sejarah pendidikan kebidanan di dalam negeri print

28
BAB 1 PENDAHULUAN A. Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807, di masa pemerintahan Gubernur Jendral Hendrik William Deandels, para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan. Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan pada saat itu hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia, tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang di kenal dengan RSPAD Gatot Subroto. 1

Upload: yohanes-dedio

Post on 01-Jan-2016

59 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Perkembangan Pelayanan dan Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan

anak sangat tinggi. Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun

1807, di masa pemerintahan Gubernur Jendral Hendrik William Deandels,

para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan, tetapi keadaan

ini tidak berlangsung lama karena tidak tersedianya pelatih kebidanan.

Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kebidanan pada saat itu

hanya diperuntukan bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.

Kemudian pada tahun 1849, dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia,

tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang di kenal dengan

RSPAD Gatot Subroto. Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut,

pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia

oleh seorang dokter militer Belanda bernama Dr. W. Bosch. Lulusan sekolah

ini kemudian bekerja di rumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat itu

pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.

Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar

dapat meningkatkan kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para

dukun masih berlangsung sampai sekarang. Pelatihan ini diberikan oleh

bidan. Perubahan pengetahuan dan keterampilan tentang pelayanan kesehatan

ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus

1

Page 2: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

tambahan yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB). Pada

tahun 1953 di Yogyakarta, yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar

lainnya di nusantara ini. Seiring dengan pelatihan tersebut, didirikan pula

Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai penanggung

jawab pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup

pelayanan antenatal, postnatal, pemeriksaan bayi dan anak, termasuk

imunisasi dan penyuluhan gizi. Sedangkan diluar KIA, bidan memberi

pertolongan persalinan di rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah

sebagai upaya tindak lanjut pascapersalinan.

Bermula dari BKIA, kemudian terbentuklah suatu pelayanan

terintegrasi bagi masyarakat yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas) pada tahun 1957. Puskesmas memberikan pelayanan di dalam

gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilayah kerja. Bidan yang

bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu

dan anak, termasuk pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung

maupun di dalam gedung. Pelayanan kebidanan yang diberikan di luar

gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan

terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu

pemeriksaan kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi dan

kesehatan lingkungan.

Mulai tahun 1990, pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan

dekat dengan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebijakan

ini merupakan Instruksi Presiden (Inpres) yang disampaikan secara lisan pada

2

Page 3: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Sidang Kabinet Tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik

bidan untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah sebagai

pelaksana kesehatan KIA, khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil,

bersalin dan nifas, serta pelayanan kesehatan bayi baru lahir, termasuk

pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu , bidan desa juga

menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang

dilakukan sejalan dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan

kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, bidan desa

melaksanakan kunjungn rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya,

mengadakan pembinaan posyandu di wilayah kerjanya, serta

mengembangkan Pondok Bersalin sesuai dengan kebutuhan masyarakat

setempat.

Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayanan yang diberikan oleh

bidan di desa. Pelayanan bidan di desa berorientasi pada kesehatan

masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja di rumah sakit berorientasi pada

individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di poliklinik

antenatal, poloklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin,

kamar operasi kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga

memberikan pelayanan bagi klien yang mengalami gangguan kesehatan

reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi pendidikan perinatal.

3

Page 4: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Titik tolak Konferensi Kependudukan Dunia di Kairo pada tahun

1994 yang menekankan pada kesehatan reproduksi (reproductive health),

memperluas area garapan pelayanan bidan. Area tersebut meliputi:

1. Safe motherhood; termasuk bayi baru lahir dan perawatan abortus.

2. Keluarga berencana.

3. Penyakit menular seksual termasuk infeksi saluran alat reproduksi.

4. Kesehatan reproduksi remaja.

5. Kesehatan reproduksi orang tua.

Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan

pada kemampuan serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut

diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Permenkes yang

menyangkut wewenang bidan selalu mengalami perubahan sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan masyaraat serta kebijakan pemerintah dalam

maningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut terdiri atas :

1. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenang bidan

terbatas pada pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi

tugas lain.

2. Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi Permenkes

623/1989, menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu

wewenang umum dan wewenang khusus. Dalam wewenang khusus

ditetapan bahwa bidan melaksanakan tindakan khusus dibawah

pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan

4

Page 5: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

tugasnya tidak bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas tindakan

yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes ini, bidan melaksanakan praktik

perorangannya dibawah pengawasan dokter.

3. Permenkes No. 572/VI/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik

bidan. Bidan dalam melaksankan praktiknya diberi kewenangan yang

mandiri. Kewenangan tersebut disertai kemampuan dalam melaksanakan

tindakan. Dalam kewenangan tersebut mencakup:

a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak

b. Pelayanan keluarga berencana

c. Pelayanan kesehatan masyarakat.

4. Permenkes No. 900/Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang

registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi

kewenangan untuk memberikan pelayanan yang meliputi:

a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal,

intranatal, posnatal, bayi baru lahir dan balita.

b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat

kontrasepsi melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR

dan AKBK tanpa penyulit.

5

Page 6: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi,

konsultasi, dan rujukan sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan serta

kemampuannya. Wewenang bidan dalam pelayanan kebidanan di bidang

keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi: oral (pil KB),

suntik, kondom, tisu vaginal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), alat

kontrasepsi bawah kulit (AKBK), baik pemasangan maupun pencabutan.

Pada keadaan darurat, bidan juga diberi wewenang untuk memberikan

pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk menyelamatkan jiwa (mis.,

kuretase digital untuk mengangkat sisa jaringan pada bayi baru lahir yang

mengalami asfiksia dan hipotermia).

Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam

menjalankan praktiknya harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan,

pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi. Disamping itu,

bidan diwajibkan merujuk kasus-kasus yang tidak dapat ditangani,

menyimpan rahasia, meminta persetujuan untuk tindakan yang akan

dilaksanakan, memberi informasi, serta membuat rekam medis dengan baik.

Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat

pada petunjuk pelaksanaan (juklak) yang dituangkan dalam Lampiran

Keputusan Dirjen Binkesmas No. 1506/Tahun 1997.

Pencapaian kemampuan bidan sesuai Permenkes 572/1996 tidak

mudah, karena kewenangan yang diberikan oleh Departemen Kesehatan

mengandung tuntutan bahwa bidan sebagai tenaga profesional harus memiliki

kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian kemampuan tersebut diperoleh

6

Page 7: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

melalui institusi pendidikan yang mengajarkan kompetensi inti bidan serta

institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan bidan sesuai dengan

kebutuhan masyarakat.

Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang

handal dan profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh

karena itu, adanya konsil kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan

bidan yang berorientasi pada profesional dan akademik serta memiliki

kemampuan melakukan penelitian adalah suatu terobosan dan syarat utama

untuk percepatanpeningkatan kualitas pelayanan kebidanan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan kebidanan di Indonesia ?

2. Bagaimana tahap-tahap perkembangan pendidikan kebidanan dari tahun

ketahun di indonesia ?

3. Bagaimana perbedaan perkembangan pendidikan yang ada di indonesia

dari tahun ketahun?

C. Tujuan

Tujuan dari mempelajari sejarah kebidanan di indonesia adalah

1. Mampu menjelaskan perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia.

2. Mengetahui tahap-tahap perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia.

3. Mengetahui perbedaan perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia

dari tahun ketahun

7

Page 8: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

D. Manfaat

Manfaat yang diperoleh dari perkembangan pendidikan di Indonesia adalah :

1. Manfaat bagi peneliti

Menambah wawasan peneliti tentang perkembangan pendidikan yang ada

di Indonesia.

2. Manfaat bagi pembaca

Pembaca mendapat wawasan tentang perkembangan pendidikan

kebidanan yang ada di Indonesia.

8

Page 9: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

BAB ll

PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri

Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan

pelayanan kebidanan. Keduanya berjalan beriringan untuk memenuhi

kebutuhan/tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kebidanan. Pendidikan

bidan memcakup pendidikan formal dan non formal.

Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada

tahun 1851, seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka

pendidikan bidan bagi wanita pribumu Batavia. Pendidikan ini tidak

brlangsung lama karena kurangnya peserta didik akibat adanya larangan

ataupun pembatasan bagi wanita untuk keluar rumah.

Pendidikan bidan bagi wanita pribumi dibuka kembali di rumah Sakit

Militer di Batavia pada tahun 1902. Pada tahun 1904, pendidikan bidan bagi

wanita Indonesia juga dibuka di Makasar. Lulusan dari pendidikan ini harus

bersedia ditempatkan dimanapun tenaga mereka dibutuhkan dan mau

menolong msyarakat yang tidak/kurang mampu secara cuma-cuma. Lulusan

ini mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden per bulan.

Kemudian dinaikkan menjadai 40 Gulden per bulan (tahun 1922).

Tahun 1911-1912 dimulai program pendidikan tenaga keperawatan

secara terencana di Rumah Sakit Umum Pusat Semarang dan Rumah Sakit

Umum Cipto Mangunkusuma di Batavia dengan lama pendidikan selama

9

Page 10: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

empat tahun. Calon murid berasal dari lulusan Holandia Indische School (SD

7 tahun) dan pada awalnya hanya menerima peserta didik pria. Pada tahun

1914, peserta didik wanita mulai diterima untuk mengikuti program

pendidikan tersebut. Setelah menyelesaikan pendidikan tersebut, perawat

wanita dapat meneruskan ke pendidikan kebidanan selama dua tahun,

sedangkan perawat pria dapat meneruskan ke pendidikan keperawatan

lanjutan juga selama dua tahun.

Pada tahun 1935-1938, pemerintah kolonial Belanda mulai membuka

pendidikan bidan lulusan Mulo (setingkat SMP) dan paa waktu yang hampir

bersamaan dibuka sekolah bidan di beberapa kota besar antara lain di Jakarta

(RSB Budi Kemuliaan) serta di Semarang (RSB Palang Dua dan RSB Mardi

Waluyo). Di tahun yang sama dikeluarkan sebuah peraturanyang

mengklasifikasikan lulusan bidan berdasarkan latar belakang pendidikan.

Bidan dengan dasar pendidikan Mulo dan pendidikan kebidanan selama tiga

tahun disebut Bidan Kelas Satu (vroedvrouw eerste klas) serta bidan dari

lulusan perawat (mantrio) disebut Bidan Kelas Dua (vroedvrouw tweedeklas).

Perbedaan ini menyangkut ketentuan gaji pokok dan tunjangan bagi bidan.

Pada Zaman penjajahan Jepang, pemerintah mendirikan sekolah perawat atau

sekolah bidan dengan nama dan dasar yang berbeda, namun memiliki

persyaratan yang sama engan zaman penjajahan Belanda. Peserta didik

kurang berminat memasuki sekolah tersebut dan mereka mendaftar karena

terpaksa, karena tidak ada pendidikan lain.

10

Page 11: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Pada tahun 1950-1953, dibuka sekolah bidan untuk lulusan SMP

dengan batasan usia munimal 17 tahun dan lama pendidikan tiga tahun.

Mengingat kebutuhan tenaga untuk menolong persalinan cukup banyak maka

dibuka pendidikan pembantu bidan yang disebut Penjenang Kesehatan E

(PK/E) atau Pembantu Bidan. Pendidikan ini dilanjutkan sampai tahun 1976

dan setelah itu ditutup. Peserta didik PK/E adalah lulusan SMP di tambah dua

tahun kebidanan dasar. Lulusan dari PK/E sebagian besar melanjutkan

pendidikan bidan selama dua tahun.

Tahun 1953 dibuka Kursus Tambahan Bidan (KTB) di Yogyakarta

lamanya kursus antara 7 sampai dengan 12 minggu. Pada tahun 1960,KTB

dipindahkan ke Jakarta. Tujuan dari KTB ini adalah untuk memperkenalkan

kepada lulusan bidan mengenai perkembangan program KIA dalam

pelayanan kesehatan masyarakat sebelum lulusan memulai tugasnya sebagai

bidan, terutama menjadi bidan di BKIA. Pada tahun 1967, KTB ditutup.

Tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama

dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada

awalnya, pendidikan ini berlangsung satu tahun kemudian menjadi du tahun

dan terakhir berkembang menjadi tiga tahun. Pada awal tahun 1972, institusi

pndidikan ini dilebur menjadi Sekolah Guru Perawat (SGP). Pendidikan ii

menerima calon dari lulusan sekolah perawat dan sekolah bidan.

Pada tahun 1970, dibuka program pendidikan bidan yang menrima

lulusan dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) ditambah dua tahun pendidikan

11

Page 12: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

bidan yang disebut Sekolah Pendidikan Lanjutan Jurusan Kebidanan

(SPLJK). Pendidikan ini tidak dilaksanakan secara merata diseluruh provinsi.

Pada tahun 1974, mengingat jenis tenaga kesehatan menengah dan

bawah sangat banyak (24 kategori), Departemen Keehatan melakukan

penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan nonsarjana. Pendidikan bidan

ditutp dan dibuka Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) dengen tujuan

menciptakan tenaga multitujun dilapangan yang salah satu tuganya adalah

menolong persalinan normal. Akan tetapi, karena adanya perbedaan falsafah

dan kurikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang bidan,

maka tujuan pemerintah agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai

atau terbukti tidak berhasil.

Pada tahun 1975 sampai 1984, institusi pendidikan bidan ditutup

sehingga selama 10 tahun tidak menghasilkan bidan. Namun organisasi

profesi bidan (IBI) tetap ada dan hidup dengan wajar.

Tahun 1981 dibuka pendidikan diploma I kesehatan ibu dan anak

untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan (SPK) dalam pelayanan

kesehatan ibu dan anak termasuk kebidanan. Pendidikan ini hanya

berlangsung satu tahun dan tidak dilakukan oleh semua institusi.

Pada tahun 1985, dibuka lagi program pendidikan bidan (PPB) yng

menerima lulusan dari SPR dan SPK. Pada saat itu, dibutuhkan bidan yang

memiliki kewenangan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak

serta keluarga berencana di masyarakat. Lama pendidikan satu tahun dan

lulusannya dikembalikan kepada institusi yang mengirim.

12

Page 13: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Tahun 1989 dibuka program pendidikan bidan secara nasional yang

membolehkan ulusan SPK untuk langsung masuk program pendidikan bidan.

Program ini dikenal sebagai Program Pendidikan Bidan A (PPB/A) dengan

lama pendidikan satu tahun. Lulusannya ditempatkan di desa-desa dengan

tujuan memberi pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan terhadap

ibu dan anak di darah pedeaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

keluarga dan menurunkan angka kematian ibu dan anak. Untuk itu,

pemerintah menetapkan seorang bidan di tiap desa sebagai pegawai negeri

sipil (PNS) Golongan II. Mulai tahun 1996 status bidan di desa adalah

sebagai pegawai tidak tetap (Bidan PTT) kontrak dengan pemerintah selama

tiga tahun yang kemudian dapat diperpanjang sampai 2-3 tahun lagi.

Penempatan bidan di desa (BDD) ini menyebabkan orientasi sebagai

tenaga kesehatan berubah. BDD harus dipersiapkan sebaik-baiknya tidak

hanya kemampuan klinis sebagai bidan tetapi juga kemampuan untuk

berkomunikasi, konseling, dan kemampuan untuk menggerakan masyarakat

desa dalam meningkatkan taraf kesehatan ibu dan anak. Program pendidikan

bidan A diselenggarakan dengan peserta didik yang cukup banyak.

Diharapkan pada tahun 1996, sebagian besar desa sudah memiliki minimal

seorang bidan. Lulusan pendidikan ini kenyataannya juga tidak memiliki

pengetahuan dan keterampilan seperti yang diharapkan sebagai seorang bdan

profesional, karena lama pendidikan yang terlalu singkat (hanya satu tahun)

dan jumlah peserta didik yang terlalu besar. Kesempatan peserta didik untuk

13

Page 14: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

praktik di klinik kebidanan sangat kurang sehingga tingkat kemampuan yang

seharusnya dimiliki oleh seorang bidan profesional tidak dapat tercapai.

Pada tahun 1993, dibuka program pendidikan bidan program B yang

peserta didiknya dari lulusan akademik perawat (Akper) dengan lama

pendidikan satu tahun. Tujuan program ini adalah menyiapkan tenaga

pengajar Pendidikan Bidan Program A. Hasil penelitian terhadap kemampuan

klinis kebidanan lulusan ini menunjukan bahwa kompetensi bidan yang

diharapkan tidak tercapai karena lama pendidikan yang terlalu singkat yaitu

hanya setahun. Pendidikan ini hanya berlangsug selama dua angkatan (1995

dan 1996) kemudian ditutup.

Pada tahun 1993, juga dibuka Pendidikan Bidan Program C yang

menerima murid dari lulusan SMP. Pendidikan ini dilakukan di 11 provinsi

yaitu Aceh, Bengkulu, Lampung dan Riau (Wilayah Sumatera); Kalimantan

Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan (Wilayah Kalimantan);

Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Irian Jaya. Pendidikan

ini memiliki kurikulum3700 jam dan dapat diselesaikan dalam waktu enam

semester.

Selain program pendidikan bidan di atas, sejak tahun 1994-1995

pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh

(distance learning) di tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Tengan dan Jawa

Timur. Kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya

peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam

pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pengaturan

14

Page 15: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

penyelenggaraan ini telah diatur dalam SK Menkes No.

1247/Menkes/SK/XII/1994.

Diklat Jarak Jauh (DJJ) bidan ditujukan untuk meningkatkan

pngetahuan, sikap dan keterampilan bidan agar mampu melaksanakan

tugasnya serta diharapkan dapat memberi dampak pada penurunan Angka

Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi. DJJ bidan dilaksanakan dengan

menggunakan modul sebanyak 22 buah.

Pendidikan ini di koordinasikan oleh Pusdiklat Depkes dan

dilaksanakan oleh Bapelkes di Provinsi. DJJ tahap I (1995-1996)

dilaksanakan di 15 provinsi. Pada tahap II (1996-1997), DJJ dilaksanakan di

16 Provinsi dan pada tahp III (1997-1998), DJJ dilaksanakan di 26 provinsi.

Secara kumulatifpada tahap I-III, DJJ telah diikuti oleh 6.306 orang bidan dan

sejumlah 3.439 (55%) dinyatakan lulus. Pada tahap IV (1998-1999), DJJ

dilaksanakan di 26 provinsi dengan jumlah tiap provinsinya adalah 60 orang,

kecuali provinsi Maluku, Irian Jaya dan Sulawesi Tengah masing-masing

hanya 40 orang, dan provinsi Jambi 50 orang.

Selain pelatihan DJJ, pada tahun 1994 juga dilaksankan pelatihan

pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal (life saving skill, LSS)

dengan materi pembelajaran berbentuk 10 modul. Pelatihan ini dikoordinasi

oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Ditjen Binkesmas, sedangkan

pelaksanaannya dilakukan di rumah sakit provinsi/kabupaten. Ditinjau dari

prosesnya, penyelenggaraan ini dinilai tidak efektif.

15

Page 16: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

Pada tahun 1996, Ikatan Bidan Indonesia (IBI) bekerja sama dengan

Departemen Kesehatan dan American College of Nurse Midwife (ACNM)

serta rumah sakit swasta mengadakan Training of Trainer (TOT) LSS yang

pesetanya adalah anggota IBI sejumlah 8 orang, yang kemudian menjadi tim

pelatih LSS inti di Pengurus Pusat IBI. Tim pelatih LSS ini mengadakan TOT

dan pelatihan untuk para bidan desa (yang dilaksanakan di 14 provinsi) dan

bidan praktek swasta (yang dilaksanakan secara swadaya) serta kepada

guru/dosen dari diploma kebidanan.

Pada tahun 1995-1998, IBI bekerja sama dengan Mother care

melakukan pelatihan dan peer review bagi bidan rumah sakit, bidan

puskesmas, serta bidan desa di provinsi Kalimantan Selatan.

Pada tahun 2000, telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal

(APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health (MNH) yang

sampai saat ini telah memberi pelatihan APN di beberapa provinsi/kabupaten.

Pelatihan LSS dan APN tidak hanya ditujukan untuk bidan di pelayanan

tetapi juga bidan yang menjadi guru atau dosen di sekolah/akademi

kebidanan.

Selainmelalui pendidikan formal dan pelatihan, untuk meningkatkan

kualitas pelayanan juga diadakan seminar dan lokakarya organisasi.

Lokakarya organisasi dengan materi pengembangan organisasi (Organization

Development, OD) dilaksanakan setiap setahun sebanyak dua kali mulai

tahun 1996 sampai 2000 dengan biaya dari UNICEF dan berlangsung hingga

saat ini. Tahun 2000 pendidikan bidan ditingkatkan lebih tinggi yaitu diploma

16

Page 17: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

tiga (D-3) kebidanan. Tahun 2000-2002 dibuka program D-IV Bidan

Pendidik untuk memenuhi tenaga pendidik di akademi kebidanan. Prorgam

ini bekerjasama dengan IBI dan UGM Yogyakarta. Pada April 2002, dibuka

Program D-IV Bidan Pendidik di Bandung di Universitas Padjajaran dan

berlangsung hingga saat ini. Tahun 2003 Pelatihan Bidan Delima. Sampai

tahun 2011 jumlah institusi program D-3 kebidanan berjumlah 693 , D-IV

bidan pendidik sebanyak 69, S-1 kebidanan berjumlah 5, serta S-2 kebidanan

berjumlah 1.

17

Page 18: Sejarah Pendidikan Kebidanan Di Dalam Negeri Print

BAB lll

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat simpulkan bahwa perkembangan

pendidikan kebidanan di indonesia mengalami perkembangan yang

cukup pesat dari tahun ketahun.

B. Saran

Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tugas

konsep kebidanan ini, kami mohon kritik dan saran untuk perbaikan

tugas ‘' Perkembangan Pendidikan Kebidanan yang Ada di indonesia

18