(2): 275-8[Medline].

77. Saleem M, Ahmad N, Ahsan I: Ultrasound guided percutaneous drainage of abdominal abscesses. J Pak Med Assoc 2000 Feb; 50(2): 50-3[Medline].

78. Sautner T, Gotzinger P, Redl-Wenzl EM, et al: Does reoperation for abdominal sepsis enhance the inflammatory host response? Arch Surg 1997 Mar; 132(3): 250-5[Medline].

79. Saverymuttu SH, Peters AM, Lavender JP: Clinical importance of enteric communication with abdominal abscesses. Br Med J (Clin Res Ed) 1985 Jan 5; 290(6461): 23-6[Medline].

80. Sawyer RG, Adams RB, Spengler MD, Pruett TL: Preexposure of the peritoneum to live bacteria increases later mixed intraabdominal abscess formation and delays mortality. J Infect Dis 1991 Mar; 163(3): 664-7[Medline].

81. Sawyer RG, Adams RB, Spengler MD, Pruett TL: Transient and distant infections alter later intraperitoneal abscess formation. Arch Surg 1991 Feb; 126(2): 164-8[Medline].

82. Sawyer RG, Rosenlof LK, Adams RB, et al: Peritonitis into the 1990s: changing pathogens and changing strategies in the critically ill. Am Surg 1992 Feb; 58(2): 82-7[Medline].

Page 125: Sepsis

120

83. Sawyer RG, Adams RB, Rosenlof LK, et al: The role of Candida albicans in the pathogenesis of experimental fungal/bacterial peritonitis and abscess formation. Am Surg 1995 Aug; 61(8): 726-31[Medline].

84. Sawyer RG, Spengler MD, Adams RB, Pruett TL: The peritoneal environment during infection. The effect of monomicrobial and polymicrobial bacteria on pO2 and pH. Ann Surg 1991 Mar; 213(3): 253-60[Medline].

85. Schechter S, Eisenstat TE, Oliver GC, et al: Computerized tomographic scan-guided drainage of intra-abdominal abscesses. Preoperative and postoperative modalities in colon and rectal surgery. Dis Colon Rectum 1994 Oct; 37(10): 984-8[Medline].

86. Schein M, Wittmann DH, Holzheimer R, Condon RE: Hypothesis: compartmentalization of cytokines in intraabdominal infection. Surgery 1996 Jun; 119(6): 694-700[Medline].

87. Schein M, Saadia R, Decker G: Intraoperative peritoneal lavage. Surg Gynecol Obstet 1988 Feb; 166(2): 187-95[Medline]. Simmen HP, Blaser J: Analysis of pH and pO2 in abscesses, peritoneal fluid, and drainage fluid in the presence or absence of bacterial infection during and after abdominal surgery. Am J Surg 1993 Jul; 166(1): 24-7[Medline].

88. Simon GL, Geelhoed GW: Diagnosis of intra-abdominal abscesses. A review. Am Surg 1985 Aug; 51(8): 431-6[Medline]. Siu WT, Chan WC, Hou SM, Li MK: Laparoscopic management of ruptured pyogenic liver abscess. Surg Laparosc Endosc 1997 Oct; 7(5): 426-8[Medline].

89. Solomkin JS, Choe KA, Christou NV: A prospective, randomized, blinded study of ertapenem vs piperacillin/tazobactam for intraabdominal infection. Presented at the Surgical Infection Society 21st Annual Meeting May 3-5, 2001.

90. Steinbach JJ: Abnormal 67Ga-citrate scan of the abdomen in tuberculous peritonitis: case report. J Nucl Med 1976 Apr; 17(4): 272-3[Medline].

91. Taourel P, Baron MP, Pradel J, et al: Acute abdomen of unknown origin: impact of CT on diagnosis and management. Gastrointest Radiol 1992 Fall; 17(4): 287-91[Medline].

92. Taylor KJ, Wasson JF, De Graaff C, et al: Accuracy of grey-scale ultrasound diagnosis of abdominal and pelvic abscesses in 220 patients. Lancet 1978 Jan 14; 1(8055): 83-4[Medline].

93. Tzianabos AO, Cisneros RL, Gershkovich J, et al: Effect of surgical adhesion reduction devices on the propagation of experimental intra-abdominal infection. Arch Surg 1999 Nov; 134(11): 1254-9[Medline].

94. van Goor H, de Graaf JS, Grond J, et al: Fibrinolytic activity in the abdominal cavity of rats with faecal peritonitis. Br J Surg 1994 Jul; 81(7): 1046-9[Medline].

95. Voros D, Gouliamos A, Kotoulas G, et al: Percutaneous drainage of intra-abdominal abscesses using large lumen tubes under computed tomographic control. Eur J Surg 1996 Nov; 162(11): 895-8[Medline].

96. Watters JM, Blakslee JM, March RJ, Redmond ML: The influence of age on the severity of peritonitis. Can J Surg 1996 Apr; 39(2): 142-6[Medline].

97. Weyant MJ, Eachempati SR, Maluccio MA, et al: Interpretation of computed tomography does not correlate with laboratory or pathologic findings in surgically confirmed acute appendicitis. Surgery 2000 Aug; 128(2): 145-52[Medline].

Page 126: Sepsis

121

98. Wittmann DH: Operative and nonoperative therapy of intraabdominal infections. Infection 1998 Sep-Oct; 26(5): 335-41[Medline].

99. Wittmann DH, Schein M, Condon RE: Management of secondary peritonitis. Ann Surg 1996 Jul; 224(1): 10-8[Medline].

100. Wittmann DH: Staged abdominal repair: development and current practice of an advanced operative technique for diffuse suppurative peritonitis. Acta Chir Austriaca 2000; 32: 171-8.

Page 127: Sepsis

122

DIC (Koagulasi Intravaskular Diseminata)

DIC adalah suatu status hiperkoagulasi yang terjadi pada berbagai keadaan penyakit, termasuk sepsis dan kanker. Di sini terjadi overstimulasi koagulasi normal di mana trombosis dan perdarahan terjadi sekaligus. Hiperkoagulasi terjadi pada awal proses DIC; banyak bekuan kecil terbentuk di mikrosirkulasi berbagai organ. Proses ini disusul oleh fibrinolisis, di mana terjadi konsumsi bekuan dan faktor-faktor pembekuan, sehingga mengakibatkan perdarahan. Akhirnya tubuh tidak bisa memberi respons terhadap jejas vaskular dan jaringan melalui pembentukan bekuan yang stabil, dan terjadi perdarahan. Perdarahan yang berhubungan dengan DIC bisa hebat, namun trombosis difus(melibatkan mikrovaskular dan makrovaskular) yang menyebabkan morbiditas menetap dan kematian pada DIC.1 Trombosis lah yang menyebabkan iskemia dan kerusakan organ.1

DIC bisa bersifat akut dan kronik. DIC kronik umumnya terlihat pada pasien kanker dan ditunjukkan sebagai kejadian-kejadian trombosis lokal (misal trombosis vena dalam atau DVT).2. DIC kronik didefinisikan sebagai keadaan koagulasi intravaskular dan hanya terjadi gangguan imbang hemostasis normal. DIC akut merupakan gangguan mekanisme hemostasis di mana koagulasi intravaskular mengancam jiwa.

Patofisiologi DIC

Pada kondisi homeostasis, tubuh dipelihara oleh keseim-bangan yang baik antara koagulasi dan fibrinolisis (gambar 1). Aktivasi kaskade pembekuan darah menghasilkan trombin yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin; Bekuan fibrin yang stabil merupakan produk akhir dari hemostasis. Kemudian sistem fibrinolitik melepaskan plasmin (dengan adanya trombin), yang berperan untuk menghancurkan bekuan fibrin.3 Pemecahan fibrinogen dan fibrin menghasilkan polipeptida yang dinamakan FDP (fibrin degradation products) atau FSP (fibrin split products). Dalam keadaan homeostasis, keberadaan trombin sangat penting, karena trombin

Page 128: Sepsis

merupakan enzim proteolitik utama dalam koagulasi dan juga perlu untuk "pelarutan" bekuan, atau fibrinolisis.

Gambar 1 Normal hemostasis

Pada DIC, proses koagulasi dan fibrinolisis kehilangan kendali, dan akibatnya terjadi pembekuan tersebar luas dengan akibat perdarahan (Gambar 2). Apapun faktor pemicu DIC, setelah dicetuskan,patofisiologinya serupa pada semua kondisi. Satu mediator kritis dari DIC adalah pelepasan suatu glikoprotein transmembran yang dinamakan tissue factor(TF). TF berada pada permukaan berbagai jenis sel (antara lain, sel endotel, makrofag dan monosit) dan biasanya tidak berkontak dengan sirkulasi umum, namun terpapar ke sirkulasi setelah ada kerusakan pembuluh darah. Sebagai contoh, TF dilepas sebagai respon terhadap paparan ke sitokin (khususnya interleukin), tumor necrosis factor, dan endotoksin.4Ini memainkan peran dalam perkembangan DIC pada sepsis. TF juga banyak dijumpai dalam jaringan paru, otak dan plasenta. Ini membantu menjelaskan mengapa DIC mudah terjadi pada pasien dengan trauma luas.5,6 Setelah teraktivasi, TF berikatan dengan faktor-faktor pembekuan yang kemudian memicu lintasan intrinsik dan ekstrinsik dari koagulasi.

123

Page 129: Sepsis

Gambar 2. Proses Koagulasi Intravaskular Diseminata

Trombin yang berlebihan dalam sirkulasi diakibatkan oleh aktivasi berlebihan dari kaskade pembekuan( coagulation cascade). Trombin yang melimpah ini membelah fibrinogen, yang akhirnya meninggalkan banyak bekuan fibrin di dalam sirkulasi.1 Bekuan yang banyak ini menjerat trombosit dan menjadi bekuan yang lebih besar lagi (mirip efek bola salju) dan akhirnya terjadi trombosis di mikrovaskular dan makrovaskular. Bekuan yang terjerat di mikrosirkulasi, dalam pembuluh besar dan di dalam organ inilah yang meng-akibatkan iskemia, gangguan perfusi organ dan kerusakan organ yang terjadi pada DIC.1,7,8

Inhibitor koagulasi juga dipakai dalam proses ini. Penurunan kadar inhibitor akan memungkinkan lebih banyak bekuan, sehingga suatu sistem umpan balik berkembang di mana bekuan yang banyak akan menambah pembekuan.3 Pada saat yang sama, terjadi trombositopenia karena trombosit terjerat dalam bekuan. Faktor-faktor pembekuan dikonsumsi dalam pembentukan bekuan, sehingga berkontribusi terhadap perda-rahan yang terlihat pada DIC.

124

Page 130: Sepsis

125

Pada saat yang sama, trombin yang berlebihan dalam sirkulasi membantu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang menghasilkan fibrinolisis. Pemecahan bekuan menghasilkan FDP dalam jumlah berlebihan. FDP memiliki sifat antikoagulan, sehingga memperberat perdarahan.9 Plasmin yang berlebihan juga mengaktifkan sistem komplemen dan kinin. Aktivasi sistem-sistem ini menghasilkan banyak gejala klinis yang diperlihatkan oleh DIC, antara lain syok, hipotensi dan peningkatan permeabilitas vaskular.10 Bentuk akut DIC dianggap sebagai ekspresi esktrem dari proses koagulasi intravaskular dengan prognosis buruk dan angka mortalitas tinggi.

Infeksi dan Sepsis

Infeksi dan sepsis merupakan penyebab tersering dari DIC akut dan bisa disebabkan oleh berbagai infeksi virus, jamur dan bakteri, terutama meningococcemia dan bakteri gram-negatif lain.11 Mediator primer dari DIC pada sepsis gram-negatif adalah endotoksin. Endotoksin adalah zat pro-koagulan yang mengaktifkan faktor XII (Hageman factor) dari reaksi pembekuan. Aktivasi terjadi karena berkurangnya bersihan faktor pembekuan yang terjadi sekunder terhadap peristiwa-peristiwa sistemik, seperti asidosis, hipotensi, pelepasan makrofag/monosit oleh rangsang endotoksin atau TNF, kerusakan endotel, dan aktivasi trombosit.12 Faktor XII bisa merangsang fibrinolisis maupun koagulasi, yang bisa menghidupkan proses DIC.

Mekanisme yang sama ini juga diduga mencetuskan DIC yang disebabkan bakteri gram-positif. Mekanisme kerja untuk pembentukan DIC yang disebabkan infeksi virus dan jamur tidak jelas. Terapi antibiotik juga bisa sebagai inisiator DIC, karena bisa mengubah flora usus yang merupakan sumber vitamin K, sehingga memodifikasi proses koagulasi.

Sebab-sebab lain dari DIC

Leukemia akut dan Adenokarsinoma

Kanker yang terbanyak disertai DIC adalah leukemia akut dan adenokarsinoma penghasil musin. Mekanisme etiologi yang umum adalah ekspresi abnormal dari TF pada sel tumor yang

Page 131: Sepsis

126

beredar atau di dalam permukaan pembuluh darah2 Walaupun APL (acute promyelocytic leukemia) adalah satu-satunya kanker yang banyak disertai DIC, insiden nya relatif rendah, karena insiden APL juga rendah.13DIC bisa terjadi sebelum atau selama pemberian khemoterapi untuk manajemen APL. Suatu zat prokoagulan telah diidentifikasi pada permukaan sel blast promielosit, yang mirip dengan tromboplastin dan bisa mencetuskan respons pembekuan darah.14 Zat ini dilepas dari permukaan promielosit atau selama kerusakan sel oleh khemoterapi.

sel-sel kanker APL juga mengandung kadar abnormal tinggi dari annexin II. Kadar yang meninggi dari zat ini bisa menyebabkan peningkatan produksi plasmin dengan hasil perdarahan karena fibrinolisis yang tidak teratasi.15 Annexin II merupakan protein pengikat fosfolipid yang terdapat pada permukaan sel endotel dan berfungsi mengikat plasminogen dan aktivatornya, yakni tPA.16 Dengan kedatangan obat antileukemia baru dan obat antifibrinolitik, morbiditas dan mortalitas dari perdarahan yang disebabkan APL telah berkurang secara bermakna.17,18

Adenokarsinoma paru, payudara, lambung, prostat, pankreas, ovarium dan saluran empedu, merupakan tumor padat yang paling banyak disertai DIC.19-21 Mekanisme DIC pada tumor ini diduga adanya zat prokoagulan yang belum diidentifikasi dan secara langung merangsang koagulasi. Tumor-tumor tersebut juga bisa melepaskan jaringan nektrotik atau enzim jaringan ke dalam sirkulasi sistemik, dan dari sana mengaktifkan kaskade koagulasi.10

Reaksi transfusi

DIC dapat juga berhubungan dengan transfusi darah, termasuk reaksi hemolitik akut dan transfusi massif whole blood. Jejas endotel generalisata yang disebabkan komplemen aktif, sitokin dan produk neutrofil terjadi selama reaksi transfusi hemolitik akut.22 Semua aksi ini berpotensi merangsang DIC. Etiologi DIC yang terkait dengan transfusi whole blood massif tidak diketahui, tetapi insiden sangat rendah karena faktanya sedikit whole blood yang ditransfusi dalam praktek klinis.

Page 132: Sepsis

127

Gagal Hati

Gagal hati yang disebabkan penyakit primer hati, metastasis hati atau kerusakan hati akibat khemoterapi atau terapi radiasi bisa meningkatkan risiko terjadinya DIC. Hati mensintesis faktor-faktor pembekuan dan inhibitor koagulasi. Hati juga membersihkan faktor-faktor koagulasi yang sudah teraktivasi dan FDP. Disfungsi hati bisa mengganggu imbang normal dari koagulasi, sehingga mengakibatkan DIC.22

Peritoneovenous Shunt

Peritoneovenous shunt digunakan untuk memintas cairan asites ke dalam sirkulasi sistemik. Ini bisa digunakan pada kanker ovarium lanjut. Cairan asites mengandung sejumlah zat prokoagulan, yang bila dipintas ke dalam sirkulasi bisa menyebabkan DIC.

Manifestasi klinis

Tanda dan gejala klinis DIC bervariasi dan kompleks. Tidak mengerankan jika proses sering tidak terdeteksi sebelum perdarahan berat terjadi. Ini merupakan salah satu sebab DIC sering berakibat fatal. Pengenalan proses pada fase dini akan membantu memperbaiki prognosis.

Trombus umumnya berkembang pada vena superfisial dan vena kecil dan mungkin tidak terdeteksi di klinik. Daerah keras yang nyeri tekan dan merah ditemukan pada berbagai organ; ini menunjukkan iskemia yang merupakan satu-satunya tanda DIC dini yang tampak. Kerusakan organ oleh deposit fibrin di mikrovaskular dapat memperlihatkan manifestasi kulit (iskemia fokal, akrosianosis, gangrene superfisial, dan gangren yang mencolok), gangguan ginjal, disfungsi paru (dispnea dapat berlanjut menjadi ARDS), disfungsi neurologis (sakit kepala dan perubahan kasadaran), manifestasi saluran cerna( tukak stres dengan perdarahan gastrointestinal), serta ikterus yang disebabkan kelebihan bilirubin selama perdarahan8

Perdarahan merupakan tanda paling jelas dari DIC, dan bisa berkisar dari pancuran darah dari sembarang celah atau tempat terbuka di kulit, sampai perdarahan hebat. Perdarahan

Page 133: Sepsis

128

kulit dalam bentuk purpura, petekia, ekimosis, dan hematoma bisa menjadi mencolok. Perdarahan difus dari 3 tempat yang tidak berhubungan tidak jarang pada DIC. Hemolisis, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intraperitoneal dan perdarahan intrakranial semua nya ini merupakan kejadian yang mengancam jiwa untuk pasien DIC.8

Tanda dan gejala DIC berdasarkan atas patofisiologi yang mendasari proses ini, dan meliputi demam, hipoksia, asidosis, hipotensi, dan proteinuria. Tergantung pada keparahan gejala DIC, pasien dapat menunjukkan gambaran klinis syok. Diagnosis DIC harus dikonfirmasi oleh tes laboratorium.

Dagnosis laboratorium DIC

Diagnosis laboratorium sukar karena tidak satupun tes yang ada bersifat spesifik untuk DIC. Di samping itu, hampir semua tes rutin yang tersedia hanya menjelaskan masalah perdarahan yang disebabkan konsumsi faktor pembekuan dan fibrinogen, dan sedikit yang menyangkut masalah aktivasi sistem prokoagulan.

Hitung trombosit dan kadar fibrinogen hampir selalu menurun jika ada DIC. Walaupun tes-tes ini tidak spesifik untuk DIC, kadar normal menyingkirkan kemungkinan DIC.3,11Keberadaan skistosit atau fragmen eritrosit sering dijumpai, tetapi bukan merupakan temuan spesifik. Keberadaan skistosit sering membantu mendukung diagnosis DIC kronik. Dua tes yang lebih baru dan lebih canggih yang digunakan untuk mendukung diagnosis DIC (sendiri atau kombinasi) adalah pemeriksaan kadar D-dimer dan FDP. Peningkatan kadar FDP terjadi pada berbagai kondisi di mana terjadi pembentukan dan lisis bekuan. . D-dimer diproduksi oleh aksi plasmin terhadap fibrin ikat-silang (cross-linked fibrin), bukan dengan aksi plasmin terhadap fibrin yang belum membeku. Tes-tes ini mencerminkan mikroangiopati DIC dan telah didapatkan sensitif, spesifik dan efisien dalam diagnosis.22,23 Menurut tinjauan Yu dkk23dari tes-tes laboratorium yang sering dipesan untuk DIC, pengujian D- dimer dan FDP memberikan diagnosis yang paling cepat dan spesifik dari DIC

Tes lain telah dikembangkan dan bisa membantu diagnosis dan mengikuti progresi DIC. Sayangnya banyak di antaranya

Page 134: Sepsis

129

tidak tersedia untuk klinisi. Tes-tes yang membantu menentukan koagulasi yang dipercepat (sugestif DIC) mencakup kadar antitrombin III, kadar fibrinopeptide A , prothrombin activation peptides [F1 & F2],dan kompleks trombin-antitrombin.

Tes yang membantu menunjukkan fibrinolisis yang dipercepat dalam DIC mencakup kadar plasminogen dan kadar alfa-2-antiplasmin levels. Kadar yang rendah atau menurun dari plasminogen dan alfa-2-antiplasmin memberi kesan hiperfibrinolisis.7 Kedua tes ini merupakan pertanda molekular yang bisa digunakan untuk mendeteksi mula timbul DIC.

Manajemen DIC

Prinsip-prinsip umum

Tatalaksana DIC diarahkan pada etiologi yang mendasari. Sebelum etiologi diketahui, terapi juga diarahkan pada manifestasi perdarahan dan trombosis25 Karena kebanyakan kasus DIC tidak jelas gambaran klinisnya sebelum ada perdarahan, manajemen awal terdiri atas penggantian cairan yang cepat dan adekuat.

Penggantian cairan juga akan mengatasi hipotensi dan membanttu mengelola proteinuria(dari trombosis yang terjadi di ginjal) yang bisa menyebabkan gagal ginjal.26 Jika sirkulasi cepat memulih, FDP akan dibersihkan dari darah dan pada gilirannya akan memulikan hemostasis normal. Cairan pengganti dapat mencakup kristaloid seperti Ringer asetat/ laktat dan koloid seperti dextran dan hydroxyethyl starch, atau human albumin.27Infusi pengganti plasma(dextran, hydroxyethyl starch, atau protein plasma ) dapat mengakibatkan reaksi samping, mulai dari reaksi alergi urtikaria sampai reaksi anafilaksis yang mengancam jiwa.27 Oksigen juga dibutuhkan setelah DIC dideteksi untuk mengatasi hipoksia dan asidosis yang disebabkan perdarahan.

Terapi Komponen Darah

Terapi pengganti komponen darah sering dibutuhkan dan boleh diberikan kepada pasien yang terus berdarah walaupun

Page 135: Sepsis

130

etiologi DIC telah diatasi, dan ketika terapi koagulasi (yakni heparin) telah diberikan. Sel darah merah dapat diberikan jika pasien terus berdarah dan Hb turun di bawah 8 g/dL. Namun, eritrosit yang disimpan dalam bank darah kekurangan faktor pembekuan labil V dan VIII. Pada keadaan umum, dianjurkan pada perdahan hebat untuk memberikan 2 unit fresh frozen plasma (FFP) untuk setiap 4-6 unit eritrosit bank darah.27,28 Ada kontroversi penggunaan FFP dalam manajemen DIC. Namun karena FFP berisi fibrinogen, berpotensi meningkatkan kadar FDP yang lebih lanjut akan mengganggu hemostasis.1,7

Cryoprecipitate dapat digunakan pada pasien dengan hiperfibrinolisis ekstrem,11,14 namun kandungan fibrinogennya bahkan jauh lebih tinggi daripada FFP. Oleh karena itu ada kontroversi tentang manfaat cryoprecipitate dalam manajemen perdarahan yang terkait DIC. Trombosit bisa diberikan jika hitung trombosit < 20,000 cells/mm3 atau ada perdarahan aktif.

Konsumsi faktor-faktor pembekuan darah pada DIC akan meningkatkan risiko terjadinya perdarahan. Pemberian plasma dan konsentrat trombosit merupakan terapi yang rasional untuk DIC sepsis, walaupun belum ada studi klinis yang membuktikan manfaat penggunaannya.

Rekomendasi : Pertimbangan dalam memberikan transfusi komponen darah disesuaikan dengan keadaan klinis penderita dan bukan berdasarkan hasil laboratorium semata. Transfusi plasma beku segar (FFP) dan atau trombosit konsentrat diberikan bila didapatkan perdarahan atau risiko terjadinya perdarahan(akan menjalani prosedur invasif) Pada keadaan faktor pembekuan dan trombosit yang sangat rendah (<30.000/mm3) dipertimbangkan pemberian tranfusi profilaksis30

Manajemen Pembekuan Intravaskular

Meskipun tidak ada algoritme yang diakui untuk manajemen DIC, banyak kepustakaan mendukung manajeman proses pembekuan intravaskular segera setelah terapi etiologi dimulai.17,22,28 Proses trombosis yang luas pada DIC inilah yang memberi dampak paling bermakna terhadap morbiditas dan mortalitas. Walaupun heparin paling banyak digunakan sebagai antikoagulan dalam manajemen DIC, penggunaannya

Page 136: Sepsis

131

masih kontroversial karena tidak ada bukti meningkatkan survival.

Heparin umumnya tidak diberikan jika ada trombositopenia moderat atau berat.29 Diberikan IV atau subkutan, heparin dosis rendah lebih aman dan disertai risiko perdaharan minimal.1,29 Efek heparin bisa terlihat sekitar 3 atau 4 jam setrelah terapi dimulai, pertama dengan koreksi nilai laboratorium dan kemudian dengan menghentikan perdarahan dan trombosis. Terapi heparin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan SSP(sakit kepala atau baru mengalami cerebral vascular accident), luka terbuka atau baru operasi.

Hingga saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai penggunaan heparin pada sepsis. Berbagai studi kasus yang pernah dilaporkan (tanpa kontrol dan populasi sampel kecil) menunjukkan hasil yang bertentangan, dan belum ada studi yang menunjukkan manfaat heparin dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Sebagian institusi pengobatan memberikan heparin dengan tujuan menghambat proses koagulasi, sebagian lagi tidak. Manfaat pemberian heparin hingga saat ini masih diperdebatkan. Beberapa keadaan yang menyebabkan heparin tidak menguntungkan diberikan pada keadaan sepsis adalah: (1). aktivitas antitrombin III menurun sehingga kerja heparin tidak efektif; (2). pemberian heparin meningkatkan risiko terjadinya perdarahan dan trombositopenia. (3) Pemberian heparin menyebabkan pelepasan prostasiklin dari endotel terhambat.

Rekomendasi: Heparin tidak diberikan pada DIC karena sepsis, kecuali didapatkan bukti terjadinya tromboemboli. Cara pemberian heparin : dosis 100 IU/kgBB bolus dilanjutkan 15-25IU/kgBB/jam (750-1250 IU/jam) dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai aPTT 1,5-2 kali kontrol 30

Inhibitor fibrinolisis

Perdarahan berlebihan dapat menetap sekalipun sudah dilakukan tindakan mengatasi DIC(misal terapi etiologi, terapi heparin dan komponen darah). Pada kasus ini, bisa digunakan

Page 137: Sepsis

132

obat penghambat fibrinolisis.31 Dua obat demikian adalah epsilon aminocaproic acid (EACA, Amicar) dan tranexamic acid. Kedua obat ini efektif mengatasi perdarahan tetapi bisa menyebabkan deposisi fibrin tersebar luas dalam mikrosirkulasi dan mengakibatkan disfungsi organ akibat iskemia.8,11 Epsilon aminocaproic acid diberikan dengan bolus IV perlahan setiap jam selama 24 jam sampai perdarahan berhenti. Obat ini bisa menyebabkan hipotensi berat, hiperkalemia berat dan aritmia ventrikular. Tranexamic acid disetujui US FDA untuk perdarahan yang disebabkan hemofili, tetapi digunakan" off-label" untuk perdarahan yang disebabkan hiperfibrinolisis seperti pada DIC. Obat ini memberi harapan dan efek sampingnya sedikit.17

Kesimpulan

Pengenalan dini dari tanda dan gejala DIC memungkinkan diagnosis dan intervensi cepat, sehingga membantu meminimalkan morbiditas dan mortalitas. Tanda dan gejala sistemik DIC meliputi demam, hipoksia, asidosis, hipotensi dan proteinuria dan bervariasi dan menyerupai kondisi klinis lain seperti sepsis.

Pembekuan lebih halus dan tidak sejelas perdarahan pada DIC. Pemantauan ketat untuk tanda-tanda trombosis meliputi identifikasi daerah-daerah indurasi, nyeri tekan, merah pada banyak organ. Saat trombosis lebih menyebar, ia dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal akut, disfungsi paru dan disfungsi neurologis.

Perhatian ketat terhadap tanda dan gejala perdarahan yang terkait dengan DIC mutlak perlu untuk meminimalkan perdarahan. Perdarahan bisa ringan sampai berat. Semua ekskresi tubuh diperiksa untuk melihat adanya perdarahan makroskopik dan mikroskopik. Hitung darah pasien dipantau untuk menaksir jumlah darah yang hilang, untuk mengganti cairan dan terapi komponen darah.

Page 138: Sepsis

133

Tabel 1. Sebab-sebab umum dari Koagulasi Intravaskular Diseminata

Infeksi Bakteri gram-negatif

Meningococcus, Pseudomonas, Salmonella, Haemophilus, Enterobacteriaceae

Bakteri gram-positif

Pneumococcus, Staphylococcus, Hemolytic Streptococcus

Virus Hepatitis, varicella, cytomegalovirus, hemolytic streptococcus

Jamur

Terkait Kanker

Leukemia Acute promyelocytic, acute myelogenous, chronic myelogenous, acute lymphoblastic

Tumor padat paru, payudara, lambung,prostat, pankreas,ovarium, saluran empedu

Reaksi transfusi darah

Reaksi transfusi hemolisis akut, transfusi massif whole blood

Penyakit hati Gagal hati sekunder terhadap penyakit hati primer atau metastasis

Prostetik Peritoneovenous shunts

Tabel 2. Tes Laboratorium yang digunakan untuk Diagnosis Koagulasi Intravaskular Diseminata

Pemeriksaan Hasil pada Koagulasi Intravaskular Diseminata

Tes umum

Hitung trombosit menurun

Kadar Fibrinogen menurun

Sediaan apus darah tepi skistosit D-dimer assay meninggi FDP assay meninggi

Page 139: Sepsis

134

Tes untuk menentukan Pembekuan yang dipercepat

Antithrombin III menurun Fibrinopeptide A meninggi Prothrombin activation peptides (F1 & F2) meninggi Thrombin-antithrombin complexes meninggi Tes untuk menentukan Fibrinolisis yang dipercepat

Plasminogen menurun Alfa-2-antiplasmin menurun

Referensi

1. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: objective clinical and laboratory diagnosis, treatment, and assessment of therapeutic response. Semin Thromb Hemost. 1996;22:69-88.

2. Bick RL, Strauss JF, Frenkel EP. Thrombosis and hemorrhage in oncology patients. Hematol Oncol Clin North Am. 1996;10:875-907.

3. Mammen EF. Disseminated intravascular coagulation (DIC). Clin Lab Sci. 2000;13:239-245.

4. Rodgers GM. Hemostatic properties of normal and perturbed vascular cells. FASEB J. 1988;2:116-123.

5. Carey MJ, Rogers GM. Disseminated intravascular coagulation: clinical and laboratory aspects. Am J Hematol. 1998;59:65-73.

6. Gando S, Nanzaki S, Sasaki S, Kemmotsu O. Significant correlations between tissue factor and thrombin markers in trauma and septic patients with disseminated intravascular coagulation. Thromb Haemost. 1998;79:111-115.

7. Staudinger T, Locker GJ, Frass M. Management of acquired coagulation disorders in emergency and intensive care medicine. Semin Thromb Hemost. 1996;22:93-104.

8. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: objective criteria for diagnosis and management. Med Clin North Am. 1994;78:541-548.

9. Gobel BH. Disseminated intravascular coagulation. Semin Oncol Nurs. 1999;15:174-182.

10. Gobel BH. Disseminated intravascular coagulation. In: Yarbro CH, Frogge MH, Goodman M, Groenwald S, eds. Cancer Nursing Principles and Practice. 5th edition. Sudbury, Mass: Jones and Bartlett; 2000:869-875.

11. Williams EC, Mosher DF. Disseminated intravascular coagulation. In: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg SA, eds. Cancer Principles and

Page 140: Sepsis

135

Practice of Oncology. 5th edition. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1997:1758-1769.

12. Kempin SJ. Hemostatic defects in cancer patients. Cancer Invest. 1997;15:23-36.

13. Murphy-Ende K. Disseminated intravascular coagulation. In: Chernecky CC, Berger BJ, eds. Advanced and Critical Care Oncology Nursing Managing Primary Complications. Philadelphia, Pa: WB Saunders Company; 1998:119-139.

14. Kitchens CS. Disseminated intravascular coagulation. In: Brain MC, Carbone PP, Kelton JG, Schiller JH, eds. Current Therapy in Hematology-Oncology. St. Louis, MO: Mosby; 1995:182-187.

15. Menell JS, Cesarman GM, Jacovina AT, et al. Annexin II and bleeding in acute promyelocytic leukemia [see comments]. N Engl J Med. 1999;340:994.

16. Hajjar KA, Menell JS. Annexin II: A novel mediator of cell surface plasmin generation. Ann N Y Acad Sci. 1997;811:337-349.

17. Seto AH, Dunlap DS. Tranexamic acid in oncology. Ann Pharmacother. 1996;30:868-870.

18. Shpilberg O, Blumental R, Sofer O, et al. A controlled trial of tranexamic acid therapy for the reduction of bleeding during treatment of acute myeloid leukemia. Leuk Lymph. 1995;19:141-144.

19. Ludwig J, Kentos A, Creiner I, et al. Disseminated intravascular coagulation syndrome as manifestation of breast adenocarcinoma metastasis. Rev Med Brux. 1997;18:385-388.

20. Ohtake N, Kurita S, Fukabor Y, et al. Clinical study on prostate cancer initially presenting with disseminated intravascular coagulation syndrome. Hinyokika Kiyo. 1998;44:387-390.

21. Gouin-Thibault I, Achkar A, Samama MM. The thrombophilic state in cancer patients. Acta Haematol. 2001;106:33-42.

22. Bick RL. Disseminated intravascular coagulation: pathophysiological mechanisms and manifestations. Semin Thromb Hemost. 1998;24:3-18.

23. Yu M, Nardella BS, Pechet L. Screening tests of disseminated intravascular coagulation: guidelines for rapid and specific laboratory diagnosis. Crit Care Med. 2000;28:1777-1780.

24. Wada H, Sakuragawa N, Mori Y, et al. Hemostatic molecular markers before the onset of disseminated intravascular coagulation. Am J Hematol. 1999;60:273-278.

25. Levi M, Ten Cate H. Disseminated intravascular coagulation. N Engl J Med. 1999;341:586-592.

26. Hewitt PE, Machin SJ. Massive blood transfusion. In: Contreras M, ed. ABC of Transfusion. 3rd edition. London, UK: BMJ Books; 1998:49-52.

27. Letsky EA. Disseminated intravascular coagulation. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. 2001;4:623-644.

28. Riewald M, Riess H. Treatment options for clinically recognized disseminated intravascular coagulation. Semin Thromb Hemost. 1998;24:53-59.

29. DeSancho MT, Rand JH. Bleeding and thrombotic complications in critically ill patients with cancer. Crit Care Clin. 2001;17:599-622.

30. Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Khie Chen, Govinda A, Sukrisman L. Konsensus Nasional Koagulasi Intravaskular Diseminata (DIC) pada Sepsis 2001

31. Arkel YS. Thrombosis and cancer. Semin Oncol. 2000;27:262-268.

Page 141: Sepsis

136

SYOK SEPTIK Kira-kira 400,000 kasus sepsis, 200,000 kasus syok septik, dan 100,000 kematian akibat keduanya terjadi setiap tahun di Amerika Serikat 1. Sepsis didefinisikan sebagai respon sistemik terhadap infeksi 2. Bila tidak ada infeksi ini disebut sindrom respon radang sistemik atau SIRS (systemic inflammatory response syndrome). Sepsis ditandai ditandai oleh paling tidak dua dari berikut: suhu > 38°C atau < 36°C; heart rate lebih cepat dari 90 detak per menit; respiratory rate > 20/minute atau PaCO2 < 32 mm Hg; dan perubahan hitung sel darah putih (>12,000/mm3 atau <4,000/mm3).

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan. Pasien yang mendapat obat vasoaktif juga dianggap sebagai syok septik jika mereka mengalami hipoperfusi jaringan walaupun hipotensi telah dikoreksi.

Riwayat Alamiah

Banyak informasi didapat dalam 30 tahun terakhir mengenai kelainan-kelainan yang mendasari syok septik, Namun banyak pertanyaan yang belum terjaawab tentang patofisiologi proses ini. Pembahasan rinci tentang kejadian-kejadian molekular yang terkait dengan syok septik berada di luar lingkup artikel ini. Namun, penting dipahami reaksi sitokin yang berantai (Gambar 1). Peradangan lokal dan zat-zat yang dihasilkan dari organisme, khususnya endotoksin, mengaktifkan neutrofil, monosit, dan makrofag jaringan. Ini menghasilkan kaskade( cascade) sitokin-sitokin pro-inflamasi dan anti-inflamasi, serta mediator-mediator lain ,seperti IL-1, IL-8, IL-10, tumor necrosis factor-alpha, prostaglandin E1, kortikosteroid endogen, dan katekolamin. Efek-efek mediator cascade yang kompleks ini mencakup khemotaksis sel, cedera endotel ,dan aktivasi kaskade pembekuan. Ketidakimbangan yang lebih berat ke sitokin anti-inflamasi bisa mengakibatkan imunosupresi relatif, dan jika persisten, meningkatkan risiko kematian 3.

Page 142: Sepsis

Respon kardiovaskular awal meliputi menurunnya resistensi pembuluh darah sistemik dan depresi fungsi ventrikel. Resistensi sistemik yang rendah terjadi sebagai respon terhadap zat-zat yang dilepaskan oleh kuman, sitokin, mediator-mediator seperti nitric oxide, dan menurunnya kepekaan reseptor katekolamin perifer (down-regulation of peripheral catecholamine receptors). Sebab dari depresi fungsi ventrikel tidak diketahui, namun berbagai mediator radang dan edema jaringan telah dilibatkan 4.

Jika respon kardiovaskular awal ini tidak terkompensasi. maka terjadi hipoperfusi jaringan seluruh tubuh. Resusitasi cairan yang agresif dapat memperbaiki curah jantung dan tekanan darah sistemik, sehingga menghasilkan pola hemodinamik yang khas dari syok septik (yakni , cardiac index tinggi dan resistensi sistemik yang rendah). Respon terhadap muatan volume( volume loading) pada pasien sepsis yang selamat adalah dilatasi ventrikel 4,5; pasien yang meninggal memperlihatkan sedikit perubahan dari curah jantung. Walaupun demikian. sekalipun ada perbaikan dalam hemodinamik sentral, abnormalitas di aliran darah regional dan mikrosirkulasi sering menetap. Abnormalitas ini bisa mengarah

137

Page 143: Sepsis

138

ke disfungsi sel, asidosis laktat dan akhirnya gagal organ ganda. Kematian akibat syok septik biasanya disebabkan oleh progresi sepsis yang cepat dan tidak merespon perasat-perasat terapi; gagal organ ganda; atau sekunder terhadap infeksi nosokomial atau komplikasi.

Diagnosis

Pasien yang hipotensif dan syok harus diperiksa dan diatasi sesegera mungkin. Evaluasi harus terfokus pada pembedaan syok septik atau hiperdinamik dari jenis-jenis syok lain, serta identifikasi fokus infeksi dan pemantauan disfungsi end-organ. Anamnesis seksama dan pemeriksaan fisik harus dilakukan.

Fase dini dari syok septik dapat menghasilkan bukti adanya deplesi volume, misal selaput lendir kering, dan kulit lembab dan dingin. Setelah resusitasi dengan cairan, gambaran klinis khas lebih konsisten dengan syok hiperdinamik, termasuk takikardia, nadi keras dengan tekanan nadi melebar, precordium yang hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.Tanda-tanda infeksi meliputi demam, eritema atau nyeri tekan lokal, konsolidasi paru, nyeri tekan abdomen, dan meningismus. Tanda-tanda hipoperfusi meluputi takipnea, oliguria, sianosis, bercak kulit (mottling),iskemia jari, perubahan status mental. Sering, diagnosis definitif tak bisa ditegakkan berdasarkan temuan awal pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga pengobatan untuk beberapa kondisi dimulai berbarengan.

Pemeriksaan lab harus mencakup pengukuran gas darah arteri, kadar asam laktat, elektrolit, fungsi ginjal, dan kadar enzim hati, serta radiologi toraks. Biakan darah, urin, dan sputum harus diperoleh sebelum antibiotik diberikan. Biakan cairan pleura, peritoneal, dan cairan serebrospinal mungkin cocok untuk sebagian pasien. Jika ada trombositopenia atau perdarahan, harus dikerjakan tes untuk DIC(fibrinogen, d-dimer , hitung trombosit, darah hapus untuk skistosit, waktu protrombin dan PTT =partial thromboplastin time).

Tatalaksana

Perawatan pendukung yang cermat meningkatkan kemungkinan selamat. Hampir semua intervensi pada

Page 144: Sepsis

139

manajemen dini dari syok septik ditujukan untuk menegakkan diagnosis dengan cepat dan memulihkan MAP (mean arterial pressure) menjadi 65 sampai 75 mm Hg untuk memperbaiki perfusi organ. Respon terhadap resusitasi harus dipantau ketat dengan penilaian ulang perfusi jaringan.

Pedoman klinis untuk perfusi jaringan adalah suhu kulit, status mental dan keluaran urin. Pengukuran asam laktat juga diperlihatkan berguna menilai perfusi jaringan. Teknik yang lebih invasif, seperti mixed venous oxygen saturation, gastric tonometry, dan sublingual capnometry, telah diselidiki tetapi belum terbukti berguna dalam manajemen klinis. Diyakini bahwa penilaian klinis,keluaran urin (sasaran, >20 to 30 mL/jam), dan kadar asam laktat serial adalah indikator-indikator terbaik dari efektivitas terapi. Kadar asam laktat harus turun dalam 24 jam jika terapi efektif, walaupun kadar norma mungkin belum dicapat dalam beberapa hari.

Akses intravena dan pemantauan . Pemantauan ketat terhadap parameter-parameter hemo-dinamik sangat penting untuk terapi pasien dengan syok septik. Akses intravena paling cepat diperoleh melalui vena perifer, idealnya dengan dua kateter ukuran 16 – 18 G. Akses yang lebih stabil bisa diusahakan kemudian dengan vena sentral, khususnya jika dibutuhkan obat vasopresor. Penempatan kateter introduser yang besar di vena jugularis interna kanan atau subklavia kiri sangat membantu karena memungkinkan infusi paling cepat 6 dan memberikan akses mudah untuk menempatkan kateter arteri pulmonalis jika dibutuhkan. Infus jaga arteri harus dipasang pada semua pasien dengan syok septik. Ini memudahkan pemantauan tekanan darah dan gas darah serta laboratorium lain. Tempat tersering digunakan adalah arteri radialis, brakialis dan femoralis. Umumnya, lebih disukai arteri femoralis karena paling mudah diakses; di samping itu tekanan darah sentral lebih dapat diandalkan pada pasien syok septik. Kateter arteri pulmonalis bisa memberikan data penting,seperti curah jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan baji arteri pulmonalis, dan saturasi. Pada beberapa kasus, data-data ini berguna dalam menentukan penyebab syok dan memberi penilaian tentang respon terhadap berbagai terapi.

Page 145: Sepsis

140

Walaupun penggunaan kateter arteri pulmonalis masih kontroversial, diyakini bahwa indikasi potensial pada syok septik meliputi: 1. Kebutuhan terhadap dosis moderat dan dosis tinggi vasokonstriktor (misal, norepinefrin [Levophed], >10 mcg/menit) walaupun sudah mendapat resusitasi cairan yang adekuat 2. Gagal napas dan adanya penyakit jantung dan insufisiensi ginjal progresif. Pengumpulan data yang baik dan pemahaman fisiologi hemodinamik sangat penting untuk penggunaan kateter arteri pulmonalis secara optimal.

Cairan

Sejumlah kajian pada manusia dan hewan 7,8,9,10 telah memperlihatkan bahwa resusitasi volume yang agresif adalah salah satu strategi penting dalam tatalaksana syok septik. Bolus cairan sesuai diberikan pada setiap keadaan syok. Tujuan terapi cairan adalah ekspansi volume yang cepat, yang menghasilkan curah jantung dan penghantaran oksigen. Karena vasodilatasi dan kebocoran kapiler yang terjadi pada syok septik, kebanyakan pasien membutuhkan 1 sampai 2 L koloid atau 4 sampai 8 L kristaloid untuk memulihkan secara adekuat volume sirkulasi 8. Umumnya, lebih disukai pemberian cairan secara bolus, ketimbang infus kontinyu, karena ini memungkinkan pemulihan lebih cepat dari volume sirkulasi dan mempersingkat durasi hipoperfusi organ. Biasanya tujuannya menaikkan tekanan arteri rata-rata (MAP) menjadi 65 sampai 75 mmHg dan memperbaiki perfusi organ dalam 1 jam setelah onset hipotensi. Walaupun perasat-perasat ini pada mulanya bisa memperbaiki hemodinamik, pasien sering terus membutuhkan volume cairan dalam jumlah besar dalam 24 sampai 72 jam setelah fase awal.

Para dokter bersilang pendapat tentang apakah cairan diberikan sebagai kristaloid, koloid atau produk darah. Kristaloid memiliki keuntungan relatif murah dan tersedia di mana-mana. Namun 1 L kristaloid mengembangkan volume plasma hanya kira-kira 200 sampai 250 ml dan bisa menjadi predisposisi edema paru. Secara teoritis, koloid seperti albumin dan hydroxyethyl starch (Hespan) memiliki keuntungan bertahan lebih lama di intravascular. Infusi 1 L albumin 5% menghasilkan ekspansi volume sebesar 500 sampai 1000 ml

Page 146: Sepsis

141

dan berada dalam keadaan seimbang dengan interstisial selama 7 sampai 10 hari 11. Infusi 1L hydroxyethyl starch khas menyebabkan ekspansi volume 700 sampai 1,000 mL, dengan 40% dari kadar puncak mungkin bertahan selama 24 jam. 11 Produk darah memiliki keuntungan tinggal hampir seluruhnya di intravascular, walaupun ketersediaanya terbatas dan ada risiko transmisi penyakit dan reaksi transfusi. Jenis cairan mungkin tidak mempengaruhi efek klinis yang bermakna terhadap prognosis, sepanjang digunakan endpoint klinis yang sesuai. Umumnya digunakan bolus kristaloid 500 sampai 1,000 mL intravena dalam 5 sampai 10 menit, sampai MAP dan perfusi jaringan adekuat (kira-kira 4 sampai 8 L dalam 24 jam). Bolus 250 ml mungkin sesuai untuk pasien usia lanjut atau ada penyakit jantung atau suspek edema paru. Karena koloid cenderung menetap lebih lama di intravaskular, mungkin koloid berperan bila ada kekhawatiran edema paru. Sel darah merah harus dicadangkan untuk pasien dengan kadar Hb < 10 g/dL (100 g/L) dan ada bukti penurunan hantaran oksigen atau anemia memiliki risiko (misal, penyakit areteri koroner). Kadar hemoglobin yang dipertahankan lebih dari 8 sampai 10 g/dL (80 sampai 100 g/L) belum diperlihatkan bermanfaat pada pasien lain 12.

Komplikasi utama dari resusitasi cairan adalah edema paru. Edema paru sifatnya serius dan biasanya bermanifestasi sebagai takipnea, hipoksemia, atau kelenturan paru yang berkurang. Edema jaringan lunak biasanya tidak menmbulkan masalah, kecuali risiko pecahnya kulit. Masalah-masalah ini berkaitan dengan permeabilitas mikrovaskular yang menurun, tekanan hidrostatik yang meningkat dan tekanan onkotik koloid yang menurun.

Obat Vasoaktif

Pasien yang tidak merespon terapi cairan harus diberikan obat vasoaktif. Ada silang pendapat tentang obat vasoaktif terbaik dalam syok septik. Sasaran utama adalah memulihkan dengan cepat perfusi jaringan dengan meningkatkan MAP( mean arterial pressure) menjadi 65 sampai 75 mm Hg. Juga dikehendaki peningkatan kontraktilitas miokard, bila sesuai dan hantaran oksigen yang membaik ke jaringan. . Obat-obat yang lazim digunakan adalah dopamin hydrochloride (Inotropin), norepinefrin, dobutamin (Dobutrex), epinefrin, dan

Page 147: Sepsis

142

fenilefrin hydrochloride (Neo-Synephrine). Aktivitas reseptor, efek hemodinamik dan regimen dosis lazim diperlihatkan pada tabel 1 dan 2. Dosis yang dimuat adalah yang biasa digunakan di klinis, namun bisa ada variasi individu. Dopamin biasa digunakan sebagai terapi awal pada hipotensi, terutama karena dianggap meningkatkan tekanan darah sistemik melalui kerja jantung yang membaik dan peningkatan resistensi sistemik. Walaupun demikian, dopamin merupakan vasokonstriktor yang relatif lemah pada syok septik. Di samping itu, dopamin dosis rendah tidak dianjurkan, karena uji klinis terkontrol plasebo 13 gagal menunjukkan efektivitasnya dalam memperbaiki fungsi ginjal.

Tabel 1. Aktivitas reseptor dari berbagai obat Obat Aktivitas pada reseptor alfa-1 beta-1 beta-2 Dopaminergik Dopamin HCl (Inotropin)* 2+ 3+ 2+ 3+ Norepinefrin(Levophed) 3+ 2+ ? 0 Dobutamin(Dobutrex) 1/2+ 3+ 2+ 0 Epinefrin* 2/3+ 3+ 3+ 0 Fenilefrin-HCl (Neo-Synephrine) 3+ 0 0 0

Rating menunjukkan derajat aktivitas mulai dari tidak ada (0) sampai maksimal (3+)indicate degree of activity from none (0) to maximal (3+) . *Activitas tergantung pada dosis

Tabel 2. Efek-efek hemodinamik dari obat-obat vasoaktif Efek

Obat Dosis CO MAP SVR

Dopamin HCl (Inotropin)*

5-20 micrograms/kg/min

2+ 1+ 1+

Norepinefrin (Levophed)

0.05-5 micrograms/kg/min

-/0/+ 2+ 2+

Dobutamin (Dobutrex)

5-20 micrograms/kg/min

2+ -/0/+ -

Epinefrin* 2+ 2+ 2+

Page 148: Sepsis

143

0.05-2 micrograms/kg/min

Fenilefrin HCl (Neo-Synephrine)

2-10 micrograms/kg/min

-/0/+ 2+ 2+

Rating menunjukkan derajat efek dari penurunan ringan(-) sampai peniingkatan mencolok (2+) CO, cardiac output; MAP, mean arterial pressure; SVR, systemic vascular resistance . *Aktivitas tergantung pada dosis . Banyak pasien tekanan darahnya tetap rendah setelah mendapat terapi dopamin. Ada bukti yang memberi kesan bahwa norepinefrin lebih unggul dari dopamin dalam tatalaksana hipotensi yang terkait syok septik. Martin dkk 14 meneliti 32 pasien syok septik yang tidak memberi respon terhadap terapi cairan. Mereka mengacak pasien untuk mendapat infus selama 6 jam yang mengandung dopamin atau norepinefrin. lima belas dari 16 pasien kelompok norepinefrin mengalami perbaikan hemodinamik, dibandingkan dengan 5 dari 16 pada kelompok dopamin. Pasien yang mendapat norepinefrin mengeluarkan lebih banyak urin dibanding pasien yang mendapat dopamin. Beberapa kajian lain telah menunjukkan perbaikan perfusi jaringan splansnik dengan norepinefrin dibandingkan dopamine . Seperti halnya norepinefrin, epinefrin dan fenilefrin merupakan vasokonstriktor yang lebih kuat daripada dopamin. Sedikit uji klinis telah membandingkan obat-obat ini, namun data nya terbatas. Sehingga norepinefrin dianggap obat pilihan untuk tatalaksana hipotensi yang terkait syok septik. Dobutamin harus dicadangkan untuk pasien dengan cardiac index yang terus rendah atau ada disfungsi ventrikel kiri yang mendasar. Umumnya, tidak ditentukan dosis maksimum untuk obat-obat seperti norepinefrin atau fenilefrin, tetapi dari pengalaman pasien yang membutuhkan lebih dari 200 mcg/menit norepinefrin untuk lebih lama dari 24 jam, jarang yang selamat. Vasopressin (Pitressin) juga telah dievaluasi untuk menilai efek pressor nya pada syok septik. Zat ini memiliki sedikit efek pressor pada orang sehat, namun telah ditunjukkan meningkatkan tekanan darah pada pasien sepsis 15,16. Mungkin ini terjadi melalui perbaikan fungsi simpatis, yang telah diperlihatkan abnormal pada sepsis. Pasien syok septik telah ditunjukkan memiliki kadar vasopressin yang rendah. Sampai

Page 149: Sepsis

144

ke titik ini, data masih terbatas untuk membuat rekomendasi kuat, namun dibutuhkan kajian lanjut.

Antibiotik

Antibiotik masih merupakan salah satu terapi yang telah diperlihatkan menurunkan angka kematian pada syok septik. Antibiotik harus diberikan dalam 2 jam setelah sepsis didiagnosis. Obat yang dipilih tergantung pada status hospes dan organisme yang dicurigai. Faktor-faktor yang penting untuk dipertimbangkan meliputi sumber infeksi yang dicurigai, sifat pathogen (komunitas atau nosokomial), pola resistensi lokal, dan status imunologis pasien. Pasien yang lebih parah membutuhkan cakupan yang lebih luas. Untuk setiap patogen, banyak regimen cenderung efektif (table 3).

Tabel 3. Antibiotik yang dianjurkan pada syok septik Sumber yang dicurigai Antibiotik anjuran

Pneumonia Sefalosporin generasi kedua dan ketiga plus macrolide (beta-laktam antipseudomonas plus aminoglikosida jika nosokomial)

Saluran kemih Ampicillin plus gentamicin (Garamycin) atau sefalosporin generasi ketiga

Kulit atau jaringan lunak

Nafcillin sodium (Nafcil, Nallpen, Unipen) (tambahkan metronidazole [Flagyl, Metro IV, Protostat] atau clindamycin jika dicurigai infeksi anaerob)

Meningitis Sefalosporin generasi ketiga

Intra-abdominal Sefalosproin generasi ketiga plus metronidazole atau clindamycin

Bakteremia primer

Ticarcillin dan clavulanate potassium (Timentin) atau piperacillin sodium dan tazobactam sodium (Zosyn)

Page 150: Sepsis

145

Penggunaan berlebihan dari vancomycin hydrochloride (Vancocin, Vancoled) dan kontribusinya terhadap perkembangan pathogen yang resisten terhadap banyak obat, merupakan masalah yang menkhawatirkan. Penggunaan vancomycin harus dibatasi untuk Enterococcus, methicillin-resistant Staphylococcus aureus, atau high-level penicillin-resistant Streptococcus pneumoniae.

Imbang Oksigen

Asidosis laktat diakibatkan oleh ketidakimbangan antara hantaran dan konsumsi oksigen. Sebab-sebab potensial dari gangguan imbang oksigen ini adalah hantaran oksigen yang tidak adekuat, dan ketidakmampuan jaringan menggunakan oksigen secara optimal. Hantaran oksigen ke jaringan bisa dioptimalkan dengan mempertahankan saturasi oksigen arteri pada >90% dan hemoglobin pada > 8 g/dL (80 g/L) dan dengan meningkatkan cardiac index menjadi 4.5 sampai 6 L/menit/mm2. Yang terakhir bisa dilakukan dengan penggunaan cairan untuk mempertahankan tekanan baji arteri pulmonalis (10 sampai 14 mm Hg) dan melalui penggunaan obat inotropik positif seperti dobutamin. Intervensi-intervensi ini sering dicapai terbaik dengan bantuan kateter arteri pulmonalis. Dulu, kebiasan mempertahankan hantaran oksigen di atas normal diduga memperbaiki prognosis, terutama pada pasien bedah risiko tinggi 17. Tetapi, hasil-hasil ini belum pernah diulang pada banyak kajian syok septik. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak dianjurkan. Walaupun asidosis laktat sering mencerminkan perfusi jaringan yang buruk, model eksperimen juga telah menunjukkan metabolisme oksidasi yang abnormal oleh jaringan tepi walaupun tekanan perfusi dan hantaran oksigen normal18,19 . Imbang oksigen pada syok septik juga bisa diperbaiki dengan mengurangi konsumsi oksigen. Pengendalian demam bisa mengurangi konsumsi oksigen sebesar kira-kira 20% 20. Jika kerja napas cukup berat, intubasi dan ventilasi mekanik, yang disertai sedasi dan blokade neuromuskular, bisa menghasilkan efek serupa 21.

Page 151: Sepsis

146

Terapi lain

Sekalipun dengan terapi agresif, sejumlah pasien syok septik tetap hipotensi atau memperlihatkan hipoperfusi jaringan yang bermakna. Beberapa terapi lain digunakan pada syok septik yang refrakter . Pemakaian kortikosteroid dalam tatalaksana syok septik diperdebatkan. Banyak kajian di tahun 1980an dan awal 1990 an umumnya tidak memperlihatkan perbaikan bermakna dengan terapi kortikosteroid, bahkan sebagian memperlihatkan mortalitas meningkat 22. Baru-baru ini, penelitian telah terfokus pada dosis yang lebih moderat dari kortikosteroid pada pasien dengan syok refrakter walaupun telah mendapat resusitasi adekuat. Suatu kajian baru acak dan terkontrol plasebo dari hidrokortison(100 mg setiap 8 jam) pada 41 pasien dengan syok refrakter 23 memperlihatkan perbaikan bermakna dalam hemodinamik serta kecenderungan survival lebih baik, tanpa memandang hasil tes stimulasi kortikotropin. Data di wilayah ini sangat terbatas, namun ada kesan kortikosteroid mungkin bermanfaat pada suatu subkelompok pasien dengan syok refrakter.

Natrium bikarbonat sudah lama dianjurkan untuk mengoreksi asidosis metabolik persisten. Alasannya, infus natrium bikarbonat menghasilkan peningkatan pH dan disfungsi sel berkurang, kontraktilitas jantung membaik, dan aktivitas obat vasopresor meningkat. Juga disebutkan efek merugikan sedikit dan terapi ini sebaiknya digunakan sebagai pilihan terakhir untuk memperbaiki status klinis pasien. Dalam tinjauan terbaru 24, data yang mendukung infus natrium bikarbonat dievaluasi. Jelas dari data hewan bahwa peningkatan pH secara artifisial tidak memperbaiki parameter-parameter seperti fungsi jantung walaupun ini sukar diukur pada manusia. Lebih lanjut, tidak jelas apakah dengan menaikkan pH serum memiliki efek terhadap pH di tingkat jaringan atau intraselular. Akhirnya, natrium bikarbonat dikonversi menjadi karbon dioksida dan air, sehingga menghasilkan peningkatan kadar karbon dioksida dan lebih lanjut menekan pH. Penggunaan natrium bikarbonat tidak dianjurkan secara rutin untuk asidosis laktat.

Nitric oxide, yang dilepas dari sel endotel, mungkin ikut menyebabkan vasodilatasi dan mungkin menekan jantung. Penghambatan sintesis nitric oxide dengan methylene blue

Page 152: Sepsis

147

(Methblue 65, Urolene Blue) telah ditunjukkan memperbaiki MAP pada pasien syok septik 25,26 namun memiliki efek merugikan; data terbatas. Naloxone hydrochloride (Narcan), suatu antagonis opioid, dapat memblok efek endorfin yang terjadi pada sepsis dan memperbaiki hemodinamik pada pasien syok septik 27,28. Meta-analisis terbaru 29dari tiga uji klinis acak dan terkontrol dari obat ini memperlihatkan perbaikan hemodinamik namun angka kematian tidak jelas berkurang. Perlu kajian lebih lanjut sebelum terapi ini diadopsi secara universal . Beberapa uji klinis multisenter dan acak telah menilai penghambatan berbagai sitokin yang diduga berperan serta dalam reaksi rantai sepsis( sepsis cascade). Antibodi monoklonal terhadap endotoxin, antibody terhadap reseptor IL-1, antibradykinin, antiplatelet activating factor, anti-tumor necrosis factor, dan obat AINS (nonsteroidal anti-inflammatory drugs) telah dipelajari. Perbaikan angka mortalitas pada sepsis atau syok septik belum ditunjukkan dengan obat-obat ini. Mungkin ini mencerminkan kompleksitas interaksi berbagai faktor eksogen dan reaksi radang serta antiradang. Suatu temuan baru yang menarik adalah peran dari protein C teraktivasi( activated protein C) dalam tatalaksana syok septik. Senyawa ini memiliki sifat antitrombotik,profibrinolitik dan anti-inflamasi. Uji klinis acak multisenter dan terkontrol plasebo dari lebih 1,600 pasien 30 memperlihatkan bahwa risiko kematian pada pasien dengan syok septik yang mendapat terapi activated protein C menurun 20%. Kelompok yang diobati memiliki risiko perdarahan kecil namun bermakna. Activated protein C (drotrecogin alfa) (Xigris) mendapat izin dari US FDA untuk pengobatan pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian tinggi. Drotrecogin alfa dianjurkan untuk pasien dengan skor APACHE II > 25 dengan disfungsi organ bermakna.Akhirnya risiko dan manfaat obat ini harus diteliti seksama pada masing-masing pasien. Drotrecogin alfa diberikan sebagai infus 96-jam dengan biaya kira-kira $6,800 untuk pengobatan pasien 70 kg.

Kesimpulan

Syok septik adalah masalah lazim pada pasien rawat-inap. Manajemen optimal tergantung pada deteksi dini, pemulihan volume sirkulasi yang agresif dengan cairan, pemberian antibiotik, pemantauan dan rawat intensif. MAP (Mean arterial pressure) harus dinaikkan ke kisaran 65 dan 75 mm Hg

Page 153: Sepsis

148

sesegera mungkin untuk mengurangi kecenderungan disfungsi organ ganda. Dengan perasat-perasat ini, angka mortalitas masih tinggi sebelum ada terapi yang lebih jitu ke mekanisme penyebab sepsis.

Disadur dan DIterjemahkan dari Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock Rapid recognition and institution of therapy are crucial. Postgrad Med VOL 111 / NO 3 / MARCH 2002

Referensi:

1. Parrillo JE, Parker MM, Natanson C, et al. Septik shock in humans: advances in the understanding of pathogenesis, cardiovascular dysfunction, and therapy. Ann Intern Med 1990;113(3):227-42

2. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20(6):864-74

3. Bone RC. Immunologic dissonance: a continuing evolution in our understanding of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS) and the multiple organ dysfunction syndrome (MODS). Ann Intern Med 1996;125:680-7

4. Parker MM, Shelhamer JH, Bacharach SL, et al. Profound but reversible myocardial depression in patients with septik shock. Ann Intern Med 1984;100(4):483-90

5. Parker MM, Shelhamer JH, Natanson C, et al. Serial cardiovascular variables in survivors and nonsurvivors of human septik shock: heart rate as an early predictor of prognosis. Crit Care Med 1987;15(10):923-9

6. Aeder MI, Crowe JP, Rhodes RS, et al. Technical limitations in the rapid infusion of intravenous fluids. Ann Emerg Med 1985;14(4):307-10

7. Rackow EC, Falk JL, Fein IA, et al. Fluid resuscitation in circulatory shock: a comparison of the cardiorespiratory effects of albumin, hetastarch, and saline solutions in patients with hypovolemic and septik shock. Crit Care Med 1983;11(11):839-50

8. Rackow EC, Kaufman BS, Falk JL, et al. Hemodynamic response to fluid repletion in patients with septik shock: evidence for early depression of cardiac performance. Circ Shock 1987;22(1):11-22

9. Winslow EJ, Loeb HS, Rahimtoola SH, et al. Hemodynamic studies and results of therapy in 50 patients with bacteremic shock. Am J Med 1973;54(4):421-32

10. Greenfield LJ, Jackson RH, Elkins RC, et al. Cardiopulmonary effects of volume loading of primates in endotoxin shock. Surgery 1974;76(4):560-72

11. Lamke LO, Liljedahl SO. Plasma volume changes after infusion of various plasma expanders. Resuscitation 1976;5(2):93-102

12. Hebert PC, Wells G, Blajchman MA, et al. A multicenter, randomized, controlled clinical trial of transfusion requirements in critical care. Transfusion Requirements in Critical Care Investigators,

Page 154: Sepsis

149

Canadian Critical Care Trials Group. N Engl J Med 1999;340(6):409-17

13. Australian and New Zealand Intensive Care Society. Low-dose dopamin in patients with early renal dysfunction: a placebo-controlled randomised trial. ANZICS Clinical Trials Group. Lancet 2000;356(9248):2139-43

14. Martin C, Papazian L, Perrin G, et al. Norepinefrin or dopamin for the treatment of hyperdynamic septik shock? Chest 1993;103(6):1826-31

15. Landry DW, Levin HR, Gallant EM, et al. Vasopressin pressor hypersensitivity in vasodilatory septik shock. Crit Care Med 1997;25(8):1279-82

16. Landry DW, Levin HR, Gallant EM, et al. Vasopressin deficiency contributes to the vasodilation of septik shock. Circulation 1997;95(5):1122-5

17. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB, et al. Prospective trial of supranormal values of survivors as therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest 1988;94(6):1176-86

18. Astiz M, Rackow EC, Weil MH, et al. Early impairment of oxidative metabolism and energy production in severe sepsis. Circ Shock 1988;26(3):311-20

19. Schaefer C, Biber B, Lerner MR, et al. Rapid reduction of intestinal cytochrome a,a3 during lethal endotoxemia. J Surg Res 1991;51(5):382-91

20. Manthous CA, Hall JB, Olson D, et al. Effect of cooling on oxygen consumption in febrile critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med 1995;151(1):10-4

21. Manthous CA, Hall JB, Kushner R, et al. The effect of mechanical ventilation on oxygen consumption in critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med 1995;151(1):210-4

22. Lefering R, Neugebauer EA. Steroid controversy in sepsis and septik shock: a meta-analysis. Crit Care Med 1995;23(7):1294-303

23. Bollaert PE, Charpentier C, Levy B, et al. Reversal of late septik shock with supraphysiologic doses of hydrocortisone. Crit Care Med 1998;26(4):645-50

24. Forsythe SM, Schmidt GA. Sodium bicarbonate for the treatment of lactic acidosis. Chest 2000;117(1):260-7

25. Preiser JC, Lejeune P, Roman A, et al. Methylene blue administration in septik shock: a clinical trial. Crit Care Med 1995;23(2):259-64

26. Andresen M, Dougnac A, Diaz O, et al. Use of methylene blue in patients with refractory septik shock: impact on hemodynamics and gas exchange. J Crit Care 1998;13(4):164-8

27. Peters WP, Johnson MW, Friedman PA, et al. Pressor effect of naloxone in septik shock. Lancet 1981;1(8219):529-32

28. Holaday JW, Faden AI. Naloxone reversal of endotoxin hypotension suggests role of endorphins in shock. Nature 1978;275(5679):450-1

29. Boeuf B, Gauvin F, Guerguerian AM, et al. Therapy of shock with naloxone: a meta-analysis. Crit Care Med 1998;26(11):1910-6

30. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001;344(10):699-709

31. Dr Fitch is a third-year fellow in pulmonary and critical care medicine, and Dr Gossage is associate professor of medicine and director of the multidisciplinary intensive care unit, section of pulmonary and

Page 155: Sepsis

150

critical care medicine, department of medicine, Medical College of Georgia School of Medicine, Augusta. Correspondence: James R. Gossage, MD, Medical College of Georgia School of Medicine, Section of Pulmonary and Critical Care Medicine, BBR-5513, 1120 15th St, Augusta, GA 30912-3135. E-mail: [email protected]

Page 156: Sepsis

MANAJEMEN SEPSIS

Konsep baru dalam tatalaksana sepsis

Dokter yang merawat pasien di ICU perlu memiliki pengetahuan cukup tentang sebab-sebab demam infeksius dan non-infeksius pada populasi ini (Table ).

Pasien usia lanjut dan pasien uremia, sering tidak demam.1 Kurangnya respon fase akut yang jelas pada pasien sepsis disertai oleh mortalitas tinggi dan dapat mencerminkan fase imunosupresi dari sepsis. Manifestasi dini sepsis meliputi perubahan-perubahan halus dalam status mental, peningkatan

Tabel. Sebab-sebab Demam Infeksius dan noninfeksius pada Pasien-Pasien ICU

Kateter intravaskular yang terinfeksi

Sinusitis atau otitis media (pada pasien yang dipasang alat melalui hidung, seperti pipa nasogastrik atau pipa endotrakea)

Kolesistitis akalkulus

Demam Obat

Trombosis vena dalam (DVT)

Demam sentral (pada pasien trauma kepala)

Kolitis Clostridium difficile

Sindrom postcardiotomy

Infeksi sekunder oleh organisme resisten

Infeksi jamur

151

Page 157: Sepsis

152

atau penurunan ringan dari hitung leukosit atau persentasi neutrofil, atau kadar gula darah yang meninggi. Pengenalan dini dari sepsis merupakan kunci keberhasilan terapi

Activated Protein C

Recombinant human activated protein C, suatu antikoagulan, merupakan obat antiinflamasi pertama yang terbukti efektif dalam terapi sepsis.2,3 Pada pasien sepsis , pemberian activated protein C menghasilkan19,4 % penurunan risiko kematian dan penurunan risiko absolut sebesar 6,1 %.2Activated protein C menginaktivasi faktor-faktor Va dan VIIIa, sehingga mancegah pelepasan trombin.3 Khasiat obat antikoagulan ini pada pasien sepsis diduga berasal dari umpan balik antara sistem koagulasi dan kaskade peradangan.3 Penghambatan pelepasan trombin oleh activated protein C mengurangi peradangan dengan menghambat aktivasi trombosit, rekrutmen neutrofil dan degranulasi mastosit. Activated protein C memiliki sifat anti-inflamasi langsung, termasuk menyekat produksi sitokin oleh monosit dan menghambat adhesi sel.

Masalah yang mengherankan adalah mengapa activated protein C berhasil sedangkan dua antikoagulan lain— antithrombin III 4 dan tissue factor–pathway inhibitor — gagal sebagai terapi sepsis. Penjelasan yang mungkin untuk kegagalan dua antikoagulan lain tersebut adalah mereka bekerja pada sisi yang berbeda dalam kaskade koagulasi. Juga, activated protein C memiliki aksi antiapoptotik yang ikut andil dalam khasiatnya.5

Debat tentang penggunaan activated protein C, serta efek samping potensial (khususnya perdarahan), telah dibahas dalam beberapa artikel.6,7,8 Risiko utama dari pemakaian activated protein C adalah perdarahan; dalam suatu uji klinis activated protein C, 3.5 % pasien mengalami perdarahan serius (perdarahan intrakranial, episode perdarahan yang mengancam jiwa, atau membutuhkan > 3 unit darah), dibandingkan dengan 2 % pasien yang mendapat plasebo (P<0.06). Dengan pemakaian open-label activated protein C setelah uji klinis, 13 dari 520 pasien (2.5 %) mengalami perdarahan intrakranial.6 Dianjurkan hati-hati dalam penggunaan activated protein C pada pasien dengan INR

Page 158: Sepsis

153

(international normalized ratio) lebih dari 3,0 atau hitung trombosit kurang dari 30.000 per mm3. Baru-baru ini, activated protein C disetujui hanya untuk digunakan pada pasien sepsis yang memiliki disfungsi organ paling berat dan kemungkinan tertinggi untuk meninggal. Penggunaan activated protein C dibatasi pada banyak rumah sakit hanya pada pasien sakit lebih serius yang memenuhi kriteria sepsis yang dispesifikasi oleh sistem skoring APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation ).

Terapi Insulin Intensif untuk Hiperglikemia

Van den Berghe dkk. menunjukkan bahwa terapi intensif insulin yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 80 sampai 110 mg /dl (4,4 sampai 6,1 mmol /L)menghasilkan morbiditas dan mortalitas lebih rendah daripada terapi konvensional yang mempertahankan kadar glukosa darah pada 180 sampai 200 mg/dl (10.0 sampai 11,1 mmol/L).9 Terapi intensif insulin mengurangi frekuensi episode sepsis sebesar 46% . Pasien dengan bakteremia yang diterapi dengan insulin intensif memiliki mortalitas lebih rendah dari mereka yang mendapat terapi konvensional (12.5 percent vs. 29.5 percent). Terapi insulin mengurangi angka kematian dari MOF pada pasien sepsis, tanpa memandang ada tidaknya riwayat diabetes.

Mekanisme protektif insulin pada sepsis tidak diketahui. Fungsi fagosit neutrofil terganggu pada pasien hiperglikemia, dan koreksi hiperglikemia bisa meningkatkan fagositosis bakteri. Mekanisme lain diduga melibatkan efek antiapoptotik insulin.10 Insulin mencegah kematian sel apoptosis dengan mengaktifkan lintasan phosphatidylinositol 3-kinase–Akt .8 Tanpa memandang mekanismenya, tampaknya logis untuk mengendalikan gula darah lebih ketat pada pasien sakit kritis. Klinisi harus mencegah kerusakan otak akibat hipoglikemia, dalam upaya mempertahankan kadar gula darah pada 80 sampai 110 mg/dl. Gula darah perlu sering dipantau dan kajian yang menetapkan apakah glukosa darah bisa dikontrol kurang ketat, sebagai contoh antara 120 sampai 160 mg/dl (6.7 sampai 8.9 mmol/L ) — memberikan manfaat serupa.

Page 159: Sepsis

154

Resusitasi volume

Rivers dkk. memperlihatkan bahwa terapi agresif untuk mengoptimalkan preload, afterload dan kontraktilitas jantung pada pasien sepsis dan syok septik memperbaiki kemungkinan survival.11 River dkk menggunakan infus koloid atau kristaloid, obat vasoaktif dan transfusi sel darah merah untuk meningkatkan hantaran oksigen. Sasaran resusitasi yang dipilih untuk menilai kecukupan hantaran oksigen adalah normalisasi nilai-nilai: Saturasi oksigen, kadar laktat, base deficit, dan pH. Pasien dalam kelompok I yang mendapat terapi dini menerima lebih banyak cairan, dukungan inotropik dan transfusi darah selama 6 jam pertama dibandingkan pasien kontrol (kelompok II) yang mendapat resusitasi standar. Selama interval dari 7 sampai 72 jam, pasien kelompok I memiliki kadar oksigen vena sentral lebih tinggi. kadar laktat lebih rendah, base deficit lebih rendah dan pH lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Mortalitas 30,5 % pada kelompok I, sedang kelompok II 46,5 % (P=0,009). Jadi, intervensi dini untuk memulihkan imbang antara hantaran oksigen dan kebutuhan oksigen akan memperbaiki survival pada pasien sepsis berat. Penggunaan parameter obyektif dianjurkan, termasuk kadar laktat, base deficit, pH dan saturasi oksigen vena sentral, pada follow-up pasien yang mendapat resusitasi.

Early Goal Directed Therapy (EGDT), yang telah dikembangkan di RS Henry Ford oleh Dr. E. Rivers, merupakan pendekatan sistematik terhadap resusitasi cairan dan telah divalidasi pada tatalaksana sepsis berat dan syok septic. Ini harus dimulai di IGD. Teorinya adalah seseorang harus menggunakan pendekatan bertahap agar pasien mencapai sasaran fisiologis untuk mengoptimalkan preload, afterload, dan kontraktilitas jantung, sehingga hantaran oksigen ke jaringan nisa optimal29

Dalam EGDT, cairan diberikan sampai tekanan vena sentral (CVP), yang diukur dengan memasang kateter vena sentral, mencapai 8-12 cm H2O (atau 10-15 cm H2O pada pasien ventilasi mekanik). Jika MAP( mean arterial pressure) di bawah 65 mmHg atau di atas 90 mmHg, diberikan vasopresor atau vasodilator sesuai kebutuhan untuk mencapai sasaran. Setelah sasaran-sasaran ini dicapai. Saturasi oksigen vena sentral (ScvO2), yakni saturasi oksigen darah vena saat kembali ke

Page 160: Sepsis

155

jantung yang diukur di vena cava superior dioptimalkan. Jika ScvO2 kurang dari 70%, diberikan darah untuk mencapai hemoglobin 10 g/dl kemudian ditambahkan obat inotropik sampai ScvO2 mencapai optimal. Intubasi elektif bisa dipasang untuk mengurangi kebutuhan oksigen jika ScvO2 tetap rendah sekalipun telah optimalisasi hemodinamik. Jumlah urin juga dipantau, dengan sasaran 0.5 ml/kg/jam. Pada uji original, mortalittas diturunkan dari 46.5% pada kelompok kontrol menjadi 30.5% pada kelompok intervensi The Surviving Sepsis Campaign guidelines merekomendasikan EGDT untuk resusitasi dini pasien sepsis dengan kekuatan evidence level B (single randomized control trial).

Kortikosteroid

Pemberian dosis tinggi kortikosteroid (misal, 30 mg metilprednisolon /kgBB) tidak memperbaiki survival pada pasien sepsis dan bahkan bisa memperburuk dengan meningkatkan insiden infeksi sekunder.12 Walaupun kortikosteroid dosis tinggi berdampak buruk, suatu kajian tahun 2001 oleh Annane menunjukkan bahwa pada pasien sepsis yang sakit berat dengan syok persisten yang membutuhkan vasopresor dan ventilasi mekanik, bisa memperoleh manfaat dari dosis fisiologis kortikosteroid.13 Dipostulasilkan bahwa pasien demikian mungkin berada dalam keadaan insufisiensi adrenal relatif walaupun kadar kortisol dalam sirkulasi tinggi.14

Penjelasan yang dikemukakan untuk respon fisiologis kortikosteroid (walaupun kadar kortisol plasma normal atau meninggi) adalah desensitisasi respon kortikosteroid karena down-regulation reseptor adrenergik.14 Katekolamin meningkatkan tekanan arteri melalui efeknya pada reseptor adrenergik pada pembuluh darah; kortikosteroid meningkatkan ekspresi dari reseptor adrenergik. Pengujian yang melibatkan stimulasi hormon adrenokortikotropik mungkin tidak berguna dalam mengidentifikasi pasien dengan insufisiensi relatif kelenjar adrenal. Pasien demikian mungkin sudah memiliki kadar kortisol plasma yang tinggi, dan tidak peka terhadap perangsangan hormon adrenokortikotropik. Kadar kortisol plasma acak kurang dari 20 µg/dl mengesankan respon adrenal yang tidak adekuat terhadap stres.14

Page 161: Sepsis

Suatu kajian baru juga oleh Annane dkk, dimana hidrokortison ( bolus IV 50-mg 4 kali per hari) dan fludrokortison (50 µg per hari) diberikan selama tujuh hari pada pasien syok septik. Survival lebih baik dibandingkan kontrol.15 Terapi kombinasi bermanfaat sekalipun pada pasien dengan kadar baseline kortisol plasma yang meninggi, jika kadar kortisol mereka tidak meningkat lebih dari 9 µg /dl ketika dirangsang oleh hormon adrenokortikotropik. Yang agak mengkhawatirkan adalah fakta bahwa pasien yang tidak memiliki insufisiensi adrenal dan mendapat kortikosteroid memiliki trend mortalitas lebih tinggi walaupun sedikit dan tidak bermakna.16Masalah kedua yang muncul adalah angka kematian tinggi pada populasi pasien ini— 63 % pada kelompok plasebo. Hidrokortison dosis rendah efektif pada satu kajian pada pasien syok septik, namun temuan ini belum dikonfirmasi oleh kelompok ahli lain

Konsep respon Imun pada Sepsis

Limpa yang diangkat dari pasien yang meninggal karena sepsis menunjukkan bahwa makin lama sepsis berlangsung, makin banyak kehilangan sel B dan sel T CD4. Kebanyakan kematian terjadi selama status hipoimun yang memanjang. Pemulihan atau pencegahan defisiensi imun ini merupakan fokus penelitian. Strategi antiinflamasi yang diterapkan dini pada pasein dengan respon imun hiperinflamasi bisa menyelamatkan jiwa 2. Di samping, TNF- dan interleukin-1 , beberapa mediator inflamasi lain mungkin memainkan peran kritis dalam jejas sel pada sepsis. Baru-baru ini, high-mobility group 1 protein diidentifikasi sebagai mediator lanjut dari letalitas endotoksin pada mencit dan berkorelasi pada prognosis pasien sepsis.17,18

Terapi Potensial untuk Sepsis

Berbagai jenis obat baru telah memperlihatkan khasiat pada model hewan dan menawarkan harapan serta wawasan baru ke pada sepsis. O'Suilleabhain dkk. memperhatikan bahwa interleukin-12, suatu imunostimulan kuat dan Th1 inducer, mengurangi kematian dari sepsis yang menyusul luka bakar.19 Pemberian antibodi terhadap produk aktivasi komplemen C5a mengurangi frekuensi bakteremia, mencegah apoptosis dan meningkatkan survival.20,21,22Calandra dkk melaporkan bahwa konsentrasi tinggi macrophage inhibitory factor terdapat pada

156

Page 162: Sepsis

157

pasien sepsis, dan pemberian antibodi terhadap MIF ini melindungi mencit dari peritonitis.23Strategi-strategi yang memblok apoptosis limfosit atau sel epitel gastrointestinal telah memperbaiki survival pada model sepsis hewan.24,25 Mencit sepsis yang defisiensi poly–ADP–ribose polymerase 1 (PARP) memiliki survival lebih baik. Pemberian PARP inhibitor bermanfaat pada model babi.26,27 Sistem Saraf Pusat merupakan modulator penting dari inflamasi; stimulasi listrik dari nervus Vagus melindungi syok endotoksik.28 Jadi berbagai agen menjanjikan sebagai terapi baru yang efektif untuk sepsis.

Referensi

1. Gleckman R, Hibert D. Afebrile bacteremia: a phenomenon in geriatric patients. JAMA 1982;248:1478-1481.[CrossRef]

2. Bernard GR, Vincent J-L, Laterre P-F, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001;344:699-709

3. Matthay MA. Severe sepsis -- a new treatment with both anticoagulant and antiinflammatory properties. N Engl J Med 2001;344:759-762.

4. Warren BL, Eid A, Singer P, et al. High-dose antithrombin III in severe sepsis: a randomized controlled trial. JAMA 2001;286:1869-1878. [Erratum, JAMA 2002;287:192.]

5. Joyce DE, Gelbert L, Ciaccia A, DeHoff B, Grinnell BW. Gene expression profile of antithrombotic protein C defines new mechanisms modulating inflammation and apoptosis. J Biol Chem 2001;276:11199-11203.

6. Warren HS, Suffredini AF, Eichacker PQ, Munford RS. Risks and benefits of activated protein C treatment for severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:1027-1030.

7. Manns BJ, Lee H, Doig CJ, Johnson D, Donaldson C. An economic evaluation of activated protein C treatment for severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:993-1000.

8. Siegel JP. Assessing the use of activated protein C in the treatment of severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:1030-1034.

9. Van den Berghe G, Wouters P, Weekers F, et al. Intensive insulin therapy in critically ill patients. N Engl J Med 2001;345:1359-1367.

10. Gao F, Gao E, Yue TL, et al. Nitric oxide mediates the antiapoptotic effect of insulin in myocardial ischemia-reperfusion: the roles of PI3-kinase, Akt, and endothelial nitric oxide synthase phosphorylation. Circulation 2002;105:1497-1502.

11. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Engl J Med 2001;345:1368-1377.

12. Cronin L, Cook DJ, Carlet J, et al. Corticosteroid treatment for sepsis: a critical appraisal and meta-analysis of the literature. Crit Care Med 1995;23:1430-1439.

13. Annane D. Corticosteroids for septic shock. Crit Care Med 2001;29:Suppl:S117-S120.

Page 163: Sepsis

158

14. Shenker Y, Skatrud JB. Adrenal insufficiency in critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med 2001;163:1520-1523.

15. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA 2002;288:862-871.

16. Abraham E, Evans T. Corticosteroids and septic shock. JAMA 2002;288:886-887.

17. Wang H, Bloom O, Zhang M, et al. HMG-1 as a late mediator of endotoxin lethality in mice. Science 1999;285:248-251.

18. Andersson U, Wang H, Palmblad K, et al. High mobility group 1 protein (HMG-1) stimulates proinflammatory cytokine synthesis in human monocytes. J Exp Med 2000;192:565-570.

19. O'Suilleabhain C, O'Sullivan ST, Kelly JL, Lederer J, Mannick JA, Rodrick ML. Interleukin-12 treatment restores normal resistance to bacterial challenge after burn injury. Surgery 1996;120:290-296.

20. Czermak BJ, Sarma V, Pierson CL, et al. Protective effects of C5a blockade in sepsis. Nat Med 1999;5:788-792.[CrossRef]

21. Guo RF, Huber-Lang M, Wang X, et al. Protective effects of anti-C5a in sepsis-induced thymocyte apoptosis. J Clin Invest 2000;106:1271-1280.

22. Huber-Lang MS, Sarma JV, McGuire SR, et al. Protective effects of anti-C5a peptide antibodies in experimental sepsis. FASEB J 2001;15:568-570.

23. Calandra T, Echtenacher B, Roy DL, et al. Protection from septic shock by neutralization of macrophage migration inhibitory factor. Nat Med 2000;6:164-170.[CrossRef]

24. Coopersmith C, Stromberg PR, Dunne WM, et al. Inhibition of intestinal epithelial apoptosis and survival in a murine model of pneumonia-induced sepsis. JAMA 2002;287:1716-1721.

25. Oberholzer C, Oberholzer A, Clare-Salzler M, Moldawer LL. Apoptosis in sepsis: a new target for therapeutic exploration. FASEB J 2001;15:879-892.

26. Soriano FG, Liaudet L, Szabo E, et al. Resistance to acute septic peritonitis in poly(ADP-ribose) polymerase-1-deficient mice. Shock 2002;17:286-292.

27. Goldfarb RD, Marton A, Szabo E, et al. Protective effect of a novel, potent inhibitor of poly(adenosine 5'-diphosphate-ribose) synthetase in a porcine model of severe bacterial sepsis. Crit Care Med 2002;30:974-980.

28. Borovikova LV, Ivanova S, Zhang M, et al. Vagus nerve stimulation attenuates the systemic inflammatory response to endotoxin. Nature 2000;405:458-462.[CrossRef]

29. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al (2001). "Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock". N. Engl. J. Med. 345 (19): 1368-77

Page 164: Sepsis

159

IMUNOTERAPI Pendahuluan

Kendati sudah puluhan tahun dilakukan penelitian, morbiditas dan mortalitas akibat sepsis dan syok septik masih sangat tinggi. Hasil dari semua uji klinis (dengan satu pengecualian ) telah memperlihatkan bahwa imunoterapi yang bertujuan memodulasi ekspresi berlebihan dari sitokin-sitokin kunci, seperti interleukin dan tumor necrosis factor, memiliki efek setara atau lebih rendah dari plasebo

Tatalaksana sepsis terdiri atas terapi antibiotik dan eradikasi sumber infeksi. Namun mortalitas tetapi tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir pemahaman tentang respon radang dan disfungsi organ selama infeksi, telah banyak menambah pengetahuan di tingkat riset, namun umumnya belum diterjemahkan ke dalam keberhasilan klinis. Banyak uji klinis imunoterapi untuk sepsis berat atau syok septik dengan hasil buruk. Tiga uji klinis besar untuk syok septik disponsori oleh 3 perusahaan:

1. The Immunex (Immunex Corporation; Seattle, WA): Uji fase II p80. P80 adalah suatu reseptor larut dari tumor necrosis factor (TNF)1

2. The Glaxo(Glaxo SmithKline; Research Triangle Park, NC): Studi tentang inhibitor dari nitric oxide sintase,2 dan

3. The Centocor (Centocor; Malvern, PA): uji fase IIIb dari antibodi monoklonal Mab) dari endotoxin HA-1A3

Ketiganya telah berkulminasi dalam mortalitas yang berlebihan pada pasien yang mendapat obat-obat eksperimental tersebut. Suatu meta-analisis4 dari 15 uji klinis5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18

yang menggunakan obat anti-inflamasi nonglukokortikoid tidak menunjukkan manfaat statistik dari imunomodulasi, walaupun ada hasil positif (odds ratio, 1,11; 95% confidence interval [CI], 0,99 sampai 1,23; p = 0.07). Sejak publikasi meta-analisis ini, hasil-hasil dari uji fase III lain telah dilaporkan, termasuk kajian anti-TNF .19 Mereka juga gagal memperlihatkan manfaat klinis.

Page 165: Sepsis

Pada tahun 1998, Glaxo Wellcome menghentikan uji klinis internasional L-NG-methylarginine hydrochloride, suatu inhibitor non-selektif dari NO sintase, untuk terapi pasien dengan syok septik. Obat ini mensimulasi suatu vasopresor dengan memulihkan tonus vasomotor. Analisis ad interim dari uji klinis ini pada 522 pasien pertama yang mendapat obat eksperimen memperlihatkan peningkatan mortalitas secara bermakna.20

Selain Centocor phase IIIb trial of HA-1A,3 empat kajian anti-endotoxin lain 21,22,23,24 telah mengecewakan. Sebagai contoh, pada kajian Bone dkk21 yang menilai keamanan dan khasiat E5, suatu antibodi monoklonal mencit (murine MAb) yang ditujukan menetralisir endotoxin. Studi ini tidak memperlihatkan perbaikan survival pada pasien yang mendapat obat ini setelah 30 hari dibandingkan plasebo(p = 0,21). Respon yang kurang juga diamati pada kajian Ziegler dkk23 terhadap obat HA-1A pada sepsis Gram-negatif. Disini angka kematian adalah 43% dan 39%, masing-masing pada kelompok plasebo dan kelompok human monoclonal IgM antibody(p = 0,24). Lebih baru lagi, suatu uji klinis fase IIIc 24 memeriksa penggunaan E5 pada 915 pasien dengan sepsis gram-negatif, juga tanpa manfaat. Hasil-hasil penelitian yang mengecilkan hati ini menimbulkan pertanyaan serius tentang nasib penelitian klinis di masa depan.

Mekanisme Imunologi pada Sepsis

Pada sepsis terjadi interaksi kompleks antara mediator pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi(Tabel 1).Efek netto dari suatu mediator bisa bervariasi bergantung pada status aktivasi sel sasaran, adanya mediator lain dan kemampuan sel sasaran untuk melepaskan mediator yang bisa memperkuat atau menghambat mediator primer.25 Walaupun ada peran berbagai sitokin dan sel , TNF- - dianggap sebagai mediator primer dari sepsis.25 Bukti yang mendukung peran penting dari TNF- meliputi pengamatan bahwa endotoksin yang disuntikkan ke relawan sehat menghasilkan TNF- yang bisa dideteksi di dalam plasma. Di samping itu, terjadinya banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan infeksi gram-negatif. Pelepasan TNF- memicu aktivasi sitokin lain, seperti interleukin (IL)-1ß dan IL-6, yang diasosikan dengan kerusakan sel.25,26 TNF- telah menarik banyak perhatian karena kadarnya meninggi pada kebanyakan pasien sepsis.

160

Page 166: Sepsis

Namun,kadar TNF- juga meninggi pada banyak orang sehat serta pasien sepsis, dan pada pasien dengan berbagai penyakit.25 IL-6 mungkin merupakan prediktor yang lebih konsisten dari sepsis, karena kadarnya tetap tinggi untuk waktu lebih lama daripada TNF- . IL-6 juga terlihat lebih berkorelasi dengan keparahan dan mortalitas sepsis.27,28 Kadar IL-8 sirkulasi juga berkorelasi dengan keparahan sepsis dan mortalitas.29

Tabel 1. Mediator Pro-inflamasi dan Anti-inflamasi pada Sepsis

Mediator Pro-Inflamasi Mediator Anti-inflamasi

TNF- IL-1ß IL-6 (dilepas dari makrofagt aktif) IL-8 PAF Leukotrien Tromboksan A2

Antagonis reseptor IL-1

IL-4

IL-10

Melalui aksi-aksi dari mediator yang telah disebutkan di atas, berbagai jenis sel menjadi teraktivasi, dan memicu kaskade yang diduga merugikan hospes (Gambar 1). Sederet panjang strategi telah dikembangkan untuk memulihkan atau mengendalikan proses radang yang dipicu oleh sepsis, antara lain antibodi terhadap lipopolisakarida(endotoksin), antagonis reseptor IL-1, antagonis platelet activating factor (PAF), dan antibodi anti- TNF- , dan Ig poliklonal.21,30,31 Salah satu intervensi pertama yang mendapat perhatian adalah inhibisi langsung dari efek-efek endotoksin dengan menggunakan antibodi monoklonal (MAbs) spesifik. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, kajian-kajian21,30yang dilakukan dengan MAbs ,seperti misal HA-1A dan E5,yang berikatan dengan porsi lipid A dari molekul endotoksin, telah gagal menunjukkan hasil positif pada pasien sepsis. Mungkin ini

161

Page 167: Sepsis

mengesankan bahwa batas waktu untuk mengurangi kaskade sepsis yang diinduksi endotoksin telah dilampaui pada saat terapi dimulai. Riset dalam imunoterapi sepsis berlanjut (Tabel 2).25,26,32,33 Yang menjadi pertanyaan adalah- berapa biayanya?

Gambar 1 . Kaskade sitokin. G-CSF = granulocyte colony-stimulating factor

Tabel 2. Intervensi Terapetik pada Uji Klinis Sepsis

Antioksidan (prosistein)

Antibodi Anti-TNF

Protein bakterisidal yang meningkatkan permeabilitas kuman

Kortikosteroid

Granulocyte colony-stimulating factor

162

Page 168: Sepsis

163

Larutan hemoglobin (misal, NO scavengers)

Hemoperfusi dengan polymixin B

High-density lipoprotein

Imunonutrisi (minyak ikan)

Inhibitor dari NO sintase

Analog Lipopolisakarida

Recombinant PAF inhibitor

TNF receptor p55

Kegagalan dalam Penelitian Sepsis

Alasan-alasan yang menjelaskan kegagalan penelitian-penelitian terhadap imunoterapi sepsis:.2,21,34

Hipotesis salah

Mungkin hipotesis bahwa peradangan intravaskular yang berlebihan dan tidak terkontrol sebagai penyebab syok, gagal organ ganda dan kematian pada sepsis adalah salah. Strategi Anti-TNF telah berhasil pada model hewan dengan infeksi berat yang diinduksi endotoksin.35,36

Pada kajian Opal dkk,36 mencit diberikan cyclophosphamide, dan dibuat neutropenik, dan disuntikan dosis letal Pseudomonas aeruginosa, tanpa diberi antibiotik. Kemudian mencit dialokasikan dalam empat kelompok:

1. Kelompok yang mendapat antibodi monoklonal yang salah /irrelevant MAb (plasebo),

2. Kelompok yang mendapat anti-TNF MAb, 3. Kelompok yang mendapat MAb yang ditujukan

terhadap lipopolisakarida P aeruginosa , 4. kelompok yang diberikan kombinasi anti-TNF dan anti-

lipopolisakarida MAb. (catatan MAb = antibodi monoklonal)

Page 169: Sepsis

164

Mencit yang diberikan plasebo cepat mati, sedangkan kelompok 2 dan kelompok 3 memiliki 40% angka survival. Sedangkan kelompok 4 memiliki 75% angka survival. Hasil-hasil ini cukup membesarkan hati untuk dicoba pada manusia.

Namun, hipotesis primer bisa salah. Peradangan yang sedang berlangsung mungkin tidak bertanggung jawab langsung terhadap morbiditas dan mortalitas sepsis. Imunoterapi tidak diharapkan bisa memulihkan syok. Yang dianggap sama vital sebagai strategi terapi adalah kombinasi terapi antimikrobial, dukungan ventilasi , terapi cairan, obat vasoaktif, inotropik bersama-sama dengan imunoterapi. Di samping itu, penelitian preklinik yang mendukung hipotesis dasar atau peran obat-obat ini tidak cukup. Model hewan sepsis memiliki aplikabilitas terbatas dan tidak bisa diekstrapolasi pada sepsis manusia.

Desain Penelitian Salah

Kesalahan desain pasti berperan dalam kegagalan uji klinis sepsis di masa lalu. Uji klinis yang menilai peran dari antagonis reseptor IL-1 ( recombinant human IL-1 receptor antagonist [rhIL-1ra]) mungkin salah satu contoh ini.

Dalam uji klinis fase IIIa Fisher dkk6 berusaha menentukan khasiat rhIL-1ra dalam tatalaksana sindrom sepsis. 893 pasien dengan sindrom sepsis diberi loading dose intravena rhIL-1ra, 100 mg, atau plasebo yang disusul oleh infus rhIL-1ra kontinyu selama 72-jam (1 mg/kg/jam atau 2 mg/kg/jam) atau plasebo. Hasil uji klinis tidak memperlihatkan manfaat obat dibanding plasebo (Gambar 2). Namun, analisis subkelompok mengesankan bahwa pasien yang lebih parah sebenarnya memberi respon terhadap infusi kontinyu rhIL-1ra . Kemudian studi dirancang ulang untuk fase IIIb. Para peneliti ingin merekrut pasien yang lebih parah dalam upaya mendapatkan keunggulan dari temuan sebelumnya; namun kriteria Perekrutan fase IIIb untuk keparahan sepsis hampir sama dengan yang digunakan pada studi fase IIIa . Para peneliti juga ingin merekrut pasien yang cenderung hipotensi menetap. Sayang untuk definisi hipotensi, mean arterial pressure of < 70 mm Hg diturunkan hanya sampai 65 mm Hg. Perubahan kecil ini menyebabkan hasil uji klinis tidak berbeda dengan fase III yang gagal sebelumnya.5

Page 170: Sepsis

Gambar 2 Hasil studi Fisher dkk6 yang menggunakan recombinant human interleukin-1 receptor antagonist untuk terapi sindrom sepsis. IL-1ra = IL-1 receptor antagonist.

Salah Obat

Uji klinis fase II bersakala kecil dibiayai oleh Immunex untuk menguji reseptor TNF P-80 , yaitu suatu protein rekombinan yang merupakan dimer dari porsi ekstrasel dari reseptor TNF dan porsi Fc dari IIg G1. Protein ini mengikat dan menetralkan TNF- sehingga mencegah kematian pada model hewan dengan bakteremia dan endotoksemia.1 Hasil pada manusia justru merusak. Pada dasarnya, makin tinggi dosis reseptor P-80, makin tinggi angka kematian. 30% mortalitas dari 30 pasien yang mendapat dosis rendah, 48% mortalitas pada 29 pasien yang mendapat dosis sedang, dan 53% dari 49 pasien yang mendapat dosis tinggi (p = 0,02). Usaha Immunex untuk menggunakan P-80 TNF receptor untuk mengatasi sepsis dihentikan setelah uji klinis ini; Namun, anehnya jika obat yang sama digunakan untuk artritis reumatoid, hasilnya positif.

165

Page 171: Sepsis

Salah Sasaran

Kajian tahun 1991 22 dengan menggunakan anti-endotoksin E5 pada pasien syok septik menunjukkan obat ini juga bermanfaat bila digunakan pada pasien tanpa syok septik. Kohort menjadi terlalu besar untuk membuktikan manfaat obat ini bila dibandingkan plasebo. Kriteria inklusi sedikit dan memasukkan tanda dan gejala yang tidak spesifik seperti perubahan status mental dan pernapasan> 20 /menit. Kajian24 yang dirancang untuk mengulang kembali khasiat E5 pada pasien dengan atau tanpa syok septik juga gagal, karena mentargetkan populasi pasien yang terlalu heterogen. Kasus ini mencerminkan > 20 tahun riset anti-endotoksin dan belum menjawab apakah obat menurunkan mortalitas.

Terlalu Mengharap

Di tahun1990an, para peneliti berangan-angan bisa meningkatkan survival sampai sebesar 50% pada syok septik dan sepsis berat. Harapan "hitting a home run" diilhami oleh kajian terdahulu. Kajian hewan oleh Hinshaw dkk37 mengevaluasi khasiat terapi dengan anti-TNF MAb dalam mencegah efek merusak dari sepsis pada primata. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan baboon yang diberi infus IV suatu dosis letal Escherichia coli. Dua belas baboon (6 kontrol dan 6 eksperimen) mendapat infus E coli. Kelompok eksperimen diberi bolus antibodi anti-TNF 30 menit setelah infus E coli . Baboon dari kelompok kontrol hidup rata-rata 19 jam, sedang baboon yang mendapat antibodi monoklonal hidup > 7 hari dengan kualitas hidup lebih baik daripada kontrol. Hasil kajian ini membangkitkan minat besar pada TNF sebagai molekul yang bisa dimodulasi.

Langkah berikutnya adalah mencoba obat ini pada manusia. Abraham dkk13 melakukan uji klinis multisenter dengan kontrol plasebo yang menguji TNF- pada > 900 pasien dengan sepsis berat. Pasien diberi plasebo,dosis rendah antibodi TNF-

, atau dosis tinggi antibodi TNF- . Ukuran outcome adalah mortalitas 28 hari. Pada hari ke28, penurunan mortalitas untuk semua pasien sepsis berat tidak berbeda bermakna untuk dosis rendah dan dosis tinggi antibodi TNF- dibandingkan plasebo; namun trend survival yang meningkat terlihat jelas pada subkelompok pasien syok septik yang mendapat kedua

166

Page 172: Sepsis

dosis antibodi TNF . Peningkatan ini bertahan selama 28 hari. Ini memicu uji klinis kedua yang tepat mengulang desain ujiklinis pertama dengan harapan meningkatkan survival pada syok septik sebagaimana terlihat pada kajian awal. Anehnya, walaupun desain eksperimen sama dan dengan jumlah sampel lebih besar hasilnya tidak positif: 40,3% dari 948 pasien yang mendapat antibodi TNF dan 42.8% dari 930 yang mendapat plasebo meninggal dalam 28 hari(95% CI, 0,02 sampai 0,07; p = 0,27). Dengan demikian, tidak ada hubungan antara terapi TNF dengan kecepatan pemulihan syok dan pencegahan syok berikutnya.

Pada syok septik kadar TNF- dan IL-6 yang tinggi berkorelasi dengan kematian38 Pada pasien trauma dan bahkan pada pasien yang diresusitasi dari syok hemoragik, dideteksi jauh lebih sedikit peningkatan kadar IL-6 sementara TNF- sirkulasi normal.Pada pasien-pasien ini, kadar sitokin tidak berkorelasi dengan outcome. Temuan ini memberi kesan derajat aktivasi kaskade imunoinflamasi pada syok septik lebih tinggi dibandingkan pada trauma multipel. Kadar IL-6 yang meninggi sekarang dianggap sebagai indikator terjadinya infeksi nosokomial pada pasien trauma (Gambar 3).

Baru-baru ini, Knoll Pharmaceuticals (Mount Olive, NJ) menyelesaikan uji klinis anti-TNF untuk pasien dengan sepsis berat.39 Pendekatan Knoll Pharmaceutical berbeda dari kajian terdahulu di mana, yang dilihat bukan hanya tanda klinis sepsis, melainkan juga kadar sitokin proinflamasi, khususnya IL-6. Knoll Pharmaceuticals memadukan pengujian semikuantitatif IL-6 dengan kajian MAb karena pada fase II didapatkan pasien dengan kadar IL-6 < 1,000 pg/mL kemungkinan kecil untuk memperoleh manfaat anti- TNF- , sedang pasien sepsis berat dengan kadar IL-6 > 1000 pg/mL terlihat mendapat manfaat dari anti-TNF.12 Hasil akhir dari uji klinis fase III ini memperlihatkan penurunan bermakna dari mortalitas, terlebih pada pasien dengan kadar IL-6 sangat tinggi. Mortalitas absolut menurun sebesar 3.6% (p < 0.05). Bersamaan dengan ini, MODS juga berkurang dalam minggu pertama pasien mendapat anti-TNF. Penurunan mortalitas mungkin kurang mencolok sehingga persetujuan US Food and Drug Administration (FDA) masih alot.

167

Page 173: Sepsis

Gambar 3. TNF- dan IL-6 serum pada syok septik.45 Terlalu banyak variabel tak terkontrol

Tidak seperti kajian hewan, para peneliti yang menyelidiki imunoterapi untuk syok septik belum mengendalikan semua variabel. Contoh terbaik adalah kajian Glaxo Wellcome yang bertujuan secara tidak selektif menghambat sintesis NO. NO adalah vasodilator kuat dengan kerja singkat dan berasal dari oksidasi enzimatik dari arginin. Pada keadaan patofisiologis, iNOS dirangsang oleh sitokin, sehingga menghasilkan NO

168

Page 174: Sepsis

169

dalam jumlah besar. Ini memiliki implikasi pada gagal kardiovaskular yang terjadi pada syok septik.40,41Obat yang menghambat produksi NO telah diselidiki sebagai ajuvan untuk terapi standar syok septik.41,42 Glaxo Wellcome menguji obatnya penghambat NO sintase, 1-n-methyl arginine, dalam uji klinis multisenter yang diharapkan menjadi uji klinis terbesar pada syok septik, dengan hampir 5.000 pasien. Endpoint adalah mortalitas 14-hari dan 28-hari, di samping resolusi syok pada 7-hari karena efek vasopresor dari penghambatan NO; namun, cacat penting dalam desain penelitian ini adalah besarnya kisaran MAP untuk titrasi vasopresor dan obat eksperimen: 70 sampai 90 mm Hg. Praktek lazim di Amerika Utara adalah mentitrasi TD sampai MAP minimum 60 -70 mm Hg; namun di beberapa tempat lain didunia, MAP dipelihara pada 80 - 90 mm Hg pada pasien sepsis berat, kadar yang yang bisa berbahaya dipandang dari kebutuhan akan vasopresor.43 Tidak ada bukti klinis untuk mendukung praktek ini. Uji Klinis Glaxo Wellcome dihentikan setelah analisis ad interim ketika diamati justru lebih banyak mortalitas pada pasien yang mendapat obat eksperimental. Mortalitas disebabkan oleh gangguan hemodinamik: hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan dan cardiac index rendah (S. Grossman; personal communication; April 1998). Dosis vasopresor yang ditingkatkan menyebabkan peningkatan afterload dan memperburuk gagal jantung pada pasien yang sudah syok sirkulasi.44 Di samping itu, variabel-variabel lain diamati. Sebagai contoh, pasien direkrut dari seluruh dunia: dari Chili sampai Polandia, dari Canada sampai Singapore. Jenis rekrutmen yang tersebar luas ini perlu memperhitungkan perbedaan dalam kebiasaan praktek dokter dan jenis pasien yang sangat heterogen

Masa Depan

Standarisasi praktek konvensional adalah satu cara untuk mengatasi variabel-variabel yang tak tekontrol ini dan heterogenisitas pasien. Kriteria Perekrutan untuk kajian sepsis sebagian besar telah berdasarkan atas definisi sepsis, sepsis berat dan syok septik yang dikembangkan oleh the American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference.38 Beberapa kajian dan ulasan46,47,48,49 telah mengkritik kriteria ini sebagai terlalu sensitif, gagal membidik subkelompok pasien yang mungkin mendapat

Page 175: Sepsis

manfaat dari terapi eksperimental. Kurangnya selektivitas juga memperburuk masalah heterogenisitas pasien.

Kajian di masa depan juga akan gagal jika menggunakan metode yang sama. Kajian yang mengemukakan modulasi inflamasi sebaiknya tidak menggunakan kriteria rekrutmen yang mengandalkan tanda klinis inflamasi saja. Heterogenisitas harus dikurangi. Ukuran sampel pada riset terdahulu terlalu kecil

Tabel 3. Perbandingan Penurunan Mortalitas pada Uji Klinis Imunomodulasi yang Berhasil

Variabel Relative Risk of Death (95% CI)*

Nilai p

% Penurunan Risiko Absolut

Anti-TNF 0,90 0,049 3.6

Activated protein-C 0,81 (0,69–0,94) 0,005 6.1

Hidrokortison 0,84 0,02 10

* Risiko relatif (RR) dihitung sebagai angka kematian pada kelompok eksperimen dibagi dengan angka kematian pada kelompok plasebo. Untuk pasien dengan insufisiensi adrenal;; hazard ratio = 0.67 (95% CI, 0,47–0,95).50

Kesimpulan

Sepsis dan syok septik terus menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Walaupun peran inflamasi pada kondisi ini semakin dipahami, riset klinis dengan imunoterapi selama 10 tahun belum membuahkan hasil. Harus lebih diperhatikan desain uji klinis untuk menghilangkan variabilitas dalam end point, fokus pada kelompok sasaran yang sesuai, standarisasi perawatan dan harapan harus realistik. Seseorang bisa mengharapkan bahwa dengan perbaikan yang terus menerus dalam desain uji klinis, imunoterapi akan terbukti berguna

170

Page 176: Sepsis

Disadur dan diterjemahkan dari Nasraway SA.The Problems and Challenges of Immunotherapy in Sepsis (Chest. 2003;123:451S-459S.)

Referensi

1. Fisher, CJ, Jr, Agosti, JM, Opal, SM, et al Treatment of septic shock with the tumor necrosis factor receptor: Fc fusion protein: the Soluble TNF Receptor Sepsis Study Group. N Engl J Med 1996;334,1697-1702

2. Nasraway, SA, Jr Sepsis research: we must change course. Crit Care Med 1999;27,427-430

3. McCloskey, RV, Straube, RC, Sanders, C, et al Treatment of septic shock with human monoclonal antibody HA-1A: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. CHESS Trial Study Group. Ann Intern Med 1994;121,1-5

4. Zeni, F, Freeman, B, Natanson, C Anti-inflammatory therapies to treat sepsis and septic shock: a reassessment. Crit Care Med 1997;25,1095-1100

5. Opal, SM, Fisher, CJ, Jr, Dhainaut, JF, et al Confirmatory interleukin-1 receptor antagonist trial in severe sepsis: a phase III, randomized, double-blind, placebo-controlled, multicenter trial: the Interleukin-1 Receptor Antagonist Sepsis Investigator Group. Crit Care Med 1997;25,1115-1124

6. Fisher, CJ, Jr, Dhainaut, JF, Opal, SM, et al Recombinant human interleukin 1 receptor antagonist in the treatment of patients with sepsis syndrome: results from a randomized, double-blind, placebo-controlled trial; Phase III rhIL-1ra Sepsis Syndrome Study Group. JAMA 1994;271,1836-1843

7. Rodell, TC, Foster, C. Sepsis data show negative trend in second phase II sepsis trial [press release]. July 18, 1995 Cortech. Denver, CO:

8. Fein, AM, Bernard, GR, Criner, GJ, et al Treatment of severe systemic inflammatory response syndrome and sepsis with a novel bradykinin antagonist, deltibant (CP-0127): results of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial; CP-0127 SIRS and Sepsis Study Group. JAMA 1997;277,482-487

9. Dhainaut, JF, Tenaillon, A, Le Tulzo, Y, et al Platelet-activating factor receptor antagonist BN 52021 in the treatment of severe sepsis: a randomized, double-blind, placebo-controlled, multicenter clinical trial; BN 52021 Sepsis Study Group Crit Care Med 1994;22,1720-1728

10. Dhainaut, JF, Vincent, JL, Richard, C, et al CDP571, a humanized ntibody to human tumor necrosis factor- : safety, pharmacokinetics, immune response, and influence of the antibody on cytokine concentrations in patients with septic shock; CPD571 Sepsis Study Group. Crit Care Med 1995;23,1461-1469

11. Reinhart, K, Wiegand-Lohnert, C, Grimminger, F, et al Assessment of the safety and efficacy of the monoclonal anti-tumor necrosis factor antibody-fragment, MAK 195F, in patients with sepsis and septic shock: a multicenter, randomized, placebo-controlled, dose-ranging study. Crit Care Med 1996;24,733-742

171

Page 177: Sepsis

12. Fisher, CJ, Jr, Opal, SM, Dhainaut, JF, et al Influence of an anti-tumor necrosis factor monoclonal antibody on cytokine levels in patients with sepsis: the CB0006 Sepsis Syndrome Study Group. Crit Care Med 1993;21,318-327

13. Abraham, E, Wunderink, R, Silverman, H, et al Efficacy and safety of monoclonal antibody to human tumor necrosis factor - in patients with sepsis syndrome: a randomized, controlled, double-blind, multicenter clinical trial; TNF- MAb Sepsis Study Group. JAMA 1995;273,934-941

14. Cohen, J, Carlet, J INTERSEPT: an international, multicenter, placebo-controlled trial of monoclonal antibody to human tumor necrosis factor- in patients with sepsis; International Sepsis Trial Study Group. Crit Care Med 1996;24,1431-1440

15. Abraham, E, Glauser, MP, Butler, T, et al p55 tumor necrosis factor receptor fusion protein in the treatment of patients with severe sepsis and septic shock: a randomized controlled multicenter trial; Ro 45–2081 Study Group. JAMA 1997;277,1531-1538

16. Bernard, GR, Wheeler, AP, Russell, JA, et al The effects of ibuprofen on the physiology and survival of patients with sepsis; the Ibuprofen in Sepsis Study Group. N Engl J Med 1997;336,912-918

17. Haupt, MT, Jastremski, MS, Clemmer, TP, et al Effect of ibuprofen in patients with severe sepsis: a randomized, double-blind, multicenter study; the Ibuprofen Study Group. Crit Care Med 1991;19,1339-1347

18. Bernard, GR, Reines, HD, Halushka, PV, et al Prostacyclin and thromboxane A2 formation is increased in human sepsis syndrome: effects of cyclooxygenase inhibition. Am Rev Respir Dis 1991;44,1095-1101

19. Reinhart K. Treatment of severe sepsis in patients with highly elevated IL-6 levels with anti-TNF monoclonal antibody-fragments afelimomab (MAK 195F): the RAMSES study [abstract]. Presented at the 18th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine, Brussels, Belgium, March 17, 1998

20. Grossman, S. Glaxo Wellcome press release. April 17, 1998 Glaxo Wellcome. Research Triangle Park, NC:

21. Bone, RC, Balk, RA, Fein, AM, et al A second large controlled clinical study of E5, a monoclonal antibody to endotoxin: results of a prospective, multicenter, randomized, controlled trial; the E5 Sepsis Study Group. Crit Care Med 1995;23,994-1006

22. Greenman, RL, Schein, RM, Martin, MA, et al A controlled clinical trial of E5 murine monoclonal IgM antibody to endotoxin in the treatment of gram-negative sepsis: the XOMA Sepsis Study Group. JAMA 1991;266,1097-1102

23. Ziegler, EJ, Fisher, CJ, Jr, Sprung, CL, et al Treatment of gram-negative bacteremia and septic shock with HA-1A human monoclonal antibody against endotoxin: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial; the HA-1A Sepsis Study Group. N Engl J Med 1991;324,429-436

24. Angus, DC, Birmingham, MC, Balk, RA, et al E5 murine monoclonal anti-endotoxin antibody in gram-negative sepsis: a randomized controlled trial; E5 Study Investigators. JAMA 2000;283,1723-1730

25. Bone, RC The pathogenesis of sepsis. Ann Intern Med 1991;115,457-469

26. Bone, RC Toward a theory regarding the pathogenesis of the systemic inflammatory response syndrome: what we do and do not know about cytokine regulation. Crit Care Med 1996;24,163-172

172

Page 178: Sepsis

27. Damas, P, Ledoux, D, Nys, M, et al Cytokine serum level during severe sepsis in human IL-6 as a marker of severity. Ann Surg 1992;215,356-362

28. Calandra, T, Gerain, J, Heumann, D, et al High circulating levels of interleukin-6 in patients with septic shock: evolution during sepsis, prognostic value, and interplay with other cytokines; the Swiss-Dutch J5 Immunoglobulin Study Group. Am J Med 1991;91,23-29

29. Marty, C, Misset, B, Tamion, F, et al Circulating interleukin-8 concentrations in patients with multiple organ failure of septic and nonseptic origin. Crit Care Med 1994;22,673-679

30. Ralston, DR, St. John, RC Immunotherapy for sepsis. Clin Chest Med 1996;17,307-317

31. Schedel, I, Dreikhausen, U, Nentwig, B, et al Treatment of Gram-negative septic shock with an immunoglobulin preparation: a prospective, randomized clinical trial. Crit Care Med 1991;19,1104-1113

32. Wenzel, RP, Pinsky, MR, Ulevitch, RJ, et al Current understanding of sepsis. Clin Infect Dis 1996;22,407-412

33. Hack, CE, Hart, M, van Schijndel, RJ, et al Interleukin-8 in sepsis: relation to shock and inflammatory mediators. Infect Immun 1992;60,2835-2842

34. Vincent, JL Search for effective immunomodulating strategies against sepsis. Lancet 1998;351,922-923

35. Fiedler, VB, Loof, I, Sander, E, et al Monoclonal antibody to tumor necrosis factor- prevents lethal endotoxin sepsis in adult rhesus monkeys. J Lab Clin Med 1992;120,574-588

36. Opal, SM, Cross, AS, Sadoff, JC, et al Efficacy of antilipopolysaccharide and anti-tumor necrosis factor monoclonal antibodies in a neutropenic rat model of Pseudomonas sepsis. J Clin Invest 1991;88,885-890

37. Hinshaw, LB, Tekamp-Olson, P, Chang, AC, et al Survival of primates in LD100 septic shock following therapy with antibody to tumor necrosis factor (TNF-α). Circ Shock 1990;30,279-292 Martin, C, Boisson, C, Haccoun, M, et al Patterns of cytokine evolution (tumor necrosis factor- - and interleukin-6) after septic shock, hemorrhagic shock, and severe trauma. Crit Care Med 1997;25,1813-1819

38. Panacek, E. Results of clinical trial ("Randomized placebo-controlled trial of MAK-195F [anti-TNF] in sepsis with hyperinflammatory response") sponsored by Knoll Pharmaceuticals and presented by Edward Panacek in a panel discussion, "The Heart in Sepsis." May 8, 2000 American Thoracic Society. Toronto, Ontario:

39. Rosselet, A, Feihl, F, Markert, M, et al Selective iNOS inhibition is superior to norepinephrine in the treatment of rat endotoxic shock. Am J Respir Crit Care Med 1998;157,162-170

40. Griffiths, MJ, Messent, M, Curzen, NP, et al Aminoguanidine selectively decreases cyclic GMP levels produced by inducible nitric oxide synthase. Am J Respir Crit Care Med 1995;152,1599-1604

41. Grover, R, Bakker, J, McLuckie, A, for the International 546C88 Septic Shock Group. et al [abstract]Crit Care Med 1998;26(suppl),A29

42. Hayes, MA, Timmins, AC, Yau, EHS, et al Elevation of systemic oxygen delivery in the treatment of critically ill patients. N Engl J Med 1994;330,1717-1722

173

Page 179: Sepsis

174

43. Harrison, RW, Thakkar, RN, Senzaki, H, et al Relative contribution of preload and afterload to the reduction in cardiac output caused by nitric oxide synthase inhibition with L-N(G)-methylarginine hydrochloride 546C88. Crit Care Med 2000;28,1263-1268

44. American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. Crit Care Med 1992;20,864-874

45. Muckart, DJ, Bhagwanjee, S American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference definitions of the systemic inflammatory response syndrome and allied disorders in relation to critically injured patients. Crit Care Med 1997;25,1789-1795

46. Vincent, JL Dear SIRS, I’m sorry to say that I don’t like you.. Crit Care Med 1997;25,372-374

47. Bossink, AW, Groeneveld, J, Hack, CE, et al Prediction of mortality in febrile medical patients: how useful are systemic inflammatory response syndrome and sepsis criteria? Chest 1998;113,1533-1541

48. Opal, SM The uncertain value of the definition for SIRS: systemic inflammatory response syndrome. Chest 1998;113,1442-1443

49. Fink, MP Another negative clinical trial of a new agent for the treatment of sepsis: rethinking the process of developing adjuvant treatments for serious infections. Crit Care Med 1995;23,989-991

50. Fisher, CJ, Jr, Yan, SB Protein C levels as a prognostic indicator of outcome in sepsis and related diseases. Crit Care Med 2000;28(9 suppl),S49-S56

Page 180: Sepsis

175

DROTRECOGIN Manajemen mutakhir dari sepsis berat dan syok septik terdiri atas

1. Eradikasi infeksi (drainase bedah dan pemberian dini obat antimikrobial);

2. Dukungan kardiovaskular (monitoring dini, pemberian cairan agresif, penggunaan obat vasopresor, obat inotropik atau keduanya, dan mungkin transfusi darah);

3. Tatalaksana paru (suplemen oksigen, ventilasi mekanis dengan volume pasang rendah, positive end-expiratory pressure untuk mengatasi ALI/ acute lung injury atau ARDS/ acute respiratory distress syndrome);

4. Terapi pangganti Ginjal /Renal replacement therapy, jika diindikasikan.

5. Rekomendasi umum lain untuk manajemen kondisi ini di ICU meliputi pemeliharaan glukosa darah di bawah 150 mg /dL (8.3 mmol/L), profilaksis deep-vein thrombosis dan tukak stres, posisi setengah duduk, protokol untuk menyapih pasien dari ventilasi mekanis dan untuk sedasi dan analgesia.

6. Banyak ahli merekomendasikan dosis stres kortikosteroid (hidrokortison 200 - 300 mg per hari) untuk pasien dengan bukti insifisiensi relatif kelenjar adrenal.1

Satu terapi yang penting untuk menghambat mediator pada sepsis berat adalah activated protein C (drotrecogin alfa [activated]). Activated protein C menghambat faktor Va dan faktor VIIIa serta memiliki efek pada koagulasi, fibrinolisis dan sistem imun. Suatu uji klinik fase 3 yang bersifat acak (the Recombinant Human Activated Protein C Worldwide Evaluation in Severe Sepsis [PROWESS]) dan melibatkan 1690 pasien, memperlihatkan penurunan absolut dalam risiko kematian dari semua sebab pada 28 hari sebesar 6,1 % ( yakni dari 30,8 % menjadi 24,7 %, P=0,005). Risiko perdarahan serius lebih tinggi (dari 2,0 % kelompok plasebo versus 3,5 % kelompok activated protein C; P=0,006).2 Suatu analisis subkelompok yang dilakukan dengan penggunaan skoring APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation ) memperlihatkan bahwa sebagian besar penurunan mortalitas

Page 181: Sepsis

176

terjadi pada pasien dengan skor APACHE II pada kuartil ketiga dan keempat, yang mewakili sepsis paling berat.3 Berdasarkan analisis ini, pada tahun 2001 otoritas regulasi obat di Amerika Serikat (US FDA) dan Eropa (EMEA) menyetujui activated protein C untuk terapi pasien dewasa dengan sepsis berat dan dengan risiko kematian tinggi (didefinisikan dengan skor APACHE II > 25 di Amerika Serikat, dan oleh gagal organ paling sedikit 2 di kebanyakan negara Eropa.

Banyak sanggahan terhadap persetujuan US FDA terhadap activated protein C untuk sepsis berat. Para Ahli yang menentang khawatir bahwa skor APACHE II sukar ditentukan di klinik, dan ada risiko perdarahan yang besar dengan activated protein C.4 Argumentasi FDA adalah revisi protokol tidak bisa menurunkan mortalitas 28 hari, dan skor APACHE II mudah dilakukan. Penurunan absolut dari mortalitas pada uji klinis PROWESS trial sebesar 13 %pada subkelompok pasien dengan skor APACHE II 25 atau lebih tinggi, lebih bermakna dibandingkan risiko perdarahan.5

Sebagai bagian dari proses persetujuan FDA, badan ini meminta sponsor uji klinis (Lilly) untuk menyelesaikan sejumlah uji klinis fase 4. Laporan dari uji klinis ini (the Administration of Drotrecogin Alfa [Activated] in Early Stage Severe Sepsis [ADDRESS]) mkuncul dalam terbitan jurnal NEJM.6 ADDRESS adalah suatu uji klinis tersamar ganda acak dan terkontrol plasebo yang mengikutsertakan pasien dewasa dengan sepsis berat yang memiliki risiko kematian rendah (didefinisikan sebagai skor APACHE II <25 atau satu gagal organ). Rekrutmen dihentikan dini karena alasan tidak bermanfaat: dengan 2640 pasien direkrut dalam kajian ini, dianggap kemungkinan kecil untuk menunjukkan penurunan mortalitas dengan penggunaan activated protein C. Mortalitas 28 hari dan mortalitas di rumah sakit secara statistik sama antara kelompok yang mendapat activated protein C dan kelompok kontrol, sementara angka perdarahan serius serupa dengan yang dijumpai pada uji klinis PROWESS.

Pada suatu subkelompok pasien yang baru menjalani pembedahan (dalam 30 hari sebelumnya) dan memiliki satu disfungsi organ, pasien-pasien yang mendapat activated protein C memiliki mortalitas 28 hari lebih tinggi daripada yang mendapat plasebo (21 % vs. 14 %), suatu outcome yang

Page 182: Sepsis

177

menentang penggunaan activated protein C pada subkelompok ini. Juga mencemaskan bahwa hasil dari uji klinis ADDRESS gagal mengkonfirmasi observasi yang dilakukan pada uji PROWESS dalam menurunkan mrotalitas pada pasien dengan skor APACHE II 25 atau lebih tinggi, walaupun jumlah pasien pada kelompok ini terlalu kecil untuk perbandingan statistik yang berarti, dan pasien-pasien ini sudah dikategorikan sebagai risiko rendah .

Beberapa uji klinis lain yang diselesaikan baru-baru ini memberikan wawasan penting . Evaluasi farmakoekonomi dari activated protein C dalam terapi sepsis berat dan skor APACHE II > 25 , mendapatkan bahwa activated protein C relatif cost-effective.7 Follow-up jangka panjang yang dilakukan setelah uji PROWESS mendapatkan bahwa kelompok dengan skor APACHE II >25 memiliki survival lebih baik sampai 2,5 tahun.8 Suatu uji klinis terbuka (ENHANCE) dari activated protein C pada sepsis berat mendapatkan perdarahan serius dengan terapi (6,5 %, dibandingkan 3,5 % pada PROWESS) serta angka perdarahan intrakranial lebih tinggi (1,5 %, dibandingkan 0,2 % pada PROWESS).9 Uji lklinis pada pasien anak dengan sepsis berat dihentikan setelah kira-kira 400 pasien direkrut, sekali lagi karena tidak ada hasil.

Jadi apa yang disimpulkan oleh hasil-hasil uji klinis ini untuk dokter yang menghadapi pasien dengan sepsis berat— apakah pasien yang membutuhkan dukungan vasopresor dan pasien ALI dan gagal paru yang memerlukan ventilasi mekanis bisa memperoleh manfaat dari activated protein C? Keputuan FDA pada tahun 2001 benar. Berdasarkan uji klinis fase 3 tersamar ganda acak (PROWESS), activated protein C didapatkan memiliki efektifitas dalam menurunkan mortalitas pada pasien sepsis berat. Karena manfaatnya terbatas pada pasien dengan skor APACHE II > 25 , obat ini hanya disetujui untuk pasien demikian. Uji klinis ADDRESS mengkonfirmasikan bahwa khasiatnya kurang pada pasien dengan skor APACHE II < 25. Uji ENHANCE dan kajian pada anak memastikan bahwa perdarahan merupakan risiko bermakna dengan activated protein C. Dengan disetujuinya activated protein C pada 2001, Jay Siegel dari FDA menulis bahwa badan ini berharap menyelamatkan jiwa dengan terapi activated protein C dan mengumpulkan informasi yang perlu untuk memperbarui indikasi lebih lanjut5 .

Page 183: Sepsis

178

Referensi

1. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 2004;32:858-873. [Erratum, Crit Care Med 2004;32:1448, 2169-70.] [CrossRef]

2. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein C for severe sepsis. N Engl J Med 2001;344:699-709.

3. Ely EW, Laterre PF, Angus DC, et al. Drotrecogin alfa (activated) administration across clinically important subgroups of patients with severe sepsis. Crit Care Med 2003;31:12-19. [CrossRef][ISI]

4. Warren HS, Suffredini AF, Eichacker PQ, Munford RS. Risks and benefits of activated protein C treatment for severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:1027-1030.

5. Siegel JP. Assessing the use of activated protein C in the treatment of severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:1030-1034.

6. Abraham E, Laterre P-F, Garg R, et al. Drotrecogin alfa (activated) for adults with severe sepsis and a low risk of death. N Engl J Med 2005;353:1332-1341.

7. Manns BJ, Lee H, Doig CJ, Johnson D, Donaldson C. An economic evaluation of activated protein C treatment for severe sepsis. N Engl J Med 2002;347:993-1000.

8. Angus DC, Laterre PF, Helterbrand J, et al. The effect of drotrecogin alfa (activated) on long-term survival after severe sepsis. Crit Care Med 2004;32:2199-2206.

9. Vincent JL, Bernard GR, Beale R, et al. Drotrecogin alfa (activated) treatment in severe sepsis from the global open-label trial ENHANCE: further evidence for survival and safety and implications for early treatment. Crit Care Med (in press).

Page 184: Sepsis

179

DUKUNGAN NUTRISI Pendahuluan

Dalam dua dekade terakir dukungan nutrisi telah muncul sebagai komponen vital dari manajemen integral pasien sakit kritis. Dukungan nutrisi yang optimal bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien sepsis. Namun, hanya sedikit uji klinis yang meneliti peran nutrisi pada pasien sepsis. Oleh karena itu, rekomendasi pada bab ini dibuat berdasarkan 1) bukti terbaik dari riset preklinis dan 2) ekstrapolasi dari pasien sakit kritis tanpa sepsis 3) data uji klinis yang terbatas pada pasien sepsis. Lingkup bahasan dibatasi hanya pada route pemberian, timing, komposisi dan dosis serta kontroversi seputar arginin.

Cara (Route) Pemberian

Pada pasien kritis penggunaan TPN (total parenteral nutrition) telah dikaitkan dengan insiden infeksi, komplikasi dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan nutrisi enteral (EN)1

Keunggulan-keunggulan EN bisa diringkas sbb:

1) meningkatkan aliran darah splansnik dan utilisasi nutrien serta mencegah iskemia usus. Dengan mempertahankan integritas usus, nutrisi enteral mencegah translokasi bakteri 2,3 2) memulihkan aliran darah arteri hepatik dan mesenteri superior dan vena porta. Ini,selanjutnya memulihkan oksigenasi jaringan dan cadangan ATP hati4 . 3) meningkatkan cardiac index, ekskresi insulin dan utilisasi glukosa 5 . 4) memperbaiki imbang nitrogen, meningkatkan sistem imun, dan mengurangi respon hipermetabolik 2,3

Pada kajian banding antara pemberian intragastrik dan postpilorik, didapat kesimpulan jika pasien tidak ada risiko tinggi untuk aspirasi, selang nasogastrik atau orogastrik cukup aman digunakan pada pasien sakit kritis dengan sepsis 6 Obat prokinetik atau promotilitas (misal domperidon) sebaiknya diberikan pada pasien dengan volume residual lambung tinggi.

Page 185: Sepsis

180

Timing

Banyak pasien sepsis diterapi dengan obat vasopresor dalam upaya memelihara tekanan arteri yang adekuat dan memperbaiki perfusi jaringan, sehingga banyak yang salah sangka bahwa pasien yang mendapat vasopresor tidak boleh diberikan nutrisi enteral, dengan dalih nutrisi enteral bisa menyebabkan iskemia atau infark usus pada pasien demikian1 .Akhirnya pemberian nutrisi enteral sering ditunda sampai bebeberapa hari . Pada pasien yang baru masuk RS dalam keadaan hemodinamik belum stabil dan memerlukan resusitasi untuk mendapatkan MAP (mean arterial pressure) yang adekuat biasanya memerlukan waktu sekitar 6 jam, nutrisi enteral ditangguhkan dulu. Dengan kata lain, nutrisi enteral bisa dimulai paling cepat 6 jam 1,7 . Namun, pendekatan ini tidak berlaku untuk pasien dengan penyakit obstruksi pembuluh mesenteri karena berisiko iskemia usus.

Pasien sakit kritis sering mengalami gastroparesis, sehingga bising usus bekurang atau tidak terdengar. Oleh karena itu,banyak klinisi yang menunda 5 sampai 7 hari sampai memulihnya pengosongan lambung dan bising usus. Berdasarkan meta-analisis, nutrisi enteral sebaiknya dimulai dalam 12 jam pasien masuk ICU 8

Komposisi Nutrien

Diketahui akhir-akhir ini, banyak suplemen nutrisi spesifik bisa memodulasi respon biologis terhadap trauma(injury), peradangan dan infeksi. Beberapa di antaranya glutamin, arginin, asam lemak omega 3 dan antioksidan glutation. Dari pemahaman ini lahirlah beberapa produk yang disebut Immune-Enhancing Formula (IEF). Kadang-kadang disebut juga Immune Enhancing Diet atau Imunonutrisi. Karena produk IEF yang satu berbeda dengan yang lain baik dari segi komposisi dan konsentrasi, klinisi harus jeli dalam menginterpretasikan bahwa hasil uji klinis suatu produk tidak bisa diekstrapolasikan kepada produk lain. Berikut adalah contoh produk IEF.

Page 186: Sepsis

Berikut adalah aksi spesifik dari masing-masing komponen imunonutrisi.

Glutamin : asam amino non-esensial yang disintesis otot dan dilepas ke sirkulasi. Memiliki fungsi-fungsi: 1. Bahan bakar utama untuk enterosit dan GALT (gut associated lymphoid tissue). Pada sakit kritis, sintesis glutamin tidak bisa mengimbangi kebutuhan9 . 2. Prekursor untuk sintesis glutation, suatu antioksidan penting

Arginin:Biasanya dianggap asam amino nen-esensial.Namun pada pasien kritis dapat menjadi esensial. Aksi biologis meliputi:stimulasi hormon pertumbuhan, prekursor nitric oxide (NO) dan dibutuhkan untuk sintesis hidroksiprolin dan fungsi limfosit 10,11,12 . Dewasa ini arginin menjadi zat yang kontroversial pada sepsis dan rekomendasi terakhir cenderung menentang penggunaan arginin untuk sepsis13 . Namun, bisa saja suatu saat arginin kembali digunakan pada sepsis bila bukti klinis yang ada mendukung. Berikut adalah kontroversi seputar arginin.

181

Page 187: Sepsis

182

Argumentasi Yang menentang Arginin untuk Sepsis

• Arginin meningkatkan respon pro-inflamasi pada pasien sepsis dan “menambah bensin ke api” 14-16

• NO diduga menyebabkan depresi miokard yang khas pada sepsis. Di dalam sel otot jantung, NO berikatan dengan guanilat siklase yang diaktifkan untuk melepas cGMP (3’,5’-cyclic monophospate). cGMP mengambat influks Ca++ yang dirangsang beta-adrenergik dan menurunkan afinitas organela kontraktil terhadap Ca++ . 17,18

• NO dapat langsung merusak sel melalui pembentukan radikal oksigen. Dengan adanya anion superoksida, NO membentuk peroksinitrit, suatu oksidan poten yang merusak asam nukleat, protein dan lipid 19,20

• Inducible nitric oxide synthase (iNOS) dalam keadaan normal tidak aktif. Berbagai mediator radang yang dilepas selama sepsis, khususnya interleukin-1, TNF-a ,interferon dan PAF sendiri-sendiri atau bekerjasama bisa mencetuskan transkirpsi dan translasi iNOS. Suplementasi arginin meningkatkan pembentukan NO pada sepsis. Oleh karena itu ada kesan bahwa arginin akan meningkatkan kerusakan jaringan dan mortalitas pada sepsis 14,15,21

Argumentasi Yang mendukung Arginin untuk Sepsis

• Walaupun arginin dibutuhkan untuk sintesis reseptor sel T dan untuk proliferasi dan fungsi limfosit, arginin dapat membatasi respon inflamasi dan jejas terkait dengan meningkatkan produksi NO 22,23

• Semakin banyak data yang memberi kesan bahwa NO merupakan mediator anti-inflamasi dan regulator dari aliran darah mikrosirkulasi padasepsis. NO telah diperlihatkan menyebabkan down-

Page 188: Sepsis

183

regulation ekspresi molekul adhesi sel endotel (E-selectin) serta sitokin-sitokin pro-inflamasi(IL-6 dan IL-8) 24-48

• NO menghambat aktivasi NF-kB 24,26 • NO mengurangi ekspresi TF (tissue factor) 29,30 • NO menghambat adhesi dan agregasi trombosit ke

endotel. 30,32 • NO menghambat ekspresi MHC class II yang

berperan dalam aktivasi endotel. Penghambatan MHC-II ini dapat menjelaskan aksi anti-inflamasi NO 33

Dan terpenting lagi, sepsis adalah suatu keadaan di mana terjadi defisit arginin.

Omega 3: Asam lemak omega-3 eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat yang berasal dari minyak ikan biasanya ditambahkan. Penambahan proporsi omega3:omega6 memiliki banyak manfaat biologis. Namun pada sakit kritis, yang terpenting adalah efek-efeknya terhadap leukotrien dan prostaglandin. Secara umum mediator inflamasi yang berasal dari omega3 lebih sedikit bersifat inflamasi dan imunosupresif 34,35,36

Antioksidan: Antioksidan endogen cepat terkuras pada pasien sepsis, dan kadar antioksidan rendah berkaitan dengan disfungsi organ dan mortalitas yang meningkat 37-,39 . Zat-zat antioksidan yang dianjurkan untuk ditambahkan ke IEF adalah selenium, glutation, flavonoid quercetin. Sumber flavonoid antara lain bawang merah, brocolli, apel, teh dan anggur merah. 39-41

Permissive Underfeeding pada Sepsis

Saat ini rekomendasi asupan kalori NPC 25-30 kcal/kg/hari dan asupan protein 1 – 1,5 g/kg/hari didasarkan atas estimasi pemakaian energi. Tidak ada data yang memberi kesan adanya manfaat mengejar kalori dengan pemakaian energi yang diukur dengan indirect calorimetry. Kajian eksperimental memberi kesan bahwa pemberian nutrisi yang sama dengan pemakaian energi bisa mengeksaserbasi peradangan dan meningkatkan mortalitas 42 Mungkin ini relevan pada pasien

Page 189: Sepsis

184

sepsis. Walaupun asupan nutrisi penuh dapat optimal mendukung sintesis protein dan pertumbuhan, ini juga bisa merangsang proses merugikan, seperti virulensi bakteri, pelepasan sitokin, peradangan dan konsumsi energi 42 Temuan ini telah mengarahkan konsep permissive underfeeding. 42 Sudah ada satu uji klinis acak, prospektif dan terkontrol di mana 40 pasien rawat-inap diberikan nutrisi parenteral hipokalorik (1000 kcal/hari; 70 g protein/hari) atau PN standar (25 kcal/kg/jari dan protein 1.5 g/kg/hari). Sesuai yang diantisipasi, imbang nitrogen lebih negatif pada kelompok undernutrisi. Secara umum, tidak ada perbedaan bermakna pada komplikasi non-infeksi, lama rawat dan mortalitas. Namun, kelompok dengan PN standar lebih banyak mengalami infeksi (11 dari 20 versus 7 dari 20) . Sampai ada kajian lebih lanjut, logis jika membatasi asupan kalori NPC 20 kcal/kg/hari dan asupan protein 1 g/kg/hari. 43

Referensi:

1. Heyland DK, MacDOnald S, Keele L, Drover JW: Total parenteral nutrition in the critically ill patients. A meta-analysis. JAMA 1998;280:2013-2019

2. Hadfield RJ, Sinclair DG, Houldswort PE, Evans TW: Effects of enteral and parenteral nutrition on gut mucosal permeability in the critically ill. Am J Respir Crit Care Med 1995;152:1545-1548

3. Kompan L, Kremzar B, Gadzijev E, Prosek M: Effects of early enteral nutrition on intestinal permeability and development of multiple organ failure after multiple injury. Intensive Care Med 1999;25:157-161

4. Kazamias P, Kotzampassi K, Koutogiannis D, Elefteriadis E: Influence of enteral nutrition-induced splanchnic hyperemia on the septic origin of splanchnic ischemia. World J Surg 1998;22:6-11.

5. Revelly JP, Tappy L, Berger MM et al: Early metabolic ans splanchnic responses to enteral nutrition in postoperative cardiac surgery patients with circulatory compromise. Intensive Care Med 2001;27:540-547.

6. Marik PE, Zaloga G: Gastric vs postpyloric feeding? A systematic review. Crit Care 2000;28:2657-2659

7. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et al: Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and Septic Shock. N Engl J Med 2001;345:1367-1377

8. Marik PE, Zaloga GP: Early enteral nutrition in acutely ill patients: A systematic review.it Care Med 2001;29:2264-2270

9. Andrews FJ, Griffiths RD: Glutamine: Essential for immune nutrition in the critically ill. Br J Nutr 2002;87(suppl I):S3-S8

10. Efron D, Barbul A: Role of Arginine in immunonutrition. J Gastroenterol 2000;35(suppl 12):20-23

11. Evoy D, Lieberman MD, Fahey TJ, Daly JM: Immunonutrition: The role of arginine. Nutrition 1998;14:611-617.

12. Kirk SJ, Barbul A: Role of arginine in trauma, sepsis and immunity. JPEN J Parenter Enteral Nutr 1990;14:226S-229

Page 190: Sepsis

185

13. Heyland DK, Dhaliwal R, Drover JW, Gramlich L, Dodek P, et al. Canadian Practice Guidelines for Nutrition Support in Mechanically Ventilated Critically Adults Patients JPEN Journal of Parent Enteral Nutr Canadian Guideline

14. Heyland DK: Immunonutrition in the critically ill: Putting te cart before the horse? Nutr Clin Pract 2002;17:267-272

15. Suchner U, eyland DK, Peter K: Immuno-modulatory actions of arginine in the critically ill. Br J Nutr 2002;87(SUppl I):S121-132

16. Marik PE: Cardiovascular dysfunction of sepsis. A NO* and L-arginine deficient state? Crit Care Med 2003;31:971-973

17. Kumar S, Haery C, Parrillo JE: Myocardial dysfunction in septic shock. Crit Care Clin 2000;16:251-287

18. Kumar A, Brar R, Wang P, et al: Role of Nitric Oxide and cGMP in human septic serum-induced depression of cardiac myocyte contractility. Am J Physiol 1999;276:R265-R276

19. Unno N, Menconi M, Smith M, Fink MP: Nitric oxide mediates interferon-Y-induced hypermeability in cultered human intestinal epitelial monolayers. Crit Care Med 1995;23:1170-1176

20. Unno N, Wang , Menconi MJ, et al: Inhibition of inducible nitric oxide synthase ameliorates endotoxin-induced gut mucosal barrier dysfunction in rats. Gastroenterology 1997;113:1246-1257

21. Bruins MJ, SOeters PB, Lamers WH, et al: L-arginine supplementation in hyperdynamic response syndrome (SIRS): A prospective study. JAMA 1995;273:117-123

22. Ochoa JB, Strange J, Kearney P, et al: Effects of L-arginine on the proliferation of T lymphocyte subpopulations.JPEN J Parenter Enteral Nutr 2001;25:23-29

23. Taheri F, Ochoa JB, Faghiri Z, et al: L-arginine regulates the expression of T- cell receptor ? chain (CD3?) in Jurkat cells. CLin Cancer Res 2001;7:958s-965s

24. Peng HB, Spiecker M, Liao JK: Inducible nitric oxide: An Autoregulatory feedback inhibitor of vascular inflammation. J Immunol 1998;161:1970-1976

25. Spiecker M, Darius H, Kaboth K, et al: Differential regulation of endothelial cell adhesion molecule expression by nitric oxide donors and antioxidants. K Leukoc Biol 1998;63:723-739

26. Spiecker M, Peng HB, Liao JK: Inhibition of endothelial vascular cell adhesion molecule-1 expression by nitric oxide involves the induction and nuclear translocation of I?B?. J Biol Chem 1997;272:30969-30974

27. Meldrum DR, McIntyre RC, Sheridan BC, et al: L-Arginine decreases alveolar macrophage proinflammatory monokine production during acute lung injury by a nitric oxide synthase-dependent mechanism. J Trauma 1997;43:888-893.

28. Laroux FS, Lefer DJ, Kawachi S, et al: Role of nitric oxide in the regulation of acute and chronic inflammation. Antioxid Redox Signal 2000;2:391-396

29. Gerlach M, Keh D, Bezold G, et al: Nitric oxide inhibits tissue factor synthesis, expression and activity in human monocytes by prior formation of peroxynitrite. Intensive Care Med 1998;24:1199-1208.

30. Radomski MW, Moncada S: Regulation vascular homeostasis by nitric oxide. Trom aemost 1993;70:36-41

31. Radomski MW, Vallance P, Witley G, et al: Platelet adhesion to uman vascular endotelium is modulated by constitutive and cytokine-induced nitric oxide. Cardiovas Res 1993;27:1380-1382.

Page 191: Sepsis

186

32. Yao Sk, Ober JC, Krishnaswami A, et al: Endogenous nitric oxide protects against platelet aggregation and cyclic flow variations in stenosed and endothelium-injured arteries. Circulation 1992;86:1302-1309.

33. Pober JS, Collins T, Gimbrone MA Jr, et al: Lympocytes recognise human vascular endothelial and dermal fibroblast Ia antigens induced by recombinant immune interferon. Nature 1983;305:726-729.

34. Alexander JW: Immunonutrition: The role of omega-3 fatty acids. Nutrition 1998;14:627-633.

35. Zaloga G, Marik P: Lipid modulation and systemic inflammation.it Care Clin 2001;17:201-218.

36. Grimm H, Mayer K, Mayser P, Eigenbrodt E: Regulatory potential of n-3 fatty acids in immunological and inflammatory processes. Br J Nutr 2002;87(sippl I):S59-S67.

37. Cowley HC, Bacon PJ, Goode HF, et al: Plasma antioxidant potential in severe sepsis: A comparison of survivors and nonsurvivors. Crit Care Med 1996;24:1179-1182.

38. Goode HF, Cowley HC, Walker BE, et al: Decreased antioxidant status and icnreased lipid peroxidation in patients with septic shock and secondary organ dysfunction. Crit Care Med 1995;23:646-651.

39. Goode HF, Webster NR: Free radicals and antioxidants in sepsis.Crit Care Med 1993;21:17770-1775.

40. Hertog MG, Hollman PC, Katan MB: Content of potentially anticaercinogenic flavonoids of 28 vegetables and 9 fruits commonly consumed in the Netherlands. J agric Food Chem 1992;40:2379-2383.

41. Hertog MG, Hollman PC, van de Putte B: Content of potentially anticarcinogenic flavonoids in tea infusions, windes and fruit juices. J Agr Food Chem 1993;1242-1246

42. Zaloga GP, Roberts P: Permissive underfeeding. New Horiz 1994;2:257-263.

43. Marik PE. Nutritional Support in Patients with Sepsis. In Rolandelli RH: Enteral and Tube Feeding. Elserviers Saunders. 2005;373-380

Page 192: Sepsis

187

REFERENSI UMUM 1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for

sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. Chest. 1992;101:1644-1655. Abstract

2. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858-873. Abstract

3. National Center for Health Statistics. National Vital Statistics Reports. Table E: deaths and percentage of total deaths for the ten leading causes of death, by race: United States, 2001. National Center for Health Statistics. 2003;52:9. Available at : http://www.cdc.gov/nchs/data/dvs/nvsr52_09p9.pdf Accessed January 11, 2005.

4. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J, Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit Care Med. 2001;29:1303-1310. Abstract

5. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, et al. Epidemiology of sepsis syndrome in 8 academic medical centers. Academic Medical Center Consortium Sepsis Project Working Group. JAMA. 1997;278:234-240. Abstract

6. Hotchkiss RS, Karl IE. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. New England Journal Of Medicine.Volume 348:138-150 January 9, 2003 Number 2

7. Bellig LL, Ohning BL. Neonatal Sepsis. emedicine.com 8. Maki DG. Skin as a source of nosocomial infection:

directions for future research. Infect Control.1986; 7(suppl 2):S113 –S117

9. Beghetto MG, Victorino J, Teixeira L, de Azevedo MJ. Parenteral Nutrition as a Risk Factor for Central Venous Catheter–Related Infection.Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, Vol. 29, No. 5, 2005 367-373

10. Schrier RW, Wang W. Acute Renal Failure and Sepsis. New England Journal Of Medicine.Volume 351:159-169 July 8, 2004 Number 2

Page 193: Sepsis

188

11. Genuit T. Peritonitis and Abdominal Sepsis. emedicine.com

12. Gobel BH. Disseminated Intravascular Coagulation in Cancer: Providing Quality Care Topics in Advanced Practice Nursing eJournal 2(4), 2002. © 2002 Medscape

13. Tambunan KL, Sudoyo AW, Mustafa I, Pudjiadi A, Khie Chen, Govinda A, Sukrisman L. Konsensus Nasional Koagulasi Intravaskular Diseminata (DIC) pada Sepsis 2001

14. Nasraway SA.The Problems and Challenges of Immunotherapy in Sepsis (Chest. 2003;123:451S-459S.)

15. Marik PE. Nutritional Support in Patients with Sepsis. In Rolandelli RH: Enteral and Tube Feeding. Elserviers Saunders. 2005;373-380

Page 194: Sepsis

189

INDEKS abses peritoneum 93,95,98,100,109,114 Acute tubular necrosis 24,55,65,66,73,85,90,94 ADDRESS 176,177 albumin 40,45,54,55,67,76,90,104,129,140,148 ALI (acute lung injury) 86,90,91,175,185 aminoglikosida 40,97,111,112 anergi 14,15 angiotensin 49,50,52,53,5,56,57,60 annexin II 126,135 antiendotoksin 12,80 antitrombin III 129,131 APACHE II, skor 82,147,153,175,176,177 apendisitis 95,106,109,113,114 APL lihat leukemia apoptosis 14,15,18,22,23,24,74,91,153,156,157,158 APTT 5,75,88,104,131 araknoiditis 35 ARDS 17,19,21,23,48,51,67,72,75,82,127,175 ARF 48,49,51,63,64,65 Arginin 179,181 asidosis 34,52,84,85,89,90,104,125,128,129,132,138,145,146 ATN (acute tubular necrosis) 55,65,73,85,90 AVP (arginine vasopressin) 65,67 CARS (compensated anti-inflammatory Response Syndrome) 90 caspase 23, 60,68 cGMP 53,56,57,182,185 Chaos theory 84,91 Clostridium difficile 105,151 CMV (cytomegalovirus) 26,3,32,41,105 Crohn, penyakit 94,95,100,114-116,119 CRRT (continuous renal replacement therapy) 64 Cytokine storm 10 D-dimer 88,128,133,138 DIC (koagulasi intravascular diseminata) 122-127,132,134,139 divertikulitis 96,94,95,106,114 dobutamin 62,92,141,142,143,145 dopamine 77,78,79,141-143,149 drainase 2,18,42,75,88,99,103,104,109,113,115,175 drotrecogin 3,61,147,175-178 DVT (trombosis vena dalam) 122,151 EACA (amicar) 132 edema paru 49,51,54,55,76,140,141 EGDT (early goal directed therapy) 154,155 EN (enteral nutrition) 47,184,187 endothelin 49,67,91 endotoksemia 50,51,55,56,57,58,60,61,64,165 ENHANCE 177,178 enterokolitis nekrotikan (NEC) 27,31,105 FFP (fresh frozen plasma 130 Fibrin degradation product (FDP) 122,125,127-130,133

Page 195: Sepsis

190

fibrinolisis 61,122,123,125,126,129,130,132,134,175 fibronectin 28 fludrokortison 63,156 gagal ginjal akut 8,9,48,49-55,58 GALT (gut associated lymphoid tissue) 181 GBS (group B streptococcus) 25,26,28-31,34-36,41 G-CSF 17,18,41,43,162 gentamicin 144 Glutamine 181,184 hemodialisis 3,64 hemofiltrasi 51,62,64 heparin 130,131 hibernasi sel 18,19 hidrokortison 63,65,146,156,170,175 hiperbilirubinemia 5,40 hiperkarbia 19,75 hiperkloremik 89,90 hiperlaktataemia 5,87 hipoglikemia 34,36,105,153 hipoksemia 5,19,33,141 hipotermia 34,84,86,102 hipovolemia intravascular 102 IEF (immune enhancing formula) 180,183 immunoglobulin 28 imunostimulan 12,156 Imunosupresi 12,16,28,74,103,136,151,183 iNOS 52,56,57,60,153,163,168,173,182 insulin 62,69,90,153,157,179 interferon 12,13,23,182,185,186 Interleukin 10-13,17,20-23,60,85,101,123,156,160,173 intravenous immunoglobulin (IVIG) 39,41 kapsul subkutan Guyton 54 kaskade pembekuan darah 10,80,101,122,124,126,152,161,162,167 katekolamin 49,63,136,137,155 KATP channel 52,53 khemoprofilaksis 31 koagulopati 5,61,74,90 koloid 76,89,129,140,141,154 komplemen 28,41,61,84,125,126,156 kortikosteroid 10,50,80,136,146,155,156,162,175 kortisol 3,63,155,156 laktat 5,34,52,78,84,87,89,129,145,146,154 leukemia 125,126,133,135 leukositosis 4,18,32,84,103,104 levophed 140,142 Lewis Thomas, teori 10,15 limfosit 14,15,18,35,37,157,181,182 lipopolisakarida 12,16,56,57,60,61,80,85,161,163 luka baker 13,14,77,156 MAP (mean arterial pressure) 5,62,77,79,86,139,143,147,154,169,180 MARS (mixed antagonist response syndrome) 91 mean platelet volume (MPV) 36,38 meningitis 25,29,30,34-36,38,39,41,43,144 meningococcemia 11,19,125

Page 196: Sepsis

191

methylene blue 146,149 methylprednisolone 20,82,155 metilprednisolon 155 lihat juga methylprednisolone minoxidil 54 MODS 4,5,70,71,82,84,85,88,89,90,91,148,167 MONARCS 58 naloxone 147,149 natrium bikarbonat 146 neutropenia 37,38,43,77 nitric oxide 49,50,52,53,56-58,60,66,68,71,185 NK (sel natural killer) 14.28 norepinefrin 77,78,141-143 normal saline 54, 90 oliguria 5,75,84,86,87,102,138 opsonin 28,96 PAOP (pulmonary artery occlusion pressure) 76 peritoneovenous shunt 127,133 peritonitis 11,14,21,93,94,96,98-102,105,107,115,118,119,121,157,158,188 plasmin 122,125,126,128,129,134,135 plasminogen 125,126,129,134 pneumonia 17,24-26,32-34,38,46,72,86,96,144,158 polimorfisme genetic 17 PROM (premature rupture of membrane) 31,43 PROWESS 61,175,176,177 RAAS 50 radikal bebas 57,58 RDS (respiratory distress syndrome) 32,33,39 reaksi transfuse 126,133,141 resusitasi cairan 76,77,78,79,89,90,107,136-141,154,155,167,180 ringer asetat76,129 ringer laktat 76 SBP (peritonitis bakteri spontan) 96,98,99,103,106,111 SCVO2 154,155 Sel T CD4 12,13,15,22,60,156 sepsis kateter 44 septicemia 2,27,70 sitokin anti-inflamasi 12,14,16,136 sitokin pro-inflamasi 13,14,16,136,183 Starling forces 54 syok 80,81,84,87,90,95,102,103,125,128,136 TF (tissue factor) 123,125,183 TLRS (toll-like receptors) 11,17 TNF 10,11,12,16,17,56,57,58,68,160,161 TPN (total parenteral nutrition) 46,179 tranexamic acid 132,135 trauma 13,14,22,32,39,86-88 trombin 74,122,124,125,152 tromboemboli 131 trombositopenia 5,36-38,74,121,131,138 vankomisin 40 Vasopresin arginin lihat AVP

Page 197: Sepsis