seminar

5
Hal 294 -286 … maka skor untuk membedakan brain damage yang sebenarnya dengan malingered brain damage lebih tinggi dibandingkan dengan yang untuk membedakan subyek dengan brain damage dan subyek normal. Pada studi lainnya, yang dilakukan oleh Mittenberg, Theroux- Fichera, Zielinski, dan Heilbronner (1995), menunjukkan perbandingan skor WAIS-R antara grup yang direkrut simulator dengan grup cedera kepala ringan. Kelompok traumatic brain injury (TBI) menunjukkan perbedaan yang tidak penting antara tes vocabulary dengan digit span. Sedangkan pada kelompok simulator nilainya lebih baik pada vocabulary. b. Parallel testing Administrasi berulang dari tes yang sama atau administrasi bentuk parallel dari tes seharusnya memberikan hasil yang hampir sama. Orang yang menipu mungkin tidak mengerti bahwa akan diulangi tes yang sama, oleh karena itu akan sulit untuk mereplikasi hasil yang sebelumnya. Skor yang dipalsu pada umumnya kurang stabil dibandingkan dengan hasil yang sesungguhnya. Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT) merupakan salah satu contoh untuk menilai vocabulary. Klien sering kesulitan mendapatkan hasil yang sama pada bentuk tes yang parallel meskipun tes dilakukan beberapa waktu kemudian. c. Deviasi dari skor yang diprediksi Orang yang mengevalusi bisa membandingkan skor yang diprediksi dengan hasil yang sesungguhnya dari tes tersebut. Contohnya suatu rumus telah dikembangkan untuk memprediksi skor WAIS-R pada tes Shipley-Hartford Institute of Living Scale, Ravens Progressive Matrices, dan National Adult Reading. Orang yang menipu mungkin mendapatkan hasil WAIS-R diluar interval yang diprediksi pada satu dari ketiga tes tersebut. Shipley-Hartford dan ravens Progressive Matrices berguna untuk skrining intelegensi karena membutuhkan waktu yang pendek untuk

Upload: moronic27

Post on 10-Apr-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bahan seminar jiwa

TRANSCRIPT

Page 1: Seminar

Hal 294 -286

… maka skor untuk membedakan brain damage yang sebenarnya dengan malingered brain damage lebih tinggi dibandingkan dengan yang untuk membedakan subyek dengan brain damage dan subyek normal.

Pada studi lainnya, yang dilakukan oleh Mittenberg, Theroux-Fichera, Zielinski, dan Heilbronner (1995), menunjukkan perbandingan skor WAIS-R antara grup yang direkrut simulator dengan grup cedera kepala ringan. Kelompok traumatic brain injury (TBI) menunjukkan perbedaan yang tidak penting antara tes vocabulary dengan digit span. Sedangkan pada kelompok simulator nilainya lebih baik pada vocabulary.

b. Parallel testing

Administrasi berulang dari tes yang sama atau administrasi bentuk parallel dari tes seharusnya memberikan hasil yang hampir sama. Orang yang menipu mungkin tidak mengerti bahwa akan diulangi tes yang sama, oleh karena itu akan sulit untuk mereplikasi hasil yang sebelumnya. Skor yang dipalsu pada umumnya kurang stabil dibandingkan dengan hasil yang sesungguhnya.

Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT) merupakan salah satu contoh untuk menilai vocabulary. Klien sering kesulitan mendapatkan hasil yang sama pada bentuk tes yang parallel meskipun tes dilakukan beberapa waktu kemudian.

c. Deviasi dari skor yang diprediksi

Orang yang mengevalusi bisa membandingkan skor yang diprediksi dengan hasil yang sesungguhnya dari tes tersebut. Contohnya suatu rumus telah dikembangkan untuk memprediksi skor WAIS-R pada tes Shipley-Hartford Institute of Living Scale, Ravens Progressive Matrices, dan National Adult Reading. Orang yang menipu mungkin mendapatkan hasil WAIS-R diluar interval yang diprediksi pada satu dari ketiga tes tersebut.

Shipley-Hartford dan ravens Progressive Matrices berguna untuk skrining intelegensi karena membutuhkan waktu yang pendek untuk diadministrasikan. Sebagai tambahan Shipley-Hartford memberikan informasi tentang hasil tes dan tes ulang serta perkiraan IQ WAIS-R.

3. Karakteristik tertentu dari tes

a. Inkonsistensi pada item atau tugas yang sama. Pada tes yang sama, orang yang menipu mungkin tidak memperhatikan kesamaan item, oleh karena itu memberikan hasil yang tidak identikal. Hasil yang kurang stabil pada item yang hampir sama sering dilihat pada orang yang menipu, sama seperti pada tes parallel. Pada tes dengan pengulangan hal yang diuji, terdapat peningkatan variabilitas jika dipalsu. Akan tetapi perlu diingat bahwa reliabilitas skor per item lebih rendah dibandingkan reliabilitas skor dengan skala.

Page 2: Seminar

b. Kegagalan untuk menunjukkan pwengetahuan. Orang yang menipu sering tidak menunjukkan kurva pengetahuan yang diharapkan (atau bahkan mungkin menunjukkan penurunan). Hal ini dapat digambarkan melalui Mirror tracing test. Subyek diminta untuk menelusuri maze sambil melihat maze dari kaca. Kesalahan dihitung setiap kali pensil subyek menyentuh garis. Jika subyek melewati garis batas, subyek harus mengulangi kembali, dimana mengulang dihitung sebagai kesalahan. Perlu dicurigai palsu jika hasilnya tidak meningkat setelah melatih tangan yang satunya, jika peningkatan yang diharapkan pada uji coba (kurva pengetahuan) tidak tampak, atau jika total waktu yang dibutuhkan lebih dari 5 menit.

4. Departures from expected accuracy

Forced choice testing dan forced choice reaction time testing merupakan metode yang kuat untuk menilai defisit dari penipuan.Tes ini sangat mudah sehingga orang yang sangat terganggupun bisa mengerjakannya dengan hasil yang memuaskan. Berbedanya hasil dengan nilai yang diharapkan menunjukkan adanya usaha secara sadar untuk memanipulasi hasil.

Symptom Validity Testing (SVT) atau Explicit Alternative Testing (EAT) berusaha untuk mengukur sensor palsu dan mengulang kembali defisit. EAT melibatkan presentasi dari stimulus yang baik persepsi maupun pengenalannya diperkuat atau ditolak oleh penilai. Suatu intervensi perlu ditambahkan jika mengulang kembali merupakan target dari evaluasi, bukan persepsi sensoris.

Hampir tidak ada yang melewati item yang tersedia kecuali jika benar-benar ada gangguan. Pada kasus gangguan total, seperti buta atau tuli total, perfoma seseorang dapat memperkirakan chance responding (keakuratannya 50 % dengan two-choice tasks). Deviasi yang signifikan dari chance responding didefinisikan sebagai skor akurat dengan probabilitas kurang dari beberapa level tertentu ( seperti p < o,o5 atau p <0,01) seperti yang ditentukan dalam distribusi binomial. Contohnya probabilitas one tailed untuk mendapatkan kurang dari 40 jawaban benar pada 100 soal dengan 2 pilihan adalah kurang dari 2% (p = 0,0176). Untuk mendapatkan kurang dari 36 jawaban benar dapat terjadi secara kebetulan pada dua dari seribu tes (p = 0,0018).

Penipu biasanya berasumsi bahwa performa pada yang terganggu biasanya membutuhkan keakuratan kurang dari 50%. Orang yang benar-benar terganggu biasanya akan menebak secara acak pada tes EAT. Penipu biasanya mengerjakan lebih buruk dari chance karena secara sengaja menghindari jawaban benar dimana mereka tahu jawabannnya.

Smell identification test (SIT) mengilustrasikan forced choice testing dari defisit sensoris yang dipalsu. Dikembangkan oleh Doty dan kawan-kawannya di Universitas Pennsylvania, 40 item pada SIT menunjukkan nilai kuantitatif dari disfungsi olfaktori kurang dari 15 menit. Maslaah dengan indera penciuman biasanya berhubungan dengan trauma kepala, dengan anosmia terjadi pada 7 dan 8% kasus.

SIT mungkin berguna ketika dicurigai adanya malingering yang berhubungan dengan indera penciuman, contohnya ketika seorang criminal mengaku adanya tanda-tanda kerusakan otak. Sebagian besar pasien yang tidak menipu akan dapat mengindentifikasi 35 atau lebih dari 40 bau-bauan secara

Page 3: Seminar

benar, dengan perempuan secara umum mengungguli laki-laki pada semua umur. Pada pembelajaran yang dilakukan Doty dan kawan-kawan terdapat 158 laki-laki yang memiliki 0 jawaban benar dan perempuan diperintahkan untuk memalsu jawaban. Doty mengatakan bahwa pada asumsi dimana p = 0,25, probabilitas untuk mendapatkan skor 0 secara kebetulan adalah 1 : 100.000, kesempatan untuk mendapatkan 5 atau kurang jawaban benar adalah kurang dari 5 : 100. Mereka yang benar-benar memiliki masalah dengan penciuman (anosmia) biasanya mendapatkan skor sekitar 10 secara kebetulan karena biasanya menjawab secara acak. Pasien dengan disfungsi partial mempunyai skor SIT yang sedang. Pasien dengan multiple sclerosis mempunyai skor yang sedikit lebih tinggi diatas rata-rata. Pasien Alzheimer atau Parkinson secara mengejutkan mempunyai hasil yang lebih rendah dari rata-rata secara signifikan, tetapi tetap diatas skala yang diharapkan untuk jawaban acak.

Frederick (1997) menggambarkan Validity Indicator Profile (VIP), prosedur two-alternative forced choice (2AFC) yang didesain untuk mengidentifikasi ketika hasil tes kognitif dan neuropsikologis mungkin tidak valid karena malingering atau masalah pada respon yang lainnya. Tes ini terdiri dari 100 masalah yang menilai kapasitas abstraksi non verbal dan 78 masalah definisi kata. Performa yang valid diklasifikasikan menjadi “compliant” (sesuai dengan aturan), performa yang tidak valid diklasifikasikan menjadi “careless” (upaya yang rendah untuk merespon secara benar), “irrelevant” (upaya yang rendah untuk merespon secara tidak benar), atau “malingering” (upaya yang tinggi untuk merespon secara tidak benar). Subtes verbal dan non verbal dari VIP menunjukkan rata-rata secara keseluruhan 79,8% (sensitivitas 73,5% dan spesifisitas 85,7%) dan 75,5% (sensitivitas 67,3% an spesifisitas 83,1%). VIP merupakan salah satu instrument yang bagus untuk mendeteksi malingering.

Victoria Symptom Validity Test (VSVT) merupakan intrumen forces-choice. VVST didesain untuk menentukan validitas dari gangguan kognitif yang dilaporkan. VVST diadministrasikan melalui computer dan terdiri dari 5 digit yang bervariasi kesulitannya. VVST ditemukan efektif untuk mendeteksi gangguan memori yang pura-pura.

Instrumen lainnya yang digunakan secara luas adalah Rey 15 Item Memory Test (FIT). FIT merupakan instrument untuk skrining yang didesain untuk mengidentifikasi keluhan memori yang malingered. Pada studi yang telah dilakukan Selma 20 tahun, mengindikasikan FIT rentan terhadap penemuan false-positive.

Caveat (surat protes)

Neuropsikologis, pertama-tama, sebaiknya mengerti bahwa pelatihan mereka, terutama di bidang klinid, kurang siap untuk analisis terhadap penipuan. Literatur yang muncul biasanya mendiskusikan bahwa baru akhir-akhir ini praktek neuropsikologis termasuk analisis penipuan .