sek4

29
LO. 1 M&M Defisiensi Imun LI. 1.1 Definisi Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas atau kemoterapi). Dan penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut merupakn salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder oleh karena faktor lain. LI. 1.2 Etiologi Gangguan defisiensi imun dapat dibagi menjadi imunodefisiensi primer dan imunodefisiensi sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan oleh gangguan atau bawaan pada sistem imun, sedangkan imunodefisiensi sekunder disebabkan oleh malnutrisi, infeksi, kanker, gangguan ginjal, sarkoidosis, radiasi, obat-obatan imunosupresif, dsb. Selain itu dapat diakbiatkan oleh : a. Defek genetic Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada sistem imun (misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T). Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik (misal common variable immunodeficiency). b. Obat atau toksin Imunosupresan (kortikosteroid, siklosporin), Antikonvulsan (fenitoin). c. Penyakit nutrisi dan metabolic Malnutrisi ( misal kwashiorkor), Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal), Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II). d. Defisiensi mineral Seng pada Enteropati Akrodermatitis e. Kelainan kromosom

Upload: ridho-hidayatulloh

Post on 14-Apr-2016

263 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PBL univeersitas yarsi blok apa ya saya juga lupa pokoknya angkatan 2011

TRANSCRIPT

Page 1: sek4

LO. 1 M&M Defisiensi Imun

LI. 1.1 Definisi

Gangguan defisiensi imun adalah gangguan yang dapat disebabkan oleh kerusakan herediter yang mempengaruhi perkembangan sistem imun atau dapat terjadi akibat efek sekunder dan penyakit lain (misalnya infeksi malnutrisi, penuaan, imunosupresi, autoimunitas atau kemoterapi). Dan penyakit imunodefisiensi adalah defisiensi respon imun akibat hipoaktivitas atau penurunan jumlah sel limfoid. Defisiensi imun tersebut merupakn salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau timbul sekunder oleh karena faktor lain.

LI. 1.2 Etiologi

Gangguan defisiensi imun dapat dibagi menjadi imunodefisiensi primer dan imunodefisiensi sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan oleh gangguan atau bawaan pada sistem imun, sedangkan imunodefisiensi sekunder disebabkan oleh malnutrisi, infeksi, kanker, gangguan ginjal, sarkoidosis, radiasi, obat-obatan imunosupresif, dsb.

Selain itu dapat diakbiatkan oleh :a. Defek genetic

Defek gen-tunggal yang diekspresikan di banyak jaringan (misal ataksia-teleangiektasia, defsiensi deaminase adenosin) Defek gen tunggal khusus pada sistem imun (misal defek tirosin kinase pada X-linked agammaglobulinemia; abnormalitas rantai epsilon pada reseptor sel T). Kelainan multifaktorial dengan kerentanan genetik  (misal common variable immunodeficiency).

b. Obat atau toksinImunosupresan (kortikosteroid, siklosporin), Antikonvulsan (fenitoin).

c. Penyakit nutrisi dan metabolicMalnutrisi ( misal kwashiorkor), Protein losing enteropathy (misal limfangiektasia intestinal), Defisiensi vitamin (misal biotin, atau transkobalamin II).

d. Defisiensi mineral Seng pada Enteropati Akrodermatitis

e. Kelainan kromosomAnomali DiGeorge (delesi 22q11)Defisiensi IgA selektif (trisomi 18).

f. InfeksiImunodefisiensi transien (pada campak dan varicella )Imunodefisiensi permanen (infeksi HIV, infeksi rubella kongenital).

LI. 1.3 Klasifikasi

1. Defisiensi Imun Non-Spesifika. Komplemen

Dapat berakibat meningkatnya insiden infeksi dan penyakit autoimun (SLE), defisiensi ini secara genetik.i. Kongenital

Menimbulkan infeksi berulang /penyakit kompleks imun (SLE dan glomerulonefritis).ii. Fisiologik

Ditemukan pada neonatus disebabkan kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah.iii. Didapat

Disebabkan oleh depresi sintesis (sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori).

Page 2: sek4

b. Interferon dan lisozimi. Interferon kongenital

Menimbulkan infeksi mononukleosis fatalii. Interferon dan lisozim didapat

Pada malnutrisi protein/kalori

c. Sel NKi. Kongenital

Pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit), kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi meningkat.

ii. DidapatAkibat imunosupresi atau radiasi.

d. Sistem fagositMenyebabkan infeksi berulang, kerentanan terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil yang menurun, resiko meningkat apabila jumlah fagosit turun < 500/mm3. Defek ini juga mengenai sel PMN.

i. KuantitatifTerjadi neutropenia/granulositopenia yang disebabkan oleh menurunnya produksi atau meningkatnya destruksi. Penurunan produksi diakibatkan pemberian depresan (kemoterapi pada kanker, leukimia) dan kondisi genetik (defek perkembangan sel hematopioetik). Peningkatan destruksi merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).

ii. KualitatifMengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, fagositosis, dan membunuh mikroba intrasel.1. Chronic Granulomatous Disease (infeksi rekuren mikroba gram – dan +)2. Defisiensi G6PD (menyebabkan anemia hemolitik)3. Defisiensi Mieloperoksidase (menganggu kemampuan membunuh benda asing)4. Chediak-Higashi Syndrome (abnormalitas lisosom sehingga tidak mampu melepas

isinya, penderita meninggal pada usai anak)5. Job Syndrome (pilek berulang, abses staphylococcus, eksim kronis, dan otitis media.

Kadar IgE serum sangat tinggi dan ditemukan eosinofilia).6. Lazy Leucocyte Syndrome (merupakan kerentanan infeksi mikroba berat. Jumlah

neutrofil menurun, respon kemotaksis dan inflamasi terganggu)7. Adhesi Leukosit (defek adhesi endotel, kemotaksis dan fagositsosis buruk, efeks

sitotoksik neutrofil, sel NK, sel T terganggu. Ditandai infeksi bakteri dan jamur rekuren dan gangguan penyembuhan luka)

2. Defisiensi Imun Spesifika. Kongential/primer

Sangat jarang terjadi.i. Sel B

Defisiensi sel B ditandai dengan penyakit rekuren (bakteri)1. X-linked hypogamaglobulinemia2. Hipogamaglobulinemia sementara3. Common variable hypogammaglobulinemia4. Disgamaglobulinemia

ii. Sel TDefisensi sel T ditandai dengan infeksi virus, jamur, dan protozoa yang rekuren1. Sindrom DiGeorge (aplasi timus kongenital)

Page 3: sek4

2. Kandidiasis mukokutan kronik

iii. Kombinasi sel T dan sel B1. Severe combined immunodeficiency disease2. Sindrom nezelof3. Sindrom wiskott-aldrich4. Ataksia telangiektasi5. Defisiensi adenosin deaminase

b. Fisiologiki. Kehamilan

Defisiensi imun seluler dapat diteemukan pada kehamilan. Hal ini karena pningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen

ii. Usia tahun pertamaSistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang.

iii. Usia lanjutGolongan usia lanjut sering mendapat infeksi karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun.

c. Defisiensi imun didapat/sekunderi. Malnutrisi

ii. Infeksiiii. Obat, trauma, tindakan, kateterisasi, dan bedah

Obat sitotoksik, gentamisin, amikain, tobramisin dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Kloramfenikol, tetrasiklin dapat menekan antibodi sedangkan rifampisin dapat menekan baik imunitas humoral ataupun selular.

iv. PenyinaranDosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, dosis rendah menekan aktivitas sel Ts secara selektif

v. Penyakit beratPenyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti Hodgkin, mieloma multipel, leukemia dan limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus pada diare

vi. Kehilangan Ig/leukositSindrom nefrotik penurunan IgG dan IgA, IgM norml. Diare (linfangiektasi intestinal, protein losing enteropaty) dan luka bakar akibat kehilangan protein.

vii. Stresviii. Agammaglobulinmia dengan timoma

Dengan timoma disertai dengan menghilangnya sel B total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasia sel darah merah juga dapat menyertai

d. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)

Page 4: sek4

LI. 1.4 Pemeriksaan Lab

Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui penyakit defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan (sesuai dengan kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:

Pemeriksaan darah tepi Hemoglobin Leukosit total Hitung jenis leukosit (persentasi) Morfologi limfosit Hitung trombosit Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE) Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG) Titer antibodi Tetatus, Difteri Titer antibodi H.influenzae Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50) Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang sesuai)

Langkah selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan lanjutan berdasarkan apa yang kita cari(Tabel 28-9). 

Pemeriksaan lanjutan pada penyakit defisiensi imun

Defisiensi Sel B

Uji Tapis:

Kadar IgG, IgM dan IgA

Titer isoaglutinin

Respon antibodi pada vaksin (Tetanus, difteri, H.influenzae)

Uji lanjutan:

Enumerasi sel-B (CD19 atau CD20)

Kadar subklas IgG

Kadar IgE dan IgD

Titer antibodi natural (Anti Streptolisin-O/ASTO, E.coli

Respons antibodi terhadap vaksin tifoid dan pneumokokus

Foto faring lateral untuk mencari kelenjar adenoid

Riset:

Page 5: sek4

Fenotiping sel B lanjut

Biopsi kelenjar

Respons antibodi terhadap antigen khusus misal phage antigen

Ig-survival in vivo

Kadar Ig sekretoris

Sintesis Ig in vitro

Analisis aktivasi sel

Analisis mutasi

Defisiensi sel T

Uji tapis:

Hitung limfosit total dan morfologinya

Hitung sel T dan sub populasi sel T : hitung sel T total, Th dan Ts

Uji kulit tipe lambat (CMI) : mumps, kandida, toksoid tetanus, tuberkulin

Foto sinar X dada : ukuran timus

Uji lanjutan:

Enumerasi subset sel T (CD3, CD4, CD8)

Respons proliferatif terhadap mitogen, antigen dan sel alogeneik

HLA typing

Analisis kromosom

Riset:

Advance flow cytometry

Analisis sitokin dan sitokin reseptor

Cytotoxic assay (sel NK dan CTL)

Enzyme assay (adenosin deaminase, fosforilase nukleoside purin/PNP)

Pencitraan timus dab fungsinya

Page 6: sek4

Analisis reseptor sel T

Riset aktivasi sel T

Riset apoptosis

Biopsi

Analisis mutasi

Defisiensi fagosit

Uji tapis:

Hitung leukosit total dan hitung jenis

Uji NBT (Nitro blue tetrazolium), kemiluminesensi : fungsi metabolik neutrofil

Titer IgE

Uji lanjutan:

Reduksi dihidrorhodamin

White cell turn over

Morfologi spesial

Kemotaksis dan mobilitas random

Phagocytosis assay

Bactericidal assays

Riset:

Adhesion molecule assays (CD11b/CD18, ligan selektin)

Oxidative metabolism

Enzyme assays (mieloperoksidase, G6PD, NADPH)

Analisis mutasi

Defisensi komplemen

Uji tapis:

Titer C3 dan C4

Aktivitas CH50

Page 7: sek4

Uji lanjutan:

Opsonin assays

Component assays

Activation assays (C3a, C4a, C4d, C5a)

Riset:

Aktivitas jalur alternatif

Penilaian fungsi(faktor kemotaktik, immune adherence)

 

 Patofisiologi dan patogenesis Pembentukan sistem kekebalan tubuh awalnya terjadi dalam sum-sum tulang belakang. Sel yang dibentuk merupakan sel induk yang dapat berkembang menjadi progenitor mieloid dan progenitor limfoid yang memiliki masing-masing fungsi yang berhubungan dengan pengaturan sistem imun seseorang.Progenitor mieloid selanjutnya akan berkembang menjadi meutrofil dan sel monosit, sedangkan progenitor limfoid berkembang menjadi sel pre T dan sel pre B. Sel pre B yang dihasilkan dapat langsung berdiferensiasi menjadi sel B matang pada sum sum tulang. Sel B matang yang dibantu dengan sel Th2 (sel T helper 2) berkembang menjadi sel plasma dan sel B memori. Dalam sel plasma terjadi proses pembentukan immunoglobulin (Ig). Sel pre T yang dihasilkan pada sum-sum tulang akan disalurkan ke timus terlebih dahulu. Pada timus sel pre T akan berkembang menjadi sel T matang.Namun dalam perkembangan sistem kekebalan tubuh tersebut dapat terjadi defisiensi imun yang mengganggu proses imun seseorang. Berikut ini merupakan patogenesis yang terjadi pada defisiensi imun :

Disgenesis rerikular > sel induk yang berasal dari sum sum tulang belakang tidak dapat berkembang menjadi progenitor mieloid dan progenitor limfoid.

Agranulositosis kongenital > kegagalan perkembangan progenitor mieloid sehingga tidak berkembang menjadi neutrofil.

Penyakit granulomatosis kronis > defek neutrofil dan ketidakmampuan membentuk peroksid hidrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.

Defisiensi adhesi-leukosit > Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan endotel dan antar leukosit (agregasi), kemotaksis dan aktivitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksik neutrofil, sel NK dan sel T juga terganggu.

Hipogamaglobulinemia umum variabel > jumlah sel B dan Ig normal, namun kemampuan memproduksi dan atau melepas Ig mengalami gangguan. Hal tersebut dikarenakan sel B tidak mampu berkembang menjadi sel plasma yang menghasilkan Ig. Beberapa penderita menunjukkan kelebihan sel Ts yang mengganggu respons sel B.

X-linked agammaglobulinemia > kegagalan sel pre B berpoliferasi menjadi sel B matang. Hipoplasia timus kongenital (sindrom digeorge) > defisiensi sel T disebabkan defek dalam

perkembangan embrio dalam pembentukan timus. Severe combines immunodeficiency (SCID) > defisiensi sel B dan sel T yang berat<

merupakan resesif autosom yang menghambat reseptor Y, yaitu reseptor untuk interleuktin (IL) terutama IL-7.

Page 8: sek4

LO. 2 M&M HIV

LI. 2.1 DefinisiAIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.

LI. 2.2 Etiologi

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

LI. 2.3 Klasifikasi

Menurut spesies terdapat dua jenis virus penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2 . HIV-1 paling banyak ditemukan di daerah barat, Eropa, Asia, dan Afrika Tengah, Selatan, dan Timur. HIV-2 terutama ditemukan di Afrika Barat. HIV-1 maupun HIV-2 mempunyai struktur hampir sama, HIV-1 mempunyai gen VPU, tetapi tidak mempunyai gen VPX, sedangkan HIV-2 sebaliknya.

a. HIV-1Merupakan penyebab utama AIDS diseluruh dunia. Genom HIV mengkode sembilan protein esensial untuk setiap aspek siklus hidup virus. Pada HIV-1 terdapat protein Vpu yang membantu pelepasan virus. Terdapat 3 tipe dari HIV-1 berdasarkan alterasi pada gen amplopnya yaitu tipe M, N, dan O.

b. HIV-2Protein Vpu pada HIV-1 digantikan dengan protein Vpx yang dapat meningkatkan infektivitas (daya tular) dan mungkin merupakan hasil duplikasi dari protein lain (Vpr). Walaupun sama-sama menyebabkan penyakit klinis dengan HIV-2 tetapi kurang patogenik dibandingkan dengan HIV-1.

Klasifikasi HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

Page 9: sek4

(1) Group I; infeksi akut,seperti gejala flu dan tes antibodi terhadap HIV negatif. (2) Group II (Asimtomatis); tes antibodi terhadap HIV positif,tidak ada gejala-gejala dan

laboratorium yang mengarah ke HIV/AIDS (3) Group III (Simtomatis); tes antibodi terhadap HIV Positif,dan terjadi pembesaran kelenjar limfe

secara menetap dan merata (Persisten generalized lymphadenopathy) (4) Group IVA; tes antibodi terhadap HIV positif,dan terjadi penyakit konstitusional (demam atau

diare yang persisten,penurunan berat badan lebih 10% dari berat badan normal) (5) Group IVB; sama dengan group IVA disertai adanya penyakit neurologi,dementia,neurophati,dan

myelophati. (6) Group IVC; sama dengan group IVB disertai sel CD4 < 200 mm,dan terjadi infeksi opurtunistik. (7) Group IV-D; sama dengan group IVC disertai terjadi tuberkulosis paru,kanker servikal yang

invasif,dan keganasan yang lain.

LI. 2.4 EpidemiologiSaat ini diperkirakan ada 5 – 10 juta orang pengidap HIV (Human Immuno Deficeincy Virus)

yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi potensial sebagai sumber penularan. Di samping itu telah dilaporkan adanya lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 – 500.000 orang penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah dilaporkan 141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5 tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasi normal Adult Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10 % maka dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat dua kali menjadi 100/10.000.

Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai 3 Maret 1998, infeksi HIV/AIDS telah menyebar di 22 propinsi yaitu Daerah Istimewa Aceh 1 penderita, Sumatera Utara 25 penderita, Sumatera Barat 1 penderita, Riau 70 penderita, Sumatera Selatan 26 penderita, DKI Jakarta 181 penderita, Jawa Barat 19 penderita, Jawa Tengah 14 penderita, DI Yogyakarta 5 penderita, Jawa Timur 43 penderita, Kalimantan Barat 4 penderita, Kalimantan Tengah 4 penderita, Kalimantan Selatan 3 penderita, Kalimantan Timur 8 penderita, Sulawesi Utara 3 penderita, Sulawesi Selatan 4 pnederita, Bali 43 penderita, NTB 2 penderita, NTT 1 penderita, Maluku 16 penderita, Irian Jaya 137 penderita, Timor-Timor 1 penderita.

Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 : 1 karena sebagianbesar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di negara-negara pola II, rasio ini adalah1 : 1. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan)umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggiadalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasukkelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusidarah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibupengidap HIV.

Kelompok homoseksual (termausk biseksual) kelompok ini termasuk kelompok terbesarpengidap HIV di Amerika Serikat. Prevalensi infeksi HIV dikalangan ini terus meningkat denganpesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidapHIV, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % danpada saat ini telah menjadi 100 %. Di London pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksualmengidap HIV, 3 tahun kemudian menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehinggadiperkirakan pada tahun 1990 menjadi 100 %.

Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan kelompok utama dimana tidak populer. Saat AIDS pertama kali dideteksi pada kaum homoseksual di negara-negara maju, pola hubungan heteroseksual belum menjadi perhatian. Saat ini 4 % kasus AIDS berasal dari kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi epidemi AIDS kedua pada kaum heteroseksual.

Page 10: sek4

Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di Indonesia adalah para WTS, para pramupijat,pramuria bar dan club malam dan para pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik,mereka ini menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di dalamjarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari semua kasus AIDS dan diAmerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AIDS.

Lingkungan biologis, sosial-ekonomi, budaya, agama sangat menentukan penyebaranAIDS. Lingkungan biologis, adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks dan STS (Serum Test for Syphilis) yang positif akan meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena luka-luka ini menjaditempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIVakan aktif mencari HIV di luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalamperedaran darah.

Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB, pada para WTS di Nairobi terbuktibahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi. Hal inimemerlukan penelitian lebih lanjut. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersamaatau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap prilaku seksual masyarakat. Bila semua faktorini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok seksual aktif maka mereka mudah masukke dalam keadaan promiskuitas.

Walaupun telah diketahui berbagai cara penularan HIV/AIDS, penularan secara seksualadalah yang terbanyak, yaitu 83,3% dari 631 kasus yang dilaporkan. Indonesia dianggap rentanterhadap epidemi HIV/AIDS karena banyak faktor yang mendorong antara lain : adanya prilakuseksual yang berisiko (WTS), kemiskinan, banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing.

LI. 2.5 Patogenesis & Patofisiologi

Patogenesis :Virus HIV Diberi ARV

Page 11: sek4

(menyerang)

CD4+ - sel CD4+ menurun, Imun pulih Imun menurun Respon infeksi kurang

Respon imun muncul

IRIS Gejala klinis muncul (memburuk)

Gejala : Infeksi paling sering dikaitkan dengan IRIS termasuk sitomegalovirus , herpes zoster , kompleks Mycobacterium avium (MAC), pneumonia Pneumocystis , dan Mycobacterium tuberculosis

LI. 2.6 Manifestasi klinik

Klasifikasi HIV pada orang dewasa menurut CDC (Center for Disease Control) berdasarkan gejala klinis dan diagnosis laboratoriumnya dibagi menjadi empat grup:

1. Infeksi akut HIVKeadaan ini disebut sebagai infeksi primer HIV atau sindrom serokonversi akut. Waktu dari paparan virus sampai timbulnya keluhan antara 2-4 minggu. Infeksi akut biasanya asimtomatis, tapi beberapa akan menunjukkan keluhan seperti demam pada influenza. Pada masa ini, diagnosa jarang dapat ditegakkan, salah satunya karena tes serologi standar untuk antibodi terhadap HIV masih memberikan hasil negatif (window periode).

2. Infeksi seropositif HIV asimtomatisPada orang dewasa terdapat periode laten infeksi HIV yang bervariasi dan lama untuk timbulnya penyakit yang terkait HIV/AIDS. Periode asimtomatisnya bisa panjang mulai dari beberapa bulan hingga 10 tahun atau lebih. Pada masa ini, biarpun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi bila diperiksa darahnya akan menunjukkan seropositif antibodi p24 dan gp41. Hal ini akan sangat berbahaya dan berpotensi tinggi menularkan infeksi HIV pada orang lain.

3. Persisten generalised lymphadenopaty/ PGLPada masa ini ditemukan pembesaran nodus limfe yang meliputi sedikitnya dua tempat selain inguinal, dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan yang menyebabkan pembesaran nodus limfe minimal selama tiga bulan. Antibodi yaitu p24 dan g41 biasanya terdeteksi. Beberapa penderita mengalami diare kronis dengan penurunan berat badan, sering diketahui sebagai “slim disease”.

4. Gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDs

Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, jika tidak diterapi, akan berkembang menimbulkan gejala-gejala yang berkaitan dengan HIV/AIDS. Progresivitas infeksi tergantung pada karakteristik virus dan hospes. Karakter virus meliputi HIV-1 dan HIV-2, sedangkan karakter hospes meliputi usia (<5 tahun atau >40 tahun), infeksi yang menyertai-nya, dan faktor genetik.Yang utama dari grup ini adalah turunnya jumlah limfosit CD4+, biasanya dibawah 100/mm3. Stadium ini kadang dikenal sebagai “full blown AIDS”.

Page 12: sek4

LI. 2.7 Penatalaksanaan

- Kuratif Farmakologi

Terapi Antiretroviral(ARV)\Obar ARV direkomendasikan untuk :

Semua pasien yang telah memperlihatkan gejala AIDS tanpa melihat jumlah sel CD4+,

Pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 200sel/mm3. Terapi ARV tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari

350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 10000 kopi/ml. Obat ARV juga diberikan untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak. Penularan

terjadi pada waktu proses melahirkan, melalui plasenta selama kehamilan, dan melalui ASI. Pilihan terbaik pemberian ARV dikombinasikan dengan operasi caesar karena dapat menekan penularan, namun operasi tersebut tidaklah murah.

Selain itu, terdapat penurunan kasus kanker yang terkait dengan HIV seperti Sarkoma Kaposi (kanker pembuluh darah) dan limfoma karena pemberian ARV.Obat ARV terdiri dari beberapa golongan :

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)Mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum bergabung dengan kromosom hospes, karena obat ini bekerja pada tahap awal replikasi HIV, obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut. Zidovudin / ZDV, AZT (Retrovir, Adovi, Avirzid)

Merupakan lini 1Resistensi : mutasi reverse transcriptaseSpektrum : HIV 1 dan 2Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain (lamivudin dan abakavir)Dosis : per oral 600mg/hariPosologi : kapsul 100 mg, tablet 300 mg, dan sirup 5 mg/5mL

Didanosin / ddl (Videx) Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virus Resistensi : mutasi reverse transcriptase

Spektrum : HIV 1 dan 2Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lainDosis : per oral 400 mg per hari dalam dosis tunggal atau terbagi

Zalbitasin Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virusResistensi : mutasi reverse transcriptase Spektrum : HIV 1 dan 2Dosis : per oral 2,25 mg per hari (1 tablet 0,75 mg tiap 12 jam)

Stavudin /4AT (Stavir, Zerit)Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virusSpektrum : HIV 1 dan 2

Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lainDosis : per oral 80 mg per hari (1 kapsul 40 mg per 12 jam)

Lamivudin / 3TC (Hiviral, 3TC) Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virus Spektrum : HIV 1, 2 dan HBV (hepatitis B) Indikasi : infeksi HIV dan HBV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain (zidovudin dan

abakavir)

Page 13: sek4

Dosis : per oral 300 mg per hari (1 tablet 500 mg 2x sehari) Emtrisitabin

Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virusIndikasi : infeksi HIV dan HBVDosis : 200 mg sekali sehari (oral)

AbakavirMekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virusSpektrum : HIV 1 dan 2

Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain (zidovudin dan lamivudin)Dosis : per oral 600 mg per hari (2tablet 300 mg)

Nucleotide Reverse Trancriptase Inhibitor (NtRTi)Merupakan lini kedua Tenofovir Disproksil

Mekanisme : menghentikan pembentukan rantai DNA virusBioavailabilitas : 25% (puasa) dan 39 % (bersama makanan berlemak tinggi)

Spektrum : HIV 1, 2 dan HBV (hepatitis B)Indikasi : Tidak boleh dikombinasikan dengan lamivudin dan abakavir Dosis : tablet per oral 300 mg per hari

Non-Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NNRTI)Menghambat aktivasi reverse transcriptase dengan berikatan dengan tempat aktif enzim. Neviravin/ NVP (Viramune, Neviral)

Mekanime : bekerja pada situs alosterik Spekrum : HIV 1Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTIDosis : per oral 200 mg per hari selama 14 hari pertama (1 tablet 200 mg per hari) kemudian 400 mg per hari (2x 200 mg tablet)

DelavirdinMekanime : bekerja pada situs alosterik Spekrum : HIV 1Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTIDosis : per oral 1200 mg per hari (2 tablet 200 mg 3x sehari

Efavirenz/ EFV, EFZ (Stocrin)Mekanime : bekerja pada situs alosterik Spekrum : HIV 1Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTIDosis : per oral 600 mg per hari (sekali sehari tablet 600 mg sebelum tidur untuk mengurangi efek SSP)

Protease Inhibitor (PI)Bekerja dengan berikatan dengan secara reversible Sakuinavir

Mekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorBioavailabilitas : 12%Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain terutama NRTIDosis : per oral 3600 mg per hari (6 kapsul 200 mg 3x sehari) diberikan bersama makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan

RitonavirMekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2

Page 14: sek4

Bioavailabilitas : 65-75 %Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTI dan PI (sakuinavir)Dosis : per oral 1200 mg per hari (6 kapsul 100 mg 2x sehari bersama dengan makanan)

IndinavirMekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2Bioavailabilitas : 60-65 %Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTIDosis : per oral 2400 mg per hari (2 kapsul 400 mg tiap 8 jam di makan dalam keadaan perut kosong)

Nelfinavir/ NFV (Viracept)Mekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2Bioavailabilitas : 20-80 %Indikasi : infeksi HIV, dalam kobinasi dengan anti HIV lain teutama NRTIDosis : per oral 2250 mg per hari (3 tablet 250 mg, 3x sehari) bersama makanan

AmprenavirMekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2Bioavailabilitas : 35-90 %Dosis : per oral 2400 mg per hari (8 kapsul 150 mg 2 kali sehari)

LopinavirMekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2Dosis : per oral 1000 mg per hari

AtazanavirMekanisme : bekerja pada tahap transisi, merupakan HIV protease peptidomimetic inhibitorSpektrum : HIV 1 dan 2Dosis : per oral 400 mg per hari (sekali sehari 2 kapsul 200 mg) diberikan bersama makanan

Viral Entry InhibitorBekerja dengan cara mengahambat fusi virus ke sel Enfuvirtid

Bioavailabilitas : 89 %Spektrum : HIV 1Dosis : 80 mg (1 ml) 2x sehari diinjeksikan secara subkutan lengan atas, bagian paha, anterior atau abdomen.

Selain itu juga ada pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS seperti jamur, TB, hepatitis, toxoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, dan kanker serviks. Non farmakologi

Yaitu berupa terapi suportif yaitu pemberian makanan memiliki nilai gizi cukup, dukungan agama, tidur cukup dan perlunya menjaga kebersihan untuk menghindari resiko infeksi.

Page 15: sek4

Efek samping obat dan Sindrom Pulih Imuno NRTI : asidosis laktat, hepatomegali berat dengan steatosis (degenerasi lemak)o NtRTI : mual, muntah, diare, flatulens (pembentukan gas berlebih dalam lambung)o NNRTI : SSP, ruam, demam, maul, diare, nyeri abdomeno Viral Entry Inhibitor : reaksi lokal, nyeri , nodul/kista, iritasi, pruritus (gatal)o PI : efek GI (mual, muntah, diare, parestesia/ rasa seperti kesemutan, terbakar),

intoleransi glukosa, diabetes, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemiao Interaksi dengan obat anti tuberkulosis (OAT)

LI. 2.10 Pemeriksaan Penunjang

Infeksi HIV dapat terdeteksi melalui beberapa tes, yaitu :

o Voluntary Counseling and Testing (VCT)Konseling Sukarela dan Testing (VCT) untuk HIV biasanya melibatkan dua sesi konseling: satu saat sebelum mengambil tes yang dikenal sebagai "konseling pre-test" dan satu lagi saat mengikuti tes HIV bila hasil sudah diberikan, sering disebut sebagai "konseling post-test ". Konseling berfokus pada infeksi (HIV), penyakit (AIDS), menguji, dan perubahan perilaku positif. VCT telah menjadi populer di banyak bagian Afrika sebagai cara bagi seseorang untuk mengetahui status HIV mereka. Pusat-pusat VCT dan konselor sering menggunakan tes cepat HIV yang memerlukan setetes darah atau beberapa sel dari bagian dalam pipi seseorang; tes yang murah, membutuhkan pelatihan yang minimal, dan memberikan hasil yang akurat dalam waktu sekitar 15 menit.

ARV yang dianjurkan pada ODHA dengan TB

Kolom A Kolom B

Nevirapin

Efavirenz*

Nelvinafir

Zidovudin + lamivudinStavudin + lamivudinDianosin + lamivudinZidovudin + lamivudinStavudin + lamivudinDidanosin + lamivudinZidovudin + lamivudinStavudin + lamivudinDidanosin + lamivudine

Page 16: sek4

o Isolasi virus : HIV dapat dibiakkan dari limfosit dalam darah tepi (dan kadang-kadang dari spesimen tempat lain). Banyaknya sel terinfeksi yang beredar bervariasi sesuai dengan tahapan penyakit. Titer virus yang lebih tinggi ditemukan dalam plasma dan dalam sel-sel darah tepi pada pasien dengan AIDS dibandingkan dengan individu asimtomatis. Peningkatan viremia plasma tampaknya merupakan korelasi yang lebih baik pada tahap klinis infeksi HIV daripada keberadaan antibodi apapun. Teknik isolasi virus yang paling sensitif adalah dengan membiakkan sel-sel mononuklear darah tepi yang distimulasi mitogen, bersama sampel tes yang tidak terinfeksi. Isolat primer HIV tumbuh sangat lambat dibandingkan dengan strain yang telah diadaptasi di laboratorium. Pertumbuhan virus terdeteksi dengan mengetes cairan supernatan biakan setelah sekitar 7-14 hari untuk aktivitas reverse transkriptase virus atau untuk antigen spesifik virus (g24). Sebagian besar orang yang positif terdapat antibodi HIV, akan memiliki virus yang dapat dibiakkan dari sel-sel darahnya. Tetapi, teknik isolasi virus memerlukan banyak waktu dan tenaga. Teknik amplifikasi PCR lebih sering digunakan untuk deteksi virus dalam spesimen klinis.

o Serologi : Perlengkapan tes untuk mengukur antibodi oleh enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) tersedia di pasaran. Jika dilakukan dengan baik, tes-tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 98%. Bila tes antibodi berdasarkan ELISA untuk screening populasi dengan prevalensi infeksi HIV yang rendah (misalnya donor darah), hasil yang positif dalam sampel serum harus dikonfirmasi dengan tes ulang. Jika tes ulang bersifat reaktif, dilakukan tes konfirmasi. Pengujian konfirmasi yang paling luas digunakan adalah teknik Western Blot, dimana antibodi terhadap protein HIV dari berat molekul tertentu dapat terdeteksi. Antibodi terhadap protein core virus p24 atau glikoprotein amplop gp41, gp120, atau gp160 adalah yang paling sering terdeteksi. Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela. Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibodi yang dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Untuk itu jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian.

o Western blot : Tes western blot digunakan sebagai uji konfirmasi hasil ELISA positif (reaktif). Tes ini mendeteksi antibodi terhadap beberapa protein spesifik HIV dan dianggap sangat spesifik untuk HIV. Sampel yang hasilnya negatif dilaporkan sebagai negatif asalkan sampel yang diambil setelah masa jendela.

o Deteksi asam nukleat : Pengujian amplifikasi seperti RT-PCR dan tes bDNA seringkali digunakan untuk mendeteksi RNA virus dalam spesimen klinis. Pengujian RT-PCR menggunakan metode enzimatik untuk mengamplifikasi RNA HIV; pengujian bDNA mengamplifikasi RNA virus melalui langkah-langkah hibridisasi oligonukleotida berangkai. Tes-tes tersebut dapat bersifat kuantitatif bila digunakan standar referensi; kontrol negatif dan positif yang layak harus diikutsertakan dalam setiap tes. Tes-tes berbasis molekuler ini sangat sensitif dan membentuk dasar untuk petanda prediktif penting dari progresi penyakit dan alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi antivirus. Diagnosis awal infeksi HIV pada bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi dapat dilakukan dengan menggunakan tes RNA HIV-1 plasma. Keberadaan antibodi maternal membuat tes-tes serologis tidak bersifat informatif. LI. 2.11 Prognosis

Pemaparan terhadap HIV tidak selalu mengakibatkan penularan, beberapa orang yang terpapar HIV selama bertahun-tahun bisa tidak terinfeksi. Di sisi lain seseorang yang terinfeksi bisa tidak menampakkan gejala selama lebih dari 10 tahun. Tanpa pengobatan, infeksi HIV mempunyai resiko 1-2 % untuk menjdi AIDS pada beberapa tahun pertama. Resiko ini meningkat 5% pada setiap tahun berikutnya. Resiko terkena AIDS dalam 10-11 tahun setelah terinfeksi HIV mencapai 50%. Sebelum diketemukan obat-obat terbaru, pada akhirnya semua kasus akan menjadi AIDS.

Page 17: sek4

Pengobatan AIDS telah berhasil menurunkan angka infeksi oportunistik dan meningkatkan angka harapan hidup penderita. Kombinasi beberapa jenis obat berhasil menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak dapat terdeteksi. Tapi belum ada penderita yang terbukti sembuh. Teknik penghitungan jumlah virus HIV (plasma RNA) dalam darah seperti polymerase chain reaction (PCR) dan branched deoxyribonucleid acid (bDNA) test membantu dokter untuk memonitor efek pengobatan dan membantu penilaian prognosis penderita. Kadar virus ini akan bervariasi mulai kurang dari beberapa ratus sampai lebih dari sejuta virus RNA/mL plasma. Pada awal penemuan virus HIV, penderita segera mengalami penurunan kualitas hidupnya setelah dirawat di rumah sakit. Hampir semua penderita akan meninggal dalam 2 tahun setelah terjangkit AIDS. Dengan perkembangan obat-obat anti virus terbaru dan metode-metode pengobatan dan pencegahan infeksi oportunistik yang terus diperbarui, penderita bisa mempertahankan kemampuan fisik dan mentalnya sampai bertahun-tahun setelah terkena AIDS. Sehingga pada saat ini bisa dikatakan bahwa AIDS sudah bisa ditangani walaupun belum bisa disembuhkan.

LI. 2.12 PreventionPencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti yangsudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :A. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi melaluihubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual.Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman danbertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri(suami/isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalammelakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal imanagar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.B. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara memastikanbahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar virus HIV,jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AIDS, gunakan alat-alatkesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.C. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil.Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa carapencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan ataupenyebaran HIV/AIDS.

Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalamimplementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yangditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS melaluihubungan seksual yang dilakukannya.

Anjuran dari badan kesehatan dan WHO:

1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda2. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran 3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaan

jarum suntik steril5. Program pendidikan agama6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS)7. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat8. Pelatihan ketrampilan hidup9. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling10. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasanprostitusi anak

Page 18: sek4

11. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatn, dan dukungan untuk ODHA

12. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV

LO. 3 M&M Dilema Etika Kedokteran Mengenai Penanganan Pasien HIV

1. Kewajiban dokter dalam KODEKI untuk penanganan kasus yang menimbulkan stigmatisasi

Pasal 12Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

2. Kewajiban dokter dalam KODEKI untuk penanganan kasus HIV/AIDSPasal 5

Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh

persetujuan pasien.

Pasal 8Dalam melakukan pekerjaanya, seorang dokter harus memperhatikan kepentingan

masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang

sebenar – benarnya.

Pada kasus stigmatisasi dan HIV/AIDS, telah di tekankan pada lafal sumpah kedokteran Indonesia terutama pada poin 4,5,7, dan 8, dan sebagai berikut bunyi lafal sumpah kedokteran Indonesia :Demi Allah saya bersumpah / berjanji bahwa :1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan2. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan3. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai

dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat5. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya

dan keilmuan saya sebagai dokter6. Saya akan tidak mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang

bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun di ancam7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh – sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh

pertimbangan keagamaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik kepartaian, atau kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita

9. Saya akan menghormati setiap hidup insane mulai dari saat pembuahan10. Saya akan memberikan kepada guru – guru saya penghormatan dan pernyataan

terima kasih yang selayaknya

Page 19: sek4

11. Saya akan memperlakukan teman sejawat saya sebagaimana saya sendiri ingin diperlakukan

12. Saya akan menaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia13. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh – sungguh dan dengan mempertaruhkan

kehormatan diri saya

Pasal 31Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantinadilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy,confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy pasien,confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker No.KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS

LO. 4 M&M Pandangan Islam Terhadap Cara Penularan HIV dari Segi Seksual

1. Hukum terkait dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)o Apabila seorang Ibu penderita HIV/AIDS hamil maka ia tidak boleh menggugurkan

kandungannya. Dalam kasus ODHA ini mempertimbangkan kepada janinnya. Dalil adanya larangan aborsi, dalam hal ini dikhususkan pada ODHA hamil, firman Allah :

نرزقهم اكم �ي وإ إن قتلهم كان خ�طءا �يرا خشية كب �مالق إ حن ن أوالدكم وال تقتلوا

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”(Q.s. al-Isra:31)

o Bagi pasien ODHA hamil karena berzina, tetap perlu dirawat dengan baik dalam rangka menyadarkan dirinya untuk bertobat, tetap harus dihormati secara manusiawi, disadarkan atas pebuatan dosa-dosanya dan dibimbing untuk bertobat, baik dari keluarganya atau dari pihak tenaga medis yang mengobatinya, firman Allah :

Page 20: sek4

بات� آدم وحملناهم ف�ي البر والبحر� ورزقناهم من الطي �ي ولقد بن منا كر

ضلناهم ممن تفض�يالخلقنا علىوف �ير كث“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (Q.s.al-Isra:70)

o Jika ODHA hamil dan melahirkan, seharusnya dibantu dan ditangani oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari kemungkinan penularan. Bantu-membantu dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam.

o Khitan bagi anak ODHA tetap wajib sepanjanh hal itu tidak membahayakan dirinya dan proses khitannya seyogyanya dilakukan oleh tim medis/paramedis yang terlatih untuk menghindari penularan.

2. Perlakuan dan akhlak terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)o Majlis Majma’ al-Fiqh al-Islami pada tahun 1995 mengeluarkan fatwa, sesuai

dengan penjelasan para dokter ahli bahwa penularan HIV/AIDS tidak melalui aktivitas hidup seperti berpakain, bersentuhan kulit, nafas, makan atau tidak ada alasan menjauhkan mereka dari bersosialisasi dan bermasyarakat.

o Masyarakat tetap wajib bergaul dan memperlakukan mereka secara manusiawi, mereka termasuk manusia yang dimuliakan Allah.

o ODHA yang mengalami kecelakaan, tetap wajib ditolong dan tetap mewaspadai kemungkinan adanya penularan dengan mengenakan alat pencegahan.