sejarah songket pandaisikek

9
Sejarah Songket Pandaisikek Written by Sutan Lenggang Basa Monday, 25 August 2008 Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer desebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar- besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata. Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan budaya, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang minang , terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya bertahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun. Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu

Upload: moesairil-hadi

Post on 05-Aug-2015

116 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Songket Pandaisikek

Sejarah Songket PandaisikekWritten by Sutan Lenggang Basa   Monday, 25 August 2008

Tidak ada sejarah yang pasti kapan tenunan songket mulai dikembangkan di Minangkabau khususnya di Nagari Pandai Sikek Akan tetapi keahlian dalam menenun merupakan warisan nenek moyang kita bangsa Austronesia atau lebih populer desebut dengan bangsa Malayo-Polynesia, Ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur beberapa ribu tahun yang lalu, bersamaan dengan segala kepandaian yang esensial untuk kehidupan, seperti kepandaian becocok tanam, kepandaian membuat dan menggunakan alat-alat pertanian, pertukangan dan senjata.

Sesuai dengan fitrah manusia, kepandaian dasar pertukangan tentu mengalami pengkayaan estetika sehingga menjadi apa yang sekarang dikenal dengan istilah kerajinan, dan kemudian menjadi seni. Hal ini sejalan dengan perkembangan di bidang ekpresi lainnya seperti seni gerak, seni suara dan seni pementasan. Sebagai warisan budaya, tenun bisa dikatakan sama umurnya dengan stelsel matrilinial orang minang , terukaan sawah di Luhak nan Tigo, dan budaya lisan Kato Pusako pepatah petitih

Di sini juga kita menemukan kesamaan rumpun Austronesia pada kain tenun Sumatra pada umumnya dengan seluruh kain tenun Nusantara hingga ke Sumba dan Timor, juga dengan tenunan La Na di Thailand utara dan Laos. Rumpun ini akan memecah nanti di lihat dari segi kahalusan motif setelah masuknya kebudayaan India dan Cina dari utara. Akan tetapi kesamaannya bertahan di segi peralatan tenun dan teknik bertenun. Beberapa ratus tahun yang lalu, di hulu sungai Batanghari, yang disebut Sungai Dareh, berkembang suatu pemukiman dan pusat perdagangan yang makmur. Penduduk dari daerah yang sekarang disebut Alam Surambi Sungai pagu, dan dari daerah-daerah yang lebih ke utara lagi, datang ke tempat ini untuk menjual hasil-hasil alam berupa rempah-rempah dan emas.

Daerah ini dikunjungi pula oleh pedagang-pedagang yang datang dari seberang laut, seperti India dan Cina. Kaum wanita di daerah ini memakai pakaian yang lebih cantik bagi ukuran masa itu, istilah sekarang: lebih fashionable. Daerah ini kemudian terkenal dengan nama kerajaan Darmasyraya. Inilah cikla-bakal kebudayaan Melayu. Bertahun-tahun

Page 2: Sejarah Songket Pandaisikek

daerah ini menjadi titik pertemuan ekonomi dan budaya antara kebudayaan-kebudayan yang sudah lebih kaya dan maju di utara, Cina, Mongol dan India, dengan budaya lokal.

Dalam kurun beberapa puluh tahun itu, atau mungkin sampai dua ratus tahun, setalah mengalami pergantian raja-raja dan penguasa, penduduknya menyerap banyak ilmu dan teknologi dari bangsa asing, disamping kemajuan bidang ekonomi dan politik yang memperkaya dan meningkatkan mutu kebudayaan lokal. Diantara kemajuan yang dialami adalah dalam bidang pakaian dan teknik bertenun, beserta pengkayaan corak motif dan bahan-bahan yang dapat dipergunakan. Kalau sebelumnya, sesuai dengan perkembangan masyarakat orang membuat pakaian dari benang yang dibuat dari bahan-bahan yang tersedia di tempat pemukiman mereka, seperti serat kulit pohon.

Dengan perkembangan perdagangan orang-orang India memperkenalkan bahan dari serat kapas dan linen, juga benang yang disalut dengan lempengan emas tipis. Pedagang Cina membawa benang sutra yang berasal dari kepompong ulat sutra, juga benang yang dibungkus dengan emas kertas kemudian dikenal dengan nama emas prada. Sehingga bisa diperkirakan bahwa pedangang India pun banyak memperdagangkan bahan tersebut. Pada tahun 1347 Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dan kebudayaan Melayu dari Darmasyraya ke Pagaruruyung, dan kawasan di sekitar gunung Merapi dan Gunung Singgalang yang pada waktu itu terdiri dari Luhak nan Tigo dan Rantaunya yang Tujuh Jurai, menjadi terkenal sebagai Alam Minangkabau.

Dengan beberapa pusat pemerintahan yang tersebar di Pariangan, Sungai Tarok, Limo Kaum, Pagaruyuang, Batipuah, Sumanik, Saruaso, Buo , Biaro, Payokumbuah, dan lain-lain. Alam Minangkabau dengan falsafah alam yang dianut masyrakatnya, alur dan patut serta alam takambang jadi guru, sangat memberi peluang bagi tumbuh dan berkembangya kebudayaan dan kesenian dengan pengkayaan dari unsur-unsur budaya asing.

Susunan masyarakat yang bersuku-suku eksogami dan yang lebih utama lagi, aturan sumando manyumando, telah menggeliminir konflik antar kelompok sehingga memperlambat proses terjadinya kedamaian dan mempersempit kesempatan bagi anak nagari untuk memperlajari dan memperhalus ilmu-ilmu dan keterampilan termasuk salah satunya keterampilan bertenun.

Daerah Batipuh, sebagai salah satu pusat pemerintahan dan kedudukan Tuan Gadang Batipuh sebagai Harimau Campo Koto Piliang, dapat diduga menjadi salah satu daerah yang amat penting pada masa kejayaan Minangkabau dahulu, bersama daerah-daerah lain yang tersebut diatas. Sejalan dengan keadaan itu, masyarakatnya tentu mandapat kesempatan yang lebih banyak untuk melakukan kegiatan ekonomi dan budaya termasuk keterampilan tenun sehingga mutu dan corak kain tenun semakin tinggi dan halus.

Gadis-gadis menenun kain sarung dan tingkuluk dengan benang emas untuk dipakai ketika mereka menikah, dan perempuan lainnya menenun kain untuk dijual Adat istiadat di Minangkabau telah mendorong kegiatan dalam perkembangan pertenunan lebih jauh lagi, karena pada setiap kesempatan upacara adat, kain tenun selalu wajib dipakai dan dihadirkan. Kata-kata adat dinukilkan di dalam nama-nama motif sehingga menjadi buah bibir dan diucapkan setiap saat. Kain tenun menjadi pakaian raja-raja, datuk-datuk dan puti-puti.

Masa ini sejalan dengan kejayaan Turki Usmani dan Asia Tengah, puncak kebesaran

Page 3: Sejarah Songket Pandaisikek

Dinasti Mongol di India, Sultan Akbar 1556-1605, kejayaan Dinasti Ming dan Manchu di Cina. Ketika itu pertukaran perdangangan dan kebudayaan sangat pesat dan melibatkan Minangkabau sebagai suatu kawasan yang menjadi lintasan perdagangan dan juga negri yang mempunyai komoditi dagang yang penting yaitu rempah-rempah dan emas, seni menenun kain dangan sutra dan benang emas di Sumatra, bersamaan dengan suji dan sulaman pun mencapai puncak kemajuannya dan menemukan ciri khasnya tersendiri. Hampir semua pelosok Minangkabau, dari Luhak sampai ke rantau, mempunyai pusat-pusat kerajinan tenun, suji dan sulaman. Masing-masih mengembangkan corak dan ciri-cirinya sendiri.

Beberapa nagari yang terkenal sekali dengan kain tenununya dan sangat produktif pada masa itu adalah Koto Gadang, Sungayang, dan Pitalah di Batipuh, dan nagari yang melanjutkan tradisi warisan menenun hari ini adalah nagari yang termasuk Batipuh Sapuluh Koto juga yaitu Pandai Sikek.

Motif-motif kain tenun Pandai Sikek selalu diambil dari contoh kain-kain tua yang masih tersimpan dengan baik dan sering dipakai sebagai pakain pada upacara-upacara adat dan untuk fungsi lain dalam lingkup acara adat, misalnya sebagai tando, dan dipajang juga pada waktu batagak rumah. Motif-motif tenun Pandai Sikek diyakini sebagai motif asli pada kain-kain tenunan perem puan-perempuan Pandai Sikek pada zaman lampau, yang namanya sebagian masih diingat oleh beberapa orang tua yang hidup sekarang.

Diantara mereka adalah: Sari Bentan, Namun, Salamah di baruah Nuriah. Ipah, Pasah, Nyiah dan Jalisah di Tanjung. Ada kira-kira sepuluh orang master tenun di Pandai Sikek pada zaman atau generasi nama-nama diatas, kira-kira seratus tahun yang lalu. Ada juga beberapa wanita Pandai Sikek zaman dahulu yang dikenal dengan nama julukan yang berhubungan dengan peralatan tenun. Misalnya, dikenal  inyiak Makau dan Inyiak Suri di Tanjuang.

Di Kototinggi, Inyiak Banang, dan Inyiak Karok. Disamping itu, Pandai Sikek sebagai pusat di bidang tenun songket waktu itu, tentu wanita-wanitanya sering mengerjakan pesanan dari daerah-daerah lain, seperti dari Pitalah di Batipuah, Koto Gadang di Agam dan dari Sungayang dengan corak benang dan motif yang spesifik dengan daerah tersebut, dan dikenal sampai sekarang sebagai motif-motif Sungayang, motif Koto Gadang. Saat ini songket Pandaisikek telah dikenal diseluruh wilayah nusantara dan Asia bahkan sampai ke Eropa, Afrika dan Amerika.

Ketenaran ini tidak terlepas dari peran para turis asing (manca negara) yang selalu membeli hasil kerajinan songket Pandaisikek sebagi cendramata untuk dibawa pulang ke negara mereka masing-masing. Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga Songket Pandaisikek kian hari kian di kenal masyarakat Internasional. Imbas positif dari siklus ini tidak hanya dinikmati oleh masyarakat pandaisikek sendiri, melainkan telah membantu peningkatan Pendapatan asli daerah (PAD) Propinsi Sumatera Barat baik disektor perdagangan maupun sektor wisata.

Page 4: Sejarah Songket Pandaisikek

 Di dalam tambo Minangkabau dikatakan bahwa pakaian kebesaran raja ditenun dari benang emas bernama Sangsata Kala, pandai menenun bergerak sendiri, ditenun anak bidadari (Dt. Tueh 1985). Sangsata Kala diartikan dengan songket, kain yang ditenun dengan benang emas di Minangkabau adalah kain tenunan songket. Tenunan songket merupakan kain tenun yang ditenun oleh masyarakat Minangkabau yang dipakai sebagai bagian dari pakaian adat. Pengertian songket di Minangkabau pada dasarnya tidak berbeda dengan kain sejenis yang dihasilkan berbagai daerah di Nusantara, yaitu merupakan tenunan yang menggunakan benang emas atau benang perak sebagai tambahan untuk membentuk motif hias (Indonesia Indah, tt). Songket mempunyai arti, yaitu jarum dari tulang yang dipergunakan untuk menyulam. Kain songket adalah kain yang disulam sewaktu proses menenun. Sedangkan bersungkit berarti menusukkan, menembus atau memasukan benang. Kata songket berasal dari kata kerja sungkit, yaitu menyungkit atau mencongkel benang (Suwati Kartiwa, 1989). tenunan songket Minangkabau telah melalui tingkat perkembangan yang panjang sejak zaman awal masehi. Perkembangan yang dilalui secara evolusi, memperlihatkan berbagai ciri ragam hias yang saling mempengaruhi akibat asimilasi budaya setempat dengan budaya yang datang dari luar, yang tergambar dari perbaduan bahan, motif dan tehnik yang berasimilasi dengan unsur Cina, India dan pengaruh unsur Islam. Pada awal perkembangannya tenunan songket sangat terkait dengan perdagangan benang benang emas, diperkirakan dari analisis sejarah, sekitar abad ke V Sumatera telah menjadi pusat perdagangan yang penting di kawasan Asia Tenggara. Pedagang-pedagang Cina, Arab dan India datang ke kawasan ini untuk membeli hasil-hasil hutan seperti: kopi, lada, gambir dan emas. Emas pada waktu itu sudah merupakan salah satu hasil tambang yang diperjual belikan, walaupun ketika itu dengan proses penambangan yang sangat sederhana. Perdagangan emas ini sangat melimpah pada abad ke VII dan ke VIII, seperti yang diuraikan oleh Suwati Kartiwa, sekitar abad ke VIII Seriwijaya merupakan kerajaan yang kaya raya, sehingga emas sebagai logam mulia melimpah ruah. Sebahagian emas ini di kirim ke negeri Siam, di negeri tersebut emas diolah dan dijadikan benang emas untuk kemudian dikirimkan kembali ke Seriwijaya dan kerajaan Melayu lainnya.Sehubungan dengan benang emas ini ada pendapat yang mengatakan bahwa benang emas merupakan benang import yang didatangkan dari Cina, yaitu dari kota Kanton bersamaan dengan datangnya benang sutera. “Benang emas dahulu kala yang dibawa oleh pedagang-pedagang Cina dai Kanton disebut dengan Macao. Istilah macao sampai sekarang masih dipakai untuk menyebut benang emas (benang makau). Sebutan tersebut pada mulanya dihubungkan dengan kata dari mana benang tersebut dahulunya berasal. Pada tahun 1557 Cina menjadikan Macao sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan di laut Cina Selatan” (Zaini Rais 1988). Diperkirakan

Page 5: Sejarah Songket Pandaisikek

kedatangan benang emas dari Kanton terjadi hampir bersamaan dengan kedatangan emas dari negeri Siam Dengan masuknya benang emas dan benang sutera ke dalam seni tenun, masyarakat juga berlomba mencoba memasukan unsur benang emas ke dalam unsur tenunan mereka. Hal ini jelas membawa pengaruh terhadap songket yang dihasilkan, sehingga menghasilkan songket yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Faktor lain yang ikut mempengaruhi perbedaan desain songket latar belakang kebudayaan, adat istiadat, agama, kepercayaan dan pengetahuan seni serta pengetahuan ragam hias yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Dilihat dari tenunan songket Minangkabau dengan latar belakang agama Islam yang kuat, desain songket yang dihasilkan banyak dipengaruhi oleh seni budaya Islam. Seni budaya Islam cenderung bermotif geometris, kaligrafi, dan bentuk tumbuh-tumbuhan. Sedangkan bagi masyarakat yang masih menganut animisme atau agama selain Islam, seperti pada masyarakat kawasan Indonesia Timur, motif manusia dan hewan menjadi desain utama yang di sakralkan dan menjadi simbol adat yang dimasukan sebagi motif dalam tenunan songket mereka. Dalam kebudayaan Islam, seni yang mendapat tempat utama adalah seni ornamen (arabies dan geometri) dan kaligrafi. Hal ini pada mulanya disebabkan oleh larangan-larangan beberapa hadist mewujudkan image makhluk bernyawa. Larangan itu sesungguhnya tidak mutlak, karena memang dalam Al Quran tidak tercantum satu ayat pun yang berisi demikian. Ibenzani Usman (1985:97), Dengan demikian pengaruh seni Islam sangat menonjol pada motif songket, yang pada umumnya bermotif reka geometris, salur-salur dan bentuk tumbuh-tumbuhan. Adakalanya desain yang dihasilkan memakai nama-nama makhluk hidup atau haiwan, tetapi itu hanya dalam bentuk imige yang nyatanya hanya berbentuk lengkung-lengkung, garis-garis patah dan ber macam-macam garis. 

 

Sejarah songket Minangkabau

Page 6: Sejarah Songket Pandaisikek

Songket adalah kain tenun mewah yang biasanya dikenakan saat kenduri, perayaan atau pesta. Songket dapat dikenakan melilit tubuh seperti sarung, disampirkan di bahu, atau sebagai destar atau tanjak, hiasan ikat kepala.Kata songket sendiri sebenarnya berasal dari istilah sungkit dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yang berarti “mengait” atau “mencungkil”. Hal ini berkaitan dengan metode pembuatannya, mengaitkan dan mengambil sejumput kain tenun, dan kemudian menyelipkan benang emas.Sedangkan sejarah dari songket Minangkabau sendiri berasal dari kerajaan Sriwijaya yang kemudian dikembangkan melalui kerajaan Melayu sampai akhirnya masuk ke ranah Minang. Songket ini tercipta sebagai alat ekspresi karena orang-orang Minang pada jaman dahulu tidak bisa menulis dan akhirnya mereka pun mengekspresikan perasaan mereka ke dalam songket sehingga masing-masing songket punya arti dan makna yang berbeda-beda.Motif-motif songket Minangkabau

Songket Minangkabau adalah salah satu bentuk senirupa tradisional yang unik. Seni-tenun ini cukup rumit dan membutuhkan ketelitian serta ketekunan dalam proses penenunannya. Selain itu, ragam-hias atau motif songket Minangkabau tidak hanya sekadar hiasan atau ornamen. Motif atau ragam-hias songket Minangkabau masing-masing memiliki nama dan makna yaitu tentang perjalanan kebudayaan dan masyarakat Minangkabau. Motif-motif songket Minangkabau ditampilkan dengan wujud simbol-simbol alam terutama tumbuhan yang kaya makna tersurat dan tersirat.

Beberapa motif songket Minangkabau beserta arti filosofisnya :

1. Motif kaluak paku (pakis), menyiratkan bahwa pentingnya bersikap introspeksi karena pucuk paku bergelung ke dalam terlebih dulu baru keluar.2. Motif pucuak rabuang (bambu), menyiratkan bahwa bambu selalu bisa dimanfaatkan dari muda sampai tua. Dari rebung untuk dimakan sampai bambu untuk kerajinan. Dan, makna tersirat juga dapat dilihat bahwa semakin tua dan berpengalaman orang Minang hendaknya semakin merunduk.3. Motif bungo antimun (mentimun), yang mana mentimun selalu dapat dimanfaatkan. Selain dapat dimakan mentimun juga berguna untuk perawatan kecantikan. Dari cara tumbuhnya yang menjalar dan selalu melekatkan akarnya ke penopang seruas demi seruas, makna tersuratnya menurut Abdul Hamid Dt. Rangkayo Sati adalah melakukan sesuatu haruslah secara sistematis dan mengakar. Atau, jika beragumentasi harus jelas dan dengan dalil yang kuat.4. Motif bijo (biji bayam), yang mana tanaman bayam mudah tumbuh di mana saja. Jika sudah tua bijinya yang halus dan ringan mudah menyebar. Ini diumpamakan bahwa seorang berilmu memberikan ilmu dengan ikhlas dan

Page 7: Sejarah Songket Pandaisikek

menerima imbalan juga dengan ikhlas. Dalam budaya Minangkabau, murid biasanya mengisi cupak nan tangah (mengisi tempat beras di rumah gurunya) sesuai kemampuannya.5. Motif ilalang rabah (rebah), yang artinya ilalang yang rebah jangan diinjak dengan sembrono. Sebab, akarnya yang merentang tersembunyi bisa menjadi ranjau yang dapat menjatuhkan. Artinya, kewaspadaan, kehati-hatian, dan kecermatan seorang pemimpin adalah hal yang utama. Kekuasaan harus bersifat arif agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Tidak selamanya orang lemah menyerah pada penindasan. Bahkan, akar rumput pun bisa menjelma kuat hingga meruntuhkan kezaliman