mitos radikalisasi - syamina.orgsyamina.org/uploads/syamina_lapsus_xix_05062014.pdf · lain, sangat...

28
K. Mustarom RADIKALISASI MITOS

Upload: ngodat

Post on 16-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

K. Mustarom

RADIKALISASIM I T O S

MITOS RADIKALISASI

K. Mustarom

Laporan Khusus

Edisi XIX / Mei-Juni 2015

ABOUT US Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi

kami, kirimkan e-mail ke: [email protected].

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

3

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

DAFTAR ISI

Daftar Isi ................................................................................................................................................................................... 3

Executive Summary ............................................................................................................................................................. 4

Pendahuluan ........................................................................................................................................................................... 8

Definisi Radikalisasi ............................................................................................................................................................ 10

Radikalisasi dan Konteksnya .......................................................................................................................................... 12

Sejarah Konsep Radikalisasi ........................................................................................................................................... 14

Narasi Resmi Pemerintah tentang Penyebab Terorisme .................................................................................. 17

Faktor yang Menyebabkan Terorisme ....................................................................................................................... 20

Bukti-Bukti Yang Membantah Narasi Resmi ........................................................................................................... 22

Mitos Radikalisasi ................................................................................................................................................................ 26

Penutup ..................................................................................................................................................................................... 27

4

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

EXECUTIVE SUMMARY

Sejak tahun 2004 istilah radikalisasi telah

menjadi pusat studi terorisme dan pembuatan

kebijakan kontraterorisme. Konsep radikalisasi

telah menjadi simbol utama perang melawan

terror dan memberikan lensa baru untuk

memandang umat Islam. Konsep radikalisasi

tersebut berujung pada pencitraan umat Islam

sebagai komunitas tersangka, pelanggaran hak

asasi manusia, dan kegagalan untuk memahami

konflik politik yang melibatkan pemerintah.

Para pejabat keamanan dan pengambil

kebijakan di AS telah mengembangkan teori

simplisitik tentang bagaimana Muslim

teradikalisasi. Teori tersebut menjelaskan bahwa

jalan menuju terorisme memiliki lintasan yang

pasti dan setiap tahapan proses memiliki tanda

yang spesifik dan bisa diidentifikasi. Mereka

menekankan bahwa dengan melakukan

pengawasan secara ketat terhadap komunitas

yang rawan teradikalisasi, penegak hukum bisa

menandai calon teroris dan mencegah serangan

di masa depan. Karena kebanyakan tanda yang

dijadikan sebagai indikator cenderung identik

dengan perilaku keagamaan umat Islam, teori

tersebut menjustifikasi kebijakan monitoring

yang dilakukan atas komunitas umat Islam,

termasuk di tempat peribadatan mereka. Teori

tersebut dicirikan oleh pandangan bahwa

terdapat “religious conveyor belt” yang

membawa seseorang dari keluhan atau krisis

personal kepada religiusitas kemudian kepada

penerimaan keyakinan radikal dan kemudian

kepada terorisme, di mana dalam setiap tahapan

terdapat tanda yang bisa diidentifikasi oleh

penegak hukum. Kesimpulannya, teori tersebut

memandang bahwa kalau seseorang memiliki

ideologi radikal secara otomatis dan mekanik

mereka akan menjadi teroris.

Radikalisasi sendiri merupakan kata yang

cukup kontroversial. Tidak ada definisi

radikalisasi yang disepakati. Hingga awal tahun

2000-an, sulit untuk menemukan referensi

mengenai radikalisasi dalam literatur-literatur

akademis. Melonjaknya istilah tersebut nampak

sangat terkait dengan terjadinya serangan 11

September 2001. Banyak pihak yang

menggunakan istilah tersebut secara sangat

meluas hingga mendefinisikan radikalisasi

sebagai proses keterlibatan seseorang pada ide

yang berada di luar spektrum agama atau

pandangan politik yang diterima secara umum.

Pada hakikatnya, tidak ada yang salah dengan

menjadi radikal atau memiliki keyakinan radikal.

Banyak contoh sejarah dari gerakan yang

dipandang radikal pada awal kemunculannya

yang kemudian memberikan perubahan sosial

yang positif, seperti mereka yang terlibat dalam

gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat tahun

1960-an.

Namun kini, pemahaman mengenai

radikalisme telah diganti. Radikalisme kini lebih

dipahami sebagai ‘sebuah ideologi yang memicu

“ekstrimisme” melawan “moderat”.

5

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Konseptualisasi ini sangat terkait dengan

program pemerintah untuk melakukan kontra

radikalisasi. Pikiran simplisitik mengenai

radikalisasi inilah yang memungkinkan

dilakukannya intervensi melawan radikalisme

yang secara subjektif dibangun dengan sebuah

citra “buruk”.

Sebagaimana istilah terorisme, istilah

radikalisasi juga dipandang berbau politik, dan

penggunaannya—terutama oleh pemerintah—

diyakini bertujuan untuk melayani agenda

politik. Bagi kebanyakan orang, radikalisasi,

sebagaimana terorisme, tergantung pada mata

yang melihat: ‘radikal bagi seseorang adalah

pejuang kebebasan bagi pihak yang lain’.

Radikalisasi secara inheren sangat bergantung

pada konteks, dan maknanya akan selalu

diperdebatkan.

Kebijakan mengenai kontraterorisme

sangat terkait dengan pemahaman mengenai apa

yang menyebabkan terjadinya terorisme.

Pemahaman yang akurat mengenai faktor yang

menyebabkan munculnya terorisme sangat

penting untuk mengembangkan respon yang

holistik. Selama ini penyebab terorisme

seringkali tidak dianalisis secara sistematis, tapi

lebih sering dipahami melalui slogan yang

mengarah kepada “pikiran jahat” atau “ideologi

jahat” dari pelaku.

Penggunaan istilah ‘radikalisasi’ dan segala

yang berhubungan dengannya adalah produk

dari periode pasca 11 September. Sebelumnya,

para ahli terorisme tidak menggunakan konsep

tersebut dalam usaha mereka mengembangkan

model penyebab terjadinya terorisme. Misalnya,

studi akademik tentang penyebab terorisme

yang paling berpengaruh sebelum serangan 11

September adalah makalah dari Martha

Crenshaw yang berjudul “The cause of

terrorism”. Dalam makalah tersebut dia

menjelaskan tentang tiga faktor yang

menyebabkan terorisme, yaitu:

- Motivasi individu dan sistem kepercayaan

- Pembuatan keputusan dan strategi dalam

sebuah gerakan teroris

- Konteks politik dan sosial yang lebih luas

di mana gerakan teroris berinteraksi

Hari ini, model radikalisasi

mengesampingkan faktor kedua dan ketiga dan

memfokuskan seluruh perhatiannya pada level

individu.

Faktor-faktor yang menyebabkan

seseorang untuk melakukan tindakan terorisme

sangatlah kompleks dan tidak dapat dikurangi

hanya pada sebatas berpegang pada seperangkat

nilai-nilai yang dianggap radikal. Tidak banyak

bukti untuk mendukung pandangan bahwa

hanya ada penyebab tunggal terorisme.

Menerima analisis ini memiliki implikasi

signifikan bagi pengembangan kebijakan untuk

mengurangi risiko terorisme.

Banyak ilmuwan yang saat ini skeptis

dengan konsep radikalisasi dan implikasinya

yang menyatakan bahwa ide radikal akan

menghasilkan kekerasan dan terorisme. Marc

Sageman, misalnya. Mantan pejabat CIA tersebut

6

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

mengubah pendapatnya yang sebelumnya

menyatakan bahwa ideologi agama adalah faktor

yang signifikan dalam menyebabkan terorisme.

Pada tahun 2013, dia berpendapat bahwa

pemerintah harus “berhenti dari tercuci otaknya

oleh pikiran ‘radikalisasi’ ini. Tidak ada hal

semacam itu. Beberapa pemuda saat mereka

mendapatkan pandangan ekstrim, kebanyakan

dari mereka hanya tumbuh dengannya. Jangan

bereaksi secara berlebihan, karena kalian hanya

akan menciptakan masalah yang lebih buruk.”

Dalam semua kasus, memahami akar

kekerasan perlu memperhitungkan cara gerakan

perlawanan memutuskan untuk beralih ke

kekerasan dalam menghadapi kekerasan negara:

bagi kelompok anarkis, penindasan dengan

kekerasan yang dilakukan oleh Komune Paris

pada tahun 1871, di mana puluhan ribu orang

tewas, yang memicu beralihnya mereka untuk

menggunakan bahan peledak dan pembunuhan

di seluruh Eropa; bagi kelompok Provisional,

pemicunya adalah penindasan yang dilakukan

tentara Inggris terhadap gerakan hak-hak sipil

nasionalis di Irlandia Utara; bagi pembom di

London 7 Juli 2005, pemicunya adalah gambar

kekerasan massal dan penyiksaan di Irak.

Demikian juga, aliran pejuang asing ke Suriah

kemungkinan akan dihubungkan setidaknya

dengan gambar penindasan dan pembantaian

oleh rezim Bashar Assad terhadap rakyat Suriah.

Karena itu, menurut Prof. Arun Kundnani

dari New York University, perlu untuk menguji

bagaimana negara dan gerakan sosial secara

mutual saling mengganggap diri mereka sebagai

kombatan dalam sebuah konflik—dalam hal ini

antara “Barat” dan “Islam radikal”—dan meneliti

dalam keadaan apa masing-masing pihak

memilih untuk mengadopsi taktik kekerasan,

dalam merespon kondisi politik yang mereka

berada di dalamnya. Interaksi antara berbagai

aktor negara dan non-negara inilah yang

menghasilkan sebuah situasi yang mana

kekerasan menjadi bisa diterima. Aspek

relasional ini membuat kita perlu melakukan

investigasi tentang bagaimana negara Barat dan

sekutunya “meradikalisasi” gerakan politik

Islam, yang membuat keduanya menjadi ingin

menggunakan kekerasan dalam konteks yang

lebih luas. Dengan menganalisis interaksi antara

berbagai pihak yang berbeda yang terlibat dalam

konflik dan bagaimana masing-masing pihak

membangun interpretasi atas tindakan pihak

lain, sangat mungkin untuk secara koheren

menjelaskan tentang kekerasan dalam dekade

terakhir ini.

Cara berpikir seperti ini akan membawa

debat mengenai radikalisasi saat ini kembali ke

konsep awal mengenai penyebab terorisme,

sebagaimana yang dijelaskan oleh Martha

Crenshaw, yang menganggap konteks politik dan

pembuatan keputusan organisasi sama

pentingnya dengan motivasi dan ideologi

individu.

Penelitian tentang "terorisme baru"

cenderung mengaburkan hubungan ini dengan

asumsi bahwa sejak tahun 1990-an, ideologi

agama telah mulai secara langsung

menyebabkan terorisme, tanpa pengaruh dari

7

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

konteks politik dan sosial. Tapi sebagaimana

yang diungkapkan oleh pakar terorisme Jeroen

Gunning dan Richard Jackson, perilaku orang-

orang yang diberi label "teroris agama" sering

kali tidak dapat dibedakan dari rekan-rekan

sekuler mereka. Mereka melakukan aksi

kekerasan yang sama. Lalu, mengapa yang

dijadikan akar penyebab selalu ideologi agama?

Memiliki keyakinan “Islam ekstrim” tidaklah

berhubungan dengan keterlibatan dalam

terorisme. Ideologi agama tidaklah secara

mekanis menyebabkan terorisme. Dalam hal

penyebab terjadinya terorisme, ada satu narasi

yang selama ini ditinggalkan oleh AS dan para

analisisnya, yaitu kebijakan luar negeri AS yang

membuat aksi terorisme lebih mungkin terjadi.

Selama ini kita dihantui oleh mentalitas

‘bersama kita atau melawan kita’, oleh cerita

‘ekstrimis’ dan ‘moderat’, ‘gariskeras’ dan

‘mereka yang bisa kita ajak kerjasama’.

Pembagian secara simplisitik ini mengaburkan

realita yang sebenarnya.1

Lalu, mengapa standar prosedur di media

selalu fokus pada agama teroris, bukan keluhan

politik, dalam setiap analisis serangan terror? CJ

Werlemen menjawab bahwa itu semua dilakukan

karena “mudah dan menentramkan hati.

Mencirikan pelaku sebagai seseorang yang

fanatik dalam beragama memberi kita narasi

yang menentramkan—yaitu bahwa kekerasan

mereka berakar dari ekstrimisme dan tidak

1 Jeremy Seabrook, Myths of radicalization, Desember 2014,

http://newint.org/columns/essays/2014/12/01/myths-of-radicalization/

memiliki konteks politik yang lebih luas yang

perlu investigasi atau pemeriksaan lebih lanjut.”

Radikalisasi harus dipahami sebagai sebuah

proses yang bersifat relational dan constructed.

Dengan demikian, ia adalah sebuah proses yang

tidak hanya melibatkan keyakinan dan aksi dari

kelompok perlawanan namun juga negara yang

terlibat konflik dengannya. Kekerasan adalah

hasil dari interaksi antara dua pihak dan persepsi

yang mereka bangun atas tindakan satu sama

lain, tidak sekadar produk dari ideologi salah

satu pihak. Apakah sebuah gerakan sosial

melompat menggunakan bentuk kekerasan

tertentu atau tidak, tidak dapat direduksi ke

dalam pertanyaan tentang muatan ideologi

mereka.

Radikal dan radikalisasi dapat mengambil

banyak bentuk. Ada beberapa bentuk radikal

yang kita anggap menjijikkan dan regresif. Tapi,

terkadang radikalisme muncul untuk mengatasi

masalah nyata yang bercokol di masyarakat.

Putusan sejarah tidak selalu selaras dengan

pandangan umum saat ini. Terkadang,

masyarakat membutuhkan perubahan radikal,

tapi advokasi untuk perubahan tersebut tidak

berarti sama dengan advokasi untuk kekerasan

atau terorisme.

8

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Untuk bisa memahaminya, jika aku mengambil sesuatu yang aku yakini, kemudian ditambah dengan

temperamen yang aku miliki, ditambah seratus persen dedikasi yang aku berikan untuk apapun yang

aku yakini, itu semua adalah bahan baku yang membuatku hampir tidak mungkin untuk mati tua—Aku

tahu bahwa masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang membantu perubahan di masyarakat

tersebut. Dan jika aku bisa mati dengan membawa cahaya, dengan mengekspos kebenaran penuh

makna yang akan membantu menghancurkan kanker rasisme yang sangat jahat di Amerika, semua itu

karena Allah. Kalau pun ada kesalahan itu hanya dari diriku pribadi."

Malcolm-X

“Terkadang, masyarakat membutuhkan perubahan radikal, tapi advokasi untuk perubahan tersebut

tidak berarti sama dengan advokasi untuk kekerasan atau terorisme.”

J.M. Berger

Pendahuluan

Sejak tahun 2004 istilah radikalisasi telah

menjadi pusat studi terorisme dan pembuatan

kebijakan kontraterorisme. Konsep radikalisasi

telah menjadi simbol utama perang melawan

terror dan memberikan lensa baru untuk

memandang umat Islam. Pembuatan kebijakan

untuk melawan radikalisasi diiringi dengan

dengan tumbuhnya industri penasihat dan analis

yang didanai oleh pemerintah dan komunitas

yang mengklaim bahwa pengetahuan mereka

mengenai proses radikalisasi—baik secara

teologis maupun psikologis—membuat mereka

berani untuk mengajukan ide intervensi terhadap

komunitas umat Islam. Konsep radikalisasi

tersebut berujung pada pencitraan umat Islam

sebagai komunitas tersangka, pelanggaran hak

asasi manusia, dan kegagalan untuk memahami

konflik politik yang melibatkan pemerintah.

Bagaimana kita memahami sebuah era

dimana militansi dibingkai oleh para pembuat

kebijakan sebagai konsekuensi dari kerapuhan

psikologis dan sosial, dibanding sebagai sebuah

pilihan politik? Bagaimana kita menanggapi

reduksi wacana kontraterorisme yang

mencongkel aksi politik dan ideologi dari konteks

situasinya dalam kaitannya dengan ketidakadilan

dan kemarahan? Dan apa kira-kira pikiran para

pembuat kebijakan kontraterorisme yang

mencurahkan sebagian besar sumber dayanya

terhadap komunitas yang diidentifikasi bahwa

mereka adalah tersangka dan/atau rapuh secara

agama dan ras?

Kita hidup di era ‘radikalisasi’, bukan sebagai

sebuah proses yang secara aktual benar-benar

ada, tapi lebih karena wacana kebijakan, media,

dan akademik yang mencakup tren yang

dijelaskan di atas. Sejak tahun 2004, radikalisasi

tiba-tiba muncul dalam agenda politik dunia.

Agenda kontra radikalisasi kini nampak begitu

mengkubu. Setiap serangan teror seketika

disambut dengan investigasi media mengenai

9

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

radikalisasi pelaku. Tidak penting apakah

seseorang mengalami proses radikalisasi atau

tidak, karena negara, media, dan orang-orang

yang mengklaim sebagai pakar terorisme telah

memutuskan bahwa radikalisasi selalu menjadi

awal terjadinya kekerasan. Sulit untuk

menjelaskan kekerasan dalam bentuk lain,

karena pemilik hegemoni sosial politik telah

memutuskan bahwa kita hidup di dunia di mana

kemarahan, kemiskinan, dan ketidakadilan tidak

penting lagi—dan justru dikaburkan oleh

penjelasan mengenai kekerasan yang berfokus

pada ideologi.

Memerangi radikalisasi kini menjadi tujuan

spesifik dari kebijakan keamanan nasional AS

dan dicoba diekspor ke sekutu mereka.

Radikalisasi adalah proses yang kompleks.

Namun cara pandang yang cenderung

simplisistik tentang bagaimana seseorang

menjadi teroris telah mendapatkan legitimasi

tanpa jaminan di lingkaran kontraterorisme. Cara

pandang ini kemudian ditindaklanjuti dengan

kebijakan kontraradikalisasi yang sangat

bergantung pada bukti intelijen yang tidak

berbasis ancaman—sebuah taktik, yang menurut

penelitian Prof. Arun Kundnan, cenderung tidak

efektif dan kontraproduktif.

Para pejabat keamanan dan pengambil

kebijakan di AS telah mengembangkan teori

simplisitik tentang bagaimana Muslim

teradikalisasi. Teori tersebut menjelaskan bahwa

jalan menuju terorisme memiliki lintasan yang

pasti dan setiap tahapan proses memiliki tanda

yang spesifik dan bisa diidentifikasi. Mereka

menekankan bahwa dengan melakukan

pengawasan secara ketat terhadap komunitas

yang rawan teradikalisasi, penegak hukum bisa

menandai calon teroris dan mencegah serangan

di masa depan. Karena kebanyakan tanda yang

dijadikan sebagai indikator cenderung identik

dengan perilaku keagamaan umat Islam, teori

tersebut menjustifikasi kebijakan monitoring

yang dilakukan atas komunitas umat Islam,

termasuk di tempat peribadatan mereka. Teori

tersebut dicirikan oleh pandangan bahwa

terdapat “religious conveyor belt” yang

membawa seseorang dari keluhan atau krisis

personal kepada religiusitas kemudian kepada

penerimaan keyakinan radikal dan kemudian

kepada terorisme, di mana dalam setiap tahapan

terdapat tanda yang bisa diidentifikasi oleh

penegak hukum. Pengaruh teori “religious

conveyor belt” sangat terasa di FBI dan badan-

badan pemerintah lokal AS. FBI menggunakan

otoritasnya untuk mengumpulkan bukti intelijen

dengan melakukan penyusupan ke masjid-

masjid.

Merasa ada yang perlu diluruskan mengenai

konsep tersebut, beberapa ilmuwan dan peneliti

pun mencoba untuk membantah retorika para

pejabat kontraterorisme yang cenderung

simplisistis dan reduksionis.

10

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Definisi Radikalisasi

Tidak ada definisi radikalisasi yang

disepakati. Banyak pihak yang menggunakan

istilah tersebut secara sangat meluas hingga

mendefinisikan radikalisasi sebagai proses

keterlibatan seseorang pada ide yang berada di

luar spektrum agama atau pandangan politik

yang diterima secara umum. Mereka

menggunakannya, misalnya, pada Muslim yang

percaya pada penegakan kembali kekhilafahan.

Istilah radikal dulu disematkan kepada Marthin

Luther King yang menyuarakan tentang

persamaan ras. Kini, pasca 911, istilah tersebut

digunakan secara sempit pada definisi proses

yang membuat seseorang—terutama Muslim—

menggunakan kekerasan sebagai sarana untuk

mencapai perubahan politik atau sosial.2

Radikalisasi (radicalisation) berakar dari

kata “radical”, yang menurut Oxford English

Dictionary didefinisikan sebagai “menganjurkan

reformasi politik atau sosial secara penuh;

mewakili atau mendukung sebuah bagian

ekstrim dari sebuah kelompok”. 3 Istilah

radicalisation juga memiliki hubungan dengan

radicalism, yang bisa diinterpretasikan sebagai

ekspresi pikiran politik yang sah, dan

didefinisikan sebagai ‘perilaku, prinsip, atau

praktik yang secara politik atau sosial radikal’.4

Pada hakikatnya, tidak ada yang salah dengan

menjadi radikal atau memiliki keyakinan radikal.

2 http://www.salon.com/2011/03/12/radicalization_explained 3 OED Online 'Radical'. Tersedia secara online di

www.oed.com (diakses 19 Juni 2015) 4 OED Online 'Radicalism'. Tersedia secara online di www.oed.com (diakses 19 Juni 2015)

Banyak contoh sejarah dari gerakan yang

dipandang radikal pada awal kemunculannya

yang kemudian memberikan perubahan sosial

yang positif, seperti mereka yang terlibat dalam

gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat tahun

1960-an.5

Namun kini, pemahaman mengenai

radicalism sebagaimana yang dijelaskan di atas,

telah diganti. Radicalism kini lebih dipahami

sebagai ‘sebuah ideologi yang memicu

“ekstrimisme” melawan “moderat”.

Konseptualisasi ini sangat terkait dengan

program pemerintah untuk melakukan kontra

radikalisasi. Dari perspektif ini, gagasan

mengenai radikalisasi telah memberikan basis

bagi agenda politik baru berdasarkan ‘bagaimana

cara terbaik untuk melawan apa yang

diinterpretasikan, atau dibangun secara sosial,

sebagai tantangan problematik bagi tatanan

negara dan masyarakat yang ada saat ini.’ 6

Pikiran simplisitik mengenai radikalisasi inilah

yang memungkinkan dilakukannya intervensi

melawan radikalisme yang secara subjektif dan

normatif dibangun dengan sebuah citra “buruk”.

Istilah radikalisasi bukanlah istilah yang

baru. Istilah tersebut telah digunakan dalam

berbagai konteks politik sepanjang sejarah.

Wacana radikalisasi kontemporer kembali

menjadi pembicaraan hangat pasca peristiwa 11

September. Sejak istilah ‘radikalisasi’ masuk ke

dalam kamus umum, beberapa akademisi telah

5 http://edition.cnn.com/2008/US/03/31/mlk.fbi.conspiracy/

6 J. Githen-Mazer, "The Rhetoric and Reality: Radicalization

and Political Discourse", International Political Science Review (2012), h. 556

11

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

mencurahkan sepenuh energinya untuk

membuktikan bahwa fenomena tersebut tidak

ada. Hingga awal tahun 2000-an, sulit untuk

menemukan referensi mengenai radikalisasi

dalam literatur-literatur akademis. Melonjaknya

istilah tersebut nampak sangat terkait dengan

terjadinya serangan 11 September 2001. 7

Andrew Hoskins dan Ben O’Loughlin, misalnya,

mengklaim bahwa “radikalisasi adalah sebuah

mitos yang dipromosikan oleh media dan badan

keamanan untuk tujuan agenda-agenda berita …

[dan melegitimasi] respon-respon kebijakan”.8

Frank Suredi memberikan pandangan serupa. Dia

berpendapat bahwa pernyataan tentang

radikalisasi dan respon pemerintah atasnya

“selalu memiliki karakter yang seperti fantasi”,

dan mereka didesain untuk membuat pemuda

Muslim yang teralienasi tampak seperti “virus

psikologis”.9

Namun sekelompok akademisi lain

mempunyai pendapat yang lain. Mereka

menganggap bahwa radikalisasi bukanlah sebuah

mitos, namun ia memiliki makna yang ambigu,

dan seluruh kontroversi dan perdebatan yang

selama ini terjadi terhubung pada ambiguitas

tersebut. Kesalahan prinsip konseptual dalam

ambiguitas ini terjadi antara gagasan radikalisasi

yang menekankan pada pikiran ekstrim

7 Peter R. Neumann, “Introduction”, dalam Peter R. Neumann and Jacob Stoil, eds, “Perspectives on radicalisation and political violence” (London: International Centre for the Study of Radicalisation, 2008), h. 3. 8 Andrew Hoskins and Ben O’Loughlin, ‘Media and the myth of radicalization’, Media, War and Conflict 2: 2, 2009, h. 107. 9 Frank Furedi, “Muslim alienation in the UK? Blame the

Israelis!”, Spiked, 9 Februari 2009, http://www.spikedonline.com/index.php?/site/article/6187/

(radikalisasi kognitif) dan gagasan yang

menekankan pada perilaku ekstrim (radikalisasi

perilaku). Ambiguitas ini menjelaskan tentang

perbedaan yang ada dalam berbagai definisi

radikalisasi, memicu lahirnya perdebatan

akademisi, dan memberikan latar belakang bagi

berbagai pendekatan kebijakan yang berbeda.

Tidak jelasnya batas antara radikalisasi yang

disertai dengan kekerasan dan radikalisasi

sebagai tanda awal dari kekerasan menunjukkan

kurang kuatnya pondasi dari kebijakan

kontraterorisme saat ini. Sebagaimana konsep

mengenai terorisme, radikalisasi juga merupakan

konsep yang secara esensial masih

diperselisihkan mengenai makna sebenarnya,

sehingga tidak ada definisi obyektif atau netral

yang bisa dihasilkan.

Banyak peneliti yang melakukan identifikasi

proses radikalisasi sepenuhnya pada komunitas

umat Islam dibanding komunitas lainnya. Salah

satu pakar gerakan sosialis, Quintan Wiktorowicz

bahkan membawa gambaran neo-kolonial

tersebut lebih jauh lagi dalam identifikasinya

mengenai proses yang menyebabkan terjadinya

radikalisasi: 1) pembukaan pikiran (cognitive

opening), seperti kejutan moral atas kehidupan

Barat yang mereka hadapi yang kemudian

menciptakan iklim yang kondusif bagi

penerimaan wacana ekstrimis; 2) proses

pencarian agama, sebagai respon atas

ketidakpuasan, yang membawa mereka kepada

gerakan Islam yang mampu memberikan

penjelasan mengenai pengalaman ketidakpuasan

dan isolasi; 3) peran pemimpin kharismatik yang

12

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

mampu meyakinkan para pencari agama tersebut

akan otentisitas pesan-pesan gerakan tersebut.10

Proses radikalisasi tersebut kemudian

digunakan sebagai alat penjelas dalam segala

konteks kekerasan politik untuk membungkam

faktor-faktor ketidakpuasan politik seperti

pengasingan, kemiskinan, kebijakan luar negeri.

Selain itu, proses tersebut juga digunakan untuk

memudahkan kemungkinan dibuatnya kebijakan

untuk mencegah serangan di masa depan dengan

cara menargetkan komunitas suspect. Mereka

membangun sebuah gambar yang selalu

dijadikan sebagai kambing hitam atas setiap

kekerasan yang terjadi, sembari membuat klaim

bahwa mereka mampu memberikan solusi yang

akan mencegah serangan di masa depan.

10 Q. Wiktorowicz, "Radical Islam Rising: Muslim Extrimism in the West", Oxford: Rowman & Littlefield (2005)

Radikalisasi dan Konteksnya

Salah satu perdebatan yang sering muncul

mengenai radikalisasi adalah soal konteks.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mark

Sedgwick dan beberapa pakar lainnya, kata

‘radikal’ tidak memiliki arti yang berdiri

sendiri. 11 Kontennya sangat bervariasi,

tergantung pada apa yang disebut sebagai

‘mainstream’ dalam sebuah komunitas atau

dalam satu waktu tertentu. Konteks politik,

budaya, dan sejarah yang berbeda akan

menghasilkan pikiran yang berbeda tentang

radikalisme. Di Korea Utara, prinsip kebebasan

berbicara akan dianggap sebagai radikal,

sedangkan di negara Barat akan dianggap sebagai

keyakinan mainstream. Maksudnya di sini adalah

melabeli seseorang atau satu kelompok sebagai

radikal seringkali akan memicu pertanyaan

‘radikal dalam hubungannya dengan apa?’

Tergantung pada apa yang dianggap sebagai

keyakinan mainstream, adopsi atas keyakinan

atau perilaku tertentu mungkin akan dilihat

sebagai radikal.

Karena samar dan sangat bergantung pada

konteks, kata ‘radikal’ tidak selalu diasosiasikan

dengan ektrimisme. Di AS, ide mengenai

radikalisme juga memiliki konotasi positif di

sebuah negara yang para pendirinya dulu

dipandang sebagai radikal. Mengutip pakar

sejarah Gordon S. Wood, “[Revolusi Amerika

adalah revolusi terbesar yang pernah dikenal

dunia, sebuah pergolakan penting yang tidak 11

Mark Sedgwick, “The concept of radicalization as a source of confusion”, Terrorism and Political Violence 22: 4, 2010, p. 479

13

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

hanya mengubah karakter masyarakat AS secara

fundamental, namun juga mempengaruhi

pelajaran sejarah berikutnya.”12

Buku sejarah AS penuh dengan peringatan

bahwa banyak hak dan kebebasan yang saat ini

dinikmati dulu diperjuangkan oleh orang-orang

yang dianggap radikal oleh masyarakat pada

masanya. Mereka yang mendukung penghapusan

perbudakan harus menghadapi pengeroyokan

dan permusuhan dari para pembuat undang-

undang, wanita yang mengampanyekan hak

mereka untuk memilih disebut sebagai “histeris”

dan dilarang berbicara di depan umum,

pemimpin hak-hak sipil, Marthin Luther King Jr,

dicemarkan dan diancam oleh pemerintah. 13

Pengalaman kolektif tersebut telah mengajari

bangsa Amerika bahwa ‘radikal’ adalah bagian

penting dari sejarah nasional mereka, dan dalam

banyak peristiwa mereka adalah motor

penggerak perubahan dan pembaruan.

Tidak mengejutkan jika waktu itu usaha

untuk menghentikan radikalisasi disambut

dengan kecurigaan, bahkan permusuhan, dari

orang-orang liberal di AS. Setiap kali ada sebutan

kata ‘radikalisasi’ oleh pejabat pemerintah

cenderung dipandang sebagai serangan yang

dimotivasi oleh motif politik terhadap kebebasan

berbicara dan kebebasan-kebebasan lainnya

yang dilindungi oleh konstitusi. Bahkan,

menanggapai Undang-Undang Pencegahan

12 Gordon S. Wood, “The radicals of the American Revolution” (New York: Vintage, 1991), h. 5. 13

Timothy McCarthy dan John McMillian, “The radical reader: a documentary history of the American radical tradition” (New York: Free Press, 2003), h. 3–4.

Radikalisasi Kekerasan dan Terorisme Dalam

Negeri tahun 2007, desakan untuk membatalkan

UU tersebut cukup kuat dengan alasan bahwa

jika UU tersebut diterapkan pada masa awal

berdirinya AS, akan banyak pendiri bangsa AS

yang dianggap bersalah melakukan radikalisasi

kekerasan.14

Bukannya memerangi terorisme, tujuan

utama—atau bisa dikatakan sebagai agenda

tersembunyi—dari pemerintah adalah untuk

memarjinalisasi dan mengkriminalisasi orang-

orang yang memiliki pandangan kritis terhadap

status quo. Konsep radikalisasi tak lebih dari

sebuah kuda Troya yang membuat pemerintah

memiliki kekuatan untuk membungkam

ketidaksepakatan dan menggambarkan

pandangan progresif sebagai sesuatu yang

berbahaya.

Sebagaimana istilah terorisme, istilah

radikalisasi juga dipandang berbau politik, dan

penggunaannya—terutama oleh pemerintah—

diyakini bertujuan untuk melayani agenda

politik. Bagi kebanyakan orang, radikalisasi,

sebagaimana terorisme, tergantung pada mata

yang melihat: ‘radikal bagi seseorang adalah

pejuang kebebasan bagi pihak yang lain’. 15

Radikalisasi secara inheren sangat bergantung

pada konteks, dan maknanya akan selalu

diperdebatkan.

14

“Senate could vote on thought crimes bill soon”, John Birch Society, 30 November 2007 15

Boaz Ganor, “Is one man’s terrorist another man’s freedom fighter?”, International Institute for Counterterrorism, n.d., http://www.ict.org.il/ResearchPublications/tabid/64/Articlsid/432/Default.aspx

14

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Sejarah Konsep Radikalisasi

Konsep mengenai radikalisasi dan

kontraradikalisasi adalah konsep yang baru

untuk memahami ancaman terorisme dan

peranan pemerintah dalam melakukan respon

atasnya.16 Hingga saat ini, program radikalisasi

dan kontraradikalisasi hampir secara eksklusif

hanya ditujukan kepada komunitas umat Islam.

Kronologi pemerintah AS merangkul konsep

radikalisasi dimulai pada awal tahun 2006.17

Pada waktu itu, FBI mengeluarkan sebuah

penilaian intelijen, The Radicalization Process:

From Conversion to Jihad, yang menjelaskan

bahwa proses seorang Muslim menjadi seorang

teroris bisa diidentifikasi dan diprediksi.18 FBI

mengidentifikasi empat tahap radikalisasi:

praradikalisasi, identifikasi, indoktrinasi, dan

aksi.19 Dokumen sepanjang 20 halaman tersebut

mengemukakan sebuah pandangan reduksionis

tentang bagaimana seseorang mungkin akan

memutuskan untuk melakukan aksi kekerasan.

Dokumen tersebut juga banyak dikritik karena

hampir tidak menyertakan kutipan, sumber, atau

indikasi metodologi. Empat dari lima sumber

yang terdapat dalam tujuh catatan kaki

bersumber dari tulisan tahun 1990-an, dan satu

16

Aziz Z. Huq, “Modeling Terrorist Radicalization”, Duke Journal of Law and Social Change (2010), catatan kaki no. 10 17 “The Homeland Security Implications of Radicalization: Hearing Before the Subcomm. on Intelligence, Info. Sharing, & Terrorism Risk Assessment of the H. Comm. on Homeland Sec.”, 109th Cong. 14 (2006) 18

FBI Counterterrorism Div., The Radicalization Process: From Conversion To jihad 2 (2006). 19 Randy Borum,”Understanding the Terrorist Mind-Set”, FBI L. ENFORCEMENT BULL., Juli 2003, h.7

lagi sisanya bersumber dari tulisan tahun 1960-

an.20

Perkembangan penting berikutnya terjadi

saat Divisi Intelijen New York City Police

Department (NYPD) merilis laporan sepanjang

90 halaman yang berjudul Radicalization in the

West: The Homegrown Threat.21 Laporan tersebut

hampir sama dengan penilaian intelijen yang

dirilis FBI tahun 2006, yang menteorikan proses

dari seorang Muslim menjadi seorang teroris,

dengan tahapan dan tanda yang sama, namun

lebih detail.

Tahap pertama, "pra radikalisasi," dicirikan

dengan “Muslim laki-laki berusia lima belas

hingga tiga puluh lima tahun yang hidup dalam

masyarakat yang didominasi laki-laki" 22 dan

"kantong-kantong etnis komunitas Muslim yang

didominasi oleh budaya Timur Tengah, Afrika

Utara, dan Asia Selatan."23 Komunitas umat Islam

pun menjadi sasaran kecurigaan.

Tahap kedua, "identifikasi diri," yang

ditandai dengan ketertarikan pada "Islam Salafi"

dan "masjid Salafi." 24 Faktor-faktor yang

dijadikan penghubung antara lain: "haji ke

Mekah," dan "menumbuhkan jenggot." Di sini,

praktik-praktik keagamaan—yang sebenarnya

dilindungi oleh undang-undang dan tidak ada

kaitannya dengan tindakan kriminal—menjadi

prediktor untuk kriminalitas. Tak hanya itu, 20

FBI Counterterrorism Div., catatan kaki no. 1-7 21

Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West: the Homegrown Threat”, New York Police Department Intelligence Division, 2007 22

Idem, h. 24 23 Idem, h. 24 24

Idem, h. 32-33

15

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Silber dan Bhatt juga juga menempatkan

ketidaksepakatan dengan kebijakan politik

Amerika dan keterlibatan dengan umat Islam

lainnya sebagai bagian dari radikalisasi. "Alienasi,

diskriminasi, rasisme… perhatian pada konflik

internasional yang melibatkan umat Islam"

dianggap memicu tahap ini.25 “Terlibat dalam isu-

isu aktivitas sosial dan masyarakat" juga menjadi

faktor penanda.26

Pada tahap ketiga, "indoktrinasi," "seorang

individu semakin mengintensifkan keyakinannya,

sepenuhnya mengadopsi ideologi salafi jihadi dan

menyimpulkan, tanpa pertanyaan, bahwa kondisi

dan situasi yang terjadi saat ini memerlukan

jihad."27 Tahap ini ditandai dengan "penarikan

diri dari masjid, politisasi keyakinan baru,

mengadakan rapat dan diskusi dengan agenda

radikal dalam forum yang lebih tertutup, dan

menonton video jihad... yang menyoroti

kekejaman yang dilakukan terhadap umat

Islam.”28

Pada tahap ketiga, hampir sama dengan

tahap kedua, memiliki ideologi agama dan politik

tertentu dipandang mempercepat proses

radikalisasi. Pada tahap keempat, “jihadisasi”,

proses tersebut akhirnya terkulminasikan dalam

sebuah niatan untuk melakukan suatu aksi.29

Jihadisasi ini meliputi beberapa sub tahapan,

antara lain “perencanaan serangan”.30 Kegiatan-

kegiatan seperti camping, arung jeram, paintball 25

Idem, h. 32 26 Idem, h. 33 27

Idem, h. 36 28

Idem, h. 61 29 Idem, h. 45 30

Idem, h. 47

games, menembak sasaran, ditafsirkan sebagai

aktivitas pelatihan.31 Perjalanan ke luar negeri,

khususnya ke Pakistan, Irak, Afghanistan,

Kashmir, dan Somalia32 juga dianggap sebagai

perjalanan yang mungkin dilakukan untuk

menghadiri kamp pelatihan atau melakukan

perjalanan keagamaan yang dipenuhi oleh

pikiran-pikiran ekstrim.33 Laporan tersebut juga

mendiskusikan tentang “aktivitas penguatan

mental" sebagai indikator, yang antara lain

terdiri dari: mengunjungi website, chatroom, dan

blog ekstrimis serta menonton video dan

rekaman jihad.34

Penilaian intelijen FBI dan laporan NYPD

akhirnya menjadi benih awal tentang ide

radikalisasi dan kontraradikalisasi. Sejak tahun

2007, wacana mengenai ide tersebut pun

semakin menguat di AS. Tahun 2010 dan 2011,

dalam strateginya, Gedung Putih menekankan

tentang perlunya melakukan perlawanan

terhadap ekstrimisme kekerasan dan

radikalisasi. 35 Dalam Rencana Implementasi

Strategis (Strategic Implementation Plan) tahun

2011 yang berjudul Empowering Local Partners

to Prevent Violent Extremism in the United States,

pemerintah Obama mengumumkan prioritas

program pemerintah AS dalam mendukung

pendekatan berbasis komunitas untuk “melawan

ekstrimisme kekerasan” (countering violent

31

Idem, h. 46 32

Idem, h. 45 33 Idem, h. 45-46 34

Idem, h. 47 3535

“Compilation of Hearings on Islamist Radicalization—Volume III: Hearings Before the H. Comm. on Homeland Sec.”, 112th Cong. 75 (2012)

16

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

extrimism). 36 Strategi tersebut kemudian

diterjemahkan secara lebih detail oleh badan-

badan keamanan AS.

Kebijakan FBI dan Departemen Kehakiman

AS merefleksikan prioritas dalam melawan

radikalisasi dan ektrimisme kekerasan. Mereka

secara reguler menjadikan Muslim yang

dipandang membawa ideologi radikal atau

ekstrim sebagai target investigasi. 37 Materi

pelatihan FBI menjelaskan tentang tanda-tanda

radikalisasi yang layak dicermati.38 Materi lain

menghubungkan ketaatan seorang Muslim

dengan kekerasan.39 Beberapa indikator untuk

mengidentifikasi seseorang yang mengalami

proses radikalisasi, menurut FBI, adalah:

“memakai pakaian muslim tradisional,

memanjangkan jenggot, sering menghadiri

masjid atau shalat berjamaah, melakukan

perjalanan ke negera Muslim, terlibat dalam

kelompok pro-Muslim.”40

Konsep mengenai radikalisasi ini secara

langsung menjadi dasar program

kontraradikalisasi yang bertujuan untuk

36 EXEC. OFFICE OF THE PRESIDENT, NATIONAL SECURITY STRATEGY 19, 26, 37 (2010) (http://www.whitehouse.gov/ sites/default/files/rss_viewer/national_security_strategy.pdf) 37

“Commerce, Justice, Science, and Related Agencies Appropriations for Fiscal Year of 2013: Hearings Before a Subcomm. of the S. Comm. on Appropriations”, 112th Cong. 11 (2012) 38 FED. BUREAU OF INVESTIGATION, FBI-CTC COLLABORATIVE AFTER-ACTION REPORTS NAC 09-15, at 2 (2009), http://www.aclu.org/files/fbimappingfoia/20111019/ACLURM009767.pdf 39

Spencer Ackerman, “FBI Teaches Agents: ‘Mainstream’ Muslims are ‘Violent, Radical’”, WIRED (14 September 2011), http://www.wired.com/dangerroom/2011/09/fbi-muslims-radical/all 40 FBI Counterterrorism Div., The Radicalization Process: From Conversion To jihad 2 (2006)

membentuk pandangan politik dan agama umat

Islam.41 Sejak tahun 2010, pemerintah AS melalui

badan-badannya melakukan inisiatif

kontraradikalisasi yang baru, mulai dari

pendekatan terhadap komunitas umat Islam,

menciptakan dewan imam moderat, hingga

membentuk jaringan pengumpulan intelijen.

Tahun 2012, FBI mendirikan kantor khusus

untuk program Countering Violent Extremism.

Tahun 2013, Gedung Putih mengumumkan

rencana untuk meluncurkan kelompok kerja

antar badan untuk melawan “radikalisasi ke

kekerasan secara online”. Pada bulan Februari

2015 silam, program semakin dipertajam.

Gedung Putih mengadakan konferensi untuk

melawan ektrimisme yang diberi nama The White

House Summit on Countering Violent Extremism.

Dari acara yang menghadirkan beberapa utusan

dari negara Muslim dan ulama moderat tersebut

tercetus beberapa program untuk mencegah

terorisme, yaitu:

- Membangun kesadaran—meliputi

penjelasan mengenai penggerak dan

indikator radikalisasi dan rekrutmen

kepada kekerasan

- Melawan narasi ekstrimis—dengan cara

secara langsung menyasar dan melawan

narasi rekrutmen ekstrimis kekerasan,

seperti menyerukan kontranarasi online

yang dipimpin oleh masyarakat sipil

- Menekankan intervensi yang dipimpin oleh

masyarakat—menguatkan usaha

41

Samuel J. Rascoff, “Establishing Official Islam? The Law and Strategy of Counter-Radicalization”, Stanford Law Review (2012), h. 126-127

17

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

masyarakat untuk mengacaukan proses

radikalisasi sebelum seseorang terlibat

dalam aktivitas kriminal.42

Atas nama keamanan nasional, pemerintah

AS terus mengintervensi kehidupan umat Islam

dan Islam itu sendiri. Intervensi tersebut menjadi

bagian esensial dalam program

kontraradikalisasi. Mereka berusaha

mengintervensi sumber-sumber resmi untuk

mengubah orientasi ideologis seseorang dan

seluruh komunitas sebelum ideologi tersebut

membawa menuju aksi kekerasan. 43 AS kini

membuat, apa yang dinamakan oleh Rascoff,

sebagai Official Islam, Islam yang resmi, yang

akan menjadi teologi alternatif untuk melawan

Islam radikal dan mendukung alternatif

pemahaman agama yang lebih nyaman bagi

negara.44

Narasi Resmi Pemerintah tentang Penyebab

Terorisme

Kebijakan mengenai kontraterorisme

sangat terkait dengan pemahaman mengenai apa

yang menyebabkan terjadinya terorisme.

Pemahaman yang akurat mengenai faktor yang

menyebabkan munculnya terorisme sangat

penting untuk mengembangkan respon yang

holistik. Selama ini penyebab terorisme

42 https://www.whitehouse.gov/the-press-office/2015/02/18/fact-sheet-white-house-summit-countering-violent-extremism 43

Press Release, INTERPOL, “Preventing Internet Radicalization of Youth Requires Global Police Network”, INTERPOL Chief Tells Police Summit (21 September 2010), https://www.interpol.int/Public/ICPO/PressReleases/PR2010/PR072.asp 44

Rascoff, h. 125.

seringkali tidak dianalisis secara sistematis, tapi

lebih sering dipahami melalui slogan yang

mengarah kepada “pikiran jahat” atau “ideologi

jahat” dari pelaku.45

Bagi kaum neo konservatif, yang

mendominasi pembuatan kebijakan kontra

terorisme di AS pada awal Perang Melawan

Teror, terorisme dianalisis sebagai produk dari

kultur Islam. Orientalis seperti Bernard Lewis,

salah seorang penasihat kunci tentang Timur

Tengah pada era George W. Bush, berpandangan

bahwa Islam memiliki kecenderungan kultural

untuk menolak modernitas secara total. Serangan

11 September, menurutnya, berakar dari anti-

modernisme tersebut. Begitu mengakarnya anti-

modernisme tersebut di Timur Tengah, menurut

pendapat kaum neo konservatif, hanya perang

yang mampu membalikkannya menuju sebuah

transformasi kultural di wilayah tersebut. Perang

Irak adalah kebijakan yang berbasis atas analisis

tersebut.

Dampak perang Irak ternyata tak seindah

yang dibayangkan, yang membuat para pembuat

kebijakan kontraterorisme pada tahun 2005

mencari model baru yang bisa membantu mereka

memahami serangan 11 September dan cara

untuk mencegah serangan berikutnya. Pada titik

ini, konsep mengenai radikalisasi kemudian

menjadi pusat atas segala analisis tentang

penyebab terorisme di lingkaran pejabat

keamanan nasional. Tujuannya adalah untuk

mengembangkan model yang bisa menjelaskan

45 Arun Kundnani, “Radicalisation: the Journey of a Concept”, Race & Class (Vol. 54, no. 2, Oktober 2012), h. 3–25.

18

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

proses yang membuat orang biasa menjadi

bersedia untuk melakukan aksi teror, bahkan

terhadap rakyat sebangsanya sendiri. 46 Peter

Neumann, direktur International Centre for the

Study of Radicalisation di Kings College, London,

menjabarkan mengenai nilai-nilai konsep

radikalisasi sebagai berikut:

“Setelah serangan ke AS pada tangal 11

September 2001, tiba-tiba sangat sulit

untuk bicara tentang ‘akar terorisme’,

yang mana beberapa komentator

mengklaim sebagai usaha untuk

membenarkan pembunuhan rakyat sipil

tak berdosa. Meski demikian, nampak

sangat jelas (waktu itu) bahwa beberapa

diskusi tentang faktor-faktor yang

mendasari munculnya fenomena yang

nampak baru ini sangat urgent dan

diperlukan, sehingga para pakar dan

pejabat pemerintah mulai menunjuk

kepada ide ‘radikalisasi’ setiap kali

mereka ingin bercerita mengenai ‘apa

yang terjadi sebelum bom meledak’.

Dalam sebuah atmosfer yang

bertegangan tinggi pasca serangan 11

September, melalui ide radikalisasi ini

lah diskusi tentang kekuatan politik,

ekonomi, sosial, dan psikologis yang

menyokong terorisme menjadi mungkin

kembali.”47

46 Marc Sageman, “Understanding Terror Networks” (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2004) 47

Peter Neumann, “Perspectives on Radicalisation and Political Violence: Papers From the First International Conference on Radicalisation and Political Violence”, London,

Model radikalisasi tersebut kemudian

dipakai oleh para pembuat kebijakan, analis

intelijen, dan para penegak hukum dalam

merangkai strategi untuk mencegah serangan di

masa depan.

Menurut paradigma neo konservatif, model

radikalisasi cenderung mengasumsikan bahwa

ideologi agama yang ekstrim adalah penyebab

terorisme. Mereka lebih fokus pada terorisme

yang dilakukan oleh Muslim dan jarang sekali

membahas tentang kekerasan politik dan

terorisme secara umum. Sebagian besar analis

radikalisme, kurang begitu fokus pada apa yang

disebut oleh neo konservatif sebagai inti

ekstrimis dari Islam dan cenderung mengawali

semuanya dari asumsi bahwa beberapa versi

ekstrim dari Islam—yang seringkali didefinisikan

sebagai ‘Islamis’ atau ‘Salafi’—mampu untuk

menangkap pikiran umat Islam dan membawa

mereka kepada terorisme. Dengan demikian,

menurut mereka, tantangannya adalah untuk

memahami proses yang membuat ideologi

beragama yang ekstrim mampu berada di benak

umat Islam.

Bagi sebagian analis radikalisasi, peran

ideologi agama yang ekstrim pada proses ini

mirip dengan “ban penyalur” (conveyor belt) yang

secara mekanik mendorong seseorang kepada

terorisme.48 Hal ini berakibat, saat seseorang

telah mengadopsi ideologi ekstrim, secara 17–18 January 2008 (London: International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence, 2008), h. 4. 48

Zeyno Baran, “The Road from Tashkent to the Taliban”, National Review (2 April 2004); Zeyno Baran, “Fighting the war of ideas”, Foreign Affairs (November/Desember 2005).

19

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

otomatis aksi teror akan mengikuti cepat atau

lambat. Sedangkan bagi yang lain, proses

tersebut lebih kompleks dan tidak hanya

bergantung pada ideologi namun juga faktor

psikologis seperti pengalaman atas peristiwa

yang traumatik. Nuansa apapun yang

ditambahkan pada gambar, asumsi dasar dari

model radikalisasi ini selalu sama: bahwa

beberapa ideologi agama adalah elemen kunci

yang membawa seseorang menjadi seorang

teroris.

Analisis ini telah menyokong pembuatan

kebijakan kontraterorisme sejak tahun 2006.

Mereka memandang bentuk tertentu dari

ideologi agama sebagai tanda peringatan atas

potensi terorisme. Kebijakan kontraradikalisasi,

seperti Prevent Violent Extrimism, dikembangkan

untuk membendung proses ideologis yang

membawa terorisme, sebagaimana yang diklaim

oleh model tersebut. Hingga saat ini, analisis

radikalisasi tersebut masih cukup berpengaruh

dan menjadi narasi resmi tentang penyebab

terorisme.

Laporan dari tim Task Force Perdana

Menteri Inggris tahun 2013 menggambarkan

bahwa terorisme yang diinspirasi oleh Al-Qaidah

disebabkan oleh jenis ideologi agama tertentu

yang mereka sebut dengan “ideologi ekstrim

yang beracun yang bisa membawa seseorang

kepada kekerasan.” 49 Laporan tersebut juga

menjelaskan bahwa pemerintah Inggris tetap

49

HM Government, Tackling Extremism in the UK: Report from the Prime Minister’s Task Force on Tackling Radicalisation and Extremism (Desember 2013), h. 1.

berkomitmen untuk mengembangkan kebijakan

yang bertujuan untuk mengurangi terorisme

dengan cara mencegah beredarnya ideologi

ekstrim dan mengintervensi kehidupan mereka

yang memegang ideologi tersebut.

Laporan Task Force tersebut juga

mendefinisikan “ekstrimis Islam” sebagai

berikut:

“Sebuah ideologi yang berdasarkan pada

penafsiran Islam yang terdistorsi, yang

mengkhianati prinsip-prinsip perdamaian

dalam Islam, dan mengambil pengajaran dari

orang-orang semacam Sayyid Qutb.

Ekstrimis Islam memandang intervensi

Barat di negara mayoritas Muslim sebagai

“perang melawan Islam”, dan menciptakan

sebuah narasi “mereka” dan “kita”. Mereka

berusaha menegakkan negara Islam global

yang diperintah berdasarkan penafsiran

mereka tentang Syariah sebagai hukum

negara, menolak nilai-nilai liberal seperti

demokrasi, aturan hukum, dan kesamaan.

Ideologi mereka juga meliputi keyakinan

tanpa kompromi bahwa seseorang tidak bisa

menjadi Muslim dan British, dan menyatakan

bahwa mereka yang tidak setuju dengan

mereka bukanlah Muslim sejati.”50

Kurang begitu jelas, apakah seluruhnya atau

sebagian saja dari keyakinan tersebut yang

memang bisa diklasifikasikan sebagai seorang

ekstrimis. Implikasi dalam literatur resmi

50

HM Government, Tackling Extremism in the UK: Report from the Prime Minister’s Task Force on Tackling Radicalisation and Extremism (December 2013), h. 1–2.

20

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

pemerintah adalah bahwa berpegang pada

keyakinan tersebut adalah penyebab dari

terorisme dan bahwa cara yang efektif dalam

melawan keyakinan tersebut adalah dengan

mempromosikan nilai-nilai kebangsaan.

Dalam kasus di Inggris, cukup banyak

kebijakan domestik yang dibuat berdasarkan

penerimaan atas narasi resmi tentang penyebab

terorisme. Diantaranya adalah:

- Pengawasan atas kehidupan politik dan

agama dari komunitas umat Islam untuk

mengidentifikasi indikator radikalisasi

- Meminta guru, tenaga kerja muda, dan

para pekerja kesehatan yang bekerja

dengan Muslim untuk berbagi informasi

dengan kepolisian unit kontraterorisme

tentang risiko yang dirasa

- Menghapus konten internet yang

dipandang ekstrim

- Memblokir secara finansial pada individu

dan lembaga kemanusiaan yang dianggap

terlibat dalam ektrimisme

- Tekanan publik pada umat Islam untuk

mendeklarasikan kesetiaannya pada nilai-

nilai Inggris

- Mendanai tokoh Muslim yang terpilih

untuk mempromosikan pesan-pesan

ideologis yang melawan ekstrimisme

demi kepentingan pemerintah

- Menghapus dan menyangkal secara

agresif masuknya warga negara lain yang

dipandang memiliki pengaruh radikal

- Menggunakan kekuasaan di bawah

undang-undang anti teroris untuk

mengkriminalisasi individu yang

mengekspresikan pendapat ekstrim.

Faktor yang Menyebabkan Terorisme

Pada awalnya, para pembuat kebijakan

fokus pada tempat-tempat komunitas, seperti

masjid, sebagai tempat di mana ideologi ekstrim

harus diblok; kemudian, mereka beralih ke

penjara dan universitas; dan akhir-akhir ini,

fokus beralih kepada peredaran ideologi ekstrim

melalui internet dan media sosial. Meski setting

dalam implementasi kebijakan bergeser,

argumen yang dibuat dalam kebijakan tersebut

tetap sama.

Penggunaan istilah ‘radikalisasi’ dan segala

yang berhubungan dengannya adalah produk

dari periode pasca 11 September. Sebelumnya,

para ahli terorisme tidak menggunakan konsep

tersebut dalam usaha mereka mengembangkan

model penyebab terjadinya terorisme. Misalnya,

studi akademik tentang penyebab terorisme

yang paling berpengaruh sebelum serangan 11

September adalah makalah dari Martha

Crenshaw yang berjudul “The cause of

terrorism”. Dalam makalah tersebut dia

menjelaskan tentang tiga faktor yang

menyebabkan terorisme, yaitu:

- Motivasi individu dan sistem kepercayaan

- Pembuatan keputusan dan strategi dalam

sebuah gerakan teroris

21

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

- Konteks politik dan sosial yang lebih luas

di mana gerakan teroris berinteraksi51

Hari ini, model radikalisasi

mengesampingkan faktor kedua dan ketiga dan

memfokuskan seluruh perhatiannya pada level

individu. Studi tentang radikalisasi, yang

berpura-pura melakukan investigasi tentang

penyebab terorisme, pada praktiknya hanya

terbatas pada satu pertanyaan: mengapa

beberapa kalangan umat Islam mendukung

penafsiran Islam ekstrim yang membawa kepada

kekerasan? Ahli sejarah Mark Sedgwick

berpendapat dalam sebuah refleksi kritis tentang

model radikalisasi:

“Konsep radikalisasi menekankan

kepada individu, dan pada tingkatan

tertentu, ideologi dan kelompok, namun

secara signifikan mengabaikan

lingkungan yang lebih luas—yaitu akar

penyebab yang menjadi sulit dibicarakan

pasca serangan 11 September, dan

seringkali tidak dimasukkan ke dalam

analisis. Sepanjang lingkungan yang

membuat Islam radikal menyampaikan

keluhannya tidak diperhitungkan, tak

terelakkan lagi bahwa Islam radikal akan

sering muncul sebagai “pemberontak

tanpa tujuan”.52

Dalam narasi resmi pemerintah, konteks

politik dan proses pembuatan keputusan

51 Martha Crenshaw, “The Causes of Terrorism”, Comparative Politics (Juli 1981). 52

Mark Sedgwick, ‘The Concept of Radicalization as a Source of Confusion’, Terrorism and Political Violence (Vol. 22, no. 4, 2010), h. 480.

internal dalam sebuah gerakan sosial

pemberontak seringkali tidak dianggap relevan

dalam menjelaskan kenapa teror terjadi.

Sebaliknya, narasi resmi menekankan bahwa jika

seseorang telah mengadopsi ideologi beragama

yang ekstrim, secara otomatis terorisme akan

menyusul, tanpa memperhitungkan konteks

politik atau perhitungan lain yang terkait dengan

sebuah kelompok atau gerakan sosial. Para

penasihat dari pendekatan ini berargumen

bahwa sejak tahun 1990 an, telah terjadi sebuah

tranformasi tentang cara terorisme bekerja—

yang oleh beberapa ilmuwan menyebutnya

dengan ‘terorisme jenis baru’—sehingga alat-alat

intelektual yang sebelumnya digunakan untuk

menganalisis kekerasan politik tidak lagi bisa

diterapkan.53

Dampaknya, kebijakan yang dihasilkan dari

pendekatan tersebut, yang mengabaikan banyak

faktor yang menyebabkan terjadinya terorisme,

cenderung berat sebelah dan tidak efektif. Tidak

banyak bukti yang menunjukkan bahwa

radikalisme menjadi pola dalam sejarah

terorisme dan penyebabnya, meskipun

kelompok yang dianggap teroris hari ini

terkadang menggunakan ideologi agama untuk

mengartikulasikan tuntutan dan

mengembangkan identitasnya.

Kesimpulannya, faktor-faktor yang

menyebabkan seseorang untuk melakukan

tindakan terorisme sangatlah kompleks dan

53

Jonny Burnett and Dave Whyte, “Embedded Expertise and the New Terrorism”, Journal for Crime, Conflict and the Media (Vol. 1, no. 4, 2005).

22

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

tidak dapat dikurangi hanya pada sebatas

berpegang pada seperangkat nilai-nilai yang

dianggap radikal. Tidak banyak bukti untuk

mendukung pandangan bahwa hanya ada

penyebab tunggal terorisme. Menerima analisis

ini memiliki implikasi signifikan bagi

pengembangan kebijakan untuk mengurangi

risiko terorisme.

Bukti-Bukti Yang Membantah Narasi Resmi

Banyak ilmuwan yang saat ini skeptis

dengan konsep radikalisasi dan implikasinya

yang menyatakan bahwa ide radikal akan

menghasilkan kekerasan dan terorisme. Marc

Sageman, misalnya. Mantan pejabat CIA tersebut

mengubah pendapatnya yang sebelumnya

menyatakan bahwa ideologi agama adalah faktor

yang signifikan dalam menyebabkan terorisme.

Pada tahun 2013, dia berpendapat bahwa

pemerintah harus “berhenti dari tercuci otaknya

oleh pikiran ‘radikalisasi’ ini. Tidak ada hal

semacam itu. Beberapa pemuda saat mereka

mendapatkan pandangan ekstrim, kebanyakan

dari mereka hanya tumbuh dengannya. Jangan

bereaksi secara berlebihan, karena kalian hanya

akan menciptakan masalah yang lebih buruk.”54

Pakar terorisme lainnya yang menyoroti

masalah seputar pikiran radikalisasi adalah John

Horgan, direktur International Center for the

Study of Terorism di Pensylvania State

University. Dia berkomentar bahwa: “Ide bahwa

radikalisasi akan menyebabkan terorisme

mungkin adalah mitos terbesar yang pernah ada

dalam penelitian terorisme saat ini… [Pertama],

sebagian besar orang yang berpegang pada

keyakinan radikal tidak terlibat dalam

kekerasan. Dan kedua, semakin banyak bukti

yang menunjukkan bahwa orang yang terlibat

dalam terorisme tidak perlu berpegang pada

keyakinan radikal.”55

Scott Atran, seorang sosiologis di John Jay

College, New York, pernah berbicara di depan

Senat AS pada bulan Maret 2010:

“Masuk dalam persaudaraan jihad adalah

bersifat bottom up: dari pemuda yang

teralienasi dan termarjinalisasi yang

mencari sahabat, penghargaan, dan

makna, serta getaran aksi, rasa

penguasaan diri, dan kejayaan dalam

54 Mehdi Hasan, “Woolwich Attack: Overreacting To Extremism ‘Could Bring Back Al Qaeda’ Ex CIA Officer Warns”, Huffington Post (28 Mei 2013) 55 John Knefel, “Everything You’ve Been Told About Radicalization is Wrong”, Rolling Stone (6 Mei 2013).

“Pemerintah harus berhenti dari

tercuci otaknya oleh pikiran

‘radikalisasi’ ini. Tidak ada hal

semacam itu. Beberapa pemuda saat

mereka mendapatkan pandangan

ekstrim, kebanyakan dari mereka

hanya tumbuh dengannya. Jangan

bereaksi secara berlebihan, karena

kalian hanya akan menciptakan

masalah yang lebih buruk.”

23

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Radikalisasi harus dipahami sebagai

sebuah proses yang bersifat relational dan

constructed. Dengan demikian, ia adalah

sebuah proses yang tidak hanya

melibatkan keyakinan dan aksi dari

kelompok perlawanan namun juga negara

yang terlibat konflik dengannya.

Kekerasan adalah hasil dari interaksi

antara dua pihak dan persepsi yang

mereka bangun atas tindakan satu sama

lain, tidak sekadar produk dari ideologi

salah satu pihak. Apakah sebuah gerakan

sosial melompat menggunakan bentuk

kekerasan tertentu atau tidak, tidak dapat

direduksi ke dalam pertanyaan tentang

muatan ideologi mereka.

berjuang melawan negara dan pasukan

terkuat di dunia. … pemimpin jihadis di

internet, seperti Anwar Al-Awlaki,

menjadi penting bukan karena mereka

mencuci otak, memerintah, atau bahkan

memandu orang lain untuk melakukan

aksi dan menyerang target. Tapi, para

pemimpin populer tersebut berperan

sebagai ‘penarik’ yang pesan-pesan dan

kehadirannya mampu masuk ke dalam

jiwa mereka yang sebenarnya sudah

memilih jalannya sendiri.”56

Hal ini menunjukkan bahwa ideologi agama

memberikan ikatan pada sekelompok individu

yang sudah terlibat dalam terorisme, namun ia

bukanlah hal yang menarik mereka untuk

menjadi teroris pertama kali.

Sebuah studi tahun 2010 yang dilakukan

oleh Jamie Bartlett dkk di lembaga think tank

Demos adalah salah satu dari sedikit studi yang

melibatkan sebuah kelompok kontrol dalam

rancangannya. Mereka secara spesifik

membedakan antara radikal kekerasan dan non-

kekerasan—sebuah perbedaan yang seringkali

dikaburkan dalam narasi resmi namun krusial

dalam setiap pembuatan kebijakan

kontraterorisme. Studi yang berjudul “The Edge

of Violence” tersebut membandingkan kasus 58

teroris di Eropa dan Kanada serta 28 radikal

yang tidak terlibat dalam terorisme. Mereka

menemukan bahwa “terorisme yang terinspirasi

56

Scott Atran, “Statement Before the Senate Armed Services Subcommittee on Emerging Threats & Capabilities”, 10 Maret 2010.

oleh Al-Qaidah di Barat banyak memiliki

kemiripan dengan kelompok kontrakultural

bawah tanah yang didominasi oleh para pemuda

yang marah”. 57 Dari perspektif ini, ideologi

ekstrim yang dihubungkan dengan Islam

nampak cenderung insidental, bukan esensial,

untuk membawa kepada kekerasan. Memiliki

keyakinan “Islam ekstrim”, apapun definisinya,

tidak ada hubungannya dengan keterlibatan

dengan terorisme.

57 Jamie Bartlett, Jonathan Birdwell and Michael King, “The Edge of Violence” (London: Demos,2010), h. 13.

24

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Pandangan ini juga disampaikan oleh

sosiologis Prancis, Olivier Roy. Di saat narasi

resmi cenderung mengaburkan perbedaan

antara kecenderungan pada kekerasan dan

pikiran agama yang radikal, Olivier Roy

berpendapat bahwa “proses radikalisasi

kekerasan tidak ada hubungannya dengan

praktik agama, dan teologi radikal, seperti salafi,

tidak otomatis membawa kepada kekerasan.

Lompatan menuju terorisme bukanlah sesuatu

yang diinspirasi oleh agama, namun lebih

tepatnya dipandang sebagai satu faktor bersama

dengan banyak bentuk ketidaksepakatan

lainnya, baik politik (kelompok kiri), atau

perilaku: yaitu ketertarikan pada kekerasan

bunuh diri secara tiba-tiba sebagaimana yang

diiliustrasikan oleh paradigma penembakan

secara random yang terjadi di sekolah-sekolah

(sindrom Columbine)”.58 Ideologi salafi mungkin

menjadi bagian dari cara jaringan kekerasan

mengartikulasikan narasinya, namun hal ini

bukanlah bukti bahwa ideologi agama

menyebabkan kekerasan; namun, dalam milieu

ini, referensi teologis memberikan semacam

lapisan legitimasi. Ideologi agama paling banter

hanya memainkan peran sebagai enabling role

dalam menyatukan sebuah kelompok, dibanding

sebagai faktor penggerak dasar dari terorisme.

Donatella della Porta, salah satu pakar

gerakan sosial dan kekerasan politik terkemuka,

berpendapat bahwa radikalisasi harus dipahami

sebagai sebuah proses yang bersifat relational

58

Olivier Roy, “Al Qaeda in the West as a Youth Movement: the Power of a Narrative” (MICROCON Policy Working Paper 2, November 2008), h. 3.

dan constructed. Dengan demikian, ia adalah

sebuah proses yang tidak hanya melibatkan

keyakinan dan aksi dari kelompok perlawanan

namun juga negara yang terlibat konflik

dengannya. Kekerasan adalah hasil dari interaksi

antara dua pihak dan persepsi yang mereka

bangun atas tindakan satu sama lain, tidak

sekadar produk dari ideologi salah satu pihak.59

Apakah sebuah gerakan sosial melompat

menggunakan bentuk kekerasan tertentu atau

tidak, tidak dapat direduksi ke dalam pertanyaan

tentang muatan ideologi mereka.

Karena itu, menurut Prof. Arun Kundnani

dari New York University, perlu untuk menguji

bagaimana negara dan gerakan sosial secara

mutual saling mengganggap diri mereka sebagai

kombatan dalam sebuah konflik—dalam hal ini

antara “Barat” dan “Islam radikal”—dan meneliti

dalam keadaan apa masing-masing pihak

memilih untuk mengadopsi taktik kekerasan,

dalam merespon kondisi politik yang mereka

berada di dalamnya. Interaksi antara berbagai

aktor negara dan non-negara inilah yang

menghasilkan sebuah situasi yang mana

kekerasan menjadi bisa diterima. Aspek

relasional ini membuat kita perlu melakukan

investigasi tentang bagaimana negara Barat dan

sekutunya “meradikalisasi” gerakan politik

Islam, yang membuat keduanya menjadi ingin

menggunakan kekerasan dalam konteks yang

lebih luas. Dengan menganalisis interaksi antara

59

Donatella della Porta, “Social Movement Studies And Political Violence” (Centre for Studies in Islamism and Radicalisation, Department of Political Science, Aarhus University, Denmark, September 2009), h. 9.

25

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

berbagai pihak yang berbeda yang terlibat dalam

konflik dan bagaimana masing-masing pihak

membangun interpretasi atas tindakan pihak

lain, sangat mungkin untuk secara koheren

menjelaskan tentang kekerasan dalam dekade

terakhir ini. 60 Cara berpikir seperti ini akan

membawa debat mengenai radikalisasi saat ini

kembali ke konsep awal mengenai penyebab

terorisme, sebagaimana yang dijelaskan oleh

Martha Crenshaw, yang menganggap konteks

politik dan pembuatan keputusan organisasi

sama pentingnya dengan motivasi dan ideologi

individu.

Dalam hal ini, ancaman baru terorisme

yang terinspirasi oleh Al-Qaidah bukanlah

sesuatu yang eksepsional, namun mirip dengan

yang pola sejarah yang sudah lama. Struktur

penyebab terorisme yang terinspirasi oleh Al-

Qaidah tidak banyak berbeda dengan para

pembom anarkis pada akhir abad kesembilan

belas atau Provisional Irish Republican Army

pada akhir 1960-an, meskipun tujuan dan

struktur organisasi dari kelompok tersebut

berbeda. Dalam semua kasus, memahami akar

kekerasan perlu memperhitungkan cara gerakan

perlawanan memutuskan untuk beralih ke

kekerasan dalam menghadapi kekerasan negara:

bagi kelompok anarkis, penindasan dengan

kekerasan yang dilakukan oleh Komune Paris

pada tahun 1871, di mana puluhan ribu orang

tewas, yang memicu beralihnya mereka untuk

menggunakan bahan peledak dan pembunuhan

60

Arun Kundnani, “The Muslims are Coming! Islamophobia, Extremism and the Domestic War on Terror” (London: Verso Books, 2014).

di seluruh Eropa; bagi kelompok Provisional,

pemicunya adalah penindasan yang dilakukan

tentara Inggris terhadap gerakan hak-hak sipil

nasionalis di Irlandia Utara; bagi pembom di

London 7 Juli 2005, pemicunya adalah gambar

kekerasan massal dan penyiksaan di Irak.

Demikian juga, aliran pejuang asing ke Suriah

kemungkinan akan dihubungkan setidaknya

dengan gambar penindasan dan pembantaian

oleh rezim Bashar Assad terhadap rakyat

Suriah.61

Penelitian tentang "terorisme baru"

cenderung mengaburkan hubungan ini dengan

asumsi bahwa sejak tahun 1990-an, ideologi

agama telah mulai secara langsung

menyebabkan terorisme, tanpa pengaruh dari

konteks politik dan sosial. Tapi sebagaimana

yang diungkapkan oleh pakar terorisme Jeroen

Gunning dan Richard Jackson, perilaku orang-

orang yang diberi label "teroris agama" sering

kali tidak dapat dibedakan dari rekan-rekan

sekuler mereka. 62 Misalnya, kekerasan yang

dilakukan Hamas terhadap warga sipil Israel

tidak dapat dijelaskan hanya dengan ideologi

agama. Mereka memandang bahwa argumen

keagamaan juga digunakan oleh Hamas untuk

melakukan gencatan senjata sebagaimana

mereka digunakan untuk melegitimasi

kekerasan. Keputusan untuk mengadopsi

kekerasan sebagai taktik ditentukan oleh

persepsi organisasi atas tindakan pemerintah

61 Arun Kundnani, “A Decade Lost: Rethinking Radicalisation and Extrimism”, Claystone (Januari 2015), h. 25 62

Jeroen Gunning and Richard Jackson, “What’s so ‘religious’ about ‘religious terrorism’?”, Critical Studies on Terrorism (Vol. 4, no. 3, Desember 2011), h. 381.

26

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

Israel dalam konteks pendudukan militer.

Pandangan yang sama juga diambil oleh

kelompok sekuler Palestina. Ideologi agama

menyediakan kosakata dan identitas yang

menyatukan, tapi politik memberikan daya

dorong.63

Mitos Radikalisasi

- Mitos Pertama: Radikalisasi selalu mengarah

kepada terorisme

Beberapa bentuk radikalisasi seringkali

menjadi pra kondisi bagi terorisme, jika kita

mendefinisikan terorisme sebagai kekerasan

yang dilakukan oleh aktor non-negara yang

dilakukan atas nama dasar politik atau agama.

Tapi ada ratusan ribu hingga jutaan orang di

dunia yang berpikiran radikal, namun hanya

segelintir dari mereka yang mengambil jalan

kekerasan. Jadi, menurut Berger, jalan

radikalisasi tidak selalu berarti mengarah kepada

terorisme.

- Mitos Dua: kontraradikalisme sama dengan

kontraterorisme

Tidak ada banyak data untuk mendukung

gagasan bahwa intervensi atas orang-orang yang

teradikalisasi adalah cara yang dapat diandalkan

untuk menghentikan atau mengurangi terorisme.

Hal ini disebabkan antara lain karena tidak ada

cara untuk mengetahui secara pasti berapa

banyak orang-orang yang berpikiran radikal yang

akan melakukan kekerasan pada waktu tertentu

jika tidak ada program kontraradikalisme.

63

Arun Kundnani, “A Decade Lost”, h. 25

Ukuran sampel dari jumlah teroris terlalu kecil

untuk menghadirkan tren yang jelas. Definisi

serta implementasi kontraradikalisme juga

terlalu samar. Sementara itu, menurut Berger,

terdapat kemungkinan program tersebut akan

membawa pada efek yang bertolak belakang,

yaitu bertransformasinya orang-orang berpaham

radikal tersebut menuju jalan kekerasan akibat

kebijakan kontraradikalisasi yang tidak efektif.

Dengan kata lain, mengingat betapa sedikitnya

kaum radikal yang berubah menuju jalan

kekerasan, ada risiko yang tidak boleh dipandang

sebelah mata bahwa usaha untuk memprogram

kembali orang-orang yang berada pada awal

proses radikalisasi justru bisa menciptakan lebih

banyak teroris.

- Mitos Ketiga: Radikalisasi adalah masalah

terbaik yang ditangani oleh penegak hukum

Karena kita berbicara tentang radikalisasi

dan ekstremisme dalam konteks terorisme, kita

semakin mengaburkannya dengan perbedaan

pendapat politik yang legal dengan dalih untuk

penyelidikan. Sikap ini semakin terlihat sejak

peristiwa 11 September, terutama terhadap umat

Islam. Kejadian menarik terjadi dalam kasus

Tamleran Tsarnaev, yang diduga melakukan bom

Boston. Banyak yang menyayangkan kenapa

jamaah masjid di Cambridge tidak melaporkan

Tsarnaev ke FBI saat dia meneriakkan kata

“kafir”. Pertanyaannya, apakah orang-orang

tersebut juga melapor ke FBI saat mereka

melihat stiker-stiker yang berbau rasisme? Jika

sampai demikian, akan banyak teroris dan

penjahat yang bisa dikenal sebelum dia

27

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

ditangkap. Jika “mungkin akan menjadi pelaku

kriminal” menjadi pusat dari kebijakan

kontraterorisme, maka akan banyak sekali hasil

tangkapan yang akan berjejer di depan pejabat

keamanan.

- Mitos Empat: Radikalisasi selalu buruk

Martin Luther King Jr. dulu dianggap sebagai

radikal yang berbahaya di zamannya karena dia

menganjurkan kesetaraan rasial terhadap

norma-norma sosial pada masanya. 64 Hanya

sedikit orang pada hari ini yang akan membela

kebijakan penegak hukum waktu itu terhadap

Marthin Luther. Dalam konteks jamannya,

Marthin Luther adalah radikal, tapi dia juga

benar. Radikal dan radikalisasi dapat mengambil

banyak bentuk. Ada beberapa bentuk radikal

yang kita anggap menjijikkan dan regresif. Tapi,

terkadang radikalisme muncul untuk mengatasi

masalah nyata yang bercokol di masyarakat.

Putusan sejarah tidak selalu selaras dengan

pandangan umum saat ini. Terkadang,

masyarakat membutuhkan perubahan radikal,

tapi advokasi untuk perubahan tersebut tidak

berarti sama dengan advokasi untuk kekerasan

atau terorisme.

64

http://www.cnn.com/2008/US/03/31/mlk.fbi.conspiracy/

Penutup

Bagaimana kita menghentikan umat Islam

dari pengaruh paham radikal? Pertanyaan ini

begitu menggema di kalangan para pembuat

kebijakan kontraterorisme.

Pasca 911, mereka yang disebut sebagai

pakar terorisme yang didanai oleh pemerintah

dan think tank neokonservatif mengemukakan

konsep radikalisasi untuk mencoba menjelaskan

kekerasan yang diarahkan kepada Barat dan

sekutunya. Mereka berargumen bahwa akar

penyebab dari kekerasan tersebut terletak pada

ideologi mereka. Sejak saat itu, jutaan dollar

sudah dihabiskan untuk membuktikan bahwa

beberapa keyakinan Islam telah menyebabkan

para pemuda untuk melakukan pembunuhan atas

rekan senegaranya.

Namun kenyataannya, bukti untuk

mendukung analisis tersebut sangatlah lemah.

Memiliki keyakinan “Islam ekstrim” tidaklah

berhubungan dengan keterlibatan dalam

terorisme. Ideologi agama tidaklah secara

mekanis menyebabkan terorisme. Dalam hal

penyebab terjadinya terorisme, ada satu narasi

yang selama ini ditinggalkan oleh AS dan para

analisisnya, yaitu kebijakan luar negeri AS yang

membuat aksi terorisme lebih mungkin terjadi.

Radikalisasi selama ini diasumsikan sebagai

“proses pembuatan teroris”. Padahal, menurut

Jeremy Seabrook, kenyataannya tidak, butuh

rangkaian kesatuan ideologi yang panjang dalam

setiap sistem kepercayaan yang menyeluruh,

baik sekuler maupun agama. Meski tatanan

28

Laporan Khusus SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015

secara tepat dalam setiap tahap barangkali bisa

diperdebatkan, beberapa variasi menunjukkan

situasi yang lebih rumit dibanding sekadar

asumsi yang mencoba menggiring bahwa seorang

pendakwah dalam satu masjid dan dalam satu

kesempatan mampu mengubah seorang pemuda

biasa menjadi musuh bagi negaranya. Selama ini

kita dihantui oleh mentalitas ‘bersama kita atau

melawan kita’, oleh cerita ‘ekstrimis’ dan

‘moderat’, ‘gariskeras’ dan ‘mereka yang bisa kita

ajak kerjasama’. Pembagian secara simplisitik ini

mengaburkan realita yang sebenarnya.65

Lalu, mengapa standar prosedur di media

selalu fokus pada agama teroris, bukan keluhan

politik, dalam setiap analisis serangan terror? CJ

Werlemen menjawab bahwa itu semua dilakukan

karena “mudah dan menentramkan hati.

Mencirikan pelaku sebagai seseorang yang

fanatik dalam beragama memberi kita narasi

yang menentramkan—yaitu bahwa kekerasan

mereka berakar dari ekstrimisme dan tidak

memiliki konteks politik yang lebih luas yang

perlu investigasi atau pemeriksaan lebih lanjut.”

Radikalisasi harus dipahami sebagai sebuah

proses yang bersifat relational dan constructed.

Dengan demikian, ia adalah sebuah proses yang

tidak hanya melibatkan keyakinan dan aksi dari

kelompok perlawanan namun juga negara yang

terlibat konflik dengannya. Kekerasan adalah

hasil dari interaksi antara dua pihak dan persepsi

yang mereka bangun atas tindakan satu sama

65

Jeremy Seabrook, Myths of radicalization, Desember 2014, http://newint.org/columns/essays/2014/12/01/myths-of-radicalization/

lain, tidak sekadar produk dari ideologi salah

satu pihak. Apakah sebuah gerakan sosial

melompat menggunakan bentuk kekerasan

tertentu atau tidak, tidak dapat direduksi ke

dalam pertanyaan tentang muatan ideologi

mereka.