semprop_2008_syk.pdf
TRANSCRIPT
-
PROPOSAL PENELITIAN
PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PARTNERSHIP
DALAM PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN
Bambang Sayaka I Wayan Rusastra Rosmijati Sajuti
Dewa K. Swastika Supriyati
Wahyuning K. Sejati Adang Agustian
Juni Hestina Yana Supriyatna
Iwan Setiaji Anugrah Roosgandha Elizabet
Ashari Jefferson Situmorang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Departemen Pertanian
2008
-
1
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemasaran produk pertanian bagi petani skala kecil umumnya merupakan titik
kritis dalam rantai agribisnis. Pemerintah hanya dapat sedikit memfasilitasi dalam hal
pemasaran. Misalnya, untuk pembelian hasil panen padi petani hanya disediakan dana
sekitar tujuh persen dari total hasil panen. Dalam hal pemasaran sayuran, pemerintah
menyediakan sarana transaksi berupa sentral terminal agribisnis (STA) yang fungsinya
belum efektif. Dampaknya adalah harga yang diterima petani masih relatif rendah.
Pasar produk pertanian berkembang pesat seiring dengan peningkatan
pendapatan masyarakat. Semula petani umumnya menjual kepada pedagang
pengumpul yang kemudian dijual ke pasar tradisional dimana konsumen membeli
produk pertanian. Pasar tradisonal dicirikan oleh biaya operasional yang relatif rendah,
marjin dari transaksi relatif kecil, hubungan pembeli dan penjual sangat erat, penjualan
dalam volume kecil, dan adanya jejaring sosial. Pasar produk pertanian sekarang
mengalami perkembangan yang pesat, yaitu menjadi pasar modern antara lain dengan
hadirnya super market di berbagai daerah. Ciri pasar modern antara lain produknya
terdiferensiasi misalnya ditandai dengan merek dagang, keamanan dan mutu produk,
standardisasi, pasokan yang terjamin, kerjasama penjual dan pemasok berdasarkan
kontrak, pemanfaatan teknologi penyimpanan dan teknologi informasi, dan manajemen
yang handal (INA, 2007).
Pertumbuhan supermarket akan mengikuti perkembangan klaster penduduk
dengan golongan pendapatan tinggi yang membutuhkan kenyamanan dan pelayanan
yang lebih baik serta mampu membayar dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Dalam
periode 1997-2003 penjualan supermarket meningkat jauh lebih cepat dibandingkan
pasar tradisional (15% versus 5%) dan pangsa retail modern meningkat-menjadi 29.6%
pada tahun 2004, dan diperkirakan mencapai 35% pada tahun 2007 (Rangkuti, 2004;
Nielsen, 2004). Khusus untuk pembelian buah-buahan segar (termasuk mangga),
sebagian besar konsumen perkotaan (85%) melakukan pembelian di pasar tradisional,
dengan alasan utama harga yang lebih murah. Nampak jelas bahwa peran pasar
tradisional akan tetap dominan, sehingga upaya secara berkelanjutan di dalam
membenahi struktur dan infrastruktur pemasaran perlu terus dilakukan, agar bagian
harga yang diterima petani tetap memadai.
Terkait dengan potensi replikasi inovasi bahasan tantangan dan kebijakan
antisipatif kedepan akan diawali dengan deskripsi faktor pendorong munculnya pasar
modern. Di Indonesia, seperti halnya di negara berkembang, kehadiran dan dinamika
pasar modern disebabkan oleh faktor-faktor berikut (Chen et.al, 2005; Shepherd, 2005):
-
2
(a) Pertumbuhan pendapatan dan urbanisasi serta dukungan sarana transportasi dan
penyimpanan pangan (refrigerators); (b) Perubahan preferensi konsumen yang dipicu
oleh peningkatan partisipasi angkatan kerja wanita dan kebutuhan standar kwalitas dan
keamanan pangan; (c) Perubahan kebiasaan makan konsumen dalam bentuk
kemudahan penyiapan dan peningkatan permintaan produk siap-saji; (d) Peningkatan
pengembangan infrastruktur seperti perkembangan jalan tol, teknologi retail dan logistik;
(e) Tingkat margin yang rendah dan kompetisi yang tinggi dari rantai pasok
multinasional dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi pasar modern; dan
(f) Perubahan demografi, budaya, dan sosial yang diindikasikan oleh peningkatan
proporsi generasi muda, perubahan struktur keluarga (nuclear family), dan gaya hidup
golongan muda (westernization of lifestyle).
Pertumbuhan pasar modern di kawasan Asia berlangsung relatif cepat, dimana
pada tahun 2002 pangsa pasar hortikultura (buah-buahan dan sayur sayuran) berkisar
antara 10 persen di China sampai dengan 45 persen di Malaysia (Shepherd, 2005). Di
Indonesia, tahun 2004, pangsa pasar retail modern diperkirakan mencapai 29.6 persen,
(Nielsen, 2004). Perlu dicatat bahwa penjualan produk segar di pasar modern jauh lebih
rendah dibandingkan pangan olahan (packaged product). Tanpa memperhitungkan
Jepang, nilai pembelian pangan olahan konsumen perkotaan Asia di pasar modern
mencapai sekitar 40 persen (Nielsen, 2003 dalam Chen et.al, 2005). Walaupun
demikian, sebagian besar konsumen perkotaan di kawasan Asia (80-90%) secara
reguler melakukan pembelian produk segar buah-buahan dan sayur-sayuran di pasar
tradisional, dengan alasan utama harga lebih murah dan kesegaran produk yang lebih
baik.
Kehadiran pasar modern merupakan tantangan/ancaman dan sekaligus peluang
bagi petani kecil dengan penjelasan sebagai berikut (lFPRI, 2003): (a) Supermarket
membutuhkan volume produk pertanian yang relatif besar dengan kwalifikasi
konsistensi kualitas dan kwantitas yang tinggi; (b) Pertumbuhan supermarket
memberikan peluang usaha yang baik bagi petani besar, terorganisasi dengan baik,
dan dengan tingkat efisiensi yang tinggi; (c) Karena tuntutan kompetisi (kwalitas, harga,
dan konsistensi), supermarket mengembangkan sistem pengadaan barang yang tidak
mudah dimasuki petani kecil; (d) Petani menghadapi persoalan pengambilan keputusan
yang kompleks pada aspek produksi, penjualan, sistem pembayaran dan sertifikasi
produk, (e) Keterbatasan infrastruktur (fisik dan kelembagaan) yang dihadapi petani
dalam distribusi pemasaran dan adanya kompetisi pengadaan melalui impor; (f) Bagi
petani yang mampu memenuhi standar kwalitas dan memiliki kemampuan (skill) serta
teknologi terkait dengan sistem pengadaan pasar modern, akan memperoleh
keuntungan dan bahkan sebagai batu loncatan memasuki pasar global.
-
3
Disamping itu; terdapat beberapa potensi konflik antara pasar modern dengan
pasar konvensional (akses pasar dominan bagi petani kecil) (Reardon dan Hopkins,
2006), dengan narasi ringkas sebagai berikut (a) Supermarket menawarkan harga
yang lebih murah (price war), terkait adanya difusi pasar, tipe produk, dan sistem
pengadaan modern; (b) Supermarket menawarkan tingkat kenyamanan yang lebih baik
(convenience war), yang direfleksikan oleh adanya efisiensi biaya transaksi (search,
transport, purchase) dalam pembelian sejumlah komoditas di pasar modern; (c)
Supermarket menawarkan jaminan kwalitas dan keamanan produk (quality and safety
war), yang didukung oleh manajemen rantai pasok yang handal dan penampilan produk
yang dipasarkan (signaling).
Menurut Monstier et.al. (2005) beberapa kebijakan antisipatif yang dapat
dipertimbangkan diantaranya adalah: (a) Penguatan kelembagaan asosiasi petani
dalam rangka pemantapan program pelatihan, efektivitas pemanfaatan kredit, dan
program kontrol keamanan pangan; (b) Pengembangan kontrol keamanan pangan
dengan mempertimbangkan "poor-friendly system of participatory certification", melalui
dukungan komitmen petani produsen dan konsumen dalam implementasinya; (c)
Pelatihan teknis terkait dengan upaya perbaikan kwalitas produksi dan teknologi
produksi "off-season" dengan sasaran perluasan peluang pemasaran; (d) Penyediaan
kredit program melalui organisasi petani, sehingga dimungkinkan adopsi teknologi
dengan lebih baik untuk mencapai target produksi sesuai dengan dinamika permintaan
pasar modern; (e) Penguatan pengetahuan petani tentang sistem kontrak yang
berkaitan dengan aspek penyaluran input, pemasaran output dan sistem penangan
risiko; (f) Dukungan aksesibilitas, fasilitas penyimpanan, grading/sortasi, dan fasilitas
wholesale lainnya; dan (g) Identfikasi peluang pasar baru bagi petani di daerah
marginal/terisolir melalui dukungan organisasi produksi dan pemasarannya.
1.2. Permasalahan dan Justifikasi Penelitian
Petani pada umumnya menghadapi struktur pasar yang oligopolistik dalam
pembelian sarana produksi. Produsen pupuk, pestisida, dan benih didominasi oleh
perusahaan-perusahaan besar yang masing-masing jumlah produsennya relatif sedikit.
Harga eceran sarana produksi relatif mahal dan bagi petani dianggap given, walaupun
pemerintah berusaha membantu melalui subsidi pupuk (Urea) dan benih (padi). Di sisi
lain, petani mengahadapi struktur pasar hasil pertanian yang oligopsoni. Umumnya
petani tidak bisa menjual hasil pertaniannya langsung kepada konsumen. Pedagang
pengumpul yang di tiap wilayah pertanian jumlahnya tidak banyak merupakan pembeli
hasil panen petani lalu menyalurkannya kepada pedagang besar, pengecer, dan
-
4
konsumen akhir. Kondisi ini relatif tidak menguntungkan bagi petani dan keuntungan
lebih banyak dinikmati pedagang.
Secara umum produk pertanian mempunyai sifat musiman (seasonal), mudah
rusak (perishable), dan memakan banyak tempat (voluminous). Kondisi produk
pertanian tersebut sangat sensitif terhadap sistem pemasaran yang tidak efisien. Sistem
pemasaran konvensional dengan keterlibatan pelaku yang banyak cenderung tidak
efisien dan akan menghambat perkembangan usaha.
Perkembangan pasar modern dengan tingkat kompetisi yang semakin ketat,
membutuhkan reorientasi sistem pemasaran, dengan mendekatkan hubungan
produsen dan pasar akhir. Dalam hal ini muncul peranan pihak ketiga sebagai
penghela, dengan sasaran membangun keterkaitan produsen dan pasar yang efektif,
efisien, adil dan transparan.
Antisipasi dampak yang muncul dengan adanya sistem partnership dalam
pemasaran ini diantaranya adalah sistem pemasaran menjadi lebih efisien, bagian
harga yang diterima produsen meningkat, harga produk yang dibayar konsumen
menurun, dan terjadi peningkatan produksi/produk serta perluasan pasar. Dari
semuanya ini diharapkan ketahanan pangan meningkat dan tingkat kemiskinan dapat
ditekan.
Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi, menganalisis kinerja, biaya,
manfaat, serta antisipasi replikasi dari kelembagaan partnership (program penghela)
dalam pemasaran pertanian menurut subsektor/komoditas. Sistem dan pelaku
agribisnis diharapkan bekerja menurut hukum ekonomi yang ada, dan pemerintah
bertindak sebagai regulator dan fasilitator, tanpa harus mengintervensi sistem yang
ada.
1.3. Tujuan dan Keluaran Penelitian
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: :
1. Mengidentifikasi kelembagaan partnership (program penghela atau sejenisnya)
dalam pemasaran menurut sub-sektor/ komoditas pertanian;
2. Menganalisis kinerja kelembagaan partnership terpilih (best practice) menurut
subsektor/komoditas pertanian;
3. Menganalisis biaya-manfaat kelembagaan pemasaran introduksi (partnership) vs
pemasaran konvensional menurut sub-sektor/ komoditas pertanian
4. Merumuskan antisipasi dan prospek replikasi dan pengembangan kelembagaan
partnership terpilih menurut sub- sektor/ komoditas pertanian.
-
5
Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tersusun dan teridentifikasinya sejumlah kelembagaan partnership dalam
pemasaran komoditas pertanian.
2. Terbangun dan termanfaatkannya informasi tentang kinerja kelembagaan
partnership terpilih (best practice) dalam pemasaran komoditas pertanian.
3. Terbangun dan termanfaatkannya informasi biaya-manfaat kelembagaan introduksi
(partnership) vs sistem pemasaran konvensional komoditas pertanian.
4. Terbangun dan termanfaatkannya kebijakan strategis dalam upaya pengembangan
dan replikasi kelembagaan partnership terpilih dalam pemasaran komoditas
pertanian.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Kerjasama antara pedagang untuk memasarkan hasil panen kelompok tani ke
pasar modern dapat dijumpai di berbagai daerah. Rusastra (2006) melaporkan tentang
kemitraan antara kelompok tani mangga dengan Bimandiri sebagai perantara ke pasar
modern (Carrefour). Dinamika kelembagaan pengembangan agribisnis mangga dapat
dibedakan menjadi tiga tahapan dengan pola dan kinerja yang berbeda, yaitu:
(a) Periode sebelum 2003 (tidak kurang dari lima tahun), diawali dengan program
kemitraan langsung Bimandiri dengan petani; (b) Pada tahun 2003 (sampai dengan
bulan September), kerjasama Sygenta (produsen pestisida) melalui "Farmer Supporting
Team"nya (FST) melakukan pembinaan langsung dengan petani yang tergabung dalam
paguyuban Bina Usaha, yang selanjutnya dialihkan menjadi kelompok Aspirasi; dan
(d) Periode 2004-sekarang, terbentuknya Model Kemitraan Bisnis Bimandiri (MKB2),
yang merupakan kerjasama antara Bimandiri dengan Kelompok Usaha Bersama
Mandiri (KUBM) yang merupakan pecahan dari Aspirasi.
Model I: (Bimandiri-Petani) mengalami kegagalan karena adanya permasalahan
manajemen koordinasi dan konsolidai dengan petani kecil yang tidak terorganisir,
kegagalan pengembalian pinjaman oleh petani, instabilitas pasokan dan kualitas
produk, pengingkaran komitmen, dan lain-lain. Bimandiri gagal melakukan pembinaan
petani dan mengalami kerugian finansial dan reputasi sebagai pemasok pasar modern.
Model II: (Sygenta-Aspirasi) juga mengalami kegagalan karena dominasi motif
penyaluran dan perdagangan input pertanian (pestisida), tanpa pembinaan on-farm dan
pemasaran yang memadai.
Model III: (Bimandiri-KUBM), tetap bertahan sampai sekarang dan mampu
menjamin pasokan kepada pasar modern (Carrefour) dengan mengembangkan prinsip
transparansi margin.
-
6
Perkembangan ketiga model menunjukkan adanya pergeseran dari petani kecil
tidak terorganisasi, Aspirasi yang kurang solid, dan KUBM dengan infrastruktur dan
manajemen organisasi yang kuat. Pergeseran dari Aspirasi menjadi KUBM
menunjukkan adanya eksklusi. Bimandiri memilih KUBM dalam menjamin pasokan dan
reputasinya ke Carrefour. Carrefour dengan alasan utama efektivitas manajemen dan
jaminan pasokan, menjalin hubungan dengan Bimandiri sebagai pemasok andal dan
terpercaya.
Di Desa Asem Doyong, Pemalang, Jawa Tengah, model kemitraan
Bimandiri/Bimandiri Partnership Model (BPM, petani-KUBM-pasar modern/via
Bimandiri), merupakan satu-satunya rantai pasok yang memiliki akses ke supermarket
(Carrefour). Kehadiran BPM membuat pasar mangga semakin kompetitif dan
meningkatkan posisi tawar petani. Beberapa tantangan yang perlu dibenahi dalam
upaya memantapkan kelembagaan BPM ini diantaranya adalah: (a) Memantapkan
partisipasi petani dalam pengambilan keputusan transparansi margin antara KUBM dan
Carrefour; (b) Memantapkan posisi KUBM dan keberlanjutan model kemitraan ini tanpa
keikutsertaan Bimandiri; (c) Meyakinkan dan memantapkan manfaat dan dampak
teknis, ekonomis, dan sosial dari sistem panen selektif (sistem petik) dibandingkan
dengan sistem tebas; (d) Pemantapan pelaksanaan sistem pembayaran "cash and
carry" kepada petani; dan (e) Memperkuat kelembagaan organisasi petani dalam
pengambilan keputusan sistem transparansi margin dengan sasaran memantapkan dan
keberlanjutan koordinasi rantai pasok pasar modern. Disamping pemantapan BPM,
sejalan dengan perkembangan pasar modern, perlu dilakukan pemberdayaan
kelembagaan pemasaran konvensional untuk dapat akses dan memperoleh manfaat
dari perkembangan pasar modern.
Lembaga lain yang juga bekerjasama dengan petani kecil, khususnya petani
hortikultura, yaitu INA (Indonesian Netherlands Association), untuk membantu
memasarkan produk petani ke pasar modern. Lembaga ini beroperasi sejak Januari
2005 dan telah melakukan kerja sama, yaitu sebanyak 16 kemitraan di 17
kabupaten/kota yang tersebar di 7 provinsi di Indonesia (INA, 2007).
Dukungan yang diberikan oleh INA meliputi penguatan kelembagaan dan
manajemen petani, membantu menyiapkan rencana usaha, mebantu akses ke lembaga
pembiayaan, memabntu meningkatkan kemampuan negosiasi, memperbaiki teknik
budidaya, memperkenalkan teknologi tepat guna yang inovatif, memperbaiki mutu hasil,
mengurangi dampak lingkungan, membantu pemasaran hasil, dan membantu
menghubungkan petani denga pembeli. Sebanyak 1.913 orang yang tergabung dalam
99 kelompok bermitra dengan 25 perusahaan dan didukung oleh 39 lembaga riset
termasuk perguruan tinggi.
-
7
Beberapa kemitraan yang telah didukung oleh INA antara lain:
1) Pengenalan Teknologi Produksi Bersih dan Aman untuk Wortel untuk Memenuhi
Pelanggan Pasar Modern, yaitu Kemitraan antara Koperasi Tani Pesantren Al Ittifaq,
Balitsa, ITB, dan Makro di Bandung, Jawa Barat.
2) Perbaikan Kemitraan Hortikultura Bali Fresh, yaitu Kemitraan antara 5 Pusat
Pembelajaran Praktis Hortikultura, Universitas Djuanda, Universitas Warmadewa,
WUR Netherlands, PUM, PT DIF Nusantara di 4 Kabupaten di Bali.
3) Perbaikan Produksi dan Kualitas Sayuran di Kabupaten Enrekang melalui
Pengembangan Pertanian Ekologis dan Akses Pasar, yaitu Kemitraan antara Pusat
Koperasi Agribis Latimojong, Universitas Hassanuddin, Balai Sertifikasi Benih
Tanaman Pangan dan Hortikultura Maros, PUM Netherlands, dan Makro Makassar
di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.
4) Peningkatan Kualitas Produk Delapan Sayuran Dataran Tinggi dengan Input
teknologi Budidaya Rumah Plastik, yaitu Kemitraan antara Paguyuban Petani
Merbabu sebanyak 21 kelompok tani anggota dengan KSU Gardu Tani Mandiri
(GATARI), UD Sari Alam Jogja, BPTP Jogja, Mitra Supplier Sayuran Hadi di 2
Kabupaten di Jawa Tengah.
5) Kemitraan untuk Membangun Kekuatan Bersama Menuju Kesejahteraan, yaitu
Kemitraan antara Petani di Kupang dengan pemasar Agribio Iptekda dan difasilitasi
oleh Yayasan Peduli Lingkungan serta beberapa tenaga ahli dari Politeknik
Pertanian Kupang dan Universitas Cendana di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
6) Kemitraan untuk Mangga Gedong Gincu, yaitu Teknologi Panen di Luar Musim
Kemitraan Kelompok Tani Buah Segar dengan pemasar SS Fresh Fruit ke jejaring
supermarket dan pasar ekspor di kabupaten Cirebon, Jawa Barat.
INA melalui HPSP membuka bagi semua pihak yang ingin mendukung
pengembangan kemitraan antara petani sayur/buah dengan pasar modern. Syarat
kemitraan tersebut harus dilandasi kesepakatan yang transparan, yang meliptui unsur
produsen utama/petani dan sektor swasta/perusahaan pemasar/penjual produk, ada
kejelasan pembagian peran dan tanggung jawab, aktif dalam bidang usaha sayuran dan
atau buah-buahan. Pihak yang diijinkan mengajukan usul adalah kelompok tani,
pedagang swasta, atau lembaga yang menjembatani kemitraan.
Manfaat yang akan diperoleh dari kemitraan tersebut adalah: (i) Fasilitasi
terbatas pengembangan usulan kegiatan kemitraan yang akan diajukan ke HPSP,
(ii) Dukungan untuk melaksanakan kegiatan kemitraan yang disetujui oleh HPSP, dan
(iii) Akses ke jejaring nasional dan internasional HPSP dan INA untuk promosi,
informasi dan layanan lainnya. Secara umum penilaian usulan didasarkan pada:
(i) Bentuk dan kualitas kemitraan, (ii) Inovasi kegiatan yang bermuatan aplikasi
-
8
pengetahuan, teknologi dan ketrampilan praktis, (iii) Kelayakan tim pengelola, dan
(iv) Perkiraan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan terutama untuk produsen
utama/petani.
Berbagai kemitraan melalui kontrak antara pedagang/pembeli dengan
petani/produsen juga dijumpai untuk komoditas selain hortikulutura. Misalnya, PT Nestle
di Jawa Timur bekerjasama dengan petani sapi perah melalui GKSI (Gabungan
Koperasi Susu Indonesia) dalam pembelian susu segar. Di Jawa Timur terdapat
berbagai kemitraan yang meliputi komoditas tanaman pangan (padi, kedelai, jagung,
ubikayu) di Pasuruan, Malang, Gresik, Lamongan, Magetan, Tulungagung, Ngawi,
Blitar, Tuban, Nganjuk, Banyuwangi, Sampang, Pamekasan, Sumenep; hortikultura
(sayur dan buah) di Pasuruan, Probolinggo, Kediri, Magetan, Jember, Sampang,
Malang, Batu, Gresik, Pacitan, Trenggalek; tanaman industri (tebu, tembakau, kelapa,
kapas, coklat, empon-empon, sengon dan bambu) di Malang, Probolinggo, Kediri,
Bondowoso, Jember, Pacitan, Kediri, Bondowoso, dan Magetan; ternak (ayam dan sapi
perah) di Bojonegoro, Malang, Pasuruan, Blitar, Malang, Probolinggo, dan perikanan di
Kediri, Probolinggo, Banyuwangi, Blitar (Andri, 2006).
Dinas Pertanian Kota Pematang Siantar (2006), Sumatera Utara, pada bulan
September 2006 memfasilitasi kerjasama pemasaran tanaman pangan antara PT Bumi
Sari Prima dengan 3 (tiga) kelompok tani di Kelurahan Tambun Nabolon dan Sumber
Jaya, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematang Siantar. Tujuan dari kegiatan
Fasilitasi Temu Usaha dan Kerjasama Pemasaran Tanaman Pangan tersebut adalah:
(i) agar petani memahami komoditas yang diinginkan oleh pasar dan pengusaha
termasuk kualitas yang diperlukan; (ii) agar pedagang dan pengusaha lebih mudah
memperoleh komoditas yang diperlukan secara kontinyu dan sesuai dengan volume
yang diinginkan; (iii) membuat iklim usaha yang menguntungkan bagi petani melalui
kemitraan; dan (iv) membantu petani memperoleh pasar yang lebih pasti bagi
komoditas pertanian yang mereka hasilkan.
PT Bumi Sari Prima bergerak di bidang pabrik tapioka memerlukan bahan baku
ubi kayu jenis Adira sebanyak 600 ton per hari dan sudah lima tahun terakhir kebutuhan
bahan baku tersebut tidak terpenuhi karena pihak perusahaan hanya mendapat
pasokan 200 ton per hari. Pemasok ubi kayu ke PT Bumi Sari Prima selain berasal dari
Kota Pematang Siantar juga berasal dari Kabupaten Simalungun, Toba, Asahan dan
Dairi dengan harga beli Rp 300 /kg. PT Bumi Sari Prima bersedia membeli ubikayu dari
petani dengan syarat ubi dipanen minimal umur 10 bulan dengan kadar pati 20 persen,
varietas baik, kadar potongan kurang dari 10 persen, dan petani tidak ada ikatan
dengan pabrik pengolahan tapioka lainnya. Delivery Order diberikan kepada
-
9
petani/pedagang untuk tertib adminitrasi bagi petani/pedagang yang akan menjual
ubikayu ke PT Bumi Sari Prima.
Pemerintah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, melalui Perusahaan Dagang
Pelopor Alam Lestari (PD PAL) membantu memasarkan beras organik yang
dibudidayakan petani setempat. Pada tahun 2006 di Kabupaten Sragen terdapat 1.450
ton lahan sawah yang ditanami pada organik dengan hasil gabah sebanyak 7.975 ton..
Varietas padi organik yang dikembangkan di Kabupaten Sragen antara lain IR-64,
Mentik Wangi, dan C-64. PD PAL didirikan dengan tujuan menyangga harga gabah di
Kabupaten Sragen. Kerjasama dengan petani padi organik dimulai sejak tahun 2001.
Tujuan pemasaran beras organik adalah Semarang, Solo, Jakarta, Surabaya dan
Denpasar. Di kabupaten Sragen juga terdapat Persusahaan Beras (PB) Padi Mulya
yang menjalin kerjasama pemasaran padi organik dengan 13 kelompok tani yang
jumlah anggotanya mencapai 500 orang petani. PB Padi Mulya menyediakan lahan
untuk digarap petani dan memberi bantuan teknis. Petani harus menjual seluruh hasil
panen kepada PB Padi Mulya (Pemkab Sragen, 2007).
Pada tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Bantul juga mulai membantu
memasarkan beras organik yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Harapan Serut
Palbapang Bantul ke Pasar Jakarta (Pemkab Bantul, 2006). Pada tahun 2007
Pemerintah Kabupaten Cianjur sudah melakukan panen pilot proyek padi organik
dengan system of rice intensification (SRI) seluas 7,5 hektar yang didukung oleh
MEDCO. Selanjutnya MEDCO berkomitmen akan mengembangkan padi SRI organik
seluas 10.000 ha di seluruh Indonesia. MEDCO akan memberi bantuan modal dan
bimbingan teknis serta pemasaran bagi kelompok tani yang mengembangkan padi SRI
organic. Dalam hal ini MEDCO akan mengajak BRI, Bank Agro dan Bank Saudara
untuk membantu menyediakan modal bagi petani (Pemkab Cianjur, 2007).
Saptana dkk. (2006) melaporkan hasil penelitian tentang kelembagaan
kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura di Jawa Tengah (melon dan semangka),
dan Jawa Barat (kentang). Pola kemitraan di Jawa Tengah adalah kelompok tani
dengan perusahaan pemasaran. Mitra pemasaran petani wajib menyediakan bibit
melon/semangka unggul, menyediakan sarana produksi lainnya termasuk modal kerja,
dan memasarkan hasil panen. Petani atau kelompok tani wajib melakukan budidaya
semangka/melon secara baik termasuk melaporkan jadwal tanam dan panen, serta
memasarkan semua hasil panen kepada pedagang mitra. Sedangkan pola kemitraan di
Jawa Barat adalah antara PT Indofood Fritolay Makmur (IFM) dengan kelompok tani
kentang. Petani mendapat bantuan kredit bibit kentang dan penetapan harga panen
disepakati antara kelompok tani dengan PT IFM sebelum tanam. Walaupun demikian
petani merasa bahwa harga beli bibit kentang relatif mahal dan luas tanam dibatasi oleh
-
10
PT IFM. Secara umum manfaat yang diperoleh petani yang bermitra adalah relatif
stabilnya harga jual dibanding tanpa kerjasama pemasaran.
Contoh lain bentuk kemitraan pemasaran adalah antara produsen benih dengan
kelompok tani penangkar benih. Produsen benih padi, benih jagung komposit/hibrida,
maupun benih kedelai memberi modal dan sarana produksi serta bimbingan teknis
kepada petani penangkar. Salah satu syarat yang disepakati adalah petani penangkar
menjual seluruh hasil calon benih yang dihasilkan kepada produsen benih dengan
harga yang telah disepakati. Produsen benih padi meliputi BUMN (PT Sang Hyang Seri
dan PT Pertani) maupun produsen swasta. Produsen benih jagung meliputi BUMN,
perusahaan multinasional (BISI, Pioneer, Monsanto, Syngenta), dan produsen lokal.
Sedangkan produsen benih kedelai umumnya produsen lokal karena pasar benih
kedelai relatif kecil sehingga produsen benih BUMN dan multinasional tidak tertarik
untuk masuk ke industri benih. Harga jual panen dari petani penangkar lebih tinggi dari
harga biji padi, jagung, dan kedelai yang digunakan untuk konsumsi. Produsen akan
memberi sangsi yang tegas jika petani penangkar melanggar perjanjian, misalnya tidak
menjual seluruh hasil panen calon benih kepada produsen benih (Sayaka dkk., 2006).
-
11
III. METODA PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian ini mengacu pada konsep pembinaan rantai
produksi-pemasaran yang dikembangkan oleh C.V. Bimandiri (dedicated supplier). CV
Bimandiri berlokasi di kabupaten Lembang dan bergerak dalam komoditas sayuran,
buah buahan, dan palawija (Rivai dan Hidayat, 2007).
Bimandiri adalah salah satu pemasok ke pasar modern (Hypermarket). Dalam
perkembangannya ada suatu pola saling ketergantungan antara Bimandiri dengan
petani dan kelompok tani yang menyediakan bahan baku. Ada suatu kebutuhan bagi
Bimandiri untuk selalu menjaga hubungan yang saling menguntungkan, mengontrol
pola tanam serta kualitas produksi sumber bahan baku dari petani dan kelompok tani.
Saling ketergantungan tersebut berkaitan dengan rantai pasok dan pemasaran yang
sudah terbentuk antara produsen (petani dan kelompok tani) Bimandiri-Hypermarket
sebagai tujuan pasar. Kemampuan produksi petani menentukan ketersediaan bahan
baku. Tingkat kesejahteraan petani menjadi perhatian karena akan menentukan
kemampuan mereka mengelola produksi.
Dalam pembinaan Bimandiri melakukan pendekatan dua arah. Petani dengan
target pola produksi serta pasar untuk pengenalan produk dan pembentukan image
(Gambar 1).
Gambar 1. Pola pembinaan dalam rantai produksi-pemasaran, model
Bimandiri, Lembang, Jawa Barat
Dari diagram tampak semua rantai yang terkait saling memberikan kontribusi
pembinaan terhadap sektor produksi. Supplier dan pasar yang berada di hilir tidak bisa
berdiri sendiri dan berharap supply akan baik kualitas dan cukup kuantitasnya tanpa
pembinaan terhadap produsen di hulu. Rantai ini akan kuat apabila semua mata rantai
merasakan keuntungan dan keadilan dari usaha tersebut.
Produsen Supplier
TK1 PASAR
MODERN Pemasok
Besar
P E M B I N A A N
-
12
Rantai pemasaran yang konvesnional saat ini cenderung tidak efisien (Gambar
2). Terlalu banyak mata rantai tambahan antara produsen dan konsumen akhir.
Akibatnya tingkat harga konsumen akhir cenderung tinggi sedangkan harga dari
produsen cukup rendah. Selisih margin yang ada tidak dinikmati oleh petani produsen.
Efek lain dari harga akhir yang tinggi menyebabkan jumlah serapan produk tidak
maksimal. Hal ini akan membatasi peluang penambahan jumlah penanaman atau
produksi.
Gambar 2. Komparasi rantai pemasaran konvensional dengan model Bimandiri sebagai Penghela, Lembang, Jawa Barat
Rantai pemasaran secara umum menempatkan banyak pihak perantara hingga
rantai jadi panjang. Pihak penghela dalam hal ini adalah stakeholder yang mempunyai
visi kemitraan yang baik sehingga diharapkan dapat mengganti para perantara tersebut.
Pihak penghela akan bertindak sebagai pembina dalam pola produksi, pengawasan
kualitas serta penjaminan pasar yang stabil. Dengan demikian diharapkan terjadi
pembagian keuntungan yang seimbang dan relatif lebih tinggi untuk setiap mata rantai
yang semakin pendek.
Produsen dalam memasarkan hasil produksinya perlu membentuk kelompok.
Kelompok ini diharapkan akan bersifat aliansi dari beberapa kepentingan petani
sehingga akan memudahkan pemasaran yang dilakukan. Beberapa keuntungan
pembentukan aliansi adalah rantai distribusi semakin pendek dan efisien, aliansi
mempunyai peluang dalam pengendalian harga, daya tekan terhadap pasar semakin
kuat, serta efisien dalam pengembangan produk. Sifat dari suatu aliansi sendiri
haruslah dibentuk berdasarkan kepentingan bersama serta adanya transparansi
managemen.
PRODUSEN PERANTARA 1-4 Rantai pemasaran secara umum
KONSUMEN
PRODUSEN PIHAK PENGHELA Rantai pemasaran lebih baik
KONSUMEN
-
13
3.2. Kebutuhan dan Analisis Data
(1) Tujuan 1: Identifikasi kelembagaan partnership dalam pemasaran menurut sub-sektor/komoditas.
Sub-sektor yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah tanaman pangan
dan palwija. Pada tahun 2008 diharapkan dapat ditangani dua komoditas, yaitu:
Komoditas padi organik dan salah satu komoditas palawija unggulan. Pada tahun
berikutnya (2009) akan diteliti masing-masing satu komoditas untuk sub-sektor
hotikulturan dan peternakan.
Dalam konteks identifikasi kelembagaan ini data yang dibutuhkan adalah:
(1) Identifikasi jenis dan pola partnership yang ada di sektor pertanian; (2) Identifikasi
kinerja umum dari kelembagaan partnership; (3) Identifikasi penghela (dedicated
supplier), kelompok petani peserta, persyaratan peserta, kewajiban/kewenangan dan
hak pihak terkait, pemanfaatan subsidi publik, dan lain-lain; (4) Pemilihan pola
partnership yang dinilai prospektif dan memiliki peluang replikasi ke depan.
Analisis data bersifat deskriptif (kuantitatif) dan kualitatif melalui pengungkapan
keragaan, permasalahan, persepsi, dan perspektif kedepan secara teknis, ekonomi,
sosial, dan kelembagaan.
(2) Tujuan 2: Analisis kinerja kelembagaan partnership terpilih.
Kebutuhan data dan informasi mencangkup: (1) Kinerja dan antisipasi
kelembagaan pemenuhan teknologi software (IPTEK dan Informasi); (2) Kinerja dan
antisipasi kelembagaan pemenuhan masukan utama usaha tani; (3) Kinerja dan
antisipasi kelembagaan pemenuhan tenaga kerja dalam usaha tani; (4) Kinerja dan
antisipasi kelemabagaan pemenuhan modal usaha; dan (5) Kinerja dan antisipasi
kelembagaan introduksi pemasaran hasil produksi.
Analisis data: analisis komparasi pola introduksi vs pola konvensional. Analisis
mencangkup pola pemenuhan kebutuhan terkait dengan kegiatan usahatani dengan
mempertimbangkan sumber perolehan (petani, pemerintah, pasar) dan efektivitasnya
dari sisi 5 tepat (volume, waktu, tempat, harga dan kwalitas, antisipasi kelembagaan
introduksi menurut aktifitas dengan mempertimbangkan kinerja efektifitas, motivasi
ekonomi, dan tingkat komunalitas petani.
(3) Tujuan 3: Analisis biaya/manfaat kelembagaan pemasaran introduksi (pathership sysytem) Kebutuhan data dan informasi: (1) Data input-output usahatani : (2) Data jalur
pemasaran, harga, dan biaya pemasaran; (3) Perkembagangan partisipasi petani, luas
usaha, produktifitas dan produksi usahatani; dan (4) Kinerja efisien produksi dan
pemasaran komoditas yang diteliti.
-
14
Analisis data: (1) Analisis struktur biaya, pendapatan dan efisiensi usahatani;
(2) Analisis jalur dan margin pemasaran; (3) Analisis keragaan, masalah dan persepsi
peningkatan kinerja produksi, pemasaran dan peningkatan kesejahteraan petani.
(4) Tujuan 4: Antisipasi dan prospek replikasi kelembagaan partnership model. Kebutuhan data dan informasi: (1) Prakondisi yang dibutuhkan untuk replikasi;
(2) Peranan dari pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang dibutuhkan;
(3) Bentuk dan format replikasi; dan lain-lain.
Analisis data: deskriptif dengan mempertimbangkan persepsi dan referensi
terkait dengan antisipasi replikasi dan prakondisi/dukungan yang dibutuhkan.
3.3. Lokasi dan Responden Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Jawa dan Luar Jawa dengan pola kerjasama
pemasaran tanaman pangan dan palawija. Pemilihan kelembagaan partnership akan
didasarkan pada kelembagaan yang sudah ada dan telah memiliki dampak, sehingga
bisa dirumuskan antisipasi implikasinya.
Responden penelitian akan meliputi: (1) Pihak penghela (dedicated supplier);
(2) Pihak managemen kelompok tani; (3) Petani inklusif (yang terlibat dalam program
partnership); (4) Petani ekslusif (yang pernah masuk tetapi keluar dari program
partnership); dan (5) Pasar akhir (dynamic market) dari komoditas yang dihasilkan
dalam program partnership.
IV. PERENCANAAN OPERASIONAL
4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Bulan Kegiatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Persiapan dan penyusunan Proposal
2. Pengumpulan data
3. Verifikasi data
4. Pengolahan data
5. Analisis data
6. Penulisan laporan
7. Seminar/Workshop
8. Perbaikan
9. Penggandaan laporan
-
15
DAFTAR PUSTAKA
Andri, K.B. 2006. Melihat Potensi dari Sistem Usaha Tani Kontrak. Inovasi Online Vol.7/XVIII/Juni 2006. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=182
Chen, K., A.W. Shepherd, and C. da Silva. 2005. Change in Food Retailing in Asia:
Implication of Supermarket Procurement Practice for Farmers and Traditional Marketing Systems. Agricultural Management, Marketing and Finance Service, Food Agriculture Organization, Rome, Italy.
Dinas Pertanian Kota Pematang Siantar. 2006. Laporan Pelaksanaan Fasilitasi Temu
Usaha dan Kerjasama Pemasaran Tanaman Pangan Di Parbina Puri International Hotel Pematang Siantar, Tanggal 15 September 2006. Pematang Siantar.
IFPRI. 2003. Will Supermarket be Super for Small Farmers? http://www.
ifpri.org/pnbs/newsletters/ifpriforum/IF200312.htm. INA (Indonesian Netherlands Association). 2007. Program Dukungan Kemitraan Usaha
Hortikultura Antara Petani Produsen Kecil Dengan Perusahaan. Jakarta. www.ina.or.id/inaweb/hpsp.php
Monstier, P., D. The Anh, H.B. An, V.T. Binh, M. Fignie, Ng. T.T. Loc, P.T.G. Tam.
2005. The Participation of the Poor in Supermarkets and Other Distribution Value Chains. Discussion Paper No. 11, Asian Development Bank, Manila. www.markets4poor.org.
Pemkab Bantul. 2006. Bantul Jual Beras Organik ke Pasar Jakarta.
http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-125.html. 15 Agustus 2006. Pemkab Cianjur. 2007. Kepala Negara Ajak Masyarakat Kembangkan Padi SRI
Organik. www.cianjur.go.id/content/isi_link_berita_daerah.php? modul=convert_to_pdf&bid=198
Pemkab Sragen. 2007. Beras Organik. http://marketing.sragenkab.go.id/
berasorganik.html Rangkuti, F.Y. 2004. Indonesia Retail Food SectorReport 2004. GAIN Report No.
ID3028. USDA Foreign Agricultural Services. Jakarta. Reardon, T. and R. Hopkins. 2006. The Supermarket Revolution in Developing
Countries. Policies to Address Emerging Tension among Supermarket. Suppliers and Traditional Retailer. European Journal of Development Research, Vol.18 No.4, December 2006.
Reardon, T., J.A. Bardeque, C.P. Timmer, T. Cabot, D. Mainville, L. Flores, R.
Hernandez, D. Neren, F. Balserich. 2006. Links among Supermarket, Wholesalers, and Small Farmers in Developing Countries: Conceptualization and Emerging Evidence. United States Agency for International Development (USAID) and Department for International Development (DFID) via Regoverning Market Projects.
Rivani, A. dan D. Hidayat 2007. Keterkaitan Petani dengan Pemasaran: Kesejahteraan
Petani dan Pengentasan Kemiskinan. CAPSA Monograph No.49, UNCAPSA-CAPSA , Bogor.
-
16
Rusastra, I.W. 2006. Field Note: Linking Mango Farmers to Dynamic Market though Transparant Margin Partnership Model. CAPAS, UNPAD, Bandung and UNESCAPCAPSA, Bogor.
Saptana, A. Agustian, H. Mayrowani, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan
Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Laporan Teknis.
Sayaka, B., I Ketut Kariyasa, Waluyo, Tjetjep Nurasa, dan Y. Marisa. 2006. Kajian
Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Laporan Teknis.
Shepherd, A.W. 2005. The Implication of Supermarket Development for Horticultural
Farmers and Traditional Marketing System in Asia. Agricultural Management, Marketing and Finance Service, Food Agriculture Organization, Rome, Italy.