saudara muslim yang terlupakan - syamina.orgsyamina.org/uploads/laporan edisi 13 desember...
TRANSCRIPT
SAUDARA MUSLIM YANG TERLUPAKANREPRESI TERHADAP MUSLIM DI TURKISTAN TIMUR (XINJIANG)
F. Irawan
Laporan Edisi 13 / Desember 2018
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Latar Belakang Kebijakan Represif — 8Bagaimana Muslim Uighur Diperlakukan sebagai Tahanan di Fasilitas ‘Pendidikan
Politik’di Xinjiang — 13
Bentuk-Bentuk Penahanan Massal, Penindasan Agama, dan Pengawasan di Xinjiang — 17
Penindasan terhadap Identitas Islam di Turkistan Timur (Xinjiang) — 20
Pergi Haji Tanpa Seizin Pemerintah China, Berujung Vonis Hukuman Mati — 22
Keterlibatan Perusahaan Teknologi Amerika Serikat — 24
Google dan Facebook Membangun Alat Sensor untuk Pengawasan di China — 25
China Menganggap Islam sebagai Penyakit, Pemerintah Dunia Islam Hanya Diam — 29
Kesimpulan — 32
DAFTAR PUSTAKA — 33
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
4
Bulan Ramadhan seharusnya menjadi waktu untuk puasa, memperbanyak
amal dan doa bagi Muslim di China. Tetapi di sana, di banyak kota dan desa
di Turkistan Timur (Xinjiang), masa itu adalah masa ketakutan, penindasan,
dan kekerasan.
Kampanye China atas nama melawan separatisme dan terorisme di wilayah
tersebut kini justru menjadi perang habis-habisan terhadap Islam.
Sepanjang bulan Ramadhan, polisi mengintensifkan kampanye pencarian dari
rumah ke rumah, mencari buku-buku atau pakaian yang dianggap “mengkhianati”
keyakinan China: wanita yang mengenakan kerudung ditahan, dan banyak pemuda
yang tanpa delik sedikitpun. Para pelajar dan pegawai negeri dipaksa untuk makan,
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
5
bukannya berpuasa, dan dipaksa bekerja atau menghadiri kelas-kelas, bukannya
menghadiri sholat Jumat.
China menuduh bahwa ide-ide keagamaan asing telah merusak masyarakat
Xinjiang, mempromosikan fundamentalisme Islam Wahhabi. Pemerintah China pun
memberi label teroris kepada Muslim Xinjiang untuk melegitimasi tindakan represi
yang dilakukan.
Presiden Xi Jinping pun bersumpah untuk menangkap mereka “dengan
jaring yang menyebar dari bumi ke langit,” dan untuk mengejar mereka “seperti tikus
berlarian di seberang jalan, dengan semua orang berteriak, ‘Pukul mereka.’”
“Kampanye Gebuk Keras atau Strike Hard melawan Ekstremisme Kejam”
yang dilancarkan Pemerintah Republik Rakyat China dimulai di Xinjiang pada
tahun 2014. Tingkat penindasan meningkat secara dramatis setelah Sekretaris Partai
Komunis Chen Quanguo pindah dari Daerah Otonomi Tibet untuk mengambil alih
kepemimpinan Xinjiang pada akhir 2016.
Sejak itu, pihak berwenang telah meningkatkan penahanan massal secara
sewenang-wenang, termasuk di pusat-pusat penahanan praperadilan dan penjara,
yang keduanya merupakan fasilitas resmi, dan di kamp-kamp pendidikan politik,
yang tak berdasar di bawah hukum RRC.
Bentuk-bentuk penindasan terhadap Muslim di Tukistan Timur (Xinjiang)
antara lain:
1. Melarang memberi nama bayi dengan nama-nama Islami, dengan ancaman
tidak akan mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan
2. Melarang orangtua Muslim dari menyelenggarakan kegiatan keagamaan untuk
anak mereka
3. Melarang anak-anak Muslim Uighur terlibat dalam kegiatan agama
4. Meminta kepada seluruh Muslim Uighur untuk menyerahkan seluruh barang-
barang yang bernuansa agama seperti sajadah, mushaf Al-Quran, termasuk juga
simbol-simbol seperti bulan dan bintang
5. Menyita mushaf Al-Quran, dengan alasan mengandung konten ekstrem
6. Melarang laki-laki dari memanjangkan jenggot
7. Muslim dipaksa makan babi dan minum alkohol di kamp reedukasi
8. Dipaksa untuk meninggalkan agama dan menyanyikan lagu Partai Komunis
Masjid-masjid di kota Kashgar dan Urumqi kini kosong. Umat Islam di sana
menjadi target penahanan pemerintah China. Mereka diminta untuk meninggalkan
agamanya, tidak mengakui Tuhan, dan bergabung dengan Partai Komunis China.
Shalat, pendidikan agama, dan puasa ramadhan dilarang. Teks-teks Arab juga
disingkirkan dari bangunan publik. Islamophobia pun digalakkan oleh otoritas partai
penguasa.
Muslim di Turkistan Timur (Xinjiang) diperlakukan sebagai musuh negara
hanya karena identitas keagamaan mereka, ditahan tanpa tuduhan dan bahkan
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
6
seringkali tanpa pengacara. Mereka dimasukkan dalam kamp reedukasi untuk
belajar tentang hukum dan aturan. Islam pun dianggap sebagai penyakit ideologi.
Dengan Islam yang berperan sebagai garis hidup spiritual yang
menghubungkan orang Uighur dengan tanah mereka, sejarah mereka, dan warga
satu sama lain, pemerintah telah memusatkan perhatian pada Islam. Jika bisa
menghancurkan Islam, Beijing yakin mereka bisa menghancurkan orang Uighur.
Namun, meski perlakuan China terhadap Muslim Uighur begitu buruk, dunia
masih gagal untuk memberikan simpatinya. Jika kondisi seperti itu tidak dilawan,
kata para aktivis, kebijakan-kebijakan seperti ini dapat dengan mudah direplikasi
oleh negara-negara lain yang ingin menekan atau mengendalikan minoritas.
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
7
SAUDARA MUSLIM YANG TERLUPAKANREPRESI TERHADAP MUSLIM DI TURKISTAN TIMUR (XINJIANG)
Xinjiang atau Turkistan Timur, terletak di barat laut China, adalah rumah bagi
10 juta orang Uighur dan sebagian besar minoritas etnis Muslim lainnya.
Pemerintah China menerapkan diskriminasi, represi dan pembatasan
terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan beragama. Penentangan
terhadap kebijakan pemerintah lokal dan pusat tidak hanya dilakukan dengan unjuk
rasa damai, melainkan juga dengan pengeboman dan aksi-aksi kekerasan lainnya.
Pemerintah China telah lama mengacaukan bentuk-bentuk advokasi politik
kekerasan dan tanpa kekerasan di Xinjiang. Pemerintah memperlakukan ekspresi
identitas Uighur, termasuk bahasa, budaya, agama dan keinginan untuk merdeka,
sebagai satu dari "tiga kekuatan (jahat)", yang meliputi, "separatisme, terorisme, dan
ekstremisme".
Menurut Pemerintah Xinjiang, ada banyak orang Uighur yang punya "gagasan-
gagasan bermasalah," termasuk nasionalisme Uighur, dogma agama yang ekstrem,
dan identitas pan-Islam dan pan-Turki. Hal-hal ini diatasi dengan menyasar
pemikiran mereka. Pemerintah mengatakan, gagasan-gagasan ini, yang mereka
yakini menyebar dari Asia Tengah dan Timur Tengah ke Xinjiang, tidak cocok dengan
pandangan pemerintah China soal sebuah identitas nasional persatuan China.
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
8
Sejak Sekretaris Partai Chen Quanguo pindah dari Tibet untuk memimpin
Xinjiang pada Agustus 2016, pemerintah regional Xinjiang telah menerapkan
sejumlah kebijakan yang membatasi hubungan luar negeri. Kebijakan ini termasuk
mencabut paspor beberapa warga Xinjiang sejak Oktober 2016, yang membatasi
perjalanan ke luar negeri bagi warga daerah ini, dan memberikan kekuasaan yang
luas bagi polisi untuk meneliti permohonan para warga yang ingin bepergian ke luar
negeri. Kebijakan ini juga memerintahkan para pelajar Uighur yang belajar di luar
negeri, termasuk di Mesir, untuk kembali ke Xinjiang, dan menyebabkan pemerintah
Mesir menangkapi para pelajar yang tak berhasil pulang pada Juli 2017.
Ada juga sejumlah laporan dari orang-orang yang dihukum penjara sampai
lebih dari 10 tahun karena belajar atau bepergian ke luar negeri. Chen juga telah
meningkatkan pengawasan terhadap warga, yang sudah berada di bawah tindakan
keamanan tingkat tinggi dan kampanye “serangan keras” yang terus berlanjut,
dengan menggunakan teknologi terbaru, serta mempekerjakan ribuan lebih personel
keamanan.
Wilayah Xinjiang telah lama dijadikan sebagai tempat uji coba bagi pemerintah
China untuk melakukan eksperimen dengan mode dan metode pengendalian baru;
dengan pos pemeriksaan tak berujung, termasuk sistem pengenalan wajah yang
dipasang di sudut-sudut jalan melintasi desa-desa di provinsi itu, Muslim Uighur
menghadapi pengawasan tanpa akhir. Ini mungkin adalah wilayah yang paling
banyak diawasi di planet ini.
Latar Belakang Kebijakan Represif
Sebut saja namanya Rukiya Maimaiti, seorang pejabat propaganda lokal di ujung
barat Cina. Ia memperingatkan rekan-rekannya untuk mempersenjatai diri mereka
sendiri untuk tugas yang memilukan: menahan sejumlah besar etnis Uighur dan
minoritas Muslim lainnya.1 Apa yang dilakukannya merupakan bagian dari kebijakan
Pemerintah China yang ingin membersihkan gagasan-gagasan "ekstremis" di wilayah
Xinjiang sehingga ia memberi tahu rekan-rekan kerjanya,2 dan orang-orang sekuler
Uighur seperti mereka, agar mendukung kampanye demi kebaikan warga mereka.
“Sepenuhnya pahami bahwa tugas ini adalah untuk menyelamatkan kerabat dan
keluarga Anda,” tulis Maimaiti, seorang fungsionaris Partai Komunis yang bekerja di
tepi barat Xinjiang, dalam pesan yang diedarkan secara online.3
Peringatannya hanyalah salah satu bagian dari jejak bukti yang sering ditemukan
di situs web pemerintah yang disamarkan, yang membuka kedok asal muasal
pengintaian internasional yang paling luas dan merata sejak era Mao—sekaligus
1 https://www.nytimes.com/2018/09/08/world/asia/china-uighur-muslim-detention-camp.html 2 https://mp.weixin.qq.com/s/f56FNtgm7AcjxqqpF9ganw 3 https://baijiahao.baidu.com/s?id=1564192713499485&wfr=spider&for=pc
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
9
menegaskan bagaimana Presiden Xi Jinping dan para pemimpin senior China
lainnya memainkan peran yang menentukan dalam percepatan ekspansi program
pembersihan tersebut.
Dalam kampanye yang mengundang kecaman dari seluruh dunia, ratusan
ribu orang Uighur dan minoritas Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp
“transformasi” di Xinjiang selama berpekan-pekan, berbulan-bulan, atau bertahun-
tahun, menurut mantan narapidana dan keluarga mereka. Namun, pihak Beijing
mengatakan fasilitas tersebut menyediakan pelatihan kerja dan pendidikan hukum
bagi warga Uighur sekaligus membantah dilakukannya penahanan massal.
Namun ceramah, laporan, dan dokumen lain—yang bisa diakses secara online —
menawarkan catatan yang lebih jelas daripada yang dilaporkan sebelumnya tentang
bagaimana para pemimpin top Cina mulai bergerak dan meningkatkan kampanye
indoktrinasi. Tujuannya untuk membasmi ekspresi—hingga yang paling sederhana
atau biasa—dari keyakinan Islam dan setiap kerinduan untuk tanah air Uighur yang
merdeka.
Sejauh ini Xi Jinping belum secara terbuka mendukung atau mengomentari
kamp-kamp, tetapi ia memerintahkan perubahan besar dalam kebijakan segera
setelah mengunjungi Xinjiang pada tahun 2014 untuk melemahkan identitas
terpisah Uighur dan mengasimilasi mereka ke dalam masyarakat yang didominasi
oleh mayoritas Han. Demikian menurut berbagai dokumen.4
Kemudian, di tengah laporan resmi yang bahwa hasilnya tidak memadai, Xi
menunjuk Chen Quanguo, 62 tahun,5 ketua partai yang mengambil garis keras di
Tibet, untuk bertindak sebagai pemimpin utama penindasan di Xinjiang. Chen juga
dipromosikan ke Politbiro yang beranggotakan 25 orang, yaitu dewan kepemimpinan
partai yang mengatur Cina.
"Apa yang terjadi di Xinjiang adalah kebijakan etnik baru yang lebih koersif di
bawah 'era baru' Xi dari kekuasaan Cina," kata James Leibold, seorang ahli Xinjiang
di La Trobe University, Australia, yang turut memantau kampanye pemerintah Cina
tersebut.
Sementara itu, pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tengah
menimbang sanksi terhadap pejabat dan perusahaan China yang terlibat dalam
kamp-kamp indoktrinasi. Jika langkah pemberian sanksi tersebut diambil, niscaya
memperpanjang friksi antara Washington dan Beijing atas sengketa perdagangan
dan militer yang dibumbui isu hak asasi manusia. Komisi bipartisan telah menyasar
Chen dan enam pejabat lainnya sebagai target potensial.6
4 https://www.nytimes.com/2018/10/13/world/asia/china-muslim-detainment-xinjang-camps.html 5 https://www.academia.edu/35726562/Chen_Quanguo_The_Strongman_Behind_Beijings_Securitization_
Strategy_in_Tibet_and_Xinjiang 6 https://www.cecc.gov/media-center/press-releases/chairs-lead-bipartisan-letter-urging-administration-to-
sanction-chinese
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
10
Awal Oktober 2018, dan tampaknya tersengat oleh kritik internasional, pemerintah
Xinjiang justru mengeluarkan peraturan yang direvisi tentang "deradikalisasi", yang
untuk pertama kalinya dengan jelas mengesahkan kamp-kamp indoktrinasi.
Khawatir tentang ekstremisme Muslim dan nasionalisme etnis, Beijing telah
lama mempertahankan kontrol ketat terhadap Xinjiang, di mana sekitar setengah
dari 24 juta penduduknya adalah warga beretnis Uighur. Dalam dekade hingga 2014,
pasukan keamanan China berjuang dengan serangkaian serangan anti-pemerintah
yang mana mereka menyalahkan kalangan Uighur yang dinilai separatis.
Xi melakukan kunjungan pertama dan satu-satunya sebagai pemimpin nasional
ke Xinjiang pada April 2014. Beberapa jam setelah empat hari kunjungannya
berakhir,7 penyerang menggunakan bom dan pisau untuk menghabisi tiga orang dan
melukai hampir 80 orang lainnya di dekat stasiun kereta di Urumqi, ibu kota wilayah
tersebut.8
Serangan itu dilihat sebagai penolakan terhadap Xi, yang baru saja meninggalkan
kota sehingga ia bertekad menggunakan "tangan besi" untuk menundukkan orang-
orang Uighur yang menentang pemerintahan China. "Aksi itu tampaknya telah
dinilai oleh Xi Jinping sebagai penghinaan," kata Michael Clarke, seorang ilmuwan di
Australian National University yang meneliti soal Xinjiang.
Sebulan kemudian, Xi menyerukan dorongan kuat untuk menjadikan Uighur
anggota setia bangsa China melalui instruksi berbahasa Mandarin, insentif ekonomi,
dan pencampuran etnis yang diselenggarakan negara. Kepemimpinan China juga
menyetujui arahan untuk menetapkan kontrol yang lebih ketat terhadap Xinjiang
yang belum pernah dipublikasikan.9
"Perkuat identifikasi publik dari setiap kelompok etnis dengan ibu pertiwi, dengan
kebangsaan China dan dengan budaya China," kata Xi dalam sebuah pertemuan
di Xinjiang pada saat itu. "Harus ada lebih banyak kontak etnis, pertukaran dan
pencampuran," jelasnya.10
Selanjutnya, pada tahun setelah kunjungan Xi ke Xinjiang, dokumen menunjukkan
bahwa Partai Komunis China mulai membangun kamp "transformasi melalui
pendidikan" untuk memperingatkan minoritas Muslim akan kejahatan kefanatikan
agama dan separatisme etnis. Kamp-kamp itu relatif kecil saat itu; banyak tahanan
ditahan hanya beberapa hari atau minggu, demikian pidato resmi11 dan laporan12
menunjukkan. Namun, tidak ada pedoman umum tentang bagaimana mereka harus
beroperasi.
7 http://politics.people.com.cn/n/2014/0504/c1024-24968469.html 8 https://www.nytimes.com/2014/05/01/world/asia/blast-hits-railway-station-in-restive-western-china.html 9 http://news.mod.gov.cn/headlines/2014-05/31/content_4513138.htm 10 http://www.xinhuanet.com/photo/2014-05/29/c_126564529.htm 11 http://news.hexun.com/2014-11-21/170645504.html 12 http://alt.xjkunlun.cn/xw/jnyw/2015/4675333.htm
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
11
Dengan mengambil garis yang lebih keras di Xinjiang, Xi secara efektif mendukung
sekelompok cendekiawan dan pejabat Tiongkok yang mengadvokasi kebijakan partai
yang telah lama berlaku terhadap etnis minoritas.
Selama beberapa dekade, pemerintahan Partai Komunis China berusaha
mengendalikan Uighur, Tibet, dan kelompok-kelompok lain di bawah kontrol politik
yang ketat, sementara memungkinkan ruang untuk melestarikan bahasa, budaya,
dan agama masing-masing suku bangsa. Pendekatan mosaik disalin dari Uni Soviet
dan menjadikan Xinjiang sebagai "daerah otonom," di mana—berdasarkan teori—
orang Uighur layak menikmati hak dan perwakilan yang lebih besar.
Namun, pada era 1990-an, akademisi China menasihati pemerintah, mulai
dengan alasan bahwa kebijakan-kebijakan ini telah menyebabkan pecahnya Uni
Soviet dengan mendorong separatisme etnis. Untuk menghindari masalah serupa,
mereka berpendapat, China harus mengadopsi langkah-langkah yang –tanpa rasa
bersalah—bertujuan untuk meleburkan etnis minoritas ke dalam identitas nasional
yang lebih luas.13 "Yang disebut 'elit etnis' tidak boleh diberi kesempatan untuk
menjadi pemimpin pak dalam memecah negara," kata Hu Lianhe, seorang peneliti
dalam kelompok ini, dalam sebuah makalah yang ia tulis pada tahun 2010.14
Sekarang Hu menjadi suara kuat pengatur kebijakan untuk Xinjiang, sekaligus
pejabat senior di Departemen Front Pekerja Bersatu, sebuah badan Partai Komunis
China yang telah mengklaim tumbuh di wilayah tersebut. Dia pun telah diidentifikasi
sebagai target potensial sanksi Amerika. Pada bulan Agustus, dia secara kategoris
membantah laporan pelanggaran di Xinjiang selama persidangan PBB.15 "Tidak ada
‘de-Islamisasi’," sanggahnya.
Pada tahun 2016, surat kabar utama Partai Komunis China menyatakan bahwa
kampanye "deradikalisasi" berhasil;16 tidak ada tindakan kekerasan anti-pemerintah
yang serius telah dilaporkan sejak kunjungan Xi ke Xinjiang. Namun, para pejabat
memberikan penilaian yang suram di forum yang kurang menonjol. Beberapa
mengatakan bahwa anak muda Uighur lebih terasing dari China daripada orang tua
mereka; yang lain memperingatkan bahwa orang Uighur yang bepergian ke Timur
Tengah, kadang-kadang untuk bertempur di Suriah, membawa kembali ide-ide
ekstremis dan pengalaman berkelahi.
Peringatan semacam itu tampaknya membujuk Xi dan para pemimpin lain untuk
mendukung langkah-langkah yang lebih keras. Pada Agustus 2016, mereka membawa
Chen dari Tibet untuk mengatur Xinjiang. Dia menjadi pejabat partai pertama yang
menjabat sebagai pemimpin kedua wilayah. Di Tibet, wilayah perbatasan lain yang
mengalami konflit etnik, Chen telah memperluas pasukan keamanan, mengirim
pejabat partai untuk tinggal di desa-desa dan memperketat kontrol terhadap biara-
biara dan kuil-kuil Buddha.
13 https://scholar.harvard.edu/files/elliott/files/elliott_tcj_case_of_the_missing_indigene__1.pdf 14 http://www.aisixiang.com/data/36593.html 15 https://twitter.com/i/moments/1034983653267230720 16 http://politics.people.com.cn/n1/2016/0603/c1001-28408115.html
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
12
Kurang dari tiga minggu setelah kedatangannya di Xinjiang, ia mengumumkan
rencana "remobilisasi" untuk meningkatkan keamanan, dengan mengutip perintah
dari Xi.17 Pejabat di Xinjiang diberitahu untuk mempersiapkan pendekatan ofensif
tahunan, menurut sebuah laporan resmi.18
Pada Maret 2017, pemerintah daerah mengeluarkan peraturan "deradikalisasi"
yang memberi lampu hijau samar-samar untuk memperluas kamp interniran,19
tetapi parlemen nasional tidak pernah memberlakukan undang-undang yang
mengesahkan penahanan seperti yang diperlukan menurut konstitusi Tiongkok.
Sejak sekitar April 2017, pemerintah secara paksa menahan ribuan orang Uighur
dan minoritas muslim Turki lain di tempat-tempat tersebut, di mana mereka
menjadi target propaganda yang mempromosikan identitas China. Segera pejabat
lokal mulai melaporkan semakin banyak orang Uighur yang ditangkap atau ditahan
karena indoktrinasi.
"Sejak pemogokan yang keras dimulai pada 2017, ada banyak tahanan, termasuk
banyak yang akhirnya dihukum," kata seorang pejabat yang ditugaskan ke Hotan,
daerah di Xinjiang selatan, tahun 2017 yang lalu. "Jumlah yang dikirim ke pusat
transformasi-melalui-pendidikan juga cukup tinggi."
Ketika kamp dan upaya pengawasan diperluas, Beijing mengalirkan kucuran
dana segar ke Xinjiang, di mana pengeluaran untuk keamanan hampir dua kali lipat
pada tahun 2017 dari tahun sebelumnya, menjadi $ 8,4 miliar, menurut data yang
dirilis awal tahun ini.20
"Pemerintah pusat pada akhirnya yang membiayai semua itu sehingga beberapa
bentuk persetujuan tentu telah diberikan," kata Adrian Zenz, seorang ilmuwan di the
European School of Culture and Theology, Jerman, yang telah mempelajari kamp-
kamp tersebut.21
Skala penahanan di Xinjiang mungkin telah melampaui perkiraan awal. "Mereka
harus menggunakan stasiun kereta api dan tempat acak lain untuk menahan orang
karena mereka tidak mengira harus menangani begitu banyak," kata Jessica Batke,
seorang mantan analis Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Definisi yang luas dari "ekstremisme agama"22—yang mencakup hingga perilaku
sesederhana yang mencoba untuk membujuk orang untuk berhenti merokok dan
minum alkohol, apalagi pelanggaran yang lebih serius—dijadikan alasan oleh
pemerintah untuk lebih leluasa menghukum Muslim yang sedikit menunjukkan
kesalehan.
17 https://news.sina.com.cn/c/nd/2016-09-20/doc-ifxvyqvy6809128.shtml 18 http://inews.ifeng.com/mip/50006760/news.shtml 19 http://lib.ylsy.edu.cn/bggg/20170330/165215.html 20 http://www.xinjiangnet.com.cn/2018/0203/2044552.shtml 21 https://www.academia.edu/37353916/NEW_Sept_2018_Thoroughly_Reforming_Them_Towards_a_
Healthy_Heart_Attitude_-_Chinas_Political_Re-Education_Campaign_in_Xinjiang 22 http://www.cssn.cn/zjx/zjx_zjsj/201412/t20141224_1454905.shtml
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
13
Tampaknya publik telah diberitahu untuk mempersiapkan diri dalam
menghadapi pendekatan ofensif yang cukup lama, yang mana salah seorang
pejabat lokal mengistilahkannya sebagai "kampanye emansipasi intelektual."
Bahkan, Pemerintah Xinjiang telah memutuskan pada akhir 2017 yang lalu bahwa
“pendekatan keamanan” diperkirakan berlangsung lima tahun sebelum mencapai
"stabilitas total."23
Bagaimana Muslim Uighur Diperlakukan sebagai Tahanan di Fasilitas "Pendidikan Politik" di Xinjiang
Saat ini, kampanye terhadap Muslimin di Turkistan Timur mendapatkan
perhatian cukup serius dari badan internasional. Organisasi pemantau hak asasi
manusia (HAM) internasional, yaitu Komisi HAM PBB, menyimpulkan adanya
pelanggaran HAM secara massal dan sistematis.
Tidak lama setelah PBB memecahkan berita tentang kamp konsentrasi tersebut,
Sigal Samuel dari The Atlantic melaporkan bahwa para tahanan “dipaksa untuk
meninggalkan Islam, mengkritik keyakinan Islam mereka sendiri dan orang-orang
dari sesama tahanan, dan membaca lagu propaganda Partai Komunis selama berjam-
jam setiap hari.”24
Para tahanan laki-laki dipaksa untuk mencukur janggut mereka dan dicekoki
makan babi dan alkohol—yang dilarang keras oleh Islam.
Kamp-kamp konsentrasi ini—yang menampung lebih dari 10 kali jumlah warga
dan penduduk Jepang yang dikuasai pemerintah Amerika Serikat (AS) selama Perang
Dunia II—adalah tempat Muslim Uighur “dibentuk” kembali karakternya menjadi
subjek ateis China.
Ini adalah tempat yang mengerikan. Ketakutan dan kekerasan fisik, trauma
psikologis, dan pelecehan emosional adalah alat yang digunakan pemerintah
China, untuk mendorong tahanan Uighur untuk meninggalkan Islam, yang disebut
pemerintah China sebagai “penyakit mental,” dan meninggalkan adat istiadat Uighur
yang berbeda yang sangat terkait dengan iman mereka. 25
Kemudian disusul Human Rights Watch dengan laporan yang baru dirilis
pada bulan September (9/2018). Secara khusus, laporan setebal 117 halaman yang
bertajuk “‘Memberantas Virus Ideologis’: Kampanye Represi RRC Terhadap Muslim
Xinjiang,”26 menghadirkan bukti baru dari penahanan sewenang-wenang, penyiksaan
dan penganiayaan massal yang dilakukan Pemerintah RRC (Republik Rakyat China),
serta kontrol yang semakin meluas dalam kehidupan sehari-hari.
Di seluruh wilayah itu, penduduk Muslim Turk yang berjumlah 13 juta orang
dipaksa menjalani indoktrinasi politik, hukuman kolektif, pembatasan gerak dan
23 http://wemedia.ifeng.com/70912224/wemedia.shtml 24 https://www.theatlantic.com/international/archive/2018/08/china-pathologizing-uighur-muslims-mental-
illness/568525/25 https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/china-islam-mental-illness-cured-181127135358356.html 26 https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-ideological-viruses/chinas-campaign-repression-
against-xinjiangs
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
14
komunikasi, pengekangan agama yang meningkat, serta pengawasan massal yang
melanggar hukum hak asasi manusia internasional.
“Pemerintah RRC melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang dalam
skala yang belum pernah terlihat di negara itu dalam beberapa dekade,” kata Sophie
Richardson, Direktur Urusan RRC di Human Rights Watch. “Kampanye represi di
Xinjiang adalah ujian kunci apakah Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah
negara-negara yang peduli akan menjatuhkan sanksi terhadap RRC yang semakin
kuat untuk mengakhiri pelanggaran ini.”
Laporan ini terutama didasarkan pada wawancara dengan 58 mantan penduduk
Xinjiang, termasuk lima mantan tahanan dan 38 kerabat dari para tahanan. Di antara
yang diwawancarai, 19 orang telah meninggalkan Xinjiang dalam satu setengah
tahun terakhir.
Perkiraan yang dapat dipercaya omenunjukkan bahwa satu juta orang27 ditahan
di kamp-kamp tersebut, di mana Muslim Turk dipaksa untuk belajar bahasa
Mandarin, menyanyikan pujian kepada Partai Komunis China, dan menghafal aturan
yang berlaku terutama bagi Muslim Turk. Mereka yang menolak atau dianggap gagal
“belajar” akan dihukum.
Para tahanan di kamp pendidikan politik ditahan tanpa hak proses hukum—baik
dituntut atau diadili—dan tidak memiliki akses ke pengacara dan keluarga. Mereka
ditahan karena keterkaitan dengan negara-negara asing, terutama negara yang
berada di daftar resmi “26 negara sensitif,” dan karena menggunakan alat komunikasi
asing seperti WhatsApp, serta karena mengekspresikan identitas dan agama mereka
secara damai. Tak ada satupun dari semua ini yang tergolong sebagai kejahatan.
Seorang lelaki yang ditahan berbulan-bulan di kamp pendidikan politik,
mengatakan kepada Human Rights Watch, “Saya bertanya [kepada pihak berwenang]
sekiranya saya dapat menyewa pengacara dan mereka berkata, ‘Tidak, Anda
seharusnya tidak perlu pengacara karena Anda tidak dinyatakan bersalah. Tidak
perlu membela diri Anda dari apa pun. Anda berada di kamp pendidikan politik -
yang harus Anda lakukan hanya belajar.’”
Kampanye ini juga telah mencerai-beraikan keluarga. Program pencucian
otak dan indoktrinasi ini tidak hanya diarahkan pada orang dewasa. China juga
mengoperasikan panti asuhan untuk anak-anak Muslim Uighur yang direnggut dari
orang tua mereka. Dalam pendidikan tersebut, mereka berusaha dipisahkan dari
iman Islam dan dari warisan etnis mereka. Di panti asuhan ini—yang ‘menyamar’
menjadi sekolah—China mengubah generasi masa depan anak-anak Muslim Uighur
menjadi obyek yang setia memeluk atheisme dan kebiasaan Han, mendorong mereka
untuk berpaling dari keluarga mereka, menuju visi Beijing untuk menghancurkan
orang-orang Muslim Uighur.
27 https://www.nchrd.org/2018/08/china-massive-numbers-of-uyghurs-other-ethnic-minorities-forced-into-re-education-programs/
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
15
Beberapa anggota keluarga di Xinjiang dan di luar negeri secara tak terduga
ditangkap karena pengetatan pemeriksaan paspor dan perlintasan perbatasan.
Anak-anak kadang terjebak di satu negara tanpa orang tua mereka.
Pemerintah telah melarang Muslim Turk untuk menghubungi orang-orang di
luar negeri. Pemerintah juga menekan beberapa orang etnis Uighur dan Kazakh yang
tinggal di luar negeri untuk kembali ke RRC, sementara meminta orang lain untuk
memberikan informasi pribadi secara rinci tentang kehidupan mereka di luar negeri.
“Pemerintah China menahan orang-orang di pusat-pusat ‘pendidikan politik’
itu bukan karena mereka melakukan tindak kejahatan, tapi karena mereka tidak bisa
diandalkan secara politik,” kata Sophie Richardson. “Pemerintah punya macam-
macam alasan yang tidak bisa dipercaya atas penahanan orang-orang ini dan
semestinya segera membebaskan mereka.”
Pemerintah China sebaiknya segera membebaskan orang-orang yang ditahan
di sejumlah pusat ‘pendidikan politik’ tidak resmi di Xinjiang dan menutup
tempat-tempat itu, kata Human Rights Watch (10/9/2017). Human Rights Watch
mewawancarai tiga kerabat dari para tahanan yang mendekam di fasilitas-fasilitas
pendidikan politik di sekitar kota Kashgar dan Prefektur Bortala pada 2017.
Para tahanan mengatakan, penahanan dimulai sejak musim semi dan
berlangsung selama beberapa bulan. Mereka juga bilang, orang-orang yang dikirim
ke tempat-tempat itu tidak punya jaminan, bukti kejahatan, atau dokumen lainnya.
Mereka tidak tahu otoritas lokal mana yang bertanggung jawab atas penahanan
anggota keluarga mereka ini atau di beberapa kasus, bahkan di mana orang-orang
itu ditahan.
Menurut anggota keluarga para tahanan itu, laki-laki, perempuan dan anak-anak
semuanya ditahan. Di satu kasus, sebuah keluarga yang terdiri dari empat orang,
termasuk dua anak, dibawa ke sebuah fasilitas pendidikan politik di barat Xinjiang
pada April lalu karena bepergian ke luar negeri untuk urusan bisnis dan naik haji ke
Mekah. Setelah tiga bulan, salah satu orang orangtua dan seorang anak dibebaskan
sementara dua lainnya diyakini masih di tahanan.
Media pemerintah di Xinjiang, termasuk Xinjiang Daily, sudah menurunkan
laporan soal fasilitas-fasilitas ini. Orang-orang yang diwawancarai dan media milik
pemerintah secara umum merujuk mereka sebagai “pusat pelatihan melawan
ekstremisme” dan “pusat pelatihan pendidikan dan perubahan”. F
asilitas-fasilitas tersebut ada yang awalnya sekolah atau bangunan pemerintah
meski ada beberapa yang khusus dibangun untuk tujuan itu. Media mencatat para
kader partai “makan, tinggal, dan bekerja” bersama-sama mereka “yang perlu
diubah,” dan bahwa kehidupan di sana “seperti sekolah berasrama … kecuali
pelajarannya yang berbeda.”
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
16
Beberapa anggota keluarga yang diwawancarai mengaku percaya bahwa para
kerabat mereka ditahan karena sejumlah alasan, termasuk bepergian ke luar negeri
atau punya keluarga yang tinggal di negara lain. Sejumlah orang lainnya mungkin
dijadikan target karena berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan yang tidak resmi,
seperti memakai jilbab atau pakaian Muslim lainnya, atau hanya karena punya
kerabat yang sebelumnya pernah ditangkap pemerintah.
Beberapa laporan media milik negara juga menyebut orang-orang yang “mudah
dipengaruhi ektremisme agama” serta “personel kunci”—istilah untuk merujuk
pada orang-orang yang dipandang sebagai ancaman oleh pemerintah—juga ditahan
di fasilitas-fasilitas ini.
Anggota keluarga juga mengatakan, para tahanan diwajibkan belajar bahasa
Mandarin dan menghafalkan hukum dan kebijakan China dan Xinjiang. Mereka
dipaksa menonton video propaganda pro-pemerintah, dan melepaskan identitas
etnis dan agama mereka, serta mengucapkan slogan-slogan seperti "agama itu
berbahaya," dan "belajar bahasa Mandarin adalah bagian dari patriotisme."
Masih belum jelas berapa banyak orang yang ditahan di tempat-tempat ini pada
satu waktu. Pada 5 April, sebuah artikel di Xinjiang Daily melaporkan ada lebih dari
2.000 orang yang sudah "dilatih" di fasilitas Hotan meski tidak dijelaskan rentang
waktunya.
Laporan ini bercerita tentang seorang penjual obat-obatan tradisional Uighur
bernama Ali Husen, yang “dikirim” ke pusat pelatihan ini oleh pemerintah kota.
Meski Husen “awalnya sangat berkeberatan” untuk belajar, dalam waktu singkat ia
“terkejut dengan ketidaktahuannya.” Setelah dua bulan masa pendidikan, Husen
diminta untuk “mengulangi secara jelas sikapnya” di hadapan 5.000 orang dan
mengatakan kepada mereka “bagaimana ekstremisme telah merugikan dirinya.”
Laporan sejumlah media menyebutkan bahwa orang-orang dari etnis Kazakh
dan Kyrgyz juga ditahan karena bepergian ke luar negeri atau “banyak bicara soal
Kazakhstan.” Sementara alasan lain mengapa mereka ditahan tidak diketahui.
Tindakan China yang hampir mirip dengan bentuk penahanan untuk indoktrinasi
politik ini adalah “pendidikan ulang” wajib bagi ratusan orang Tibet setelah mereka
kembali dari pertemuan keagamaan yang disebut Inisiasi Kalachakra di India pada
Desember 2012, pada masa kepemimpinan Sekretaris Partai Komunis Chen Quanguo.
Selain bertentangan dengan konstitusi China, pusat tahanan pendidikan politik
Xinjiang juga melanggar aturan hak asasi manusia internasional, kata Human Rights
Watch. Konstutitusi China pasal 37 menyatakan bahwa semua penangkapan harus
disetujui oleh kantor penuntutan dan penyidikan negara, atau pengadilan, tetapi
tidak ada satupun dari lembaga-lembaga ini yang terlibat dalam penahanan tersebut.
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
17
Hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional Hak-
Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang ditandatangani tetapi tidak diratifikasi oleh China,
melarang penahanan sewenang-wenang. Penahanan disebut sewenang-wenang
bila tidak ada kemungkinan untuk meminta dasar hukum yang membenarkan
perampasan kebebasan, atau ketika otoritas penahanan gagal mematuhi hak proses
dasar, seperti mengetahui alasan penangkapan, bisa menggugat penahanan di
hadapan hakim, dan memiliki akses ke pengacara dan anggota keluarga.
Meski beberapa Undang-Undang China—termasuk Undang-Undang Kontra-
Terorisme, Aturan Pelaksanaan Xinjiang atas Undang-Undang tersebut, atau
Peraturan Kontra-Terorisme Xinjiang—di mana pihak berwenang "mendidik" orang-
orang tentang ekstremisme, tetapi tidak satu pun dari Undang-Undang tersebut yang
mengizinkan pihak berwenang untuk mencabut kebebasan masyarakat.
“Penahanan yang tidak adil dan pemaksaan indoktrinasi di masyarakat hanya
akan meningkatkan kebencian terhadap pemerintah, bukannya mengakibatkan
ketidaksetiaan,” kata Richardson. "China seharusnya memberikan kebebasan
yang lebih luas sehingga masyarakat di Xinjiang dapat mengekspresikan kritik dan
identitas etnik dan agama mereka secara damai pun tanpa rasa takut." 28
Bentuk-Bentuk Penahanan Massal, Penindasan Agama, dan Pengawasan di Xinjiang
Akhirnya, sebuah laporan panel hak asasi manusia PBB tentang Xinjiang dirilis pada
bulan Agustus 2018. Laporan ini mempertegas fakta bahwa hampir 1,1 juta Muslim
Uighur ditahan di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang, atau sekitar 10% dari sekitar
11 juta warga Uighur. Bahkan, Gay McDougall—yang duduk di Komite PBB tentang
Penghapusan Diskriminasi Rasial—mengklaim bahwa populasi yang dipenjara bisa
mencapai dua juta jiwa.29
Lebih lanjut, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD)
menggambarkan Xinjiang sebagai “zona tanpa hak.” Delegasi Pemerintah China
membantah penggambaran wilayah seperti ini, serta karakterisasi kamp pendidikan
politiknya, menyebut kamp-kamp itu “pusat pendidikan kejuruan”.
Yang jelas, tanpa mengandalkan perkiraan angka di atas, jumlah Muslim Uighur
yang ditangkap, direnggut dari keluarga dan hidup mereka, dan dipenjarakan di
kamp-kamp konsentrasi—tanpa alasan lain selain menjadi Uighur dan Muslim—
meningkat setiap harinya. Kini pun telah beberapa bulan berlalu sejak PBB merilis
laporan tentang jaringan kamp konsentrasi China dan program-program tambahan
yang dirancang untuk membersihkan Islam, dan menghancurkan orang-orang
Uighur yang memiliki ikatan identitas kuat dengan Islam.
28 https://www.hrw.org/news/2017/09/10/china-free-xinjiang-political-education-detainees 29 https://www.ohchr.org/EN/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?NewsID=23431
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
18
Terbukti China tidak mengantisipasi biaya politik yang signifikan terhadap
kampanye Xinjiang yang kejam. Sebagian karena pengaruhnya dalam sistem PBB,
kata Human Rights Watch.
Lebih lanjut, Human Rights Watch menekankan, dengan banyaknya bukti
pelanggaran berat di Xinjiang, pemerintah asing seharusnya mengejar berbagai
tindakan multilateral dan unilateral. Mereka juga seharusnya mengejar tindakan
bersama di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, membentuk koalisi guna mengumpulkan
serta menilai bukti pelanggaran di Xinjiang, dan menjatuhkan sanksi yang ditargetkan
pada Sekretaris Partai Chen Quanguo dan sejumlah pejabat senior lainnya yang
bertanggung jawab.
“Rasa sakit dan penderitaan keluarga yang tercerai-berai, tanpa mengetahui
apa yang terjadi pada orang-orang yang mereka cintai sangat kontras dengan klaim
Beijing bahwa Muslim Turk ‘bahagia’ dan ‘bersyukur,’” kata Richardson. “Kegagalan
untuk mendesak negara itu untuk segera mengakhiri pelanggaran ini hanya akan
membuat Beijing semakin berani."30
Sementara itu, dalam laporannya, Human Rights Watch merinci hasil temuan
lapangannya. Namun, nama-nama dan rincian identitas dari orang-orang yang
diwawancarai sengaja dirahasiakan untuk melindungi keselamatan mereka. Semua
nama tahanan pun disamarkan.
Di bawah ini disajikan beberapa kutipan dari laporan HRW.
a. Kamp pendidikan politik
Tak seorang pun bisa bergerak karena mereka mengawasi Anda melalui kamera
video, dan setelah beberapa saat kedengaran suara dari pengeras suara yang
mengatakan bahwa sekarang Anda dapat bersantai selama beberapa menit. Suara itu
juga memberitahu Anda untuk bergerak ... kami diawasi, bahkan di toilet. Di kamp
pendidikan politik kami selalu di bawah tekanan.
–Rustam, seorang bekas tahanan yang berada di kamp pendidikan politik selama
beberapa bulan, Mei 2018.
Saya menolak tindakan mereka ... Mereka menempatkan saya di sel isolasi kecil
... Dalam ruang sekitar 2x2 meter saya tidak diberi makanan atau minuman, tangan
saya diborgol di belakang, dan saya harus berdiri selama 24 jam tanpa tidur.
–Nur, seorang bekas tahanan di sebuah kamp pendidikan politik, Maret 2018.
b. Pengawasan setiap hari di Xinjiang
Sebanyak lima petugas ... bergantian mengawasi saya [di rumah]. Dan mereka
harus mendokumentasikan bahwa mereka telah memeriksa saya ... Foto-foto
30 https://www.hrw.org/news/2018/09/09/china-massive-crackdown-muslim-region
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
19
menunjukkan mereka membaca propaganda politik bersama [dengan saya], atau
menunjukkan saya memindahkan bantal di tempat tidur untuk mempersiapkan
mereka karena mau bermalam; atau mereka berbaring di sofa.
–Aynur, seorang perempuan yang meninggalkan Xinjiang pada 2017, Mei 2018.
Sejak awal 2017, dua kali dalam sepekan petugas datang. Beberapa orang bahkan
menginap semalam. Pihak berwenang datang terlebih dahulu dan membuat daftar
dan menugaskan “kerabat” baru untuk Anda. … (“Kerabat” yang ditugaskan secara
resmi) berbicara dengan putra saya, cucu-cucu saya, mereka mengambil gambar,
mereka duduk di meja, mereka bertanya, “Di mana suami Anda, ke mana dia pergi?”
Saya benar-benar ketakutan, lantas berpura-pura sibuk mengurus cucu saya. Saya
khawatir jika saya berbicara saya akan keceplosan kalau suami saya telah pergi [ke
luar negeri]. Jadi, saya tetap diam.
–Ainagul, 52, yang meninggalkan Xinjiang pada 2017 dan putranya berada di
kamp pendidikan politik, Mei 2018.
c. Dampak internasional dari kampanye Gebuk Keras (Strike Hard)
Pertama, polisi desa menelepon, dan kemudian biro polisi di tingkat yang lebih
tinggi menelepon. Nomor mereka disembunyikan - mereka tidak menunjukkan dari
mana mereka menelpon…. Polisi memberi tahu saya, ”Jika Anda tidak datang, kami
akan menjemput Anda.”
–Dastan, 44, yang tinggal di luar RRC dan istrinya berada di kamp pendidikan
politik, Mei 2018.
Mereka memberi sinyal, bahwa bahkan jika Anda berada di negara asing, mereka
dapat “mengurus” Anda. ... Saya takut ... Saya tidak bergabung dengan teroris atau
organisasi apa pun melawan RRC. Saya tidak bergabung dengan demonstrasi apapun.
Saya tidak membawa bendera Turkestan Timur. Saya tidak punya catatan kriminal di
RRC ... mengapa mereka melakukan hal seperti ini [kepada saya]?
–Murat, seorang mahasiswa berusia 37 tahun yang tinggal di luar RRC dan
saudara perempuannya berada di kamp pendidikan politik, Juni 2018.
Adapun bentuk-bentuk lain dari penindasan terhadap Muslim Tukistan Timur
(Uighur) bisa dirinci sebagai berikut:
1. Melarang memberi nama bayi dengan nama-nama Islami, dengan ancaman
tidak akan mendapatkan akses kesehatan dan pendidikan31
2. Melarang orang tua Muslim dari menyelenggarakan kegiatan keagamaan untuk anak mereka
31 https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-ban-islamic-baby-names-muslim-xinjiang-province-uyghurs-burqa-islam-jihad-human-rights-a7700646.html
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
20
3. Melarang anak-anak Muslim Uighur terlibat dalam kegiatan agama32
4. Meminta kepada seluruh Muslim Uighur untuk menyerahkan seluruh barang-barang yang bernuansa agama seperti sajadah, mushaf Al-Quran, termasuk juga simbol-simbol seperti bulan dan bintang33
5. Menyita mushaf Al-Quran, dengan alasan mengandung konten ekstrem34
6. Melarang laki-laki dari memanjangkan jenggot35
7. Muslim dipaksa makan babi dan minum alkohol di kamp reedukasi36
8. Dipaksa untuk meninggalkan agama dan menyanyikan lagu Partai Komunis37
Penindasan terhadap Identitas Islam di Turkistan Timur (Xinjiang)
Bulan Ramadan seharusnya menjadi waktu untuk puasa, memperbanyak amal
dan doa bagi Muslim di China. Tetapi di sana, di banyak kota dan desa di Turkistan
Timur (Xinjiang), masa itu adalah masa ketakutan, penindasan, dan kekerasan.
Kampanye China atas nama melawan separatisme dan terorisme di wilayah tersebut
kini justru menjadi perang habis-habisan terhadap Islam.
Sepanjang bulan Ramadhan, polisi mengintensifkan kampanye pencarian dari
rumah ke rumah, mencari buku-buku atau pakaian yang dianggap "mengkhianati"
keyakinan China: wanita yang mengenakan kerudung ditahan, dan banyak pemuda
yang tanpa delik sedikitpun. Para pelajar dan pegawai negeri dipaksa untuk makan,
bukannya berpuasa, dan dipaksa bekerja atau menghadiri kelas-kelas, bukannya
menghadiri sholat Jumat.
Penindasan agama telah memunculkan kebencian, dan, kadang-kadang,
demonstrasi yang berdampak mematikan. Banyak laporan yang memberitakan
polisi yang menembak para demonstran di kota Elishku dan Alaqagha. Sejak saat
itu, pihak berwenang China memberlakukan menutup semua pemberitaan di kedua
tempat tersebut.
Polisi China menindak setiap Muslim Xinjiang yang berjenggot dan kerudung,
berpuasa di bulan Ramadhan. Di daerah Shache, internet diputus, dan layanan pesan
teks dinonaktifkan, dan orang asing dilarang masuk. "Polisi ada di mana-mana,"
kata seorang warga Turkistan Timur (Uighur). Yang lain mengatakan bahwa saat ini
mereka seperti "tinggal di penjara." Pada 18 Juli, ratusan orang berkumpul di luar
gedung pemerintah di kota Alaqagha, memprotes penangkapan puluhan Muslimah
yang menolak melepaskan jilbab.Para pengunjuk rasa melempar batu, botol, dan
batu bata ke gedung itu; polisi melepaskan tembakan, menewaskan paling tidak dua
orang, dan melukai beberapa lainnya.
32 https://www.independent.co.uk/news/world/asia/islam-muslims-in-china-law-xinjiang-rules-education-children-parents-banned-luring-uighur-a7365351.html
33 https://learningenglish.voanews.com/a/muslims-in-western-china-told-to-turn-in-qurans-relegious-items/4047077.html
34 idem35 https://www.bbc.com/news/world-asia-china-3946053836 https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-re-education-muslims-ramadan-xinjiang-eat-pork-
alcohol-communist-xi-jinping-a8357966.html37 http://nymag.com/intelligencer/2018/08/china-muslims-camps-uighur-communist-party-islam-mental-
illness.html
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
21
Kemudian, pada 28 Juli, hari terakhir Ramadhan, protes di Elishku disambut
dengan respons yang lebih keras. Ratusan orang Uighur menyerang sebuah
kantor polisi dengan pisau, kapak dan tongkat; lagi, polisi melepaskan tembakan,
menewaskan sejumlah orang.38
Kantor berita resmi China Xinhua mengatakan, polisi menewaskan 59 "teroris"
Uighur dalam insiden itu, meskipun laporan lain menunjukkan jumlah korban
tewas jauh lebih banyak. China menuduh bahwa ide-ide keagamaan asing—yang
sering disebarluaskan melalui internet—telah merusak masyarakat Xinjiang,
mempromosikan fundamentalisme Islam Wahhabi. Pemerintah China pun memberi
label teroris kepada Muslim Xinjiang untuk melegitimasi tindakan represi yang
dilakukan.
Presiden Xi Jinping pun bersumpah untuk menangkap mereka "dengan jaring
yang menyebar dari bumi ke langit," dan untuk mengejar mereka "seperti tikus
berlarian di seberang jalan, dengan semua orang berteriak, 'Pukul mereka.'"39
Namun, jaring tersebut tampaknya juga menangkap banyak orang yang tidak
bersalah. Sekitar 200 ribu kader Partai Komunis dikirim ke pedesaan, dengan dalih
mendengarkan keluhan masyarakat. Di balik dinding yang dilengkapi alarm dan
kawat berduri, mereka melakukan pengawasan terhadap kehidupan Muslim Uighur.
Di Shache, yang dikenal di Turkistan TImur (Xinjiang) sebagai Yarkand, dokumen
resmi menunjukkan pengeluaran lebih dari $ 2 juta untuk membangun jaringan
informan dan kamera pengintai. Inspeksi rumah-ke-rumah, menurut dokumen
tersebut, dilakukan untuk mengidentifikasi separatis, teroris dan ekstremis agama--
termasuk perempuan yang menutupi wajah mereka dengan kerudung atau burqa,
dan pemuda yang memiliki jenggot panjang.
Di kota Kashgar, pos pemeriksaan menegakkan apa yang oleh pihak berwenang
disebut "Proyek Kecantikan". Kecantikan, dalam hal ini, adalah wajah yang terbuka.
Siapa pun yang tertangkap melanggar aturan akan menghadapi ancaman yang
menakutkan, mulai dari "inspeksi reguler dan tidak teratur," "kuliah pendidikan" dan
kader komunis yang ditugaskan sebagai "teman" pengawas. Di kota Karamay, wanita
yang mengenakan jilbab dan pria berjenggot panjang dilarang naik bus umum.40
Bahkan, pada tahun 2017, pemerintah China menangkap seorang Muslimah
hanya karena memposting ayat Al-Quran di Twitter. Menurut salah seorang karyawan
di lembaga pengawas ekstremisme milik pemerintah China, memposting ayat Al-
Quran atau tentang Tuhan adalah tindakan melanggar hukum.41
38 https://www.rfa.org/english/news/uyghur/detained-05232014165418.html39 https://www.reuters.com/article/us-china-xi-security/chinas-president-warns-against-growing-threats-to-
national-security-idUSBREA3P0DW2014042640 https://in.reuters.com/article/china-xinjiang/china-bans-beards-veils-from-xinjiang-citys-buses-in-security-
bid-idINKBN0G609U2014080641 https://www.alaraby.co.uk/english/blog/2017/5/12/after-name-ban-china-arrests-muslim-for-tweeting-
quran
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
22
Pergi Haji tanpa Seizin Pemerintah China, Berujung Vonis Hukuman Mati
Belum lama, pihak berwenang di wilayah Xinjiang diduga telah menjatuhkan
hukuman mati pada seorang pengusaha yang juga seorang dermawan dari etnis
Uighur yang beragama Islam setelah dinyatakan bersalah melakukan haji tanpa izin
pemerintah. Hal ini dinyatakan oleh saudaranya sendiri ke media internasional.
Menurut Abdusattar Abdurusul, kakaknya telah ditahan antara bulan Juli
sampai Agustus yang lalu, mengatakan, “Terakhir, apa yang diberitakan, abang
saya Abdughapar Abdurusul telah dijatuhi hukuman mati dan menunggu eksekusi
hukuman. Dia dinyatakan bersalah melakukan haji sendiri dengan tidak bergabung
dengan rombongan haji mengikuti sistem batasan dan kontrol yang diberikan oleh
pemerintah. “
Menurut Abdusattar, kakaknya tidak diberikan hak untuk menunjuk pengacara
selama persidangan kasus dan menyuarakan kekhawatiran bahwa saudaranya telah
dihukum dengan cara yang tidak adil. Undang-undang di Tiongkok yang mengatur
hukuman mati harus ditinjau ulang dengan naik banding ke Mahkamah Agung di
Beijing, tetapi tidak pasti bahwa ketentuan berlaku dalam kasus Abdulghapar.
Abdughapar Abdurusul yang berasal dari wilayah Bakyol di Ili Kazakh dan
berusia 42 tahun dikatakan oleh Abdusattar adalah seorang pengusaha sukses
yang mengelola beberapa toko ritel dan bisnis lainnya, serta sering memberikan
sumbangan dan kontribusi kepada komunitas Islam di Xinjiang, terutama dalam
membantu pembangunan masjid.
Abdusattar mengatakan, kakaknya baru saja menjual sebuah rumah lama pada
pertengahan tahun ini dengan harga 2 miliar rupiah dan memulai kehidupan baru
secara sederhana bersama keluarganya, sebelum dia ditahan dengan seluruh aset
keluarganya yang bernilai 206 miliar rupiah juga telah disita oleh pemerintah.
Abdusattar mengatakan, “Kakakku adalah seorang filantropis dan suka membantu
orang, tetapi apa yang terjadi padanya telah menghancurkan kehidupannya dan
keluarganya.”Anak sulung Abdughapar, Awzer yang juga ditahan pada tahun 2017,
setelah dia pulang ke tiongkok setelah lulus sekolah di Turki, sementara istrinya
Merhaba Hajim telah ditahan pemerintah pada bulan April. Selain itu, sebelumnya,
teman dekat Abdughapar juga ditangkap hingga 18 tahun.
Pemerintah Xinjiang menolak berkomentar lebih ketika dihubungi oleh media
sehubungan pengungkapan yang dilakukan oleh Abdusattar. Menurut laporan Radio
Free Asia, ada kemungkinan hukuman itu dijatuhkan pada Abdughapar, dan istrinya
dilaporkan telah meninggal saat berada dalam tahanan pihak berwenang. 42
Laporan itu juga mengungkapkan bahwa sekitar 50 orang yang dekat Abdughapar
juga ditahan, termasuk beberapa petugas polisi, tetapi berita tentang hukuman mati
42 https://www.rfa.org/english/news/uyghur/philanthropist-11212018131511.html
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
23
hanya melibatkan Abdughapar. Namun, sumber itu tidak dapat mengkonfirmasi
apakah hukuman mati dijatuhkan pada Abdughapar karena kekayaannya atau karena
melakukan haji yang melanggar hukum. Ada banyak sumber yang dapat dipercaya
mengungkapkan, bahwa Pemerintah Tiongkok sering mengenakan penindasan dan
penganiayaan terhadap etnis Uighur yang beragama Islam dengan menahan mereka
serta menetapkan hukuman tanpa alasan, serta untuk tujuan pendidikan ulang di
dalam kamp tahanan.
Selain etnis Uighur, etnis minoritas yang disiksa termasuk Kazakh, Dongxiang,
dan Uzbek, serta Han Tiongkok Muslim (Hui). Pengikut Kristen, praktisi Falun
Gong, dan tahanan politik lainnya juga dilaporkan ditangkap dan ditahan di wilayah
Xinjiang.Organisasi yang memperjuangkan hak etnis Uighur, World Uyghur Congress
(WUC), juga mengungkapkan berita hukuman mati Abdughapar Abdurusul di situs
sosial termasuk di Twitter dan kini ia menjadi viral.43
“SIARAN PERS: @UyghurCongress sangat risau terhadap Abdughapar Abdurusul,
seorang pengusaha Uyghur, yang dilaporkan telah dijatuhi hukuman mati karena
melakukan haji tanpa izin.”44
43 http://www.uyghurcongress.org/en/?p=3648444 Erabaru.com.my(23/11).
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
24
Keterlibatan Perusahaan Teknologi Amerika Serikat
Kekhawatiran global akhirnya meningkat karena Xinjiang, sebuah wilayah di
China, di mana Muslim etnis Turki telah lama mengalami penindasan tak terkira.
Ketika banyak pihak berusaha dengan berbagai cara untuk menekan pihak Beijing atas
pelanggaran-pelanggaran di atas, perhatian juga tertengok kepada isu perusahaan
Amerika Serikat yang menjual perangkat teknologi ke pihak keamanan China.
Ini memunculkan pertanyaan, apakah perusahaan-perusahaan internasional
yang menjalankan bisnis di kawasan tersebut mematuhi Prinsip Panduan Perserikatan
Bangsa-Bangsa Mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia,45 yang menetapkan
tanggung jawab perusahaan untuk menghormati Hak Asasi Manusia.
Pemerintah China sedang membuat sebuah infrastruktur pembuatan profil dan
tindakan kepolisian untuk mengidentifikasi orang-orang yang dianggap tidak setia
kepada Partai Komunis China di bawah tipuan mempromosikan “stabilitas sosial.”
Human Rights Watch telah mendokumentasikan proyek pengawasan massal polisi
Xinjiang, termasuk pengumpulan DNA dan informasi biometrik lainnya, sering
tanpa sepengetahuan atau persetujuan orang yang bersangkutan.
China tidak memiliki perlindungan privasi terhadap pengawasan negara, atau
sistem peradilan yang independen. Etnis minoritas tidak memiliki kekuatan nyata
untuk mempertanyakan—apalagi menolak—tuntutan penguasa.
Pada Juni 2017, Human Rights Watch menemukan bahwa Thermo Fisher,
perusahaan bioteknologi di Massachusetts, telah menjual teknologi pemrosesan
DNA ke Biro Keamanan Umum Xinjiang. Human Rights Watch berulang kali menulis
surat kepada perusahaan itu tentang pelanggaran di Xinjiang, dan menanyakan
apakah itu sesuai dengan Prinsip Panduan PBB tersebut di atas untuk memastikan
bahwa operasi bisnisnya tidak memperparah pelanggaran.
Jawabannya tidak begitu menenangan: menjual peralatan itu sesuatu yang
legal; bahwa, “mengingat sifat global dari operasi kami, mustahil bagi kami untuk
memantau penggunaan atau penerapan semua produk yang kami produksi;” dan
bahwa mereka “mengharapkan semua pelanggan kami bertindak sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan standar praktik industri yang terbaik.”
Pada bulan Juni, Menteri Perdagangan Amerika Serikat Wilbur Ross menegaskan
dalam sebuah surat untuk Komisi Eksekutif Kongres untuk China bahwa penjualan
Thermo Fisher tersebut adalah legal. Kemudian pada sidang komisi bulan Juli,
Senator Marco Rubio dengan tepat menunjukkan bahwa China tidak memiliki jenis
perlindungan hukum seperti yang diterapkan negara-negara lain dalam mengelola
database DNA mereka, dan menambahkan, “Ini adalah perusahaan-perusahaan
yang sama di sini setiap hari di Washington, D.C., yang melobi agar kami tidak
45 https://www.ohchr.org/Documents/Publications/GuidingPrinciplesBusinessHR_EN.pdf
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
25
mengangkat masalah ini sehingga mereka bisa mendapatkan akses ke pasar RRC
yang berpenduduk 1,3 miliar jiwa ... Ini sakit.”
Semua pemerintahan yang prihatin dengan situasi yang semakin mengerikan di
Xinjiang layak bertanya kepada perusahaan asal negara mereka sebuah pertanyaan
kritis: apa yang Anda lakukan di Xinjiang mungkin tidak melanggar hukum, tetapi
apakah itu bisa dibenarkan?46
Google dan Facebook Membangun Alat Sensor untuk Pengawasan di China
“Perusahaan teknologi seharusnya menolak sensor RRC– bukan malah terlibat
di dalamnya,” kata Cynthia Wong, peneliti senior internet di Human Rights Watch.
“Para pemegang saham di Google dan Facebook yang peduli dengan hak asasi
manusia seharusnya mendesak perusahaan-perusahaan ini agar tidak berkompromi
dengan mereka untuk mendapatkan akses ke pasar RRC.”
Para pemangku kepentingan dan pemegang saham di Google dan Facebook
seharusnya mendesak kedua perusahaan ini untuk tidak menukar hak-hak pengguna
untuk mendapatkan akses ke pasar RRC, kata Human Rights Watch. Lebih lanjut,
Kongres Amerika Serikat, Parlemen Eropa, dan legislatif lain di seluruh dunia
seharusnya menyatakan keprihatinan terhadap perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat yang bekerja sama dengan sensor dan pengawasan di RRC, kata Human
Rights Watch.
Menurut laporan di The Intercept, Google mengembangkan aplikasi mesin
pencari untuk mematuhi persyaratan sensor ekspansif China. Sebelumnya, Facebook
telah mengembangkan versi layanan yang disensor untuk China, meski tak pernah
meluncurkannya.
Dokumen-dokumen bocor yang diperiksa oleh The Intercept menggambarkan
rencana perusahaan untuk meluncurkan versi yang disensor dari mesin pencarinya
sebagai aplikasi Android. Menurut laporan media, Google telah mendemonstrasikan
aplikasi tersebut di hadapan para pejabat China dan sedang menunggu persetujuan
untuk peluncuran. Proyek ini, yang diberi kode Dragonfly, telah dikembangkan sejak
musim semi 2017.
Lebih lanjut, menurut laporan The Intercept, pekerjaan di proyek dipercepat
setelah pertemuan antara CEO Google Sundar Pichai dan pejabat pemerintah
RRC pada Desember 2017, dan aplikasi ini dapat diluncurkan dalam enam hingga
sembilan bulan ke depan. Perusahaan itu juga sedang dalam pembicaraan dengan
mitra potensial RRC untuk menyediakan layanan cloud lain di dalam negeri,47
menurut laporan media terpisah.
46 https://www.hrw.org/news/2018/08/06/us-firms-sales-chinas-police 47 https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-03/google-is-said-to-be-in-china-cloud-talks-with-
tencent-others
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
26
Human Rights Watch (HRW) pun menghubungi Google untuk menanyakan
bagaimana perusahaan itu berniat untuk melindungi Hak Asasi Manusia saat mereka
berusaha memperluas produk dan layanannya di RRC. HRW belum menerima
tanggapan atas pertanyaan itu saat artikel ini dipublikasikan.
Rezim sensor ekstensif China membatasi berbagai ekspresi damai yang dianggap
oleh para pejabat sensitif secara politik, termasuk kritik terhadap kebijakan dan
informasi pemerintah yang tidak sesuai dengan narasi resmi. Sistem penyaringan
Internet, Great Firewall China, memblokir situs web di tingkat nasional, termasuk
layanan Google dan Facebook.
Undang-undang yang dirancang secara luas ini juga mensyaratkan layanan
media sosial, mesin pencari, dan situs web yang menjadi host konten pengguna untuk
menyensor informasi yang sensitif secara politik atas nama pemerintah. Pemerintah
mengeluarkan perintah sensor yang secara samar dan mengharapkan perusahaan
secara proaktif membatasi akses ke kategori informasi yang lebih luas.
“Google menarik diri dari RRC tahun 2010 karena suasana hak asasi manusia dan
kemananan sibernya terlalu berbahaya,” kata Wong. “Sejak itu, RRC memperbarui
tindakan kerasnya terhadap hak asasi manusia dan memberlakukan undang-undang
baru yang mengharuskan perusahaan teknologi wajib disensor dan diawasi, tetapi
perusahaan itu belum menjelaskan bagaimana saat ini kondisinya akan lebih baik.”
Menurut laporan media, aplikasi pencarian khusus Google China akan mematuhi
rezim sensor dengan secara otomatis mengidentifikasi dan menyaring situs yang
diblokir oleh Great Firewall. Situs yang difilter tidak akan ditampilkan sebagai
jawaban atas pencarian, dan perusahaan itu akan memberi tahu pengguna bahwa
beberapa hasil pencarian mungkin telah dihapus. Contoh situs web yang akan
disensor termasuk British Broadcasting Corporation (BBC) dan Wikipedia, menurut
dokumen yang dilihat oleh The Intercept.
Google bukan satu-satunya perusahaan internet asal Amerika Serikat yang
mempertimbangkan apakah akan melakukan sensor dalam mencari akses ke pasar
RRC. Pada bulan November 2016, New York Times melaporkan bahwa Facebook
sedang mengembangkan perangkat lunak “untuk menekan unggahan agar tidak
muncul di feed berita orang-orang di wilayah geografis tertentu,” secara khusus
“untuk membantu Facebook masuk ke China.”
Laporan itu menyatakan bahwa Facebook akan “menawarkan perangkat lunak
untuk memungkinkan pihak ketiga — dalam hal ini, kemungkinan besar perusahaan
mitra RRC—untuk memantau berbagai cerita dan topik populer,” dan akan
mengizinkan pihak ketiga itu untuk “memiliki kontrol penuh untuk memutuskan
apakah unggahan tersebut akan muncul di feed pengguna atau tidak.”
Masuknya Facebook secara resmi ke China akan meningkatkan banyak masalah
hak asasi manusia seperti yang dihadapi oleh Google. Facebook memegang informasi
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
27
sangat sensitif tentang jaringan dan afiliasi para penggunanya, di mana perusahaan
itu mungkin akan diminta pemerintah untuk mengungkapkannya. Aktivis online
kemungkinan menghadapi risiko karena kebijakan Facebook mengharuskan
pengguna untuk menggunakan “identitas asli”—nama yang biasa digunakan oleh
keluarga dan teman, yang mungkin juga ditemukan pada jenis dokumen identitas
tertentu.
Organisasi dan pejabat hak asasi manusia, termasuk Human Rights Watch dan
pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kebebasan berekspresi David
Kaye, telah sejak lama mengkritik kebijakan ini, karena dapat meredam ekspresi
daring dan juga kemungkinan akan ditegakkan secara tidak proporsional terhadap
mereka yang menggunakan nama samaran karena mereka berisiko mengalami
pembalasan.
Sebenarnya, pada tahun 2016, Human Rights Watch pernah menulis surat kepada
Facebook untuk menanyakan apakah sistem yang diusulkan akan dilanjutkan dan
bagaimana cara Facebook menghindari keterlibatan dengan sensor negara RRC, dan
juga bertanya bagaimana Facebook akan melindungi penggunanya dari pengawasan
dan pembalasan kasar atas aktivitas daring mereka jika Facebook meluncurkan versi
aplikasi mereka yang sesuai dengan hukum RRC.
Dalam sebuah tanggapan tertulis, Facebook menyatakan bahwa “saat ini kami
belum menyimpulkan bagaimana atau kapan akses ke Facebook dapat dipulihkan
untuk masyarakat di RRC, mengakui peran utama pemerintah RRC dalam membuat
keputusan ini” dan bahwa “karena kami terus mempelajari pasar ini, kami akan
mempertimbangkan hal-hal penting yang Anda angkat.”
Pada Mei 2017, Facebook secara diam-diam meluncurkan aplikasi berbagi
foto, Colorful Balloons, di China menggunakan perusahaan lokal tanpa koneksi
publik ke Facebook. Perusahaan itu juga gagal membuka sebuah pusat inovasi
dan anak perusahaan di China. Pada Agustus 2018, Human Rights Watch kembali
menghubungi Facebook menanyakan hal-hal terbaru terkait pendekatan yang
dilakukan perusahaan itu ke RRC. Namun, HRW belum menerima tanggapan pada
saat publikasi ini diterbitkan.
Dari tahun 2006 hingga 2010, Google menjalankan versi mesin pencarian
yang disensor di China. Pada Maret 2010, perusahaan itu mengumumkan akan
menghentikan penyensoran hasil pencarian di China, mengutip kekhawatiran
tentang sensor online, pengintaian, dan serangan siber yang diarahkan kepada akun
Gmail para aktivis hak asasi manusia RRC. Akibatnya, mesin pencari tetap tidak dapat
diakses oleh pengguna di China daratan, bersama dengan layanan Google lainnya.
Sejak 2010, pemerintah RRC hanya memperluas dan mengintensifkan tindakan
kerasnya terhadap Hak Asasi Manusia, terutama setelah Presiden Xi Jinping
berkuasa pada tahun 2013. Dalam beberapa tahun terakhir, pihak berwenang telah
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
28
memperketat persyaratan sensor, membatasi akses ke alat penangkal sensor, dan
memperkuat pengawasan ideologis atas semua media.
Pada 2017, pemerintah menutup puluhan akun media sosial, menyerukan
kepada perusahaan-perusahaan internet untuk “secara aktif mempromosikan nilai-
nilai inti sosialis,” dan mengesahkan sejumlah peraturan yang lebih ketat untuk
meminta pendaftar menggunakan nama asli, membuat orang-orang tidak bisa
melindungi identitas mereka jika terlibat dalam ujaran yang tidak disukai. Pihak
berwenang telah menempatkan lebih banyak pembela hak asasi manusia, termasuk
orang asing, muncul di persidangan, menjadikan mereka sasaran penyiksaan, dan
sering menahan mereka dalam isolasi selama berbulan-bulan.
Pemerintah secara signifikan memperluas upaya pengintaian massal dengan
menggunakan data besar dan teknologi berbasis kecerdasan buatan di seluruh
Republik Rakyat China (RRC), khususnya di wilayah Turkistan Timur (Xinjiang).
Pemerintah juga baru-baru ini memberlakukan undang-undang yang menerapkan
persyaratan baru bagi perusahaan untuk memfasilitasi pengawasan online.
Undang-Undang Cybersecurity atau Keamanan Siber mewajibkan perusahaan
teknologi tertentu untuk menahan, menyimpan, dan mengungkapkan data pengguna
di China serta memantau dan melaporkan “insiden keamanan jaringan.” Aturan
baru lainnya mengharuskan penyedia aplikasi untuk menyimpan catatan pengguna
selama 60 hari untuk mengurangi penyebaran “informasi ilegal.” Berdasarkan hukum
China, “insiden keamanan” dan “informasi ilegal” sering didefinisikan secara luas
untuk mencakup kritik damai terhadap pemerintah.
Intinya, serangan intensif pemerintah RRC terhadap hak asasi manusia—
kaitannya pemilihan waktu dan langkah Google dan Facebook—sangat mengganggu
dan mengecewakan, kata Human Rights Watch. Google, misalnya, sudah menyediakan
dua aplikasi di RRC, Google Translate dan aplikasi manajemen file Files Go, meski
toko aplikasinya sendiri, Google Play, tetap diblokir. Namun, menawarkan layanan
melalui aplikasi ponsel menimbulkan kekhawatiran hak asasi manusia tambahan
yang tidak hadir ketika Google pertama kali masuk ke China pada tahun 2006, ketika
ponsel pintar belum ada di mana-mana.
Aplikasi seluler dapat mengakses data sangat sensitif yang disimpan di ponsel,
termasuk daftar kontak, file, pesan, foto, pengenal perangkat, dan informasi lokasi,
dan juga dapat menyalakan kamera dan mikrofon ponsel jika diberi izin oleh
pengguna. Seringkali pengguna menyetujui akses tanpa sepenuhnya memahami
data pribadi yang akan tersedia. Data pribadi seperti itu akan lebih rentan terhadap
pemantauan dan pengumpulan oleh penyedia layanan seluler dan badan keamanan
publik di China.
“Perusahaan-perusahaan teknologi asal Amerika Serikat tidak boleh masuk
ke RRC sampai mereka dapat menunjukkan bahwa mereka tidak akan menjadi
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
29
penyambung tangan penindasan,” kata Wong. “Di lingkungan hak asasi manusia
saat ini, hal itu sepertinya tidak mungkin.”48
China Menganggap Islam sebagai Penyakit, Pemerintah Dunia Islam Hanya Diam
Masjid-masjid di kota Kashgar dan Urumqi kini kosong. Umat Islam di sana
menjadi target penahanan pemerintah China. Mereka diminta untuk meninggalkan
agamanya, tidak mengakui Tuhan, dan bergabung dengan Partai Komunis China.
Shalat, pendidikan agama, dan puasa Ramadhan dilarang. Teks-teks Arab juga
disingkirkan dari bangunan publik. Islamophobia pun digalakkan oleh otoritas partai
penguasa.
Muslim di Turkistan Timur (Xinjiang) diperlakukan sebagai musuh negara hanya
karena identitas keagamaan mereka, ditahan tanpa tuduhan dan bahkan seringkali
tanpa pengacara. Mereka dimasukkan dalam kamp reedukasi untuk belajar tentang
hukum dan aturan. Islam pun dianggap sebagai penyakit ideologi.49
Namun, meski perlakuan China terhadap Muslim Uighur begitu buruk, dunia
masih gagal untuk memberikan simpatinya. Dunia Islam masih tuli, tulis Business
Insider.50 Di saat media internasional mulai mempertanyakan perlakuan terhadap
Muslim di Xinjiang, para pemimpin dan pemerintah di seluruh dunia dengan hati-
hati menjauhi masalah ini. Keheningan ini sungguh mengejutkan.
Posisi China sebagai kekuatan ekonomi yang sangat besar, mampu menggunakan
pengaruh politik yang luar biasa terhadap pemerintah di seluruh dunia. Tidak ada
satu pun dari 49 negara mayoritas Muslim di seluruh dunia yang meminta kejelasan
atau mengutuk China atas eskalasi pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang.
Awal September 2018, para pemimpin dari lebih dari 40 negara—termasuk
negara dengan populasi Muslim yang cukup besar—melakukan perjalanan ke
Beijing untuk menghadiri Forum Kerjasama China-Afrika. Presiden Xi Jinping
menjanjikan dana sebesar $ 60 miliar untuk negara-negara tersebut dalam bentuk
inisiatif pembangunan dan berjanji untuk membatalkan utang negara-negara yang
kesulitan untuk membayarnya.
48 https://www.hrw.org/news/2018/08/07/china-us-tech-firms-risk-complicity-abuses 49 https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-ideological-viruses/chinas-campaign-repression-
against-xinjiangs50 https://www.businessinsider.sg/why-muslim-countries-arent-criticizing-china-uighur-repression-2018-
8/?r=US&IR=T
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
30
Gambar Pangeran Muhammad bin Salman bersama Presiden Xi jinping di
Hangzhou, China pada bulan September 2016
Tidak satu pun pemimpin Afrika yang hadir yang berani meminta penjelasan
dari tuan rumah tentang pelanggaran hak asasi yang mereka lakukan. "Perdagangan"
antara China dan Dunia Arab serta "pembangunan ekonomi" di Afrika jauh lebih
penting dibandingkan dengan penindasan terhadap saudara sesama Muslim dari
rakyat mereka.
Dengan menolak berbicara atas perlakuan terhadap Muslim Uighur, para
pemimpin Dunia Islam yang hadir dalam forum tersebut, sadar atau tidak, telah
terlibat dalam sebuah proyek rekayasa sosial. Ini adalah ketidakberdayaan dan
ketulian yang sama yang berujung pada pembunuhan dan pengusiran ratusan ribu
Muslim Rohingya dari negara Myanmar pada tahun 2017, dalam apa yang sekarang
secara terbuka disebut sebagai genosida.
Ini adalah ketidakberdayaan dan ketulian yang sama yang menyertai keputusan
India untuk melucuti kewarganegaraan sekitar empat juta orang—kebanyakan
Muslim—di negara bagian Assam. Mereka sekarang digambarkan sebagai penipu
dan orang asing. Ini juga adalah ketidakberdayaan dan ketulian yang sama yang
memungkinkan AS untuk terus melarang warga dari beberapa negara Muslim masuk
ke negaranya, tanpa banyak protes dari dunia Islam.
Penghinaan dan penindasan yang diderita oleh Muslim Uighur, dan keheningan
yang menyertainya, menekankan munculnya tatanan dunia baru. Jika kondisi seperti
itu tidak dilawan, kata para aktivis, kebijakan-kebijakan seperti ini dapat dengan
mudah direplikasi oleh negara-negara lain yang ingin menekan atau mengendalikan
minoritas.
Namun demikian, setidaknya dari Dunia Islam sudah mulai ada suara, meskipun
bukan dari kalangan pemerintah. Persatuan Ulama Muslim Internasional (IUMS),
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
31
misalnya, secara terbuka mengutuk Pemerintah China atas penganiayaan terhadap
Muslim Uighur di Timur Turkestan (Xinjiang).
IUMS (Al-Ittihad Al-'Alami li Ulama' Al-Muslimin ) adalah sebuah organisasi
Islam yang berdiri di London pada tahun 2004 oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dan
beberapa ulama level dunia. Berikut pernyataan lembaga ulama level dunia, yang
dipublikasikan di situs web IUMS pekan lalu (6/12):
“Sudah sering dilaporkan oleh media selama bertahun-tahun hingga sekarang
mengenai penindasan Muslim di China, terutama di Turkistan Timur.
Muslim di sana menghadapi penganiayaan dalam kebebasan mereka, keyakinan
agama serta kehidupan sosial mereka. Ada banyak upaya untuk memaksa mereka
meninggalkan agama mereka, di antara upaya dan bentuk penindasan ini:
• Mengumpulkan jutaan orang Uighur, dan menahan mereka di kamp
konsentrasi yang mereka sebut sebagai kamp ‘rehabilitasi’. Di sana mereka
mengalami berbagai jenis prosedur merendahkan yang bertujuan untuk
memisahkan mereka dari agama, budaya, dan afiliasi keagamaan mereka.
• Menindas mereka di masjid dan tempat ibadah mereka dan melarang mereka
untuk mengajar, mempraktekkan agama mereka dan bahkan membatasi
kebebasan mereka bepergian.
• Memaksa mereka untuk menjamu orang asing di rumah mereka untuk
memantau kehidupan sehari-hari mereka, dan melaporkan tindakan atau
perilaku apa pun yang menyerupai iman Islam atau menganut salah satu
ajarannya, seperti berdoa, berpuasa, mengenakan pakaian yang menyerupai
iman Islam, memiliki Al-Qur’an atau sajadah, atau bahkan tidak merokok
dan minum alkohol.
Secara keseluruhan, berita mengenai kebijakan Pemerintah China terhadap
umat Islam merupakan bentuk upaya menghapus keyakinan Islam. Dengan
demikian, Persatuan Ulama Muslim Internasional menunjukkan bahaya dari
kebijakan penindasan tersebut dan menolak untuk menerima mereka dan mengutuk
ketidakadilan yang terjadi pada Muslim di China dan memperingatkan konsekuensi
yang mungkin terjadi karena kebijakan tersebut.
Keputusan ini juga mengingatkan orang-orang tentang hubungan baik antara
Cina dan dunia Muslim (termasuk negara-negara Muslim dan warga negara) yang
merupakan hubungan yang harus didukung dan diperkuat.
Ini juga menuntut bahwa pemerintah China menghormati hak dan kebebasan
beragama dari minoritas Muslim di Tiongkok, yang meliputi:
1. Membebaskan tawanan Muslim yang ditahan di kamp konsentrasi.
2. Membiarkan kebebasan beragama bagi semua orang dan memungkinkan
mereka untuk mempraktekkan agama mereka secara bebas yang meliputi:
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
32
• Membangunmasjid
• Mengajarkanimanagamamereka
• Membiarkankegiatankeagamaansecaraberjamaah
• MemungkinkanMuslimuntukbepergian secarabebasdidalamnegeridan
internasional tanpa batasan
Persatuan Ulama Muslim Internasional juga menyerukan kepada organisasi
Kerja Sama Islam dan dan setiap negara Muslim untuk menanggapi masalah ini
dengan sangat serius, mengawasi fakta-fakta dan perkembangan yang terjadi di sana,
serta mengangkat masalah ini dengan pihak China serta Dewan Hak Asasi Manusia
yang terkait dengan PBB.
Di bagian akhir, pernyataan organisasi tersebut ditandatangani oleh ketuanya,
Prof. Dr. Ahmad Abdussalam Ar-Raisuni, dan Sekjen Prof. Dr. Ali Muhyiddin Al-
Qarrahdaghi.
Sementara itu, World Uyghur Congress (WUC) dalam laporannya menyatakan,
para tahanan dibui tanpa dakwaan serta dipaksa meneriakkan slogan "Hidup Partai
Komunis". Dan di wilayah Ningxia barat laut, ratusan muslim bentrok dengan aparat
karena berusaha mencegah pengrusakan masjid.
WUC atau Kongres Uighur Sedunia adalah sebuah organisasi kelompok Uighur
internasional dalam pengasingan yang ditujukan untuk "mewakili kepentingan
kolektif suku Uighur", baik di dalam maupun di luar Kawasan Otonomi Xinjiang.
Kongres Uighur Sedunia menyebut dirinya sendiri sebagai gerakan damai dan non-
kekerasan yang menentang apa yang mereka anggap penjajahan China atas Turkistan
Timur, dan mengadvokasikan penolakan totalitarianisme, intoleransi agama dan
terorisme sebagai alat kebijakan.
Kesimpulan
Apa yang dilakukan Pemerintah China hanyalah salah salah satu tindakan
represif yang menyasar umat Islam di balik tirai “ketidaktahuan” global selama
bertahun-tahun. Bahkan, setelah PBB mengangkat tirai itu bagi seluruh dunia sejak
bulan Agustus 2018, penindasan terus bergerak maju tanpa hambatan berarti.
Meningkatnya pelanggaran HAM terhadap Muslimin China layak mendapatkan
perhatian lebih serius bagi dunia secara umum maupun Dunia Islam khususnya.
Perumpamaan ikatan keyakinan di antara sesama Muslimin seperti perumpamaan
sebuah jasad; jika salah satu anggota sakit maka anggota tubuh lainnya terasa sakit.
Kemarahan global dan tekanan politik tampak sangat lambat untuk menyamai
kecepatan dan keganasan perang China melawan Islam dalam membersihkan dirinya
dari populasi yang dianggap bertentangan dengan identitas nasionalnya. Mengapa?
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
33
Jawabannya dapat dilacak pada tekanan ekonomi dan geopolitik yang berlaku,
yaitu negara-negara tampak takut akan goncangan ekonomi yang akan mereka terima
jika mereka menantang atau memberi sanksi kepada China karena pembersihan
etnisnya terhadap orang-orang Uighur. China adalah negara adikuasa ekonomi,
dan negara-negara di seluruh dunia sangat bergantung kepadanya terkait impor,
perdagangan, dan banyak lagi.
Faktor-faktor ekonomi menghalangi intervensi kemanusiaan. “Perang global
melawan teror” yang diinisiasi Amerika juga membuka pintu bagi Beijing—setelah
9/11—untuk dengan keras melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur, di balik
kedok perang melawan terorisme. Itu adalah sebuah kampanye yang dipelopori oleh
pemerintahan Bush dan Amerika Serikat, yang mendorong negara-negara lain—
termasuk China—untuk bergabung dan menindak populasi Muslim mereka.
Jadi, perang melawan teror kini menjadi dalih untuk memerangi dan membantai
umat Islam. Myanmar menggunakannya untuk membantai Muslim Rohingya, Prancis
menggunakannya untuk melarang simbol-simbol Islam dan mereformasinya, Assad
di Suriah juga menjadikannya dalih untuk membantai rakyatnya.
Pertanyaan yang mengemuka lebih lanjut adalah seberapa relevan konsep
negara-bangsa jika banyak pemerintahan terkesan “menutup mulut” atas persoalan
keamanan dengan pertimbangan kepentingan nasional masing-masing. Apakah
kepentingan bangsa Muslim dengan jutaan jiwa, yang tidak memiliki pemerintahan
sendiri, akan dikorbankan dan tidak ada yang mampu berkutik, mengingat China
adalah salah satu dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memeiliki hak veto?
Jika jawabannya ‘ya’, tidaklah mengherankan jika semakin banyak yang menggugat
“Tata Dunia Baru” yang direpresentasikan dengan keberadaan PBB dan berbagai
lembaga keuangan internasional.
Daftar Pustaka
https://www.nytimes.com/2018/09/08/world/asia/china-uighur-muslim-
detention-camp.html
https://mp.weixin.qq.com/s/f56FNtgm7AcjxqqpF9ganw
https://baijiahao.baidu.com/s?id=1564192713499485&wfr=spider&for=pc
https://www.nytimes.com/2018/10/13/world/asia/china-muslim-detainment-
xinjang-camps.html
https://www.academia.edu/35726562/Chen_Quanguo_The_Strongman_Behind_
Beijings_Securitization_Strategy_in_Tibet_and_Xinjiang
https://www.cecc.gov/media-center/press-releases/chairs-lead-bipartisan-letter-
urging-administration-to-sanction-chinese
SYAMINAEdisi 13 / Desember 2018
34
http://politics.people.com.cn/n/2014/0504/c1024-24968469.html
https://www.nytimes.com/2014/05/01/world/asia/blast-hits-railway-station-in-
restive-western-china.html
http://news.mod.gov.cn/headlines/2014-05/31/content_4513138.htm
http://www.xinhuanet.com/photo/2014-05/29/c_126564529.htm
http://news.hexun.com/2014-11-21/170645504.html
http://alt.xjkunlun.cn/xw/jnyw/2015/4675333.htm
https://scholar.harvard.edu/files/elliott/files/elliott_tcj_case_of_the_missing_
indigene__1.pdf
http://www.aisixiang.com/data/36593.html
https://twitter.com/i/moments/1034983653267230720
http://politics.people.com.cn/n1/2016/0603/c1001-28408115.html
https://news.sina.com.cn/c/nd/2016-09-20/doc-ifxvyqvy6809128.shtml
http://inews.ifeng.com/mip/50006760/news.shtml
http://lib.ylsy.edu.cn/bggg/20170330/165215.html
http://www.xinjiangnet.com.cn/2018/0203/2044552.shtml
https://www.academia.edu/37353916/NEW_Sept_2018_Thoroughly_Reforming_
Them_Towards_a_Healthy_Heart_Attitude_-_Chinas_Political_Re-Education_
Campaign_in_Xinjiang
http://www.cssn.cn/zjx/zjx_zjsj/201412/t20141224_1454905.shtml
http://wemedia.ifeng.com/70912224/wemedia.shtml
https://www.hrw.org/news/2017/09/10/china-free-xinjiang-political-education-
detainees
https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-ideological-viruses/chinas-
campaign-repression-against-xinjiangs
https://www.hrw.org/news/2017/01/20/china-poised-repeat-tibet-mistakes
https://www.nchrd.org/2018/08/china-massive-numbers-of-uyghurs-other-
ethnic-minorities-forced-into-re-education-programs/
https://www.hrw.org/news/2016/11/21/china-passports-arbitrarily-recalled-
xinjiang
https://www.hrw.org/news/2018/09/09/china-massive-crackdown-muslim-region
https://www.hrw.org/news/2018/09/10/interview-chinas-crackdown-turkic-
muslims
https://www.ohchr.org/Documents/Publications/GuidingPrinciplesBusinessHR_
EN.pdf
SYAMINA Edisi 13 / Desember 2018
35
https://www.hrw.org/news/2018/08/06/us-firms-sales-chinas-police
https://www.bloomberg.com/news/articles/2018-08-03/google-is-said-to-be-in-
china-cloud-talks-with-tencent-others
https://www.hrw.org/news/2018/08/07/china-us-tech-firms-risk-complicity-
abuses
https://www.rfa.org/english/news/uyghur/detained-05232014165418.html
https://www.reuters.com/article/us-china-xi-security/chinas-president-warns-
against-growing-threats-to-national-security-idUSBREA3P0DW20140426
https://in.reuters.com/article/china-xinjiang/china-bans-beards-veils-from-
xinjiang-citys-buses-in-security-bid-idINKBN0G609U20140806
https://www.alaraby.co.uk/english/blog/2017/5/12/after-name-ban-china-arrests-
muslim-for-tweeting-quran
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-ban-islamic-baby-
names-muslim-xinjiang-province-uyghurs-burqa-islam-jihad-human-
rights-a7700646.html
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/islam-muslims-in-china-law-
xinjiang-rules-education-children-parents-banned-luring-uighur-a7365351.
html
https://learningenglish.voanews.com/a/muslims-in-western-china-told-to-turn-
in-qurans-relegious-items/4047077.html
https://www.bbc.com/news/world-asia-china-39460538
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-re-education-muslims-
ramadan-xinjiang-eat-pork-alcohol-communist-xi-jinping-a8357966.html
http://nymag.com/intelligencer/2018/08/china-muslims-camps-uighur-
communist-party-islam-mental-illness.html
https://www.hrw.org/report/2018/09/09/eradicating-ideological-viruses/chinas-
campaign-repression-against-xinjiangs
https://www.businessinsider.sg/why-muslim-countries-arent-criticizing-china-
uighur-repression-2018-8/?r=US&IR=T