k. mustarom - syamina.org edisi 7 april 2019.pdfmunculnya negara sekuler — 12 ... besar dalam...
TRANSCRIPT
K. Mustarom
Laporan Edisi 7 / April 2019
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
MITOS KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Bagaimana Mitos Kekerasan Agama Diciptakan? — 9
Munculnya Negara Sekuler — 12
Mati Demi Negara — 14
Apakah Kekerasan Selalu Identik Dengan Agama? — 19
Kekerasan Sekularisme — 22
Kesimpulan — 24
Daftar Pustaka — 26
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
4
Di era modern hari ini, sudah menjadi semacam keyakinan umum bahwa
agama adalah penyebab utama konflik paling berdarah di dunia. Keyakinan
ini tidak hanya muncul di kalangan yang memandang rendah agama, tapi
juga ia juga tumbuh di kalangan yang mendakwahkan ajaran agama.
Di era di mana tumbuh keyakinan kuat bahwa agama tidak boleh dicampurkan
dengan politik, agama menjadi tertuduh utama. Untuk itu negara bangsa dihadirkan,
dengan tawaran sebagai pelindung dari kekerasan agama dan menjaga perdamaian.
Asumsi ini sering menjadi dasar bagi kebijakan negara, di dalam maupun
luar negeri. Membatasi peran agama dalam rangka menjaga perdamaian dan
mempromosikan demokrasi.
Saat konflik terjadi, seketika tokoh agama dikumpulkan, diminta meredam
semangat keberagamaan umatnya. Faktor lain diabaikan, seolah semua kekerasan
berpangkal dari keberagamaan seseorang.
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
5
Saat bicara tentang konflik dan kekacauan di Timur Tengah, agama dianggap
sebagai penyebabnya. Saat bicara invasi tentang Amerika Serikat di Irak dan
Afghanistan, agama juga dituduh sebagai akar masalahnya. Bahkan, sekalipun umat
Islam jadi korban, keberagamaan merekalah yang jadi alasan utama.
Klaim bahwa agama rentan terhadap kekerasan, pada praktiknya, menjadi
justrifikasi ideologis bagi dilakukannya kekerasan atas nama tatanan sekuler. Ia
menjadi bahan baku utama untuk menguatkan loyalitas masyarakat kepada negara
bangsa dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan negara.
“Agama sering menyebabkan kekacauan, menjadi penyebab dari semua perang
besar dalam sejarah umat manusia.” Ungkapan ini, atau yang sejenisnya, sering
kita dengar. Terus diucapkan, seperti sebuah mantra yang seolah tidak boleh
dipertanyakan, yang melekat kuat, dari politisi hingga akademisi. Sampai-sampai,
kita tidak bisa mengenalinya sebagai sebuah mitos.
Agama dihilangkan kekuatannya. Di kampus-kampus, teori sekularisme
diajarkan sebagai fakta yang sudah mapan. Anggapan bahwa agama berbahaya bagi
politik sudah menjadi semacam kebenaran umum, menjadi sebuah asumsi tanpa
pikiran dari orang-orang yang selama ini menganggap dirinya berpikir.
Mereka yang mengucilkan agama sebenarnya takut akan kebangkitan agama.
Mereka mengecam agama, dengan deklarasi bahwa agama bertanggungjawab atas
banyak kekerasan saat ini. Beberapa saat kemudian, mereka akan mengatakan
dengan semangat penuh dogma bahwa agama sudah mulai luntur oleh modernitas,
tidak lagi relevan dengan zaman.
Laporan ini berupaya untuk menjelaskan bahwa mitos kekerasan agama adalah
produk dari dongeng di Barat untuk mengalihkan dari kekerasan yang mereka sendiri
lakukan.
Mitos ini sampai sekarang masih sangat kuat melekat, karena ia digunakan untuk
melegitimasi negara sekuler modern. Mitos ini adalah mitos yang menjadi dasar bagi
negara sekuler. Dan sebagaimana layaknya sebuah mitos, ia tidaklah sepenuhnya
benar, bahkan berpotensi membuat kita terbutakan oleh kekerasan irasional yang
dilakukan oleh negara sekuler.
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
6
MITOS KEKERASAN ATAS NAMA AGAMA
Saat kita melihat para pasukan Islamic State (IS) mengamuk di Timur Tengah,
menghancurkan negara-bangsa modern di Suriah dan Irak yang diciptakan
oleh para penjajah Eropa, mungkin sulit untuk percaya bahwa kita hidup di
abad ke-21. Melihat kekerasan yang tidak pandang bulu, mengingatkan kita pada
pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Jenghis Khan yang menyerang Cina,
Anatolia, Rusia dan Eropa Timur. Menghancurkan seluruh kota dan membantai
penduduk mereka.
Di sisi lain, kita melihat gambar-gambar yang sangat familiar, bahkan lebih
dramatis. Bom-bom yang dijatuhkan di kota-kota Timur Tengah yang menewaskan
anak-anak yang sedang berangkat sekolah hingga keluarga yang sedang
melangsungkan pesta pernikahan. Namun, kali ini pelakunya berbeda. Amerika
Serikat, Rusia, dan beberapa sekutu Arabnya. Prediksi suram bahwa perang ini bisa
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
7
menjadi Vietnam kedua bagi Amerika, mengingatkan kita bahwa perang ini adalah
perang yang sangat modern.
Tindakan pasukan Islamic State (IS) seketika mendorong pada satu kesimpulan:
hubungan antara agama dan kekerasan. Tindakan mereka seolah menjadi bukti
dari argumen yang selama ini diluncurkan tokoh atheis, Sam Harris, bahwa
"sebagian besar Muslim benar-benar gila dengan keyakinan agama mereka".1 Ia juga
menyimpulkan bahwa "agama itu sendiri menghasilkan solidaritas sesat yang harus
kita temukan cara untuk melemahkannya”. Banyak yang mempropagandakan narasi
Richard Dawkins, yang dalam tulisannya berjudul The God Delusion menyatakan
bahwa "hanya keyakinan agama yang dapat mendorong kegilaan total pada orang
yang waras dan baik hati".
Bahkan, bagi mereka yang menganggap pernyataan ini terlalu ekstrem, mungkin
masih percaya, secara naluriah, bahwa ada esensi kekerasan yang melekat dalam
agama. Karena begitu para pejuang diyakinkan bahwa Tuhan ada di pihak mereka,
kompromi menjadi hal yang tidak mungkin dan kekejaman menjadi tidak mengenal
batas.
Ada sebuah asumsi yang banyak berkembang dan dikembangkan akhir-akhir
ini, yaitu bahwa agama mempunyai kecenderungan untuk melakukan kekerasan.
Asumsi ini banyak tercermin dalam banyak kebijakan domestik dan juga kebijakan
luar negeri negara di dunia ini.
Salah satu mitos abadi yang dikembangkan di negara sekuler adalah bahwa
agama sangat berbahaya, mudah terbakar, sehingga kemungkinan besar akan
meledak ke dalam api kekerasan. Untuk itu, satu-satunya perlindungan yang dimiliki
untuk menghindari perusakan masyarakat adalah dengan mendirikan tembok tebal
yang memisahkan agama dari negara.2
Setelah mendengar kisah-kisah horor yang tak berkesudahan tentang perang
agama di Eropa—terutama Perang Agama di Prancis dan Perang Tiga Puluh Tahun
yang menewaskan lebih dari sepertiga penduduk Eropa— kita mungkin cenderung
meyakini mitos itu.
Mitos itu seolah menggambarkan agama dan politik bak bensin dan korek api.
Bukankah itu yang diajarkan sejarah kepada kita?
Tidak. Sejarah sebenarnya mengajarkan kita dua hal.
Pertama, seperti yang dikatakan William Cavanaugh dalam bukunya Myth of
Religious Violence, ketika kita melihat lebih dekat pada perang agama abad ke-16 dan
ke-17 di Eropa, kita menemukan bahwa konflik antara umat Katolik dan Protestan,
Protestan dengan Protestan lainnya, adalah motif sekunder dari tujuan aslinya, yaitu
1 http://www.samharris.org/site/full_text/the-reality-of-islam2 DiIndonesia,khalayakramaiacapkalimemahamibahwanegarainibukanlahnegarasekulerdanbukanpula
negaraagama, tetapinegarayangberdasarkanKetuhananYangMahaEsaataunegara religius.Narasi inimewarnaiberbagaiperdebatansosial-politikdanhukumdi Indonesia,mulaidariperdebatandasarnegarasampaikeabsahanhukumpenodaanagama.Sementaraitu,beberapapakarlebihterangmenyebutIndonesiasebagai negara sekuler, dengan kategorisasi yang khas dan apresiatif. Alfred Stepan dalam Rethinking Secularism,misalnya,melakukankategorisasiterhadapberagamjenissekularisme(multiple secularisms)dariberbagainegaradanmenempatkanIndonesiabersamaSenegaldanIndiadalammodelsekularismedenganperhormatanterhadapsemuaagama(respect to all),adanyakerjasamapositif(possitive cooperation)antaranegaradanagama,danupayapenghindarandiridaribiasmayoritarianisme(principled distance).
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
8
negara-bangsa yang sedang muncul dan berbagai intrik politik dan dinasti yang
terjadi waktu itu. Sederhananya, penyebab utama dari perang ini adalah politik,
bukan agama.3
Bagaimana itu bisa terjadi?
Jika perbedaan agama adalah penyebab utama dari konflik berdarah ini, kata
Cavanaugh, maka kita akan berharap untuk menemukan bahwa mereka selalu
diperjuangkan di sepanjang garis denominasi yang rapi. Namun, yang justru kita
temukan adalah kaisar Katolik yang menyerang paus, raja-raja Prancis Katolik yang
menyerang kaisar Katolik, raja-raja Protestan dan para pangeran yang berpihak
pada raja-raja Katolik melawan para Protestan lainnya, Lutheran dan raja-raja
Katolik yang bersatu melawan kaisar-kaisar Katolik, para bangsawan Huguenot
Protestan4 dan para bangsawan Katolik di Perancis bersatu melawan rakyat jelata
Katolik dan Huguenot Protestan yang juga bersatu melawan para bangsawan,
bangsawan Protestan dan Katolik di Perancis bersatu melawan raja Katolik mereka,
Protestan menolak Uni Protestan (koalisi negara-negara Protestan Jerman), para
pangeran Lutheran mendukung hak-hak seorang kaisar Katolik, Katolik Prancis yang
mendukung para pangeran Protestan di Jerman, kaum Calvinis Belanda membantu
raja Katolik untuk menekan pemberontakan kaum Calvinis Prancis, seorang Lutheran
yang memimpin pasukan kekaisaran Katolik, dan tentara bayaran dari setiap garis
agama yang menjual diri mereka kepada penawar tertinggi, baik dari pihak Katolik
maupun Protestan.
Itu hanya gambaran singkat dari contoh-contoh yang diberikan oleh Cavanaugh.
Ia melakukan sebuah penelitian tentang apa yang disebut perang agama.
Hasilnya mengejutkan, karena apa yang selama ini disebut sebagai perang agama
ternyata bukanlah perang agama. Mereka adalah perang politik yang sama-sama
mengabaikan perbedaan agama ketika tujuan politik yang lebih penting menuntut
kerja sama dengan musuh agama atau bermusuhan melawan mereka yang memiliki
kepercayaan agama yang sama, dan menggunakan perbedaan agama ketika dianggap
bisa digunakan untuk melayani tujuan politik.
Itu pelajaran sejarah pertama.
Pelajaran kedua tak kalah penting, dan terkait dengan yang pertama. Seperti
yang dijelaskan oleh Cavanaugh, negara sekuler membutuhkan (dan masih
membutuhkan) orang untuk mempercayai cerita bahwa agama adalah penyebab
kekerasan. Mengapa? Karena kepercayaan ini memungkinkan terciptanya negara
sekuler yang sebenarnya. Negara sekuler adalah apa yang muncul ketika agama secara
paksa dihapus dari ruang publik melalui kekuasaan negara. Mitos kekerasan agama
membenarkan penghapusan agama dari ruang politik, dan melalui penghapusan
itulah negara mencapai sekularisasi.
Pada pertengahan abad ke-20, sekularisme telah menguasai kaum intelektual
dan, melalui pendidikan, telah membentuk pola pikir para sarjana hukum dan ahli
3 WilliamT.Cavanaugh,The Myth of Religious Violence: Secular Ideology and the Roots of Modern Conflict, New York, NY: Oxford University Press, 2009, h. 142-151
4 KaumHuguenotadalahorangKristenProtestan(Calvinisme)asalPrancispadaabadke-16hinggake-18.
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
9
hukum. Mereka dibentuk oleh mitos Era Pencerahan bahwa kehadiran agama akan
memberikan dampak negatif yang, demi kemajuan manusia, perlu dihilangkan
demi tercapainya perdamaian. Untuk itu, digaungkan sebuah narasi, tentang
mengerikannya kekejaman akibat perang agama.
Negara sekuler lahir dari upaya aktif untuk memisahkan agama dari negara dan
peningkatan tembok yang memisahkan keduanya. Dalam sejarah, pemisahan aktif
ini, dan juga pembangunan tembok, telah melahirkan sebuah negara sekuler yang
belum pernah ada sebelumnya.
Kini, kita bisa menyaksikan hubungan antara pelajaran sejarah pertama dan
kedua. Jika gagasan bahwa agama adalah penyebab kekerasan terbukti sebagai
mitos, dan apa yang disebut sebagai perang agama pada hakikatnya adalah perang
yang dipicu oleh ambisi politik, maka tekanan untuk mempertebal tembok pemisah
antara agama dan negara pun akan runtuh.
Mitos kekerasan atas nama agama adalah gagasan sekuler yang menganggap
agama sebagai penyakit bagi umat manusia, karena ia mempunyai kecenderungan
untuk mempromosikan kekerasan. Agama dianggap cenderung mempromosikan
kekerasan dengan dalih ia rawan terhadap absolutisme, perpecahan, dan irasionalitas.
Untuk itu, dengan dalih demi tercapainya perdamaian, agama harus dipisahkan
dari ruang publik.
Hari ini, kita menerima begitu saja konsep nasionalisme dan sekulerisme,
sehingga sulit bagi kita untuk berpikir bahwa ia adalah konsep yang baru. Sebelum
zaman modern, tidak ada lembaga "sekuler" dan tidak ada negara "sekuler" dalam
arti yang selama ini umum dipahami. Kreasi baru ini membutuhkan pengembangan
pemahaman yang sama sekali berbeda tentang agama, yang unik bagi negara Barat
modern. Tidak ada budaya lain yang memiliki pengalaman yang sama dengan Barat.
Bahkan konsep tersebut, sebelum abad ke-18, tidak akan dapat dipahami oleh umat
Katolik Eropa sekalipun.
Spiritualitas tradisional tidak mendorong orang untuk mundur dari aktivitas
sosial dan politik.
Bagaimana Mitos Kekerasan Agama Diciptakan?Terkait dengan hubungan antara kekerasan dan agama, kita bisa simpulkan
bahwa perang di Eropa pada abad ke-16 dan 17 lah yang menjadi awal mula
diciptakannya “mitos kekerasan atas nama agama”.
Sebelum periode modern, agama bukanlah kegiatan yang terpisah, tertutup
rapat dari semua yang lain; melainkan, ia merasuki semua usaha manusia, termasuk
ekonomi, pembangunan negara, politik, dan perang.
Sebelum tahun 1700, mustahil bagi orang untuk memisahkan agama dengan
politik. Perang Salib tentu saja diilhami oleh semangat keagamaan, tetapi mereka
juga sangat politis: Paus Urbanus II membiarkan para pasukan Kristen kehilangan
wilayah di dunia Muslim untuk memperluas kekuatan gereja ke arah timur dan
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
10
menciptakan monarki kepausan yang akan mengendalikan Kristen Eropa. Inkuisisi
Spanyol adalah upaya yang sangat cacat untuk mengamankan tatanan internal
Spanyol setelah perang saudara yang memecah belah, pada saat bangsa itu takut
akan serangan kekhilafahan Utsmani. Demikian pula, perang agama Eropa dan
perang tiga puluh tahun tentu saja diperparah oleh pertikaian sektarian Protestan
dan Katolik, tetapi kekerasan mereka merefleksikan kepedihan lahirnya negara-
bangsa modern.
Perang-perang Eropa inilah, pada abad ke-16 dan ke-17, yang membantu
menciptakan apa yang disebut "mitos kekerasan agama". Dikatakan bahwa orang-
orang Protestan dan Katolik begitu meradang oleh hasrat teologis Reformasi
sehingga mereka saling membantai dalam pertempuran tak berperikemanusiaan
yang menewaskan 35% penduduk Eropa Tengah.
Memang, tidak ada keraguan bahwa para pelaku konflik menganggap perang
ini sebagai perjuangan hidup dan mati atas nama agama. Namun, perang ini juga
merupakan konflik antara dua kelompok pembangun negara: para pangeran Jerman
dan raja-raja Eropa lainnya bertempur melawan Kaisar Romawi, Charles V, dan
ambisinya untuk mendirikan hegemoni trans-Eropa yang meniru kekhilafahan
Utsmani.
Jika perang agama semata-mata dimotivasi oleh kefanatikan agama, kita
seharusnya tidak berharap menemukan fakta bahwa umat Protestan dan Katolik
bertempur di pihak yang sama, namun pada kenyataannya mereka sering
melakukannya. Katolik Perancis berulang kali berperang melawan Habsburg Katolik,
yang secara teratur didukung oleh beberapa pangeran Protestan.
Dalam perang agama Perancis (1562-98) dan Perang Tiga Puluh Tahun, para
pasukan di masing-masing pihak sering melewati batas-batas agama, sehingga tidak
mungkin membicarakan populasi yang "Katolik" atau "Protestan". Perang ini bukan
"semua tentang agama" atau "semua tentang politik". Bukan pula masalah negara
hanya "menggunakan" agama untuk tujuan politik. Belum ada cara yang koheren
untuk memisahkan tujuan agama dari tujuan sosial dan politik.
Orang-orang berperang untuk berbagai visi masyarakat, tetapi mereka tidak
akan, dan tidak bisa, membedakan antara faktor-faktor keagamaan dan faktor lain
dalam konflik-konflik ini. Sampai abad ke-18, memisahkan keduanya sangat sulit,
jika bisa dikatakan tidak mungkin.
Perang agama di Eropa pada abad enam belas dan 17 seringkali digunakan untuk
memvalidasi eksistensi negara bangsa. Dari perspektif negara bangsa, penghapusan
agama dari ruang publik berhasil mengakhiri perang agama. Namun, menurut
Cavanaugh, asumsi yang selama ini berkembang bahwa pembangunan negara
bangsa berhasil menciptakan solusi bagi konflik agama adalah keliru secara historis.
Cavanaugh mendekonstruksi asumsi perang agama tersebut dengan melakukan
evaluasi sejarah konflik. Katolik membunuh Katolik lainnya, Protestan membunuh
Protestan lainnya, dan terkadang Katolik dan Protestan bekerjasama memerangi
musuh bersama yang juga berasal dari Katolik dan Protestan. Cavanaugh juga
memberikan contoh bagaimana para pendiri negara bangsa menggunakan perbedaan
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
11
agama sebagai metode untuk menyerukan kekerasan. Jadi, gagasan bahwa para elit
negara bangsa membantu mengatasi masalah kekerasan agama tidaklah benar.
Bahkan, sejatinya mereka membantu menciptakan kekerasan untuk tujuan politik.
Pada akhir perang tiga puluh tahun, orang Eropa telah berjuang melawan bahaya
kekuasaan kekaisaran. Untuk selanjutnya, Eropa akan dibagi menjadi negara-negara
kecil, masing-masing mengklaim kekuasaan berdaulat di wilayahnya sendiri, masing-
masing didukung oleh tentara profesional dan diperintah oleh seorang pangeran
yang bercita-cita untuk memerintah secara absolut.
Konfigurasi kekuasaan politik yang baru mulai memaksa gereja memainkan
peran yang lebih rendah, suatu proses yang melibatkan realokasi otoritas dan sumber
daya, dari gereja kepada raja. Ketika kata "sekularisasi" diciptakan pada akhir abad
ke-16, kata itu awalnya merujuk pada "perpindahan kepemilikan barang dari milik
gereja kepada milik dunia". Kata “dunia” ini merujuk pada penguasa sekuler, dengan
memberinya kendali penuh atas masyarakat dan meletakkan kekuasaan absolut di
tangannya.
Ini adalah eksperimen yang sepenuhnya baru. Itu bukan masalah Barat
menemukan hukum alam; sebaliknya, sekularisasi adalah perkembangan yang tidak
pasti. Ia berakar di Eropa. Sebagian besar karena mencerminkan struktur kekuasaan
baru yang mendorong gereja keluar dari pemerintahan.
Perkembangan ini membutuhkan pemahaman baru tentang agama. Martin
Luther menyediakannya. Ia adalah orang Eropa pertama yang mengusulkan
pemisahan agama dan negara. Menurutnya, gereja tidak mampu mengelola seluruh
aspek kehidupan manusia sendirian. Karena itulah, menurut Luther, tugas utama
negara adalah mengendalikan perilaku manusia dengan kekuatan.
Bagi Luther, tugas utama negara adalah menahan secara paksa rakyatnya yang
jahat, "dengan cara yang sama seperti binatang buas buas terikat dengan rantai dan
tali". Negara yang berdaulat dan mandiri mencerminkan individu yang mandiri dan
berdaulat. Pandangan Luther tentang agama, sebagai pencarian yang pada dasarnya
subyektif dan pribadi di mana negara tidak memiliki hak yurisdiksi, pada akhirnya
menjadi dasar dari cita-cita negara modern.
Paradoksnya, bagi Luther, masyarakat sekuler tidak berarti perdamaian atau
demokratis. Tanggapan Luther terhadap perang kaum tani di Jerman pada tahun
1525, selama tahap-tahap awal perang agama, menunjukkan bahwa teori politik
sekuler tidak berarti perdamaian atau demokrasi. Para petani, yang menentang
kebijakan sentralisasi para pangeran Jerman—yang merampas hak-hak tradisional
mereka—tanpa ampun dibantai oleh negara.
Luther percaya, bahwa mereka, para petani, telah melakukan dosa utama, yaitu
mencampur agama dan politik: penderitaan adalah milik mereka, dan mereka
seharusnya memberikan pipi yang lain, dan menerima untuk kehilangan nyawa dan
harta benda mereka.
"Kerajaan duniawi," tegasnya, "tidak bisa ada tanpa ketidaksetaraan manusia.
Beberapa ada yang bebas, ada yang dipenjara, ada yang jadi penguasa, ada yang
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
12
tunduk." Luther memerintahkan para pangeran, "Biarkan semua orang yang bisa
untuk memukul, membunuh, dan menikam, diam-diam atau terang-terangan,
mengingat bahwa tidak ada yang lebih beracun, menyakitkan, atau jahat selain
pemberontakan.”
Meski sudah banyak bukti yang membuktikan bahwa kekerasan tidak ada
hubungannya dengan agama, banyak yang secara membabibuta meyakini sebaliknya.
Bahkan teori politik kontemporer masih meyakini bahwa “fanatisme” adalah sifat
instrinsik agama, dan itu semua bisa dicegah melalui penciptaan negara sekuler yang
memisahkan agama dari politik.
Konsep agama sebagai ranah pribadi diciptakan dalam konteks perubahan sosial
yang terjadi di Eropa Barat pada periode sejarah tertentu. Ada konteks ruang dan
waktu yang harusnya diperhatikan. Namun anehnya, hari ini masih banyak yang
meyakini bahwa pemisahan agama dari negara adalah prasyarat perdamaian.
Hari ini, dunia diyakinkan untuk menerima sekularisme begitu saja, baik secara
spontan maupun melalui pengaruh misterius, evolusi hukum sosial yang tidak bisa
ditawar, yang pada puncaknya adalah anggapan bahwa demokrasi liberal modern
adalah pencapaian tertinggi umat manusia.
Sekularisme diperkenalkan kepada umat manusia, direncanakan secara
sistematis dan dikendalikan oleh kepentingan konkret mereka. Niat sejati mereka
sebenarnya adalah untuk memisahkan agama dari negara, dan tujuan akhir mereka
adalah untuk memberikan kebebasan pada negara untuk mengejar kepentingannya
dengan segala alat yang tersedia, termasuk hak mutlak untuk secara sewenang-
wenang menggunakan kekerasan.5
Munculnya Negara SekulerMenjelang akhir abad ke-17, para filsuf telah menyusun versi ideal cita-cita
sekuler yang lebih sopan. Bagi John Locke, “gereja itu sendiri adalah sesuatu yang
benar-benar terpisah dan berbeda dari persemakmuran. Batas-batas diantara kedua
belah pihak adalah tetap dan tidak bergerak."
Pemisahan agama dan politik, bagi Locke, dituliskan ke dalam sifat segala sesuatu.
Tetapi negara liberal adalah inovasi radikal, sama revolusionernya dengan ekonomi
pasar yang berkembang di Barat dan akan segera mengubah dunia. Karena hasrat
keras yang muncul, Locke bersikeras bahwa pemisahan "agama" dari pemerintah
adalah hal yang paling diperlukan untuk penciptaan masyarakat yang damai.
Tentu saja, sikap ini jauh dari toleransi. Konsep ini justru memberikan negara
seluruh instrumen yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.
Dalam negara liberal yang diajukannya, hanya penganut Kristen Anglikan yang
diijinkan untuk menikmati kebebasan beragama. Locke bersikeras bahwa negara
liberal tidak bisa mentolerir baik umat Katolik maupun Muslim. Ia mengutuk mereka
sebagai sesuatu yang berbahaya.
5 Idem,h.33
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
13
Locke adalah pembela utama teori hak asasi manusia, yang awalnya dipelopori
oleh kaum humanis Renaisans. Sekularisasi muncul pada saat Eropa mulai menjajah
Dunia Baru. Ia memberikan pengaruh besar pada cara Barat memandang mereka
yang telah dijajah, sebagaimana hari ini, dimana ideologi sekuler memandang
masyarakat Muslim yang dianggap tidak mampu memisahkan agama dari politik
sebagai perilaku cacat.
Namun, realita sering menunjukkan inkonsistensi. Bagi kaum humanis
Renaisans, tidak mungkin ada hak-hak alami bagi penduduk asli Dunia Baru. Mereka
dianggap layak dihukum karena gagal memenuhi norma-norma Eropa.
Teori liberalisme dan praktik sekularisasi sangat terkait dengan proses penjajahan.
Tidak hanya di Dunia Baru, namun juga di wilayah Afrika, Asia, Australia, dan Selandia
Baru. Kolonialisme yang dilakukan oleh Inggris, Belgia, Spanyol, Portugal, Belanda,
begitu juga Jerman dan Rusia seringkali berujung pada genosida dan pembantaian
penduduk lokal.
Pada abad ke-16, Alberico Gentili, seorang profesor hukum perdata di Oxford,
berpendapat bahwa tanah yang belum dieksploitasi secara pertanian adalah "kosong",
dan bahwa "penyitaan tempat kosong [seperti itu] adalah hal yang wajar dilakukan."
Locke setuju bahwa penduduk pribumi tidak memiliki hak untuk hidup, kebebasan,
atau properti. "Raja-raja" Amerika, menurutnya, tidak memiliki hak kepemilikan
yang sah atas wilayah mereka. Dia juga mendukung "kekuasaan absolut, sewenang-
wenang" dari tuan atas budaknya, termasuk "kekuatan untuk membunuhnya kapan
saja". Karena opini tersebut dan keuntungan besar yang didapat dari praktik tersebut,
perbudakan terus berlangsung di Amerika Serikat selama 90 tahun sejak deklarasi
kemerdekaannya.
Para pelopor sekularisme jatuh ke dalam kebiasaan lama yang sama sebagaimana
para pendahulu agama mereka. Sekularisme dirancang untuk menciptakan tatanan
dunia yang damai, tetapi agama begitu rumit terlibat dalam struktur ekonomi, politik
dan budaya masyarakat sehingga tatanan sekuler hanya dapat dibangun melalui
kekerasan.
Di Amerika Utara, di mana tidak ada pemerintahan aristokrat yang mengakar,
penghancuran berbagai gereja dapat dilakukan dengan relatif mudah. Tetapi di
Prancis, gereja hanya bisa dibongkar dengan serangan kekerasan. Pemisahan agama
dan politik pun terjadi sebagai pengalaman traumatis dan menakutkan.
Selama revolusi Perancis, salah satu tindakan pertama majelis nasional yang
baru didirikan pada tanggal 2 November 1789, adalah menyita semua properti gereja
untuk melunasi hutang nasional: sekularisasi melibatkan perampasan, penghinaan
dan marjinalisasi. Puncaknya, terjadi pembantaian pada September 1792, ketika
massa masuk ke penjara Paris, membantai dua hingga tiga ribu tahanan, kebanyakan
dari mereka adalah pendeta.
Pada awal 1794, empat tentara revolusioner dikirim dari Paris untuk memadamkan
pemberontakan di Vendée yang melawan kebijakan anti-Katolik yang dikeluarkan
oleh rezim. Instruksi mereka adalah untuk tidak menyayangi siapa pun. Pada akhir
kampanye, Jenderal François-Joseph Westermann dilaporkan menulis kepada
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
14
atasannya: “Vendée tidak ada lagi. Saya telah menghancurkan anak-anak di bawah
kuku kuda kami, dan membantai para wanita ... Jalanan penuh dengan mayat.”
Ironisnya, tidak lama setelah kaum revolusioner membersihkan diri dari satu
agama, mereka malah menemukan agama yang lain. Tuhan-tuhan baru mereka
adalah kebebasan, alam, dan bangsa Prancis, yang mereka sembah dalam
festival rumit yang dikoreografi oleh seniman Jacques Louis David. Pada tahun
yang sama ketika dewa akal itu dinobatkan di altar tinggi katedral Notre Dame,
pemerintahan teror menjerumuskan bangsa baru ke dalam pertumpahan darah
yang tidak rasional, di mana sekitar 17.000 pria, wanita dan anak-anak dieksekusi
oleh negara.
Negara sekuler melakukan politiknya secara sangat agresif. Mereka
memperkenalkan secara paksa sekularisme pada masyarakat yang mereka jajah, yang
sebenarnya bertentangan dengan sistem nilai masyarakat lokal. Model masyarakat
tradisional dan sistem nilai masyarakat lokal serta hak asasi mereka diabaikan secara
total, bahkan di negara yang tradisi budayanya sudah berlangsung selama ribuan
tahun.
Praktik inilah yang merangsang arogansi penjajah Barat atas masyarakat kolonial
mereka. Sikap ini masih berlangsung hingga hari ini. Contoh nyata dari sikap ini
adalah anggapan bahwa masyarakat Muslim masih terbelakang dan inferior menurut
standar ideologi sekuler. Karenanya, Muslim dianggap layak untuk dihukum karena
tidak mau melepaskan keyakinan agama, tradisi budaya, dan sistem nilai mereka,
serta tidak mau mengadopsi model sekularisme yang dibawa oleh para penjajah
Barat.
Mati Demi Negara Seiring dengan perkembangan demokrasi liberal, negara sekuler
memproklamirkan status kesucian atas dirinya.
Pada awal abad ke-19, bersamaan dengan perang Napoleon, konsep negara
bangsa dipromosikan sebagai pengganti wakil Tuhan. Mengadopsi konsep agama
tentang loyalitas total kepada Tuhan, negara sekuler meminta warga negaranya
memberikan loyalitas total kepadanya. Loyalitas baru ini membawa kepada
keyakinan bahwa sudah menjadi tugas warga negara untuk mati demi negaranya.
Ketika pasukan Napoleon menginvasi Prusia pada tahun 1807, filsuf Johann
Gottlieb Fichte mendesak warga negaranya untuk menyerahkan nyawa mereka
kepada Tanah Air. Bangsa, yang disebut Benedict Anderson sebagai "komunitas
khayalan", telah datang untuk menggantikan Tuhan. Hari ini, mati demi negara
dianggap sebagai sesuatu yang mengagumkan, tetapi tidak untuk agama Anda.
Ketika negara bangsa semakin kokoh pada abad ke-19, bersamaan dengan
revolusi industri, warga negaranya harus terikat erat dan dimobilisasi untuk
industri. Komunikasi modern memungkinkan pemerintah untuk menciptakan dan
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
15
menyebarkan etos kebangsaan, dan memungkinkan negara untuk masuk ke dalam
kehidupan warga mereka lebih dari yang pernah terjadi sebelumnya.
Bahkan jika mereka berbicara dengan bahasa yang berbeda dari penguasa
mereka, rakyat sekarang menjadi milik “bangsa,” baik mereka suka atau tidak. John
Stuart Mill menganggap integrasi paksa ini sebagai kemajuan.
Tetapi pada akhir abad ke-19, sejarawan Inggris Lord Acton khawatir bahwa
sanjungan yang berlebihan pada semangat nasionalisme yang menekankan pada
etnis, budaya dan bahasa, akan menghukum mereka yang tidak sesuai dengan
norma nasional: “Karena itu, sampai pada tingkatan kemanusiaan dan peradaban di
dalam tubuh dominan yang mengklaim semua hak komunitas, ras yang lebih rendah
dimusnahkan atau direduksi sebagai budak, atau dimasukkan ke dalam kondisi
ketergantungan."
Untuk memenuhi kebutuhannya, negara bangsa sekuler menyerukan kesetaraan
seluruh umat manusia. Daya tarik keuntungan yang begitu besar membuat mereka
rela berkompromi atas sifat inegalitarian yang secara instrinsik ada pada negara
bangsa sekuler.
Industri yang sedang berkembang semakin membutuhkan tenaga kerja. Semakin
banyak orang yang harus ditarik ke dalam proses produktif. Untuk itu, diperlukan
pendidikan untuk para pekerja, paling tidak pendidikan dasar. Pada akhirnya, mereka
akan menuntut hak untuk berpartisipasi dalam keputusan pemerintah.
Untuk pertama kalinya, praktik pemilu memberikan hak suara bagi para wanita.
Di sisi lain, muncul toleransi yang tidak diharapkan pada orang-orang Yahudi yang
sebelumnya didiskriminasi. Mereka dimasukkan dalam kehidupan sosial politik
Eropa Barat pada akhir abad ke-19.
Namun toleransi ini hanya setebal kulit ari. Ketika kebutuhan tersebut
bertentangan dengan aspirasi negara sekuler yang lebih tinggi, politik kesetaraan dan
toleransi digantikan dengan diskriminasi keras terhadap etnis dan budaya minoritas.
Dan seperti yang telah diprediksi Lord Acton, intoleransi terhadap etnis dan budaya
minoritas akan menjadi salah satu kelemahan utama negara-bangsa.
Etnis minoritas menjadi sebagai objek kebencian di negara-bangsa yang baru.
Thomas Jefferson, salah satu pendukung utama Pencerahan di Amerika Serikat,
menginstruksikan kepada menteri perangnya pada tahun 1807 bahwa penduduk asli
Amerika adalah “bangsa terbelakang” yang harus “dimusnahkan” atau diusir sejauh
mungkin, bersama dengan binatang buas hutan. Bahkan, hingga hari ini, keturunan
pribumi di Amerika Serikat secara resmi didefinisikan sebagai “anggota bangsa yang
kalah”, sinonim dengan “tawanan perang”.
Tahun berikutnya, Napoleon mengeluarkan "dekrit terkenal", yang menyangkal
hak beragama orang-orang Yahudi. Ia memerintahkan orang-orang Yahudi
Perancis untuk mengambil nama-nama Prancis, memprivatisasi iman mereka, dan
memastikan bahwa setidaknya satu dari tiga pernikahan per keluarga adalah dengan
kaum non-Yahudi.
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
16
Perkembangan negara sekuler berdasarkan demokrasi liberal dilakukan dengan
kekuatan yang lebih brutal ketika sekularisasi dibawa ke daerah jajahan. Perlawanan
terbesar dilakukan di dunia Islam, dimana sistem kehidupan dan nilai-nilai agama
mengakar dengan sangat kuat. Sekularisme dianggap sebagai serangan terbuka
terhadap keyakinan agama mereka. Karena datang dari tangan pemerintah kolonial,
konsep ini dipandang sebagai impor dari penjajah, dan ditolak sebagai sesuatu yang
sangat tidak wajar.
Di sebagian besar wilayah di dunia di mana pemerintah sekuler didirikan dengan
tujuan memisahkan agama dan politik, sebuah gerakan kontra-budaya berkembang
sebagai perlawanan, bertekad untuk membawa agama kembali ke kehidupan publik.
Di dunia Islam, sekularisasi diperkenalkan melalui kekerasan, sehingga praktik ini
seringkali dianggap sebagai tindakan yang kejam dan invasif.
Apa yang kita sebut sebagai "fundamentalisme" selalu ada dalam hubungan
simbiotik dengan sekularisasi yang prosesnya dilakukan secara kejam, keras
dan invasif. Seringkali sekularisme yang agresif telah mendorong agama ke arah
kekerasan. Setiap gerakan fundamentalis, baik di dalam Yudaisme, Kristen, dan
Islam berakar pada ketakutan bahwa kaum liberal atau penguasa sekuler bertekad
untuk menghancurkan cara hidup mereka. Hal ini nampak terutama di dunia Islam.
Dan kekhawatiran tersebut, tragisnya, menjadi kenyataan hari ini.
Seringkali sekularisme wujud pada titik terburuknya, membuatnya tidak
enak bagi rakyatnya. Mustafa Kemal Ataturk, yang mendirikan republik sekuler
Turki pada tahun 1918, sering dikagumi di Barat sebagai pemimpin Muslim yang
tercerahkan, tetapi bagi banyak orang di Timur Tengah ia melambangkan kekejaman
nasionalisme sekuler. Dia membenci Islam, menggambarkannya sebagai "mayat
yang dibusukkan". Ia merepresi Muslim di Turki, merampas harta benda mereka,
dan menutup madrasah-madrasah. Dia juga menghapuskan lembaga kekhalifahan
yang dicintai umat Islam.
Ataturk juga melakukan kebijakan pembersihan etnis, dalam upaya untuk
mengendalikan kelas-kelas komersial yang meningkat. Ia secara sistematis
mendeportasi orang-orang Kristen berbahasa Armenia dan Yunani, yang terdiri
dari 90% kaum borjuis. Turki Muda, yang merebut kekuasaan pada tahun 1909,
mendukung positivisme anti-agama yang terkait dengan August Comte dan juga
bertekad untuk menciptakan negara Turki murni.
Selama perang dunia pertama, sekitar satu juta orang Armenia dibantai dalam
genosida pertama abad ke-20: pria dan pemuda terbunuh di tempat mereka berdiri,
sementara wanita, anak-anak dan orang tua didorong ke padang pasir di mana
mereka diperkosa, ditembak, kelaparan, diracun, mati lemas atau terbakar sampai
mati.
Terinspirasi oleh rasisme berbungkus ilmiah bernama nasionalisme, Mehmet
Resid, yang dikenal sebagai "gubernur eksekusi", menganggap orang-orang
Armenia sebagai "mikroba berbahaya" bagi tanah air Turki. Ataturk menyelesaikan
pembersihan rasial ini. Selama berabad-abad orang Muslim dan Kristen hidup
bersama di kedua sisi Aegean. Namun Ataturk mempartisi wilayah itu, mendeportasi
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
17
orang-orang Kristen Yunani ke Yunani, sementara Muslim yang berbahasa Turki di
wilayah Yunani dikirim ke arah sebaliknya.
Penguasa sekuler seperti Ataturk seringkali menginginkan negara mereka
terlihat modern, yaitu seperti Eropa. Di Iran, pada tahun 1928, Reza Shah Pahlavi
mengeluarkan hukum keseragaman pakaian: tentaranya merobek kerudung wanita
dengan bayonet dan merobeknya menjadi berkeping-keping di jalan. Pada tahun
1935, polisi diperintahkan untuk menembaki kerumunan yang telah melakukan
demonstrasi damai terhadap undang-undang berpakaian tersebut, menewaskan
ratusan warga sipil yang tidak bersenjata.
Mengikuti contoh dari Perancis, penguasa Mesir melakukan sekularisasi dengan
melemahkan dan memiskinkan ulama. Modernisasi Mesir telah dimulai sejak
periode kekhilafahan Utsmani di bawah gubernur Muhammad Ali. Ia membuat
kebijakan yang secara sengaja membuat kelaparan para ulama secara finansial,
mengambil status bebas pajak mereka, menyita harta wakaf yang menjadi sumber
pendapatan utama mereka, dan secara sistematis merampok mereka dari segala
kekuasaan. Ketika Jamal Abdul Nasser berkuasa pada tahun 1952, ia mengubah taktik.
Ia menjadikan ulama sebagai pejabat negara. Selama berabad-abad sebelumnya,
para ulama berperan sebagai benteng perlindungan antara rakyat dan kekerasan
sistemik negara. Kini, orang Mesir membenci mereka karena sudah menjadi antek
pemerintah.
Dalam misi sekularisasi, yang terjadi sesungguhnya bukanlah pemisahan
agama dari politik, tapi perpindahan “kesucian” dari agama kepada negara, dalam
rangka membangun idealita mati dan membunuh demi negara. Kita tidak melihat
berhentinya kekerasan melalui sekularisasi, tapi yang terjadi adalah munculnya
kekerasan baru, bukan atas nama agama, tapi atas nama membela negara dan
kepentingannya. Jika memang kekerasan dan pengorbanan nyawa akan berhenti
dengan adanya sekularisme dan negara bangsa, tentunya kita tidak akan melihat
pembunuhan dan kekerasan di dunia ini, paling tidak di Barat sebagai penemu
sekularisme.
Perpindahan loyalitas dari agama kepada negara bukanlah akhir dari
pengorbanan diri di Eropa, tapi perpindahan menuju jenis pengorbanan baru: mati
demi negara—dan membunuh demi negara.6
Mati demi membela agama kini digantikan oleh mati dan membunuh demi
negara. Tak salah jika sebagian menganggap nasionalisme sebagai agama modern.
Dalam salah satu bukunya, Migrations of the Holy, William Cavanaugh
berpendapat bahwa banyak semangat yang semula diarahkan kepada agama kini
diarahkan kepada negara-bangsa di zaman modern. Cavanaugh menggambarkan
kultus kebangsaan ini sebagai bentuk “penyembahan berhala” yang hendaknya
ditentang. Carolyn Marvin, dalam artikelnya Religion and Realpolitik: Reflections on
Sacrifice, berpendapat bahwa suatu agama adalah komunitas orang-orang beriman
6 WilliamCavanaugh,Destroying the Church to Save It: Intra-Christian Persecution and the Modern State,dalamWitness of the Body: The Past, Present, and Future of Christian Martyrdom,dieditolehMichaelL.BuddeandKarenScott,125–50.GrandRapids,Mich.–Cambridge,UK.:WilliamB.EerdmansPublishingCompany,2011,h.126
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
18
yang kadang-kadang rela mengorbankan diri demi kelompok. Dengan definisi ini, ia
memandang negara-bangsa modern sebagai komunitas agama, karena warga negara
menyatakan keinginan yang kuat untuk mati demi hal itu.
Marvin, sebagaimana Freud, Burkert, dan Girard, melihat pengorbanan adalah
inti dari ritual keagamaan. Ia juga melihat komunitas kebangsaan sebagai objek
penting dari pengabdian agama baru ini. Cavanaugh mengutip jajak pendapat
publik di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih rela
mati untuk bangsanya daripada mati karena keyakinan agama mereka.
Kewarganegaraan tetap dihubungkan dengan simbol dan praktik semi ritual,
sebagian besar diantaranya baru diciptakan: bendera, gambar, upacara, dan lagu.
Benedict Anderson mengatakan bahwa dalam modernitas, negara menggantikan
agama sebagai institusi primer yang berhubungan dengan kematian. Negara
memberikan jenis baru pengorbanan: kematian tidak akan terasa sakit jika dilakukan
demi bangsa dan negara.7
Karena itu, Marvin menganggap “nasionalisme adalah agama paling kuat di
Amerika Serikat, dan mungkin di banyak negara”.8
Dalam sebuah negara bangsa, rakyat diminta berkorban untuk negaranya,
sebagaimana sebelumnya umat beragama berkorban untuk agamanya. Dan rakyat
pun menerima begitu saja doktrin ini, karena bagi mereka kematian demi bangsa
tidaklah menyakitkan. Halbertal menyatakan:
“Manusia tidak pernah menciptakan tempat pemujaan yang lebih besar dari
Molech9 dibandingkan negara. Rasa haus negara modern akan pengorbanan manusia
sungguh sangat tidak bisa dipuaskan.”10
Jadi, narasi yang mengatakan bahwa negara modern datang untuk menyelamatkan
kita dari fanatisme dengan menyingkirkan agama dari kekuasaan hanyalah omong
kosong belaka. Yang kita saksikan adalah perpindahan “kesucian”, dari agama
menuju negara, dan perpindahan pengorbanan, dari agama menuju negara.
Lebih dari sekadar pelajaran sejarah, hal ini memberikan alasan bagi kita untuk
skeptis terhadap cara Barat berinteraksi dengan non-Barat. Mereka mengklaim
bahwa perang mereka adalah misi perdamaian untuk menyebarkan demokrasi
liberal ke “negara terbelakang” seperti Irak dan Afghanistan. Yang terjadi adalah
membunuh dan terbunuh demi bendera negara yang berujung pada kekerasan yang
tidak pernah terjadi sebelumnya.
7 BenedictAnderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, London:Verso,1991,h.9-12
8 CarolynMarvindanDavidW.Ingle,Blood Sacrifice and the Nation: Totem Rituals and the American Flags, Cambridge:CambridgeUniversityPress,1999,h.767
9 MolechadalahdewasembahanbangsaAmon.Merekamemujadewainidenganmengorbankananakkecilsebagaipersembahan.
10 MosheHalbertal,On Sacrifce,Princeton–Oxford:PrincetonUniversityPress,2012, h.105
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
19
Apakah Kekerasan Selalu Identik Dengan Agama?Pemenang Nobel Conrad Lorenz melalui riset panjangnya membuktikan bahwa
akar dari kekerasan jauh lebih tua dibanding sejarah masyarakat yang terorganisir.
Ia menunjukkan fakta tak terbantahkan bahwa agresi, kekerasan, dan peperangan
selalu menjadi bagian dari keberadaan umat manusia, dan komponen kunci dalam
kehidupan politik.11
Namun, sejak era Pencerahan, banyak negarawan dan intelektual liberal yang
berpendapat bahwa konflik agama merupakan ancaman besar bagi perdamaian
dan bahwa satu-satunya cara untuk mencapai ketertiban masyarakat adalah dengan
memisahkan agama dari negara. Hanya dengan menyangkal kekuasaan bagi agama
dan menjadikan agama murni sebagai urusan pribadi, dunia dinilai akan aman dari
ancaman kekerasan. John Rawls, dalam bukunya, Political Liberalism, berpendapat
bahwa "perang agama" di Eropa awal era modern menunjukkan bahaya yang
ditimbulkan oleh agama terhadap tatanan politik. Untuk itu, ia mengusulkan
perlunya membangun fondasi sekuler bagi kehidupan politik. Hampir semua ahli
teori liberalisme modern, termasuk Judith Shklar, Ronald Dworkin dan Charles
Larmore, mengutip "perang agama" untuk membuktikan perlunya negara sekuler
modern.
Liberalisme modern dibangun atas dasar pandangan bahwa agama adalah
ancaman utama bagi harmoni dan kebebasan politik.
Dengan berakhirnya perang dingin dan munculnya konflik "agama" di Bosnia dan
di seluruh dunia Islam, kepercayaan bahwa agama adalah sumber utama kekerasan
menyebar secara dramatis. Banyak tokoh konservatif, seperti Samuel Huntington
dan Bernard Lewis, berpendapat bahwa agama, terutama Islam, menimbulkan
ancaman unik bagi perdamaian dunia. Mereka melihat konflik mendasar antara
Yahudi-Kristen dan peradaban Islam. dan konflik ini akan menjadi pusat konflik
selama bertahun-tahun yang akan datang.
Daripada mencoba menjawab pertanyaan mengapa agama begitu rentan
terhadap kekerasan, Cavanaugh mengajukan pertanyaan yang berbeda: mengapa
kita begitu rentan untuk percaya bahwa agama identik dengan kekerasan? Apa fungsi
ideologis dari keyakinan bahwa agama itu identik dengan kekerasan?
William Cavanaugh dalam bukunya The Myth of Religious Violence
mengidentifikasi tiga argumen utama yang digunakan untuk menjelaskan bahwa
agama adalah pelaku utama kekerasan: agama dikatakan bersifat absolutis, memecah
belah, dan non-rasional.
Pertama, agama digambarkan sebagai absolutis dalam arti bahwa agama
membuat klaim tentang sifat tertinggi dari nilai moral. Keyakinan agama bersifat
komprehensif dan dogmatis: mereka menawarkan pandangan dunia yang kuat
kepada orang yang percaya. Kedua, agama sering digambarkan sebagai pemecah-
belah yang unik dalam arti bahwa identitas keagamaan didasarkan pada perbedaan
yang sangat kuat antara “kita” dan “mereka”. Banyak agama mengaku tidak toleran
11 Ednan Aslan & Marcia Hermansen (eds), Religion and Violence: Muslim and Christian Theological and Pedagogical Reflections,Wiesbaden:SpringerVS,2017,h.32
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
20
terhadap agama lain. Ketiga, agama sering digambarkan secara fundamental tidak
rasional. Umat beragama cenderung rentan terhadap kekerasan karena kepercayaan
mereka sering membuat mereka mudah bersemangat, marah, dan fanatik.
Apakah agama memang secara unik identik dengan kekerasan? Pada tingkat
konseptual, sebagian besar penulis yang berpendapat bahwa agama bersifat absolut,
memecah-belah, dan non-rasional juga mengakui bahwa ideologi sekuler, seperti
fasisme, nasionalisme, dan komunisme, juga bersifat absolut, memecah-belah, dan
tidak rasional. Jadi, sifat absolut, memecah belah, dan non-rasional tidak hanya ada
dalam agama, namun juga keyakinan sekular.
Buktinya?
Ideologi sekuler abad kedua puluh menyebabkan lebih banyak pembunuhan
daripada gabungan semua kekerasan agama dalam sejarah dunia. Benjamin
Valentino telah mempelajari semua perang pada abad ke-20 dan mengajukan
pertanyaan: "Apakah perang antar negara dengan agama yang berbeda lebih
mematikan daripada perang antara negara dengan agama yang sama?" Jika agama
cenderung memperburuk kekerasan, maka kita berharap perang yang melibatkan
agama yang berbeda lebih mematikan. Tapi bukan itu yang kita temukan.12
Charless Kimball dalam bukunya When Religion Becomes Evil mengidentifikasi
lima “tanda peringatan” ketika agama condong pada kekerasan. Menurut Kimball,
agama berpotensi mengarah pada kekerasan jika terlihat tanda-tanda sebagai
berikut: klaim kebenaran absolut, ketaatan buta, pembangunan masa “ideal”,
keyakinan bahwa tujuan menghalalkan cara, dan deklarasi perang suci.
Apa yang terjadi jika kita gunakan tanda yang diberikan oleh Kimball untuk
menguji sifat kekerasan yang ada pada nasionalisme?
Pertama, tentang kebenaran absolut. Di Abad ke-21, saat George W. Bush
mendeklarasikan Perang Melawan Terorisme sebagai turunan dari konflik antara
Kristen melawan Islam, ia juga membuat dualisme “good nations”, yang dipimpin
oleh Amerika, melawan “kekuatan kejahatan”. “Kalian harus bekerjasama dengan
kekuatan kebaikan dan membantu menyingkirkan kekuatan kejahatan, atau jika
tidak, akan dianggap sebagai musuh dalam perang melawan terorisme.”13
Bukankah klaim kebaikan universal yang selama ini dilakukan oleh demokrasi
liberal tersebut sama dengan klaim kebenaran mutlak?
Kedua, ketaatan buta. Ketaatan dilembagakan secara kaku bagi mereka
yang tugasnya melakukan kekerasan atas nama negara-bangsa. Dalam angkatan
bersenjata, misalnya, tidak ada ijin bagi keberatan hati nurani selektif, yaitu, prajurit
memutuskan berdasarkan hati nurani bahwa perang tertentu tidaklah benar. Setelah
dilantik, prajurit itu harus berperang dalam perang apa pun yang dianggap perlu
oleh atasannya, dan prajurit itu harus bertarung sesuai dengan perintahnya. Apakah
ini bukan ketaatan buta untuk melayani kekerasan?
12 BenjaminValentino,etal.,Covenants Without the Sword: International Law and the Protection of Civilians in Times of War,WorldPolitics,vol.58,no.3(April2006).
13 CharlesKimball,When Religion Becomes Evil,SanFrancisco,CA:HarperSanFrancisco,2002,h.36
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
21
Ketiga, pembangunan masa “ideal”. Pembangunan masa ideal secara luas
terdefinisikan dalam “akhir dari sejarah”-nya Fukuyama atau dalam pernyataan
“membuat dunia aman bagi demokrasi”.
Keempat, tujuan menghalalkan cara. Sejarah perang modern antara negara
bangsa menjadi bukti bahwa tujuan menghalalkan cara. Mulai dari pembantaian
sipil di Hiroshima hingga praktik penyiksaan yang dilakukan oleh lebih dari sepertiga
negara bangsa di dunia ini, termasuk negara yang mengaku demokratis.
Kelima, deklarasi perang suci. Perang antara kebaikan dan kejahatan yang
diyakini Bush di bawah komando Amerika masuk dalam kriteria ini.
Jadi, nasionalisme sekuler mencentang semua tanda kecenderungan pada
kekerasan yang yang dibuat oleh Kimball.
Dengan demikian, baik secara konseptual maupun secara empiris, tidak
ada sesuatu yang unik tentang penyebab kekerasan. Banyak dari mereka yang
memperdebatkan sifat kekerasan agama mengakomodasi fakta-fakta ini dengan
menggambarkan fasisme, nasionalisme, komunisme, dan kapitalisme sebagai jenis
agama.
Cavanaugh dalam penelitiannya tentang konsep agama menemukan bahwa:
1. Gagasan kita tentang agama sebagai genus yang spesiesnya adalah Islam, Kristen,
Yahudi, Hindu, dll. adalah gagasan Eropa modern yang muncul hanya setelah
abad ke-17.
2. Deskripsi Shintoisme, Budha, Hindu, Konfusianisme, Animisme, dll sebagai
"agama" dipaksakan oleh kekuatan kolonial Eropa atas keberatan dari orang-
orang yang dijajah, yang sering menyangkal bahwa praktik budaya mereka adalah
"agama." Gagasan bahwa budaya non-Barat harus memiliki sesuatu yang sesuai
dengan gagasan Barat tentang "agama" hanyalah fiksi imperialis mereka.
3. Jika ideologi sekuler terbukti memunculkan kekerasan yang sama sebagaimana
yang dituduhkan atas ideologi agama, dan jika gagasan tentang apa itu agama
dan apa yang bukan agama sangat tidak jelas, maka bagaimana kita bisa
menjelaskan keyakinan yang meluas bahwa agama sangat identik dengan
kekerasan? Cavanaugh menjelaskan bahwa dengan menyalahkan agama sebagai
pelaku utama kekerasan, kita dengan mudah mengabaikan sumber kekerasan
lainnya.
Cavanaugh memberikan ilustrasi mengenai hal ini dari sejarawan Martin Marty
yang, dalam Politics, Religion, and the Common Good, menggambarkan bagaimana,
selama tahun 1940-an, anggota Saksi Jehova di Amerika Serikat dikebiri, dipukuli, dan
dipenjara tanpa dakwaan. Mengapa? Karena mereka menolak memberi hormat pada
bendera Amerika. Pelajaran apa yang bisa kita petik dari kekerasan ini? Di sini kita
melihat fungsi mitos kekerasan agama: untuk mengalihkan perhatian dari kekerasan
patriotik, imperialis, ideologis, dan jenis kekerasan sekuler lainnya.
Ahli teori politik Ronald Weed dalam artikelnya Putting Religion First? Diagnosing
Division and Conflict in the Religious Violence Thesis, membahas bentuk kuat dari
tesis kekerasan agama. Hampir setiap orang setuju bahwa perbedaan agama dapat
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
22
menjadi sumber perpecahan dan konflik. Namun, pertanyaannya adalah apakah
perbedaan agama adalah satu-satunya hal yang bersifat memecah-belah dan rawan
berujung pada konflik kekerasan?
Weed menunjukkan bahwa bahwa perpecahan terdalam di sebagian besar
masyarakat politik berasal dari sumber selain agama. Sebagian berpendapat bahwa
konflik politik bermula dari distribusi kekayaan, kehormatan, dan jabatan yang tidak
merata di setiap masyarakat. Ketika konflik ini berubah menjadi konflik kelas, kita
bisa melihat potensi kekerasan yang sangat berbahaya. Sebagian lain berpendapat
bahwa akar dari konflik adalah egoisme psikologis yang mendalam.
Karenanya, Weed menunjukkan bahwa ada sumber konflik sosial yang mungkin
lebih mendasar daripada agama dan, bahkan kalaupun terjadi konflik agama,
mungkin lebih didorong oleh persaingan untuk mendapatkan status dan oleh
kesombongan manusia.
Bagian dari mitos yang diciptakan oleh liberalisme modern adalah bahwa
"perang agama" di awal era modern mengancam akan menghancurkan kehidupan
politik sampai liberalisme menjinakkan agama dengan memisahkan agama dari
negara.
Cavanaugh menunjukkan dalam bukunya, bahwa banyak sejarawan berpendapat
bahwa "perang agama" di Eropa yang menjadi dalil diperlukannya negara sekuler,
tidak benar-benar tentang agama, tetapi tentang pembangunan negara, nasionalisme,
dan ekonomi.
Jika perang agama di Eropa waktu itu adalah tentang agama, kata Cavanaugh,
maka kita akan berharap untuk melihat umat Katolik secara konsisten memerangi
orang Protestan. Namun, ia mencatat, umat Katolik sering membentuk aliansi
dengan Protestan untuk memerangi umat Katolik lainnya.
Cavanaugh menantang beberapa asumsi utama dalam liberalisme sekuler
modern tentang ancaman yang diduga ditimbulkan oleh agama terhadap perdamaian
dan harmoni di masyarakat.
Asumsi-asumsi ini sebagian besar merupakan dasar bagi pemisahan agama dan
negara pasca era Pencerahan. Dengan memprivatisasi agama, negara-negara liberal
modern mengklaim membuat dunia aman dari kekerasan agama. Negara bangsa
selanjutnya akan menjadi penjaga dari semangat keagamaan.
Tapi, kata Cavanaugh, siapa yang akan melindungi kita dari para penjaga baru
ini?
Kekerasan SekularismeGagasan bahwa agama secara inheren cenderung pada kekerasan kini seolah
menjadi gagasan yang diterima begitu saja. Seringkali kita jumpai, agama digambarkan
kejam dan agresif. Agama digambarkan sebagai penyebab semua perang besar dalam
sejarah umat manusia. Padahal, dua perang dunia yang menewaskan puluhan juta
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
23
manusia tidak dilakukan atas nama agama. Namun, bawah sadar dunia tidak pernah
melihat itu. Kekerasan selalu saja ditempelkan pada agama.
Tabel 1. Korban Jiwa dalam Konflik Abad ke-16 hingga Abad ke-20
Pemisahan agama dari kehidupan politik digunakan untuk melayani tujuan yang
lebih gelap. Ia tidak hanya memberikan pondasi bagi berdirinya negara bangsa yang
terpisah dari agama, namun juga memberi topeng bagi kekerasan yang dilakukan
oleh negara bangsa.
Saat agama sudah digambarkan rentan terhadap kekerasan, maka kekerasan
apapun yang dilakukan oleh negara bangsa dengan mudah dijustifikasi sebagai
sebuah tindakan yang diperlukan untuk melindungi rakyat. Saat sebuah negara diberi
sanksi karena melakukan kekerasan, sanksi tersebut diberikan karena kekerasan
yang dilakukannya, bukan karena karakter yang melekat pada negara tersebut.
Kontroversial? Mungkin. Tapi, mari kita tengok sejarah.
Dengan menempatkan agama di ruang privat, kita menutup mata dari realita
yang lebih dalam bahwa negara bangsa telah menjadi agama baru—sebuah cara
hidup total yang kehidupan manusia sehari-hari ditata dengannya. Baik dalam
bentuk nasionalisme, kapitalisme, Marxisme, liberalisme, atau serangkaian ideologi
dan institusi sekuler lainnya. Berhala baru ini tak segan menggunakan kekerasan
secara kejam untuk mengejar tujuannya.
Agama apa yang kita anut? Kekerasan yang mana yang kita dukung?
Ada satu pelajaran sederhana dari semua hal di atas, hati-hati dengan mitos
yang kita yakini. Belajarlah membaca tanda-tanda zaman, tanyakanlah pertanyaan
sederhana: siapa yang mendapat keuntungan dari ini atau itu?
Karen Armstrong dalam bukunya berjudul "Fields of Blood" menuliskan
bahwa kekerasan sejak awal tertanam dalam sifat struktural negara-bangsa melalui
persaingan untuk sumber daya, ekspansi ekonomi, pemeliharaan ketertiban internal,
dan perlindungan perbatasan. Mengutip sejarawan Inggris, Perry Anderson, ia
menulis, “Perang mungkin merupakan mode tunggal ekspansi ekonomi yang paling
rasional dan cepat. . . tersedia untuk kelas penguasa tertentu."
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
24
Konflik-konflik yang dicap religius sering kali merupakan pergulatan politik untuk
kekuasaan dan wilayah tetapi diberi patina suci ketika para penguasa membenarkan
agresi mereka sebagai sebuah misi dari Tuhan. Armstrong berkomentar bahwa
pembuangan agama dari politik mungkin telah menciptakan negara sekuler tetapi
bukan negara yang bebas dari kekerasan.14
Pertimbangkan misalnya konflik seputar nasionalisme yang mendasari Perang
Dunia I, yang merenggut nyawa 15 juta orang,15 atau fasisme yang terlibat dalam
Perang Dunia II, yang merenggut nyawa sekitar 60-80 juta orang.16 Revolusi Perancis,
yang sering dikatakan berakar pada prinsip-prinsip liberalisme dan Pencerahan,
mencapai puncaknya dengan pemenggalan kepada empat puluh ribu orang!
Dengan ukuran statistik apa seseorang berpendapat bahwa ideologi agama
membawa potensi perang yang lebih besar daripada ideologi lainnya?
KesimpulanDunia, terutama umat Islam, seringkali menyaksikan upaya sekularisasi yang
sangat mematikan. Banyak yang menganggap pengabdian Barat pada pemisahan
agama dan politik tidak sesuai dengan cita-cita ideal Barat itu sendiri, seperti
demokrasi dan kebebasan.
Pada tahun 1992, kudeta militer di Aljazair menggulingkan seorang presiden yang
terpilih secara demokratis. Mereka memenjarakan para pemimpin Islamic Salvation
Front (FIS), yang memenangkan mayoritas suara. Kegagalan pemerintahan Islam
untuk diterapkan di Aljazair disambut dengan riang gembira di beberapa kantor
pusat media Barat. Di sini paradoks tercipta, sebuah tindakan tidak demokratis yang
dilakukan untuk melindungi demokrasi.
Dengan cara yang hampir sama, kelegaan serupa terdengar di Barat ketika
Ikhwanul Muslimin digulingkan dari kekuasaan di Mesir tahun 2013 silam.
Sejarah menunjukkan, sekularisme tidaklah universal. Ia muncul sebagai fitur
khusus dan unik dari proses sejarah di Eropa.
Pada praktiknya, sekulerisme digunakan bukanlah untuk memastikan
tercapainya perdamaian atau untuk mencapai kemajuan, tapi sekulerisme sejatinya
digunakan untuk mempertahankan hegemoni Barat. Sekularisme bukan lagi tentang
pemisahan agama dari politik, tapi untuk mendepolitisasi Muslim. Meski dengan
kekerasan sekalipun. Muslim yang melakukan politik dianggap bukan Muslim sejati.
Karena berpolitik diartikan sebagai menjadi modern, yang juga berarti menjadi
manusia tanpa sejarah.
Islam, sebagai agama yang tidak hanya mengatur persoalan pribadi namun juga
sosial, pada akhirnya menjadi hambatan terbesar bagi sekulerisme dan modernitas
itu sendiri. Pergeseran dari Barat menuju Islam pun akan meruntuhkan klaim
universalitas sekularisme.
14 https://www.vision.org/book-review-history-of-violence-and-religion-476915 JasonTurner,World War I: 1914–1918 (Wars Day by Day)16 http://necrometrics.com/20c5m.htm
SYAMINA Edisi 7 / April 2019
25
Mundurnya agama dari ranah publik dalam sejarah Islam seringkali justru
berhubungan dengan runtuhnya perdamaian di masyarakat. Tatanan sekuler yang
di Turki yang banyak dipuji, contohnya, dipaksakan dari atas ke bawah, terhadap
masyarakat yang sudah letih dengan perang. Sekularisme Turki bukanlah atas
kehendak rakyat Turki, tapi merupakan proyek Westernisasi yang otoriter yang
dilakukan oleh kaum Kemalis. Sekularisme dalam konteks masyarakat Islam
seringkali bermakna deislamisasi, dan dalam kebanyakan kasus justru dipaksakan
oleh para kolonial, rezim komunis atau Kemalis. Proyek tersebut pun bukannya
mengurangi tapi justru meningkatkan konflik sosial.
Secara empirik, skala dan intensitas kekerasan di negara Muslim yang dikuasai
oleh rezim sekuler justru menunjukkan bahwa sekulerisme tidak otomatis
berhubungan dengan terciptanya perdamaian masyarakat.
Klaim bahwa agama rentan terhadap kekerasan, pada praktiknya, menjadi
justrifikasi ideologis bagi dilakukannya kekerasan atas nama tatanan sekuler. Ia
menjadi bahan baku utama untuk menguatkan loyalitas masyarakat kepada negara
bangsa dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan negara.
Mereka yang mengucilkan agama sebenarnya takut akan kebangkitan agama.
Mereka mengecam agama, dengan deklarasi bahwa agama bertanggungjawab atas
banyak kekerasan saat ini.
Dalam misi sekularisasi, yang terjadi sesungguhnya bukanlah pemisahan
agama dari politik, tapi perpindahan “kesucian” dari agama kepada negara, dalam
rangka membangun idealita mati dan membunuh demi negara. Kita tidak melihat
berhentinya kekerasan melalui sekularisasi, tapi yang terjadi adalah munculnya
kekerasan baru, bukan atas nama agama, tapi atas nama membela negara dan
kepentingannya.
Perpindahan loyalitas dari agama kepada negara bukanlah akhir dari
pengorbanan diri di Eropa, tapi perpindahan menuju jenis pengorbanan baru: mati
demi negara—dan membunuh demi negara.
Mati demi membela agama kini digantikan oleh mati dan membunuh demi
negara. Tak salah jika sebagian menganggap nasionalisme sebagai agama modern.
SYAMINAEdisi 7 / April 2019
26
DAFTAR PUSTAKAArmstrong, K (2000) The battle for god: Fundamentalism in Judaism, Christianity and
Islam. New York: Knopf/Harper Collins
Armstrong, K (2014) Fields of blood: Religion and the history of violence. London:
Bodley Head
Asad, T (2003) Formations of the secular: Christianity, Islam, modernity Stanford:
Stanford University Press
Cavanaugh, William T (2009) The myth of religious violence: Secular ideology and the
roots of modern confict New York: Oxford University Press
Ednan Aslan & Marcia Hermansen (2017), Religion and Violence: Muslim and
Christian Theological and Pedagogical Reflections, Wiesbaden: Springer VS