sari pustaka i-1

25
SARI PUSTAKA I Kepada Yth: AUTOSOMAL DOMINANT OPTIC ATROPHY Sari Marina Komang Dian Lestari Ni Nyoman Rina Kurniasari ( Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap I ) PEMBIMBING: dr. A. A. Mas Putrawati T., SpM DR. dr. N Sri Budayanti, SpMK(K) Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah Denpasar 2013

Upload: zurya-udayana

Post on 24-Nov-2015

41 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

keto kone

TRANSCRIPT

  • SARI PUSTAKA I Kepada Yth:

    AUTOSOMAL DOMINANT OPTIC ATROPHY

    Sari Marina

    Komang Dian Lestari

    Ni Nyoman Rina Kurniasari

    ( Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Tahap I )

    PEMBIMBING:

    dr. A. A. Mas Putrawati T., SpM

    DR. dr. N Sri Budayanti, SpMK(K)

    Departemen Ilmu Kesehatan Mata

    Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

    RSUP Sanglah

    Denpasar

    2013

  • PENDAHULUAN

    Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) adalah kelainan optik neuropati

    herediter yang berkaitan dengan mutasi pada kromosom 3. Autosomal Dominant

    Optic Atrophy merupakan kelainan optik neuropati herediter dengan angka prevalensi

    yang paling tinggi, dengan perkiraan prevalensi berkisar 1:50.000 atau mencapai

    setinggi 1:10.000 di Denmark. Manifestasi klinis ADOA pada umumnya berupa

    atrofi optik bilateral pada anak-anak atau remaja. (Schiefer et al, 2007; Biousse V and

    Newman NJ,2001; American Academy of Ophthalmology, 2012)

    Eiberg dkk pertama kali menemukan gen OPA 1 terkait dengan ADOA pada 3

    keluarga di Denmark tahun 1994. Johnston dkk (1999) dan Votruba dkk (2003)

    menemukan hal yang sama di negara Kuba dan Amerika.

    Penderita pada umumnya tidak menyadari terhadap adanya gangguan fungsi

    penglihatan yang menurun. Tajam penglihatan dapat menurun secara perlahan-lahan

    seiring dengan bertambahnya usia, dan belum ditemukan pengobatan yang dapat

    memperbaiki gangguan tajam penglihatan secara signifikan. Lapang pandang

    umumnya tampak normal dan kemampuan membaca biasanya baik pada kasus yang

    ringan. (Schiefer et al, 2007; Krieglstein et al,2008).

    Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Visual Evoked Potential

    (VEP), Electroretinography (ERG), Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan

    pemeriksaan genetik molekuler. Diagnosis ADOA dibuat berdasarkan anamnesis,

    pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang (American Academy of

    Ophthalmology, 2011-2012; Votruba et al, 2003).

    Tujuan penulisan sari pustaka ADOA adalah untuk membahas penyakit ini

    lebih dalam. Penyakit ADOA merupakan kelainan optik herediter dengan prevalensi

    tertinggi, namun sering kali terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosa ADOA

    dengan penyakit lain. Autosomal Dominant Optic Atrophy seringkali hanya

    terdiagnosis sebagai atrofi optik, sehingga penatalaksanaan yang komprehensif sulit

    diberikan. Pemahaman yang lebih dalam diharapkan dapat membantu mendeteksi

  • ADOA secara dini, memberikan penatalaksanaan yang tepat dan memberikan edukasi

    yang tepat.

    DEFINISI

    Autosomal dominant optic atrophy (ADOA) merupakan salah satu bentuk optik

    neuropati herediter yang umum ditemukan. ADOA merupakan kelainan genetik

    autosomal dominan dengan ekspresi genetik yang bervariasi (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

    Manifestasi klinis ADOA umumnya muncul pada dekade pertama kehidupan,

    dengan gejala awal berupa hilangnya penglihatan, hal tersebut sering terdeteksi

    pertama kali pada saat skrining rutin di sekolah. Gejala ini sering mengenai kedua

    mata. Kehilangan tajam penglihatan pada pemeriksaan ADOA biasanya berada pada

    kategori sedang, rata-rata 20/50-20/70, meskipun dapat terjadi penurunan secara

    progresif. Penderita pada umumnya dapat mempertahankan penglihatan >20/200.

    Gangguan penglihatan warna yang terjadi pada ADOA berupa tritanopia yang

    merupakan salah satu indikator pendukung (American Academy of Ophthalmology,

    2012).

    ANATOMI DAN FISIOLOGI SARAF OPTIK

    Saraf optik secara anatomis dimulai dari papil saraf optik, tetapi secara fisiologis dan

    fungsional dimulai dari lapisan sel ganglion yang meliputi seluruh retina. Saraf optik

    terdiri dari 4 bagian secara topografis, antara lain bagian intraokular, bagian

    intraorbital, bagian intrakanalikular, dan bagian intrakranial. Bagian intraokular yang

    terdiri dari papil saraf optik, prelaminar, dan laminar. Bagian intraorbital yang berada

    dalam selubung otot. Bagian intrakanalikular letaknya dalam kanal optik. Bagian

    intrakranial yang berakhir di kiasma optik. Saraf optik memiliki panjang bervariasi,

    dari 35 mm hingga 55 mm, dengan rata-rata 40 mm (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

  • Bagian intraokular saraf optik umumnya disebut sebagai papil saraf optik.

    Papil saraf optik berbentuk oval, berwarna merah muda, berukuran diameter

    horizontal 1,5 mm dan vertikal 1,75 mm. Bagian ini merupakan pertemuan dari

    sekitar 1-1,2 juta akson sel ganglion, menembus sklera melalui lamina kribosa, yang

    mengandung 200-300 saluran. Akson saraf optik tergantung pada produksi

    metabolisme badan sel saraf di retina. Transport aksonal dari hasil metabolisme

    terjadi sepanjang panjang saraf optik. Suplai darah untuk bagian intraokular saraf

    optik berasal dari arteriol retina dan cabang arteri siliaris posterior.

    Gambar1. Gambaran 3 dimensi papil saraf optik. (American Academy of Ophthalmology, 2012)

    Saraf optik yang terletak dibelakang sklera mempunyai selubung dura yang

    berdekatan dengan kanal optik periorbita, dan membran arakhnoid yang menyokong

    dan melindungi akson dan berdekatan dengan arakhnoid dari rongga subdural

    intrakranial melalui kanal optik. Saraf optik dibelakang lamina kribosa memiliki

    diameter bertambah dari 1,5 mm menjadi 3 mm akibat adanya selubung mielin

    (American Academy of Ophthalmology, 2012).

    Bagian intraorbital dari saraf optik mempunyai panjang sekitar 28 mm.

    Bagian ini mendapat suplai darah dari cabang-cabang intraneural arteri sentralis

    retina, cabang-cabang piamater dari arteri sentral retina dan koroid (American

    Academy of Ophthalmology, 2012).

    Bagian intrakanalikular dari saraf optik panjangnya sekitar 4-10 mm, berjalan

    melalui foramen optik bersama-sama dengan arteri oftalmika dan saraf simpatik

  • menuju rongga kranial. Bagian intrakranial panjangnya 10 mm dan berjalan medial

    menuju kiasma optikum (American Academy of Ophthalmology, 2012).

    Transport aksoplasmik merupakan proses fisiologi normal dimana organela

    sitoplasmik dalam neuron mengalami pergerakan ke satu arah diantara badan sel dan

    sinaps terminal. Transport aksonal orthograde meliputi gerakan dari badan sel ke

    sinaps yakni nukleus genikulatum lateral, dan transport retrograde ditandai oleh

    gerakan yang berlawanan, yakni menuju ke badan sel. Transport aksoplasmik dapat

    terganggu oleh berbagai proses patologis antara lain penyumbatan akson secara

    mekanis, gangguan sistem sirkulasi, serta pemberian obat-obatan (Kanski, 2007).

    Gambar 2. Transport aksoplasmik normal (Kanski, 2007)

    EMBRIOLOGI SARAF OPTIK

    Nervus optikus berkembang dari tonjolan optik, yang merupakan penghubung antara

    vesikel optik dengan otak bagian depan. Tonjolan optik ini berawal pada bagian

    dalam tersusun oleh kumpulan sel-sel neuroektodermal yang dikelilingi oleh

    kumpulan sel saraf yang belum berdiferensiasi. Beberapa sel dari bagian dalam

    mengalami vakuolisasi dan degenerasi setelah usia kehamilan enam minggu, serta

    serabut saraf dari sel ganglion bermigrasi melalui ruangan yang terbentuk. Sel di

    tempat lain akan berdiferensiasi menjadi sel glial. Optik disk sudah terbentuk dengan

    arteri hyaloid pada usia kehamilan 7 minggu, dikelilingi akson-akson dan diselimuti

    oleh sel-sel glial yang sebagian akan menghilang pada bulan ketujuh. Sel-sel glial

    juga akan mengangkat elemen glial pada lamina kribrosa dalam 8 minggu usia

  • kehamilan. Mielinisasi meluas dari otak menuju ke perifer menuruni nervus optikus

    dan saat lahir telah mencapai lamina kribrosa. Mielinisasi selesai pada usia 3 bulan.

    Perubahan sel-sel pada neural crest menjadi piamater, arakhnoid, dan duramater dari

    nervus optikus akan dimulai pada usia kehamilan tujuh minggu, dimana akan

    terbentuk sempurna pada usia kehamilan empat bulan (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

    Jumlah akson pada nervus optikus akan meningkat dari 1,9 juta sel pada usia

    kehamilan 10-12 minggu menjadi 3,7 juta sel pada usia kehamilan enam belas

    minggu. Jumlah ini akan menurun kembali menjadi 1,1 juta setelah 33 minggu yang

    seperti jumlah akson nervus optikus pada orang dewasa. Berkurangnya jumlah akson

    sejalan dengan berkurangnya jumlah sel ganglion di retina fetal dan hal ini dapat

    berhubungan dengan lapisan korpus genikulatum lateral di bagian dorsal (American

    Academy of Ophthalmology, 2012).

    Akson-akson akan berkembang membentuk korpus genikulatum lateral,

    kemudian terjadi persilangan parsial di kiasma optikum. Sel-sel yang terletak pada

    bagian tengah kiasma akan memberikan eksitasi atau inhibitor yang mengatur impuls

    spesifik di akson di sisi ipsilateral. Penyelubungan mielin dimulai dari kiasma di usia

    kehamilan 7 bulan, kemudian berlanjut ke mata dan berhenti di lamina kribrosa 1

    bulan setelah kelahiran (American Academy of Ophthalmology, 2012).

    Respon pada beberapa janin terhadap cahaya di usia kehamilan 8 minggu

    telah menunjukkan terbentuknya jalur saraf dari mata ke sentral. Pertumbuhan saraf

    yang terjadi 50% dari diskus diusia kehamilan 5 bulan dan nervus optikus, 75% di

    saat kelahiran, dan 95% pada bayi usia hampir 1 tahun (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

    Penderita ADOA mengalami gangguan pada perkembangan saraf optik, hal

    tersebut sudah terjadi sejak proses embriologi. Kerusakan terjadi pada mitokondria

    yang membentuk sel-sel ganglion yang menuju saraf optik (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

  • Gambar 3. Perkembangan retina dan saraf optik (American Academy of

    Ophthalmology, 2012).

    EPIDEMIOLOGI

    Autosomal Dominant Optic Atrophy merupakan kelainan neuropati optik herediter

    paling sering dengan prevalensi 1:10.000 sampai 1:50.000 di Denmark. Prevalensi di

    Indonesia belum pernah dilaporkan sampai saat ini. Prevalensi ADOA menurut jenis

    kelamin menunjukkan tidak ada perbedaan (Chan JW, 2007).

    ETIOPATOGENESIS

    Autosomal Dominant Optic Atrophy adalah salah satu penyakit neurooftalmologi

    yang diturunkan secara dominan. Eiberg dkk pertama kali mengidentifikasi mutasi

    gen OPA 1 sebagai dasar patogenesis dari ADOA. Lokus gen OPA 1 diidentifikasi

    pada kromosom region 3q28-q29 (Alavi et al, 2007,Yen et al, 2010, Shimizu et al,

    2003).

    Gen OPA 1 merupakan gen yang berperan utama dalam patogenesis ADOA,

    walaupun terdapat beberapa gen lain yang juga ikut berperan (Lenaers, 2012).

  • Tabel 1. Gen dan lokus yang berperan dalam terjadinya DOA (Lenaers, 2012)

    Gen OPA 1 adalah salah satu gen nukleus yang mengkode protein

    mitokondria. Gen OPA 1 terdiri dari 31 ekson dan menghasilkan 8 jenis isoform

    melalui mekanisme splicing. m-RNA dari isoform 1 mengkode 960 asam amino

    protein dynamin-related guanosine triphospatase (GTPase). OPA 1 terletak pada

    lengan panjang (q) kromosom 3 diantara posisi 28 dan 29. Gen ini terletak pada

    lengan panjang kromosom 3 diantara posisi 28 dan 29. Letak gen tersebut lebih

    tepatnya pada pasangan basa 193,310,931 hingga pasangan basa 193,415,599 pada

    kromosom 3.

    Gambar 4. Letak gen OPA 1 (Fraser dkk, 2007)

    OPA 1 merupakan protein dynamin-related guanosine triphospatase (GTPase)

    yang terdiri dari domain N-terminal, domain GTPase, domain tengah, dan domain C-

  • terminal yang merupakan domain GTPase efektor (GED). Protein tersebut berperan

    dalam proses fusi mitokondria dan menjaga integritas membran mitokondria untuk

    keperluan metabolisme. Gen OPA 1 diekspresikan pada seluruh jaringan tubuh

    manusia. Kadar gen OPA 1 ditemukan paling tinggi pada bagian retina diikuti oleh

    otak, testis, jantung dan otot skeletal (Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba,

    2003).

    Pemahaman mengenai fungsi dan fisiologi normal mitokondria sangat penting

    dalam menjelaskan patogenesis ADOA. Mitokondria memiliki fungsi penting dalam

    pembentukan ATP melalui mekanisme fosforilasi oksidasi. Gen OPA 1 adalah salah

    satu gen nukleus yang mengkode protein mitokondria. Protein ini nantinya akan

    menjadi bahan pembentuk komplek rantai respirasi dalam sistem fosforilasi oksidasi.

    Sel-sel yang memiliki metabolisme tinggi seperti sel saraf sangat bergantung pada

    energi yang dihasilkan oleh mitokondria. OPA 1 juga mengkode protein mitokondria

    yang berfungsi di luar sistem fosforilasi, seperti stabilisasi membran mitokondria, fusi

    mitokondria di sitosol, dan pemecahan molekul pro apoptosis sitokrom c. Gangguan

    gen OPA 1 mengakibatkan fragmentasi jaringan mitokondria, hilangnya membran

    potensial dan disorganisasi krista sehingga akan terjadi perubahan besar dalam bentuk

    morfologi mitokondria. Mutasi akan mengakibatkan tidak terurainya sitokrom c,

    sehingga menghasilkan reaksi apoptosis sel. Gangguan fungsi dari OPA 1 adalah

    dasar patogenesis ADOA. (Alavi dkk 2007; Davies dkk, 2007; Fraser dkk, 2007)

    Mutasi gen OPA 1 yang cenderung bermanifestasi pada mata belum dapat

    dijelaskan secara pasti, namun terdapat teori yang menyebutkan bahwa hilangnya satu

    alel sudah cukup menurunkan jumlah protein OPA 1 secara kritis di bawah ambang

    yang dibutuhkan dalam fungsi mitokondria normal. Sel ganglion retina memiliki

    kebutuhan energi yang tinggi, sehingga sangat rentan terhadap perubahan fungsi

    mitokondria. Mutasi OPA 1 mengakibatkan kekacauan dalam fungsi mitokondria di

    sel ganglion retina dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari sel ganglion di otak

    (Yen et al, 2010, Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba, 2003).

  • Gambar 5. Pengaruh DNA nucleus dalam fungsi mitokondria. (Fraser dkk, 2007)

    Mutasi gen OPA 1 dilaporkan menyebabkan dominant optic atrophy lebih dari

    100 jenis. Jenis mutasi gen OPA 1 terdiri dari mutasi missense, nonsense, in-frame

    deletion, frame shift deletion dan splice site. Mutasi mengakibatkan hilangnya alel

    pada lebih dari 50% kasus (Lenaers, 2012; Krieglstein, 2008; Votruba, 2003). Yen

    dkk melakukan penelitian pada 24 subjek dari 10 pedigree di Cina yang tidak

    berkaitan. Empat mutasi gen OPA 1 terdeteksi pada subjek penelitian. Mutasi terdiri

    atas 2 mutasi splicing site (c.1065+2T>C pada intron 10 dan c.1212+2insT pada

    intron 12), 1 mutasi deletion (c.1776_1778delACT pada ekson 19) dan 1 mutasi

    missense (c.2846 T>C pada ekson 28). Mutasi gen OPA 1 ditemukan pada 4 dari 10

    keluarga (40%) dan 1 diantara 35 kasus sporadik dari atrofi optik (Yen MY dkk,

    2010).

  • Gambar 6. Produk PCR mutasi splicing site c.1065+2T>C pada intron 10. Perbandingan antara kontrol

    dan anggota keluarga.(Yen MY dkk, 2010)

    Shimizu dkk pada tahun 2001 melakukan pemeriksaan di Jepang pada sebuah

    keluarga. Hasil pemeriksaan dilaporkan terdeteksinya mutasi gen OPA 1 dengan

    bentuk mutasi yang sama yang dilaporkan pada negara barat. Mutasi gen yang terjadi

    adalah substitusi IVS12+3AT. Penelitian Shimizu dkk menemukan mutasi gen

    OPA 1 berkontribusi terhadap perkembangan penyakit atrofi optik tanpa

    memperhatikan kelompok etnis. (Shimizu dkk,2002)

    Gambar 7. Struktur gen OPA 1 dan mutasi yang telah dilaporkan. M: mutasi missense, N:

    mutasi nonsense dan frameshift, S: mutasi splice site. Tanda bintang menunjukkan posisi dari

    IVS12+3AT(Shimizu dkk,2002).

  • Gambar 8. Rangkaian elektroperogram dari gen OPA 1 (Shimizu dkk,2002).

    Penyakit mitokondria yang disebabkan oleh mutasi nukleus DNA memiliki

    pola pewarisan sesuai hukum mendel. OPA 1, seperti yang telah disebutkan

    sebelumnya, merupakan salah satu dari nukleus DNA. Pewarisan penyakit terjadi

    secara autosomal dominan, dimana diperlukan setidaknya satu orang tua yang

    terkena. Laki-laki maupun wanita akan memiliki kesempatan yang sama, sebesar

    50% dalam mewariskan penyakit ADOA (Fraser dkk, 2007).

    Gambar 9.Contoh pewarisan penyakit secara autosomal dominan. Laki-laki maupun wanita

    memiliki kesempatan yangsama dalam mewariskan penyakit (Fraser dkk, 2007).

    MANIFESTASI KLINIS

    Autosomal Dominant Optic Atophy atau ADOA memiliki manifestasi klinis yang

    cukup bervariasi. Tingkat penurunan tajam penglihatan pun menunjukkan hasil yang

  • beragam, dari normal hingga buta total. Manifestasi klinis dari ADOA dapat

    dikelompokkan menjadi dua berdasarkan dari gejala dan tanda yang ada, yaitu non

    syndromic optic atrophy dan syndromic optic atrophy (Lenaers, 2012). Non

    syndromic dominant optic atrophy atau ADOA non syndromic merupakan bentuk

    paling banyak yang dijumpai, dimana gejala dan tanda yang ada terbatas pada

    manifestasi oftalmologi. Syndromic dominant optic atrophy terdiri dari DOAD

    (Dominant Optic Atrophy and Deafness) dan DOA plus. Kedua tipe ini merupakan

    ADOA yang memiliki gejala ekstraoftalmologi, dan hal ini terjadi pada kurang lebih

    20% kasus ADOA. Bentuk sindrom dari DOA biasanya disertai dengan kehilangan

    pendengaran sensorineural (DOAD) dan atau manifestasi lainnya seperti miopati,

    eksternal oftalmoplegi progresif, neuropati perifer, stroke, sklerosis multipel atau

    paraplegi spastik. Mutasi gen yang terjadi bervariasi antara gen OPA 1 hingga OPA 8

    (Lenaers et al, 2012; Hudson et al, 2008).

    Gejala Klinis

    Pasien ADOA umumnya terdeteksi saat usia mulai sekolah, yaitu usia 4-6 tahun.

    Pasien mengeluh penglihatan kabur sehingga proses belajar terganggu. Keluhan yang

    sama ditemukan pula pada kerabat dekat penderita. Keluhan penglihatan kabur

    semakin lama semakin berat. Gejala ini merupakan penyebab orang tua pasien

    memeriksakan keluhan pada anaknya. ,

    Tanda Klinis

    Penurunan tajam penglihatan yang dialami biasanya lambat dan progresif, bahkan

    kadang tidak disadari. Gangguan penglihatan ini bersifat bilateral irreversibel, dengan

    tajam penglihatan umumnya sedang, sekitar 6/10 hingga 2/10, namun dapat pula

    sangat ringan (subklinis) bahkan sangat berat (buta total) (Lenaers, 2012;Delettre-

    Cribaillet, 2007).

  • Pemeriksaan oftalmologis funduskopi memperlihatkan gambaran diskus optik

    pucat pada sisi temporal di kedua mata, menunjukkan hilangnya sel ganglion retina

    yang memasuki saraf optik. Batas neuroretinal (neuroretinal rim) tampak atrofi, dan

    sering pula disertai dengan adanya kresen abu-abu di temporal diskus optikus.

    Gambaran lainnya yang cukup sering dijumpai adalah atrofi peripapilar.

    Penggaungan papil pada ADOA merupakan hal yang sering ditemukan, sehingga

    terkadang diagnosis bandingnya dapat mengarah pada Normo Tension Glaucoma

    (NTG). Penelitian yang dilakukan oleh Votruba dkk (2003) menemukan gambaran

    papil yang bervariasi dari pucat yang samar, pucat di temporal, hingga atrofi

    sepenuhnya. Cup and Disc Ratio (CDR) pada 48% mata di penelitian tersebut

    menunjukkan rasio lebih dari 0,5 dimana pada setiap pasien tersebut memiliki

    tekanan intraokular yang normal.

    Pemeriksaan lapangan pandang pada kasus ADOA dapat menunjukkan

    skotoma sekosentral, sentral dan parasentral, sedangkan penglihatan perifer tetap

    normal. Fenomena ini dapat terjadi karena tidak adanya neuroretinal rim yang sehat

    dan atrofi peripapilar. Tanda klinis lain yang khas pada ADOA adalah adanya buta

    warna biru-kuning (tritanopia). Diskromatopsia non spesifik dapat ditemukan pada

    kasus yang berat (Votruba et al, 2003). Pemeriksaan reflek pupil pada ADOA

    memperlihatkan hasil yang normal, dimana hal ini menunjukkan bahwa pada

    perjalanan penyakit ini, melanopsin sel ganglion retina tidak terkena (Lenaers et al,

    2012).

  • Tabel 2. Manifestasi klinis ADOA dan variannya (Krieglstein, 2008)

  • Gambar 10. Perbandingan pemeriksaan funduskopi, OCT, lapang pandang, dan penglihatan

    warna pada orang normal dan ADOA (Lenaers et al, 2012)

  • DIAGNOSIS BANDING

    Autosomal Dominant Optic Atrophy sulit dibedakan dengan Lebers Hereditary Optic

    Neuropathy (LHON) dan Normo Tension Glaucoma (NTG) karena memiliki

    gambaran fundus yang sama khususnya pada stadium akhir. Anamnesis riwayat mata

    kabur dan riwayat keluarga, serta pemeriksaan seperti visus, tes penglihatan warna,

    diperlukan untuk menetapkan diagnosis yang akurat (Evely et al, 2011).

    Manifestasi Lebers Hereditary Optic Neuropathy (LHON) sulit dibedakan

    dengan ADOA. Prevalensi LHON ditemukan lebih kecil dari ADOA 3,22:100.000

    dan dominan pada laki-laki. Etiopatogenesis LHON didasari oleh mutasi dari

    mitokondria. Onset manifestasi klinis biasanya muncul pada usia 10-30 tahun, tidak

    nyeri, penurunan tajam penglihatan terjadi akut atau subakut dan stabil dalam

    beberapa bulan. Pemeriksaan funduskopi pada fase awal menunjukkan diskus optik

    hiperemis dengan peripapil telangiektasis. Pemeriksaan funduskopi pada fase lanjut

    menunjukkan diskus optik pucat menyeluruh. (Practising ophthalmology kurikulum

    NO/Orbit, 2011).

    Normo Tension Glaucoma adalah kelainan optik neuropati dengan gambaran

    papil nevus II dan perubahan lapang pandang yang spesifik serta tekanan intraokuli

    dalam batas normal. Atrofi optik glaukomatus berkaitan dengan hilangnya rim

    neuroretina dan penggaungan dari area cup. Manifestasi yang terjadi adalah

    peningkatan Cup and Disc Ratio (CDR) dan defek pada lapisan serat saraf retina

    (RNFL). Normo Tension Glaucoma memiliki onset usia 60 tahun dan lebih banyak

    terdapat pada perempuan. Penurunan tajam penglihatan dihasilkan oleh perluasan

    defek perifer nasal ke daerah sentral (Evelyn et al, 2011; Chan, 2007).

    DIAGNOSIS

    Diagnosis dini dari ADOA sangatlah penting untuk dilakukan berkaitan dengan

    penatalaksananya. Penegakan diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, temuan klinis

  • dan hasil pemeriksaan penunjang pada seluruh kasus yang dicurigai. (American

    Academy of Ophthalmology, 2012)

    Anamnesis

    Anamnesis menyeluruh mengenai perjalanan penyakit merupakan langkah awal yang

    penting dalam menegakkan diagnosis ADOA. Wawancara pada pasien sebaiknya

    disertai dengan keluarga agar waktu dimulai menurunnya penglihatan dapat diketahui

    dengan lebih pasti. Riwayat keluhan yang sama pada keluarga pasien sangat penting

    untuk ditelusuri, mengingat ADOA diturunkan secara dominan. Temuan pada

    setidaknya satu orang yang sakit pada keluarga dua keturunan berturut-turut, atau

    tranmisi maternal akan mendukung diagnosis ADOA. Perhatian khusus juga harus

    diberikan pada gejala neuropati sensoris atau perifer. ADOA merupakan penyakit

    mitokondrial yang kemungkinan dapat mengakibatkan pula gejala ekstra

    oftalmologis. (Lenaers dkk, 2012)

    Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik oftalmologi yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis antara

    lain tajam penglihatan, penglihatan warna, funduskopi dan lapang pandang.

    (American Academy of Ophthalmology, 2012; Lenaers dkk, 2012; Delettre-Criballet

    dkk, 2007; Votruba dkk, 2003)

    Gangguan fungsi saraf optik berhubungan dengan gangguan tajam

    penglihatan. Gangguan penglihatan pada ADOA bersifat simetris, progresif dan

    ireversibel, dengan tajam penglihatan bervariasi dari ringan hingga buta total.

    Penggunaan snellen chart umumnya menunjukkan gejala sedang sekitar 6/10 hingga

    2/10 atau 20/40 hingga 20/400 (Lenaers, 2012;Delettre-Cribaillet, 2007).

    Penglihatan warna dapat dinilai dengan tes pseudo-isokromatis (misalnya tes

    Ishihara), tes Farnsworth panel D-15, atau Farnsworth-Munsell 100 Hues. Penderita

  • ADOA akan memperlihatkan gangguan penglihatan warna tritanopia atau

    dikromatopsia (Lenaers dkk, 2012).

    Pemeriksaan lapang pandang merupakan pemeriksaan yang penting untuk

    mengetahui fungsi saraf optik. Perimetri mengukur secara kuantitatif nilai ambang

    sensitivitas retina terhadap target yang statis, juga dapat membantu melokalisasi lesi

    pada jalur penglihatan. Gangguan saraf optik pada ADOA khususnya akan

    menyebabkan defek lapang pandangan sekosentral, sentral dan parasentral (American

    Academy of Ophthalmology, 2012; Lenaers dkk 2012, Delettre-Criballet dkk, 2007;

    Votruba dkk, 2003).

    Pemeriksaan secara oftalmoskopis menggunakan oftalmoskop baik direk

    maupun indirek diperlukan untuk visualisasi papil. Pemeriksaan yang perlu diamati

    dengan cermat adalah warna, ukuran, bentuk, ada tidaknya penggaungan, batas papil

    saraf optik, serta pembuluh darahnya (American Academy of Ophthalmology, 2012).

    Pemeriksaan Penunjang

    Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam menegakkan diagnosis ADOA

    meliputi Ocular Coherence Tomography (OCT), Visual Evoked Potential (VEP),

    Electroretinography (ERG), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan pemeriksaan

    genetik molekuler.

    Pemeriksaan Ocular Coherence Tomography (OCT) menunjukkan reduksi

    dari ketebalan lapisan serat saraf retina peripapilar pada keempat kuadran.

    Pemeriksaan VEP menunjukkan pola terlambat, bahkan absen. Penelitian yang

    dilakukan Heiduschka dkk (2010) pada tikus dengan ADOA menemukan adanya

    reduksi amplitudo VEP. Penurunan tersebut mengindikasikan adanya gangguan

    konduksi, yaitu berkurangnya transmisi stimulus cahaya dari sel ganglion retina ke

    kortek visual. (Votruba dkk, 2003; Delettre-Criballet dkk, 2007)

    Pemeriksaan ERG bertujuan untuk melihat respon dari berbagai tipe sel di

    retina, termasuk juga sel fotoreseptor dan sel retina dalam (sel bipolar dan amakrin).

  • (Heiduschka dkk, 2010) Pola dari ERG pada penderita ADOA menunjukkan rasio

    abnormal dari rasio N95:P50, dengan reduksi amplitudo dari gelombang N95.

    Gelombang tersebut spesifik terhadap sel ganglion retina, menunjukkan atrofi yang

    terjadi berasal dari sel ganglion retina. (Votruba dkk, 2003; Delettre-Criballet dkk,

    2007)

    Pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat

    mendukung diagnosis ADOA, dimana akan ditemukan reduksi dari komplek

    selubung saraf optik, tanpa abnormalitas dari ruang serebrospinal. (Votruba dkk,

    2003)

    Diagnosis klinis dari ADOA akan memerlukan investigasi genetik.

    Pemeriksaan genetik molekuler dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel

    darah dari pasien dan keluarganya sebanyak kurang lebih 5ml. DNA pada darah akan

    diperiksa, kemudian analisis gen OPA 1 dilakukan pada sampel DNA dengan cara

    mengamplifikasi dan memotong ketiga puluh satu ekson koding dan region

    introniknya. Mutasi OPA 1 dan integritas protein dapat diperiksa secara in silico, dan

    dengan memeriksa alel termutasi melalui RT-PCR. Mutasi yang tetap tidak

    ditemukan memerlukan pemeriksaan Multiplex Ligation Probe Amplification untuk

    melihat adakah gen yang terdelesi. Identifikasi dari gen yang termutasi pada pasien

    yang belum menunjukkan gejala sangat membantu dalam merencanakan konseling

    genetik. (Lenaers, 2012;Delettre-Cribaillet, 2007).

    Kasus sindromik ADOA memerlukan perhatian khusus, dimana pasien yang

    menunjukkan gejala ekstraoftalmologi harus diperiksa secara menyeluruh oleh tim

    genetik, neurooftalmologis, neurologis, dan spesialis THT. Diagnosis dari gangguan

    mitokondria multisistem seringkali memerlukan pemeriksaan rantai respirasi untuk

    mengetahui tingkat keparahan defisiensi energi di tingkat mitokondria. Biopsi otot

    rangka biasanya dilakukan untuk menganalisa aktifitas enzim kompleks respirasi

    mitokondria. (Lenaers, 2012)

  • PENATALAKSANAAN

    Terapi ADOA belum ditemukan sampai saat ini. Penanganan yang dapat diberikan

    pada pasien ADOA adalah konseling genetik dan pemeriksaan genetik untuk

    membantu perencanaan keluarga.Terapi low vision seperti memperbesar objek yang

    dilihat pasien, menggunakan kaca pembesar untuk membaca, mendekatkan pasien

    dengan objek dan memberikan pencahayaan lebih terang dapat diterapkan pada

    penderita ADOA (AAO, 2012; Chan JW, 2007).

    PROGNOSIS

    Manifestasi ADOA didapatkan tajam penglihatan mencapai 20/200 dengan onset

    perlahan-lahan dimulai pada usia 4-6 tahun. ADOA adalah penyakit dengan

    progresivitas yang lambat. ADOA jarang menunjukkan visus yang lebih buruk dari

    20/200 (American Academy of Ophthalmology, 2012; Chan JW, 2007).

    RINGKASAN

    Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) adalah salah satu kondisi neuro-

    oftalmologi herediter yang paling umum terjadi. Gen yang mengkode membran

    protein mitokondrial dalam yaitu OPA 1 bertanggung jawab terhadap terjadinya

    ADOA. Mutasi OPA 1 mempengaruhi fusi mitokondria, metabolism energi,

    mengontrol apoptosis, kliren kalsium dan mempertahankan stabilitas genom

    mitokondria.

    Penyakit ADOA memiliki karakteristik berupa penurunan tajam penglihatan

    yang bersifat bilateral, defek lapangan pandang berupa skotoma sekosentral, sentral,

    dan parasentral, serta buta warna biru-kuning atau tritanopia. Hilangnya tajam

    penglihatan bervariasi dari ringan, sedang dan berat, walaupun kebanyakan penderita

    mengalami derajat sedang. Beberapa penderita ADOA juga menunjukkan gejala

    ekstraoftalmologi seperti tuli sensorineural, miopati, ataxia, dan lain-lain. Perjalanan

    penyakit ADOA bersifat lambat, namun progresif seiring dengan meningkatnya usia.

  • Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi, dan

    pemeriksaan penunjang. Diagnosis secara dini dan tepat akan sangat membantu

    dalam menentukan penatalaksanaan pada pasien ADOA.

    Autosomal Dominant Optic Atrophy (ADOA) mempunyai gambaran fundus

    yang sulit dibedakan dengan LHON dan NTG. Pemeriksaan penunjang genetika dan

    riwayat keluarga dapat membantu pembuatan diagnosis dari ADOA.

    Terapi ADOA sampai saat ini belum ditemukan. Penanganan konseling

    genetik dan terapi low vision diharapkan dapat membantu keluarga pasien.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Alavi M, Bette S, Schimpf S, Schuettauf F, Schraermeyer U, Wehrl H, et al. A splice

    site mutation in themurine Opa1 gene features pathology of autosomal

    dominant optic atrophy. Brain. 2007; 130:1029-1042.

    American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. Cranial Nerve. In:

    Fundamental and principles of ophthalmology. Basic and clinical science

    course. Section 3. San Fransisco: AAO, p. 87-97

    American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012. The Patient With Decreased

    Vision. In Neuro-Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course. Section 4.

    San Francisco: AAO, p. 139

    American Academy of Ophthalmology. 2011-2013. Optic neuropathy. In Practicing

    Opthalmologists Curiculum Neuro Opthalmology/Orbit. p. 46-52

    Biousse V, Newman NJ. 2001. Hereditary Optic Neuropathies.Pediatric

    Opthalmology. Vol: 14, No: 3, p. 547-568

    Davies V, Hollins A, Piechota M, Yip W, Davies JR, White K., et al. Opa1

    deficiency in a mouse model of autosomal dominant optic atrophy impairs

    mitochondrial morphology, optic nerve structure and visual function. Human

    Molecular Genetics. 2007; 16(11):13071318.

    Delettre-Cribaillet C., Hamel C.P., Lenaers G., Optic Atrophy Type 1. NCBI

    Bookshelf. 2007

    Evelyn CO, Danesh-Meyer HV, George XY, Michael AC, et al. 2011. Optic Disc

    Evaluation in Optic Neuropathies. The optic Disc Assessment Project.

    American Journal of Ophthalmology. Vol: 118, p: 964-970

  • Fraser JA, Biosse V, Newman NJ. In Major Review, The Neuro-opthalmology of

    Mitochondrial Disease. Survey of Opthalmology. Vol: 55, No: 4, p. 229-334

    Heiduschka P, Schnichels S, Fuhrmann N, Hofmeister S, Schraermeyer U, Wissinger

    B et al. Electrophysiological and Histologic Assessment of Retinal Ganglion

    Cell Fate in a Mouse Model for OPA1- Associated Autosomal Dominant Optic

    Atrophy. Investigative Ophthalmology & Visual Science. 2010;51(3):1424-31

    Hudson G., Amati-Bonneau P., Blakely E., Stewart J., He L., Schaefer A. Mutation of

    OPA1 causes Dominant Optic Atrophy with External Ophthalmoplegia, Ataxia,

    Deafness and Multiple Mitochondrial DNA Deletions: a novel disorder of

    mtDNA maintenance. Brain. 2008;131:329-337.

    Johnston RL, Seller MJ, Behnam JT, et al.1999. Dominant Optic Atrophy. Refining

    the Clinical Diagnostic Criteria in Light of Genetic Linkage Studies.

    Opthalmology, Vol: 106, p. 123-128

    Kanski J. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach. 6th

    ed. 2007. London:

    Elsevier. p.786-789

    Krieglstein GK, Weinreb RN. 2008. Inherited Optic Neuropathies. In Pediatric

    Opthalmology, Neuro-opthalmology, Genetics. Essentials in Opthalmology. p.

    52-59

    Lenaers G., Hamel C., Delettre C., Amati-Bonneau P.,Procaccio V., Bonneau D.,et al.

    Dominant Optic Atrophy. Orphanet Journal of rare Disease. 2012;7:46.

    Schiefer U, Wilhelm H, Hart W. 2007. Pediatric Neuro-opthalmology. In: Clinical

    Neuro-opthalmology. A Practical Guide. San Francisco, p. 252

    Shimizu S, Mori N, Kishi M, Sugata H, et al. 2002. A Novel Mutations of the OPA1

    Gene in a Japanese Famlily with Optic Atrophy Type 1. Jpn J Opthalmol. Vol:

    46, p: 336-340

  • Yen MY, Wang A, Lin Y, Fann M, et al. 2010. Novel Mutations of the OPA1 Gene

    in Chinese Dominant Optic Atrophy. American Academy of Opthalmology.

    vol: 117, p: 392-396

    Votruba M., Thiselton D., Bhattacharya S.S.. Optic Disc Morphology of patients with

    OPA1 Autosomal Dominant Optic Atrophy. Br J Ophthalmol. 2003;87:48-53.