Download - sayuran
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suatu fase kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan di ke-
mudian hari yaitu masa anak-anak. Perkembangan kecerdasan
fisik,tingkah laku dan kebiasaan yang ditumbuhkan sejak masa anak-
anak, sebagian besar akan mereka bawa hingga dewasa. Orangtua
memiliki tugas dan berperan penting bagi pertumbuhan anak-anak
mereka (Petra,2009). Pola asuh orangtua merupakan hal yang paling fun-
damental dalam pembentukan karakter anak-anaknya. Merujuk pada teori
Urie Bronfenbrenner (Papalia&Olds,2005), bahwa individu akan berkem-
bang dalam suatu lapisan-lapisan kondisi sosial kehidupannya yang ada
di sekitarnya. Keluarga, terutama orangtua, merupakan lingkungan ter-
dekat pertama yang akan mempengaruhi pembentukan karakter anak
(Siti Nurina,2012).
Dampak pola asuh pada anak terhadap pertumbuhan dan perkem-
bangan anak yaitu memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang yang
optimal (St.Aisyah, 2010). Pola asuh orangtua sangat mempengaruhi
pemberian asupan gizi dan nutrisi yang baik pada anak (Muthmainnah,
2012). Oleh karena itu anak usia 5 tahun cenderung masih tergantung
dari makanan yang disediakan oleh orangtua di rumah, meskipun akhir-
2
akhir ini kecenderungan anak dalam memilih makanan lebih disebabkan
oleh pengaruh lingkungan di luar rumah yang dapat menggeser kebi-
asaan pola makan anak (Ratu, 2011). Dalam hal ini peran aktif orangtua
sangat diperlukan terhadap perkembangan anak-anak,terutama pada
anak dibawah usia 5 tahun.
Fenomena kurangnya konsumsi sayuran pada anak ternyata tidak
hanya terjadi di Indonesia namun hal serupa juga terjadi di Amerika, Aus-
tralia, Eropa, Meksiko dan bahkan seluruh dunia. Hal ini terbukti dalam ju-
rnal (American Dietetic Association, 2010) yang menyatakan bahwa anak-
anak di negara tersebut mengkonsumsi sayuran dan buah kurang dari
yang dianjurkan perhari. Pola konsumsi sayur dan buah pada penduduk
Indonesia memang masih rendah daripada jumlah yang dianjurkan. Hasil
penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 90% anak mengkonsumsi
sayur dan buah dengan ukuran <3 porsi/hari (Ratu, 2011). Di Semarang
konsumsi sayuran pada anak masih kurang dari anjuran yaitu 73,5 gram/
hari (Melati, 2010).
Untuk meningkatkan anak mengkonsumsi sayuran, maka diper-
lukan penerapan pola asuh yang tepat. Pemberian sayuran pada anak
usia 3-5 tahun secara berulang-ulang oleh orangtua di rumah akan
meningkatkan konsumsi sayuran . Efektivitas pola asuh orangtua meru-
pakan langkah penting dalam mempromosikan asupan sayuran pada
anak usia prasekolah (American Dietetic Association 2010). Karena
dalam fase ini anak membutuhkan sayuran salah satu nya untuk memper-
baiki daya tahan tubuh (British Journal of Nutrition, 2008).
3
Pada anak usia prasekolah, sayuran membantu pertumbuhan tu-
lang dan membuat gigi kuat. Membangun kebiasaan makan sayuran se-
jak dini merupakan awal yang baik dalam kehidupan. Sehingga orangtua
sebaiknya membangun kebiasaan makan sayuran sejak dini karena dapat
memberikan diet yang sehat sepanjang hidup mereka. Apabila anak su-
dah dibiasakan makan sayuran yang merupakan sumber serat bagi tubuh
maka anak akan menyukai sayuran (Health Education Research, 2001).
Banyaknya anak yang mengalami kelebihan berat badan saat
berusia 4-5 tahun merupakan tanda anak memiliki kebiasaan konsumsi
makanan yang kurang sehat dengan kandungan kalori tinggi tanpa diser-
tai makan sayur dan buah yang cukup sebagai sumber serat (Ratu,
2011). Selain itu sayuran juga dapat mengurangi resiko terkena penyakit
diabetes, kanker dan penyakit jantung yang saat ini sering terjadi di In-
donesia. Saat ini (Hernawati, 2008). Sehingga dalam hal ini perlunya
tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mempromosikan kepada
orangtua mengenai pentingnya sayuran.
Peneliti ingin meneliti hubungan pola asuh orangtua dengan kon-
sumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang,
karena belum pernah dilakukan penelitian di Indonesia dan penting bagi
perawat untuk mengetahui pola asuh orangtua dengan konsumsi sayuran
sehingga informasi tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sum-
berdaya manusia
1.2. Rumusan Masalah
4
Apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua dengan
konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pola asuh orangtua dengan kon-
sumsi sayuran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi pola asuh orangtua terhadap konsumsi sayuran
anak di TK Dian Agung Malang.
2. Mengidentifikasi konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah di
TK Dian Agung Malang.
3. Menganalisis hubungan pola asuh orangtua dengan konsumsi sayu-
ran pada anak usia prasekolah di TK Dian Agung Malang.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Institusi Pelayanan Kesehatan.
Dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan informasi
untuk meningkatkan pelayanan keperawatan dengan mengadakan
kebijakan sebagai solusi yaitu dengan meningkatkan penyuluhan
pentingnya sayur mayur dalam makanan sehari-hari anak usia
prasekolah kepada masyarakat, khususnya orangtua yang memiliki
anak usia prasekolah.
2. Bagi praktik keperawatan
5
Memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat
khusunya ibu dan anak usia prasekolah untuk memahami bahwa
dalam pemberian sayuran untuk mengoptimalkan tumbuh kembang
di pengaruhi oleh pola asuh orangtua.
3. Bagi masyarakat
Memberikan informasi hubungan pola asuh orangtua dengan
konsumsi sayuran pada anak usia prasekolah. Sehingga, para orang-
tua dapat meningkatkan konsumsi sayuran pada anak dan member
ide-ide yang kreatif agar ibu mampu membuat anaknya suka
memakan sayuran yang tinggi serat.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
2.1.1. Keparahan Penyakit Hipertensi
2.1.1.1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten di-
mana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolic di atas
90 mmHg (Brunner dan Suddarth,2002).
Hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah penyakit regulasi vaskuler
yang terjadi karena malfungsi mekanisme kontrol tekanan arterial meliputi
system renin, angiostensin, aldosteron, volume cairan ekstraseluler
(Baughman, 2000).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang abnormal den-
gan sistolik lebih dari 140 mmHg dan diastolik lebih dari 90 mmHg
(Corwin,2000). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee on
7
Detection, Evacuation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) seba-
gai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Doenges,1999).
2.1.1.2. Gejala Klinis Hipertensi
Seseorang dapat menderita hipertensi selama bertahun-tahun
tanpa menyadarinya. Individu yang menderita hipertensi kadang tidak
menampakkan gejala sampai bertahun-tahun. Gejala klinis timbul ketika
hipertensi memasuki tahap lanjut, gejala klasik yaitu sakit kepala, epistak-
sis, pusing dan tinitus yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan
darah, ternyata sama seringnya dengan pasien yang tidak memiliki tekanan
darah tinggi. Namun gejala sakit kepala sewaktu bangun tidur, mata kabur,
depresi, dan nokturia, ternyata meningkat pada pasien hipertensi yang
tidak menjalani pengobatan ( Tambayong,2000).
Ada beberapa gejala klinis yang tidak boleh diabaikan karena
berhubungan dengan kerusakan organ target (Wahyuni,2000), yaitu :
a. Serangan pusing, kekakuan, kehilangan keseimbangan, sakit
kepala pagi hari, penglihatan yang memburuk, semuanya secara
bersama-sama menunjukkan adanya masalah dengan peredaran
darah di otak.
b. Kelumpuhan anggota badan, khususnya sebelah badan atau
salah satu bagian muka atau salah satu bagian tangan, kemam-
8
puan bicara menurun dapat menjadi peringatan adanya stroke
yang jika diobat dapat dicegah.
c. Terengah-engah pada waktu latihan jasmani, dengan rasa sakit
pada dada yang menjalar ke rahang, lengan, punggung atau pe-
rut bagian atas menjadi tanda permulaan angina.
d. Susah bernapas, sehingga merasa lebih mudah bernapas jika
tidak berbaring datar, dengan gembung pada kaki, dapat menjadi
tanda lain yang berkaitan dengan tekanan darah tinggi, kega-
galan jantung.
e. Sering bangun tiap malam untuk buang air kecil serta sering
mengeluarkan urin selama siang hari dapat menajdi tanda per-
tama gangguan ginjal.
Gejala di atas tidak akan timbul sampai pada taraf hipertensi yang
sudah akut atau membahayakan nyawa penderita. Untuk gejala di atas bi-
asanya muncul pada penderita hipertensi yang telah memiliki komplikasi.
2.1.1.3. Faktor Resiko Hipertensi
Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Un-
tuk mengendalikan tekanan darah, tentunya penderita hipertensi juga perlu
mengendalikan faktor-faktor resiko yang mendorong meningkatnya tekanan
darah tinggi secara lambat laun.
Obesitas adalah salah satu faktor resiko yang sangat menentukan
tingkat keparahan hipertensi. Semakin besar massa tubuh seseorang, se-
makin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyuplai oksigen dan nutrisi
9
ke otot dan jaringan lain. Obesitas meningkatkan jumlah panjangnya pem-
buluh darah, sehingga meningkatkan resistensi darah yang seharusnya
mampu menempuh jarak lebih jauh. Peningkatkan resistensi menyebabkan
tekanan darah menjadi lebih tinggi.
Kebiasaan bermalas-malasan semakin meningkatkan risiko anda
melalui pengubahan kondisi otot jantung seperti yang dilakukannya pada
otot-otot lain dalam tubuh. Orang yang pemalas cenderung rentan terhadap
serangan jantung karena otot jantung mereka tidak bekerja dengan efisien
dan perlu bekerja lebih keras untuk memompa darah. Peran aktivitas fisik
disini adalah sebagai vasodilator, itu berarti bahwa olahraga dapat
mengembangkan pembuluh darah. Kombinasi gaya hidup pasif dan kege-
mukan akan melipatgandakan tingkat keparahan kondisi ini.
Asupan natrium dan garam tergolong faktor risiko hipertensi yang
kontroversial. Beberapa individu memang peka terhadap natrium,baik yang
berasal dari garam kemasan atau bahan lain dan hidangan cepat saji.
Tetapi, respons terhadap natrium pada setiap orang berbeda. Sehingga in-
dividu dengan respons yang rendah terhadap natrium akan memiliki
keparahan yang lebih tinggi daripada individu dengan respons yang lebih
tinggi terhadap natrium.
Stress sangat mempengaruhi kondisi penderita hipertensi. Stress
mempercepat produksi senyawa berbahaya, meningkatkan kecepatan
denyut jantung dan kebutuhan akan suplai darah. Pada penderita
hipertensi yang sering merasakan stress, tekanan darah cenderung lebih
tinggi serta menimbulkan serangan jantung dan stroke.
10
Risiko terkena hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan
dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.
Semakin banyak seseorang memiliki faktor resiko, maka keparahan
penyakitnya semakin meningkat. Beberapa faktor risiko yang tidak dimodi-
fikasi adalah genetik, ras, umur, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko
yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah obesitas, kebiasaan merokok,
aktivitas fisik, asupan garam, dan natrium, serta stress.
Pada penderita hipertensi yang memiliki faktor risiko yang tidak da-
pat dimodifikasi, disarankan oleh tenaga kesehatan untuk mematuhi pen-
gobatan mereka selama seumur hidup. Dibandingkan dengan penderita
hipertensi yang memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi, penderita
hipertensi yang memilik faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi hanya
dapat dikendalikan tekanan darahnya dengan terapi pengobatan. Untuk
penderita hipertensi dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, lebih
banyak cara dan terapi yang dapat dilakukan untuk mengendalikan
tekanan darahnya, diantaranya adalah meningkatkan aktivitas fisik sebagai
vasodilator, penurunan berat badan, penurunan konsumsi alkohol, dan pola
makan kaya buah-buahan, sayuran dan serel whole-grain. Bahkan sebuah
artikel dalam New England Journal of Medicine lebih menyarankan peruba-
han gaya hidup agresif daripada obat-obatan farmakologi.
2.1.1.4. Klasifikasi Tekanan Darah
Klasifikasi ini tidak mengelompokkan tekanan darah seseorang
berdasarkan ada tidaknya faktor resiko atau kerusakan organ target untuk
11
memberikan rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda. Tetapi JNC 7
menyarankan agar setiap orang dengan hipertensi derajat 1 dan 2 untuk
mendapatkan pengobatan. Tujuan pengobatan ini ialah agar pasien den-
gan hipertensi dapat mencapai tekanan darah <140/90. Sedangkan tujuan
pengobatan bagi pasien dengan pra hipertensi ialah menurunkan tekanan
darah hingga normal dengan perubahan gaya hidup dan mencegah ke-
naikan tekanan darah yang progresif menggunakan modifikasi gaya hidup
yang direkomendasikan.
Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah berdasarkan The Seventh Report of Joint Na-
tional Committee on Prevention,Detection,Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7)
Klasifikasi Tekanan
Darah
Tekanan Darah
Sistolik (mmHg)
Tekanan Darah Diastolik
(mmHg)
Normal <120 dan <80
Pra hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Derajat 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua,yaitu :
12
a. Hipertensi esensial atau primer. Jenis hipertensi yang penyebabnya
masih belum dapat diketahui. Sekitar 90% penderita hipertensi
menderita jenis hipertensi ini.
b. Hipertensi sekunder. Jenis hipertensi yang penyebabnya dapat dike-
tahui, antara lain kelainan pada pembuluh darah ginjal, gangguan ke-
lenjar tiroid atau penyakit kelenjar adrenal (Arief,2008).
Hipertensi sekunder digolongkan menjadi beberapa bagian, di an-
taranya hipertensi akibat gangguan ginjal dan hipertensi akibat gangguan
pada pembuluh darah. Hipertensi akibat gangguan ginjal terjadi sebagai
akibat dari adanya gangguan pada pembuluh darah yang menyuplai darah
ke ginjal (hipertensi renovaskular) atau gangguan pada sel ginjal itu sendiri
(hipertensi renal). Selain gangguan di atas, hipertensi sendiri bisa menye-
babkan gangguan ginjal yang akan memperparah hipertensi tersebut. Den-
gan demikian, hipertensi primer bisa merusak organ ginjal yang menye-
babkan hipertensinya bertambah parah (timbul hipertensi sekunder). Seba-
liknya hipertensi sekunder juga bisa memperparah hipertensi primer.
Karena itu gangguan hipertensi sekunder harus cepat diatas agar tidak
menimbulkan masalah yang lebih parah. Jika hipertensi sekunder ini tidak
cepat diatasi, kemungkinan besar akan menyerang ginjal dan memper-
parah kondisi kesehatannya.
Menurut Freis (1974) hipertensi esensial dibagi beberapa tingkatan :
a. Hipertensi ringan : dengan diastolik menetap rata-rata antara 90 - 104
mm Hg pada 3 kali kunjungan atau lebih.
13
b. Hipertensi sedang : dengan diastolik menetap rata-rata antara 105 -
114 mm Hg pada 3 kali kunjungan atau lebih.
c. Hipertensi berat : dengan diastolik menetap antara 115 - 129 mm Hg.
d. Hipertensi maligna : bila tekanan diastolik 130 mm Hg atau lebih.
Hipertensi maligna dikenal juga sebagai accelerated hypertension.
Berdasarkan klasifikasi hipertensi esensial di atas, hipertensi berat
dan maligna memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi daripada
hipertensi sedang, begitu juga hipertensi sedang memiliki tingkat kepara-
han yang lebih tinggi daripada hipertensi ringan. Sehingga laju kesem-
buhan yang paling rendah berada pada hipertensi berat dan maligna dan
laju kesembuhan yang paling tinggi berada pada hipertensi ringan
(Hadiyah,2010).
Kasus hipertensi dipengaruhi oleh suatu zat yang dihasilkan oleh
ginjal, yakni renin, zat ini akan berubah menjadi angiotensin, yaitu zat yang
menyebabkan arteri kecil menyempit. Penyempitan inilah yang mengaki-
batkan hipertensi. Karena itu, kadar renin yang tinggi pada penderita
hipertensi akan memiliki tingkat keparahan yang paling tinggi dibandingkan
dengan kadar renin yang lebih rendah.
Pembagian berdasarkan kadar renin dalam darah :
a. Kadar renin rendah : kurang lebih 30% dari penderita hipertensi esen-
sial.
b. Kadar renin normal : sekitar 50% dari penderita hipertensi esensial.
c. Kadar renin tinggi : sekitar 20% dari penderita hipertensi esensial.
14
2.1.1.5. Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi adalah kondisi yang berbahaya. Bila tidak
dikelola dengan baik, tekanan darah tinggi pada akhirnya dapat menye-
babkan jantung bekerja terlalu berat sehingga mengalami kerusakan seir-
ius. Misalnya, otot jantung menebal (hipertorfi) dan berfungsi abnormal
atau memompa secara kurang bertenaga. Tekanan darah yang tinggi
umumnya meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung kongestif,
stroke, gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal. Sekitar separuh orang
yang terkena serangan jantung dan dua-pertiga orang yang terkena stroke
adalah penderita hipertensi. Hipertensi yang tidak diobati akan mempen-
garuhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup
sebesar 10-20 tahun. Dengan pendekatan sistem organ dapat diketahui
komplikasi yang mungkin terjadi akibat hipertensi yaitu :
Tabel 2.2 Komplikasi Hipertensi
No. Sistem Organ Komplikasi
1. Jantung Infark miokard
Angina pectoris
Gagal jantung kongestif
2. Sistem saraf pusat Stroke
15
Ensefalopati hipertensif
3. Ginjal Gagal ginjal kronis
4. Mata Retinopati hipertensif
5. Pembuluh darah perifer Penyakit pembuluh darah perifer
Seiring dengan meningkatnya derajat keparahan hipertensi, maka
resiko terjadinya komplikasi semakin meningkat. Komplikasi yang terjadi
pada hipertensi ringan dan sedang mengenai mata, ginjal, jantung, dan
otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai
dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering dite-
mukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada
otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroa-
neurisma yang dapat mengakibatkan kematian. Ensefalopati disebabkan
oleh kemacetan parah pembuluh darah kecil dan pembengkakan otak.
Gagal ginjal sering dijumpai sebagai akibat komplikasi hipertensi
yang lama dan terjadi proses akut seperti pada hipertensi maligna. Risiko
penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi tidak hanya ditentukan oleh
tingginya tekanan darah, tetapi juga ada tidaknya kerusakan organ target
serta faktor risiko lain seperti merokok, dislipidemia dan diabetes melitus
(Susalit E.,2001).
2.1.2. Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
2.1.2.1. Persepsi Keparahan Penyakit
16
Persepsi keparahan penyakit menurut Becker (1974) adalah
persepsi seseorang terhadap tingkat keparahan penyakit yang dideri-
tanya. Tindakan seseorang untuk mencari pengobatan dan pencegahan
penyakit didorong oleh ancaman penyakit tersebut. Salah satu model
yang berkembang untuk melihat persepsi keparahan penyakit adalah
Health Belief Model. Model ini digunakan sebagai upaya menjelaskan se-
cara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam pencegahan atau de-
teksi penyakit dan sering sekali dipertimbangkan sebagai kerangka utama
dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia yang dimulai
dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan. Selain itu, Health Be-
lief Model digunakan untuk mengidentifikasi beberapa faktor prioritas
penting yang berdampak terhadap pengambilan keputusan secara ra-
sional dalam situasi yang tidak menentu (Rosenstock,1990). Dalam model
tersebut,ada empat variabel yang mempengaruhi perlaku pencarian pen-
gobatan dan tindakan pencegahan,berupa kerentanan yang dirasakan,
keparahan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan dan rintangan yang
dirasakan.
Keparahan yang dirasakan mengacu pada konsekuensi negatif se-
buah asosiasi individu dengan suatu peristiwa atau hasil. Konsekuensi ini
mungkin berhubungan dengan suatu kejadian yang diantisipasi mungkin
terjadi di masa depan atau pada keadaan saat ini. Dalam sejumlah teori
dan displin ilmu akademik yang berbeda, konsep keparahan telah dipan-
dang sebagai suatu determinan perilaku.
Tindakan seseorang dalam pencarian pengobatan dan pencegahan
penyakit dapat disebabkan karena keseriusan dari suatu penyakit yang
17
dirasakan misalnya dapat menimbulkan kecacatan, kematian atau
kelumpuhan dan juga dampak sosial seperti dampak terhadap pekerjaan,
kehidupan keluarga, dan hubungan sosial. Dalam menilai berat ringannya
suatu penyakit setiap individu juga berbeda. Dimensi ini meliputi akibat
medis yang ditimbulkan misalnya : meninggal dunia, akibat sosial seperti
pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga dan hubungan sosial. Seseo-
rang akan terdorong untuk melakukan tindakan pengobatan atau pence-
gahan terhadap suatu penyakit oleh karena keseriusan penyakit yang di-
rasakannya.
Seseorang yang sudah merasakan bahwa ia rentan terhadap suatu
penyakit, maka ia akan merasakan keseriusan penyakit tersebut terhadap
dirinya atau keluarganya. Seseorang akan melakukan tindakan pencega-
han bila ia merasa diancam oleh penyakit yang dirasakan lebih serius
dibandingkan dengan penyakit lain yang dirasakan kurang serius.
2.1.2.2. Persepsi Keparahan pada Penyakit Hipertensi
Penyakit hipertensi merupakan salah satu penyakit yang banyak
diderita oleh masyarakat Indonesia. Berbeda dengan penyakit jantung
atau stroke yang dianggap berbahaya,penyakit hipertensi justru dianggap
suatu penyakit yang biasa. Persepsi seperti itulah yang membuat orang
merasa tidak perlu terlalu serius untuk mengobati penyakit hipertensi.
Pasien hipertensi tidak menganggap parah penyakitnya bila tekanan
darahnya dalam keadaan normal, dan merasa dapat menghentikan pen-
gobatan yang telah dijalaninya. Biasanya pasien hipertensi mencari pen-
18
gobatan apabila sudah muncul gejala seperti pusing kepala, epistaksis,
dan gejala lain yang menimbulkan persepsi bahwa penyakit tersebut telah
mencapai titik keparahan tertentu.
Salah satu hal yang dapat memicu persepsi keparahan pasien
adalah munculnya istilah prehipertensi. Terkadang pasien menjadi lebih
takut ketika divonis mengalami “prehipertensi” dibandingkan dengan
tekanan darah “di atas normal”. Sebagian orang meyakini bahwa tulisan
yang tertera dalam rekam medis sangat memengaruhi tingkat jaminan
medis yang mereka terima. Sebagian lainnya khawatir harus mengon-
sumsi obat antihipertensi yang diresepkan secara berlebihan. Pra
hipertensi bukan merupakan kategori penyakit. Tetapi sebuah gambaran
bahwa individu tersebut berada pada kondisi resiko tinggi hipertensi. Se-
hingga pasien dan tenaga kesehatan mengetahui resiko dan dapat
melakukan pencegahan untuk berkembangnya hipertensi. Pasien pra
hipertensi tidak perlu untuk melakukan terapi pengobatan tetapi lebih di-
arahkan untuk modifikasi gaya hidup untuk mengurangi resiko berkem-
bangnya hipertensi di masa yang akan datang.
Kadang-kadang orang menganggap sakit kepala, pusing, atau
hidung berdarah sebagai gajala peringatan meningkatnya tekanan darah.
Padahal hanya sedikit orang yang mengalami perdarahan di hidung atau
pusing jika tekanan darahnya meningkat. Pada sebagian orang, ada yang
mengalami hipertensi tanpa keluhan, sehingga menganggap tak perlu dio-
bati dan merasa akan bertambah parah penyakitnya apabila meminum
obat secara terus menerus karena dapat menimbulkan kerusakan ginjal.
Padahal hipertensi menunjukkan hampir tidak ada tanda-tanda atau ge-
19
jala pada tahap awal yang biasanya disebut sebagai “Silent Killer”. Pen-
derita hipertensi yang tekanan darahnya sering tidak terkontrol akan lebih
cepat menderita penyakit ginjal kronik dibanding orang-orang yang
tekanan darahnya terkontrol dengan baik. Walaupun tanpa keluhan,
tekanan darah yang dibiarkan selalu tinggi lambat laun akan merusak
pembuluh darah ginjal dan organ-organ lain.
Pasien hipertensi juga merasa penyakitnya tidak parah karena men-
ganggap bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Apabila seseorang su-
dah didiagnosis sakit hipertensi, berdasarkan pemeriksaan yang benar,
maka seumur hidup akan tetap disebut penderita hipertensi, walaupun
tekanan darahnya sudah kembali normal. Penderita hipertensi akan men-
jalani terapi dan pengobatan seumur hidup untuk mengendalikan tekanan
darahnya. Tidak ada kata sembuh bagi hipertensi, yang ada hanyalah isti-
lah terkontrol (Anies,2006).
Dalam masyarakat awam, hipertensi identik dengan pemarah.
Seseorang dengan sifat pemarah akan mengalami hipertensi yang parah.
Memang benar, ketika seseorang dalam keadaan marah, maka tekanan
darahnya akan meningkat. Tetapi bukan berarti jika penderita hipertensi
tidak pemarah, maka penderita tersebut tidak dalam kategori hipertensi
yang parah. Karena penyakit hipertensi ini sangat kompleks penyebabnya
dan biasanya ada faktor genetik ditambah dengan predisposisi lainnya
seperti kolesterol tinggi, sakit gula dan obesitas.
Pasien merasa tidak perlu menjalani diet rendah garam karena
penyakitnya tidak parah. Jika pasien tidak mempunyai keluhan apa-apa
walaupun tekanan darahnya sudah diatas normal, diet rendah garam di-
20
anggap sepele. Padahal sering makan-makanan dengan kadar garam
tinggi akan menyebabkan tekanan darah semakin tinggi Beberapa indi-
vidu memang peka terhadap natrium,baik yang berasal dari garam ke-
masan atau bahan lain dan hidangan cepat saji. Tetapi, respons terhadap
natrium pada setiap orang berbeda. Sehingga individu dengan respons
yang rendah terhadap natrium akan memiliki keparahan yang lebih tinggi
daripada individu dengan respons yang lebih tinggi terhadap natrium (Su-
darma,2008).
2.2. Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi
2.2.1. Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mence-
gah terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan
mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Target tekanan
darah yaitu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti dia-
betes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.
Efektivitas tiap program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, bi-
aya perawatan dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi.
Pada pendekatan nonfarmakologis, meliputi terapi non farmakologis
terdiri dari menghentikan kebiasaan merokok, menurunkan berat badan
berlebih, konsumsi alkohol berlebih, asupan garam dan asupan lemak,
latihan fisik serta meningkatkan konsumsi buah dan sayur merupakan in-
tervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap terapi hipertensi. Apabila
21
penderita hipertensi ringan berada dalam resiko tinggi atau bila tekanan
darah diastoliknya menetap, diatas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya di-
atas 130-139 mmHg, maka perlu diberikan pendekatan farmakologis.
2.2.1.1. Penatalaksanaan Non Farmakologis Hipertensi
a. Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih
Peningkatan berat badan di usia dewasa sangat berpengaruh terhadap
tekanan darahnya. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat
penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi.
b. Meningkatkan aktifitas fisik
Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50%
daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit
sebanyak lebih dari 3 kali sehari penting sebagai pencegahan primer
dari hipertensi.
c. Mengurangi asupan natrium
Apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian
obat anti hipertensi oleh dokter.
d. Menurunkan konsumsi kafein dan alcohol
Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga men-
galirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara kon-
sumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko
hipertensi.
22
2.2.1.2. Penatalaksanaan Farmakologis Hipertensi
Terapi farmakologis berupa obat antihipertensi yang dianjurkan
yaitu diuretika, beta blocker, ACE-inhibitor dan Ca bloker.
a. Diuretika
Diuretika adalah antihipertensi yang merangsang pengeluaran garam
dan air. Dengan mengonsumsi diuretika akan terjadi pengurangan
jumlah cairan dalam pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah
pada dinding pembuluh darah.
b. Beta blocker
Beta blocker dapat mengurangi kecepatan jantung dalam memompa
darah dan mengurangi jumlah darah yang dipompa oleh jantung.
c. ACE-inhibitor
ACE-inhibitor dapat mencegah penyempitan dinding pembuluh darah
sehingga bisa mengurangi tekanan pada pembuluh darah dan menu-
runkan tekanan darah.
d. Ca Bloker
Ca bloker dapat mengurangi kecepatan jantung dan merelaksasikan
pembuluh darah (Sitanggan dan Yulianti,2006).
2.2.2. Kepatuhan Minum Obat Antihipertensi
Kepatuhan adalah perilaku pasien (meminum obat, mengikuti diet,
modifikasi perilaku atau datang ke klinik jantung) sesuai dengan saran
dari tenaga kesehatan. Hal ini merupakan faktor utama yang dapat di-
23
modifikasi dalam menentukan keberhasilan terapi (Heart and Stroke
Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario,
2005). Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas
kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetap-
kan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman
Ali et al, 1999).
Kepatuhan minum obat dapat diartikan sebagai perilaku pasien
yang mentaati semua nasihat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalan-
gan medis, seperti dokter dan apoteker. Pasien melakukan segala sesu-
atu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan. Hal ini
merupakan syarat utama tercapainya keberhasilan pengobatan yang di-
lakukan. Kepatuhan minum obat digunakan untuk menggambarkan peri-
laku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis,frekuensi dan
waktunya (Nursalam,2007).
Kepatuhan minum obat antihipertensi dapat dibedakan dua yaitu :
a. Kepatuhan penuh (total compliance)
Pada keadaan ini penderita patuh secara sungguh-sungguh ter-
hadap diet hipertensi.
b. Penderita yang tidak patuh (non compliance)
Pada keadaan ini penderita tidak melakukan pengobatan ter-
hadap hipertensi (Azwar,1996).
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum Obat
24
Kepatuhan merupakan fenomena yang ditentukan oleh 5 faktor
yaitu faktor sosial dan ekonomi, faktor sistem kesehatan, faktor kondisi,
faktor terapi dan faktor klien. Faktor tersebut digambarkan dalam gambar
2.1 di bawah ini
Gambar 2.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien Terhadap
Terapi Hipertensi
2.2.3.1. Faktor Sosial dan Ekonomi
Faktor sosial ekonomi utama yang perlu diperhatikan berhubungan
dnegan kepatuhan adalah kemiskinan, akses terhadap tenaga kesehatan
dan terapi, tingkat penidikan, mekanisme dukungan sosial yang efektif,
keyakinan budaya mengenai sakit dan terapi (Heart and Stroke Foundation
of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005).
2.2.3.2. Faktor Tenaga Kesehatan dan Sistem Pelayanan Kesehatan
25
Variabel sistem pelayanan kesehatan meliputi ketersediaan dan ke-
mudahan akses pelayanan kesehatan, dukungan edukasi kepada pasien,
manajemen koleksi data dan informasi, serta ketersediaan dukungan ko-
munitas bagi klien. Sedikit penelitian yang telah dilakukan untuk menge-
tahui efek tim tenaga kesehatan dan sistemnya dalan hubungannya den-
gan kepatuhan klien. Review dari WHO, 2003 menemukan 5 penghambat
utama kepatuhan yang berhubungan dengan sistem kesehatan dan timnya
1. Kurangnya pengetahuan mengenai kepatuhan
2. Kurangnya instrumen klinis yang dapat digunakan tenaga kesehatan
untuk mengevaluasi dan mengintervensi masalah kepatuhan
3. Kurangnya instrumen yang dapat digunakan oleh klien untuk mengem-
bangkan atau mengubah perilaku sehatnya
4. Adanya kesenjangan dalam kebijakan pelayanan pada pasien dengan
kondisi kronis
5. Komunikasi yang belum optimal antara klien dan profesional kese-
hatan
(Heart and Stroke Foundation of Ontario and Registered Nurses’ Associa-
tion of Ontario,2005).
2.2.3.3. Faktor yang Berhubungan dengan Kondisi
Faktor yang berhubungan dengan kondisi meliputi kebutuhan yang
berhubungan dengan penyakit yang harus dihadapi oleh pasien. Beberapa
penentu kepatuhan berhubungan dengan dengan keparahan penyakit,
tingkat ketidakmampuan (fisik, psikologis, sosial, dan vokasional), tingkat
perkembangan dan keparahan penyakit, dan ketersediaan terapi yang
26
efektif. Faktor di atas akan mempengaruhi persepsi klien dan persepsi
mengenai pentingnya patuh terhadp terapi. (Heart and Stroke Foundation
of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005)
2.2.3.4. Faktor yang Berhubungan dengan Terapi
Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan terapi dan mem-
pengaruhi kepatuhan. Faktor yang paling mempengaruhi adalah kompleksi-
tas regimen terapi, durasi terapi, kegagalan terapi yang lalu, frekuensi pe-
rubahan terapi, efek terapi positif yang cepat terjadi, efek samping, dan
ketersediaan dukungan medis selama terapi. (Heart and Stroke Foundation
of Ontario and Registered Nurses’ Association of Ontario, 2005)
2.2.3.5. Faktor yang berhubungan dengan klien
Karakteristik pasien berhubungan dengan kepatuhan, antara lain
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, status
pernikahan, ras, agama, latar belakang etnik, dan lokasi tempat tinggal.
Pengetahuan dan keyakinan klien terhadap terapi, motivasi untuk memana-
jemen terapi tersebut, kepercayaan diri, dan kemampuan untuk berpartisi-
pasi dalam perilaku manajemen penyakit, dan harapan mengenai hasil ter-
api, seluruhnya berinteraksi melalui proses yang belum dipahami seluruh-
nya. Horne dan Weinmans (1999) melakukan penelitian cross sectional un-
tuk mengukur keyakinan individu mengenai pentingnya terapi yang diresep-
kan dan kemauan pasien untuk mengonsumsinya untuk mengakaji hubun-
gan antara keyakinan dan kepatuhan. Penemuannya mendukung pandan-
gan bahwa klien harus dipandang sebagai pengambil keputusan yang akan
27
lebih termotivasi untuk mengonsumsi obat sesuai dengan instruksi jika
keyakinannya mengenai pengobatan lebih ditekankan oleh tenaga kese-
hatan. Penelitian oleh Ogedegbe, Mancuso & Allegrante (2004) menje-
laskan mengenai mispersepsi mengenai hipertensi dan terapi antihipertensi
dalam penelitian di populasi Afrika Amerika, antara lain
1. Tidak perlu mengonsumsi obat, jika tidak terdapat gejala yang spesifik
atau jika tekanan darah telah normal
2. Tekanan darah tinggi dapat diregulasi tubuh sendiri, sehingga tidak perlu
pengobatan
3. Obat yang diberikan bersifat toksik dan dapat merusak ginjal, hepar,
mata, atau bagian lain tubuh, bahkan kematian
4. Pengobatan yang diberikan tidak bekerja dnegan baik sehingga tidak
perlu dikonsumsi
2.2.4. Faktor Ketidakpatuhan terhadap Pengobatan
Menurut Tambayong (2002) dan Siregar (2006),beberapa faktor keti-
dakpatuhan pasien terhadap pengobatan,antara lain :
a. Kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan.
b. Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengob-
atan yang ditetapkan
c. Sukarnya memperoleh obat diluar rumah sakit.
d. Mahalnya harga obat
e. Kurangnye perhatian dan kepedulian keluarga,yang mungkin bertang-
gung jawab atas pembelian atau pemberian obat.
28
f. Efek samping suatu obat yang tidak menyenangkan.
2.2.5. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Minum Obat
Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan adalah :
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komu-
nikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang baik
diberikan oleh profesional kesehatan baik Dokter/ perawat dapat
menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional
kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang
peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan
hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk
menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita
hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan kontrol secara teratur atau
minum obat anti hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.
d. Pemberian informasi
29
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai
penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
Ada beberapa cara untuk meningkatkan kepatuhan (Australian Col-
lege of Pharmacy Practice, 2001; Drennan.V, Graw.C,2000), antara lain:
a. Memberikan informasi kepada pasien akan manfaat dan pentingnya
kepatuhan untuk mencapai keberhasilan pengobatan.
b. Mengingatkan pasien untuk melakukan segala sesuatu yang harus di-
lakukan demi keberhasilan pengobatan melalui telepon atau alat ko-
munikasi lain.
c. Menunjukkan kepada pasien kemasan obat yang sebenarnya
d. Memberikan keyakinan kepada pasien akan efektivitas obat dalam
penyembuhan.
e. Memberikan informasi resiko ketidakpatuhan.
f. Memberikan layanan kefarmasian dengan observasi langsung, men-
gunjungi rumah pasien dan memberikan konsultasi kesehatan.
g. Menggunakan alat bantu kepatuhan seperti multikompartemen atau
sejenisnya.
h. Adanya dukungan dari pihak keluarga, teman dan orang-orang seki-
tarnya untuk selalu mengingatkan pasien, agar teratur minum obat
demi keberhasilan pengobatan.
2.3. Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi dan Kepatuhan
Minum Obat Antihipertensi
30
Berbeda dengan penyakit jantung atau stroke yang dianggap berba-
haya,penyakit hipertensi justru dianggap suatu penyakit yang biasa.
Persepsi seperti itulah yang membuat orang merasa tidak perlu terlalu
serius untuk mengobati. Pasien hipertensi tidak menganggap parah
penyakitnya bila tekanan darahnya dalam keadaan normal, dan merasa da-
pat menghentikan pengobatan yang telah dijalaninya (Anies,2006).
Tujuan pengobatan pada pasien hipertensi adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup. Sayangnya, banyak yang berhenti berobat
ketika merasa tubuhnya sedikit membaik. Sehingga diperlukan kepatuhan
pasien yang menjalani pengobatan hipertensi agar didapatkan kualitas
hidup pasien yang lebih baik.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam ber-
obat ialah persepsi keparahan penyakit. Seseorang yang sudah
merasakan bahwa ia rentan terhadap suatu penyakit,maka ia akan
merasakan keseriusan penyakit tersebut terhadap dirinya atau keluar-
ganya. Seseorang akan melakukan tindakan pencegahan dan pengob-
atan bila ia merasa diancam oleh penyakit yang dirasakan lebih parah
daripada penyakit lainnya. Persepsi klien mengenai keparahan penyakit-
nya menimbulkan kekhawatiran sehingga klien akan merasa membu-
tuhkan pengobatan untuk mengendalikan penyakit dan kekhawatiran ten-
tang komplikasi penyakit yang berkaitan dengan meningkatnya
kepatuhan.Tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan mengobati
penyakit tersebut yaitu mematuhi pengobatan yang telah diberikan oleh
dokter.
31
Kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi sangat penting
karena dengan meminum obat antihipertensi secara teratur dapat men-
gontrol tekanan darah penderita hipertensi. Sehingga dalam jangka pan-
jang risiko kerusakan organ-organ penting tubuh seperti jantung,ginjal
dan otak dapat dikurangi (Tambayong,2002).
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Faktor yang mempengaruhi
Kepatuhan :
1. faktor sosial dan ekonomi
2. faktor sistem kesehatan
3. faktor terapi
4. faktor klien
Kecenderungan mengambil tindakan pencegahan/pengobatan
Ancaman Penyakit yang Dirasakan
Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
Pasien Hipertensi mengambil Pengobatan Seumur Hidup
Faktor Resiko hipertensi
Gejala Klinis Hipertensi
Komplikasi Hipertensi
Klasifikasi Tekanan Darah
32
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan : Diteliti Tidak Diteliti
3.2. Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak ada hubungan antara persepsi keparahan penyakit den-
gan kepatuhan minum obat pada pasien di Poli Jantung Rumah
Sakit dr.Saiful Anwar Malang.
H1 : Ada hubungan antara persepsi keparahan penyakit dengan
kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Poli Jantung
Rumah Sakit dr.Saiful Anwar Malang.
Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Minum Obat Tercapai
5. faktor kondisi
33
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian deskripsi analitik kore-
lasi dengan rancangan cross-sectional. Pengukuran variabel persepsi
keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat dilakukan sekaligus dalam
satu waktu atau point time approach saat pasien hipertensi kontrol ke
Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.
4.2. Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
34
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien hipertensi primer
dalam 1 bulan terakhir yaitu September 2011 di Poliklinik Jantung Rumah
Sakit Dr.Saiful Anwar Malang dengan jumlah populasi sebanyak 493
responden.
4.2.2. Sampel
Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada pasien
hipertensi yang mengunjungi Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr.Saiful
Anwar Malang untuk kontrol. Jumlah sampel dalam penelitian ini di hitung
sebagai berikut:
n = 2)(1 dN
N
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat signifikan (p)
n=493
1+493(0,1 )2
=4931+4 ,93
=4935 ,93
= 83
35
Jadi besar sampel dalam penelitian ini adalah 83 orang dari
493 populasi yang ada. Pengambilan sample dilakukan dengan cara
purposive sampling dengan kriteria sampel sebagai berikut :
Kriteria Inklusi pada penelitian ini:
a. Pasien penderita hipertensi yang minimal 3 bulan terakhir kontrol
rutin ke Poli Jantung RSSA Malang.
b. Pasien yang memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia.
Sedangkan yang menjadi kriteria eksklusinya adalah:
a. Pasien yang datang dalam kondisi gawat dan lemah.
Peneliti memberikan penjelasan penelitian kepada setiap calon
responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Responden berhak menentukan kesediaannya untuk ikut serta dalam
penelitian atau tidak. Peneliti telah melakukan hal tersebut pada 115
calon responden. Selama proses pengambilan data, tidak semua
calon responden bersedia untuk dijadikan subjek penelitian. Dari
jumlah tersebut, 32 responden tidak berseda menjadi subjek
penelitian. Sehingga peneliti mendapatkan 83 responden yang
bersedia ikut serta dalam penelitian sesuai jumlah yang telah dihitung
dalam waktu 5 minggu
4.3. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini variabel independent atau bebas adalah
persepsi keparahan penyakit. Sedangkan variabel dependennya adalah
kepatuhan minum obat.
36
4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilakukan di Poliklinik Jantung Rumah Sakit
Umum Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan 4 Desember 2011 – 6 Januari
2012.
4.5. Instrumen Penelitian
Peneliti menggunakan data primer yang diperoleh dari responden
menggunakan pedoman wawancara terstuktur. Kuisioner terdiri dari data
demografi pasien, persepsi keparahan penyakit dan tingkat kepatuhan
minum obat pasien.
Kuesioner untuk mengukur variabel independen menggunakan
modifikasi alat ukur kuesioner HBM (Health Belief Model) untuk mengetahui
persepsi keparahan penyakit hipertensi. Alat ukur ini dkembangkan oleh
Michigan pada tahun 1983..
Variabel dependen menggunakan alat ukur kuesioner MMAS-8
(Morinsky Medication Adherence Scale) sebanyak 8 item yang mengetahui
kepatuhan pasien hipertensi. Alat ukur ini dikembangkan oleh Morinsky D. E
dan telah mengalami revisi dari MMAS-4 menjadi MMAS-8 pada tahun 2008.
Uji Validitas dan Reabilitas
Uji validitas instrument ini menggunakan Pearson Product-moment
Correlation Coefficient untuk menghitung korelasi antar data pada masing-
masing pernyataan dengan skor total. Dalam pengujian validitas, koefisien
37
korelasi momen-produk Pearson digunakan sebagai batas valid atau
tidaknya sebuah item (butir). Item instrument dianggap valid jika lebih besar
dari 0,3 atau bisa juga membandingkannya dengan r tabel. Jika r hitung > r
tabel maka valid (Imam Ghozali,2002).
Dari hasil uji validitas tersebut didapatkan semua item pertanyaan
mempunyai r hitung yang lebih besar dari r tabel. Sehingga item pertanyaan
yang valid dapat digunakan untuk kuesioner penelitian. Lampiran uji validitas
lengkap dapat dilihat pada lampiran 6 dan 7.
Uji reliabilitas instrument pada penelitian ini menggunakan rumus
koefisien reliabilitas Alfa Cronbach. Instrument memiliki tingkat reliabilitas
yang tinggi jika nilai koefisien yang diperoleh > 0,60 (Imam Ghozali,2002).
Berdasarkan uji reliabilitas didapatkan nilai alpha cronbach untuk
masing-masing variabel lebih dari 0,6. Menurut Imam Ghozali (2002) suatu
instrument (kuesioner) dikatakan andal (reliable) bila memiliki koefisien kean-
dalan reliabilitas sebesar 0,6 atau lebih. Hal ini berarti kuesioner penelitian
dinyatakan reliable sehingga bisa dijadikan sebagai instrument penelitian.
Lampiran uji reliabilitas lengkap bisa dilihat pada lampiran 6 dan 7.
4.6. Definisi Operasional
Variabel Definisi Indikator Alat Ukur Skala Hasil ukurPersepsi Keparahan Penyakit
Pernyataan sub-jektif pasien men-genai berat ringan gejala yang dirasakan akibat menderita hipertensi.
- Pasien hipertensi merasa kepara-han kondisinya meliputi : gejala klinis, faktor re-siko, klasifikasi tekanan darah, dan komplikasi
Pedoman wawancara terstruktur.
Ordinal - Sangat tidak parah (16-28)
- Tidak parah (29-40)
- Parah (41-52)
- Sangat parah (53-
38
penyakit. 64)
Tingkat kepatuhan minum obat
Perilaku pasien dalam mengon-sumsi obat yaitu datang kontrol dalam 3 bulan se-cara rutin dan minum obat tepat waktu dan sesuai anjuran dokter.
- Pasien tidak pernah lupa minum obat
- Pasien selama 2 minggu terakhir tidak pernah lupa minum obat
- Ketika bepergian pasien tidak lupa membawa obatnya
- Kemarin, pasien minum obat sesuai resep dokter
- Pasien merasa bahwa tekanan darah telah terkontrol atau turun pasien tetap minum obatnya
- Pasien merasa bahwa terapi hipertensi yang didapat tidak rumit/ kompleks
- Mengalami ke-sulitan mengin-gat seluruh obat anti hipertensi yang harus dikonsumsi
- Ketepatan waktu kontrol 3 bulan berturut-turut
Pedoman wawancara terstruktur.
Ordinal - Kepatuhan tinggi (8)
- Kepatuhan sedang (6-7)
- Kepatuhan rendah (<6)
Hipertensi Orang dengan tekanan darah sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan dias-tolik lebih dari
39
sama dengan 90 mmHg.
4.7. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti mengawali penelitian dengan memberikan kontrak waktu dan
tempat pada responden yang bersedia dijadikan subjek penelitian. Setelah
itu, peneliti menanyakan karakteristik umum dan juga mencatat nomor rekam
medis responden dari map rekam medis. Kemudian peneliti melakukan
wawancara mengenai persepsi keparahan penyakit dengan bantuan kue-
sioner Health Belief Modification kepada responden. Setelah kuisioner terisi
semua, peneliti mengakhirinya dengan ucapan terima kasih dan salam.
4.8. Analisis Data
4.8.1. Univariat
Setelah data terkumpul langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data
dengan tahapan sebagai berikut :
1) Editing
Pada tahap editing data, peneliti menilai kelengkapan pengisian
kuesioner. Dari 83 kuesioner, semua data lengkap dan tidak meragukan.
2) Coding
Coding data yang dilakukan untuk mengubah identitas responden dengan
memberikan pengkodean berupa angka 1-83 pada tiap kuesioner. Coding
juga diberikan pada item-item yang tidak diberi skor, yaitu:
40
a. Variabel persepsi keparahan penyakit :
Sangat tidak parah diberi kode 1
Tidak parah diberi kode 2
Parah diberi kode 3
Sangat parah diberi kode 4
b. Variabel kepatuhan minum obat :
Kepatuhan rendah diberi kode 1
Kepatuhan sedang diberi kode 2
Kepatuhan tinggi diberi kode 3
3) Scoring
a. Pemberian skor untuk persepsi keparahan penyakit dengan modi-
fikasi kuesioner Health Belief Model (HBM).
Sangat tidak setuju : 1
Tidak setuju : 2
Setuju : 3
Sangat setuju : 4
Jumlah soal yang diberikan adalah 16 buah. Sebelum menentukan
klasifikasi persepsi keparahan penyakit (dukungan keluarga baik,
cukup, kurang) maka harus dicari terlebih dahulu panjang kelas mas-
ing masing kategori dengan rumus sebagai berikut
i= Rn
i=64−164
= 12
41
i = panjang kelas
R = rentang (skor maksimal-skor minimal)
n = banyak kelas/ kategori (Hidayat, 2007)
Dari hasil perhitungan panjang kelas, maka dapat diasumsikan
katagori yang didapatkan anak berdasarkan skor yang diperoleh, yaitu
bila skornya antara
16 – 28 : sangat tidak parah
29 – 40 : tidak parah
41 – 52 : parah
53 – 64 : sangat parah
b. Pemberian skor untuk kepatuhan minum obat dengan MMAS-8
Ya : 0
Tidak : 1
Dari hasil yang sudah didapat dikatagorikan sebagai berikut
skor < 6 : kepatuhan rendah
skor 6 sampai 7 : kepatuhan sedang
skor 8 : kepatuhan tinggi
4) Tabulasi data
Peneliti menyajikan data dalam bentuk tabel agar mudah dianalisa untuk
mengetahui karakteristik responden. Tabel tabulasi data dapat dilihat
pada lampiran 6.
4.8.2. Multivariat
42
Setelah masing-masing variabel diketahui hasilnya, kemudian di-
lakukan tabulasi dan diuji sesuai uji hipotesisnya. Penelitian ini menggu-
nakan uji statistik non-parametrik, uji hipotesis yang digunakan adalah uji
statistik “Spearman”, yaitu untuk mengetahui hubungan antara dua variabel
dan pengolahan data ini dilakukan dengan bantuan komputer melalui pro-
gram SPSS 19.0 Windows.
4.9. Etika Penelitian
Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti telah terlebih dahulu
mengajukan permohonan ijin pengambilan data kepada Direktur Rumah
Sakit Dr. Saiful Anwar Malang. Setelah mendapat ijin, peneliti melakukan
penelitian kepada subyek penelitian dengan tetap memperhatikan masalah
etika penelitian yang meliputi:
4.9.1 Inform Consent (Lembar Persetujuan)
Pada penelitian ini, lembar persetujuan diberikan pada responden
saat peneliti menjelasan tujuan penelitian. Tujuannya agar
responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta
dampak yang diteliti selama pengumpulan data. Dari 115 calon
responden, 83 responden menyatakan bersedia ikut serta dalam
penelitian dan telah menandatangani lembar persetujuan.
4.9.2 Confidentiallity (Kerahasiaan)
Pada penelitian ini, kerahasiaan informasi dari responden dijamin
oleh peneliti. Segala informasi dari responden hanya digunakan
43
untuk kepentingan penelitian. Cara menjaga kerahasiaan identitas
responden pada penelitian ini adalah dengan prinsip anonimity
(tanpa nama) pada lembar kuesioner. Disamping itu, arsip
kuesioner disimpan oleh peneliti dalam laci.
4.9.3 Beneficience (Berbuat Baik)
Penelitian ini dilaksanakan dalam bentuk pengisian kuesioner
tanpa mengakibatkan penderitaan kepada responden.
Terganggunya aktifitas responden telah diminimalisir peneliti
dengan hanya memulai penelitan pada responden yang bersedia
ikut serta dalam penelitian. Penelitian ini memberikan manfaat
bagi responden, yaitu bertambahnya pengetahuan tentang hubun-
gan persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat.
4.9.4 Right to Justice (Adil)
Pada penelitian ini semua responden diperlakukan sesuai dengan
penelitian dilaksanakan dan mendapatkan instrument penelitian
yang sama.
44
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Data Umum
5.1.1.1 Jenis Kelamin
50,6%49,4 % laki-lakiperempuan
n = 83
45
Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Hipertensi Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dari 83 responden
yang diteliti menunjukkan bahwa perbandingan jumlah jenis kelamin
perempuan dan laki-laki berimbang seperti pada gambar 5.1.
5.1.1.2 Tekanan Darah
91,6%
8,4%sistole 140-159 mmHg, dias-tole 90-99 mmHg
sistole ≥ 160 mmHg, diastole ≥100 mmHg
n = 83
Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah
Karakteristik responden berdasarkan tekanan darah dari 83 responden
yang diteliti menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
tekanan darah systole 140-159 mmHg, diastole 90-99 mmHg dan sisanya
46
memiliki tekanan darah systole ≥ 160 mmHg ,diastole ≥ 100 mmHg seperti
yang ditunjukkan pada gambar 5.2
5.1.2 Data Khusus
5.1.2.1 Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
15,7 %
84,3 %
sangat tidak parah
tidak parah
parah
sangat parah
n = 83
Gambar 5.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
Berdasarkan gambar 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar responden
memiliki persepsi keparahan penyakit hipertensi pada kategori persepsi parah
dan tidak ada responden yang memiliki persepsi keparahan penyakit pada
kategori sangat tidak parah dan sangat parah.
5.1.2.2 Kepatuhan Minum obat pada Pasien Hipertensi
14,5%
48,2%
37,3%
kepatuhan tingkat rendahkepatuhan tingkat sedangkepatuhan tingkat tinggi
n = 83
47
Gambar 5.3 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat Penderita Hipertensi
Berdasarkan gambar 5.3 didapatkan bahwa sebagian besar kepatuhan
minum obat termasuk dalam kategori sedang sedangkan kepatuhan minum
obat termasuk dalam kategori rendah memiliki frekuensi yang paling sedikit.
5.1.3 Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit dengan Kepatuhan Minum
Obat
Tabel 5.1 Tabulasi silang antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat
Persepsi Keparahan penyakit
TotalP
valueKeterang-
anSangat tidak parah
Tidak parah
parahSan-gat
parah
Kepatuhan minum obat
Kepatuhan rendah
0 12 0 0 12
0,000P < (0,05)H0 di tolak
Kepatuhan sedang
0 1 39 0 40
Kepatuhan tinggi
0 0 31 0 31
Total 0 13 70 0 83
Berdasarkan Tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang termasuk
persepsi tidak parah dengan kepatuhan rendah terdapat sebanyak 12 orang
(14,5%), sedangkan respoden dengan persepsi tidak parah dengan
kepatuhan sedang sebanyak 1 orang (1,2%).
48
Responden yang termasuk dalam kategori persepsi parah dengan
kepatuhan minum obat yang sedang sebanyak 39 orang (46,9%), sedangkan
persepsi parah dengan kepatuhan tinggi sebanyak 31 orang (37,4%). Tidak
ada responden dalam kepatuhan rendah, sedang maupun tinggi yang memiliki
persepsi penyakit pada kategori sangat tidak parah dan sangat parah.
5.2 Hasil Analisa Korelasi Spearman
Pengujian hipotesis dengan menggunakan uji korelasi spearman ini di-
lakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi keparahan penyakit
dengan kepatuhan minum obat. Berdasarkan selang kepercayaan 95% ada
hubungan yang signifikan antara persepsi keparahan penyakit dengan
kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi.
Dengan menggunakan uji korelasi spearman didapatkan nilai koefisien
korelasi sebesar 0,660 dan nilai p value = 0,000, dimana nilai p value (0,000 <
0,05) sehingga Ho ditolak yang artinya terdapat hubungan yang signifikan an-
tara persepsi keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat pada pasien
hipertensi. Selain itu dapat dilihat koefisien korelasinya yaitu 0,660 yang be-
rarti kekuatan korelasinya tergolong kuat dan arah positif yang menandakan
bahwa semakin tinggi persepsi keparahannya maka kepatuhan minum obat-
nya semakin tinggi.
49
BAB VI
PEMBAHASAN
Berikut akan dibahas hasil penelitian mengenai hubungan persepsi
keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi di Po-
liklinik Jantung Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang. Berdasarkan hasil
penelitian, persepsi keparahan penyakit memiliki hubungan dengan kepatuhan
minum obat pada pasien hipertensi di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Umum Dr.
Saiful Anwar Malang.
50
6.1 Persepsi Keparahan Penyakit Hipertensi
Hasil penelitian mengenai persepsi keparahan penyakit hipertensi di
Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang didapatkan data bahwa
84,3% pasien hipertensi memiliki persepsi parah. Responden penelitian mem-
persepsikan keparahan penyakit hipertensi berdasarkan gejala klinis hipertensi,
faktor resiko hipertensi, klasifikasi tekanan darah dan komplikasi hipertensi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-
hadap gejala klinis hipertensi memiliki skor 2.90, yang termasuk dalam kategori
parah. Responden mulai merasa khawatir bila muncul gejala klinis, seperti pusing
dan lain-lain. Menurut Tambayong (2000) gejala klinis timbul ketika hipertensi
memasuki tahap lanjut yang diduga berhubungan dengan naiknya tekanan
darah. Sehingga pasien harus selalu waspada dengan gejala klinis yang timbul
agar segera dapat dilakukan tindakan pengobatan yang tepat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-
hadap klasifikasi tekanan darah memiliki skor 2.82, yang termasuk dalam kate-
gori parah. Responden yang berkunjung ke poliklinik jantung, sebagian besar
memiliki tekanan darah pada hipertensi derajat 1 dalam klasifikasi oleh JNC 7
(The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Eval-
uation and Treatment of High Blood Pressure) yaitu dengan tekanan darah sys-
tole 140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg. JNC 7 menyarankan agar setiap
orang dengan hipertensi derajat 1 dan 2 untuk mendapatkan pengobatan. Tujuan
pengobatan ini ialah agar pasien dengan hipertensi dapat mencapai tekanan
darah <140/90.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-
hadap komplikasi hipertensi memiliki skor 2.73, yang termasuk dalam kategori
51
parah. Sebagian besar responden mengatakan komplikasinya parah apabila re-
sponden berpendapat bahwa hipertensi ini merupakan penyakit yang serius dan
di waktu yang akan datang responden memiliki kemungkinan menderita komp-
likasi yang serius meliputi komplikasi jantung, ginjal dan lain sebagainya. Menu-
rut Susalit (2001) tekanan darah tinggi adalah kondisi yang berbahaya. Bila tidak
dikelola dengan baik, tekanan darah tinggi pada akhirnya dapat menyebabkan
jantung bekerja terlalu berat sehingga mengalami kerusakan serius. Tekanan
darah yang tinggi umumnya meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung
kongestif, stroke, gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal. Hipertensi yang
tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpen-
dek harapan hidup sebesar 10-20 tahun.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, rata-rata persepsi responden ter-
hadap faktor resiko hipertensi memiliki skor 3.26, yang termasuk dalam kategori
parah. Sebagian besar responden menyatakan bahwa hipertensi bisa menjadi
penyakit yang serius apabila tidak dapat mengendalikan faktor resiko dengan
baik. Sebagian besar responden berpersepsi bahwa kondisi kegemukan, stress
dan merokok dapat memperparah penyakitnya. Responden merasa dalam kon-
disi tidak sehat karena tekanan darah yang tidak stabil ketika tidak melakukan
aktivitas fisik secara teratur. Sebagian besar responden juga merasakan penyak-
itnya dapat bertambah parah karena faktor keturunan. Responden berpersepsi
bahwa semakin tua usia seseorang, maka tekanan darahnya semakin tinggi.
Menurut Tambayong (2000) penderita hipertensi juga perlu mengenda-
likan faktor-faktor resiko yang mendorong meningkatnya tekanan darah tinggi se-
cara lambat laun. Semakin banyak seseorang memiliki faktor resiko, maka
keparahan penyakitnya semakin meningkat. Beberapa faktor risiko yang tidak di-
52
modifikasi adalah genetik, ras, umur, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor resiko
yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah obesitas, kebiasaan merokok, aktivi-
tas fisik, asupan garam, dan natrium, serta stress.
Obesitas adalah salah satu faktor resiko yang sangat menentukan tingkat
keparahan hipertensi. Obesitas meningkatkan jumlah panjangnya pembuluh
darah, sehingga meningkatkan resistensi darah yang seharusnya mampu men-
empuh jarak lebih jauh. Peningkatkan resistensi menyebabkan tekanan darah
menjadi lebih tinggi. Orang yang pemalas cenderung rentan terhadap serangan
jantung karena otot jantung mereka tidak bekerja dengan efisien dan perlu bek-
erja lebih keras untuk memompa darah. Peran aktivitas fisik disini adalah sebagai
vasodilator, itu berarti bahwa olahraga dapat mengembangkan pembuluh darah.
Kombinasi gaya hidup pasif dan kegemukan akan melipatgandakan tingkat
keparahan kondisi ini. Stress sangat mempengaruhi kondisi penderita hipertensi.
Stress mempercepat produksi senyawa berbahaya, meningkatkan kecepatan
denyut jantung dan kebutuhan akan suplai darah. Pada penderita hipertensi yang
sering merasakan stress, tekanan darah cenderung lebih tinggi serta menim-
bulkan serangan jantung dan stroke.
6.2 Kepatuhan Minum Obat pada Pasien Hipertensi
Hasil penelitian mengenai kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi
di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang didapatkan data
bahwa kepatuhan minum obat dalam kategori sedang dan kategori tinggi berim-
bang. Sebagian besar responden dalam penelitian ini, dikatakan kategori sedang
karena dalam kepatuhan minum obatnya, responden pernah lupa apabila sedang
bepergian jauh tidak membawa obatnya. Responden juga dikatakan dalam
53
kepatuhan sedang apabila tanpa sepengetahuan dokter mengurangi pengobatan
dengan inisiatif sendiri ketika merasa kondisinya bertambah buruk dengan
meminum obat tersebut. Sehingga responden tidak meminum obatnya sesuai
dengan jadwal yang telah diberikan oleh dokter.
Sebagian responden dikatakan dalam kepatuhan tinggi karena responden
meminum obatnya secara teratur, tidak pernah lupa meminum obat dan
meminum obat sesuai dengan resep dokter. Selain itu responden kepatuhan
tinggi walaupun ketika bepergian jauh tetap membawa obatnya dan tidak mengu-
rangi pengobatan walaupun merasa kondisinya memburuk setelah meminumnya.
Responden yang merasa tekanan darahnya telah terkontrol atau turun tidak
menghentikan pengobatan juga termasuk responden dalam kepatuhan tinggi.
Responden juga dikatakan dalam kepatuhan tinggi karena merasa bahwa terapi
hipertensi yang didapat tidak rumit dan tidak mengalami kesulitan mengingat
seluruh obat anti hipertensi yang harus dikonsumsi.
6.3 Hubungan Persepsi Keparahan Penyakit dengan Kepatuhan Minum
Obat pada Pasien Hipertensi
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, responden dengan persepsi
parah memiliki kepatuhan minum obat dalam kategori sedang. Dari hasil uji kore-
lasi spearman ini untuk variabel persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan
minum obat terdapat nilai signifikansi sebesar 0,000 (p<0,05) dan didapatkan ni-
lai koefisien korelasi sebesar 0.660, yang berarti terdapat hubungan yang kuat
antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat pada pasien
hipertensi. Responden dalam penelitian ini berpersepsi bahwa penyakit
54
hipertensi merupakan penyakit yang parah, sehingga responden merasa bahwa
dirinya harus segera melakukan tindakan pengobatan. Hal ini yang mendorong
pasien untuk mematuhi pengobatan yang telah diberikan kepadanya oleh tenaga
kesehatan.
Seseorang yang memiliki persepsi parah terhadap penyakit hipertensi se-
harusnya patuh terhadap pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di-
lakukan oleh Kimberly M. Thalacker di Hmong tahun 2011 bahwa jika seseorang
memiliki persepsi parah terhadap penyakit hipertensi, maka seseorang tersebut
akan lebih cenderung untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih baik dan
mengikuti pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan. Gaya
hidup yang diubah meliputi berhenti merokok, mengurangi stress, meningkatkan
aktivitas fisik, mengurangi berat badan berlebih dan mengurangi sodium dan
lemak hewani dalam diet yang telah diakui oleh program tenaga kesehatan.
Menurut WHO (2003) persepsi keparahan penyakit memiliki hubungan yang kuat
dengan kepatuhan minum obat. Dari beberapa faktor yang mempengaruhi
kepatuhan, Meichenbaum dan Turk mengemukakan bahwa persepsi keparahan
merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kepatuhan minum obat.
Kepatuhan minum obat akan meningkat ketika persepsi pasien terhadap
penyakit semakin parah. Pasien yang memiliki lebih banyak mengalami gejala
akan memiliki keparahan yang lebih tinggi, karena pasien tersebut merasakan re-
siko komplikasi yang lebih tinggi.
Berdasarkan penelitian di Philadhelphia oleh Michael J. Reichgott tahun
2006, pasien dengan persepsi parah memiliki hubungan yang signifikan dengan
kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi. Hal ini dikarenakan apabila sese-
orang telah mempersepsikan bahwa penyakitnya parah, maka seseorang itu
55
akan berusaha mencari solusi untuk menyembuhkan penyakitnya. Sehingga
seseorang dengan persepsi yang parah akan mematuhi pengobatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat
ialah persepsi keparahan penyakit. Seseorang yang sudah merasakan bahwa ia
rentan terhadap suatu penyakit,maka ia akan merasakan keseriusan penyakit
tersebut terhadap dirinya atau keluarganya. Seseorang akan melakukan tindakan
pencegahan dan pengobatan bila ia merasa diancam oleh penyakit yang di-
rasakan lebih parah daripada penyakit lainnya. Persepsi klien mengenai kepara-
han penyakitnya menimbulkan kekhawatiran sehingga klien akan merasa mem-
butuhkan pengobatan untuk mengendalikan penyakit dan kekhawatiran tentang
komplikasi penyakit yang berkaitan dengan meningkatnya kepatuhan.Tindakan
yang dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit tersebut yaitu
mematuhi pengobatan yang telah diberikan oleh dokter.
Kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi sangat penting karena
dengan meminum obat antihipertensi secara teratur dapat mengontrol tekanan
darah penderita hipertensi. Sehingga dalam jangka panjang risiko kerusakan or-
gan-organ penting tubuh seperti jantung,ginjal dan otak dapat dikurangi (Tam-
bayong,2002).
6.4 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, di-
antaranya adalah:
56
1. Rancangan penlitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional di-
mana kedua variabel diukur dalam satu waktu. Sehingga penelitian ini tidak
dapat menjelaskan dinamika kedua variabel di atas dalam waktu yang
berbeda. Hal ini menyebabkan penelitian ini hanya berlaku pada saat di-
lakukan penelitian saja.
2. Metode wawancara terstruktur dengan bantuan kuisioner untuk mengukur
variabel persepsi keparahan penyakit dan variabel kepatuhan minum obat di-
mana hal ini sangat memungkinkan responden untuk menjawab tidak sesuai
dengan kenyataan yang ada.
6.5 Implikasi Keperawatan
Implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi keparahan penyakit memiliki hubun-
gan yang signifikan dengan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi.
Semakin parah persepsi yang dimiliki oleh pasien,maka semakin tinggi
kepatuhan minum obatnya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evi-
dence based nursing agar perawat dapat memberikan edukasi kepada
pasien mengenai penyakit hipertensi yang sebagian besar pasiennya tidak
memahami mengenai penyakit hipertensi dan melakukan pemeriksaan skrin-
ing sehingga pasien segera mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi
dan dapat segera berobat kerumah sakit sebelum penyakitnya bertambah
parah.
57
2. Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan mampu memberikan pema-
haman kepada klien tentang pentingnya mematuhi rencana pengobatan
yang telah ditentukan. Selain itu, perawat juga mampu memberikan edukasi
kepada pasien mengenai keparahan penyakit hipertensi, sehingga pasien
dapat memutuskan untuk mengambil pengobatan yang mana nantinya dapat
meningkatkan motivasi pasien untuk berperilaku sehat dan mematuhi pengo-
batan yang telah ditetapkan.
3. Mendorong tenaga kesehatan untuk dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai evaluasi optimalitas terapi pada pasien hipertensi primer, khususnya
di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang.
4. Elemen-elemen di instansi pendidikan terdorong untuk meningkatkan
kualitas materi-materi tentang kardiologi khususnya hipertensi dari etiologi
hingga penatalaksanaan yang tepat serta asuhan keperawatan yang tepat.
5. Perawat dan tenaga kesehatan lainnya terdorong untuk menjadikan
penelitian ini sebagai acuan penelitian lebih lanjut untuk melengkapi aspek-
aspek lain yang belum diteliti.
58
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil kesim-
pulan sebagai berikut:
59
1. Pasien hipertensi memiliki persepsi keparahan penyakit terhadap gejala klinis,
klasifikasi tekanan darah, faktor resiko dan komplikasi hipertensi sebesar
84.3% dalam kategori parah.
2. Kepatuhan minum obat pasien hipertensi sebesar 48.2% dalam kategori
sedang.
3. Pada selang kepercayaan 95% didapatkan hubungan yang signifikan (p value
= 0,660) antara persepsi keparahan penyakit dengan kepatuhan minum obat
pada pasien hipertensi dan hubungan tersebut memiliki arah positif yang me-
nunjukkan bahwa semakin parah persepsinya maka kepatuhan minum obat-
nya semakin tinggi.
7.2 Saran
1. Melihat adanya hubungan antara hubungan persepsi keparahan penyakit den-
gan kepatuhan minum obat pada pasien hipertensi, maka diharapkan perawat
dapat memberikan edukasi kepada pasien hipertensi agar pasien memahami
mengenai penyakit hipertensi dan melakukan pemeriksaan skrining sehingga
pasien hipertensi segera mengetahui dirinya menderita hipertensi dan segera
berobat sebelum penyakitnya bertambah parah.
2. Bagi perawat memberikan pemahaman kepada penderita hipertensi pent-
ingnya mematuhi rencana pengobatan agar dapat meningkatkan kepatuhan
minum obat sesuai dengan pengobatan yang telah ditentukan.
3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengadakan penelitian lanjutan
dengan menggunakan desain penelitian yang lebih sesuai, yaitu cohort yang
lebih menekankan pada time period approach, agar dinamika persepsi
60
keparahan penyakit dan kepatuhan minum obat dalam periode waktu yang
berbeda dapat diketahui.