k. mustarom - syamina.orgsyamina.org/uploads/xvii_syamina_lapsus_janfeb2015.pdf · namun...
TRANSCRIPT
K. Mustarom
DERADIKALISASI
Upaya Untuk Membunuh Ide
LAPORAN KHUSUS
EDISI XVII / JANUARI-FEBRUARI 2015
Penulis:
K. Mustarom
Foto cover: Getty Images
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk
mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil
kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun
2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen
umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran
yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli
terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada
metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang
dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
EXECUTIVE SUMMARY ............................................................................................ 4
1. Pendahuluan ..................................................................................................... 5
2. Definisi Narasi .................................................................................................. 8
3. Narasi Para Jihadis .......................................................................................... 10
Tema Utama dalam Narasi Para Jihadis ......................................................... 14
4. Kontranarasi Barat ........................................................................................... 16
Rekomendasi Kontranarasi .............................................................................. 17
a. Merusak Citra Jihadis Sebagai Pembela Umat Islam ................................ 19
b. Mendiskreditkan filosofi keagamaan Jihadis ............................................ 19
c. Merendahkan Kredibilitas Pembawa Pesan .............................................. 21
d. Menghalangi Sampainya Pesan-Pesan Jihadis Hingga ke Audien ............ 23
e. Mengeksploitasi Titik Lemah Ideologis ..................................................... 24
f. Mendorong Perpecahan dan Perselisihan Narasi ...................................... 24
5. Implementasi Deradikalisasi di Beberapa Negara .......................................... 25
a. Individual Disengagement .......................................................................... 26
b. Collective Disengagement .......................................................................... 28
c. Individual Deradicalization ........................................................................ 30
d. Collective Deradicalization ......................................................................... 31
6. Penutup ............................................................................................................ 32
4
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
EXECUTIVE SUMMARY
Dalam perang melawan teror, AS sudah
mengeluarkan sumber daya dalam jumlah yang
sangat besar. Triliunan dollar sudah digelontorkan
untuk mengacaukan, melucuti, dan mengalahkan Al
Qaidah dan kelompok-kelompok jihad lainnya.
Namun, hingga kini tujuan AS dan sekutunya untuk
mengakhiri perlawanan kelompok yang mengancam
hegemoni mereka tersebut tak jua mendatangkan
hasil yang diharapkan. Sampai akhirnya mereka
mengambil kesimpulan bahwa kesalahan terbesar
dalam Perang Melawan Teror adalah keyakinan
bahwa penghancuran kamp pelatihan Al Qaidah
akan membawa pada kehancuran kelompok
tersebut, gerakan-gerakan sekutu mereka dan
ideologi Salafi Jihadi yang mereka pegang.
Hari ini, saat inti Al Qaidah di Waziristan terus
digempur dengan serangan drone dan salah seorang
pemimpin mereka, Usamah bin Ladin, terbunuh,
narasi ideologi dan propaganda mereka masih terus
hidup dan mempengaruhi persepsi dan perilaku
ribuan pemuda Islam yang berderet dalam busur
dari Filipina di Timur hingga Mali di Barat. Dalam
sebuah rilisnya tentang Al Qaidah pada bulan
September 2013, The Economist menyebut Al
Qaidah sebagai “the unquenchable fire”, api yang
tidak bisa dipadamkan. “Al Qaidah mungkin telah
terpecah dan di beberapa tempat sudah habis.
Mungkin mereka sudah dijauhi oleh kelompok lain
yang memiliki ideologi yang mirip, dan mungkin
beberapa afiliasinya mengabaikan para pemimpin
yang sudah semakin menua. Namun, cara pandang
salafi jihadi terhadap dunia yang dipromosikan dan
diperjuangkan oleh Al Qaidah telah menjadi daya
tarik yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Fakta ini membuat Frank Ciluffo, mantan
pejabat Keamanan Dalam Negeri Gedung Putih,
mengakui bahwa, “Kita telah melakukan
pertempuran yang salah. Pusat gravitasi yang
sesungguhnya dari musuh kita adalah narasi
mereka.”
Fokus AS dan usaha kontraterosisme
internasional pun bergeser. Mereka memberikan
perhatian yang sangat besar pada sisi yang ‘lebih
lunak’ dalam perang melawan terorisme. Perang
melawan terorisme tidak hanya dilakukan dengan
konfrontasi militer, namun kini juga dimainkan
dalam ruang komunikasi yang meliputi ide, nilai-
nilai, dan persepsi.
Lee Hamilton, anggota Dewan Penasihat
Keamanan Nasional AS menyimpulkan bahwa, “Ini
adalah perang yang berbeda, yaitu perang ide, yang
pada akhirnya akan menentukan berhasil atau
tidaknya pertempuran yang kita lakukan…
Kekuatan militer memang sangat diperlukan, tapi
tidak cukup dengan itu. Pada akhirnya, kita hanya
akan mampu mengalahkan teror jika kita
memenangkan perang ide.”
Perang ide adalah tentang mempunyai narasi
yang lebih kredibel dan membuatnya efektif. Dalam
perang, narasi jauh lebih dari sekedar cerita. Narasi
mungkin terdengar seperti kata sastra yang mewah,
tetapi sebenarnya ia adalah dasar dari semua
strategi, yang di atasnya seluruh kebijakan, retorika
dan tindakan dibangun.
Para analis Barat mengidentifikasi empat
elemen kunci dalam setiap narasi yang selama ini
disampaikan oleh para Jihadis:
5
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Islam diserang oleh pasukan Salib yang dipimpin
oleh AS
Para Jihadis, yang oleh Barat disebut sebagai
teroris, membela umat Islam dari serangan
tersebut
Aksi yang mereka lakukan dalam rangka
membela Islam dilakukan secara proporsional,
adil, dan terlegitimasi oleh dalil agama
Tugas bagi Muslim yang baik adalah mendukung
aksi tersebut
Narasi ini menyerukan dilakukannya jihad
global. Potensi mereka berakar pada konsep
fundamental dalam Perang Generasi Keempat
(4GW), bahwa political will yang lebih superior, jika
digunakan dengan tepat, akan mampu
mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang
lebih besar.
Dalam penelitiannya, Tom Quiggin
menyimpulkan delapan tema inti yang sering
muncul dalam literatur dan pernyataan Jihadis.
Delapan tema tersebut adalah: jihad, bai’at, darul
Islam, ummat, takfir, syahid, al-wala’ wa al-bara’,
dan hijrah.
Pentingnya kedelapan tema tersebut membuat
usaha kontranarasi juga berfokus pada kedelapan
tema tersebut. Demi melawan narasi para Jihadis, 2
milyar dollar pun digelontorkan pada tahun 2012
untuk membangun kontranarasi yang lebih kuat.
Konsep kontranarasi tersebut dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
Merusak citra jihadis sebagai pembela umat
Islam
Mendiskreditkan filosofi keagamaan Jihadis
Merendahkan kredibilitas pembawa pesan
Menghalangi sampainya pesan-pesan Jihadis
hingga ke audien
Mengeksploitasi titik lemah ideologis
Mendorong perpecahan dan perselisihan narasi
Narasi dan kontranarasi terus bersahutan.
Komitmen untuk membuat narasi yang efektif,
berpegang padanya serta menyampaikannya pun
menjadi tantangan bagi kedua belah pihak yang saat
ini terlibat dalam sebuah “perang tanpa akhir”. Di
saat Al Qaidah dipandang sangat ahli dalam
menggunakan narasi untuk mempromosikan alasan
mereka, AS dianggap gagal. Kebijakan-kebijakan
yang dilakukan AS hanya memperburuk situasi.
Para analis Barat pun menyimpulkan bahwa hanya
jika mereka mampu “menghancurkan mitos yang
dipropagandakan oleh teroris dan simpatisannya, ia
akan mampu untuk membelokkan angin dari layar
yang selama ini membuat perahu terorisme terus
berjalan.”
Narasi menjadi bahan bakar yang selama ini
membuat perahu perlawanan terus berjalan. Karena
itulah, kontranarasi kini diharapkan bisa menjadi
penghalang. Delegitimasi pembawa pesan,
pemberian alternatif definisi dari isi pesan, hingga
pembunuhan para ideolog pun dilakukan. Namun,
sebagaimana penemuan yang dihasilkan dari
penelitian Richard Nielsen, ide-ide Jihadis secara
umum tidak bisa dibunuh dengan membunuh
pemiliknya. Program drone mungkin efektif untuk
membatasi aktivitas dan komunikasi Jihadis,
namun pembunuhan atas para ideolog tidak
menurunkan ketertarikan pada ide-ide mereka.
6
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
1. Pendahuluan
Terorisme adalah teater, begitu juga
kontraterorisme. Forum publik adalah
panggungnya, dan pemerintah, partai politik,
masyarakat sipil, dan media semuanya adalah
aktor, yang kesemuanya menjalankan perannya
masing-masing. Yang penting bukan hanya apa
yang kita lakukan, namun bagaimana performa
kita diterima dan dipandang oleh berbagai
khalayak. Teroris adalah seorang performer,
namun kontraterorisme juga soal performa. Ia
tidak hanya melibatkan penargetan,
pengawasan, pencegahan, dan pengejaran,
namun juga melibatkan proses penghasilan
citra dan cerita. Dinamika teror yang
sebenarnya justru terletak pada penceritaan
kisahnya.1
National Security Strategy menyebut
peperangan melawan terorisme ini sebagai
“perang yang berbeda dengan perang yang
pernah dilakukan dalam sejarah kita” dan
menyerukan dilakukannya transformasi
lembaga keamanan nasional “yang didesain
dalam sebuah era yang berbeda untuk
memenuhi kebutuhan yang berbeda.” 2 Dalam
perang melawan teror, AS sudah mengeluarkan
sumber daya dalam jumlah yang sangat besar.
Triliunan dollar sudah digelontorkan untuk
mengacaukan, melucuti, dan mengalahkan Al
Qaidah dan sekutunya.3
1 Anthony Kubiak, Spelling It Out: Narrative Typologies of
Terror, Studies in the Novel, 3rd ser., 36 (Fall 2004): 300. 2 The White House, The National Security Strategy of the
United States of America, September 2002 3 Sam Stein, From 9/11 to Osama bin Laden’s Death, Congress
Spent $1.28 Trillion in War on Terror”, The Huffington Post, 5 Mei 2011
Namun, hingga kini tujuan AS dan
sekutunya untuk mengakhiri perlawanan
kelompok yang mengancam hegemoni mereka
tersebut tak jua mendatangkan hasil yang
diharapkan. Sampai akhirnya mereka
mengambil kesimpulan bahwa kesalahan
terbesar dalam Perang Melawan Teror adalah
keyakinan bahwa penghancuran kamp
pelatihan Al Qaidah akan membawa pada
kehancuran kelompok tersebut, gerakan-
gerakan sekutu mereka dan ideologi Salafi
Jihadi yang mereka pegang.4
Beatrice de Graaf berpendapat bahwa para
Jihadis kini melakukan “influence warfare”,
perang untuk membujuk berbagai target audien
yang berbeda untuk bersatu di belakang
mereka. Jika “perang ide” pada faktanya adalah
medan tempur paling penting dalam perang
melawan teror secara umum, de Graaf
memandang bahwa AS masih mengalami
kekalahan. Sebagaimana kesimpulan yang
disampaikan oleh Presidential Task Force AS,
Al Qaidah masih menjadi ancaman utama “bagi
AS dan sekutunya, bukan hanya karena
kemampuan mereka untuk melakukan
serangan teror skala besar, namun juga karena
kemampuan mereka untuk menyebarkan
ideologi dan propaganda secara luas.”5
Pemerintah Obama memang dipandang
cukup berhasil dalam mengeliminasi
kepemimpinan inti Al Qaidah, namun demikian
4 Dina Al Raffie, Whose Hearts and Minds? Narratives and
Counter-Narratives of Salafi Jihadism, Journal of Terrorism Research, Volume 3, Issue 2, 2012 5 Beatrice de Graaf, Why Communication and Performance Are
Key In Countering Terrorism, International Centre for Counter-Terrorism—the Hague, 2010.
7
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
jangkauan pengaruh Al Qaidah mampu
mencapai jauh di atas jangkauan
operasionalnya. Itulah mengapa mereka tetap
dianggap sebagai ancaman terbesar bagi AS
dalam beberapa tahun yang akan datang. Al
Qaidah Pusat memang mulai mengalami
penurunan, namun ideologi dan gerakan
mereka masih terus bergelora.
La Marca menyimpulkan bahwa untuk
mencapai kesuksesan paripurna dalam perang
melawan Jihadis, terutama Al Qaidah dan
afiliasinya, dibutuhkan usaha untuk
meluruhkan ideologi dan daya tarik mereka.
Hanya saat “kemampuan mereka untuk
melakukan regenerasi dengan menarik
rekrutmen dan simpatisan baru berhasil
dilemahkan dan yang lebih penting lagi… saat
alasan mereka berhasil didiskreditkan, maka
kita bisa mulai bisa bicara secara serius tentang
kesuksesan.”6
Salah satu solusi populer yang ditawarkan
oleh para pembuat kebijakan dan akademisi
adalah dengan mengembangkan kontranarasi
yang kredibel. Solusi ini berakar dari alasan
dasar bahwa, “dalam pasar ide, Barat
kehilangan pangsa pasarnya.”7
Fokus AS dan usaha kontraterosisme
internasional pun bergeser. Mereka
memberikan perhatian yang sangat besar pada
sisi yang ‘lebih lunak’ dalam perang melawan
6 Kumar Ramakrishna, Delegitimizing Global Jihadi Ideology in
Southeast Asia, Contemporary Southeast Asia27, no.3 (2005): 345. 7 Christian Leuprecht et al., Winning the Battle but Losing the
War?: Narrative and Counter-Narratives Strategy, Perspectives on Terrorism 3, no. 2 (2009)
terorisme. Perang melawan terorisme tidak
hanya dilakukan dengan konfrontasi militer,
namun kini juga dimainkan dalam ruang
komunikasi yang meliputi ide, nilai-nilai, dan
persepsi. Mereka menyadari bahwa menangkap
dan membunuh teroris bukanlah strategi yang
realistis. Mantan menteri pertahanan AS,
Donald Rumsfeld, pernah membuat pernyataan
yang fundamental dalam memorandum tahun
2003: “Apakah kita menangkap, membunuh,
atau menghalangi lebih banyak teroris setiap
hari daripada madrasah dan ulama radikal yang
merekrut, melatih, dan menyebarkan
(pemahaman) melawan kita?”8
Mereka kini menyimpulkan bahwa
melakukan kontra ideologi yang menyebabkan
ekstrimisme sangat penting untuk mencegah
dan mengalahkan kekerasan yang muncul
darinya. Bagi mereka, ide-ide Al Qaidah dan
sejenisnya harus ditantang dengan
kontranarasi yang lebih kuat. Pengakuan akan
dilakukannya perang ide pun mulai tumbuh.9
Dalam peperangan melawan Al Qaidah
dan sejenisnya, menurut Boukhars, hanya bisa
dimenangkan jika pesan dan ideologi mereka
dikalahkan. 10 Lee Hamilton, anggota Dewan
Penasihat Keamanan Nasional AS juga
menyimpulkan bahwa, “Ini adalah perang yang
berbeda—perang ide—yang pada akhirnya akan
menentukan berhasil atau tidaknya
8 Memo from Secretary of Defense Donald Rumsfeld’, 16
Oktober 2003 9 Michael Jacobson, Learning Counter-Narrative Lessons from
Cases of Terrorist Dropouts dalam Countering Violent Extremist Narratives, National Coordinator for Counterterrorism (NCTb), Juli 2010 10
http://www.brookings.edu/research/opinions/2009/06/22-al-qaeda-boukhars
8
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
pertempuran yang kita lakukan… Kekuatan
militer memang sangat diperlukan, tapi tidak
cukup dengan itu. Pada akhirnya, kita hanya
akan mampu mengalahkan teror jika kita
memenangkan perang ide.”11
Perang ide adalah tentang mempunyai
narasi yang lebih kredibel dan membuatnya
efektif. Dalam perang melawan Jihadis, bukan
kekuatan persenjataan namun narasi mereka
lah yang mampu menarik para pemuda.12 Fakta
ini membuat Frank Ciluffo, mantan pejabat
Keamanan Dalam Negeri Gedung Putih,
mengakui bahwa, “Kita telah melakukan
pertempuran yang salah. Pusat gravitasi yang
sesungguhnya dari musuh kita adalah narasi
mereka.”13
2. Definisi Narasi
Narasi adalah “garis kisah yang memaksa
yang bisa menjelaskan peristiwa secara
meyakinkan dan darinya kesimpulan bisa
ditarik. Narasi bersifat strategis karena ia
dirancang atau dipelihara dengan niat untuk
menyusun respon pihak lain terhadap peristiwa
yang sedang berkembang.” 14 Narasi tidak
muncul secara spontan, namun ia dibangun
atau diperkuat secara sengaja di luar ide atau
pemikiran yang ada saat ini. Narasi
mengekspresikan sense of identity dan sense of
belonging serta mengomunikasikan sense atas 11
http://www.huffingtonpost.com/lee-h-hamilton/to-win-the-war-on-terror-_b_6722214.html 12
Alex P. Schmid, Al-Qaeda’s “Single Narrative” and Attempts to Develop Counter-Narratives: the State of Knowledge, The Hague: ICCT, Januari 2014, hal.5 13
A. Ripley, Reverse Radicalism, TIME, 13 Maret 2008 14
Lawrence Freedman, The Transformation of Strategic Affairs, Adelphi Paper 379, London: The International Institute for Strategic Studies, 2006, hal 22.
alasan, tujuan, dan misi. 15 Narasi adalah
sumber daya yang sangat kuat untuk
mempengaruhi target audien, ia menawarkan
bentuk alternatif dari rasionalitas yang berakar
kuat dalam budaya, yang bisa digunakan untuk
menginterpretasikan dan membingkai
peristiwa-peristiwa lokal dan untuk mendorong
dilakukannya aksi-aksi personal tertentu.16
Pakar militer David Kilcullen
mendefinisikan narasi sebagai “sebuah kisah
yang menyatukan yang sederhana dan mudah
diekspresikan, atau penjelasan yang mengatur
pengalaman manusia dan memberikan
kerangka kerja untuk memahami peristiwa.”17
George Dimitriu menjelaskan bahwa “narasi
adalah sumber daya bagi aktor politik untuk
membangun makna bersama untuk
membentuk persepsi, keyakinan, dan perilaku
publik”, mereka mengatur sebuah struktur yang
dengannya “sense bersama berhasil dicapai,
yang mewakili masa lalu, masa kini, masa
depan, hambatan, dan tujuan akhir yang
diinginkan.” 18 Definisi lain disampaikan oleh
Steve Tatham yang menjelaskan bahwa “narasi
adalah sebuah penjelasan tematik dan
15
David Betz, The Virtual dimension of Contemporary Insurgency and Counterinsurgency, Small Wars & Insurgencies 19(4), 2008, hal 515. 16
Steven R. Corman, Understanding the Role of Narrative in Extremist Strategic Communication, dalam Laurie Fenstermacher dan Todd Leventhal (Eds.), Countering Violent Extremism: Scientific Methods and Strategies (Washington, DC: NSI Inc., September 2011), hal. 36. 17
Mark Laity, Strategic Communications, dalam A. Aykut Ömcü, Troy Bucher and Osman Aytac, Strategic Communications for Combating Terrorism, 2010, hal. 14 18
G. Dimitriu, Strategic Narratives, Counternarratives and Public Support for War: The Dutch government’s explanation of the Uruzgan mission and its influence on the Dutch Public, Leiden University: Master Thesis, Campus The Hague, 2 Februari 2013, hal. 13.
9
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
berurutan yang menyalurkan makna dari
pengarang kepada peserta tentang peristiwa
tertentu.”19
Narasi mengacu pada "ungkapan lisan
atau tertulis dari peristiwa-peristiwa yang
terhubung" yang dikuatkan oleh oleh "seni
bercerita." Narasi berkaitan dengan bagaimana
sesuatu diceritakan hingga ia menjadi
"melekat". Sebuah narasi ideologis berkaitan
dengan tujuan strategis yang menyeluruh
"untuk memenangkan hati dan pikiran" dan
memberikan makna yang jelas dari peristiwa
yang membingungkan. Berdasarkan sifatnya, ia
hampir tidak pernah seimbang, terdiri dari
setengah kebenaran dan kebohongan, demi
melayani tujuan untuk memobilisasi dukungan
massa untuk suatu tujuan. Dalam sebuah
konflik, narasi digunakan untuk memobilisasi
dukungan demi sebuah tujuan dalam perang
ide melawan musuh.20
Narasi sangat berhubungan dengan
bagaimana kognisi manusia berfungsi.
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan
bahwa cerita mampu mempengaruhi
kemampuan kita untuk mengingat kembali
peristiwa, memotivasi seseorang untuk
melakukan sebuah tindakan, mengatur reaksi
emosional kita akan sebuah peristiwa,
19
Steve Tatham, Understanding Strategic communication: Toward a Definition, dalam A. Aykt Ömcü et al, Strategic Communications for Combating Terrorismm, 2010, hal. 27 20
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/262/html
menyusun kemampuan problem solving kita,
dan bahkan mendasari identitas sejati kita.21
Melihat pentingnya story telling dalam
pemikiran manusia, tidaklah mengejutkan jika
narasi menempati posisi yang sangat krusial
dalam peperangan dan hubungan internasional
secara umum. Michael Vlahos mengatakan
bahwa:"Dalam perang, narasi jauh lebih dari
sekedar cerita. Narasi mungkin terdengar
seperti kata sastra yang mewah, tetapi
sebenarnya ia adalah dasar dari semua strategi,
yang di atasnya seluruh kebijakan, retorika dan
tindakan dibangun. Narasi perang perlu
diidentifikasi dan diperiksa secara kritis dengan
cara mereka sendiri, karena mereka dapat
menerangi sifat dalam (inner nature) dari
perang itu sendiri. Narasi perang menjalankan
tiga fungsi penting.
Pertama, ia adalah kerangka kerja
kebijakan. Kebijakan tidak bisa eksis
tanpa landasan kebenaran yang saling
terhubung satu sama lain yang dengan
mudah diterima oleh masyarakat—karena
mereka tampak jelas dan tak
terbantahkan.
Kedua, narasi bekerja sebagai kerangka
kerja justru karena ia hanya mewakili visi
eksistensial tersebut. ‘Kebenaran’ yang ia
tegaskan secara kultural tidak mungkin
untuk dibongkar atau bahkan dikritik.
Ketiga, setelah menyajikan logika perang
yang tak diperselisihkan lagi, narasi
kemudian secara praktis berfungsi sebagai 21
William D. Casebeer dan James A. Russell. “Storytelling and Terrorism: Towards a Comprehensive ‘Counter-Narrative Strategy.” Strategic Insights 4, no. 3 (2005)
10
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
buku pegangan retorika tentang
bagaimana perang itu harus
diperdebatkan dan dijelaskan.”22
Pemerintah AS membangun narasi
strategis untuk membantu mencapai tujuan
yang diinginkan. Narasi tersebut strategis
karena mereka “didesain atau dipelihara
dengan niatan untuk menyusun respon pihak
lain atas peristiwa yang sedang berkembang.23
Richard Jackson berpendapat bahwa dalam
kasus "perang melawan teror", narasi AS adalah
wacana yang sengaja dibangun yang memiliki
efek akhir terjadinya normalisasi kebijakan
kontra-terorisme, menguatkan elit politik,
memarjinalisasi perbedaan pendapat publik
dan menegakkan persatuan nasional.
Menurutnya, narasi yang dibangun Amerika
dalam 'perang melawan teror' telah begitu
sukses hingga tertanam pada lembaga-lembaga
penegakan hukum, keamanan nasional, sistem
hukum dan proses legislatif dan eksekutif.24
22
Michael Vlahos, The Long War: A Self-defeating Prophecy, Asia Times, 9 September 2006. 23
Freedman, The Transformation, hal. 22. 24
Richard Jackson. Writing the War on Terror: Language, Politics and Counter-Terrorism. Manchester: Manchester University Press, 2005
3. Narasi para Jihadis
Bagi para Jihadis, narasi adalah senjata
yang sangat penting dalam perang saat ini. Al
Qaidah melakukan perlawanan yang didukung
oleh sebuah narasi yang memberikan
pengesahan kepada strategi mereka,
menjustifikasi taktik, mempropagandakan
ideologi, dan mendapatkan rekrutmen baru.
Dalam salah satu pernyataannya, salah
seorang tokoh Al Qaidah, Anwar Al-Awlaki
menyatakan bahwa, “Jihad di sini tidak sekadar
memanggul senjata dan bertempur. Jihad lebih
luas daripada itu. Apa yang dimaksud dengan
jihad dalam konteks ini adalah usaha total dari
Ummat untuk berjuang dan mengalahkan
musuh mereka. Rasulullah SAW bersabda:
‘Perangilah orang-orang kafir dengan dirimu,
hartamu, dan dengan lisanmu. Inilah yang
dalam istilah Clausewitz sebagai ‘perang total’
namun dengan aturan perang Islam. Ini adalah
pertempuran di medan perang dan perang
untuk memenangkan hati dan pikiran.”25
Al Qaidah membangun narasi politiknya
di atas tradisi Islam, mencocokkan dan
mentransformasi elemen-elemen kunci dari Al-
Qur’an dan Hadits, dari sejarah hidup Nabi
Muhammad SAW dan dari sejarah awal Islam
untuk tujuan ideologis mereka. 26 Melekatnya
jihad dalam tradisi Islam memberi Al Qaidah
tampilan yang unik dan justifikasi yang jelas. Ia
juga memberikan semacam ketidakrapuhan, di
25
Anwar al-Awlaki, A Question About the Method to Establishing Khilafah, kalamullah.com 26
Zeyno Baran, Countering Ideological Support for Terrorism in Europe: Muslim Brotherhood and Hizb ut-Tahrir – Allies or Enemies?, Connections 5, No. 3 (Winter 2006), hal. 10.
11
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
mana setiap serangan padanya bisa
digambarkan sebagai serangan pada Islam.27
Selain menggunakan simbolisme agama,
instrumen lain yang digunakan oleh Al Qaidah
dalam narasinya adalah seni retorika kuno,
yaitu (a) Logos: menggunakan argumentasi
rasional, (b) Ethos: menciptakan citra yang bisa
dipercaya dan otentik, (c) Pathos:
memanipulasi emosi dari khalayak yang
disasar.28 Retorika adalah salah satu instrumen
dari soft power. Soft power bersandar pada
kemampuan untuk menentukan agenda politik
dalam sebuah cara yang mampu membentuk
preferensi orang lain.”29
Kekuatan narasi Al Qaidah banyak
berlandaskan pada keluhan dan persepsi yang
banyak umat Islam mempercayainya—bahkan
mungkin mayoritas di beberapa negara. Mereka
sukses mengaplikasikan apa yang disebut oleh
Harold Lasswell sebagai “manajemen perilaku
kolektif melalui manipulasi simbol yang
signifikan.”30
Aspek yang unik dari penyebaran ideologi
Al Qaidah adalah kemampuan mereka untuk
membangun master narasi yang bisa digunakan
sebagai template bagi cabang mereka atau
27
Sudhanshu Sarangi and David Canter, The Rhetorical Foundations of Militant Jihad, dalam David Canter (Ed.), The Faces of Terrorism: Multidisciplinary Perspectives (Chichester: Wiley-Blackwell 2009), hal. 35 28
Bouchra Oualla, Strategies of Argumentation in the Propaganda of Jihad: The Analysis of a Jihadi YouTube Video, hal. 121-140, dalam Rüdiger Lohlker (Ed.), Jihadism: Online Discourses and Representation (Vienna: University Press, 2013), hal. 123-124. 29
Joseph S. Nye Jr., The Paradox of American Power (Oxford: University Press, 2002), hal. 9 30
Diana Rieger, Lena Frischlich and Gary Bente, Propaganda 2.0 Psychological Effects of Right-Wing and Islamic Extremist Internet Videos (Köln: Luchterland Verlag, 2013), hal. 6
kelompok-kelompok lokal untuk membentuk
pesan sesuai dengan kultur atau keluhan dari
target audien.31 Carlo Ciobacco menyimpulkan
bahwa para pemimpin Al Qaidah sangat mahir
dalam menyesuaikan narasi mereka dengan
berbagai audien yang berbeda di seluruh dunia
dalam rangka mengeksploitasi sensitivitas
keluhan lokal. Mereka juga mampu untuk
menggunakan komunikasi digital seperti
internet, TV, telepon genggam untuk
menyampaikan pesan-pesannya yang pada
akhirnya semakin menguatkan narasi
tersebut.32
Al Raffie mencatat bahwa Al Qaidah
mendasarkan pesan-pesannya dari teks-teks
Islami sebagai sumber legitimasi, sebelum
mengidentifikasi pendukung kunci eksternal
bagi narasi ideologis mereka. Di sinilah, dalam
kesimpulan Al Raffie, kebijakan-kebijakan luar
negeri AS menjadi santapan empuk kelompok
Salafi Jihadi yang justru semakin mengekalkan
kredibilitas klaim mereka.33
David Kilcullen juga menyimpulkan hal
yang sama, menurutnya, “Al Qaidah sangat
terampil mengeksploitasi berbagai aksi, baik
oleh kelompok maupun oleh individu, dengan
membingkainya dalam sebuah narasi
propaganda untuk memanipulasi audien lokal
dan global. Al Qaidah memiliki sebuah jaringan
31
Open Source Center, Monitor 360, and Center for Strategic Counterterrorism Communications, Special Report: Al-Qaeda, September 2011, (http://info.publicintelligence.net/OSCAlQaedaMasterNarratives.pdf) 32
Carl Ciovacco, The Contours of al-Qaeda’s Media Strategy, Studies in Conflict and Terrorism 32 (2009): 856-857. 33
Dina Al Raffie, Whose Hearts and Minds? Narratives and Counter-Narratives of Salafi Jihadism
12
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
yang mengumpulkan informasi tentang
perdebatan di Barat dan menyetorkannya
kepada para pemimpin mereka beserta dengan
assessment tentang efektvitas propaganda
mereka. Mereka menggunakan operasi fisik
(pemboman, kegiatan pemberontakan) sebagai
bahan pendukung dari sebuah kampanye
propaganda yang terpadu. Sisi informasi dalam
operasi Al Qaidah adalah yang utama; operasi
fisik hanyalah alat untuk mencapai sebuah hasil
propaganda.”34
Hal ini, menurut Kilcullen, kontras ini
dengan pendekatan Barat: “Kita biasanya
merancang operasi fisik dulu, kemudian
merangkai operasi informasi pendukung untuk
menjelaskan tindakan kita… Dalam istilah
militer, bagi Al Qaidah "upaya utama" adalah
informasi; bagi kita, informasi adalah "upaya
pendukung."35
Pernyataan ini diamini oleh Scheuer.
Menurutnya, Amerika tidak memiliki produk
hati dan pikiran yang bisa dijual yang membuat
kita mendapatkan perhatian di pusat publik
Islam. Scheuer menambahkan bahwa Usamah
bin Ladin telah dengan sukses membuat
kebijakan luar negeri AS sebagai pusat dalam
perang ide, di mana dukungan AS pada Israel,
manipulasi mereka atas harga minyak,
dukungan mereka pada Rusia dalam kasus
Chechnya, serangan mereka ke negara Muslim
di Afghanistan dan Irak membuat banyak
muslim moderat—yang mereka sebenarnya 34
David Kilcullen, New Paradigms for 21st Century Conflict, Smallwarsjournal.com, http://smallwarsjournal.com/blog/new-paradigms-for-21st-century-conflict 35
ibid
tidak sepakat dengan tindakan para militan—
membenci AS, sebagaimana polling yang
dilakukan oleh Pew, Gallup, BBC, dan Zogby.36
Lalu, apa narasi para Jihadis tersebut?
Para analis Barat, berdasarkan riset yang
mereka lakukan menyimpulkan beberapa
narasi yang digunakan oleh para Jihadis dalam
upaya untuk melawan hegemoni AS dan
sekutunya. Leuprecht et al mengidentifikasi
empat elemen kunci dalam setiap narasi
Jihadis, terutama yang digunakan oleh Al
Qaidah:37
1. Islam diserang oleh pasukan Salib yang
dipimpin oleh AS
2. Para Jihadis, yang oleh Barat disebut
sebagai teroris, membela umat Islam dari
serangan tersebut
3. Aksi yang mereka lakukan dalam rangka
membela Islam dilakukan secara
proporsional, adil, dan terlegitimasi oleh
dalil agama
4. Tugas bagi Muslim yang baik adalah
mendukung aksi tersebut
Pusat pesan utama yang dilakukan oleh
para Jihadis adalah bahwa dunia Islam sedang
diserang dan dikepung, umat Islam dibantai
dan ditindas, dan satu-satunya respon yang
tepat untuk mengatasinya adalah dengan jihad.
Pesan ini diulang-ulang bertahun-tahun oleh
36
Michael Scheuer, Marching Toward Hell: America and Islam after Iraq (New York: Free Press, 2008), hal. 206-7 37
Leuprecht, Christian et. Al, Narratives and Counter-Narratives for Global Jihad: Opinion versus Action, dalam “Countering Violent Extremist Narratives” National Coordinator for Counterterrorism (NCTb), Juli 2010
13
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
para ulama Jihadis melalui berbagai majalah
online yang dirilis oleh Jihadis maupun melalui
pernyataan video. Repetisi yang mereka
lakukan, melalui berbagai variasi sumber,
sangat esensial dalam menguatkan pesan
tersebut.
Retorika mereka pun bukan sekadar
omong kosong, mereka menguatkannya dengan
contoh faktual korban Muslim di Irak dan
Afghanistan sebagai akibat dari tindakan rezim
represif yang didukung oleh Barat, eksploitasi
kekayaan dan sumber daya umat Islam,
diskriminasi dan ketidakadilan terhadap
Muslim minoritas, dan berbagai keluhan lain.
Narasi ini menyerukan dilakukannya jihad
global. Potensi mereka berakar pada konsep
fundamental dalam Perang Generasi Keempat
(4GW), bahwa political will yang lebih
superior, jika digunakan dengan tepat, akan
mampu mengalahkan kekuatan ekonomi dan
militer yang lebih besar. 38 Narasi ini sangat
strategis karena:
1) ia tidak muncul secara spontan namun
secara sengaja dibangun atau dikuatkan
oleh ide dan pemikiran yang mampu
mengungkapkan rasa kepemilikan dan
identitas, serta mampu mengkomunikasi-
kan sebab, tujuan dan misi; dan
2) ia bergantung pada daya tarik selektif
berdasarkan bukti atau pengalaman, dan
38
Thomas X. Hammes. 2005. War evolves into the fourth generation, Contemporary Security Studies Vol. 26, No. 2, 2005, hal.189-221.
bahkan mampu mengandalkan daya tarik
emosi dan analogi sejarah.39
Al Qaidah melihat misinya sebagai
menjadi pelopor pemberontakan kaum
tertindas. Al Qaidah tahu bahwa mereka tidak
bisa mencapai tujuan tersebut sendiri,
karenanya mereka perlu menginspirasi massa
dengan pesan semangat yang dimaksudkan
untuk menciptakan revolusi.
Mungkin narasi mereka dipandang terlalu
melakukan simplifikasi hitam putih dari situasi
sejarah masa lalu dan kontemporer yang
kompleks, namun ia tidak bisa dipandang
sebagai sesuatu yang tidak realistis,
sebagaimana Teori Thomas yang menyatakan
bahwa: “Jika seseorang mendefinisikan sesuatu
sebagai hal yang riil, maka mereka menjadi
nyata sebagai konsekuensinya”, yang juga
selaras dengan variasi yang disampaikan oleh
Paul Watzlawick bahwa: “Hal yang riil adalah
apa yang diperlakukan sebagai riil.”40
Dalam pertempuran informasi dan
pengaruh, Al Qaidah dan afiliasinya
menggunakan berbagai peluang yang
ditawarkan oleh internet—yang ironisnya pada
awalnya dikembangkan oleh Pentagon—dengan
membuat website Jihadis dan memanfaatkan
media sosial dalam berbagai bahasa. Mereka
39
Lawrence Freedman. The Transformation of Strategic Affairs, Adelphi Paper No. 379. London: International Institute for Strategic Studies. March 2006. h.22-23 40
Alex P. Schmid, Al-Qaeda’s “Single Narrative” and Attempts to Develop Counter-Narratives, hal. 7
14
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
dikelola secara profesional dan diupdate secara
konsisten.41
Al Qaidah menggabungkan antara pena
dan pedang, dakwah dan jihad.42 Usamah bin
Ladin pernah menulis kepada Mullah Umar:
“Sangat jelas bahwa perang media pada abad
ini adalah salah satu metode yang paling kuat;
pada faktanya, rasionya mungkin mencapai
90% dari total persiapan dalam
pertempuran.” 43 Dalam bahasa yang mirip,
Aiman Azh-Zhawahiri pernah menulis surat
kepada Abu Mus’ab Az-Zarqawi: “Saya katakan
padamu bahwa kita sedang dalam sebuah
pertempuran, dan bahwa lebih dari separuh
dari pertempuran ini adalah pertempuran
media. Dan kita berada dalam sebuah
pertempuran media untuk memenangkan hati
dan pikiran umat kita.”44
Hari ini, saat inti Al Qaidah di Waziristan
terus digempur dengan serangan drone dan
salah seorang pemimpin mereka, Usamah bin
Ladin, terbunuh, narasi ideologi dan
propaganda mereka masih terus hidup dan
mempengaruhi persepsi dan perilaku ribuan
pemuda Islam yang berderet dalam busur dari
Filipina di Timur hingga Mali di Barat. Dalam
sebuah rilisnya tentang Al Qaidah pada bulan
41
Daniel Byman, The Five Front War: The Better Way to Fight Global Jihad. Hoboken (New Jersey: John Wiley and Sons, 2008), hal. 160-169; 42
Alex P. Schmid, Al-Qaeda’s “Single Narrative”, hal. 8 43
Document AFGP-2002-600321 in Harmony Database, US Department of Defense; Donald Holbrook, “Al Qaeda Communiqués by Bin Laden and Al-Zawahiri: A Chronology”, in Alex P. Schmid, The Routledge Handbook (2011), hal. 280. 44
Ayman al Zawahiri, Letter from al-Zawahiri to al-Zarqawi, Federation of American Scientists (Globalsecurity.com, 2005), http://www.globalsecurity.org/security/library/report/2005/zawahiri-zarqawi-letter_9jul2005.htm.
September 2013, The Economist menyebut Al
Qaidah sebagai “the unquenchable fire”, api
yang tidak bisa dipadamkan. “Al Qaidah
mungkin telah terpecah dan di beberapa tempat
sudah habis. Mungkin mereka sudah dijauhi
oleh kelompok lain yang memiliki ideologi yang
mirip, dan mungkin beberapa afiliasinya
mengabaikan para pemimpin yang sudah
semakin menua. Namun, cara pandang salafi
jihadi terhadap dunia yang dipromosikan dan
diperjuangkan oleh Al Qaidah telah menjadi
daya tarik yang belum pernah terjadi
sebelumnya.45
Tema utama dalam narasi para Jihadis
Dalam penelitiannya, Tom Quiggin
menyimpulkan delapan tema utama yang
sering muncul dalam literatur dan pernyataan
Jihadis. Delapan tema tersebut adalah: jihad,
bai’at, darul Islam, ummat, takfir, syahid, al-
wala’ wa al-bara’, dan hijrah. Berikut adalah
definisi dari tema-tema tersebut dalam
perspektif Al Qaidah menurut kesimpulan Tom
Quiggin.46
a. Jihad
Jihad adalah perang, menurut perspektif Al
Qaidah. Ini adalah tindakan wajib bagi
semua umat Islam. Kewajiban ini
digambarkan sebagai "fardhu ‘ain". Izin
dari orang tua atau kerabat lainnya tidak
diperlukan jika jihad sudah dalam tahap
ini. Tujuan jihad adalah untuk mencapai
dominasi Muslim melalui Darul Islam.
45
The Unquenchable Fire, The Economist (28 September 2013) 46
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/67/html
15
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Jihad bersenjata adalah bentuk tertinggi
dari jihad dan harus dilakukan terhadap
semua musuh-musuh Islam. Ini termasuk
orang-orang kafir, musyrik, serta orang-
orang yang mendukung mereka.
b. Baiat
Baiat adalah janji ketaatan yang diberikan
kepada amir atau pemimpin kelompok.
Setelah baiat diberikan tidak boleh
dilanggar. Siapapun yang melanggar baiat,
maka ia berdosa.
c. Darul Islam/Khilafah Islamiyah
Konsep Darul Islam merupakan tema
konstan dalam propaganda Al Qaidah.
Mereka menyatakan bahwa dalam rangka
menegakkan agama, pertama-tama perlu
untuk mendirikan negara Islam, yang
kemudian akan mengarah pada
pembentukan kembali Khilafah Islamiyah.
Wajib bagi semua Muslim untuk
berkontribusi baik secara finansial maupun
fisik untuk mencapai tujuan ini.
d. Ummat
Umat adalah komunitas kolektif semua
Muslim. Siapapun yang mengikuti "jalan
yang benar" adalah anggota umat yang
terpilih. Jika negara-negara di mana
mereka tinggal dipimpin oleh orang kafir,
umat Islam tidak harus mengikuti hukum
negara tersebut.
e. Takfir
Takfir adalah tindakan menuduh orang lain
sebagai kafir. Hal ini dianggap sebagai
tindakan yang sangat serius. Al Qaidah,
bagaimanapun, telah secara rutin
menggunakan istilah ini dalam upaya untuk
mendiskreditkan atau meremehkan Muslim
lainnya yang menentang mereka. Dengan
demikian, sesama muslim kini berubah
menjadi musuh.
f. Syahid
Al Qaidah menganjurkan menjadi syahid
atau 'martir' dengan tindakan bom bunuh
diri. Mereka percaya bahwa mereka akan
dikaruniai surga atas tindakan ini.
g. Al-Wala’ wa Al-Bara’
Al Qaidah mendorong suasana "kita lawan
mereka" melalui penggunaan istilah Al-
Wala 'Wal Bara. Konsep ini menjadi alat
mereka untuk mengkategorikan teman dan
musuh.
h. Hijrah.
Menurut pandangan Al Qaidah, hijrah
berarti meninggalkan rumah, sifat,
pekerjaan dan keluarga demi Allah. Mereka
tidak perlu izin dari keluarga mereka untuk
melakukan hal ini.
Selain delapan tema di atas, Halverson et
al. menyusun tema lain yang menjadi master
narasi bagi kalangan ekstrimis Islam, yaitu
Fir’aun, Perang Salib, Jahiliyyah, Perang Badar,
Munafik, Perang Khaibar, Penjajah kafir,
Perbuatan setan, 1924, Nakba, dan 72
bidadari.47
47
Jeffry R. Halverson, H.L. Goodall Jr., and Steven R. Corman, Master Narratives of Islamist Extremism, New York: Palgrave Macmillan, 2011
16
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
4. Kontranarasi Barat
Pada awalnya, pasca serangan 11 September
2001, pemerintah AS berusaha untuk
mengembangkan narasi untuk melawan daya
tarik Al Qaidah di dunia Islam. Pemerintah
Bush pertama kali mencoba melakukannya
dengan mempromosikan demokrasi di dunia
Arab. Promosi ini dimaksudkan untuk
melakukan kontra terhadap keluhan-keluhan
yang diungkapkan dalam narasi-narasi Al
Qaidah. Demokratisasi diharapkan akan
memisahkan militan salafi Jihadis dari
mayoritas muslim moderat.48
Namun, usaha ini mengalami kendala.
Pertama, para pemimpin Arab enggan untuk
mentransfer kekuasaannya pada rakyat. Kedua,
pemilu demokratis justru berpotensi membawa
gerakan politik militan—di mana para
pemimpinnya bertentangan dengan
kepentingan politik AS—menduduki bangku
kekuasaan. Ketiga, AS menghadapi masalah
mengenai konsistensi antara kata dan
perbuatan. Intervensi yang mereka lakukan di
Afghanistan dan Irak serta penjara di
Guantanamo dan Abu Ghraib menghasilkan
pukulan balik yang semakin meningkatkan gap
antara pesan-pesan komunikasi strategis AS
dan persepsi yang dimiliki publik terhadap
tindakan-tindakan AS.49
Untuk melawan klaim Al Qaidah bahwa
Islam sedang diserang dan AS memusuhi umat
48
Joshua Alexander Geltzer, US Counter-Terrorism Strategy and al Qaeda: Signalling and the terrorist world-view, London: Routledge, 2010, hal. 31. 49
Alex P. Schmid, Al-Qaeda’s “Single Narrative” and Attempts to Develop Counter-Narratives, hal. 9
Islam, pemerintah Bush mengangkat Charlotte
Beer dari sebuah perusahaan public relations
sebagai sebagai Wakil Menteri Luar Negeri
urusan diplomasi publik dan hubungan
masyarakat. Dalam pendekatannya untuk
memenangkan hati dan pikiran umat Islam, ia
meluncurkan serangkaian iklan dengan tema
Shared Value Initiatives di beberapa negara
Islam.
Usaha yang sama juga dilakukan oleh
pemerintah Inggris. Mereka membuat unit
khusus yang disebut dengan the Research,
Information, and Communication Unit (RICU)
untuk melakukan kontra terhadap narasi Al
Qaidah. RICU bertujuan bukan untuk menolak
adanya ‘keluhan’, namun mereka lebih
menekankan pada usaha untuk merendahkan
posisi Al Qaidah sebagai ‘juara’ umat Islam dan
kekerasan ekstrimisme sebagai solusi.50
Di masa Obama, dalam ceramahnya di
Universitas Al Azhar Mesir, ia juga berusaha
untuk meyakinkan bahwa “AS tidak—dan tidak
akan pernah—berperang melawan Islam.” 51
Namun, semua usaha tersebut dirasa masih
belum mendapatkan hasil yang diharapkan.
Pada tahun 2011, Hillary Clinton yang saat itu
menjabat sebagai menteri luar negeri AS
mengakui bahwa “kita saat ini berada dalam
perang informasi, dan kita kalah.”52
50
Alan Travis,”Battle against al Qaeda Brand Highlighted in Secret Paper, The Guardian, 26 Agustus 2008 51
http://www.nytimes.com/2009/06/04/us/politics/04obama.text.html?pagewanted=all. 52
Michael Pizutto, Alter-Messaging: The Credible, Sustainable Counterterrorism Strategy, (Goshen, Indiana: Center on Global Counterterrorism Cooperation, Mei 2013)
17
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Usaha AS, Inggris, dan sekutu mereka
dalam mengembangkan kontranarasi terhadap
ideologi Al Qaidah pun semakin ditingkatkan
akhir-akhir ini. Bahkan, Pentagon
mengalokasikan anggaran hingga 1 milyar
dollar pada tahun 2012 untuk melakukan
kampanye komunikasi strategis. Komunikasi
strategis adalah rangkaian sistematis dari
aktivitas yang berkelanjutan dan saling
berkaitan, yang dilaksanakan pada level
strategis, operasional, dan taktis, yang
memungkinkan terjadinya pemahaman dari
target audien, mengidentifikasi jalur yang
efektif, dan mengembangkan serta
mempromosikan ide dan opini melalui jalur
tersebut untuk mempromosikan dan
menyokong jenis perilaku tertentu.”53
Sampai sejauh ini, dalam kesimpulan
Schmid, kampanye komunikasi strategis AS
belum mampu meluruhkan daya tarik narasi Al
Qaidah secara signifikan. Schmid memandang
bahwa “ide yang mengatakan seseorang dapat
membentuk dan memanipulasi opini publik
hanya dengan pesan tanpa mengubah aspek
yang tidak populer dari kebijakan luar negeri
tidak dapat lagi dipertahankan di era media
sosial yang interaktif saat ini.”54 Gambar dan
kisah mengenai perlakuan kejam AS di
Guantanamo dan Abu Ghraib mampu
mengalahkan narasi AS tentang superioritas
moral mereka.
53
Steve Tatham, Understanding Strategic Communication, 2010, hal. 19. 54
Alex P. Schmid, Al-Qaeda’s “Single Narrative” and Attempts to Develop Counter-Narratives, hal. 14
Schmid menyimpulkan bahwa “persoalan
dasar yang terus dihadapi oleh AS, baik di masa
Bush maupun Obama, adalah kredibilitas di
mata audien.” 55 Kredibilitas, legitimasi, dan
relevansi adalah bahan kunci dari sebuah
narasi. Kredibilitas adalah hasil dari kesesuaian
antara kata dan perbuatan. Ia muncul saat
politisi dan tentara mengatakan apa yang
mereka lakukan dan melakukan apa yang
mereka katakan dan mereka dipandang sebagai
orang yang jujur. Gap kredibilitas antara
kebijakan yang dideklarasikan dan kebijakan
aktual yang dilakukan bisa dikurangi—dan
tidak bisa dihilangkan sama sekali—sepanjang
ada tranparansi dan akuntabilitas. Hal ini
berlaku bagi kedua belah pihak, baik AS dan
sekutunya maupun Al Qaidah dan kelompok
jihad lainnya.56
Rekomendasi Kontranarasi
Jacobson menilai bahwa melawan ideologi
yang menyetir ekstrimisme telah menjadi
elemen penting dalam usaha untuk mencegah
dan mengalahkan kekerasan yang muncul
darinya. Fokus pada sisi “yang lebih lunak” dari
kontraterorisme juga telah menjadi pendekatan
baru yang dilakukan oleh AS dan sekutunya.
Salah satu fokus dari pertempuran baru ini
adalah diakuinya nilai penting apa yang
dinamakan “perang ide”. Untuk itu, Jacobson
mengusulkan agar ide-ide Al Qaidah harus
55
ibid 56
ibid
18
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
ditantang dengan kontranarasi yang lebih
kuat.57
Barat mencoba melakukan kontranarasi
dengan membedakannya berdasarkan khalayak
yang mereka targetkan (tailoring counter-
narratives). Christian Leuprecht dalam
Perspective on Terrorism mengusulkan agar
kontranarasi dilakukan dengan membedakan
antara simpatisan, suporter, aktivis. Selain itu,
mereka juga mengusulkan agar kontranarasi
dilakukan dengan membedakan antara aksi
politik yang legal, ilegal, dan aksi politik yang
dilakukan dalam bentuk kekerasan. Menurut
mereka, tidak ada kontranarasi tunggal yang
mampu menetralisir narasi para Jihadis.
Leuprech mengusulkan empat kontranarasi
minimal yang diperlukan:58
Satu narasi harus mampu memberikan
kontra terhadap persepsi bahwa Barat
melakukan perang melawan Islam. Persepsi
ini diterima oleh sebagian besar umat
Islam. Selama pasukan Barat terus berada
di negara-negara Muslim, terutama Irak
dan Afghanistan, kontranarasi ini
nampaknya akan sulit untuk
diformulasikan.
Narasi kedua harus mampu memberikan
kontra terhadap persepsi bahwa pejuang
Muslim membela Islam. Berdasarkan
polling di negara-negara Muslim, banyak
yang mengagumi Usamah bin Ladin,
57
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/66/html 58
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/68/html
namun sebagian besar responden tidak
menganggap terorisme sebagai sarana yang
legitimate.
Narasi ketiga harus mampu memberikan
kontra terhadap persepsi bahwa aksi yang
dilakukan pejuang Muslim, terutama
serangan pada warga sipil Barat dan
dampak yang mengenai sipil Muslim,
adalah tindakan perang yang sah. Beberapa
polling mengindikasikan bahwa hanya
sedikit Muslim yang percaya akan persepsi
ini, meski jumlah tersebut bisa dikatakan
cukup besar untuk berpotensi menjadi
ekstrimis. Leuprech mengusulkan agar
dilakukan penelitian untuk
mengidentifikasi karakteristik dari
kelompok yang berjumlah kecil tapi sangat
penting ini.
Narasi keempat harus mampu memberikan
kontra terhadap persepsi bahwa Muslim
yang baik mempunyai tugas untuk
mendukung teroris. Sampai saat ini belum
ada polling yang menaksir sebanyak apa
atau Muslim semacam apa yang setuju
dengan pandangan ini. Leuprech
menjelaskan bahwa melakukan penargetan
terhadap minoritas kecil ini melalui
intervensi media massa akan cukup sulit
dilakukan.
19
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Konsep ini secara lebih detail dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Merusak citra para Jihadis sebagai
pembela umat Islam
Kelompok jihad selama ini mendefinisikan
diri sebagai ath-thaliah al-muqatilah (pasukan
petempur) yang membela Islam dan umat
Islam. Untuk melawan narasi ini, Heffelfinger
mengusulkan agar persepsi ini diruntuhkan
secara menyeluruh sebagai bagian dari
kontranarasi yang efektif. Hal ini dilakukan
dengan berusaha menyorot bahwa Al Qaidah
dan kelompok Jihadis bukan lah pembela umat
Islam dan mereka bertentangan dengan syariat
Islam dalam praktik dan keyakinannya.59
Kontranarasi Barat berusaha
mendemonstrasikan bahwa warga sipil dan
Muslim mengalami penderitaan atas ulah para
teroris. Hal ini dilakukan dengan cara
menunjukkan korban dari umat Islam dan
berfokus pada kemunafikan ideologi mereka.
Selain diarahkan kepada masyarakat luas,
kontranarasi ini juga diharapkan mampu
menyasar anggota kelompok perlawanan yang
memiliki keraguan terhadap kebijakan
organisasi mereka. Mereka memandang bahwa
taktik ini sangat potensial. Selain menyasar
umat Islam secara umum, kekecewaan dengan
strategi kelompok, dalam sejarahnya, mampu
menjadi alasan utama seseorang meninggalkan
kelompok tersebut.
Meruntuhkan citra Jihadis sebagai pembela
umat Islam diharapkan akan mampu
59
Chris Heffelfinger, Waiting out the Islamist Winter: Creating an Effective Counter Narrative to Jihad, hal. 5
meruntuhkan legitimasi mereka, karena
mereka pada umumnya menyerukan kepada
umat Islam untuk mendukung operasi
mereka. 60 Persepsi bahwa Jihadis adalah
pembela umat Islam bersandar pada opini
publik Islam secara umum. Karenanya, AS
berusaha menunjukkan bahwa, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Direktur Kontra Terorisme
Nasional AS Michael Leiter, “Al Qaidah, bukan
AS, yang berperang melawan Islam.”61
b. Mendiskreditkan filosofi keagamaan
Jihadis
Pendekatan pertama dilakukan tidak hanya
dengan menyanggah ajaran agama yang
dipahami Al Qaidah, tetapi juga menawarkan
interpretasi alternatif dari teks dan pidato
kunci yang dibawakan oleh mereka. Menurut
Tom Quiggin, ada delapan tema yang muncul
secara teratur dalam "wacana Jihadis," masing-
masing memiliki dua interpretasi utama:
interpretasi Al Qaidah dan interpretasi
mainstream yang lebih klasik. Dengan
mendiskreditkan keyakinan agama Al Qaidah
dan sekaligus menekankan pemahaman yang
lebih utama dari teks dan doktrin-doktrin
Islam, Barat berusaha melemahkan komponen
inspirasional dari narasi Al Qaidah dan sumber
utama radikalisasi.
Secara lebih detail, usulan kontranarasi
disampaikan oleh Tom Quiggin. Ia mencoba
menghadirkan definisi alternatif dari beberapa
tema utama yang selama ini menjadi tema khas
60
Chris Heffelfinger, Waiting out the Islamist Winter, hal. 8 61
Michael Leiter, ceramah di the Washington Institute for Near East Policy, February 13, 2008.
20
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
para Jihadis berdasarkan apa yang ia sebut
sebagai pandangan ulama mainstream.62
1. Jihad
Konsep jihad mengacu pada 'berjuang
untuk kebaikan'. Ada beberapa tujuan
jihad. Diantaranya adalah jihad untuk
kebaikan, pembangunan manusia,
kesejahteraan, pendidikan, keluarga,
persahabatan dan pembangunan bangsa.
Ada juga jihad melawan kondisi manusia,
termasuk jihad melawan kejahatan dalam
diri, seperti kemalasan, kebodohan,
kebencian dan kesombongan.
2. Baiat
Status diperbolehkannya baiat harus
dipastikan oleh mayoritas para pemimpin
masyarakat, yaitu para ulama, umara
(penguasa) dan orang-orang yang
dihormati lainnya. Ia tidak bisa
diputuskan oleh satu pemimpin saja. Amir
Al Qaidah tidak mewakili mayoritas
masyarakat Muslim atau pemimpinnya.
Oleh karena itu, ia tidak memiliki
kewenangan untuk mengambil baiat dari
siapa pun. Penafsiran baiat Al Qaidah
tidak valid dan tidak membawa beban
agama apapun.
3. Darul Islam
Ulama Islam percaya bahwa istilah Darul
Islam adalah istilah relatif. Tidak memiliki
makna yang tepat atau pasti. Tidak ada
perintah yang jelas terhadap Darul Islam.
Oleh karena itu, pembenaran untuk
62
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/67/html
melakukan pembunuhan atau
menumpahkan darah untuk mencapai hal
yang samar-samar ini sangat berbahaya.
4. Umat
Tidak boleh ada yang mengklaim bahwa
komunitas mereka adalah satu-satunya
komunitas yang benar. Tidak ada otoritas
tunggal dalam Islam yang dapat membuat
pernyataan seperti itu. Islam mendorong
persaudaraan di antara semua umat
Islam. Dalam Islam ada Piagam Madinah,
yang menunjukkan bahwa harus ada
perdamaian di antara umat Islam, Yahudi
dan Kristen. Islam juga menganjurkan
bahwa seorang Muslim yang baik harus
menjadi warga negara yang baik juga.
5. Takfir
Muslim dilarang untuk menyatakan orang
lain sebagai kafir. Jika seorang Muslim
melakukan hal ini, maka ia telah
melemparkan kekafiran kepada dirinya
sendiri.
6. Syahid atau istisyhad
Bunuh diri adalah tindakan yang sangat
dilarang dalam Al-Qur'an dan hadist.
Allah telah memberikan Anda tubuh.
Hanya Allah yang dapat memutuskan
kapan tubuh tersebut akan diambil
kembali. Tidak ada pengecualian untuk
aturan ini. Kehidupan, baik itu manusia
atau makhluk lain, adalah suci, dan harus
dihormati. Siapa pun yang melakukan
bunuh diri akan dianggap kekal di neraka.
Pelaku bom bunuh diri akan
menghabiskan waktunya di neraka dalam
21
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
keadaan tangan, kaki dan kepalanya
terlepas.
7. Al-Wala’ wa Al-Bara'
Tidak ada mentalitas "kita melawan
mereka" baik dalam Islam maupun umat
manusia. Semua manusia adalah makhluk
Allah dan karena itu kita harus
menunjukkan rasa hormat satu sama lain.
Islam harus dilihat sebagai rahmat bagi
semesta alam.
8. Hijrah
Konsep hijrah berkaitan dengan semangat
untuk terus menerus maju dan berubah
dalam hidup. Dalam Islam klasik, orang-
orang yang akan berhijrah juga harus
mempertimbangkan keluarga mereka.
Orang tua dan anak-anak harus
diperhatikan sebelum hijrah. Hijrah fisik
hanya bisa dipertimbangkan dalam situasi
yang mengerikan ketika seseorang
khawatir akan kebebasan beragamanya,
hak-hak pribadi, martabat dan
kesejahteraannya. Muslim harus dapat
berhasil di tanah kelahiran mereka
sebagai tanda syukur kepada Allah.
Bahkan wajib bagi seorang Muslim untuk
tetap tinggal di negaranya jika ia bisa
membantu meningkatkan kemajuan
komunitas Muslim di negara tersebut.
Dalam usaha ini, kredibilitas pembawa
pesan adalah komponen yang paling krusiil.
Pesan-pesan yang dipandang disponsori oleh
negara seringkali tidak dipercaya. Untuk itu, La
Marca memandang bahwa mantan teroris dan
juga ulama lokal memegang peran kunci dalam
penyampaian pesan ini. 63 Dalam pendapat
Betz, “ini adalah perdebatan internal umat
Islam dan bukan ranah kita sebagai pihak luar
untuk bisa berkontribusi dalam sebuah cara
yang rumit dan meyakinkan.”64
c. Merendahkan kredibilitas para
pembawa pesan
Kekuatan narasi sangat bergantung pada
kredibilitas pihak yang mempropagandakan-
nya. Dengan meruntuhkan kharisma dan
legitimasi yang dimiliki Jihadis, Barat berharap
mampu untuk mengurangi daya tarik mereka.
Strategi ini bisa dilakukan dengan cara:
- Membuat kontranarasi yang menekankan
pada kemunafikan Jihadis.
Hal ini dilakukan tidak hanya dengan
menunjukkan bahwa metode yang mereka
adopsi tidak konsisten dengan keyakinan
mereka sendiri, namun juga dengan
menyorot kerusakan yang mereka lakukan
atas nama Islam.
Pendekatan semacam ini juga mempunyai
pondasi sosial-psikologis. Dalam sebuah
proses yang dikenal dengan polarisasi
kelompok, “kelompok yang terdiri dari
individu-individu yang berpikiran sama
cenderung menjadi lebih ekstrim dalam
preferensi bersama (shared preferences). 65
Akibatnya, dinamika kelompok cenderung
63
Mike La Marca, Defeating al-Qaeda in the "Battle of Ideas": The Case for a U.S. Counter-Narrative, MA Thesis, , Duke University, 2012, hal. 50 64
Betz, “Virtual,” hal. 511. 65
Leuprecht, “Winning the Battle,” 31.
22
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
lebih memilih argumen dan individu yang
lebih ekstrim. Fenomena ini bisa mengarah
pada kompetisi dalam kelompok diantara
beberapa faksi yang berbeda dan akhirnya
membawa pada perpecahan. Sebagaimana
yang disimpulkan oleh Jacobson,
“kekecewaan dalam sejarahnya telah
menjadi alasan utama yang menyebabkan
militan meninggalkan kelompok mereka.
Beberapa di antara mereka merasa bahwa
beberapa anggota kelompok mereka atau
pemimpin mereka telah melangkah terlalu
jauh.”66
Cara lain yang dilakukan adalah dengan
menguatkan suara korban terorisme, yang
“suaranya biasanya sunyi dan diabaikan tapi
memiliki cerita yang kuat dan meyakinkan
untuk mengisahkan tentang kegagalan
terorisme.” Orang-orang semacam ini juga
bisa dimanfaatkan untuk membantah
ungkapan Jihadis bahwa mereka sedang
berperang dengan menunjukkan kehidupan
biasa dari orang-orang yang mereka
bunuh.”67
- Meluruhkan brand Al Qaidah.
Brynjar Lia berpendapat bahwa Al Qaidah
mampu membangun image yang sangat kuat
sebagai organisasi teroris paling ditakuti di
dunia, yang mampu memberikan daya tarik
pada para pemuda. Hari ini, image Al
Qaidah sebagai kelompok dengan skill tinggi,
mematikan, dan dikelola dan dilatih secara
66
Michael Jacobson, “Learning Counter-Narrative Lessons from Cases of terrorist Dropouts,” hal. 13 67
Radicalization: The Role of the Internet, Institute for Strategic Dialogue (2011), hal. 10
sistematis terus berlangsung.68 Bartlett et al.
mengungkapkan bahwa “ide tentang Al
Qaidah sama pentingnya dengan ide yang
mereka propagandakan.”69
Karena itu, meluruhkan brand Al Qaidah
dijadikan komponen kunci dalam
kontranarasi AS. Byman dan Fair
berpendapat bahwa, “mungkin beberapa
teroris memiliki skill tinggi… namun yang
sebenarnya terjadi adalah banyak pasukan
lapangan yang bodoh dan tidak terlatih,
bahkan mungkin tidak bisa dilatih… Dengan
terus menerus mempublikasikan hal ini, AS
berharap mampu untuk mengikis image
kuat tentang kekuatan dan ketaatan teroris
yang selama ini jadi andalan bagi mereka
untuk melakukan rekrutmen dan
pendanaan.”70
Merendahkan brand Al Qaidah dan para
Jihadis juga dilakukan melalui humor,
ledekan, dan satire. Kristin Fleischer
memandang bahwa humor, ledekan, dan
satire adalah “alat strategi komunikasi yang
legitimate yang memiliki sejarah panjang
dalam peperangan, baik secara ofensif
maupun defensif.”71 Dalam ungkapan Waller,
“Humor, ledekan, dan satire berpotensi
mampu memecah belah, merusak moral, dan
membuat satu organisasi kurang menarik
bagi para pendukung dan calon rekrutan…
Diledek berarti kehilangan respek. Berarti
68
Byman, Daniel dan Christine Fair, The Case For Calling Them Nitwits, The Atlantic, Juli/Agustus 2010 69
The Edge of Violence: A Radical Approach to Extremism, DEMOS(2010), hal. 39 70
Ibid 71
Kristin Fleischer, Ridicule as Strategic Communication, COMOPS Journal, (2010),
23
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
juga kehilangan pengaruh. Berarti juga
kehilangan pengikut dan larinya para calon
pendukung… karenanya mereka bisa
menjadi senjata psikologis yang sangat
kuat.”72
- Menyorot kesulitan hidup, ketidakstablan
finansial, dan hidup yang penuh dengan
ketakutan yang dialami oleh para teroris.73
Realita hidup yang penuh kesulitan ini,
menurut Jacobson, adalah faktor kunci
untuk membuat seseorang keluar dari
organisasi semacam Al Qaidah. John
Horgan, ahli psikologi yang telah
mewawancarai berbagai teroris dari 13
organisasi, menyatakan bahwa faktor umum
yang menyebabkan keluarnya teroris dari
kelompoknya adalah kekecewaan yang
meluas.74
- Menggambarkan para Jihadis sebagai
kriminal yang gagal untuk hidup sesuai
dengan prinsip-prisip Islam.
d. Menghalangi sampainya pesan-pesan
Jihadis hingga ke audien
Ideologi merupakan senjata paling kuat
yang dimiliki oleh para Jihadis. 75 Pusat
pengembangan dari sebuah gerakan adalah
72
J. Michael Waller, Fighting the War of Ideas Like a Real War, (Washington, D.C.: The Institute of World Politics Press, 2007), hal. 109 73
Michael Jacobson, “Learning Counter-Narrative Lessons from Cases of terrorist Dropouts,” National Coordinator for Counterterrorism, Januari 2010. 74
Amada Ripley, Reverse Radicalism, TIME, 13 Maret 2008 75
Michael Pizzuto, Alter-Messaging: The Credible, Sustainable Counterterrorism Strategy, Center on Global Counterterrorism Operation, Mei 2013, hal. 2
pembangunan bingkai ideologi (ideological
framework). Ideologi menawarkan
sekumpulan ide yang menjadi dasar bagi
tindakan-tindakan politis, baik yang
dimaksudkan untuk memelihara,
memodifikasi, atau menggulingkan sistem
kekuasaan yang ada saat ini. 76 Ideologi juga
berfungsi untuk menyelaraskan aktivitas saat
terjadi kekosongan kepemimpinan atau
struktur komando.77
Promosi ideologi ini merupakan faktor
sentral dalam upaya radikalisasi. 78 Ideologi
juga bergantung pada ideolog yang
mempromosikan ideologi tersebut. Karenanya,
menantang ideologi dan mengganggu
kemampuan Jihadis untuk mempromosikannya
merupakan bagian fundamental dari usaha
untuk mencegah tersebarnya ide-ide mereka.79
Usaha ini dilakukan, menurut usulan
Ciovacco, antara lain dengan membunuh,
menangkap, atau mencemarkan nama baik
tokoh-tokoh simbol Jihadis, mengisolasi
mereka, dan mencegah suara mereka dari
masyarakat.80 Dengan hilangnya anggota senior
dan para pemikir Al Qaidah, akan membuat
anggota gerakan tersebut kehilangan sebuah
76
Andrew Heywood, Political Ideologies: An Introduction. 3th Ed.: Palgrave Macmillan, hal. 10 77
The Change Institute, Studies into violent radicalisation: The beliefs, ideologies and narratives. A study carried out by the Change Institute for the European Commission – Directorate General Justice, Freedom and Security, London: The Change Institute, 2008 78
Alex Schmid, The Importance of Countering Al Qa’ida’s Single Narrative. Countering Violent Extremist Narratives, The Hague: NCTb, 2010 79
UK Home Department, Prevent Strategy, dipresentasikan di Parlemen Inggris oleh Menteri Dalam Negeri, Juni 2011, hal.43 80
http://www.the-american-interest.com/2011/07/01/ending-al-qaeda/
24
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
otoritas yang bisa mereka percaya, yang
mengarahkan dan memandu mereka,
meluruskan kesalahpahaman, dan mengatur
barisan dengan ilmu, pemahaman, dan
kebijaksanaan. Kondisi ini akan mengakibatkan
terjadinya “intervensi dari orang-orang yang
belum terlalu matang di jalan jihad untuk
menyebarkan ide dan opini semau mereka dan
menyebabkan kekacauan dan kegelapan dari
sebuah visi yang benar yang harus dimiliki oleh
setiap mujahid.”81
e. Mengeksploitasi titik lemah ideologis
Isu takfir masih terus menjadi perdebatan,
baik di kalangan Jihadis maupun non-Jihadis.
Meski Al Qaidah sadar atas titik lemah ini—
yang ditunjukkan oleh surat Azh-Zhawahiri
kepada Abu Mus’ab Az-Zarqawi—gerakan jihad
masih sangat rentan diserang dengan isu
takfir.82 Kesalahpahaman dan kesalahan dalam
penerapan prinsip takfir, menurut Heffelfinger,
merupakan hal yang paling merusak bagi
gerakan jihad. Untuk itu, Heffelfinger
mengusulkan agar kesan ini terus diulang-
ulang melalui berbagai suara dan berbagai
sarana agar semakin kuat dan semakin
menjauhkan mereka dari umat Islam secara
umum.83
81
Jarret Brachman, Abu Yahya’s Six Easy Steps for Defeating al-Qaeda, Perspective on Terrorism, vol.1, no.5, 2007 82
Letter from al-Zawahiri to al-Zarqawi, http://www.globalsecurity.org/security/library/report/2005/zawahiri-zarqawi-letter_9jul2005.htm 83
Chris Heffelfinger, Waiting out the Islamist Winter, hal. 13
f. Mendorong perpecahan dan
perselisihan narasi
Mengingat pentingnya kesatuan pikiran
dan doktrin yang ditekankan oleh para
pemimpin Salafi Jihadi sejak lahirnya gerakan
tersebut, mendorong dan mengembangkan
ketidaksepakatan dan perselisihan yang terjadi
di antara mereka menjadi alat yang efektif
dalam melawan mereka. Perselisihan tersebut,
terutama dalam hal legitimasi takfir dan
penggunaan kekerasan, akan memaksa para
pemimpin jihad untuk terjebak dalam debat
dan perbantahan tanpa akhir yang menguras
waktu.84
Dalam pandangan Leuprech, persoalan
utama dalam melawan narasi para Jihadis
adalah dengan mengembangkan multi
kontranarasi yang disesuaikan dengan masing-
masing target yang spesifik. Pendapat ini
dikuatkan oleh observasi Jenderal Sir Rupert
Smith yang menyatakan bahwa “kita saat ini
hidup di sebuah dunia konfrontasi dan konflik,
bukan dunia perang dan perdamaian.”85
Meski demikian, Leuprech memandang
bahwa Barat selama ini menargetkan orang
yang salah dan untuk alasan yang salah. Ide
radikal bukanlah masalah utama. Demokrasi
sendiri banyak mengalami kemajuan terbesar
melalui usaha para radikal yang
mempropagandakan ide radikal. Pemerintah
yang mengaku demokratis seharusnya tidak
punya urusan terhadap apa yang diyakini atau
84
Chris Heffelfinger, Waiting out the Islamist Winter, hal. 12 85
Rupert Smith. The Utility of Force: The Art of War in the Modern World. London: Allen Lane, 2005, hal. 16-18, 371-372.
25
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
dipikirkan oleh orang lain. Pemikiran dan
keyakinan seharusnya hanya menjadi perhatian
jika mereka berhubungan dengan tindakan
yang ilegal.
Karenanya, sangatlah penting untuk
membedakan antar tindakan legal dan ilegal,
yang mana persoalan terakhir lah yang
seharusnya menjadi perhatian utama pasukan
keamanan dan intelijen. Dari argumen
tersebut, Leuprach mengusulkan bahwa tugas
kontranarasi seharusnya adalah dengan
mengkounter narasi-narasi yang memiliki
hubungan paling jelas dengan kekerasan.86
5. Implementasi Deradikalisasi di
beberapa negara
Sebagai upaya untuk melawan narasi dan
menantang ideologi Jihadis yang dianggap
sebagai sumber radikalisme, AS dan sekutunya
menjalaninya dengan melakukan program
deradikalisasi. Salah satu tujuan dari program
ini adalah untuk mendiskreditkan ideologi
ekstrim yang dimiliki oleh para Jihadis tersebut
dan membuat mereka meninggalkan ideologi
tersebut.87
Tujuan dari program tersebut secara lebih
lengkap dirangkum oleh Bjorgo dan Horgan
sebagai berikut:
- Mengurangi jumlah teroris yang aktif
- Mengurangi kekerasan
- Melakukan reorientasi ideologi dan
perilaku partisipan
86
http://www.terrorismanalysts.com/pt/index.php/pot/article/view/68/html 87
http://www.rand.org/news/press/2010/11/29.html
- Mengembalikan mantan anggota kelompok
teroris ke dalam kehidupan yang normal
- Memperoleh data intelijen, bukti-bukti, dan
kesaksian dalam kasus di pengadilan
- Menggunakan mantan teroris yang tobat
sebagai pembangun opini
- Menaburkan percekcokan di lingkungan
terorisMenyediakan jalan keluar dari
terorisme dan kehidupan ‘bawah
tanah’Mengurangi ketergantungan pada
cara-cara yang represif, dan lebih
menggunakan cara-cara yang lebih
manusiawi dalam melawan terorisme
- Mengurangi biaya ekonomi dan biaya sosial
yang diakibatkan oleh pemeliharaan teroris
di penjara dalam waktu lama
- Meningkatkan legitimasi pemerintah atau
badan pemerintah.88
Duvall memetakan usaha deradikalisasi
tersebut menjadi empat langkah: individual
disengagement, collective disengagement,
individual deradicalization, dan collective de-
radicalization. Individual disengagament
dilakukan untuk mengubah perilaku kekerasan
dari seorang teroris, sedangkan collective
disengagement bertujuan untuk menghentikan
perilaku kekerasan dari satu kelompok secara
keseluruhan. Mekanisme individual
deradicalization bertujuan untuk mengubah
keyakinan radikal dari satu individu, sedangkan
88
John Horgan dan Kurt Braddock, Evaluating the Effectiveness of De-Radicalisation Programs: Towards a Scientific Approach to Terrorism Risk Reduction, dalam Sarah Canna (Ed.), Countering violent extremism: Scientific methods & strategies. Washington: NSI, 2011, hal. 1-2
26
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Gambar 1. Mekanisme deradikalisasi dan disengagement
Sumber: Duvall et al, An Analysis of Modern State-Level Terrorist Deradicalization Campaigns, Naval Postgraduate School
collective deradicalization berusaha untuk
mengubah keyakinan radikal satu kelompok.89
a. Individual Disengagement
- Penangkapan atau Pembunuhan
Dengan melakukan penangkapan atau
pembunuhan, pemerintah mampu
secara fisik menyingkirkan para militan
dan mencegah mereka dari melakukan
serangan. Program ini juga diharapkan
mampu mengeliminasi orang-orang
berpengalaman dari organisasi tersebut
89
Justin A. Duvall et.al, An Analysis of Modern State-Level Terrorist Deradicalization Campaigns, Naval Post Graduate School, Desember 2012, hal. 12
dan mengurangi efisiensi jalannya
organisasi.
- Memberikan Peluang kerja
Program ini dilakukan dengan
memfasilitasi pencarian pekerjaan bagi
mantan tahanan atau memberikan
uang pensiun kepada mereka yang
sudah tua. Kembali bekerja atau diberi
sesuatu untuk dimakan dirancang
untuk menghentikan rasa dizalimi oleh
negara. Secara logika, mereka yang
bekerja dan memperoleh pendapatan
27
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
yang cukup, akan mengurangi
kemungkinan untuk berpartisipasi
dalam kegiatan kekerasan.
- Pelatihan kerja
Program ini dilakukan dengan
memberikan kesempatan bagi para
tahanan untuk mendapatkan pelatihan
kerja, termasuk menyelesaikan
pendidikan dasar. Maksud dari
program ini adalah memberikan skill
yang dibutuhkan bagi para tahanan
tersebut untuk mendapatkan
pekerjaan, baik pekerjaan yang
diberikan oleh pemerintah maupun
pekerjaan yang mereka dapatkan
sendiri.
- Perlindungan dari balas dendam
kelompok
Kekhawatiran atas keamanan diri dan
keluarga adalah salah satu penghalang
keluarnya seseorang dari satu
kelompok. Program ini dilakukan
dengan memberikan perlindungan
keamanan kepada mereka yang
bersedia menyerahkan diri. Program ini
pernah dilakukan oleh pemerintah
Aljazair kepada anggota GSPC.
- Isolasi di tahanan
Tahanan yang dirasa mampu
mempengaruhi tahanan lain diisolasi.
Ini adalah teknik yang efektivitasnya
bervariasi, yang bertujuan untuk
melawan fenomena radikalisasi yang
sering terjadi di penjara. Dengan cara
ini, diharapkan mampu mencegah
rekrutmen berikutnya. Program ini juga
pernah dijalankan di Aljazair.
- Pelepasan tahanan
Pelepasan tahanan ini biasanya disertai
kontrak dengan pemerintah. Mereka
dilepaskan dari tahanan, disertai
dengan insentif—biasanya berupa
pekerjaan, rumah, beasiswa
pendidikan, dan bahkan mobil—namun
mereka harus sepakat untuk tidak lagi
melakukan kekerasan. Jika para
mantan tahana tersebut melanggar
kontrak dan kembali melakukan
kekerasan, pemerintah akan
menangkap atau membunuh mereka.
Pelepasan tahanan ini juga
dimaksudkan untuk menunjukkan
kebaikan pemerintah.
- Jaringan sosial
Setelah tahanan sudah bebas, mereka
disarankan untuk terus menjalin
kontak dengan ulama dan konselor
yang pernah bekerja dengan mereka
selama dalam masa tahanan. Program
ini dimaksudkan agar mereka tetap
berada dalam lingkungan yang positif
dan memudahkan pemerintah untuk
terus melakukan pengawasan.
- Pempublikasian nama
Usaha pempublikasian nama dari para
militan yang menjadi buronan, pada
tingkat tertentu bisa memicu terjadinya
disengagement. Publikasi juga akan
28
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
membuat mereka susah untuk
melakukan operasi.
- Penyingkiran pemimpin komunitas
Sebagai bagian dari strategi untuk
menghentikan penyebaran ideologi
radikal, Arab Saudi pernah melakukan
pemecatan terhadap ribuan ulama yang
mendakwahkan Islam yang tidak sesuai
dengan Islam versi pemerintah. Mereka
juga menyingkirkan para pengajar yang
menyerukan kekerasan. Dan untuk
mereka yang masih berada di posisinya,
dalam arti tidak diberhentikan,
pemerintah Arab Saudi melakukan
monitoring secara elektronik.
Kebijakan ini diambil sebagai usaha
untuk mencegah para ulama dari
mempromosikan jihad.
b. Collective Disengagement
- Negosiasi
Usaha ini masuk dalam collective
diseangagement karena kontak dan
pembicaraan dilakukan dengan para
pemimpin organisasi dan berujung
pada disangegement kolektif dari
beberapa anggota dari organisasi
tersebut.
- Penargetan pemimpin
Efektivitas penargetan pemimpin
masih menjadi perdebatan dalam studi
keamanan. Dalam beberapa kasus,
sebuah organisasi akan lebih rentan
terhadap usaha pemerintah berikutnya
saat para pemimpin mereka berhasil
disingkirkan. Namun dalam kasus lain,
organisasi tersebut justru lebih kuat
dengan motivasi baru atau karena
restrukturisasi yang mereka lakukan.
Di Aljazair, penargetan terhadap
pemimpin GSPC dan AQIM membantu
mengurangi kegiatan kekerasan
mampu membuat kelompok tersebut
dalam situasi reorganisasi secara
konstan. Di Arab Saudi, dalam
upayanya untuk melawan AQAP,
pemerintah berusaha mengeliminasi
figur-figur yang mempunyai otoritas
keagamaan yang kredibel. Tujuan dari
operasi ini adalah untuk mengacaukan
kemampuan organisasi tersebut untuk
membuat rencana dan melakukan
operasi.
- Represi negara
Represi negara dimaksudkan bukan
sekadar untuk menghentikan aksi
kekerasan seseorang, namun lebih
untuk mengacaukan kekuatan sebuah
kelompok dan akhirnya menghentikan
aksi-aksi kekerasan yang ingin mereka
lakukan. Usaha ini dilakukan antara
lain dengan pembunuhan pimpinan,
penggerebakan tempat perlindungan,
serta penangkapan.
- Manipulasi lingkungan
Intelijen pemerintah melakukannya
dengan cara melakukan infiltrasi
kepada setiap kelompok yang berusaha
untuk menegakkan syariat Islam.
29
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
Intelijen Aljazair berhasil memfasilitasi
disengagement kelompok AIS (Islamic
Salvation Army) dan yang lainnya
dengan membuat semua kelompok
yang mempunyai tujuan bersama—
yaitu menegakkan syariat Islam—
terpolarisasi satu sama lain. Hal ini
dilakukan melalui infilitrasi rahasia.
Dengan melakukan infiltrasi ke
berbagai kelompok, pemerintah
berhasil membuat kelompok-kelompok
tersebut lebih sibuk untuk bertempur
satu sama lain dibanding bekerjasama
melawan pemerintah. Sejauh mana
pemerintah Aljazair melakukan
infiltrasi dan detail aksi mereka masih
belum dipublikasikan dalam sumber-
sumber akademik.
Manipulasi lingkungan juga dilakukan
dalam bentuk lain. Pemerintah Arab
Saudi berusaha mengurangi
pengangguran melalui pendidikan dan
reformasi tenaga kerja. Dalam hal
pendidikan, Arab Saudi
mengalokasikan anggaran lebih untuk
melatih warganya dengan skill-skill
teknis yang diperlukan untuk bekerja di
berbagai industri di negara tersebut.
Dalam hal ketenagakerjaan, Arab Saudi
berusaha untuk meningkatkan
lapangan kerja yang tersedia bagi warga
negara Arab Saudi melalui berbagai
regulasi pada sektor-sektor swasta.
- Jaringan sosial
Salah satu contoh dari pemanfaatan
jaringan sosial untuk melancarkan
upaya ini pernah dilakukan di Aljazair.
Kementerian agama Aljazair
menggunakan Radio Qur’an untuk
berbicara langsung dengan para
pejuang di pegunungan. Mantan
pejuang juga dimanfaatkan untuk
meyakinkan para pejuang aktif agar
meletakkan senjata dan menghentikan
pertempuran. Mekanisme ini masuk
dalam kategori disengagement karena
para mantan pejuang tersebut tidak
meninggalkan keyakinan akan
penggunaan kekerasan. Mereka hanya
meninggalkan aksi kekerasan tersebut.
- Penyerahan diri dan pengakuan
kesalahan
Pemerintah Arab Saudi mampu
mempengaruhi penyerahan diri para
militan, baik dari kalangan pendukung,
pemimpin lokal, operator lapangan,
hingga istri dari para anggota senior.
Komponen utama dari mekanisme ini
adalah pempublikasian penyerahan diri
dan pengakuan kesalahan tersebut.
Usaha ini dimaksudkan untuk
mendorong agar lebih banyak anggota
lainnya yang melakukan pelepasan diri
dari melakukan kekerasan melawan
pemerintah.
30
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
c. Individual Deradicalization
- Menyingkirkan para pemimpin
komunitas
Mekanisme ini dilakukan dengan cara
melakukan edukasi kepada para imam
yang diduga memberikan ceramah yang
dipandang tidak tepat dan menjurus
kepada radikalisasi. Dengan reedukasi
terhadap para imam tersebut,
pemerintah berupaya untuk mengatur
sistem kepercayaan mereka dan
mencegah penyebaran retorika-retorika
radikal.
- Pernikahan
Program ini dilakukan untuk
mengintergrasikan kembali para
ekstrimis ke masyarakat, mengubah
perilaku dan keyakinan mereka.
Promosi pernikahan dilakukan saat
seseorang yang telah ditahan sedang
menjalani proses reedukasi. Program
konseling memberikan layanan bagi
tahanan yang belum menikah dengan
mencarikan pasangan atau
memberikan bantuan keuangan untuk
menikah dan membeli apartemen.
- Pembangunan keluarga
Keluarga digunakan sebagai jangkar
untuk memudahkan upaya penarikan
tahanan dari kepercayaan dan perilaku
dia sebelumnya. Keluarga tahanan juga
mendapatkan konseling dalam rangka
meningkatkan proses reintegrasi
tahanan tersebut untuk kembali ke
keluarga. Maksud dari program ini
adalah untuk membuat nilai-nilai
kekeluargaan lebih besar dibanding
keyakinan akan kekerasan.
- Tanggung jawab keluarga/suku/
komunitas
Dalam kasus di Arab Saudi, pemerintah
menyerahkan tanggung jawab atas
tahanan tersebut kepada keluarga. Jika
tahanan melarikan diri saat menghadiri
acara keluarga, maka keluarga yang
menjamim harus menggantikan
posisinya di penjara. Jika tahanan
kembali melakukan serangan, maka
seluruh insentif yang sudah pernah
diberikan akan diambil kembali oleh
pemerintah. Dengan penguatan norma
dan nilai-nilai keluarga, diharapkan
tahanan tidak lagi memiliki keinginan
untuk melarikan diri atau melakukan
kembali serangan yang danpaknya bisa
membahayakan keluarganya sendiri.
- Reedukasi
Program ini cukup populer di Arab
Saudi dan Yaman dalam 10 tahun
terakhir. Reedukasi adalah bentuk
paling murni dari deradikalisasi.
Program ini dilakukan dengan
mengontrol khutbah Jumat,
menyiarkan ceramah-ceramah yang
sifatnya mengarah pada deradikalisasi,
baik melalui radio maupun televisi.
31
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
d. Collective Deradicalization
- Interaksi sosial dengan kelompok
moderat
Usaha ini pernah dilakukan oleh
pemerintah Aljazair dengan
memfasilitasi interaksi antara
kelompok Islam militan dengan ulama
moderat dari Mesir dan Arab Saudi.
Dalam kasus AIS, ulama-ulama
tersebut mampu membantu
melunakkan mereka yang berujung
pada deradikalisasi.
- Mempengaruhi pemimpin kharismatik
Upaya ini dilakukan dengan dua cara:
1) pemerintah mendapatkan dukungan
dari ulama-ulama yang tidak sepakat
dengan aksi kekerasan. Kekerasan
dianggap ilegal, karenanya siapapun
yang mendukung kekerasan juga
dianggap tidak sah. 2) membuat
website resmi dari Ulama Senior.
Website tersebut dimaksudkan sebagai
tempat bertanya bagi publik terhadap
ulama-ulama senior dan juga tempat
mereka mengeluarkan fatwa resmi.
Dengan pembuatan website tersebut,
Arab Saudi telah memarjinalkan
seluruh ulama yang tidak punya
otoritas atau dipandang tidak punya
kualifikasi untuk mengeluarkan fatwa.
Apa yang ada di website tersebut
dianggap sebagai interpretasi Islam
yang benar.
- Mendelegitimasi kelompok
Arab Saudi menggunakan media untuk
menggambarkan AQAP dengan cara
yang negatif, baik dengan menyorot
korban Muslim maupun serangan
mereka terhadap aparat keamanan dan
warga Arab Saudi.
- Melibatkan dalam dunia politik
Program ini dilakukan dengan
memberikan posisi kepada para militan
ke dalam pemerintahan jika mereka
mau meninggalkan kekerasan.
Harapannya, seseorang tidak akan
melakukan kekerasan melawan
pemerintah jika mereka sendiri adalah
bagian dari pemerintah.
- Moderasi Agama
Pemerintah Aljazair pernah
melakukannya dengan cara membuat
kebijakan yang menyarankan dan
mendukung sufisme sebagai alternatif
moderat dari pemikiran radikal Salafi
dan pemikiran konservatif Wahabi.
32
Laporan Khusus SYAMINA Edisi XVII/Januari-Februari 2015
6. Penutup
Perang melawan teror kini hampir
memasuki tahun keempat belas. Dinamika
perang terus berubah, kancah perang pun
bertambah. Usaha penghancuran kamp
militer dan pembunuhan para pemimpin
jihad tak jua melunturkan perlawanan
mereka atas hegemoni AS. Justru, busur
perlawanan makin bertambah dan
menyebar, dari yang awalnya hanya di
gunung-gunung Afghanistan kini telah
menyebar dari Filipina hingga belahan
Barat benua Afrika. Ini bukanlah konflik
yang bisa dimenangkan hanya dengan
senjata. Lebih daripada itu, ini adalah
perang ide.
Narasi dan kontranarasi terus
bersahutan. Komitmen untuk terus
berpegang pada ide dan menyampaikannya
pun menjadi tantangan bagi kedua belah
pihak yang saat ini terlibat dalam sebuah
“perang tanpa akhir”.90 Di saat Al Qaidah
dipandang sangat ahli dalam menggunakan
narasi untuk mempromosikan alasan
mereka, AS dianggap gagal. Kebijakan-
kebijakan yang dilakukan AS hanya
memperburuk situasi. Para analis Barat
pun menyimpulkan bahwa hanya jika
mereka mampu “menghancurkan mitos
yang dipropagandakan oleh teroris dan
simpatisannya, ia akan mampu untuk
membelokkan angin dari layar yang selama
90
http://www.theguardian.com/commentisfree/2013/may/17/endless-war-on-terror-obama
ini membuat perahu terorisme terus
berjalan.”91
Narasi menjadi bahan bakar yang
selama ini membuat perahu perlawanan
terus berjalan. Karena itulah, kontranarasi
kini diharapkan bisa menjadi penghalang.
Delegitimasi pembawa pesan, pemberian
alternatif definisi dari isi pesan, hingga
pembunuhan para ideolog pun dilakukan.
Namun, sebagaimana penemuan yang
dihasilkan dari penelitian Richard Nielsen,
ide-ide Jihadis secara umum tidak bisa
dibunuh dengan membunuh pemiliknya.
Program drone mungkin efektif untuk
membatasi aktivitas dan komunikasi
Jihadis, namun pembunuhan atas para
ideolog tidak menurunkan ketertarikan
pada ide-ide mereka.92
91
De Graaf, “Unrehearsed,” 9-10. 92
Richard A. Nielsen, Can Ideas be “Killed?”: Evidence from Counterterror Targeting of Jihadi Ideologues, 15 Januari 2015. (http://www.mit.edu/~rnielsen/decap.pdf)