secara tartil santri usia 6-12 tahun a.sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/bab259410265.pdf ·...
TRANSCRIPT
14
BAB II
METODE IQRO’ DAN KEMAMPUAN MEMBACA AL-QUR’AN
SECARA TARTIL SANTRI USIA 6-12 TAHUN
A. METODE IQRO’
1. Pengertian Metode Iqro‟
Al-Qur‟an mengajarkan bahwa kemajuan beragama terjadi melalui proses
belajar dan amat menekankan kepada pentingnya proses belajar, sebenarnya
seluruh proses pandangan filosofis dari Al-Qur‟an didasarkan atas proses belajar
yang mengangkat derajat manusia. Dalam mengajarkan Al-Qur‟an seorang guru
atau ustadz atau ustadzah dapat menggunakan metode bermacam-macam, yang
mana setiap metode tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Karena
keberagaman ini guru bisa memilih metode mana yang dirasakan cocok dan
efisien untuk digunakan dalam pembelajaran. Metode-metode pembelajaran Al-
Qur‟an tersebut seperti metode Baghdadiyah, metode Qiro’ati, metode Tilawah,
metode Al-Barqy dan sebagainya. Dan salah satu metode yang sering dan
mayoritas dipergunakan di Indonesia adalah metode iqro‟. Dan disini penulis akan
memaparkan pengertian metode iqro‟, sebelum membahas pengertian metode
iqro‟, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian metode itu sendiri.
Metode berasal dari bahasa Greeka yaitu “metha”(melalui/melewati)
dan“hodos”(jalan/cara), jadi metode secara harfiyah ialah “cara”, dalam
pemakaian secara umum metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan
atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep
secara sistimatis (Muhibbin Syah, 2004:201), dalam dunia pendidikan metode
merupakan suatu cara yang harus di tempuh pengajar untuk dapat mencapai suatu
tujuan pembelajaran yang diinginkan. Sedangkan menurut Drs.Murni Jamal M.A
dalam bukunya “Metodik Khusus Pengajaran Agama” menyatakan bahwa
“methodik” berasal dari kata metode (methode) yang berarti suatu cara sistimatis
dan umum seperti cara kerja ilmu pengetahuan. Jadi dari beberapa pengertian
diatas dapat di simpulkan bahwa metode ialah suatu cara sistimatis dalam
mencapai suatu tujuan.
15
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Arab Al Munawwir kata Iqro‟
berasal dari kata kerja, yaitu Qoroa, Yaqrou, Qirooatan yang artinya “membaca”.
Jika digabungkan maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pengertian
metode iqro‟ disini ialah suatu cara yang tersusun rapih dan sistimatis untuk
mencapai suatu tujuan yang dalam hal ini ialah mampu membaca Al-Qur‟an
secara tartil.
Metode iqro ini disusun oleh bapak As‟ad Humam dari Yogyakarta dan
dikembangkan oleh AMM (Angkatan Muda Masjid dan Mushollah) Yogyakarta
dengan membuka TK Al-Qur‟an dan TPA. Metode Iqro ini semakin menyebar
luas di Indonesia. Metode iqro ini sering digunakan pada pengajian anak-anak di
mesjid ataupun mushollah, majelis taklim dan TPA. Karena pada dasarnya metode
iqro‟ ini sangatlah praktis dan dalam prakteknya tidak membutuhkan alat-alat
yang bermacam-macam, karena metode ini menekankan pada bacaannya
(membaca huruf Al-Qur‟an secara tartil) yang lebih bersifat individual dengan
cara belajar siswa aktif (CSBA), sehingga dapat kita simpulkan bahwa metode
iqro ialah metode membaca Al-Qur‟an dengan cara santri belajar aktif (CSBA),
sehingga diharapkan santri diwaktu cepat mampu membaca Al-Qur‟an secara
tartil (Syuaeb Kurdi dan Abdul Aziz, 2012:100).
2. Efektivitas Penerapan Metode Iqro
Metode iqro‟ merupakan metode atau cara membaca Al-Qur‟an dengan
bacaan langsung yaitu tidak diperkenalkan terlebih dahulu nama-nama huruf
hijaiyah, jadi tidak diperkenalkan huruf alif tanda baca fathah kemudian dieja
fathah A dan seterusnya, tetapi langsung diajarkan bunyi A, BA, TA dan
seterusnya.
Metode iqro‟ ini mengacu kepada pengajaran Ath-Thoriqoh Shautiyah
yaitu suatu cara pengajaran secara langsung atau terus pada bunyi, bukan dengan
mengeja huruf. Karena metode ini sangat menekankan pada pembelajaran aktif
seorang siswa sehingga sering bersifat individual dan mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan.
16
Metode iqro‟ terdiri dari 6 jilid dengan 10 sifat buku iqro‟ yaitu:
1. Bacaan Langsung
Yaitu tidak diperkenankan terlebih dahulu nama-nama huruf hijaiyah, jadi
tidak diperkenalkan huruf alif fathah A, tapi langsung diajarkan bunyi huruf A,
Ba Ta dan seterusnya.
2. Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
Dalam istilah CBSA dengan metode iqro‟, tidak diperkenalkan istilah anak
didik atau peserta didik atau siswa dan guru atau pendidik, tetapi diperkenalkan
istilah ustadz atau ustadzah dan santri, karena kedua istilah tersebut
memberikan dorongan kepada para santri dan ustadz dalam kegiatan belajar
mengajar. Yang belajar adalah santri, bukan ustadznya sehingga santri harus
didorong untuk aktif dan ustadz hanya membimbingnya saja.
3. Privat
Dalam belajar Al-Qur‟an, santri berhadapan langsung dengan ustadz, hal ini di
maksudkan agar santri tahu betul bagaimana mengucapkan huruf-huruf yang
sesuai dengan kaidah makhrojnya, karena itulah santri disimak satu persatu
secara bergantian (privat).
4. Modul
Santri dalam menyelesaikan materi iqro tergantung dari kemampuan dan
usahanya sendiri, tidak berdasarkan kemampuan kelas atau rekannya. Mereka
yang cerdas dan rajin akan lebih cepat selesai.
5. Asistensi
Jika terpaksa kekurangan ustadz ataupun ada yang berhalangan maka bisa
menunjuk santri terpilih untuk menjadi pengganti ustadz.
6. Praktis
Dalam penyusunannya buku iqro ini sangat praktis, baik dari segi jilid buku
iqro sendiri dan materi bacaannya.
7. Sistimatis
Buku iqro ini dirancang secara sistimatis, sehingga para santri tidak merasa
terbebani dan susah dalam belajar, tanpa disadari santri ada peningkatan dalam
membaca Al-Qur‟an tersebut.
17
8. Variatif
Buku Iqro sangat variatif dari tiap-tiap jilidnya baik dari segi warna dan juga
materi dari tiap jilid yang tidak monoton.
9. Komunikatif
Setiap huruf atau kata dibaca betul, ustadz jangan diam saja, tetapi agar
memberikan perhatian atau sanjungan atau penghargaan. Seperti dengan kata-
kata: bagus, betul, ya dan sebagainya.
10. Fleksibel
Buku iqro‟ ini boleh di pelajari oleh siapa saja, baik dari anak-anak usia pra
sekolah, anak sekolah dasar, anak remaja dan juga ibu ataupun bapak yang
kurang mahir dalam membaca Al-Qur‟an (Syuaeb Kurdi dan Abdul Aziz,
2012: 98).
Adapun kelebihan dan kelemahan metode iqro adalah sebagai berikut:
a. Kelebihan Metode Iqro
Menggunakan metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), jadi bukan guru
yang aktif melainkan santri yang dituntut aktif.
Dalam penerapannya menggunakan klasikal (membaca secara bersama)
privat, maupun cara eksistensi (santri yang lebih tinggi jilidnya dapat
menyimak bacaan temannya yang berjilid rendah).
Komunikatif artinya jika santri membaca dengan baik dan benar, guru
dapat memberikan sanjungan, perhatian dan penghargaan.
Bila ada santri yang sama tingkat pelajarannya, boleh dengan sistim tadarus
secara bergilir.
Bukunya mudah di dapat di toko-toko.
b. Kekurangan Metode Iqro
Bacaan-bacaan tajwid tak dikenalkan sejak dini.
Tak ada media belajar.
Tak dianjurkan menggunakan irama murottal (Syuaeb Kurdi dan Abdul
Aziz, 2012: 99).
18
3. Penerapan Metode Iqro‟
Metode iqro‟ yang selalu mengajarkan pelafadzan bacaan langsung pada
huruf-huruf Al-Qur‟an maka dalam penerapannya seorang ustadz atau ustadzah
akan membacakan huruf tersebut secara langsung tidak di eja dan seorang santri
akan mengikutinya. Sebagaimana proses penerapan metode iqro‟ berlangsung
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Ath-Thoriqoh Bil-Muhaakah
yaitu ustadz memberikan contoh bacaan yang benar dan santri menirukannya.
Maksudnya ialah sebelum santri membacakan Al-Qur‟an maka santri harus
terlebih dulu mendengarkan bacaan yang benar dari sang ustadz atau ustadzah
setelah itu barulah santri membacanya dengan benar seperti yang di contohkan
ustadz atau ustadzah.
b. Ath-Thoriqoh Bil-Musyaafah
yaitu santri melihat gerak-gerik bibir ustadz dan demikian sebaliknya, ustadz
melihat gerak gerik santri untuk mengajarkan makhorijul huruf serta menghindari
kesalahan dalam pelafadzan huruf.
Dalam penerapan pengajaran Al-Qur‟an maka setiap ustadz atau murid harus
benar-benar menempatkan bacaan-bacaan huruf pada tempatnya, artinya dalam
hal ini sangat penting untuk ustadz atau santri untuk saling memperhatikan bunyi-
bunyi yang keluar dari bibir atau mulut sebagai tempat pelafadzan bacaan Al-
Qur‟an. Jika tidak demikian maka banyak kesalahan dalam membaca huruf-huruf
hijaiyahnya.
c. Ath-Thoriqoh Bil-Kalaamish Shoriih
yaitu ustadz harus mengunakan ucapan yang jelas dan komunikatif. Artinya
ustadz sebagai contoh atau guru bagi santrinya haruslah memberikan penjelasan
atau suara dan ucapan yang harus di mengerti dan jelas bagi santrinya, karena
santri hanya akan berfokus pada apa yang di ucapkan ustadz dalam membaca Al-
Qur‟an.
d. Ath-Thoriqoh Bis-Sual Limaqoo Shidit Ta’Liimi
yaitu ustadz mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan santri menjawab atau ustadz
menunjuk bagian-bagian huruf tertentu dan santri membacanya.
19
Dalam hal penerapan metode iqro‟ yang terahir ini ialah evaluasi bagi ustadz dan
santri, adapun diantara cara mengevaluasi santri biasanya ustadz selalu menunjuk
santri untuk membacakan ulang bacaan Al-Qur‟annya atau dengan pertanyaan
ilmu tajwidnya (Syuaeb Kurdi dan Abdul Aziz, 2012: 100).
B. KARAKTERISTIK ANAK USIA 6-12 TAHUN
1. Anak Usia 6-12 Tahun
Anak usia berkisar 6-12 tahun ini biasanya disebut masa-masa akhir anak.
Akhir usia anak ini sukar di tentukan, oleh karena ada sebagian dari anak-anak
yang cepat menjadi remaja dan sebagian yang lainnya menjadi sangat lamban.
Periode ini di mulai setelah anak melewati masa degil, dimana proses sosialisasi
dapat berlangsung lebih efektif dan menjadi matang untuk memasuki sekolah.
Seorang anak dapat dikatakan matang untuk berekolah apabila anak telah
mencapai kematangan (fisik, intelektual, moral dan sosial), cepat lambatnya anak
mencapai kematangan ini tergantung pada keadaaan anak dan pendidikan
sebelumnya. Banyak ahli menganggap masa ini sebagai masa latent, dimana apa
yang telah terjadi di pupuk pada masa-masa sebelumnya akan berlangsung terus
untuk masa-masa selanjutnya. Label yang sering di gunakan oleh orang tua atau
pendidik pada masa ini adalah sebagai berikut:
1. Usia yang menyulitkan dimana pada masa sekolah seorang anak akan sulit di
atur.
2. Usia tidak rapi, seorang anak sekolah cenderung berantakan dan acuh terhadap
penampilannya.
3. Usia bertengkar dimana anak-anak di usia sekolah senagn untuk bertengkar
dengan teman seusianya meskipun dalam jangka pendek.
4. Usia sekolah dasar, pada masa usia 6-12 tahun ini rata-rata seorang anak akan
memasuki lingkuan luar yaitu pendidikan.
5. Periode kritis dalam dorongan berprestasi adalah suatu masa dimana anak
membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses, tidak sukses dan sangat sukses
6. Usia berkelompok dimana anak-anak sangat senang dalam membuat kelompok
dalam bermain atau belajar.
20
7. Usia penyesuaian diri dimana seorang anak cenderung selalu menyesuaikan
aturan dalam kelompoknya meskipun bertentangan dengan aturan orang tua.
8. Usia kreatif diaman seorang anak akan lebih kreatif jika tidak di halangi pleh
lingkungan, kriti dan cemooh dari luar.
9. Usia bermain dimana luasnya minat dan kegitan bermain anak-anak (Elfi
Yuliani Rochmah, 2005:165).
Di Indonesia pembagian dalam sistem pendidikan ialah sebagai berikut:
a. 0-6 tahun : Pendidikan oleh ibu sendiri (mother school) untuk
mengembangkan bagian dari jiwa pengindraan dan pengamatan.
b. 6-12 tahun : Pendidikan dasar (elementary education) sesuai dengan
berkembangnya fakultas ingatan (memory) dan diberikanlah dalam tahap ini
pelajaran-pelajaran bahasa, kebiasaan-kebiasaan sosial dan agama.
c. 12-18 tahun : Sekolah lanjutan (latin school) sesuai dengan berkembangnya
fakultas penalaran (reasoning). Pada tahap ini anak-anak dilatih untuk mengerti
prinsip-prinsip kausalitas (hubungan sebab-akibat) melalui pelajaran tata
bahasa, ilmu alam, matematika, etika, dialektika, dan retorika (Sarlito W.
Sarwono, 2011:49).
Menurut Sigmund Freud pada anak usia 5-12 tahun dikatakan sebagai
masa laten dimana pada fase ini anak tampak dalam keadaan tenang, setelah
terjadi gelomnbang badai (strum and drang) pada tiga fase pertama. Pada fase ini,
desakan seksual anak mengendur dan mengalihkan perhatiannya pada masalah-
masalah yang berkaitan dengan sekolah dan teman sejenisnya. Meskipun energi
seksualnya terus berjalan, tetapi fase ini diarahkan pada masalah-masalah sosial
dan membangun benteng yang kukuh melawan seksualnya (Desmita, 2012:21).
Pada saat ini anak tidak lagi banyak di kuasai oleh dorongan-dorongan
endogin atau implus-implus intern dalam perbuatan dan fikirannya akan tetapi
lebih banyak dirangsang oleh stimulus dari luar. Anak sekarang mulai belajar
menjadi seorang realistis-kecil yang berhasrat sekali mempelajari dan menguasai
dunia secara obyektif. Untuk aktivitas tersebut ia memerlukan banyak informasi,
karenanya ia terus betanya, meminta bimbingan, menuntut pengajaran serta
menginginkan pendidikan. Dengan pengajaran di sekolah anak di persiapkan
21
mampu melaksanakan tugas kewajiban yang baru khususnya dipersiapkan untuk
tugas pada usia dewasa (Kartini Kartono, 1995:135).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 6-12 Tahun
Proses pertumbuhan dan perkembangan anak ini meliputi berbagai aspek,
antara lain:
a. Perkembangan Fisik
Selama masa anak-anak awal, pertumbuhan fisik berlangsung lambat di
banding dengan tingkat pertumbuhan selama masa bayi. Meskipun pertumbuhan
fisik mengalami perlambatan, namun keterampilan motorik kasar dan motorik
halus justru berkembang pesat. Ketika anak usia pra sekolah bertumbuh semakin
besar, persentasi pertumbuhan dalam tinggi dan berat berkurang setiap tahun.
Selama masa ini, baik laki-laki maupun perempuan terlihat makin langsing,
sementara batang tubuh mereka makin panjang (Desmita, 2012:128).
b. Perkembangan Intelektual
Di tinjau dari perkembangan kognitif Jean Pieget, anak sekolah dasar
memasuki tahap operasi kongkret dalam berpikir. Suatu masa dimana konsep
yang pada awal masa kanak-kanak merupakan konsep yang samar-samar dan
tidak jelas sekarang menjadi kongkret dan tertentu. Anak masih menerapkan
logika berpikir pada batang-barang yang kongkret, belum bersifat abstrak apalagi
hipotesis.Periode ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun atau mengasosiasikan
(menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Disamping itu,
pada akhir masa ini anak sudah memiliki kemampuan memecahkan masalah yang
sederhana (Elfi Yuliani Rochmah, 2005:91).
c. Perkembangan Emosi
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku
individu, anak usia SD sudah menyadari bahwa ia tidak dapat menyatakan
dorongan emosinya begitu saja tanpa mempertimbangkan lingkungannya, ia mulai
22
belajar mengungkapkan perasaanyya dalam perilaku yang dapat di terima secara
sosial. Penumbuhan kesadaran ini tergantung bagaimana sikap orang tua
mendisiplinkan anak.
Pola emosional anak-anak akhir umumnya berbeda dengan masa anak-
anak awal dalam dua hal. Pertama, jenis situasi yang membangkitkan emosi dan
kedua bentuk ungkapannya, keduanya merupakan akibat dari pengalaman dan
belajar. Pola emosi yang umum adalah amarah, takut, cemburu, ingin yahu, iri
hati, gembira, sedih dan kasih sayang (Elfi Yuliani Rochmah, 2005:93).
d. Perkembangan Sosial
Pada waktu mulai sekolah, anak memasuki “usia gang”, yaitu usia yang
pada saat itu kesadaran sosial berkembang pesat. Menjadi pribadi yang sisial
meruakan salah satu tugas perkembangan yang utama dalam periode ini. Pada
masa ini dunia aanka menjadi luas di bandingkan sebelumnya, hal ini tampak dari
keinginannya untuk berkelompok.Aspek- aspek penting yang dipelajari anak dari
proses sosialisasi adalah:
a. Belajar mematuhi aturan-aturan kelompok.
b. BelajarSetia kawan.
c. BelajarTidak bergantung pada orang dewasa.
d. BelajarBekerjasama.
e. Mempelajari perilaku yang dapat diterima oleh lngkungannnya.
f. Menerima tanggung jawab.
g. BelajarBersaing dengan orang lain secara sehat.
h. Mempelajari olahraga dan permainan kelompok.
i. Belajar keadilan adan demokrasi (Elfi Yuliani Rochmah, 2005:95).
e. Perkembangan Moral
Menurut Piaget, relativisme moral anak menggantikan moral yang kuku.
Pada masa ini pengertian anak tentang baik dan buruk, tentang keadilan menjadi
lebih beragam dan lentur. Dalam hal penilaian ia mulai mempertimbangkan baik
buruknya. Pada masa ini seorang anak akan belajar mematuhi hukum dan aturan
23
agar seorang anak akan di senangi teman-temannya dan di terima dalam kelompok
serta masyarakat sekitarnya.
Bagi seorang anak pengembangan moral itu akan di kembangkan melalui
pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi), untuk selanjutnya di
polakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai
yang di berlakukannya. Maka disinilah peran keluarga dalam memberikan dasar-
dasar pola perkembangan anak (Abu Ahmadi danMunawar Sholeh, 2005:104).
f. Perkembangan Keagamaan
Secara potensial memang setiap individu (anak) dilahirkan membawa
fitrah agama, namun potensi yang dimiliki tersebut tanpa adanya dukungan atau
pengaruh dari luar atau lingkungan dimana ia tinggal, keluarga, sekolah dan
masyarakat, maka jauh kemungkinannya bisa berkembang sebagaimana
semestinya.
Pada masa ini anak mampu untuk merealisasikan ketuhanan mereka
melalui tindakan-tindakan seperti sholat dan mengaji, selanjutnya anak memiliki
kepekaan emosi yang tinggi sejalan dengan bertambahnya usia sehingga
membentuk keagamaan yang individualistis.
g. Perkembangan Bahasa
Selama masa akhir anak-anak, perkembangan bahasa terus berlanjut.
Disamping peningkatan dalam jumlah pembendaharaan kosa kata, perkembangan
bahasa anak juga terlihat dalam cara anak berpikir tentang kata-kata. Pada masa
ini anak menjadi kuurang terikat dengan tindakan-tindakan dan dimensi-dimensi
percaptual yang berkaitan dengan kata-kata serta pendekatan mereka menjadi
analitis terhadap kata-kata.
Anak usia 6 tahun sudah mulai menguasai hampir semua jenis struktur dan
kalimat. Dari usia 6-10 tahun panjang kalimat semakin bertambah, setelah 10
tahun secara bertahap anak mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan
padat. Serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat (Desmita,
2012:134).
24
h. Perkembangan Fantasi
Sejak anak berumur 5-6 tahun, perhatiannya mulai di tunjukkan ke dunia
luara, ke alam kenyataan. Tetapi bukan berarti fantasinya menjadi lenyap,
fantasinya itu masih terus hidup dan akan mencari lapangan penyaluran lain,
misalnya seperti membaca buku-buku, mendengarkan cerita, membuat sesuatu
dan sebagainya.
Diantara perkembangan fantasi anak ialah: pertama masa dongeng usia
berkisar 4-8 tahuan, kedua masa robinson crusoe usia berkisar 8-12 tahun dan
ketiga masa pahlawan usia berkisar 12-15 tahun (Abu Ahmadi danMunawar
Sholeh, 2005:116).
i. Perkembangan Pikiran dan Ingatan
Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah dasar ini berkembang
secara berangsur-angsur dan secara tenang. Penegetahuannya bertambah secara
pesat dan banyak keterampilan-keterampilan mulai di kuasai. Minat anak pada
periode tersebut terutama sekali tercurah pada segala sesuatu yang dinamis
bergerak, anak pada usia ini sangat aktif dinamis dan segala sesuatu yang aktif
dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak.
Ingatan anak pada usia 8-12 tahun ini mencapai intensitas paling besar dan
paling kuat. Daya menghafal dan daya memorisasi (dengan sengaja memasukkan
dan meletakkan pengetahuan dalam ingatan) adalah paling kuat. Dan anak mampu
menjumlah materi ingatan paling banyak (Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh,
2005:118).
3. Karakteristik Umum Anak Usia 6-12 Tahun
Secara umum, usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar
adalah 6-12 tahun dan jika mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak
maka anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa anak-
anak tengah (6-9 tahun) dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).
Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan
anak-anak usianya yang lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang
bekerja dalam kelompok dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara
25
langsung (Desmita, 2012:35). Pada masa anak sekolah ini sebenarnya anak telah
tumbuh sikap objektifnya, yang menyangkut tentang:
a. Kenyataan: anak mempunyai sikap yang serius kepada dunia nyata (relistis).
b. Kesusilaan: sikap anak terhadap norma susiala sudah jujur meskipun acuh tak
acuh.
Karena sikap-sikap inilah sebenarnya yang mendasari dari ciri-ciri anak
(Abu Ahmadi danMunawar Sholeh, 2005:113).
Dalam keadaan normal, pada anak usia 12 tahun anak usia sekolah dasar
tersebut merupakan individu yang tenag dan seimbang. Oleh karena itu anak
disebut sebagai I Enfant Fait yaitu anak yang komplit lengkap, anak yang sudah
mapan besarnya atau Een Volgroeid Kind yang mempunyai ciri-ciri:
a. Rohani dan jasmania anak dalam kondisi baik
b. Minat yang besar dan segar terhadap macam-macam peristiwa
c. Ingatan yang sangat kuat
d. Dorongan ingin tahu yang besar
e. Semangat belajar yang tinggi.
Untuk usaha pendidikan yang ini perlu di pupuk pola asuh dan dorongan-
dorongan kuat dan jelas terhadap anak terutama dari keluarga (Kartini Kartono,
1995:145). Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia sekolah dasar
meliputi:
1. Menguasai ketarampilan fisik yang di perlukan dalam permainan dan aktivitas
fisik.
2. Membina hidup sehat.
3. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5. Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam
masyarakat.
6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berpikir efektif.
7. Mencapai kemandirian pribadi (Desmita, 2012:36).
26
C. KEMAMPUAN MEMBACA AL-QUR’AN SECARA TARTIL
1. Pengertian Kemampuan Membaca secara Tartil
Dalam bab ini diterangkan bahwa “kemampuan atau mampu” dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti “kesanggupan, kecakapan dan
kekuasaaan”, artinya apabila seseorang itu telah sanggup, cakap dan kuasa,
mempunyai pengetahuan dan mampu mempraktekannya, dalam hal ini mampu
membaca Al-Qur‟an secara tartil.
Al-Qur‟an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama
ajaran umat Islam yang menjadi petunjuk kehidupan umat manusia yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan
malaikat Jibril sebagai salah satu rahmat yang tak ada taranya bagi alam semesta.
Di dalamnya terkumpul wahyu Ilahi yang menjadi petunjuk, pedoman hidup dan
pelajaran bagi siapa yang mempercayainya dan mengamalkannya. Al-Qur‟an
adalah kitab suci yang terakhir diturunkan oleh Allah SWT yang isinya mencakup
segala pokok-pokok Syari‟at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang
diturunkan sebelumnya. Karena itu setiap orang yang mempercayai Al-Qur‟an,
akan bertambah cinta kepadanya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari
dan memahaminya serta pula untuk mengamalkannya dan mengajarkannya
sampai merata rahmat-Nya. Sehubungan dengan cinta Al-Qur‟an yang dimaksud
di atas orang-orang yang suka membaca dalam pengertian yang sebenarnya
membaca yang bukan sembarang membaca. Membaca untuk difahami,
dimengerti, dan selanjutnya untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perintah membaca juga merupakan wahyu pertama yang diturunkan Allah
kepada manusia, sebagaimana wahyu Allah yang pertama dalam Surat Al-„Alaq
ayat 1-5:
27
Artinya:“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah
menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmu adalah Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
qalam (alat tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (Hasbi Ashshiddiqi, 1994)
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan
Q.S. Al-„Alaq ayat 1-5 menjelaskan bahwa dalam suku pertama saja yaitu bacalah
telah terbuka kepentingan pertama di dalam perkembangan agama ini selanjutnya
nabi disuruh membaca wahyu yang akan di turunkan kepada beliau itu di atas
nama allah, tuhan yang telah mencipta. Nabi bukanlah orang yang ahli dalam
membaca beliau adalah ummi yang boleh dartikan buta huruf, tidak pandai
menulis dan tidak pula pandai membaca yang tertulis, tetapi jibril mendesaknya
tiga kali supaya dia membaca. Meskipun dia tidak pandai menulis dan membaca
namun ayat-ayat itu akan di bawakan langsung oleh jibril kepadanya, di ajarkan
sehingga dia dapat menghafalnya di luar kepala.
Setelah di ayat pertama beliau disuruh membaca atas nama Allah yang
Maha Menciptakan Insan kemudian diteruskan lagi menyuruhnya membaca diatas
nama Tuhan yang selalu menjadi sandaran hidup manusia ialah Allah Maha Mulia
dan Maha Kasih dan Sayang kepada Makhluknya (ayat 4). Itulah keistimewaan
Tuhan yang mengajarkan kepada manusia berbagai ilmu, di berikan berbagai
rahasia dan berbagi kunci untuk pembendaharaan Allah yaitu Qolam yang berarti
pena. Di samping lidah untuk membaca Tuhan mentakdirkan pula bahwa dengan
pena ilmu pengetahuan dapat di catat (Abdul Malik Abdul Karim Amrullah,
2003:8059).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “baca, membaca”
diartikan:
Melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau
hanya dalam hati).
Mengeja atau melafalkan apa yang tertulis.
Mengucapkan.
28
Mengetahui, meramalkan.
Memperhitungkan.
Membaca yang dimaksud disini ialah membaca huruf arab bukan abjad
Indonesia, artinya membaca Al-Qur‟an dengan memakai tatanan ilmu tajwid
supaya dalam membacanya tidak asal membacanya namun sesuai aturan dan
kaidah-kaidahnya karena membaca Al-Qur‟an tidaklah sama dengan membaca
kitab, novel, komik ataupun yang lainnya.
Setiap mukmin yang mempercayai Al-Qur‟an, mempunyai kewajiban dan
tanggung jawab terhadap kitab sucinya, diantaranya ialah mempelajari dan
mengajarkannya. Belajar Al-Qur‟an dapat dibagi kepada beberapa tingkat yaitu
belajar membacanya sampai lancar dan baik, menuruti kaedah-kaedah yang
berlaku dalam Qiro‟at dan tajdid, belajar arti dan maksudnya sampai mengerti dan
sebagainya. Belajar Al-Qur‟an hendaknya dimulai sejak dini atau anak-anak agar
kelak Al-Qur‟an yang akan menjadi pedoman bagi hidupnya. Tidak ada
kegembiraan yang lebih bahagia nantinya bilamana orangtua dapat menjadikan
anaknya pandai membaca Al-Qur‟an (Zainal Abidin, 1992: 154).
Adapun membaca Al-Qur‟an dengan tartil itu disunnahkan, karena kata
tartil adalah fi‟il amar yang berarti menunjukkan perintah untuk dikerjakan.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Muzammil ayat 4 yang berbunyi:
Artinya:“atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan
perlahan-lahan”(Hasbi Ashshiddiqi, 1994)
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan
Q.S. Al-Muzammil ayat 4 bahwa selain dari mengerjakan sembahyang malam itu,
baik dua pertiga malam atau separuh malam dan itu terserah kepada kekuatan
mengerjakannya, hendaklah pula Al-Qur‟an yang telah di turunkan kepada engkau
itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan di baca tergesa-gesa.
29
Dari penafsiran diatas secara harfiah dapat diartikan bahwa tartil ialah
perlahan-lahan atau pelan, menurut Ibnu Asyur R.A, yang di kutip M.Abdul Qodir
berkata tartil adalah menjadikan sesuatu murottalan (terpisah), asalnya adalah dari
perkataan orang arab Tsaghrun Murottalun yang artinya “orang yang giginya
renggang”. Yang di maksud disini adalah tartil dalam membaca Al-Qur‟an artinya
pelan-pelan dalam mengucapkan huruf-huruf Al-Qur‟an sehingga keluar dari
mulut dengan jelas dan disertai pemenuhan pengucapan harakat pada tempat-
tempat yang harus penuh (M.Abdul Qodir, 2005:87).
Ada beberapa pengertian tartil yang dikutip Moenawal kholil dalam
bukunya “Al-Qur‟an dari Masa ke Masa”, diantaranya menurut Ibnu Abbas, Tartil
itu ialah membaca dengan terang. Sedangkan menurut sahabat Ali R.A, Tartil
ialah membaguskan membaca huruf dan mengenal waqofnya. Tetapi menurut
Imam Mujahid, tartil ialah membaca dengan teratur dan perlahan-lahan
(Moenawar Kholil, 1985:123). Dari beberapa pengertian ulama diatas pengertian
tartil dapat disimpulkan bahwa tartil dalam membaca Al-Qur‟an ialah
membaguskan bacaan hurufnya satu persatu dengan terang, teratur dengan
perlahan-lahan tidak terburu-buru dan bercampur aduk. Adapun faedah tartil
adalah membaguskan bacaan agar para pendengar bisa menangkapnya dengan
baik dan memantapkan bacaan bagi pembaca.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terhadap Kemampuan Membaca Al-Qur‟an
Dasar Islam yang anggun adalah melalui usaha menanamkan kepada anak
pendidikan yang berorientasi kecintaan terhadap Al-Qur‟an sejak dini, maka
kecintaan itu akan bersemi pada masa dewasanya kelak, mengalahkan kecintaan
anak terhadap hal yang lain. Dalam hal ini setiap orang tua memiliki tanggung
jawab yang sangat penting yaitu mengajarkan anak-anaknya Al-Qur‟an karena
pengajaran Al-Qur‟an ini akan sangat berpengaruh yang cukup besar dalam
menanamkan aqidah yang kuat pada jiwa anak. Pada proses pengajaran Al-Qur‟an
ini pula, seorang anak merasakan pengaruh besar, dimana proses penanaman ruh
Al-Qur‟an berlangsung dalam jiwanya. Secara tidak disadari, pola pikir anak dan
indra lainnya terarahkan pada pola yang terdapat dalam Al-Qur‟an sehingga
30
secara perlahan-lahan pula anak akan mulai terikat dengan segala apa yang tersirat
dalam Al-Qur‟an dan mulai mengenal, memahami segala bentuk perintah dan
larangan dalam menjalankan hidupnya (M.Nur Abdul Hafizh, 1988:138).
Adapun faktor yang menjadi hambatan dan dukungan dari pembelajaran
Al-Qur‟an adalah kemampuan dan kemauan dari pengajar maupun pelajar,
keduanya saling berkaitan erat untuk sebuah keberhasilan proses tujuan
pembelajaran Al-Qur‟an tersebut. Dalam proses pembelajaran ada tiga faktor yang
mempengaruhi keberhasilan sebuah pembelajaran: yakni faktor intern, faktor
ekstern dan faktor pendekatan belajar.
a. Faktor Intern
Faktor intern yakni keadaan atau kondisi jasmani dan rohani seorang
peserta didik. Seperti faktor kecerdasan, minat, motivasi, sikap dan bakat peserta
didik.
b. Faktor Ekstern
Faktor ekstern yakni kondisi lingkungan di sekitar pserta didik. Seperti
faktor lingkungan sekolah, guru ataupun teman sebaya, dan sebagainya.
c. Faktor Pendekatan Belajar
Faktor Pendekatan Belajar yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi
strategi dan metode yang digunakan peserta didik untuk melakukan pembelajaran
materi-materi pelajaran. Strategi yang dimaksud disini ialah seperangkat langkah
operasional untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu
(Muhibbin Syah, 2004:139).
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan suatu proses belajar mengajar ialah
adanya kerjasama dari semua pihak, baik dari lingkungan keluarga (intern),
sekolah ataupun masyarakat (ektern), tetapi hal yang paling utama dalam
mencapai suatu keberhasilan belajar mengajar ialah adanya motivasi baik dari diri
sendiri ataupun orang tua, motivasi dari kedua orang tua merupakan hal terpenting
bagi seorang peserta didik mencapai suatu keberhasilan. Apalagi dalam hal belajar
Al-Qur‟an, motivasi orang tua sangatlah berperan penting agar anaknya bisa
membaca Al-Qur‟an secara baik dan benar, dengan demikian orang tua perlu
untuk senantiasa meningkatkan motivasi anak sebelum anak mampu
31
meningkatkan sendiri motivasi membaca Al-Qur‟an karena hal ini sangat sulit
bagi anak sekarang dalam mempelajari Al-Qur‟an. Semakin kuat motivasi yang
diberikan orang tua terhadap anak maka akan berkeseinambungan bagi anak untuk
terus meningkatkan kemampuan membaca Al-Qur‟an secara tartil.
Cinta kepada Allah dan Rosulnya merupakan motivasi yang perlu
dibangun dalam diri anak ketika orang tua berusaha membudayakan membaca
pada diri anak. Menurut Imam Al-Ghazali cinta akan menumbuhkan Ridho. Maka
anak yang sedari awal diajarkan untuk memiliki cinta kepada Allah dan Rosulnya
dalam melakukan setiap tindakan termasuk membaca, ia akan belajar untuk ridho
terhadap Allah SWT (M.Fauzil Adhim, 1997:99).
Secara sederhana sebagaimana yang dikutip Popi Soiatin dan Sohari
Sahrani, diantara kiat menumbuhkan kegemaran membaca dalam diri anak ialah
sebagai berikut:
Keteladanan orang tua dalam membaca
Orang tua sebagai pendidik utama haruslah menjadi panutan bagi anak-
anaknya, jika anak sering melihat orang tuanya membaca maka sang anakpun
akan termotivasi untuk mengetahui apa yang orang tua baca.
Menanamkan betapa nikmatnya membaca
Orang tua harus memberikan pengarahan kepada anak-anaknya bahwa
membaca itu penting dan kenikmatan membaca merupakan jendela kehidupan
manusia.
Membaca sebagai bagian hidup
Membaca merupakan jendela kehidupan bagi manusia, maka kita sebagai
orang tua haruslah memberikan penanaman betapa pentingnya membaca.
Menciptakan suasana yang menyenangkan dalam membaca
Dalam meningkatkan motivasi membaca pada anak, maka orang tua harus
bisa menciptakan suasana menyenangkan dalam membaca baik itu dari segi temat
maupun bacaannya (Popi Soiatin dan Sohari Sahrani, 2011: 60).
Memotivasi anak dengan cinta terhadap Allah dan Rosulnya merupakan
salah satu cara membangun keyakinan pada diri anak bahwa dengan bisa
membaca Al-Qur‟an, kita termasuk orang yang benar-benar cinta terhadap Allah
32
dan RosulNya, karena Al-Qur‟an merupakan suatu firman Allah yang mulia yang
merupakan mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian
seorang anak akan lebih rajin untuk mempelajari Al-Qur‟an lebih baik lagi.
Bentuk lain memotivasi anak ialah dengan cara membawanya kepada
idealita anak shaleh. Orang tua dapat menunjukkan kepada anaknya bahwa anak
yang baik adalah anak yang sholeh, yang bisa mendo‟akan orang tuanya kelak
dengan bisa membaca Al-Qur‟an secara tartil maka seorang anak akan termotivasi
untuk bisa membaca Al-Qur‟an dan berusaha mencitrakan dirinya sebagai anak
sholeh agar menjadi sosok ideal dalam keluarganya (M.Fauzil Adhim, 1997: 115).
Adapun menurut Budiyanto, faktor-faktor yang mempengaruhi
kemampuan membaca Al-Qur‟an yaitu:
a. Menurunnya kuantitas dan kualitas pengajian anak-anak di masjid, langgar atau
musholla.
b. Metode pengajaran baca Al-Qur‟an yang statis.
c. Terbatasnya jam pelajaran pendidikan agama di sekolah.
d. Dihapuskannya pelajaran huruf Arab Jawi (Arab Melayu) dari kurikulum
sekolah (Budiyanto, 2003: 1).
Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa dalam kegiatan belajar
mengajar kita harus memperhatikan berbagai faktor sebagai penunjang
keberhasilan suatu proses belajar mengajar, apabila salah satu faktor penunjang
tersebut kurang mendukung, maka kita carikan solusi ataupun kita perbaiki karena
faktor tersebut sangatlah memengaruhi keberhasilannya, jika faktor penunjang
tersebut telah terpenuhi maka haruslah dipertahankan dan di tingkatkan agar
peranan dan fungsinya terus berjalan sehingga terciptalah tujuan akhir dari sebuah
proses pembelajaran.
3. Indikator Kemampuan Membaca Al-Qur‟an secara Tartil
Membaca Al-Qur‟an merupakan ibadah yang paling utama dan di cintai
Allah, setiap muslim harus mampu membaca Al-Qur‟an dengan baik dan benar
karena karakteristik huruf arab sangatlah berbeda dengan huruf yang lain sehingga
Allah memerintahkan untuk selalu membaca Al-Qur‟an secara tartil ataupun
33
perlahan-lahan meskipun sedikit lebih baik dari pada membaca Al-Qur‟an secara
banyak tetapi tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan ilmu tajwidnya. Seperti
perintah Allah dalam Q.S. Al-Muzammil ayat 4:
Artinya:“atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan
perlahan-lahan” (Hasbi Ashsiddiqi, 1994).
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah dalam tafsir Al-Azhar menafsirkan
Q.S. Al-Muzammil ayat 4 bahwa selain dari mengerjakan sembahyang malam itu,
baik dua pertiga malam atau separuh malam dan itu terserah kepada kekuatan
mengerjakannya, hendaklah pula Al-Qur‟an yang telah di turunkan kepada engkau
itu, selalu engkau baca dengan perlahan-lahan. Jangan di baca tergesa-gesa. Biar
sedikit terbaca asal isi kata-kata Al-Qur‟an itu masuk benar kedalam hatimu dan
engkau fahamkan dengan mendalam. Oleh sebab itu bertalilah di antara kedua
ibadah itu yaitu sembayang malam dengan membaca Al-Qur‟an dengan tartil,
supaya jiwa lebih kuat dan hati bertambah dekat kepada Tuhan, sehingga apa
yang kita mohonkan kepada tuhan akan mudah di kabulkan.
Tata cara membaca Al-Qur‟an menurut para ulama terbagi menjadi empat
macam, yaitu: 1) membaca Al-Qur‟an secara tahqiq, 2) membaca secara tartil, 3)
membaca secara tadwir, 4) membaca secara hadr.
Tahqiq ialah membaca Al-Qur‟an dengan memberikan hak-hak setiap
huruf secara tegas, jelas dan teliti seperti memanjangkan mad, menegaskan
hamzah, menyempurnakan harokat dan sebagainya. Metode tahqiq ini kadang
tampak memutus-mutuskan bacaan dan huruf dalam A-Qur‟an sedangkan tartil
maknanya hampir sama dengan tahqiq, tetapi tartil mempunyai arti lebih luwes
dari pada tahqiq. Tartil ialah membaca Al-Qur‟an secara perlahan-lahan dengan
baik dan benar sedangkan tadwir ilalah membaca Al-Qur‟an dengan
memanjangkan mad, hanya saja tidak sampai penuh. Adapun hadr ialah membaca
Al-Qur‟an dengan cepat, ringan dan pendek, namun tetap dengan menegakkan
awal dan akhir kalimat serta meluruskannya.
34
Empat tata cara membaca Al-Qur‟an tersebut meski mempunyai nama-
nama yang berbeda, hakikatnya tetap disebut sebagai bacaan tartil yang di serukan
Al-Qur‟an karena masing-masing mempunyai dasar dari riwayat yang masyhur
dengan penggunaan kaidah-kaidah ilmu tajwid. Para ulama menyebut membaca
Al-Qur‟an yang tidak sesuai dengan kaidah ilmu tajwid sebagai al-lahn yakni
kekeliruan dalam membaca dan harus dihindari sewaktu membaca Al-Qur‟an.
Sehingga perlunya belajar ilmu tajwid untuk memperbaiki bacaan Al-Qur‟an
(Ahmad Syarifudin, 2004:91).
Membaca Al-Qur‟an dengan suara yang bagus dan merdu juga sangat
dianjurkan agar rasa keagungan kita terhadap Al-Qur‟an sangat di rasa oleh jiwa
kita sehingga melantunkan bacaan Al-Qur‟an di anjurkan selama tidak melanggar
ketentuan dan tata cara membaca Al-Qur‟an sebagaimana yang telah di tetapkan
dalam ilmu qiro‟at dan ilmu tajwid. Maka hal lain yang harus di hindari dalam
membaca Al-Qur‟an ialah hadzramah yaitu membaca Al-Qur‟an secara tergesa-
gesa, terlalu cepat hingga tidak karuan huruf dan bacannya (Ahmad Syarifudin,
2004:81).