scdc silvic.docx44.docxi
DESCRIPTION
HTITRANSCRIPT
![Page 1: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/1.jpg)
TUGAS SILVIKULTUR
PENERAPAN SISTEM SILVIKULTURDI INDONESIA
DISUSUN OLEH
WISNU AWALUDDIN G 01108151
OVYTHIA ANGGRAINIE G 01108184
YULIUS YUDHI SATRIA G 01109841
YUNITA MARTADINATHA. T G 01108172
REVAIN JUNATA GULTOM G 01108187
KELAS A
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
![Page 2: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/2.jpg)
A. SISTEM TEBANG PILIH
LATAR BELAKANG
TPTII adalah sistem silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman
pengkayaan yang dilaksanakan secara secara jalur pada areal pasca penebangan tebang pilih,
tanpa memperhatikan cukup tidaknya semai dari permudaan alami yang tersedia dalam
tegakan tinggal (Pedoman TPTII,2005) Penerapan sistem TPTII di areal yang sensitif
terhadap kerusakan lingkungan harus dihindari, terkait kemungkinan keterbukaan tanah
yang cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat, pada saat persiapan
lahan, pembuatan jalur tanam dan pelebaran jalur tanam. TPTII sebaiknya dilaksanakan
pada areal hutan bekas illegal loging dan pada hutan rawang, baik di daerah dataran rendah
maupun dataran tinggi. Sedangkan pada hutan yang potensinya masih baik (hutan primer
dan LOA), terutama di hulu sungai/DAS, sistem TPTI lebih cocok diterapkan karena masih
mampu mempertahankan fungsi ekologi, hidrologi, orologi serta perlindungan alam
lingkungan.
Kelebihan sistem TPTII dibandingkan sistem TPTI adalah : Pada sistem TPTII
terdapat kewajiban untuk melaksanakan kegiatan enrichment planting dengan segera setelah
dilakukannya penebangan, sehingga akan memudahkan kegiatan monitoring/pengawasan.
Pada sistem TPTI, enrichment planting dilaksanakan pada areal LOA setelah 3 tahun
penebangan, apabila permudaan tingkat semai mempunyai frekwensi atau penyebarannya
kurang dari 40 %, dan tidak mudah dikontrol.
Penerapan TPTII , harus diusahakan pada lokasi hutan alam yang tepat, yaitu areal
yang memenuhi kriteria sbb :
a. Areal yang aksesibilitasnya baik
b. Areal yang relatif subur
c. Areal yang topografinya datar sampai sedang
d. Areal yang letaknya di bagian tengah sampai hilir dalam suatu daerah aliran sungai
(DAS)
e. Areal yang sifat tanahnya tidak mudah tererosi (sensitifitas erosinya rendah)
![Page 3: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/3.jpg)
f. Areal hutan yang potensinya rendah sampai sedang, terutama disarankan pada areal
bekas tebangan dan hutan rawang.
Serangkaian tindakan yang dilakukan secara berencana terhadap tegakan tidak seumur untuk
memacu pertumbuhan tegakan sesuai dengan keadaan hutan dan tapaknya sehingga terbentuk
tegakan tertata, yakni yang optimal dan lestari dan mewujudkan hutan dengan struktur dan
komposisi yang dikendaki.
Tujuan TPTI
Terbentuknya struktur dan komposisi tegakan hutan alam tak seumur yang optimal dan
lestari sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya. Hal ini ditandai oleh
wujud tegakan yang mengandung jumlah pohon, tiang dan permudaan jenis-jenis komersial
dengan mutu dan produktivitas tinggi, serta jenis lainnya sehingga memenuhi tingkat
keanekaragaman hayati yang diinginkan.
1. Tebang Pilih Indonesia (TPI)
TPI adalah sistem silvikultur yang mengatur tentang cara penebangan dan permudaan
hutan,
dan merupakan perpaduan antara :
a) Tebang pilih dengan limit diameter.
b) Tebang pilih Philipina (Selective logging).
c) Penyempurnaan hutan dengan penanaman sulaman (Enrichment planting).
d) Pembinaan permudaan dengan pembebasan dari tumbuhan pengganggu.
2. Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI)
Sistem TPTI merupakan penyempurnaan dari sistem TPI.
Sistem TPTI memiliki beberapa unsur pokok yaitu :
a) Inventarisasi tegakan
b) Pembatasan diameter
c) Pembinaan tegakan tinggal
![Page 4: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/4.jpg)
Pengertian-Pengertian Pohon Dalam Sistem Silvikultur TPTI
Tegakan tinggal
Tegakan hutan yang telah ditebang pilih yang menjadi modal untuk Pengusahaan
berikutnya, bersisi pohon-pohon binaan dan pohon-pohon pendamping
Pohon Binaan
Pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih
Pohon Pendamping
Pohon-pohon penyusun tegakan hutan selain pohon binaan.
Siklus tebangan
Jangka waktu antara dua tebangan berturut-turut
Pertumbuhan tegakan
Perubahan dimensi tegakan dari waktu ke waktu
Pembinaan Hutan
Pembinaan yang dikerjakan setelah tebang pilih meliputi : Perapihan, ITT, Pembebasan
tahap I, Pengadaan bibit, Pengayaan, Pemeliharaan Tahap II dan III, Penjarangan tegakan
tinggal
![Page 5: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/5.jpg)
PERATURAN TERKAIT PENERAPAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA
A. Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No 35/Kpts/DD/1/1972 tentang Pedoman
Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan
Permudaan Alam dan Pedoman - Pedoman Pengawasannya.
B. Hutan Payau, menggunakan sistem silvikultur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan nomor 60/Kpts/DJ/I/1978.
C. Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur
Pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia.
D. Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No. 40/Kpts/IV-BPHH/1993 tentang pedoman
Pelaksanaan Uji Coba Tebang Jalur Tanam Indonesia.
E. Keputusan Menteri Kehutanan No. 625/Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur Tebang
Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam Pengelolaan Hutan di Indonesia.
F. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 tentang Sistem
Silvikultur dan Daur Tanaman Pokok dalam Hutan Produksi.
G. Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005 tentang Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII) dalam Pengelolaan Hutan di
Indonesia.
H. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2005 tentang Standar Sistem
Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa dalam
Pengelolaan Hutan Rawa (wetland) di Indonesia.
I. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur dalam
Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Produksi.
![Page 6: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/6.jpg)
TAHAP-TAHAP KEGIATAN SISTEM TPTI
Pada komposisi jenis tanah dan struktur tegakan yang khusus, diadakan penyesuaian
sistem silvikultur TPTI sebagai berikut :
A. Hutan Payau, menggunakan sistem silvikultur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan nomor 60/Kpts/DJ/I/1978.
B. Hutan rawa dengan jenis komersial khusus, misalnya jenis ramin, perupuk dan jenis
komersial lainnya, saat pemegang HPH tidak sanggup / sulit melaksanakan kegiatan
penanaman/pengayaan, maka diijinkan menebang pohon sebanyak 2/3 dari jumlah
pohon, sesuai dengan komposisi jenisnya.
C. Pada hutan rawa yang tidak ditemukan pohon berdiameter > 50 cm dalam jumlah yang
cukup, khusus jenis ramin dapat dilakukan penurunan batas diameter pohon menjadi 35
cm, dengan jumlah pohon inti paling sedikit 25 pohon per hektar, berdiameter > 15 cm
ke atas dengan rotasi tebang 25 tahun.
D. Hutan dengan jumlah pohon muda berdiameter 20-49 cm dapat ditunjuk sebagai pohon
inti kurang dari 25 pohon per hektar, maka kekurangannya harus ditambah dengan pohon
jenis komersial lain, yang berdiameter > 50 cm dan berfungsi sebagai pohon induk.
Rotasi tebang 35 tahun.
E. Hutan yang terdiri dari jenis Komersial dan memiliki pertumbuhan lambat dan sulit
ditemukan pohon-pohon berdiameter > 50 cm, seperti pada hutan eboni campuran, maka
khusus jenis eboni dilakukan penurunan batas diameter pohon menjadi 35 cm, dengan
jumlah pohon inti 25 pohon per hektar dan berdiameter > 15 cm dengan rotasi tebang 45
tahun.
![Page 7: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/7.jpg)
Keputusan Menteri Kehutanan nomor 485 tahun 1989 memperlihatkan adanya
penyempurnaan maupun pengaturan yang lebih tegas dibandingkan dengan Keputusan Dirjen
Kehutanan nomor 35 tahun 1972 dalam pembinaan hutan, terutama dalam hal :
g. Adanya keharusan penanaman dalam bentuk pengayaan apabila tidak terdapat cukup
jenis kayu komersial pada areal bekas pembalakan.
h. Adanya tata waktu kegiatan dan kelengkapan petunjuk teknisnya yang menegaskan
keharusan pengelolaan tegakan sisa.
i. Adanya keharusan penyediaan organisasi pelaksanaan pembinaan hutan yang terpisah
dari operasi pembalakan disertai
penyediaan tenaga teknis dan pembiayaan yang memadai.
j. Adanya insentif dan disinsentif dalam rangka pengurusan ijin penebangan tahun
berikutnya, dikaitkan dengan prestasi perusahaan melaksanakan TPTI dengan benar dan
lengkap pada tahun sebelumnya.
![Page 8: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/8.jpg)
PERSYARATAN TPTI
1. Penataan areal unit kerja pengelolaan, sejak dari tata batas kawasan, organisasi ke dalam
bagian hutan, pembagian blok-blok kerja sampai petak kerja terkecil sudah dilakukan dan
memiliki batas yang jelas dan permanen.
2. Organisasi pelaksanaan TPTI telah disusun secara istematic dan efectif.
3. Perencanaan tebangan pada blok kerja yang bersangkutan harus disusun berdasarkan
informasi yang baik, yang menyangkut luasan dan fisiografi areal, PWH, peta penyebaran
pohon, keberadaan pohon induk, pohon-pohon muda dan permudaan.
4. Jaringan jalan diseluruh kawasan harus dirawat
5. Sistem pemantauan telah disiapkan secara efektif
6. Petak pengamatan pertumbuhan (Plot permanen) harus ditetapkan dan dibuat untuk setiap
tipe hutan dengan pengamatan teratur.
KEGIATAN POKOK DALAM SISTEM TPTI
1. Inventarisasi tegekan mengenai struktur permudaan sampai dengan pohon dan komposisi
jenis beserta tapaknya.
2. Pembatasan diameter, jumlah dan jenis pohon yang ditebang agar tegakan tinggal
mempunyai produktivitas yang tinggi untuk dikembangkan menjadi tegakan yang
potensial pada siklus tebang yang akan datang.
3. Pembinaan tegakan, melindungi kawasan hutan terhadap gangguan, mempertahankan
keanekaragaman hayati.
![Page 9: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/9.jpg)
PENYESUAIAN TERHADAP TIPE DAN TAPAK HUTAN
1. Pemilihan sistem silvikulture untuk pengusahaan hutan alam ditentukan oleh keadaan
tegakan hutan dengan tapak hutan yang akan diusahakan, sedangkan tujuan pengusahaan
hutan ditetapkan hanya satu yaitu hanya menghasilkan kayu pertukangan kualitas prima.
2. Sistem silvikultur TPTI merupakan sistem yang paling sedikit mengubah ekosistem hutan
di hutan produksi yang merupakan hutan alam campuran tak seumur, dibandingkan
sistem silvikultur lainnya.
3. Tipe hutan dengan produksi kayu rendah karena tapaknya yang secara alamiah kurus,
sangat basa, atau sangat asam, seperti hutan kerangas, hutan batu kapur sebaiknya
dikeluarkan dari peruntukan hutan produksi :
- usikan tebangan akan merusak tapak sangat parah
- secara ekonomis rendah
4. Sistem TPTI memerlukan struktur tegakan pohon-pohon jenis komersial yang
berkembang, artinya : jenis pohon yang akan ditebang harus memiliki jumlah permudaan
segala tingkatan yang memadai.
5. Penerapan sistem TPTI pada kawasanhutan kurang permudaan seperti pada hutan bekas
kebakaran harus disertai program pengayaan. Pengayaan adalah penanaman permudaan/
bibit jenis komersial setempat dengan jumlah tanaman seperlunya + 200 – 400 bibit / ha.
6. Sistem TPTI hanya digunakan untuk mengusahakan hutan alam campuran tidak seumur
(Dipterocarpaceae) untuk phutan alam seumur (Pinus, Binuang, digunakan sistem lain).
7. Penggantian sisten TPTI untuk meningkatkan volume tebangan dari hutan alam tidak
seumur yang mengarah kepada sistem THOA hanya diperlukan pada hutan alam
campuran, dataran rendah dengan rata-rata kelerengan < 40 % dan tanah cukup subur
( liat < 10 % ).
![Page 10: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/10.jpg)
B. SISTEM TEBANG HABIS
i. Tebang Habis Permudaan Alam (THPA) Terdapat kemungkinan penggunaan sistem
THPA sejauh keadaanlapangan memungkinkan (rata-rata kelerengan di bawah 40%
dantanahnya cukup subur/kandungan liat tidak kurang dari 10%).
ii. Berdasarkan Peraturan Menhut nomor 11 tahun 2009, sistem THPA dapat diterapkan
pada hutan bekas tebangan (logged over area) ataupada hutan tanaman melalui trubusan
(coppice sistem) dan ataugenerative pada hutan produksi biasa atau hutan produksi yang
dapatdikonversi.Sampai dengan tahun 1991, belum terdapat HPH di Indonesia
yangmempergunakan sistem silvikultur THPA.
iii. Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB). Sistem silvikultur THPB dapat dipergunakan
untukmembangun hutan buatan, baik untuk keperluan rehabilitasi tanah kritis maupun
untuk membangun hutan tanamanindustri. Contoh penggunaannya antara lain dalam
kegiatan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman.
Langkah-langkah kegiatan pembangunan hutan tanaman :
1. Perencanaan
2. Pengadaan Bibit (Konvensional / Modern)
3. Penyiapan Lahan (Manual / Mekanis)
4. Penanaman
5. Pemeliharaan Tanaman (Tahun I s/d V)
6. Perlindungan Hutan
![Page 11: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/11.jpg)
Keuntungan :
a. Mudah dan dapat melakukan inovasi Teknik Silvikultur
b. Dapat melakukan perbaikan terhadap kesuburan tanah dengan teknik-teknik budidaya,
drainase, pemupukan dan yang lainnya.
c. Dapat melakukan perbaikan kualitas maupun kuantitas tegakan baru melalui introduksi
jenis-jenis lokal maupun eksotik yang berkualitas bahkan sampai pada tingkat varitas dan
kultivar
d. Cahaya cukup berlimpah
e. Pelaksanaan regenerasi dapat dilakukan dengan cepat
f. Dapat dibuat hutan seumur yang menghasilkan sedikit percabangan
g. Pemanenan mudah, ekonimis dan dapat dilakukan secara serempak sebelum penanaman
dimulai
Kerugian :
a. Pada daerah lereng akan memperbesar erosi
b. Land clering dapat mempengaruhi iklim mikro, kondisi tanah dan mikroorganisme yang
berguna bagi pertumbuhan seedling.
c. Resiko hama dan penyakit yang bersarang pada tumpukan kayu bekas lebih tinggi
d. Menghasilkan tegakan yang kurang resisten dari kerusakan hama, penyakit dan angin
e. Dari segi estetika kurang baik, karena biasanya monokultur dan monoton.
![Page 12: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/12.jpg)
C. SISTEM TEBANG JALUR
1. Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI)
Sistem ini dirancang untuk diterapkan dalam skala uji coba pada areal bekas tebangan
(LOA) yang telah rusak dan rawan perambahan. Uji coba dilakukan dengan membuka
jalur berseling antara jalur yang ditebangdengan yang dipertahankan, dengan uji coba
lebar jalur masing-masing 50 m,100 m dan 200 m. Beberapa kajian tentang hasil uji coba
TJTI menunjukkan bahwa sistem TJTIdapat digunakan sebagai suplemen dari sistem
silvikultur TPTI dalam bentuk hutan seumur untuk penghasil kayu pertukangan dan
rehabilitasi areal non produktif (Fakultas Kehutanan Unmul, 1996). Sistem TJTI pernah
diterapkan dalam skala uji coba di beberapa HPH.
2. Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
TPTJ adalah sistem silvikultur dengan menebang pohon sebagai tebang persiapan, pada
areal LOA, dengan limit diameter 40 cm, diikuti dengan pembuatan jalur bersih selebar 3
meter dan lebar jalur kotor 22 m. Pada poros jalur bersih dilakukan penanaman jenis-jenis
pohon komersial. Jarak tanam 5 m, sehingga jarak tanam total 5 x 25 m. Bibit yang
digunakan dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam) serta dari stek,
baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun Sungkai
(Peronema canescen).
![Page 13: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/13.jpg)
D. SISTEM TEBANG RUMPANG
Tri Joko Pitoyo, et. al. 2008 (Fakultas Kehutanan, Unmul) :
Penebangan dengan sistem rumpang diharapkan akan memberi ruang tumbuh dan sinar
matahari sehingga dapat memicu pertumbuhan semai dorman yang banyak terdapat pada
lapisan bawah (stratum D).
Adopsi rumpang menjadi suatu sistem penebangan diharapkan agarkondisi ekologi tidak
berubah secara drastis pada seluruh areal penebangan dan ekosistem hutan tetap terjaga.
Siklus pada lokasi rumpang adalah 70 tahun, sementara siklus padategakan utuh pada
anak petak yang sama adalah 35 tahun. Siklus iniakan memberikan kesempatan tumbuh
pada tegakan sisa sesuai dengan riapnya.
E. MULTISISTEM SILVIKULTUR
Merupakan sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih
sistem silvilkultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK. Multisistem silvikultur merupakan
model pengelolaan yang diharapkan akan dapat mengakomodir berbagai tipe habitat yang
telah terfragmentasi. Penerapan multisistem silvikultur merupakan upaya optimalisasi
pemanfaatan areal kerja, sehingga seluruh bagian areal hutan produksi, baik yang berupa
hutan alam yang masih potensial maupun hutan yang sudah terdegradasi atau rusak, dapat
dikelola sesuai dengan system silvikultur yang tepat.
![Page 14: SCDC SILVIC.docx44.docxI](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082605/557211c5497959fc0b8f7842/html5/thumbnails/14.jpg)
SUMBER
www.bpphp17.web.id/.../Teknik%20dan%20Sistem%20Silvikultur.pdf -
Miripbpphp17.web.id/database/modul/.../01%20SILV%20Silvikultur.pdf -
Miripwww.dephut.go.id/files/Aswandi_Rusli.pdf -
Miripiirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/.../5/Sistem%20Silvikultur-7.pptmedia.unmul.ac.id/
media/document/124.pdf - Mirip
www.dishut.jabarprov.go.id/data/arsip/hutan-onrizal7.pdf - Mirip