semprop_2008_syk.pdf

17
 PROPOSAL PENELITIAN PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PARTNERSHIP  DALAM PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN Bambang Sayaka I Wayan Rusastra Rosmijati Sajuti Dewa K. Swastika Supriyati Wahyuning K. Sejati  Adang Agustian Juni Hestina Yana Supriyatna Iwan Setiaji Anugrah Roosgandha Elizabet  Ashari Jefferson Situmorang Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2008

Upload: yrsubakti

Post on 08-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PROPOSAL PENELITIAN

    PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PARTNERSHIP

    DALAM PEMASARAN KOMODITAS PERTANIAN

    Bambang Sayaka I Wayan Rusastra Rosmijati Sajuti

    Dewa K. Swastika Supriyati

    Wahyuning K. Sejati Adang Agustian

    Juni Hestina Yana Supriyatna

    Iwan Setiaji Anugrah Roosgandha Elizabet

    Ashari Jefferson Situmorang

    Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

    Departemen Pertanian

    2008

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Pemasaran produk pertanian bagi petani skala kecil umumnya merupakan titik

    kritis dalam rantai agribisnis. Pemerintah hanya dapat sedikit memfasilitasi dalam hal

    pemasaran. Misalnya, untuk pembelian hasil panen padi petani hanya disediakan dana

    sekitar tujuh persen dari total hasil panen. Dalam hal pemasaran sayuran, pemerintah

    menyediakan sarana transaksi berupa sentral terminal agribisnis (STA) yang fungsinya

    belum efektif. Dampaknya adalah harga yang diterima petani masih relatif rendah.

    Pasar produk pertanian berkembang pesat seiring dengan peningkatan

    pendapatan masyarakat. Semula petani umumnya menjual kepada pedagang

    pengumpul yang kemudian dijual ke pasar tradisional dimana konsumen membeli

    produk pertanian. Pasar tradisonal dicirikan oleh biaya operasional yang relatif rendah,

    marjin dari transaksi relatif kecil, hubungan pembeli dan penjual sangat erat, penjualan

    dalam volume kecil, dan adanya jejaring sosial. Pasar produk pertanian sekarang

    mengalami perkembangan yang pesat, yaitu menjadi pasar modern antara lain dengan

    hadirnya super market di berbagai daerah. Ciri pasar modern antara lain produknya

    terdiferensiasi misalnya ditandai dengan merek dagang, keamanan dan mutu produk,

    standardisasi, pasokan yang terjamin, kerjasama penjual dan pemasok berdasarkan

    kontrak, pemanfaatan teknologi penyimpanan dan teknologi informasi, dan manajemen

    yang handal (INA, 2007).

    Pertumbuhan supermarket akan mengikuti perkembangan klaster penduduk

    dengan golongan pendapatan tinggi yang membutuhkan kenyamanan dan pelayanan

    yang lebih baik serta mampu membayar dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Dalam

    periode 1997-2003 penjualan supermarket meningkat jauh lebih cepat dibandingkan

    pasar tradisional (15% versus 5%) dan pangsa retail modern meningkat-menjadi 29.6%

    pada tahun 2004, dan diperkirakan mencapai 35% pada tahun 2007 (Rangkuti, 2004;

    Nielsen, 2004). Khusus untuk pembelian buah-buahan segar (termasuk mangga),

    sebagian besar konsumen perkotaan (85%) melakukan pembelian di pasar tradisional,

    dengan alasan utama harga yang lebih murah. Nampak jelas bahwa peran pasar

    tradisional akan tetap dominan, sehingga upaya secara berkelanjutan di dalam

    membenahi struktur dan infrastruktur pemasaran perlu terus dilakukan, agar bagian

    harga yang diterima petani tetap memadai.

    Terkait dengan potensi replikasi inovasi bahasan tantangan dan kebijakan

    antisipatif kedepan akan diawali dengan deskripsi faktor pendorong munculnya pasar

    modern. Di Indonesia, seperti halnya di negara berkembang, kehadiran dan dinamika

    pasar modern disebabkan oleh faktor-faktor berikut (Chen et.al, 2005; Shepherd, 2005):

  • 2

    (a) Pertumbuhan pendapatan dan urbanisasi serta dukungan sarana transportasi dan

    penyimpanan pangan (refrigerators); (b) Perubahan preferensi konsumen yang dipicu

    oleh peningkatan partisipasi angkatan kerja wanita dan kebutuhan standar kwalitas dan

    keamanan pangan; (c) Perubahan kebiasaan makan konsumen dalam bentuk

    kemudahan penyiapan dan peningkatan permintaan produk siap-saji; (d) Peningkatan

    pengembangan infrastruktur seperti perkembangan jalan tol, teknologi retail dan logistik;

    (e) Tingkat margin yang rendah dan kompetisi yang tinggi dari rantai pasok

    multinasional dengan penguasaan pengetahuan dan teknologi pasar modern; dan

    (f) Perubahan demografi, budaya, dan sosial yang diindikasikan oleh peningkatan

    proporsi generasi muda, perubahan struktur keluarga (nuclear family), dan gaya hidup

    golongan muda (westernization of lifestyle).

    Pertumbuhan pasar modern di kawasan Asia berlangsung relatif cepat, dimana

    pada tahun 2002 pangsa pasar hortikultura (buah-buahan dan sayur sayuran) berkisar

    antara 10 persen di China sampai dengan 45 persen di Malaysia (Shepherd, 2005). Di

    Indonesia, tahun 2004, pangsa pasar retail modern diperkirakan mencapai 29.6 persen,

    (Nielsen, 2004). Perlu dicatat bahwa penjualan produk segar di pasar modern jauh lebih

    rendah dibandingkan pangan olahan (packaged product). Tanpa memperhitungkan

    Jepang, nilai pembelian pangan olahan konsumen perkotaan Asia di pasar modern

    mencapai sekitar 40 persen (Nielsen, 2003 dalam Chen et.al, 2005). Walaupun

    demikian, sebagian besar konsumen perkotaan di kawasan Asia (80-90%) secara

    reguler melakukan pembelian produk segar buah-buahan dan sayur-sayuran di pasar

    tradisional, dengan alasan utama harga lebih murah dan kesegaran produk yang lebih

    baik.

    Kehadiran pasar modern merupakan tantangan/ancaman dan sekaligus peluang

    bagi petani kecil dengan penjelasan sebagai berikut (lFPRI, 2003): (a) Supermarket

    membutuhkan volume produk pertanian yang relatif besar dengan kwalifikasi

    konsistensi kualitas dan kwantitas yang tinggi; (b) Pertumbuhan supermarket

    memberikan peluang usaha yang baik bagi petani besar, terorganisasi dengan baik,

    dan dengan tingkat efisiensi yang tinggi; (c) Karena tuntutan kompetisi (kwalitas, harga,

    dan konsistensi), supermarket mengembangkan sistem pengadaan barang yang tidak

    mudah dimasuki petani kecil; (d) Petani menghadapi persoalan pengambilan keputusan

    yang kompleks pada aspek produksi, penjualan, sistem pembayaran dan sertifikasi

    produk, (e) Keterbatasan infrastruktur (fisik dan kelembagaan) yang dihadapi petani

    dalam distribusi pemasaran dan adanya kompetisi pengadaan melalui impor; (f) Bagi

    petani yang mampu memenuhi standar kwalitas dan memiliki kemampuan (skill) serta

    teknologi terkait dengan sistem pengadaan pasar modern, akan memperoleh

    keuntungan dan bahkan sebagai batu loncatan memasuki pasar global.

  • 3

    Disamping itu; terdapat beberapa potensi konflik antara pasar modern dengan

    pasar konvensional (akses pasar dominan bagi petani kecil) (Reardon dan Hopkins,

    2006), dengan narasi ringkas sebagai berikut (a) Supermarket menawarkan harga

    yang lebih murah (price war), terkait adanya difusi pasar, tipe produk, dan sistem

    pengadaan modern; (b) Supermarket menawarkan tingkat kenyamanan yang lebih baik

    (convenience war), yang direfleksikan oleh adanya efisiensi biaya transaksi (search,

    transport, purchase) dalam pembelian sejumlah komoditas di pasar modern; (c)

    Supermarket menawarkan jaminan kwalitas dan keamanan produk (quality and safety

    war), yang didukung oleh manajemen rantai pasok yang handal dan penampilan produk

    yang dipasarkan (signaling).

    Menurut Monstier et.al. (2005) beberapa kebijakan antisipatif yang dapat

    dipertimbangkan diantaranya adalah: (a) Penguatan kelembagaan asosiasi petani

    dalam rangka pemantapan program pelatihan, efektivitas pemanfaatan kredit, dan

    program kontrol keamanan pangan; (b) Pengembangan kontrol keamanan pangan

    dengan mempertimbangkan "poor-friendly system of participatory certification", melalui

    dukungan komitmen petani produsen dan konsumen dalam implementasinya; (c)

    Pelatihan teknis terkait dengan upaya perbaikan kwalitas produksi dan teknologi

    produksi "off-season" dengan sasaran perluasan peluang pemasaran; (d) Penyediaan

    kredit program melalui organisasi petani, sehingga dimungkinkan adopsi teknologi

    dengan lebih baik untuk mencapai target produksi sesuai dengan dinamika permintaan

    pasar modern; (e) Penguatan pengetahuan petani tentang sistem kontrak yang

    berkaitan dengan aspek penyaluran input, pemasaran output dan sistem penangan

    risiko; (f) Dukungan aksesibilitas, fasilitas penyimpanan, grading/sortasi, dan fasilitas

    wholesale lainnya; dan (g) Identfikasi peluang pasar baru bagi petani di daerah

    marginal/terisolir melalui dukungan organisasi produksi dan pemasarannya.

    1.2. Permasalahan dan Justifikasi Penelitian

    Petani pada umumnya menghadapi struktur pasar yang oligopolistik dalam

    pembelian sarana produksi. Produsen pupuk, pestisida, dan benih didominasi oleh

    perusahaan-perusahaan besar yang masing-masing jumlah produsennya relatif sedikit.

    Harga eceran sarana produksi relatif mahal dan bagi petani dianggap given, walaupun

    pemerintah berusaha membantu melalui subsidi pupuk (Urea) dan benih (padi). Di sisi

    lain, petani mengahadapi struktur pasar hasil pertanian yang oligopsoni. Umumnya

    petani tidak bisa menjual hasil pertaniannya langsung kepada konsumen. Pedagang

    pengumpul yang di tiap wilayah pertanian jumlahnya tidak banyak merupakan pembeli

    hasil panen petani lalu menyalurkannya kepada pedagang besar, pengecer, dan

  • 4

    konsumen akhir. Kondisi ini relatif tidak menguntungkan bagi petani dan keuntungan

    lebih banyak dinikmati pedagang.

    Secara umum produk pertanian mempunyai sifat musiman (seasonal), mudah

    rusak (perishable), dan memakan banyak tempat (voluminous). Kondisi produk

    pertanian tersebut sangat sensitif terhadap sistem pemasaran yang tidak efisien. Sistem

    pemasaran konvensional dengan keterlibatan pelaku yang banyak cenderung tidak

    efisien dan akan menghambat perkembangan usaha.

    Perkembangan pasar modern dengan tingkat kompetisi yang semakin ketat,

    membutuhkan reorientasi sistem pemasaran, dengan mendekatkan hubungan

    produsen dan pasar akhir. Dalam hal ini muncul peranan pihak ketiga sebagai

    penghela, dengan sasaran membangun keterkaitan produsen dan pasar yang efektif,

    efisien, adil dan transparan.

    Antisipasi dampak yang muncul dengan adanya sistem partnership dalam

    pemasaran ini diantaranya adalah sistem pemasaran menjadi lebih efisien, bagian

    harga yang diterima produsen meningkat, harga produk yang dibayar konsumen

    menurun, dan terjadi peningkatan produksi/produk serta perluasan pasar. Dari

    semuanya ini diharapkan ketahanan pangan meningkat dan tingkat kemiskinan dapat

    ditekan.

    Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi, menganalisis kinerja, biaya,

    manfaat, serta antisipasi replikasi dari kelembagaan partnership (program penghela)

    dalam pemasaran pertanian menurut subsektor/komoditas. Sistem dan pelaku

    agribisnis diharapkan bekerja menurut hukum ekonomi yang ada, dan pemerintah

    bertindak sebagai regulator dan fasilitator, tanpa harus mengintervensi sistem yang

    ada.

    1.3. Tujuan dan Keluaran Penelitian

    Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut: :

    1. Mengidentifikasi kelembagaan partnership (program penghela atau sejenisnya)

    dalam pemasaran menurut sub-sektor/ komoditas pertanian;

    2. Menganalisis kinerja kelembagaan partnership terpilih (best practice) menurut

    subsektor/komoditas pertanian;

    3. Menganalisis biaya-manfaat kelembagaan pemasaran introduksi (partnership) vs

    pemasaran konvensional menurut sub-sektor/ komoditas pertanian

    4. Merumuskan antisipasi dan prospek replikasi dan pengembangan kelembagaan

    partnership terpilih menurut sub- sektor/ komoditas pertanian.

  • 5

    Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Tersusun dan teridentifikasinya sejumlah kelembagaan partnership dalam

    pemasaran komoditas pertanian.

    2. Terbangun dan termanfaatkannya informasi tentang kinerja kelembagaan

    partnership terpilih (best practice) dalam pemasaran komoditas pertanian.

    3. Terbangun dan termanfaatkannya informasi biaya-manfaat kelembagaan introduksi

    (partnership) vs sistem pemasaran konvensional komoditas pertanian.

    4. Terbangun dan termanfaatkannya kebijakan strategis dalam upaya pengembangan

    dan replikasi kelembagaan partnership terpilih dalam pemasaran komoditas

    pertanian.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Kerjasama antara pedagang untuk memasarkan hasil panen kelompok tani ke

    pasar modern dapat dijumpai di berbagai daerah. Rusastra (2006) melaporkan tentang

    kemitraan antara kelompok tani mangga dengan Bimandiri sebagai perantara ke pasar

    modern (Carrefour). Dinamika kelembagaan pengembangan agribisnis mangga dapat

    dibedakan menjadi tiga tahapan dengan pola dan kinerja yang berbeda, yaitu:

    (a) Periode sebelum 2003 (tidak kurang dari lima tahun), diawali dengan program

    kemitraan langsung Bimandiri dengan petani; (b) Pada tahun 2003 (sampai dengan

    bulan September), kerjasama Sygenta (produsen pestisida) melalui "Farmer Supporting

    Team"nya (FST) melakukan pembinaan langsung dengan petani yang tergabung dalam

    paguyuban Bina Usaha, yang selanjutnya dialihkan menjadi kelompok Aspirasi; dan

    (d) Periode 2004-sekarang, terbentuknya Model Kemitraan Bisnis Bimandiri (MKB2),

    yang merupakan kerjasama antara Bimandiri dengan Kelompok Usaha Bersama

    Mandiri (KUBM) yang merupakan pecahan dari Aspirasi.

    Model I: (Bimandiri-Petani) mengalami kegagalan karena adanya permasalahan

    manajemen koordinasi dan konsolidai dengan petani kecil yang tidak terorganisir,

    kegagalan pengembalian pinjaman oleh petani, instabilitas pasokan dan kualitas

    produk, pengingkaran komitmen, dan lain-lain. Bimandiri gagal melakukan pembinaan

    petani dan mengalami kerugian finansial dan reputasi sebagai pemasok pasar modern.

    Model II: (Sygenta-Aspirasi) juga mengalami kegagalan karena dominasi motif

    penyaluran dan perdagangan input pertanian (pestisida), tanpa pembinaan on-farm dan

    pemasaran yang memadai.

    Model III: (Bimandiri-KUBM), tetap bertahan sampai sekarang dan mampu

    menjamin pasokan kepada pasar modern (Carrefour) dengan mengembangkan prinsip

    transparansi margin.

  • 6

    Perkembangan ketiga model menunjukkan adanya pergeseran dari petani kecil

    tidak terorganisasi, Aspirasi yang kurang solid, dan KUBM dengan infrastruktur dan

    manajemen organisasi yang kuat. Pergeseran dari Aspirasi menjadi KUBM

    menunjukkan adanya eksklusi. Bimandiri memilih KUBM dalam menjamin pasokan dan

    reputasinya ke Carrefour. Carrefour dengan alasan utama efektivitas manajemen dan

    jaminan pasokan, menjalin hubungan dengan Bimandiri sebagai pemasok andal dan

    terpercaya.

    Di Desa Asem Doyong, Pemalang, Jawa Tengah, model kemitraan

    Bimandiri/Bimandiri Partnership Model (BPM, petani-KUBM-pasar modern/via

    Bimandiri), merupakan satu-satunya rantai pasok yang memiliki akses ke supermarket

    (Carrefour). Kehadiran BPM membuat pasar mangga semakin kompetitif dan

    meningkatkan posisi tawar petani. Beberapa tantangan yang perlu dibenahi dalam

    upaya memantapkan kelembagaan BPM ini diantaranya adalah: (a) Memantapkan

    partisipasi petani dalam pengambilan keputusan transparansi margin antara KUBM dan

    Carrefour; (b) Memantapkan posisi KUBM dan keberlanjutan model kemitraan ini tanpa

    keikutsertaan Bimandiri; (c) Meyakinkan dan memantapkan manfaat dan dampak

    teknis, ekonomis, dan sosial dari sistem panen selektif (sistem petik) dibandingkan

    dengan sistem tebas; (d) Pemantapan pelaksanaan sistem pembayaran "cash and

    carry" kepada petani; dan (e) Memperkuat kelembagaan organisasi petani dalam

    pengambilan keputusan sistem transparansi margin dengan sasaran memantapkan dan

    keberlanjutan koordinasi rantai pasok pasar modern. Disamping pemantapan BPM,

    sejalan dengan perkembangan pasar modern, perlu dilakukan pemberdayaan

    kelembagaan pemasaran konvensional untuk dapat akses dan memperoleh manfaat

    dari perkembangan pasar modern.

    Lembaga lain yang juga bekerjasama dengan petani kecil, khususnya petani

    hortikultura, yaitu INA (Indonesian Netherlands Association), untuk membantu

    memasarkan produk petani ke pasar modern. Lembaga ini beroperasi sejak Januari

    2005 dan telah melakukan kerja sama, yaitu sebanyak 16 kemitraan di 17

    kabupaten/kota yang tersebar di 7 provinsi di Indonesia (INA, 2007).

    Dukungan yang diberikan oleh INA meliputi penguatan kelembagaan dan

    manajemen petani, membantu menyiapkan rencana usaha, mebantu akses ke lembaga

    pembiayaan, memabntu meningkatkan kemampuan negosiasi, memperbaiki teknik

    budidaya, memperkenalkan teknologi tepat guna yang inovatif, memperbaiki mutu hasil,

    mengurangi dampak lingkungan, membantu pemasaran hasil, dan membantu

    menghubungkan petani denga pembeli. Sebanyak 1.913 orang yang tergabung dalam

    99 kelompok bermitra dengan 25 perusahaan dan didukung oleh 39 lembaga riset

    termasuk perguruan tinggi.

  • 7

    Beberapa kemitraan yang telah didukung oleh INA antara lain:

    1) Pengenalan Teknologi Produksi Bersih dan Aman untuk Wortel untuk Memenuhi

    Pelanggan Pasar Modern, yaitu Kemitraan antara Koperasi Tani Pesantren Al Ittifaq,

    Balitsa, ITB, dan Makro di Bandung, Jawa Barat.

    2) Perbaikan Kemitraan Hortikultura Bali Fresh, yaitu Kemitraan antara 5 Pusat

    Pembelajaran Praktis Hortikultura, Universitas Djuanda, Universitas Warmadewa,

    WUR Netherlands, PUM, PT DIF Nusantara di 4 Kabupaten di Bali.

    3) Perbaikan Produksi dan Kualitas Sayuran di Kabupaten Enrekang melalui

    Pengembangan Pertanian Ekologis dan Akses Pasar, yaitu Kemitraan antara Pusat

    Koperasi Agribis Latimojong, Universitas Hassanuddin, Balai Sertifikasi Benih

    Tanaman Pangan dan Hortikultura Maros, PUM Netherlands, dan Makro Makassar

    di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

    4) Peningkatan Kualitas Produk Delapan Sayuran Dataran Tinggi dengan Input

    teknologi Budidaya Rumah Plastik, yaitu Kemitraan antara Paguyuban Petani

    Merbabu sebanyak 21 kelompok tani anggota dengan KSU Gardu Tani Mandiri

    (GATARI), UD Sari Alam Jogja, BPTP Jogja, Mitra Supplier Sayuran Hadi di 2

    Kabupaten di Jawa Tengah.

    5) Kemitraan untuk Membangun Kekuatan Bersama Menuju Kesejahteraan, yaitu

    Kemitraan antara Petani di Kupang dengan pemasar Agribio Iptekda dan difasilitasi

    oleh Yayasan Peduli Lingkungan serta beberapa tenaga ahli dari Politeknik

    Pertanian Kupang dan Universitas Cendana di Kupang, Nusa Tenggara Timur.

    6) Kemitraan untuk Mangga Gedong Gincu, yaitu Teknologi Panen di Luar Musim

    Kemitraan Kelompok Tani Buah Segar dengan pemasar SS Fresh Fruit ke jejaring

    supermarket dan pasar ekspor di kabupaten Cirebon, Jawa Barat.

    INA melalui HPSP membuka bagi semua pihak yang ingin mendukung

    pengembangan kemitraan antara petani sayur/buah dengan pasar modern. Syarat

    kemitraan tersebut harus dilandasi kesepakatan yang transparan, yang meliptui unsur

    produsen utama/petani dan sektor swasta/perusahaan pemasar/penjual produk, ada

    kejelasan pembagian peran dan tanggung jawab, aktif dalam bidang usaha sayuran dan

    atau buah-buahan. Pihak yang diijinkan mengajukan usul adalah kelompok tani,

    pedagang swasta, atau lembaga yang menjembatani kemitraan.

    Manfaat yang akan diperoleh dari kemitraan tersebut adalah: (i) Fasilitasi

    terbatas pengembangan usulan kegiatan kemitraan yang akan diajukan ke HPSP,

    (ii) Dukungan untuk melaksanakan kegiatan kemitraan yang disetujui oleh HPSP, dan

    (iii) Akses ke jejaring nasional dan internasional HPSP dan INA untuk promosi,

    informasi dan layanan lainnya. Secara umum penilaian usulan didasarkan pada:

    (i) Bentuk dan kualitas kemitraan, (ii) Inovasi kegiatan yang bermuatan aplikasi

  • 8

    pengetahuan, teknologi dan ketrampilan praktis, (iii) Kelayakan tim pengelola, dan

    (iv) Perkiraan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan terutama untuk produsen

    utama/petani.

    Berbagai kemitraan melalui kontrak antara pedagang/pembeli dengan

    petani/produsen juga dijumpai untuk komoditas selain hortikulutura. Misalnya, PT Nestle

    di Jawa Timur bekerjasama dengan petani sapi perah melalui GKSI (Gabungan

    Koperasi Susu Indonesia) dalam pembelian susu segar. Di Jawa Timur terdapat

    berbagai kemitraan yang meliputi komoditas tanaman pangan (padi, kedelai, jagung,

    ubikayu) di Pasuruan, Malang, Gresik, Lamongan, Magetan, Tulungagung, Ngawi,

    Blitar, Tuban, Nganjuk, Banyuwangi, Sampang, Pamekasan, Sumenep; hortikultura

    (sayur dan buah) di Pasuruan, Probolinggo, Kediri, Magetan, Jember, Sampang,

    Malang, Batu, Gresik, Pacitan, Trenggalek; tanaman industri (tebu, tembakau, kelapa,

    kapas, coklat, empon-empon, sengon dan bambu) di Malang, Probolinggo, Kediri,

    Bondowoso, Jember, Pacitan, Kediri, Bondowoso, dan Magetan; ternak (ayam dan sapi

    perah) di Bojonegoro, Malang, Pasuruan, Blitar, Malang, Probolinggo, dan perikanan di

    Kediri, Probolinggo, Banyuwangi, Blitar (Andri, 2006).

    Dinas Pertanian Kota Pematang Siantar (2006), Sumatera Utara, pada bulan

    September 2006 memfasilitasi kerjasama pemasaran tanaman pangan antara PT Bumi

    Sari Prima dengan 3 (tiga) kelompok tani di Kelurahan Tambun Nabolon dan Sumber

    Jaya, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematang Siantar. Tujuan dari kegiatan

    Fasilitasi Temu Usaha dan Kerjasama Pemasaran Tanaman Pangan tersebut adalah:

    (i) agar petani memahami komoditas yang diinginkan oleh pasar dan pengusaha

    termasuk kualitas yang diperlukan; (ii) agar pedagang dan pengusaha lebih mudah

    memperoleh komoditas yang diperlukan secara kontinyu dan sesuai dengan volume

    yang diinginkan; (iii) membuat iklim usaha yang menguntungkan bagi petani melalui

    kemitraan; dan (iv) membantu petani memperoleh pasar yang lebih pasti bagi

    komoditas pertanian yang mereka hasilkan.

    PT Bumi Sari Prima bergerak di bidang pabrik tapioka memerlukan bahan baku

    ubi kayu jenis Adira sebanyak 600 ton per hari dan sudah lima tahun terakhir kebutuhan

    bahan baku tersebut tidak terpenuhi karena pihak perusahaan hanya mendapat

    pasokan 200 ton per hari. Pemasok ubi kayu ke PT Bumi Sari Prima selain berasal dari

    Kota Pematang Siantar juga berasal dari Kabupaten Simalungun, Toba, Asahan dan

    Dairi dengan harga beli Rp 300 /kg. PT Bumi Sari Prima bersedia membeli ubikayu dari

    petani dengan syarat ubi dipanen minimal umur 10 bulan dengan kadar pati 20 persen,

    varietas baik, kadar potongan kurang dari 10 persen, dan petani tidak ada ikatan

    dengan pabrik pengolahan tapioka lainnya. Delivery Order diberikan kepada

  • 9

    petani/pedagang untuk tertib adminitrasi bagi petani/pedagang yang akan menjual

    ubikayu ke PT Bumi Sari Prima.

    Pemerintah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, melalui Perusahaan Dagang

    Pelopor Alam Lestari (PD PAL) membantu memasarkan beras organik yang

    dibudidayakan petani setempat. Pada tahun 2006 di Kabupaten Sragen terdapat 1.450

    ton lahan sawah yang ditanami pada organik dengan hasil gabah sebanyak 7.975 ton..

    Varietas padi organik yang dikembangkan di Kabupaten Sragen antara lain IR-64,

    Mentik Wangi, dan C-64. PD PAL didirikan dengan tujuan menyangga harga gabah di

    Kabupaten Sragen. Kerjasama dengan petani padi organik dimulai sejak tahun 2001.

    Tujuan pemasaran beras organik adalah Semarang, Solo, Jakarta, Surabaya dan

    Denpasar. Di kabupaten Sragen juga terdapat Persusahaan Beras (PB) Padi Mulya

    yang menjalin kerjasama pemasaran padi organik dengan 13 kelompok tani yang

    jumlah anggotanya mencapai 500 orang petani. PB Padi Mulya menyediakan lahan

    untuk digarap petani dan memberi bantuan teknis. Petani harus menjual seluruh hasil

    panen kepada PB Padi Mulya (Pemkab Sragen, 2007).

    Pada tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Bantul juga mulai membantu

    memasarkan beras organik yang dihasilkan oleh Kelompok Tani Harapan Serut

    Palbapang Bantul ke Pasar Jakarta (Pemkab Bantul, 2006). Pada tahun 2007

    Pemerintah Kabupaten Cianjur sudah melakukan panen pilot proyek padi organik

    dengan system of rice intensification (SRI) seluas 7,5 hektar yang didukung oleh

    MEDCO. Selanjutnya MEDCO berkomitmen akan mengembangkan padi SRI organik

    seluas 10.000 ha di seluruh Indonesia. MEDCO akan memberi bantuan modal dan

    bimbingan teknis serta pemasaran bagi kelompok tani yang mengembangkan padi SRI

    organic. Dalam hal ini MEDCO akan mengajak BRI, Bank Agro dan Bank Saudara

    untuk membantu menyediakan modal bagi petani (Pemkab Cianjur, 2007).

    Saptana dkk. (2006) melaporkan hasil penelitian tentang kelembagaan

    kemitraan rantai pasok komoditas hortikultura di Jawa Tengah (melon dan semangka),

    dan Jawa Barat (kentang). Pola kemitraan di Jawa Tengah adalah kelompok tani

    dengan perusahaan pemasaran. Mitra pemasaran petani wajib menyediakan bibit

    melon/semangka unggul, menyediakan sarana produksi lainnya termasuk modal kerja,

    dan memasarkan hasil panen. Petani atau kelompok tani wajib melakukan budidaya

    semangka/melon secara baik termasuk melaporkan jadwal tanam dan panen, serta

    memasarkan semua hasil panen kepada pedagang mitra. Sedangkan pola kemitraan di

    Jawa Barat adalah antara PT Indofood Fritolay Makmur (IFM) dengan kelompok tani

    kentang. Petani mendapat bantuan kredit bibit kentang dan penetapan harga panen

    disepakati antara kelompok tani dengan PT IFM sebelum tanam. Walaupun demikian

    petani merasa bahwa harga beli bibit kentang relatif mahal dan luas tanam dibatasi oleh

  • 10

    PT IFM. Secara umum manfaat yang diperoleh petani yang bermitra adalah relatif

    stabilnya harga jual dibanding tanpa kerjasama pemasaran.

    Contoh lain bentuk kemitraan pemasaran adalah antara produsen benih dengan

    kelompok tani penangkar benih. Produsen benih padi, benih jagung komposit/hibrida,

    maupun benih kedelai memberi modal dan sarana produksi serta bimbingan teknis

    kepada petani penangkar. Salah satu syarat yang disepakati adalah petani penangkar

    menjual seluruh hasil calon benih yang dihasilkan kepada produsen benih dengan

    harga yang telah disepakati. Produsen benih padi meliputi BUMN (PT Sang Hyang Seri

    dan PT Pertani) maupun produsen swasta. Produsen benih jagung meliputi BUMN,

    perusahaan multinasional (BISI, Pioneer, Monsanto, Syngenta), dan produsen lokal.

    Sedangkan produsen benih kedelai umumnya produsen lokal karena pasar benih

    kedelai relatif kecil sehingga produsen benih BUMN dan multinasional tidak tertarik

    untuk masuk ke industri benih. Harga jual panen dari petani penangkar lebih tinggi dari

    harga biji padi, jagung, dan kedelai yang digunakan untuk konsumsi. Produsen akan

    memberi sangsi yang tegas jika petani penangkar melanggar perjanjian, misalnya tidak

    menjual seluruh hasil panen calon benih kepada produsen benih (Sayaka dkk., 2006).

  • 11

    III. METODA PENELITIAN

    3.1. Kerangka Pemikiran

    Kerangka pemikiran penelitian ini mengacu pada konsep pembinaan rantai

    produksi-pemasaran yang dikembangkan oleh C.V. Bimandiri (dedicated supplier). CV

    Bimandiri berlokasi di kabupaten Lembang dan bergerak dalam komoditas sayuran,

    buah buahan, dan palawija (Rivai dan Hidayat, 2007).

    Bimandiri adalah salah satu pemasok ke pasar modern (Hypermarket). Dalam

    perkembangannya ada suatu pola saling ketergantungan antara Bimandiri dengan

    petani dan kelompok tani yang menyediakan bahan baku. Ada suatu kebutuhan bagi

    Bimandiri untuk selalu menjaga hubungan yang saling menguntungkan, mengontrol

    pola tanam serta kualitas produksi sumber bahan baku dari petani dan kelompok tani.

    Saling ketergantungan tersebut berkaitan dengan rantai pasok dan pemasaran yang

    sudah terbentuk antara produsen (petani dan kelompok tani) Bimandiri-Hypermarket

    sebagai tujuan pasar. Kemampuan produksi petani menentukan ketersediaan bahan

    baku. Tingkat kesejahteraan petani menjadi perhatian karena akan menentukan

    kemampuan mereka mengelola produksi.

    Dalam pembinaan Bimandiri melakukan pendekatan dua arah. Petani dengan

    target pola produksi serta pasar untuk pengenalan produk dan pembentukan image

    (Gambar 1).

    Gambar 1. Pola pembinaan dalam rantai produksi-pemasaran, model

    Bimandiri, Lembang, Jawa Barat

    Dari diagram tampak semua rantai yang terkait saling memberikan kontribusi

    pembinaan terhadap sektor produksi. Supplier dan pasar yang berada di hilir tidak bisa

    berdiri sendiri dan berharap supply akan baik kualitas dan cukup kuantitasnya tanpa

    pembinaan terhadap produsen di hulu. Rantai ini akan kuat apabila semua mata rantai

    merasakan keuntungan dan keadilan dari usaha tersebut.

    Produsen Supplier

    TK1 PASAR

    MODERN Pemasok

    Besar

    P E M B I N A A N

  • 12

    Rantai pemasaran yang konvesnional saat ini cenderung tidak efisien (Gambar

    2). Terlalu banyak mata rantai tambahan antara produsen dan konsumen akhir.

    Akibatnya tingkat harga konsumen akhir cenderung tinggi sedangkan harga dari

    produsen cukup rendah. Selisih margin yang ada tidak dinikmati oleh petani produsen.

    Efek lain dari harga akhir yang tinggi menyebabkan jumlah serapan produk tidak

    maksimal. Hal ini akan membatasi peluang penambahan jumlah penanaman atau

    produksi.

    Gambar 2. Komparasi rantai pemasaran konvensional dengan model Bimandiri sebagai Penghela, Lembang, Jawa Barat

    Rantai pemasaran secara umum menempatkan banyak pihak perantara hingga

    rantai jadi panjang. Pihak penghela dalam hal ini adalah stakeholder yang mempunyai

    visi kemitraan yang baik sehingga diharapkan dapat mengganti para perantara tersebut.

    Pihak penghela akan bertindak sebagai pembina dalam pola produksi, pengawasan

    kualitas serta penjaminan pasar yang stabil. Dengan demikian diharapkan terjadi

    pembagian keuntungan yang seimbang dan relatif lebih tinggi untuk setiap mata rantai

    yang semakin pendek.

    Produsen dalam memasarkan hasil produksinya perlu membentuk kelompok.

    Kelompok ini diharapkan akan bersifat aliansi dari beberapa kepentingan petani

    sehingga akan memudahkan pemasaran yang dilakukan. Beberapa keuntungan

    pembentukan aliansi adalah rantai distribusi semakin pendek dan efisien, aliansi

    mempunyai peluang dalam pengendalian harga, daya tekan terhadap pasar semakin

    kuat, serta efisien dalam pengembangan produk. Sifat dari suatu aliansi sendiri

    haruslah dibentuk berdasarkan kepentingan bersama serta adanya transparansi

    managemen.

    PRODUSEN PERANTARA 1-4 Rantai pemasaran secara umum

    KONSUMEN

    PRODUSEN PIHAK PENGHELA Rantai pemasaran lebih baik

    KONSUMEN

  • 13

    3.2. Kebutuhan dan Analisis Data

    (1) Tujuan 1: Identifikasi kelembagaan partnership dalam pemasaran menurut sub-sektor/komoditas.

    Sub-sektor yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah tanaman pangan

    dan palwija. Pada tahun 2008 diharapkan dapat ditangani dua komoditas, yaitu:

    Komoditas padi organik dan salah satu komoditas palawija unggulan. Pada tahun

    berikutnya (2009) akan diteliti masing-masing satu komoditas untuk sub-sektor

    hotikulturan dan peternakan.

    Dalam konteks identifikasi kelembagaan ini data yang dibutuhkan adalah:

    (1) Identifikasi jenis dan pola partnership yang ada di sektor pertanian; (2) Identifikasi

    kinerja umum dari kelembagaan partnership; (3) Identifikasi penghela (dedicated

    supplier), kelompok petani peserta, persyaratan peserta, kewajiban/kewenangan dan

    hak pihak terkait, pemanfaatan subsidi publik, dan lain-lain; (4) Pemilihan pola

    partnership yang dinilai prospektif dan memiliki peluang replikasi ke depan.

    Analisis data bersifat deskriptif (kuantitatif) dan kualitatif melalui pengungkapan

    keragaan, permasalahan, persepsi, dan perspektif kedepan secara teknis, ekonomi,

    sosial, dan kelembagaan.

    (2) Tujuan 2: Analisis kinerja kelembagaan partnership terpilih.

    Kebutuhan data dan informasi mencangkup: (1) Kinerja dan antisipasi

    kelembagaan pemenuhan teknologi software (IPTEK dan Informasi); (2) Kinerja dan

    antisipasi kelembagaan pemenuhan masukan utama usaha tani; (3) Kinerja dan

    antisipasi kelembagaan pemenuhan tenaga kerja dalam usaha tani; (4) Kinerja dan

    antisipasi kelemabagaan pemenuhan modal usaha; dan (5) Kinerja dan antisipasi

    kelembagaan introduksi pemasaran hasil produksi.

    Analisis data: analisis komparasi pola introduksi vs pola konvensional. Analisis

    mencangkup pola pemenuhan kebutuhan terkait dengan kegiatan usahatani dengan

    mempertimbangkan sumber perolehan (petani, pemerintah, pasar) dan efektivitasnya

    dari sisi 5 tepat (volume, waktu, tempat, harga dan kwalitas, antisipasi kelembagaan

    introduksi menurut aktifitas dengan mempertimbangkan kinerja efektifitas, motivasi

    ekonomi, dan tingkat komunalitas petani.

    (3) Tujuan 3: Analisis biaya/manfaat kelembagaan pemasaran introduksi (pathership sysytem) Kebutuhan data dan informasi: (1) Data input-output usahatani : (2) Data jalur

    pemasaran, harga, dan biaya pemasaran; (3) Perkembagangan partisipasi petani, luas

    usaha, produktifitas dan produksi usahatani; dan (4) Kinerja efisien produksi dan

    pemasaran komoditas yang diteliti.

  • 14

    Analisis data: (1) Analisis struktur biaya, pendapatan dan efisiensi usahatani;

    (2) Analisis jalur dan margin pemasaran; (3) Analisis keragaan, masalah dan persepsi

    peningkatan kinerja produksi, pemasaran dan peningkatan kesejahteraan petani.

    (4) Tujuan 4: Antisipasi dan prospek replikasi kelembagaan partnership model. Kebutuhan data dan informasi: (1) Prakondisi yang dibutuhkan untuk replikasi;

    (2) Peranan dari pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang dibutuhkan;

    (3) Bentuk dan format replikasi; dan lain-lain.

    Analisis data: deskriptif dengan mempertimbangkan persepsi dan referensi

    terkait dengan antisipasi replikasi dan prakondisi/dukungan yang dibutuhkan.

    3.3. Lokasi dan Responden Penelitian

    Penelitian akan dilakukan di Jawa dan Luar Jawa dengan pola kerjasama

    pemasaran tanaman pangan dan palawija. Pemilihan kelembagaan partnership akan

    didasarkan pada kelembagaan yang sudah ada dan telah memiliki dampak, sehingga

    bisa dirumuskan antisipasi implikasinya.

    Responden penelitian akan meliputi: (1) Pihak penghela (dedicated supplier);

    (2) Pihak managemen kelompok tani; (3) Petani inklusif (yang terlibat dalam program

    partnership); (4) Petani ekslusif (yang pernah masuk tetapi keluar dari program

    partnership); dan (5) Pasar akhir (dynamic market) dari komoditas yang dihasilkan

    dalam program partnership.

    IV. PERENCANAAN OPERASIONAL

    4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

    Bulan Kegiatan

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

    1. Persiapan dan penyusunan Proposal

    2. Pengumpulan data

    3. Verifikasi data

    4. Pengolahan data

    5. Analisis data

    6. Penulisan laporan

    7. Seminar/Workshop

    8. Perbaikan

    9. Penggandaan laporan

  • 15

    DAFTAR PUSTAKA

    Andri, K.B. 2006. Melihat Potensi dari Sistem Usaha Tani Kontrak. Inovasi Online Vol.7/XVIII/Juni 2006. http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=182

    Chen, K., A.W. Shepherd, and C. da Silva. 2005. Change in Food Retailing in Asia:

    Implication of Supermarket Procurement Practice for Farmers and Traditional Marketing Systems. Agricultural Management, Marketing and Finance Service, Food Agriculture Organization, Rome, Italy.

    Dinas Pertanian Kota Pematang Siantar. 2006. Laporan Pelaksanaan Fasilitasi Temu

    Usaha dan Kerjasama Pemasaran Tanaman Pangan Di Parbina Puri International Hotel Pematang Siantar, Tanggal 15 September 2006. Pematang Siantar.

    IFPRI. 2003. Will Supermarket be Super for Small Farmers? http://www.

    ifpri.org/pnbs/newsletters/ifpriforum/IF200312.htm. INA (Indonesian Netherlands Association). 2007. Program Dukungan Kemitraan Usaha

    Hortikultura Antara Petani Produsen Kecil Dengan Perusahaan. Jakarta. www.ina.or.id/inaweb/hpsp.php

    Monstier, P., D. The Anh, H.B. An, V.T. Binh, M. Fignie, Ng. T.T. Loc, P.T.G. Tam.

    2005. The Participation of the Poor in Supermarkets and Other Distribution Value Chains. Discussion Paper No. 11, Asian Development Bank, Manila. www.markets4poor.org.

    Pemkab Bantul. 2006. Bantul Jual Beras Organik ke Pasar Jakarta.

    http://bantulbiz.com/id/berita_baca/idb-125.html. 15 Agustus 2006. Pemkab Cianjur. 2007. Kepala Negara Ajak Masyarakat Kembangkan Padi SRI

    Organik. www.cianjur.go.id/content/isi_link_berita_daerah.php? modul=convert_to_pdf&bid=198

    Pemkab Sragen. 2007. Beras Organik. http://marketing.sragenkab.go.id/

    berasorganik.html Rangkuti, F.Y. 2004. Indonesia Retail Food SectorReport 2004. GAIN Report No.

    ID3028. USDA Foreign Agricultural Services. Jakarta. Reardon, T. and R. Hopkins. 2006. The Supermarket Revolution in Developing

    Countries. Policies to Address Emerging Tension among Supermarket. Suppliers and Traditional Retailer. European Journal of Development Research, Vol.18 No.4, December 2006.

    Reardon, T., J.A. Bardeque, C.P. Timmer, T. Cabot, D. Mainville, L. Flores, R.

    Hernandez, D. Neren, F. Balserich. 2006. Links among Supermarket, Wholesalers, and Small Farmers in Developing Countries: Conceptualization and Emerging Evidence. United States Agency for International Development (USAID) and Department for International Development (DFID) via Regoverning Market Projects.

    Rivani, A. dan D. Hidayat 2007. Keterkaitan Petani dengan Pemasaran: Kesejahteraan

    Petani dan Pengentasan Kemiskinan. CAPSA Monograph No.49, UNCAPSA-CAPSA , Bogor.

  • 16

    Rusastra, I.W. 2006. Field Note: Linking Mango Farmers to Dynamic Market though Transparant Margin Partnership Model. CAPAS, UNPAD, Bandung and UNESCAPCAPSA, Bogor.

    Saptana, A. Agustian, H. Mayrowani, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan

    Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Laporan Teknis.

    Sayaka, B., I Ketut Kariyasa, Waluyo, Tjetjep Nurasa, dan Y. Marisa. 2006. Kajian

    Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Laporan Teknis.

    Shepherd, A.W. 2005. The Implication of Supermarket Development for Horticultural

    Farmers and Traditional Marketing System in Asia. Agricultural Management, Marketing and Finance Service, Food Agriculture Organization, Rome, Italy.