sayuran

85
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu fase kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan di kemudian hari yaitu masa anak-anak. Perkembangan kecerdasan fisik,tingkah laku dan kebiasaan yang ditumbuhkan sejak masa anak-anak, sebagian besar akan mereka bawa hingga dewasa. Orangtua memiliki tugas dan berperan penting bagi pertumbuhan anak-anak mereka (Petra,2009). Pola asuh orangtua merupakan hal yang paling fundamental dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Merujuk pada teori Urie Bronfenbrenner (Papalia&Olds,2005), bahwa individu akan berkembang dalam suatu lapisan-lapisan kondisi sosial kehidupannya yang ada di sekitarnya. Keluarga, terutama orangtua, merupakan lingkungan

Upload: ehrria-winastyo

Post on 14-Aug-2015

241 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

pola asuh orang tua dengan konsumsi sayuran

TRANSCRIPT

Page 1: sayuran

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suatu fase kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan di ke-

mudian hari yaitu masa anak-anak. Perkembangan kecerdasan

fisik,tingkah laku dan kebiasaan yang ditumbuhkan sejak masa anak-

anak, sebagian besar akan mereka bawa hingga dewasa. Orangtua

memiliki tugas dan berperan penting bagi pertumbuhan anak-anak

mereka (Petra,2009). Pola asuh orangtua merupakan hal yang paling fun-

damental dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Merujuk pada teori

Urie Bronfenbrenner (Papalia&Olds,2005), bahwa individu akan berkem-

bang dalam suatu lapisan-lapisan kondisi sosial kehidupannya yang ada

di sekitarnya. Keluarga, terutama orangtua, merupakan lingkungan ter-

dekat pertama yang akan mempengaruhi pembentukan karakter anak

(Siti Nurina,2012).

Dampak pola asuh pada anak terhadap pertumbuhan dan perkem-

bangan anak yaitu memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang yang

optimal (St.Aisyah, 2010). Pola asuh orangtua sangat mempengaruhi

pemberian asupan gizi dan nutrisi yang baik pada anak (Muthmainnah,

2012). Oleh karena itu anak usia 5 tahun cenderung masih tergantung

dari makanan yang disediakan oleh orangtua di rumah, meskipun akhir-

Page 2: sayuran

2

akhir ini kecenderungan anak dalam memilih makanan lebih disebabkan

oleh pengaruh lingkungan di luar rumah yang dapat menggeser kebi-

asaan pola makan anak (Ratu, 2011). Dalam hal ini peran aktif orangtua

sangat diperlukan terhadap perkembangan anak-anak,terutama pada

anak dibawah usia 5 tahun.

Fenomena kurangnya konsumsi sayuran pada anak ternyata tidak

hanya terjadi di Indonesia namun hal serupa juga terjadi di Amerika, Aus-

tralia, Eropa, Meksiko dan bahkan seluruh dunia. Hal ini terbukti dalam ju-

rnal (American Dietetic Association, 2010) yang menyatakan bahwa anak-

anak di negara tersebut mengkonsumsi sayuran dan buah kurang dari

yang dianjurkan perhari. Pola konsumsi sayur dan buah pada penduduk

Indonesia memang masih rendah daripada jumlah yang dianjurkan. Hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 90% anak mengkonsumsi

sayur dan buah dengan ukuran <3 porsi/hari (Ratu, 2011). Di Semarang

konsumsi sayuran pada anak masih kurang dari anjuran yaitu 73,5 gram/

hari (Melati, 2010).

Untuk meningkatkan anak mengkonsumsi sayuran, maka diper-

lukan penerapan pola asuh yang tepat. Pemberian sayuran pada anak

usia 3-5 tahun secara berulang-ulang oleh orangtua di rumah akan

meningkatkan konsumsi sayuran . Efektivitas pola asuh orangtua meru-

pakan langkah penting dalam mempromosikan asupan sayuran pada

anak usia prasekolah (American Dietetic Association 2010). Karena

dalam fase ini anak membutuhkan sayuran salah satu nya untuk memper-

baiki daya tahan tubuh (British Journal of Nutrition, 2008).

Page 3: sayuran

3

Pada anak usia prasekolah, sayuran membantu pertumbuhan tu-

lang dan membuat gigi kuat. Membangun kebiasaan makan sayuran se-

jak dini merupakan awal yang baik dalam kehidupan. Sehingga orangtua

sebaiknya membangun kebiasaan makan sayuran sejak dini karena dapat

memberikan diet yang sehat sepanjang hidup mereka. Apabila anak su-

dah dibiasakan makan sayuran yang merupakan sumber serat bagi tubuh

maka anak akan menyukai sayuran (Health Education Research, 2001).

Banyaknya anak yang mengalami kelebihan berat badan saat

berusia 4-5 tahun merupakan tanda anak memiliki kebiasaan konsumsi

makanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi tanpa diser-

tai makan sayur dan buah yang cukup sebagai sumber serat (Ratu,

2011). Selain itu sayuran juga dapat mengurangi resiko terkena penyakit

diabetes, kanker dan penyakit jantung yang saat ini sering terjadi di In-

donesia. Saat ini (Hernawati, 2008). Sehingga dalam hal ini perlunya

tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mempromosikan kepada

orangtua mengenai pentingnya sayuran.

Peneliti ingin meneliti hubungan pola asuh orangtua dengan kon-

sumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang,

karena belum pernah dilakukan penelitian di Indonesia dan penting bagi

perawat untuk mengetahui pola asuh orangtua dengan konsumsi sayuran

sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sum-

berdaya manusia

1.2. Rumusan Masalah

Page 4: sayuran

4

Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan

konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan kon-

sumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pola asuh orangtua terhadap konsumsi sayuran

anak di TK Dian Agung Malang.

2. Mengidentifikasi konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah di

TK Dian Agung Malang.

3. Menganalisis hubungan pola asuh orangtua dengan konsumsi sayu-

ran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Institusi Pelayanan Kesehatan.

Dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi

untuk meningkatkan pelayanan keperawatan dengan mengadakan

kebijakan sebagai solusi yaitu dengan meningkatkan penyuluhan

pentingnya sayur mayur dalam makanan sehari-hari anak usia

prasekolah kepada masyarakat, khususnya orangtua yang memiliki

anak usia prasekolah.

2. Bagi praktik keperawatan

Page 5: sayuran

5

Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat

khusunya ibu dan anak usia prasekolah untuk memahami bahwa

dalam pemberian sayuran untuk mengoptimalkan tumbuh kembang

di pengaruhi oleh pola asuh orangtua.

3. Bagi masyarakat

Memberikan informasi hubungan pola asuh orangtua dengan

konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah. Sehingga, para orang-

tua dapat meningkatkan konsumsi sayuran pada anak dan member

ide-ide yang kreatif agar ibu mampu membuat anaknya suka

memakan sayuran yang tinggi serat.

Page 6: sayuran

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

2.1.1. Keparahan Penyakit Hipertensi

2.1.1.1. Pengertian Hipertensi

Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten di-

mana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolic di atas

90 mmHg (Brunner dan Suddarth,2002).

Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah penyakit regulasi vaskuler

yang terjadi karena malfungsi mekanisme kontrol tekanan arterial meliputi

system renin, angiostensin, aldosteron, volume cairan ekstraseluler

(Baughman, 2000).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang abnormal den-

gan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg

(Corwin,2000). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on

Page 7: sayuran

7

Detection, Evacuation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) seba-

gai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Doenges,1999).

2.1.1.2. Gejala Klinis Hipertensi

Seseorang dapat menderita hipertensi selama bertahun-tahun

tanpa menyadarinya. Individu yang menderita hipertensi kadang tidak

menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala klinis timbul ketika

hipertensi memasuki tahap lanjut, gejala klasik yaitu sakit kepala, epistak-

sis, pusing dan tinitus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan

darah, ternyata sama seringnya dengan pasien yang tidak memiliki tekanan

darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata kabur,

depresi, dan nokturia, ternyata meningkat pada pasien hipertensi yang

tidak menjalani pengobatan ( Tambayong,2000).

Ada beberapa gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena

berhubungan dengan kerusakan organ target (Wahyuni,2000), yaitu :

a. Serangan pusing, kekakuan, kehilangan keseimbangan, sakit

kepala pagi hari, penglihatan yang memburuk, semuanya secara

bersama-sama menunjukkan adanya masalah dengan peredaran

darah di otak.

b. Kelumpuhan anggota badan, khususnya sebelah badan atau

salah satu bagian muka atau salah satu bagian tangan, kemam-

Page 8: sayuran

8

puan bicara menurun dapat menjadi peringatan adanya stroke

yang jika diobat dapat dicegah.

c. Terengah-engah pada waktu latihan jasmani, dengan rasa sakit

pada dada yang menjalar ke rahang, lengan, punggung atau pe-

rut bagian atas menjadi tanda permulaan angina.

d. Susah bernapas, sehingga merasa lebih mudah bernapas jika

tidak berbaring datar, dengan gembung pada kaki, dapat menjadi

tanda lain yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi, kega-

galan jantung.

e. Sering bangun tiap malam untuk buang air kecil serta sering

mengeluarkan urin selama siang hari dapat menajdi tanda per-

tama gangguan ginjal.

Gejala di atas tidak akan timbul sampai pada taraf hipertensi yang

sudah akut atau membahayakan nyawa penderita. Untuk gejala di atas bi-

asanya muncul pada penderita hipertensi yang telah memiliki komplikasi.

2.1.1.3. Faktor Resiko Hipertensi

Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Un-

tuk mengendalikan tekanan darah, tentunya penderita hipertensi juga perlu

mengendalikan faktor-faktor resiko yang mendorong meningkatnya tekanan

darah tinggi secara lambat laun.

Obesitas adalah salah satu faktor resiko yang sangat menentukan

tingkat keparahan hipertensi. Semakin besar massa tubuh seseorang, se-

makin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyuplai oksigen dan nutrisi

Page 9: sayuran

9

ke otot dan jaringan lain. Obesitas meningkatkan jumlah panjangnya pem-

buluh darah, sehingga meningkatkan resistensi darah yang seharusnya

mampu menempuh jarak lebih jauh. Peningkatkan resistensi menyebabkan

tekanan darah menjadi lebih tinggi.

Kebiasaan bermalas-malasan semakin meningkatkan risiko anda

melalui pengubahan kondisi otot jantung seperti yang dilakukannya pada

otot-otot lain dalam tubuh. Orang yang pemalas cenderung rentan terhadap

serangan jantung karena otot jantung mereka tidak bekerja dengan efisien

dan perlu bekerja lebih keras untuk memompa darah. Peran aktivitas fisik

disini adalah sebagai vasodilator, itu berarti bahwa olahraga dapat

mengembangkan pembuluh darah. Kombinasi gaya hidup pasif dan kege-

mukan akan melipatgandakan tingkat keparahan kondisi ini.

Asupan natrium dan garam tergolong faktor risiko hipertensi yang

kontroversial. Beberapa individu memang peka terhadap natrium,baik yang

berasal dari garam kemasan atau bahan lain dan hidangan cepat saji.

Tetapi, respons terhadap natrium pada setiap orang berbeda. Sehingga in-

dividu dengan respons yang rendah terhadap natrium akan memiliki

keparahan yang lebih tinggi daripada individu dengan respons yang lebih

tinggi terhadap natrium.

Stress sangat mempengaruhi kondisi penderita hipertensi. Stress

mempercepat produksi senyawa berbahaya, meningkatkan kecepatan

denyut jantung dan kebutuhan akan suplai darah. Pada penderita

hipertensi yang sering merasakan stress, tekanan darah cenderung lebih

tinggi serta menimbulkan serangan jantung dan stroke.

Page 10: sayuran

10

Risiko terkena hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan

dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

Semakin banyak seseorang memiliki faktor resiko, maka keparahan

penyakitnya semakin meningkat. Beberapa faktor risiko yang tidak dimodi-

fikasi adalah genetik, ras, umur, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko

yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah obesitas, kebiasaan merokok,

aktivitas fisik, asupan garam, dan natrium, serta stress.

Pada penderita hipertensi yang memiliki faktor risiko yang tidak da-

pat dimodifikasi, disarankan oleh tenaga kesehatan untuk mematuhi pen-

gobatan mereka selama seumur hidup. Dibandingkan dengan penderita

hipertensi yang memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi, penderita

hipertensi yang memilik faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi hanya

dapat dikendalikan tekanan darahnya dengan terapi pengobatan. Untuk

penderita hipertensi dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, lebih

banyak cara dan terapi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan

tekanan darahnya, diantaranya adalah meningkatkan aktivitas fisik sebagai

vasodilator, penurunan berat badan, penurunan konsumsi alkohol, dan pola

makan kaya buah-buahan, sayuran dan serel whole-grain. Bahkan sebuah

artikel dalam New England Journal of Medicine lebih menyarankan peruba-

han gaya hidup agresif daripada obat-obatan farmakologi.

2.1.1.4. Klasifikasi Tekanan Darah

Klasifikasi ini tidak mengelompokkan tekanan darah seseorang

berdasarkan ada tidaknya faktor resiko atau kerusakan organ target untuk

Page 11: sayuran

11

memberikan rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda. Tetapi JNC 7

menyarankan agar setiap orang dengan hipertensi derajat 1 dan 2 untuk

mendapatkan pengobatan. Tujuan pengobatan ini ialah agar pasien den-

gan hipertensi dapat mencapai tekanan darah <140/90. Sedangkan tujuan

pengobatan bagi pasien dengan pra hipertensi ialah menurunkan tekanan

darah hingga normal dengan perubahan gaya hidup dan mencegah ke-

naikan tekanan darah yang progresif menggunakan modifikasi gaya hidup

yang direkomendasikan.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan The Seventh Report of Joint Na-

tional Committee on Prevention,Detection,Evaluation and Treatment of

High Blood Pressure (JNC 7)

Klasifikasi Tekanan

Darah

Tekanan Darah

Sistolik (mmHg)

Tekanan Darah Diastolik

(mmHg)

Normal <120 dan <80

Pra hipertensi 120-139 atau 80-89

Hipertensi Derajat 1 140-159 atau 90-99

Hipertensi Derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua,yaitu :

Page 12: sayuran

12

a. Hipertensi esensial atau primer. Jenis hipertensi yang penyebabnya

masih belum dapat diketahui. Sekitar 90% penderita hipertensi

menderita jenis hipertensi ini.

b. Hipertensi sekunder. Jenis hipertensi yang penyebabnya dapat dike-

tahui, antara lain kelainan pada pembuluh darah ginjal, gangguan ke-

lenjar tiroid atau penyakit kelenjar adrenal (Arief,2008).

Hipertensi sekunder digolongkan menjadi beberapa bagian, di an-

taranya hipertensi akibat gangguan ginjal dan hipertensi akibat gangguan

pada pembuluh darah. Hipertensi akibat gangguan ginjal terjadi sebagai

akibat dari adanya gangguan pada pembuluh darah yang menyuplai darah

ke ginjal (hipertensi renovaskular) atau gangguan pada sel ginjal itu sendiri

(hipertensi renal). Selain gangguan di atas, hipertensi sendiri bisa menye-

babkan gangguan ginjal yang akan memperparah hipertensi tersebut. Den-

gan demikian, hipertensi primer bisa merusak organ ginjal yang menye-

babkan hipertensinya bertambah parah (timbul hipertensi sekunder). Seba-

liknya hipertensi sekunder juga bisa memperparah hipertensi primer.

Karena itu gangguan hipertensi sekunder harus cepat diatas agar tidak

menimbulkan masalah yang lebih parah. Jika hipertensi sekunder ini tidak

cepat diatasi, kemungkinan besar akan menyerang ginjal dan memper-

parah kondisi kesehatannya.

Menurut Freis (1974) hipertensi esensial dibagi beberapa tingkatan :

a. Hipertensi ringan : dengan diastolik menetap rata-rata antara 90 - 104

mm Hg pada 3 kali kunjungan atau lebih.

Page 13: sayuran

13

b. Hipertensi sedang : dengan diastolik menetap rata-rata antara 105 -

114 mm Hg pada 3 kali kunjungan atau lebih.

c. Hipertensi berat : dengan diastolik menetap antara 115 - 129 mm Hg.

d. Hipertensi maligna : bila tekanan diastolik 130 mm Hg atau lebih.

Hipertensi maligna dikenal juga sebagai accelerated hypertension.

Berdasarkan klasifikasi hipertensi esensial di atas, hipertensi berat

dan maligna memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi daripada

hipertensi sedang, begitu juga hipertensi sedang memiliki tingkat kepara-

han yang lebih tinggi daripada hipertensi ringan. Sehingga laju kesem-

buhan yang paling rendah berada pada hipertensi berat dan maligna dan

laju kesembuhan yang paling tinggi berada pada hipertensi ringan

(Hadiyah,2010).

Kasus hipertensi dipengaruhi oleh suatu zat yang dihasilkan oleh

ginjal, yakni renin, zat ini akan berubah menjadi angiotensin, yaitu zat yang

menyebabkan arteri kecil menyempit. Penyempitan inilah yang mengaki-

batkan hipertensi. Karena itu, kadar renin yang tinggi pada penderita

hipertensi akan memiliki tingkat keparahan yang paling tinggi dibandingkan

dengan kadar renin yang lebih rendah.

Pembagian berdasarkan kadar renin dalam darah :

a. Kadar renin rendah : kurang lebih 30% dari penderita hipertensi esen-

sial.

b. Kadar renin normal : sekitar 50% dari penderita hipertensi esensial.

c. Kadar renin tinggi : sekitar 20% dari penderita hipertensi esensial.

Page 14: sayuran

14

2.1.1.5. Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi adalah kondisi yang berbahaya. Bila tidak

dikelola dengan baik, tekanan darah tinggi pada akhirnya dapat menye-

babkan jantung bekerja terlalu berat sehingga mengalami kerusakan seir-

ius. Misalnya, otot jantung menebal (hipertorfi) dan berfungsi abnormal

atau memompa secara kurang bertenaga. Tekanan darah yang tinggi

umumnya meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung kongestif,

stroke, gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal. Sekitar separuh orang

yang terkena serangan jantung dan dua-pertiga orang yang terkena stroke

adalah penderita hipertensi. Hipertensi yang tidak diobati akan mempen-

garuhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup

sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui

komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi yaitu :

Tabel 2.2 Komplikasi Hipertensi

No. Sistem Organ Komplikasi

1. Jantung Infark miokard

Angina pectoris

Gagal jantung kongestif

2. Sistem saraf pusat Stroke

Page 15: sayuran

15

Ensefalopati hipertensif

3. Ginjal Gagal ginjal kronis

4. Mata Retinopati hipertensif

5. Pembuluh darah perifer Penyakit pembuluh darah perifer

Seiring dengan meningkatnya derajat keparahan hipertensi, maka

resiko terjadinya komplikasi semakin meningkat. Komplikasi yang terjadi

pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung, dan

otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai

dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering dite-

mukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada

otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroa-

neurisma yang dapat mengakibatkan kematian. Ensefalopati disebabkan

oleh kemacetan parah pembuluh darah kecil dan pembengkakan otak.

Gagal ginjal sering dijumpai sebagai akibat komplikasi hipertensi

yang lama dan terjadi proses akut seperti pada hipertensi maligna. Risiko

penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi tidak hanya ditentukan oleh

tingginya tekanan darah, tetapi juga ada tidaknya kerusakan organ target

serta faktor risiko lain seperti merokok, dislipidemia dan diabetes melitus

(Susalit E.,2001).

2.1.2. Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

2.1.2.1. Persepsi Keparahan Penyakit

Page 16: sayuran

16

Persepsi keparahan penyakit menurut Becker (1974) adalah

persepsi seseorang terhadap tingkat keparahan penyakit yang dideri-

tanya. Tindakan seseorang untuk mencari pengobatan dan pencegahan

penyakit didorong oleh ancaman penyakit tersebut. Salah satu model

yang berkembang untuk melihat persepsi keparahan penyakit adalah

Health Belief Model. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan se-

cara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam pencegahan atau de-

teksi penyakit dan sering sekali dipertimbangkan sebagai kerangka utama

dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia yang dimulai

dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan. Selain itu, Health Be-

lief Model digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas

penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara ra-

sional dalam situasi yang tidak menentu (Rosenstock,1990). Dalam model

tersebut,ada empat variabel yang mempengaruhi perlaku pencarian pen-

gobatan dan tindakan pencegahan,berupa kerentanan yang dirasakan,

keparahan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan dan rintangan yang

dirasakan.

Keparahan yang dirasakan mengacu pada konsekuensi negatif se-

buah asosiasi individu dengan suatu peristiwa atau hasil. Konsekuensi ini

mungkin berhubungan dengan suatu kejadian yang diantisipasi mungkin

terjadi di masa depan atau pada keadaan saat ini. Dalam sejumlah teori

dan displin ilmu akademik yang berbeda, konsep keparahan telah dipan-

dang sebagai suatu determinan perilaku.

Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan

penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang

Page 17: sayuran

17

dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian atau

kelumpuhan dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan,

kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Dalam menilai berat ringannya

suatu penyakit setiap individu juga berbeda. Dimensi ini meliputi akibat

medis yang ditimbulkan misalnya : meninggal dunia, akibat sosial seperti

pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga dan hubungan sosial. Seseo-

rang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pence-

gahan terhadap suatu penyakit oleh karena keseriusan penyakit yang di-

rasakannya.

Seseorang yang sudah merasakan bahwa ia rentan terhadap suatu

penyakit, maka ia akan merasakan keseriusan penyakit tersebut terhadap

dirinya atau keluarganya. Seseorang akan melakukan tindakan pencega-

han bila ia merasa diancam oleh penyakit yang dirasakan lebih serius

dibandingkan dengan penyakit lain yang dirasakan kurang serius.

2.1.2.2. Persepsi Keparahan pada Penyakit Hipertensi

Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak

diderita oleh masyarakat Indonesia. Berbeda dengan penyakit jantung

atau stroke yang dianggap berbahaya,penyakit hipertensi justru dianggap

suatu penyakit yang biasa. Persepsi seperti itulah yang membuat orang

merasa tidak perlu terlalu serius untuk mengobati penyakit hipertensi.

Pasien hipertensi tidak menganggap parah penyakitnya bila tekanan

darahnya dalam keadaan normal, dan merasa dapat menghentikan pen-

gobatan yang telah dijalaninya. Biasanya pasien hipertensi mencari pen-

Page 18: sayuran

18

gobatan apabila sudah muncul gejala seperti pusing kepala, epistaksis,

dan gejala lain yang menimbulkan persepsi bahwa penyakit tersebut telah

mencapai titik keparahan tertentu.

Salah satu hal yang dapat memicu persepsi keparahan pasien

adalah munculnya istilah prehipertensi. Terkadang pasien menjadi lebih

takut ketika divonis mengalami “prehipertensi” dibandingkan dengan

tekanan darah “di atas normal”. Sebagian orang meyakini bahwa tulisan

yang tertera dalam rekam medis sangat memengaruhi tingkat jaminan

medis yang mereka terima. Sebagian lainnya khawatir harus mengon-

sumsi obat antihipertensi yang diresepkan secara berlebihan. Pra

hipertensi bukan merupakan kategori penyakit. Tetapi sebuah gambaran

bahwa individu tersebut berada pada kondisi resiko tinggi hipertensi. Se-

hingga pasien dan tenaga kesehatan mengetahui resiko dan dapat

melakukan pencegahan untuk berkembangnya hipertensi. Pasien pra

hipertensi tidak perlu untuk melakukan terapi pengobatan tetapi lebih di-

arahkan untuk modifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko berkem-

bangnya hipertensi di masa yang akan datang.

Kadang-kadang orang menganggap sakit kepala, pusing, atau

hidung berdarah sebagai gajala peringatan meningkatnya tekanan darah.

Padahal hanya sedikit orang yang mengalami perdarahan di hidung atau

pusing jika tekanan darahnya meningkat. Pada sebagian orang, ada yang

mengalami hipertensi tanpa keluhan, sehingga menganggap tak perlu dio-

bati dan merasa akan bertambah parah penyakitnya apabila meminum

obat secara terus menerus karena dapat menimbulkan kerusakan ginjal.

Padahal hipertensi menunjukkan hampir tidak ada tanda-tanda atau ge-

Page 19: sayuran

19

jala pada tahap awal yang biasanya disebut sebagai “Silent Killer”. Pen-

derita hipertensi yang tekanan darahnya sering tidak terkontrol akan lebih

cepat menderita penyakit ginjal kronik dibanding orang-orang yang

tekanan darahnya terkontrol dengan baik. Walaupun tanpa keluhan,

tekanan darah yang dibiarkan selalu tinggi lambat laun akan merusak

pembuluh darah ginjal dan organ-organ lain.

Pasien hipertensi juga merasa penyakitnya tidak parah karena men-

ganggap bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Apabila seseorang su-

dah didiagnosis sakit hipertensi, berdasarkan pemeriksaan yang benar,

maka seumur hidup akan tetap disebut penderita hipertensi, walaupun

tekanan darahnya sudah kembali normal. Penderita hipertensi akan men-

jalani terapi dan pengobatan seumur hidup untuk mengendalikan tekanan

darahnya. Tidak ada kata sembuh bagi hipertensi, yang ada hanyalah isti-

lah terkontrol (Anies,2006).

Dalam masyarakat awam, hipertensi identik dengan pemarah.

Seseorang dengan sifat pemarah akan mengalami hipertensi yang parah.

Memang benar, ketika seseorang dalam keadaan marah, maka tekanan

darahnya akan meningkat. Tetapi bukan berarti jika penderita hipertensi

tidak pemarah, maka penderita tersebut tidak dalam kategori hipertensi

yang parah. Karena penyakit hipertensi ini sangat kompleks penyebabnya

dan biasanya ada faktor genetik ditambah dengan predisposisi lainnya

seperti kolesterol tinggi, sakit gula dan obesitas.

Pasien merasa tidak perlu menjalani diet rendah garam karena

penyakitnya tidak parah. Jika pasien tidak mempunyai keluhan apa-apa

walaupun tekanan darahnya sudah diatas normal, diet rendah garam di-

Page 20: sayuran

20

anggap sepele. Padahal sering makan-makanan dengan kadar garam

tinggi akan menyebabkan tekanan darah semakin tinggi Beberapa indi-

vidu memang peka terhadap natrium,baik yang berasal dari garam ke-

masan atau bahan lain dan hidangan cepat saji. Tetapi, respons terhadap

natrium pada setiap orang berbeda. Sehingga individu dengan respons

yang rendah terhadap natrium akan memiliki keparahan yang lebih tinggi

daripada individu dengan respons yang lebih tinggi terhadap natrium (Su-

darma,2008).

2.2. Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi

2.2.1. Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mence-

gah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan

mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Target tekanan

darah yaitu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti dia-

betes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.

Efektivitas tiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, bi-

aya perawatan dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi.

Pada pendekatan nonfarmakologis, meliputi terapi non farmakologis

terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan

berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak,

latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur merupakan in-

tervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap terapi hipertensi. Apabila

Page 21: sayuran

21

penderita hipertensi ringan berada dalam resiko tinggi atau bila tekanan

darah diastoliknya menetap, diatas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya di-

atas 130-139 mmHg, maka perlu diberikan pendekatan farmakologis.

2.2.1.1. Penatalaksanaan Non Farmakologis Hipertensi

a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih

Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap

tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat

penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.

b. Meningkatkan aktifitas fisik

Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50%

daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit

sebanyak lebih dari 3 kali sehari penting sebagai pencegahan primer

dari hipertensi.

c. Mengurangi asupan natrium

Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian

obat anti hipertensi oleh dokter.

d. Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol

Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga men-

galirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara kon-

sumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko

hipertensi.

Page 22: sayuran

22

2.2.1.2. Penatalaksanaan Farmakologis Hipertensi

Terapi farmakologis berupa obat antihipertensi yang dianjurkan

yaitu diuretika, beta blocker, ACE-inhibitor dan Ca bloker.

a. Diuretika

Diuretika adalah antihipertensi yang merangsang pengeluaran garam

dan air. Dengan mengonsumsi diuretika akan terjadi pengurangan

jumlah cairan dalam pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah

pada dinding pembuluh darah.

b. Beta blocker

Beta blocker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa

darah dan mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.

c. ACE-inhibitor

ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah

sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan menu-

runkan tekanan darah.

d. Ca Bloker

Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan

pembuluh darah (Sitanggan dan Yulianti,2006).

2.2.2. Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi

Kepatuhan adalah perilaku pasien (meminum obat, mengikuti diet,

modifikasi perilaku atau datang ke klinik jantung) sesuai dengan saran

dari tenaga kesehatan. Hal ini merupakan faktor utama yang dapat di-

Page 23: sayuran

23

modifikasi dalam menentukan keberhasilan terapi (Heart and Stroke

Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario,

2005). Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas

kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetap-

kan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman

Ali et al, 1999).

Kepatuhan minum obat dapat diartikan sebagai perilaku pasien

yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalan-

gan medis, seperti dokter dan apoteker. Pasien melakukan segala sesu-

atu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan. Hal ini

merupakan syarat utama tercapainya keberhasilan pengobatan yang di-

lakukan. Kepatuhan minum obat digunakan untuk menggambarkan peri-

laku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis,frekuensi dan

waktunya (Nursalam,2007).

Kepatuhan minum obat antihipertensi dapat dibedakan dua yaitu :

a. Kepatuhan penuh (total compliance)

Pada keadaan ini penderita patuh secara sungguh-sungguh ter-

hadap diet hipertensi.

b. Penderita yang tidak patuh (non compliance)

Pada keadaan ini penderita tidak melakukan pengobatan ter-

hadap hipertensi (Azwar,1996).

2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat

Page 24: sayuran

24

Kepatuhan merupakan fenomena yang ditentukan oleh 5 faktor

yaitu faktor sosial dan ekonomi, faktor sistem kesehatan, faktor kondisi,

faktor terapi dan faktor klien. Faktor tersebut digambarkan dalam gambar

2.1 di bawah ini

Gambar 2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Terhadap

Terapi Hipertensi

2.2.3.1. Faktor Sosial dan Ekonomi

Faktor sosial ekonomi utama yang perlu diperhatikan berhubungan

dnegan kepatuhan adalah kemiskinan, akses terhadap tenaga kesehatan

dan terapi, tingkat penidikan, mekanisme dukungan sosial yang efektif,

keyakinan budaya mengenai sakit dan terapi (Heart and Stroke Foundation

of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005).

2.2.3.2. Faktor Tenaga Kesehatan dan Sistem Pelayanan Kesehatan

Page 25: sayuran

25

Variabel sistem pelayanan kesehatan meliputi ketersediaan dan ke-

mudahan akses pelayanan kesehatan, dukungan edukasi kepada pasien,

manajemen koleksi data dan informasi, serta ketersediaan dukungan ko-

munitas bagi klien. Sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk menge-

tahui efek tim tenaga kesehatan dan sistemnya dalan hubungannya den-

gan kepatuhan klien. Review dari WHO, 2003 menemukan 5 penghambat

utama kepatuhan yang berhubungan dengan sistem kesehatan dan timnya

1. Kurangnya pengetahuan mengenai kepatuhan

2. Kurangnya instrumen klinis yang dapat digunakan tenaga kesehatan

untuk mengevaluasi dan mengintervensi masalah kepatuhan

3. Kurangnya instrumen yang dapat digunakan oleh klien untuk mengem-

bangkan atau mengubah perilaku sehatnya

4. Adanya kesenjangan dalam kebijakan pelayanan pada pasien dengan

kondisi kronis

5. Komunikasi yang belum optimal antara klien dan profesional kese-

hatan

(Heart and Stroke Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Associa-

tion of Ontario,2005).

2.2.3.3. Faktor yang Berhubungan dengan Kondisi

Faktor yang berhubungan dengan kondisi meliputi kebutuhan yang

berhubungan dengan penyakit yang harus dihadapi oleh pasien. Beberapa

penentu kepatuhan berhubungan dengan dengan keparahan penyakit,

tingkat ketidakmampuan (fisik, psikologis, sosial, dan vokasional), tingkat

perkembangan dan keparahan penyakit, dan ketersediaan terapi yang

Page 26: sayuran

26

efektif. Faktor di atas akan mempengaruhi persepsi klien dan persepsi

mengenai pentingnya patuh terhadp terapi. (Heart and Stroke Foundation

of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005)

2.2.3.4. Faktor yang Berhubungan dengan Terapi

Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan terapi dan mem-

pengaruhi kepatuhan. Faktor yang paling mempengaruhi adalah kompleksi-

tas regimen terapi, durasi terapi, kegagalan terapi yang lalu, frekuensi pe-

rubahan terapi, efek terapi positif yang cepat terjadi, efek samping, dan

ketersediaan dukungan medis selama terapi. (Heart and Stroke Foundation

of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005)

2.2.3.5. Faktor yang berhubungan dengan klien

Karakteristik pasien berhubungan dengan kepatuhan, antara lain

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, status

pernikahan, ras, agama, latar belakang etnik, dan lokasi tempat tinggal.

Pengetahuan dan keyakinan klien terhadap terapi, motivasi untuk memana-

jemen terapi tersebut, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk berpartisi-

pasi dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan mengenai hasil ter-

api, seluruhnya berinteraksi melalui proses yang belum dipahami seluruh-

nya. Horne dan Weinmans (1999) melakukan penelitian cross sectional un-

tuk mengukur keyakinan individu mengenai pentingnya terapi yang diresep-

kan dan kemauan pasien untuk mengonsumsinya untuk mengakaji hubun-

gan antara keyakinan dan kepatuhan. Penemuannya mendukung pandan-

gan bahwa klien harus dipandang sebagai pengambil keputusan yang akan

Page 27: sayuran

27

lebih termotivasi untuk mengonsumsi obat sesuai dengan instruksi jika

keyakinannya mengenai pengobatan lebih ditekankan oleh tenaga kese-

hatan. Penelitian oleh Ogedegbe, Mancuso & Allegrante (2004) menje-

laskan mengenai mispersepsi mengenai hipertensi dan terapi antihipertensi

dalam penelitian di populasi Afrika Amerika, antara lain

1. Tidak perlu mengonsumsi obat, jika tidak terdapat gejala yang spesifik

atau jika tekanan darah telah normal

2. Tekanan darah tinggi dapat diregulasi tubuh sendiri, sehingga tidak perlu

pengobatan

3. Obat yang diberikan bersifat toksik dan dapat merusak ginjal, hepar,

mata, atau bagian lain tubuh, bahkan kematian

4. Pengobatan yang diberikan tidak bekerja dnegan baik sehingga tidak

perlu dikonsumsi

2.2.4. Faktor Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan

Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006),beberapa faktor keti-

dakpatuhan pasien terhadap pengobatan,antara lain :

a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan.

b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengob-

atan yang ditetapkan

c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit.

d. Mahalnya harga obat

e. Kurangnye perhatian dan kepedulian keluarga,yang mungkin bertang-

gung jawab atas pembelian atau pemberian obat.

Page 28: sayuran

28

f. Efek samping suatu obat yang tidak menyenangkan.

2.2.5. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat

Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk

meningkatkan kepatuhan adalah :

a. Dukungan profesional kesehatan

Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk

meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal

dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komu-

nikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik

diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/ perawat dapat

menanamkan ketaatan bagi pasien.

b. Dukungan sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional

kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang

peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.

c. Perilaku sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan

hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk

menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita

hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau

minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

d. Pemberian informasi

Page 29: sayuran

29

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai

penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.

Ada beberapa cara untuk meningkatkan kepatuhan (Australian Col-

lege of Pharmacy Practice, 2001; Drennan.V, Graw.C,2000), antara lain:

a. Memberikan informasi kepada pasien akan manfaat dan pentingnya

kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan.

b. Mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang harus di-

lakukan demi keberhasilan pengobatan melalui telepon atau alat ko-

munikasi lain.

c. Menunjukkan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya

d. Memberikan keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat dalam

penyembuhan.

e. Memberikan informasi resiko ketidakpatuhan.

f. Memberikan layanan kefarmasian dengan observasi langsung, men-

gunjungi rumah pasien dan memberikan konsultasi kesehatan.

g. Menggunakan alat bantu kepatuhan seperti multikompartemen atau

sejenisnya.

h. Adanya dukungan dari pihak keluarga, teman dan orang-orang seki-

tarnya untuk selalu mengingatkan pasien, agar teratur minum obat

demi keberhasilan pengobatan.

2.3. Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi dan Kepatuhan

Minum Obat Antihipertensi

Page 30: sayuran

30

Berbeda dengan penyakit jantung atau stroke yang dianggap berba-

haya,penyakit hipertensi justru dianggap suatu penyakit yang biasa.

Persepsi seperti itulah yang membuat orang merasa tidak perlu terlalu

serius untuk mengobati. Pasien hipertensi tidak menganggap parah

penyakitnya bila tekanan darahnya dalam keadaan normal, dan merasa da-

pat menghentikan pengobatan yang telah dijalaninya (Anies,2006).

Tujuan pengobatan pada pasien hipertensi adalah untuk

meningkatkan kualitas hidup. Sayangnya, banyak yang berhenti berobat

ketika merasa tubuhnya sedikit membaik. Sehingga diperlukan kepatuhan

pasien yang menjalani pengobatan hipertensi agar didapatkan kualitas

hidup pasien yang lebih baik.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam ber-

obat ialah persepsi keparahan penyakit. Seseorang yang sudah

merasakan bahwa ia rentan terhadap suatu penyakit,maka ia akan

merasakan keseriusan penyakit tersebut terhadap dirinya atau keluar-

ganya. Seseorang akan melakukan tindakan pencegahan dan pengob-

atan bila ia merasa diancam oleh penyakit yang dirasakan lebih parah

daripada penyakit lainnya. Persepsi klien mengenai keparahan penyakit-

nya menimbulkan kekhawatiran sehingga klien akan merasa membu-

tuhkan pengobatan untuk mengendalikan penyakit dan kekhawatiran ten-

tang komplikasi penyakit yang berkaitan dengan meningkatnya

kepatuhan.Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengobati

penyakit tersebut yaitu mematuhi pengobatan yang telah diberikan oleh

dokter.

Page 31: sayuran

31

Kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi sangat penting

karena dengan meminum obat antihipertensi secara teratur dapat men-

gontrol tekanan darah penderita hipertensi. Sehingga dalam jangka pan-

jang risiko kerusakan organ-organ penting tubuh seperti jantung,ginjal

dan otak dapat dikurangi (Tambayong,2002).

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Faktor yang mempengaruhi

Kepatuhan :

1. faktor sosial dan ekonomi

2. faktor sistem kesehatan

3. faktor terapi

4. faktor klien

Kecenderungan mengambil tindakan pencegahan/pengobatan

Ancaman Penyakit yang Dirasakan

Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

Pasien Hipertensi mengambil Pengobatan Seumur Hidup

Faktor Resiko hipertensi

Gejala Klinis Hipertensi

Komplikasi Hipertensi

Klasifikasi Tekanan Darah

Page 32: sayuran

32

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan : Diteliti Tidak Diteliti

3.2. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada hubungan antara persepsi keparahan penyakit den-

gan kepatuhan minum obat pada pasien di Poli Jantung Rumah

Sakit dr.Saiful Anwar Malang.

H1 : Ada hubungan antara persepsi keparahan penyakit dengan

kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Poli Jantung

Rumah Sakit dr.Saiful Anwar Malang.

Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan Minum Obat Tercapai

5. faktor kondisi

Page 33: sayuran

33

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskripsi analitik kore-

lasi dengan rancangan cross-sectional. Pengukuran variabel persepsi

keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat dilakukan sekaligus dalam

satu waktu atau point time approach saat pasien hipertensi kontrol ke

Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi

Page 34: sayuran

34

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien hipertensi primer

dalam 1 bulan terakhir yaitu September 2011 di Poliklinik Jantung Rumah

Sakit Dr.Saiful Anwar Malang dengan jumlah populasi sebanyak 493

responden.

4.2.2. Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada pasien

hipertensi yang mengunjungi Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr.Saiful

Anwar Malang untuk kontrol. Jumlah sampel dalam penelitian ini di hitung

sebagai berikut:

n = 2)(1 dN

N

Keterangan :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Tingkat signifikan (p)

n=493

1+493(0,1 )2

=4931+4 ,93

=4935 ,93

= 83

Page 35: sayuran

35

Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah 83 orang dari

493 populasi yang ada. Pengambilan sample dilakukan dengan cara

purposive sampling dengan kriteria sampel sebagai berikut :

Kriteria Inklusi pada penelitian ini:

a. Pasien penderita hipertensi yang minimal 3 bulan terakhir kontrol

rutin ke Poli Jantung RSSA Malang.

b. Pasien yang memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa

Indonesia.

Sedangkan yang menjadi kriteria eksklusinya adalah:

a. Pasien yang datang dalam kondisi gawat dan lemah.

Peneliti memberikan penjelasan penelitian kepada setiap calon

responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.

Responden berhak menentukan kesediaannya untuk ikut serta dalam

penelitian atau tidak. Peneliti telah melakukan hal tersebut pada 115

calon responden. Selama proses pengambilan data, tidak semua

calon responden bersedia untuk dijadikan subjek penelitian. Dari

jumlah tersebut, 32 responden tidak berseda menjadi subjek

penelitian. Sehingga peneliti mendapatkan 83 responden yang

bersedia ikut serta dalam penelitian sesuai jumlah yang telah dihitung

dalam waktu 5 minggu

4.3. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini variabel independent atau bebas adalah

persepsi keparahan penyakit. Sedangkan variabel dependennya adalah

kepatuhan minum obat.

Page 36: sayuran

36

4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Poliklinik Jantung Rumah Sakit

Umum Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan 4 Desember 2011 – 6 Januari

2012.

4.5. Instrumen Penelitian

Peneliti menggunakan data primer yang diperoleh dari responden

menggunakan pedoman wawancara terstuktur. Kuisioner terdiri dari data

demografi pasien, persepsi keparahan penyakit dan tingkat kepatuhan

minum obat pasien.

Kuesioner untuk mengukur variabel independen menggunakan

modifikasi alat ukur kuesioner HBM (Health Belief Model) untuk mengetahui

persepsi keparahan penyakit hipertensi. Alat ukur ini dkembangkan oleh

Michigan pada tahun 1983..

Variabel dependen menggunakan alat ukur kuesioner MMAS-8

(Morinsky Medication Adherence Scale) sebanyak 8 item yang mengetahui

kepatuhan pasien hipertensi. Alat ukur ini dikembangkan oleh Morinsky D. E

dan telah mengalami revisi dari MMAS-4 menjadi MMAS-8 pada tahun 2008.

Uji Validitas dan Reabilitas

Uji validitas instrument ini menggunakan Pearson Product-moment

Correlation Coefficient untuk menghitung korelasi antar data pada masing-

masing pernyataan dengan skor total. Dalam pengujian validitas, koefisien

Page 37: sayuran

37

korelasi momen-produk Pearson digunakan sebagai batas valid atau

tidaknya sebuah item (butir). Item instrument dianggap valid jika lebih besar

dari 0,3 atau bisa juga membandingkannya dengan r tabel. Jika r hitung > r

tabel maka valid (Imam Ghozali,2002).

Dari hasil uji validitas tersebut didapatkan semua item pertanyaan

mempunyai r hitung yang lebih besar dari r tabel. Sehingga item pertanyaan

yang valid dapat digunakan untuk kuesioner penelitian. Lampiran uji validitas

lengkap dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7.

Uji reliabilitas instrument pada penelitian ini menggunakan rumus

koefisien reliabilitas Alfa Cronbach. Instrument memiliki tingkat reliabilitas

yang tinggi jika nilai koefisien yang diperoleh > 0,60 (Imam Ghozali,2002).

Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan nilai alpha cronbach untuk

masing-masing variabel lebih dari 0,6. Menurut Imam Ghozali (2002) suatu

instrument (kuesioner) dikatakan andal (reliable) bila memiliki koefisien kean-

dalan reliabilitas sebesar 0,6 atau lebih. Hal ini berarti kuesioner penelitian

dinyatakan reliable sehingga bisa dijadikan sebagai instrument penelitian.

Lampiran uji reliabilitas lengkap bisa dilihat pada lampiran 6 dan 7.

4.6. Definisi Operasional

Variabel Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukurPersepsi Keparahan Penyakit

Pernyataan sub-jektif pasien men-genai berat ringan gejala yang dirasakan akibat menderita hipertensi.

- Pasien hipertensi merasa kepara-han kondisinya meliputi : gejala klinis, faktor re-siko, klasifikasi tekanan darah, dan komplikasi

Pedoman wawancara terstruktur.

Ordinal - Sangat tidak parah (16-28)

- Tidak parah (29-40)

- Parah (41-52)

- Sangat parah (53-

Page 38: sayuran

38

penyakit. 64)

Tingkat kepatuhan minum obat

Perilaku pasien dalam mengon-sumsi obat yaitu datang kontrol dalam 3 bulan se-cara rutin dan minum obat tepat waktu dan sesuai anjuran dokter.

- Pasien tidak pernah lupa minum obat

- Pasien selama 2 minggu terakhir tidak pernah lupa minum obat

- Ketika bepergian pasien tidak lupa membawa obatnya

- Kemarin, pasien minum obat sesuai resep dokter

- Pasien merasa bahwa tekanan darah telah terkontrol atau turun pasien tetap minum obatnya

- Pasien merasa bahwa terapi hipertensi yang didapat tidak rumit/ kompleks

- Mengalami ke-sulitan mengin-gat seluruh obat anti hipertensi yang harus dikonsumsi

- Ketepatan waktu kontrol 3 bulan berturut-turut

Pedoman wawancara terstruktur.

Ordinal - Kepatuhan tinggi (8)

- Kepatuhan sedang (6-7)

- Kepatuhan rendah (<6)

Hipertensi Orang dengan tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan dias-tolik lebih dari

Page 39: sayuran

39

sama dengan 90 mmHg.

4.7. Teknik Pengumpulan Data

Peneliti mengawali penelitian dengan memberikan kontrak waktu dan

tempat pada responden yang bersedia dijadikan subjek penelitian. Setelah

itu, peneliti menanyakan karakteristik umum dan juga mencatat nomor rekam

medis responden dari map rekam medis. Kemudian peneliti melakukan

wawancara mengenai persepsi keparahan penyakit dengan bantuan kue-

sioner Health Belief Modification kepada responden. Setelah kuisioner terisi

semua, peneliti mengakhirinya dengan ucapan terima kasih dan salam.

4.8. Analisis Data

4.8.1. Univariat

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data

dengan tahapan sebagai berikut :

1) Editing

Pada tahap editing data, peneliti menilai kelengkapan pengisian

kuesioner. Dari 83 kuesioner, semua data lengkap dan tidak meragukan.

2) Coding

Coding data yang dilakukan untuk mengubah identitas responden dengan

memberikan pengkodean berupa angka 1-83 pada tiap kuesioner. Coding

juga diberikan pada item-item yang tidak diberi skor, yaitu:

Page 40: sayuran

40

a. Variabel persepsi keparahan penyakit :

Sangat tidak parah diberi kode 1

Tidak parah diberi kode 2

Parah diberi kode 3

Sangat parah diberi kode 4

b. Variabel kepatuhan minum obat :

Kepatuhan rendah diberi kode 1

Kepatuhan sedang diberi kode 2

Kepatuhan tinggi diberi kode 3

3) Scoring

a. Pemberian skor untuk persepsi keparahan penyakit dengan modi-

fikasi kuesioner Health Belief Model (HBM).

Sangat tidak setuju : 1

Tidak setuju : 2

Setuju : 3

Sangat setuju : 4

Jumlah soal yang diberikan adalah 16 buah. Sebelum menentukan

klasifikasi persepsi keparahan penyakit (dukungan keluarga baik,

cukup, kurang) maka harus dicari terlebih dahulu panjang kelas mas-

ing masing kategori dengan rumus sebagai berikut

i= Rn

i=64−164

= 12

Page 41: sayuran

41

i = panjang kelas

R = rentang (skor maksimal-skor minimal)

n = banyak kelas/ kategori (Hidayat, 2007)

Dari hasil perhitungan panjang kelas, maka dapat diasumsikan

katagori yang didapatkan anak berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu

bila skornya antara

16 – 28 : sangat tidak parah

29 – 40 : tidak parah

41 – 52 : parah

53 – 64 : sangat parah

b. Pemberian skor untuk kepatuhan minum obat dengan MMAS-8

Ya : 0

Tidak : 1

Dari hasil yang sudah didapat dikatagorikan sebagai berikut

skor < 6 : kepatuhan rendah

skor 6 sampai 7 : kepatuhan sedang

skor 8 : kepatuhan tinggi

4) Tabulasi data

Peneliti menyajikan data dalam bentuk tabel agar mudah dianalisa untuk

mengetahui karakteristik responden. Tabel tabulasi data dapat dilihat

pada lampiran 6.

4.8.2. Multivariat

Page 42: sayuran

42

Setelah masing-masing variabel diketahui hasilnya, kemudian di-

lakukan tabulasi dan diuji sesuai uji hipotesisnya. Penelitian ini menggu-

nakan uji statistik non-parametrik, uji hipotesis yang digunakan adalah uji

statistik “Spearman”, yaitu untuk mengetahui hubungan antara dua variabel

dan pengolahan data ini dilakukan dengan bantuan komputer melalui pro-

gram SPSS 19.0 Windows.

4.9. Etika Penelitian

Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti telah terlebih dahulu

mengajukan permohonan ijin pengambilan data kepada Direktur Rumah

Sakit Dr. Saiful Anwar Malang. Setelah mendapat ijin, peneliti melakukan

penelitian kepada subyek penelitian dengan tetap memperhatikan masalah

etika penelitian yang meliputi:

4.9.1 Inform Consent (Lembar Persetujuan)

Pada penelitian ini, lembar persetujuan diberikan pada responden

saat peneliti menjelasan tujuan penelitian. Tujuannya agar

responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta

dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Dari 115 calon

responden, 83 responden menyatakan bersedia ikut serta dalam

penelitian dan telah menandatangani lembar persetujuan.

4.9.2 Confidentiallity (Kerahasiaan)

Pada penelitian ini, kerahasiaan informasi dari responden dijamin

oleh peneliti. Segala informasi dari responden hanya digunakan

Page 43: sayuran

43

untuk kepentingan penelitian. Cara menjaga kerahasiaan identitas

responden pada penelitian ini adalah dengan prinsip anonimity

(tanpa nama) pada lembar kuesioner. Disamping itu, arsip

kuesioner disimpan oleh peneliti dalam laci.

4.9.3 Beneficience (Berbuat Baik)

Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk pengisian kuesioner

tanpa mengakibatkan penderitaan kepada responden.

Terganggunya aktifitas responden telah diminimalisir peneliti

dengan hanya memulai penelitan pada responden yang bersedia

ikut serta dalam penelitian. Penelitian ini memberikan manfaat

bagi responden, yaitu bertambahnya pengetahuan tentang hubun-

gan persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat.

4.9.4 Right to Justice (Adil)

Pada penelitian ini semua responden diperlakukan sesuai dengan

penelitian dilaksanakan dan mendapatkan instrument penelitian

yang sama.

Page 44: sayuran

44

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Data Umum

5.1.1.1 Jenis Kelamin

50,6%49,4 % laki-lakiperempuan

n = 83

Page 45: sayuran

45

Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dari 83 responden

yang diteliti menunjukkan bahwa perbandingan jumlah jenis kelamin

perempuan dan laki-laki berimbang seperti pada gambar 5.1.

5.1.1.2 Tekanan Darah

91,6%

8,4%sistole 140-159 mmHg, dias-tole 90-99 mmHg

sistole ≥ 160 mmHg, diastole ≥100 mmHg

n = 83

Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah

Karakteristik responden berdasarkan tekanan darah dari 83 responden

yang diteliti menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

tekanan darah systole 140-159 mmHg, diastole 90-99 mmHg dan sisanya

Page 46: sayuran

46

memiliki tekanan darah systole ≥ 160 mmHg ,diastole ≥ 100 mmHg seperti

yang ditunjukkan pada gambar 5.2

5.1.2 Data Khusus

5.1.2.1 Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

15,7 %

84,3 %

sangat tidak parah

tidak parah

parah

sangat parah

n = 83

Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

Berdasarkan gambar 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar responden

memiliki persepsi keparahan penyakit hipertensi pada kategori persepsi parah

dan tidak ada responden yang memiliki persepsi keparahan penyakit pada

kategori sangat tidak parah dan sangat parah.

5.1.2.2 Kepatuhan Minum obat pada Pasien Hipertensi

14,5%

48,2%

37,3%

kepatuhan tingkat rendahkepatuhan tingkat sedangkepatuhan tingkat tinggi

n = 83

Page 47: sayuran

47

Gambar 5.3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi

Berdasarkan gambar 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar kepatuhan

minum obat termasuk dalam kategori sedang sedangkan kepatuhan minum

obat termasuk dalam kategori rendah memiliki frekuensi yang paling sedikit.

5.1.3 Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit dengan Kepatuhan Minum

Obat

Tabel 5.1 Tabulasi silang antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat

Persepsi Keparahan penyakit

TotalP

valueKeterang-

anSangat tidak parah

Tidak parah

parahSan-gat

parah

Kepatuhan minum obat

Kepatuhan rendah

0 12 0 0 12

0,000P < (0,05)H0 di tolak

Kepatuhan sedang

0 1 39 0 40

Kepatuhan tinggi

0 0 31 0 31

Total 0 13 70 0 83

Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang termasuk

persepsi tidak parah dengan kepatuhan rendah terdapat sebanyak 12 orang

(14,5%), sedangkan respoden dengan persepsi tidak parah dengan

kepatuhan sedang sebanyak 1 orang (1,2%).

Page 48: sayuran

48

Responden yang termasuk dalam kategori persepsi parah dengan

kepatuhan minum obat yang sedang sebanyak 39 orang (46,9%), sedangkan

persepsi parah dengan kepatuhan tinggi sebanyak 31 orang (37,4%). Tidak

ada responden dalam kepatuhan rendah, sedang maupun tinggi yang memiliki

persepsi penyakit pada kategori sangat tidak parah dan sangat parah.

5.2 Hasil Analisa Korelasi Spearman

Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji korelasi spearman ini di-

lakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi keparahan penyakit

dengan kepatuhan minum obat. Berdasarkan selang kepercayaan 95% ada

hubungan yang signifikan antara persepsi keparahan penyakit dengan

kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi.

Dengan menggunakan uji korelasi spearman didapatkan nilai koefisien

korelasi sebesar 0,660 dan nilai p value = 0,000, dimana nilai p value (0,000 <

0,05) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan an-

tara persepsi keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat pada pasien

hipertensi. Selain itu dapat dilihat koefisien korelasinya yaitu 0,660 yang be-

rarti kekuatan korelasinya tergolong kuat dan arah positif yang menandakan

bahwa semakin tinggi persepsi keparahannya maka kepatuhan minum obat-

nya semakin tinggi.

Page 49: sayuran

49

BAB VI

PEMBAHASAN

Berikut akan dibahas hasil penelitian mengenai hubungan persepsi

keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Po-

liklinik Jantung Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Berdasarkan hasil

penelitian, persepsi keparahan penyakit memiliki hubungan dengan kepatuhan

minum obat pada pasien hipertensi di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Umum Dr.

Saiful Anwar Malang.

Page 50: sayuran

50

6.1 Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi

Hasil penelitian mengenai persepsi keparahan penyakit hipertensi di

Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang didapatkan data bahwa

84,3% pasien hipertensi memiliki persepsi parah. Responden penelitian mem-

persepsikan keparahan penyakit hipertensi berdasarkan gejala klinis hipertensi,

faktor resiko hipertensi, klasifikasi tekanan darah dan komplikasi hipertensi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-

hadap gejala klinis hipertensi memiliki skor 2.90, yang termasuk dalam kategori

parah. Responden mulai merasa khawatir bila muncul gejala klinis, seperti pusing

dan lain-lain. Menurut Tambayong (2000) gejala klinis timbul ketika hipertensi

memasuki tahap lanjut yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan

darah. Sehingga pasien harus selalu waspada dengan gejala klinis yang timbul

agar segera dapat dilakukan tindakan pengobatan yang tepat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-

hadap klasifikasi tekanan darah memiliki skor 2.82, yang termasuk dalam kate-

gori parah. Responden yang berkunjung ke poliklinik jantung, sebagian besar

memiliki tekanan darah pada hipertensi derajat 1 dalam klasifikasi oleh JNC 7

(The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Eval-

uation and Treatment of High Blood Pressure) yaitu dengan tekanan darah sys-

tole 140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg. JNC 7 menyarankan agar setiap

orang dengan hipertensi derajat 1 dan 2 untuk mendapatkan pengobatan. Tujuan

pengobatan ini ialah agar pasien dengan hipertensi dapat mencapai tekanan

darah <140/90.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-

hadap komplikasi hipertensi memiliki skor 2.73, yang termasuk dalam kategori

Page 51: sayuran

51

parah. Sebagian besar responden mengatakan komplikasinya parah apabila re-

sponden berpendapat bahwa hipertensi ini merupakan penyakit yang serius dan

di waktu yang akan datang responden memiliki kemungkinan menderita komp-

likasi yang serius meliputi komplikasi jantung, ginjal dan lain sebagainya. Menu-

rut Susalit (2001) tekanan darah tinggi adalah kondisi yang berbahaya. Bila tidak

dikelola dengan baik, tekanan darah tinggi pada akhirnya dapat menyebabkan

jantung bekerja terlalu berat sehingga mengalami kerusakan serius. Tekanan

darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung

kongestif, stroke, gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal. Hipertensi yang

tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpen-

dek harapan hidup sebesar 10-20 tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-

hadap faktor resiko hipertensi memiliki skor 3.26, yang termasuk dalam kategori

parah. Sebagian besar responden menyatakan bahwa hipertensi bisa menjadi

penyakit yang serius apabila tidak dapat mengendalikan faktor resiko dengan

baik. Sebagian besar responden berpersepsi bahwa kondisi kegemukan, stress

dan merokok dapat memperparah penyakitnya. Responden merasa dalam kon-

disi tidak sehat karena tekanan darah yang tidak stabil ketika tidak melakukan

aktivitas fisik secara teratur. Sebagian besar responden juga merasakan penyak-

itnya dapat bertambah parah karena faktor keturunan. Responden berpersepsi

bahwa semakin tua usia seseorang, maka tekanan darahnya semakin tinggi.

Menurut Tambayong (2000) penderita hipertensi juga perlu mengenda-

likan faktor-faktor resiko yang mendorong meningkatnya tekanan darah tinggi se-

cara lambat laun. Semakin banyak seseorang memiliki faktor resiko, maka

keparahan penyakitnya semakin meningkat. Beberapa faktor risiko yang tidak di-

Page 52: sayuran

52

modifikasi adalah genetik, ras, umur, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko

yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah obesitas, kebiasaan merokok, aktivi-

tas fisik, asupan garam, dan natrium, serta stress.

Obesitas adalah salah satu faktor resiko yang sangat menentukan tingkat

keparahan hipertensi. Obesitas meningkatkan jumlah panjangnya pembuluh

darah, sehingga meningkatkan resistensi darah yang seharusnya mampu men-

empuh jarak lebih jauh. Peningkatkan resistensi menyebabkan tekanan darah

menjadi lebih tinggi. Orang yang pemalas cenderung rentan terhadap serangan

jantung karena otot jantung mereka tidak bekerja dengan efisien dan perlu bek-

erja lebih keras untuk memompa darah. Peran aktivitas fisik disini adalah sebagai

vasodilator, itu berarti bahwa olahraga dapat mengembangkan pembuluh darah.

Kombinasi gaya hidup pasif dan kegemukan akan melipatgandakan tingkat

keparahan kondisi ini. Stress sangat mempengaruhi kondisi penderita hipertensi.

Stress mempercepat produksi senyawa berbahaya, meningkatkan kecepatan

denyut jantung dan kebutuhan akan suplai darah. Pada penderita hipertensi yang

sering merasakan stress, tekanan darah cenderung lebih tinggi serta menim-

bulkan serangan jantung dan stroke.

6.2 Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Hipertensi

Hasil penelitian mengenai kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi

di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang didapatkan data

bahwa kepatuhan minum obat dalam kategori sedang dan kategori tinggi berim-

bang. Sebagian besar responden dalam penelitian ini, dikatakan kategori sedang

karena dalam kepatuhan minum obatnya, responden pernah lupa apabila sedang

bepergian jauh tidak membawa obatnya. Responden juga dikatakan dalam

Page 53: sayuran

53

kepatuhan sedang apabila tanpa sepengetahuan dokter mengurangi pengobatan

dengan inisiatif sendiri ketika merasa kondisinya bertambah buruk dengan

meminum obat tersebut. Sehingga responden tidak meminum obatnya sesuai

dengan jadwal yang telah diberikan oleh dokter.

Sebagian responden dikatakan dalam kepatuhan tinggi karena responden

meminum obatnya secara teratur, tidak pernah lupa meminum obat dan

meminum obat sesuai dengan resep dokter. Selain itu responden kepatuhan

tinggi walaupun ketika bepergian jauh tetap membawa obatnya dan tidak mengu-

rangi pengobatan walaupun merasa kondisinya memburuk setelah meminumnya.

Responden yang merasa tekanan darahnya telah terkontrol atau turun tidak

menghentikan pengobatan juga termasuk responden dalam kepatuhan tinggi.

Responden juga dikatakan dalam kepatuhan tinggi karena merasa bahwa terapi

hipertensi yang didapat tidak rumit dan tidak mengalami kesulitan mengingat

seluruh obat anti hipertensi yang harus dikonsumsi.

6.3 Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit dengan Kepatuhan Minum

Obat pada Pasien Hipertensi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, responden dengan persepsi

parah memiliki kepatuhan minum obat dalam kategori sedang. Dari hasil uji kore-

lasi spearman ini untuk variabel persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan

minum obat terdapat nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dan didapatkan ni-

lai koefisien korelasi sebesar 0.660, yang berarti terdapat hubungan yang kuat

antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat pada pasien

hipertensi. Responden dalam penelitian ini berpersepsi bahwa penyakit

Page 54: sayuran

54

hipertensi merupakan penyakit yang parah, sehingga responden merasa bahwa

dirinya harus segera melakukan tindakan pengobatan. Hal ini yang mendorong

pasien untuk mematuhi pengobatan yang telah diberikan kepadanya oleh tenaga

kesehatan.

Seseorang yang memiliki persepsi parah terhadap penyakit hipertensi se-

harusnya patuh terhadap pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di-

lakukan oleh Kimberly M. Thalacker di Hmong tahun 2011 bahwa jika seseorang

memiliki persepsi parah terhadap penyakit hipertensi, maka seseorang tersebut

akan lebih cenderung untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih baik dan

mengikuti pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan. Gaya

hidup yang diubah meliputi berhenti merokok, mengurangi stress, meningkatkan

aktivitas fisik, mengurangi berat badan berlebih dan mengurangi sodium dan

lemak hewani dalam diet yang telah diakui oleh program tenaga kesehatan.

Menurut WHO (2003) persepsi keparahan penyakit memiliki hubungan yang kuat

dengan kepatuhan minum obat. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi

kepatuhan, Meichenbaum dan Turk mengemukakan bahwa persepsi keparahan

merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan minum obat.

Kepatuhan minum obat akan meningkat ketika persepsi pasien terhadap

penyakit semakin parah. Pasien yang memiliki lebih banyak mengalami gejala

akan memiliki keparahan yang lebih tinggi, karena pasien tersebut merasakan re-

siko komplikasi yang lebih tinggi.

Berdasarkan penelitian di Philadhelphia oleh Michael J. Reichgott tahun

2006, pasien dengan persepsi parah memiliki hubungan yang signifikan dengan

kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. Hal ini dikarenakan apabila sese-

orang telah mempersepsikan bahwa penyakitnya parah, maka seseorang itu

Page 55: sayuran

55

akan berusaha mencari solusi untuk menyembuhkan penyakitnya. Sehingga

seseorang dengan persepsi yang parah akan mematuhi pengobatan yang

diberikan oleh tenaga kesehatan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat

ialah persepsi keparahan penyakit. Seseorang yang sudah merasakan bahwa ia

rentan terhadap suatu penyakit,maka ia akan merasakan keseriusan penyakit

tersebut terhadap dirinya atau keluarganya. Seseorang akan melakukan tindakan

pencegahan dan pengobatan bila ia merasa diancam oleh penyakit yang di-

rasakan lebih parah daripada penyakit lainnya. Persepsi klien mengenai kepara-

han penyakitnya menimbulkan kekhawatiran sehingga klien akan merasa mem-

butuhkan pengobatan untuk mengendalikan penyakit dan kekhawatiran tentang

komplikasi penyakit yang berkaitan dengan meningkatnya kepatuhan.Tindakan

yang dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit tersebut yaitu

mematuhi pengobatan yang telah diberikan oleh dokter.

Kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi sangat penting karena

dengan meminum obat antihipertensi secara teratur dapat mengontrol tekanan

darah penderita hipertensi. Sehingga dalam jangka panjang risiko kerusakan or-

gan-organ penting tubuh seperti jantung,ginjal dan otak dapat dikurangi (Tam-

bayong,2002).

6.4 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, di-

antaranya adalah:

Page 56: sayuran

56

1. Rancangan penlitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional di-

mana kedua variabel diukur dalam satu waktu. Sehingga penelitian ini tidak

dapat menjelaskan dinamika kedua variabel di atas dalam waktu yang

berbeda. Hal ini menyebabkan penelitian ini hanya berlaku pada saat di-

lakukan penelitian saja.

2. Metode wawancara terstruktur dengan bantuan kuisioner untuk mengukur

variabel persepsi keparahan penyakit dan variabel kepatuhan minum obat di-

mana hal ini sangat memungkinkan responden untuk menjawab tidak sesuai

dengan kenyataan yang ada.

6.5 Implikasi Keperawatan

Implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi keparahan penyakit memiliki hubun-

gan yang signifikan dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi.

Semakin parah persepsi yang dimiliki oleh pasien,maka semakin tinggi

kepatuhan minum obatnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evi-

dence based nursing agar perawat dapat memberikan edukasi kepada

pasien mengenai penyakit hipertensi yang sebagian besar pasiennya tidak

memahami mengenai penyakit hipertensi dan melakukan pemeriksaan skrin-

ing sehingga pasien segera mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi

dan dapat segera berobat kerumah sakit sebelum penyakitnya bertambah

parah.

Page 57: sayuran

57

2. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan mampu memberikan pema-

haman kepada klien tentang pentingnya mematuhi rencana pengobatan

yang telah ditentukan. Selain itu, perawat juga mampu memberikan edukasi

kepada pasien mengenai keparahan penyakit hipertensi, sehingga pasien

dapat memutuskan untuk mengambil pengobatan yang mana nantinya dapat

meningkatkan motivasi pasien untuk berperilaku sehat dan mematuhi pengo-

batan yang telah ditetapkan.

3. Mendorong tenaga kesehatan untuk dapat menjadikan hasil penelitian ini

sebagai evaluasi optimalitas terapi pada pasien hipertensi primer, khususnya

di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.

4. Elemen-elemen di instansi pendidikan terdorong untuk meningkatkan

kualitas materi-materi tentang kardiologi khususnya hipertensi dari etiologi

hingga penatalaksanaan yang tepat serta asuhan keperawatan yang tepat.

5. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya terdorong untuk menjadikan

penelitian ini sebagai acuan penelitian lebih lanjut untuk melengkapi aspek-

aspek lain yang belum diteliti.

Page 58: sayuran

58

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesim-

pulan sebagai berikut:

Page 59: sayuran

59

1. Pasien hipertensi memiliki persepsi keparahan penyakit terhadap gejala klinis,

klasifikasi tekanan darah, faktor resiko dan komplikasi hipertensi sebesar

84.3% dalam kategori parah.

2. Kepatuhan minum obat pasien hipertensi sebesar 48.2% dalam kategori

sedang.

3. Pada selang kepercayaan 95% didapatkan hubungan yang signifikan (p value

= 0,660) antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat

pada pasien hipertensi dan hubungan tersebut memiliki arah positif yang me-

nunjukkan bahwa semakin parah persepsinya maka kepatuhan minum obat-

nya semakin tinggi.

7.2 Saran

1. Melihat adanya hubungan antara hubungan persepsi keparahan penyakit den-

gan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi, maka diharapkan perawat

dapat memberikan edukasi kepada pasien hipertensi agar pasien memahami

mengenai penyakit hipertensi dan melakukan pemeriksaan skrining sehingga

pasien hipertensi segera mengetahui dirinya menderita hipertensi dan segera

berobat sebelum penyakitnya bertambah parah.

2. Bagi perawat memberikan pemahaman kepada penderita hipertensi pent-

ingnya mematuhi rencana pengobatan agar dapat meningkatkan kepatuhan

minum obat sesuai dengan pengobatan yang telah ditentukan.

3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengadakan penelitian lanjutan

dengan menggunakan desain penelitian yang lebih sesuai, yaitu cohort yang

lebih menekankan pada time period approach, agar dinamika persepsi

Page 60: sayuran

60

keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat dalam periode waktu yang

berbeda dapat diketahui.