selasa 15 oct 2013

8
Selasa 15 Oct 2013, 22:44 WIB Kolom Politik Dinasti Tampar Masyarakat Madani - detikNews0 Den Haag - Ditetapkannya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebagai tersangka dalam kasus suap Ketua MK Akil Muchtar membuat kita seperti dihantam palu godam dua kali. Pertama, ternyata MK tak luput dari praktik kotor ini. Kedua, kita tersadar bahwa Wawan adalah fenomena gunung es dari buruknya praktik demokrasi kita yang melahirkan dinasti-dinasti politik. Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga menjalani pemeriksaan KPK dalam kasus sama. Dalam sebuah guyon yang populer di kalangan akar rumput, “Banten lebih pas disebut sebagai sebuah kerajaan daripada provinsi”. Tercatat ada 13 orang sanak famili Atut mulai dari suami, anak, menantu, adik, hingga ibu tiri yang menjadi pejabat publik mulai dari anggota legislatif, anggota DPD, hingga wakil bupati. Lebih memprihatinkan lagi, Banten hanya salah satu dari beberapa kasus atau daerah di mana kue kekuasaan dibagi-bagi di antara anggota keluarga. Salah satu amanat Reformasi 1998 ialah pemberantasan segala bentuk nepotisme. Kita awalnya mengira bahwa dengan demokrasi praktek seperti ini tak lagi terjadi. Sebab asumsinya, kekuasaan

Upload: norman-argie-nofianto

Post on 02-Feb-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

permission

TRANSCRIPT

Page 1: Selasa 15 Oct 2013

Selasa 15 Oct 2013, 22:44 WIBKolom

Politik Dinasti Tampar Masyarakat Madani- detikNews0

Den Haag - Ditetapkannya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan sebagai tersangka dalam

kasus suap Ketua MK Akil Muchtar membuat kita seperti dihantam palu godam dua kali.

Pertama, ternyata MK tak luput dari praktik kotor ini. Kedua, kita tersadar bahwa Wawan adalah

fenomena gunung es dari buruknya praktik demokrasi kita yang melahirkan dinasti-dinasti

politik. Wawan adalah adik kandung Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang juga menjalani

pemeriksaan KPK dalam kasus sama. 

Dalam sebuah guyon yang populer di kalangan akar rumput, “Banten lebih pas disebut sebagai

sebuah kerajaan daripada provinsi”. Tercatat ada 13 orang sanak famili Atut mulai dari suami,

anak, menantu, adik, hingga ibu tiri yang menjadi pejabat publik mulai dari anggota legislatif,

anggota DPD, hingga wakil bupati. Lebih memprihatinkan lagi, Banten hanya salah satu dari

beberapa kasus atau daerah di mana kue kekuasaan dibagi-bagi di antara anggota keluarga. 

Salah satu amanat Reformasi 1998 ialah pemberantasan segala bentuk nepotisme. Kita awalnya

mengira bahwa dengan demokrasi praktek seperti ini tak lagi terjadi. Sebab asumsinya,

kekuasaan despot di mana penguasa bisa semena-mena menunjuk orang untuk menempati kursi

kekuasan adalah sumber masalah. Nyatanya, praktek demokrasi di negara kita menghasilkan

keluaran yang sama saja. 

Mengapa demokrasi menjadi mandul untuk melahirkan kepemimpinan berkualitas? Mengapa

rakyat yang secara formal menyalurkan legitimasi politiknya lewat pemilu seolah menghendaki

lagi terciptanya dinasti-dinasti? 

Kita pun tak bisa memungkiri bahwa secara legal formal tak ada yang salah dengan naiknya

keluarga dan kerabat patron-patron politik tersebut ke kekuasaan. Mereka sama-sama bagian sah

dari demokrasi. Mereka pun mengikuti segala aturan main yang ada dan hak dipilih mereka ialah

bagian dari hak konstitusional. Apalagi jika secara substantif, mereka memang terpilih berdasar

Page 2: Selasa 15 Oct 2013

kepantasan kompetensi dan kualitas kepemimpinan. Sampai titik ini memang tak ada yang

salah. 

Masalahnya adalah seringkali kita menemukan bahwa praktek politik dinasti seperti kasus

Banten ini malah merugikan rakyat sebagai pemilik demokrasi. Selain kasus suap Wawan di

atas, dapat dilihat dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Banten di tahun 2011

yang dikeluarkan BPS. Di bawah kepemimpinan dinasti Atut, IPM Banten berada di urutan ke-

23, melorot dari peringkat ke-11 di tahun 2000, dan lebih rendah dari IPM rata-rata

nasional. Bahkan kini lebih rendah dari seluruh provinsi di Jawa, Sumatra, Bali dan NTB. 

Sungguh miris melihat data ini jika kita mengingat potensi ekonomi Banten khususnya

keunggulan geografis selain kekayaan alam tentunya. Barangkali terlintas juga dalam benak kita,

jangan-jangan keterbelakangan sengaja diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan. 

Rendahnya kualitas pelaku politik dinasti disebabkan mereka tidak dipilih berdasarkan kapasitas,

integritas, dan program. Figur-figur tersebut terpilih lebih karena popularitas dan kedekatannya

dengan sang patron. Ditambah lagi oleh posisi mereka dalam status quo yang memungkinkan

mobilisasi sumber daya untuk memenangkan kontes demokrasi. 

Kultur kita, menurut Geert Hofstede seorang pakar budaya organisasi, yang salah satu cirinya

adalah ‘jarak kekuasaan yang jauh’ membuat praktek patron-klien seperti ini tumbuh subur

dalam alam demokrasi yang prematur. Dengan demikian, calon-calon pemimpin yang kompeten

dan berintegritas akan sulit untuk bersaing, mereka layu sebelum berkembang. 

Berjalannya institusi demokrasi seperti jaminan kebebasan berpendapat, mendirikan partai

politik, dan pemilu yang jujur adalah satu hal. Semua praktek demokrasi formal tersebut

hanyalah syarat perlu. Sedangkan tercapainya tujuan berdemokrasi adalah satu hal lain yang

memerlukan syarat cukupnya sendiri. Syarat cukup tersebut adalah masyarakat yang siap

berdemokrasi, yaitu orang-orang yang berdemokrasi dengan dilandasi pertimbangan nilai,

rasionalitas, dan ketaatan hukum. 

Page 3: Selasa 15 Oct 2013

Hasil demokrasi semacam apa yang bisa kita harapkan dari pemilih-pemilih yang mau menjual

suaranya dengan 50-100 ribu rupiah karena lapar. Pemimpin semacam apa yang kita harapkan

dapat dihasilkan dari pemilih-pemilih yang sekedar mencoblos gambar yang paling sering ia lihat

di baligo pinggir jalan. Barangkali ada semacam ambang batas kesejahteraan dan pendidikan

tertentu untuk masyarakat agar siap berdemokrasi. 

Namun pertanyaannya apakah kita harus menunggu dulu masyarakat pintar dan sejahtera baru

berdemokrasi dan sementara itu kita kembali ke kediktatoran? Tentu ini bukan juga pilihan yang

diinginkan. Justru demokrasi ini dipilih sebagai cara mencapai keadilan dan kemakmuran. 

Oleh karena itu, kondisi yang tidak ideal ini harus disikapi. Menurut hemat saya, ada dua

pendekatan yang bisa diperjuangkan. Pertama, inisiatif dari institusi sosial politik dan civil

society (masyarakat madani) dalam rangka mengakselerasi kematangan berdemokrasi. Saya

percaya bahwa tidak semua yang terlibat dalam politik sudah menjadi kotor. Di antara mereka

masih banyak pembaru-pembaru. Tantangan mereka adalah bagaimana mengambil inisiatif dan

melakukan terobosan-terobosan dalam meraih simpati masyarakat. 

Beberapa pilkada memberi contoh bagaimana pemimpin-pemimpin baru dihasilkan karena

mereka berani melakukan terobosan. Alih-alih terjerat dalam politik berbiaya tinggi, mereka

memainkan permainannya sendiri dengan memanfaatkan komunitas, jejaring, sosial media, turun

langsung bersama warga, dan lain sebagainya. Mereka cerdas memanfaatkan momentum

kejenuhan masyarakat akan kepemimpinan yang itu lagi-itu lagi (baca: dinasti). 

Elemen masyarakat madani seperti pelajar, pers, LSM, dan sebagainya juga harus makin kreatif

dalam mengedukasi masyarakat. Mereka harus mau turun ke bawah ke lapisan masyarakat

marjinal yang selama ini menjadi lumbung suara politik dinasti. Kelas menengah jangan hanya

berani berteriak lantang di sosial media tapi juga aktif di lapangan dengan agenda-agenda

perubahannya. 

Pendekatan kedua yang layak dipertimbangkan adalah, adanya jaring peraturan yang bisa

mencegah keluarga-kerabat pejabat status quo untuk mencalonkan diri dalam kontes demokrasi.

Page 4: Selasa 15 Oct 2013

Jika melamar pekerjaan saja syarat ini berlaku demi menghindari konflik kepentingan, mengapa

tidak bisa diterapkan sebagai syarat menjadi pejabat publik. Aturan ini mungkin sedikit

mencederai hak politik satu dua orang. Tapi itu tak ada apa-apanya dibanding mudharat yang

jauh lebih besar yang bisa dihindari. Jangan sampai guyon, “Pak Harto: masih enak jamanku,

tho?” betul-betul menjadi kenyataan. 

Bagaimana pun juga, bangsa Indonesia harus melawati fase sejarah ini dengan semangat

pembelajaran. Demokrasi kita masih jauh dari ideal, tapi kita tidak boleh berhenti mencoba dan

belajar. Jatuh lalu bangkit lagi, jatuh lalu bangkit lagi hingga kita bisa berdiri tegak. Seperti yang

dikatakan Bung Hatta dalam catatannya berjudul Demokrasi kita: 

“Tetapi sejarah memberi pelajaran juga pada manusia. Suatu barang yang bernilai seperti

demokrasi baru dihargai apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari

kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa murni, demokrasi

yang tertidur sementara akan bangun kembali”

Page 5: Selasa 15 Oct 2013

Komentar :

Sebagai anak bangsa Indonesia sudah sepatutnya untuk menjaga bangsa agar tetap berprinsip

demokrasi sebagaimana semboyan bangsa. Demokrasi adalah hak segala bangsa, jadi semua

warga negara berhak mendapatkan hak yang sama. Keadaan demokrasi di Indonesia memang

patut dipertanyakan, banyak sekali kasus yang mencoreng arti demokrasi. Banyak praktik dalam

politik yang memanfaatka kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Kasus Ratu Atut sebenarnya pernah terjadi pada zaman presiden soeharto dimana KKN terjadi ,

semua anggota keluarga diangkat dalam kursi politik. Sebagai orang yag memiliki kekuasaan

bukan berarti berkuasa dalam hal namun menjadikan mandat tersebut sebagai

tanggungjawabnya.

Pemerintah juga sudah sepatutnya bisa mngatur dan mengawasi setiap wakil rakyat, agar kasus

KKN bisa dihapuskan secara total. Seperti jaman dulu, indonesia jatuh bangkit lagi, jatuh bangkit

lagi. Jangan patah semangat dan berhenti mencoba, yang seperti dikatakan oleh Bung Hatta.

Page 6: Selasa 15 Oct 2013

Sumber Referensi :

http://news.detik.com/kolom/2386487/politik-dinasti-tampar-masyarakat-madani