sari pustaka -united airway disease-.pdf

57
1 SARI PUSTAKA Sabtu, 31 Desember 2011 UNITED AIRWAY DISEASE Oleh: dr. Herbert Erwin Yunismar Pembimbing: dr. K. H. Yangtjik, Sp.A (K) dr. Fifi Sofiah, Sp.A Penilai: dr. Hj. Silvia Triratna, Sp.A(K) dr. Hj. Rismarini, Sp.A(K) DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK BAGIAN IKA FK UNSRI/RSMH PALEMBANG 2011

Upload: herbert-erwin-mahulae-nainggolan

Post on 16-Feb-2016

122 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

1

SARI PUSTAKA

Sabtu, 31 Desember 2011

UNITED AIRWAY DISEASE

Oleh:

dr. Herbert Erwin Yunismar

Pembimbing:

dr. K. H. Yangtjik, Sp.A (K)

dr. Fifi Sofiah, Sp.A

Penilai:

dr. Hj. Silvia Triratna, Sp.A(K)

dr. Hj. Rismarini, Sp.A(K)

DEPARTEMEN KESEHATAN ANAK

BAGIAN IKA FK UNSRI/RSMH

PALEMBANG

2011

Page 2: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat rahmat dan pertolongan-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan Sari

Pustaka ini dengan judul: United Airway Disease.

Sari pustaka ini disusun sebagai salah satu persyaratan bagi peserta didik

dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Ilmu Kesehatan Anak,

Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya, Palembang.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Kepala Departemen Kesehatan Anak FK UNSRI/RSMH Palembang dan Ketua

Program Studi Ilmu Kesehatan Anak FK UNSRI Palembang yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga Sari Pustaka ini dapat penulis

ajukan. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada dr.

K. H. Yangtjik, Sp.A(K) dan dr. Fifi Sofiah, Sp.A yang telah meluangkan

waktunya untuk memberikan bimbingan dan koreksi hingga selesainya penulisan

Sari Pustaka ini.

Penulis menyadari di dalam penulisan Sari Pustaka ini masih banyak

terdapat kesalahan dan kekurangan, untuk itu sekiranya para supervisor dan rekan-

rekan residen dapat memberikan kritik, saran dan masukan demi perbaikan

penulisan ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Sari Pustaka ini dapat bermanfaat dan

memberikan wawasan bagi kita semua.

Palembang, Desember 2011

Penulis

Page 3: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

3

LEMBAR PERSETUJUAN PRESENTASI

J U D U L : United Airway Disease

JENIS KEGIATAN : Sari Pustaka

PRESENTAN : dr. Herbert Erwin Yunismar

TANGGAL : 31 Desember 2011

MENYETUJUI :

No NAMA PEMBIMBING TANDA TANGAN

1.

Dr. K. H. Yangtjik, Sp.A (K)

Page 4: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................ iv

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

BAB II. RHINITIS ALERGIKA ..................................................................................... 3

2.1 Fisiologi Hidung .............................................................................................. 3

2.2 Definisi ............................................................................................................ 3

2.3 Klasifikasi ........................................................................................................ 4

2.4 Epidemiologi .................................................................................................. 4

2.5 Gejala klinis .................................................................................................... 6

2.6 Diagnosis ......................................................................................................... 6

2.7 Patofisiologi ................................................................................................... 9

2.8 Penatalaksanaan ............................................................................................. 11

BAB III. ASMA BRONKIALE .................................................................................... 14

3.1 Definisi ............................................................................................................ 14

3.2 Epidemiologi ................................................................................................... 15

3.3 Klasifikasi ........................................................................................................ 17

3.4 Faktor Risiko ................................................................................................... 19

3.5 Diagnosis ......................................................................................................... 20

3.6 Patogenesis ...................................................................................................... 23

3.7 Patofisiologi .................................................................................................... 26

3.8 Tatalaksana ...................................................................................................... 28

BAB IV. UNITED AIRWAY DISEASE ........................................................................ 32

4.1 KETERKAITAN EPIDEMIOLOGI .............................................................. 33

4.2 KETERKAITAN ANATOMI ........................................................................ 35

4.3 KETERKAITAN PATOFISIOLOGI ............................................................. 37

4.4 KETERKAITAN IMUNOPATOLOGI ......................................................... 39

4.5 KETERKAITAN TERAPI ............................................................................. 45

BAB V. RINGKASAN .................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 51

Page 5: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

5

BAB I

PENDAHULUAN

United Airway Disease merupakan suatu kesatuan penyakit antara rhinitis

alergika dan asma dengan karakteristik terjadinya proses inflamasi pada saluran

nafas atas dan bawah yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Penyakit ini

dikenal juga dengan sebutan rinobronkitis.1 Asma bronkial dan rhinitis alergika

termasuk dalam golongan penyakit atopi. Sebagai penyakit atopi, kedua penyakit

ini bisa muncul bersamaan pada seorang penderita. Banyak bukti yang

menunjukkan kedua penyakit ini bisa terjadi secara bersamaan. Rhinitis alergika

sudah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk berkembangnya asma.

Namun penjelasan sepenuhnya mengapa kedua penyakit ini bisa terjadi bersama

belum terungkap sepenuhnya.

Berbagai laporan ilmiah menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara

penyakit rhinitis alergika dan asma dalam beberapa waktu terakhir ini. Meskipun

merupakan organ target yang berbeda, namun penyakit rhinitis alergika dan asma

merupakan bagian dari penyakit saluran nafas yang hampir sama. Hubungan

antara saluran nafas atas dan bawah sudah sering diteliti selama bertahun-tahun,

tapi konsep united airway disease baru muncul beberapa tahun terakhir ini.1,2

Beberapa penelitian dan kajian ilmiah menunjukkan bahwa rhinitis alergika dan

asma bronkial memiliki keterkaitan secara anatomi, patofisiologi, imunopatologi

dan dalam penatalaksanananya. Hubungan klinis, epidemiologi,fungsional dan

imunologi kedua penyakit ini sudah dibuktikan dan dibicarakan pada beberapa

penelitian.3

Temuan ini dapat memperbaiki strategi penanganan penyakit rhinitis

alergika dan asma, dimana kedua penyakit tersebut yang merupakan penyakit

atopi adalah sebuah penyakit sistemik yang membutuhkan penanganan yang

menyeluruh dan bersamaan, dimana selama ini penanganan kedua penyakit

tersebut seringkali dilakukan secara terpisah-pisah.2,3

Dalam praktek keseharian

para dokter baik dokter umum, spesialis anak dan spesialis paru saat menangani

kasus asma sering menitikberatkan pada gejala sesak pasien dan sangat sedikit

Page 6: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

6

menaruh perhatian kepada saluran napas bagian atas atau bahkan saluran cerna.

Demikian pula sebaliknya ahli THT terfokus kepada hidung atau sinus, tanpa

pernah menanyakan keluhan asmanya padahal dalam praktek sangat banyak

kaitan antara saluran napas bagian atas dan bawah atau lebih spesifik lagi kaitan

rinitis dan asma.2 Padahal dengan mengatasi gejala rhinitisnya maka dapat

menurunkan dan mengatasi gejala asma.1,2

Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk mengenalkan konsep

rhinitis alergika dan asma sebagai suatu united airway disease secara umum,

beserta keterkaitan epidemiologi, anatomi, fungsional, patofisiologi dan

penatalaksanaanya. Berbekal pengetahuan ini dokter anak diharapkan dapat

melakukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat terkait keterlibatan rhinitis

alergika dan asma sebagai suatu kesatuan penyakit. Sehingga penanganan kasus

rhinitis alergika dan asma sebagai suatu united airway disease dilakukan secara

tepat dan tidak menimbulkan implikasi yang berkepanjangan.

Page 7: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

7

BAB II

RHINITIS ALERGIKA

2.1 Fisiologi Hidung

Hidung merupakan salah satu organ terpenting dalam sistem tubuh

manusia. Hidung bersama organ-organ lain yang saling berkaitan memiliki peran

yang penting dalam menjalankan fungsi fisiologis tubuh manusia. Fungsi

fisiologis dari hidung yaitu: fungsi respirasi, fungsi penghidu, fungsi fonetik, dan

refleks nasal.4

Dalam perannya sebagai organ pernapasan, hidung memiliki fungsi

sebagai jalan napas, mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Jalan

napas bermula dihidung. Ketika udara masuk pada saat inspirasi, hidung yang

banyak terdapat palut lendir (mucous blanket) dan kaya akan vaskularisasi,

mengatur kelembaban dan suhu udara yang akan masuk kedalam alveolus paru.

Selain itu, hidung melalui rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir, akan

melakukan penyaringan terhadap bakteri dan debu yang terdapat dalam udara

inspirasi.4,5

2.2 Definisi Rhinitis alergika

Rhinitis alergika menurut Von Pirquet (1896), didefinisikan sebagai

penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang

sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya

suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik

tersebut.4,5

Sedangkan menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on

Asthma), rhinitis alergika merupakan kelainan pada hidung dengan gejala bersin-

bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen

yang diperantarai oleh IgE.6

Page 8: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

8

2.3 Klasifikasi Rhinitis alergika

Berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis

and Its Impact to Asthma), klasifikasi rhinitis alergika dibagi berdasarkan sifat

berlangsungnya dan berat ringannya penyakit. Berdasarkan sifat berlangsungnya,

rhinitis alergika dibagi menjadi:4,5,6,7

1. Rhinitis alergika intermiten (seasonal-acute-occasional allergic rhinitis)

Bila gejala yang timbul kurang dari 4 hari dalam seminggu atau kurang

dari empat minggu. Biasanya disebabkan karena alergi pada serbuk bunga

dan biasnya terdapat pada negara yang memiliki empat musim. Gejala

yang timbul berupa rasa gatal pada mata, hidung dan tenggorokan dan

disertai bersin berulang, ingus encer, dan hidung tersumbat.

2. Rhinitis alergika persisten ( perennial-chronic-long duration rhinitis)

Bila gejala yang timbul berlangsung lebih dari 4 hari dalam seminggu dan

lebih dari empat minggu. gejalan dapat timbul sepanjang tahun dan

penyebabnya terkadang sama dengan rhinitis non alergik. Gejala yang

timbul hampir mirip dengan gejala rhinitis alergika musiman tetapi gejala

gatal kurang, yang mencolok adalah hidung tersumbat.

Sedangkan berdasarkan derajat beratnya penyakit, rhinitis alergika dibagi

menjadi:

a. Rhinitis alergika ringan (mild)

Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-harinya (sekolah, bekerja,

berolahraga) dengan baik, tidur tidak terganggu, dan tidak ada gejala yang

berat.

b. Rhinitis alergika sedang-berat (moderate-severe)

Aktivitas sehari-hari pasien tidak berjalan dengan baik, tidur terganggu

dan terdapat gejala yang berat.

2.4 Epidemiologi dari Rhinitis alergika

Rhinitis alergika merupakan masalah kesehatan global yang menjadi

penyebab penyakit dan ketidakmampuan pada individu yang terpapar di seluruh

dunia. Penyakit ini selain mempengaruhi aktivitas sehari-hari baik kehidupan

Page 9: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

9

dirumah, sekolah atau di pekerjaan, juga mempunyai dampak ekonomis dari biaya

pemeliharaan kesehatan yang dikeluarkan.4,6,7

Prevalensi pada populasi umum diperkirakan antara 10% dan 25% dimana

dalam beberapa dekade terakhir prevalensi dari rhinitis alergika cenderung

meningkat, terutama di negara-negara maju, meskipun angka yang tepat bervariasi

tergantung pada usia pasien dalam sampel atau distribusi geografis mereka. Pada

beberapa negara dilaporkan bahwa angka kejadian dari sensitisasi terjadinya alergi

diperkirakan lebih dari 50% dari jumlah populasi pada beberapa kelompok usia.

Dan berdasarkan perkiraan konservatif, jumlah penderita rhinitis alergika

diperkirakan sekitar 500 juta penderita di seluruh dunia.6,7.

Beberapa penelitian epidemiologi dilakukan diberbagai negara untuk

mengidentifikasi penyebab dan angka kejadian dari rhinitis alergikaka. Beberapa

penelitian yang dilakukan melalui kuesioner, penilaian obyektif dan pemeriksaan

medis mengindikasikan meningkatnya prevalensi dari rhinitis alergika pada

beberapa negara dibenua Eropa pada dekade terakhir ini. Di beberapa studi

epidemiologi internasional seperti International Study of Asthma and Allergies in

Childhood (ISAAC) pada tahun 1994 terhadap anak-anak dari 56 negara,

prevalensi dari rhinitis alergika sangat bervariasi, ditemukan berkisar 1,4% -

39,7%. Penelitian epidemiologis yang dilakukan WHO tahun 2000 di Amerika

Utara dan Eropa Barat, menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir terjadi

peningkatan prevalensi penyakit rhinitis alergika dari 13-16% menjadi 23-28%.

Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa rhinitis alergika mencapai 14,2 % dimana

kelompok umur tertinggi pada usia 18-34 tahun dan 35-49 tahun.6,7,8,9

Di Indonesia angka kejadian rhinitis alergika yang pasti belum diketahui

secara pasti karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter.

Prevalensi rhinitis alergika perenial di Jakarta besarnya sekitar 20%. Sedangkan

menurut Sumarman dan Haryanto pada tahun 1999, di daerah padat penduduk di

kota Bandung didapat angka sebesar 6,98 %. Berdasarkan survei yang dilakukan

oleh Suprihati pada siswa SMP berusia 13-14 tahun di kota Semarang pada tahun

2001-2002, didapat prevalensi rhinitis alergika sebesar 18%.

Page 10: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

10

Pada anak-anak didapat bahwa prevalensi rhinitis alergika lebih sering

terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, namun secara umum pada

usia dewasa prevalensi terjadinya rhinitis alergika adalah sama pada pria dan

wanita. Berdasarkan awal munculnya gejala dari rhinitis alergika pada 80% kasus

terjadi sebelum usia 20 tahun. Pada anak dengan riwayat alergi pada kedua

orangtua, gejala rhinitis alergika muncul pada usia menjelang pubertas. Gejala

dari rhinitis alergika berkembang pada 1 dari 5 anak pada saat usia 2-3 tahun,

pada usai 6 tahun dijumpai sekitar 40% kasus dan 30 % timbulnya gejala pada

saat pubertas.8.9,10

2.5. Gejala Klinis

Manifestasi gejala klinis dari rhinitis alergika pada anak dapat ditemukan

berupa rinosinusitis berulang, adenositis, otitis media dan tonsilitis. Gejala klinis

yang khas ditemukan berupa rasa gatal di hidung dan mata, bersin, sekresi hidung,

hidung tersumbat dan bernapas dari mulut. Sekret hidung dapat keluar melalui

lubang hidung atau berupa post nasal drip yang ditelan. Hidung yang tersumbat

dapat terjadi secara bilateral, unilateral atau secara bergantian. Gejala bernapas

melalui mulut sering terjadi pada malam hari yang dapat menimbulkan gejala

tenggorokan kering, mengorok, gangguan tidur. Selain gejala diatas gejala lain

yang menyertai rhinitis alergika adalah suara sengau, gangguan penciuman dan

pengecapan, dan gejala sinusitis.4,5.6.7

Anak yang menderita rhinitis alergika kronis dapat mempunyai bentuk

wajah yang khas. Sering didapatkan warna gelap serta bengkak dibawah mata.

Gambaran adenoid face dimana anak sering terlihat membuka mulut dan juga

anak sering menggosok hidung yang sering dikenal dengan istilah allergic salute

.

2.6. Diagnosis

Pengenalan terhadap rhinitis alergika dimulai dengan anamnesis yang

cermat dan lengkap mengenai riwayat penyakit. Diagnosis dari rhinitis alergika

dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang diagnosis.

Page 11: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

11

2.6.1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting karena seringkali serangan terjadi tidak dihadapan

pemeriksa. Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan

dilanjutkan dengan pertanyaan spesifik meliputi gejala hidung termasuk

keterangan mengenai tempat tinggal, lingkungan kerja, dan pekerjaan

penderita.4,5,8,9

Gejala-gejala dari rhinitis alergika yang perlu ditanyakan adalah:

Adanya riwayat bersin-bersin lebih dari 5 kali saat serangan

keluar rinore (ingus yang bening) dan banyak

rasa gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga

rasa gatal di mata, kemerahan dan berair.

hidung yang tersumbat (menetap atau berganti-ganti)

adanya post nasal drip atau batuk berulang

adakah variasi diurnal (memburuk pada saat pagi hari sampai siang hari

dan membaik saat malam hari)

penyakit penyerta: gejala asma, sinusitis, radang tenggorok, dll

frekuensi serangan dan lama sakit.

Perlu ditanyakan mengenai riwayat atopi dalam keluarga serta manifestasi

penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rhinitis seperti asma bronkial,

dermatitis atopi, urtikaria dan alergi terhadap makanan. Selain itu juga perlu

dipertanyakan mengenai sumber penting alergen di lingkungan pasien yang dapat

memicu terjadinya gejala alergi.4,5

2.6.2. Pemeriksaan Fisis

Pemeriksaan fisis yang dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

rinoskopi anterior, dimana pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa

pada konka inferior atau media edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai

adanya sekret yang encer dan banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertrofi.4,5

Gejala spesifik lain pada anak adalah adanya bayangan gelap

di kelopak mata bawah akibat sumbatan vena didaerah orbita, sinus, hidung yang

biasanya menetap akibat obstruksi hidung. gejala ini disebut dengan allergic

shiner. Pada anak akibat dari obstruksi hidung kronik dapat menimbulkan facies

Page 12: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

12

adenoid karena sering bernafas memalui mulut. Pada pemeriksaan fisis kita juga

dapat menemukan adanya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah

(allergic crease) yang timbul akibat kebiasaan anak menggosok-gosok hidung

karena gatal dengan punggung tangan (allergic salute).4,5,9,10,11

Pada mata dapat ditemukan adanya kemerahan dengan hiperlakrimasi.

Pada pemeriksaan tenggorok mungkin dapat ditemukan bentuk geographic tongue

dimana permukaan lidah sebagian licin dan sebgaian kasar seperti gambartan peta

yang biasanya akibat alergi makanan. Selain itu juga dapat ditemukan permukaan

dinding faring posterior kasar (cobble stone appearance) serta penebalan lateral

pharyngeal band akibat sekret yang mengalir ke tenggorok (post nasal drip).

gambar 1. adenoid face gambar 2. allergic salute

gambar 3. allergic shinner

Page 13: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

13

2.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu:

Pemeriksaan in vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukil kulit, uji

intrakutan attau intradermal yang tunggal atau berseri ( Skin End –point Titration/

SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam

berbagai konsentrasi tingkat kepekatannya. Keuntungan dari SET adalah selain

penyebab alergen dapat diketahui,derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui. 4,5,9,10,11

Pemeriksaan IgE total serum

Pemeriksaan IgE spesifik serum dengan metode RAST (Radio Immuno

Sorbent Test) atau dengan ELISA ( Enzyme Linked Immuno Sorbent

Assay Test)

Hitung eosinofil dalam darah tepi.

Pemeriksaan sitologi sekret dan mukosa hidung

Tes provokasi hidung

Tes fungsi mukosilier

Pemeriksaan aliran udara hidung

2.7 Patofisiologi

Rhinitis alergika merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase

cepat dan Late Phase Allergic Reaction atau reaksi alergi fase lambat. Pada reaksi

alergi fase cepat proses alergi berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai

satu jam sesudahnya. Sedangkan pada reaksi alergi fase lambat berlangsuung 2-4

jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-

48 jam.4,5

Pada kontak pertama dengan alergen atau pada tahap sensitisasi, makrofag

atau monosit yang berperan sebagai penyaji (antigen preesenting cell / APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

Page 14: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

14

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung

dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC ( Major

Histocompatibility Complex) kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T

helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 ( IL

1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, Il4, IL 5, dan Il13. IL 4 dan IL

13 dapat diikat oleh reserptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

Limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E. Imunoglobulin

E (IgE) di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di

permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi

aktif. Proses ini disebut dengan sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi

degranulasi mastosit dan basofil menagkibatkan terlepasnya mediator kimia yang

sudah terbentuk terutama histamin. Selain Histamin juga dikeluarkan

prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien c4 (LT C4),

bradikinin, Platelet Activating Faktor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang

disebut dengan reaksi alergi fase cepat.4,5,7,9,10,11

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore dan hidung tersumbat

akibat vasodilatasi sinusoid. Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan

molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di

jaringan sel target. Respon ini tidak berhenti disini saja, tetapi gejala akan

berrlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam stelah pemaparan (reaski alergi fase

lambat). Pada reaksi alergi fase lambat ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil, dan mastosit di

mukosa hidung serta terjadi peningkatan sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan

Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Faktor pada sekret hidung.

Timbulnya gejala hiperreaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan

Page 15: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

15

eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic

Protein (ECP),Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major basic Protein

(MBP)dan Eosinophilic Peroxidase (EPO) 7,9,11

Gambar 4. Skema patofisiologi rhinitis alergika (diambil dari Pediatric Allergy, Asthma

and Immunology)

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari rhinitis alergika pada anak terutama dilakukan

dengan penghindaran dari alergen penyebab dan kontrol lingkungan dengan

mendikamentosa diberikan bila perlu dengan antihistamin oral sebagai pilihan

utama.4,5

a. Edukasi pasien

Mengedukasi pasien merupakan komponen yang palin penting dari

rencana penatalaksanaan, terutama dalam menentuakan tidakan yang akan

dilakukan, pengobatan yang akan didapat dan efek samping yang

Page 16: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

16

mungkin terjadi dan terutama dalam penghindaran alergen penyebab dan

kontrol lingkungan terhadap pengeliminasian alergen penyebab.

b. Medika Mentosa

1. Antihistamin-H-19,10,11,12,13

- Antihistamin H-1 Oral

Antihistamin mempunyai peran yang penting dalam pengobatan

rhinitis alergika. Obat ini menyembuhkan gejala akut dan intermiten

sama seperti pada gejala persisten. Obat ini bekerja dengan memblok

reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas anti alergi. Obat ini dibagi

menjadi generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain

klorfeniramin dan difenhidramin dengan efek samping yang timbul

yaitu sedasi dan antikolinergik. Sedangkan untuk generasi yang kedua

antara lain setirizin dan loratadin, dimana generasi ini sebagian besar

tidak menimbulkan sedasi serta tidak mempunyai efek antikolinergik

- Antihistamin-H1 lokal

Obat ini juga bekerja dengan memblok reseptor H1 namun beklerja

sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala pada mata

dan hidung. Contohnya antara lain: azelastin dan levukobastin..

2. Kortikosteroid49,10,11,12,13

- Kortikosteroid Intranasal

Obat ini dapat mengurangi hiperreaktifitas dan inflamasi hidung.

Merupakan terapi medikamentaosa yang paling efektif bagi rhinitis

alergika dan kongesti hidung. Contoh dari kortikosteroid intranasal

antara lain: beklometason, triamsinolon, budenosid, flutikason, dll.

Pemberian kortikosteroid topikal hidung pada anak masih

dipertentangkan karena efek sistemik pemakaian yang lama namun

belum ada laporan tentang efek samping kortrikosteroid intranasal

jangka panjang.

- Kortikosteroid oral/IM

Page 17: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

17

Kortikosteroid (dexametasaon, prednison, metil prednisolon, dll)

poten dalam mengurangi inflamasi dan hiperreaktifitas hidung pada

pasien dengan rhinitis alergika. Namun rhinitis alergika pada anak,

pemberian obat sistemik tidak dianjurkan.

3. Kromon Lokal

Kromon lokal seperti kromoglikat, nedokromiul, mekanisme kerja

belum banyak diketahui. Efek samping obat ini ringan dan tingkat

keamanannya baik.

4. Dekongestan

- Dekongestan oral

Dekongesatan oral (efedrin, fenilferin, pseudoefedrin) merupakan obat

simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Efek

samping yang timbul antara lain hipertensi, jantung berdebar-debar,

gelisah, agitasi, sakit kepala, glaukoma, dll. pemberian bersamaan

dengan antihisttamin H1 oral efektifitasnya dapt meningkat namun

efek samping yang timbul juga bertambah.

- Dekongestan intranasal

obat ini bekerja dengan lebih cepat dan efektif dibandingkan dengan

dekongestan oral. Namun penggunaannya harus dibatasi karena dapat

menyebabkan rhinitis medikamentosa.

5. Antikolinergik intranasal

Antikolinergik intranasal (ipratropium) dapat menghilangkan gejala

rinore baik pada pasien alerg dan non alergi. Efek samping lokalnya

ringan dan tidak terdapat efek antikolonergik sistemik. Diberikan pada

anak yang menderita rhinitis alergika dengan keluhan yang menonjol

hidung beringus.

6. Antileukotrien (Montelukast, Pranlukast, Zafirlukast)

Antileukotrien seperti montelukast, pranlukast, zafirlukast merupakan

obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam kombinasi

dengan antihistamin H1 oral. Namun masih diperlukan banyak data

mengenai obat-obat ini.

Page 18: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

18

BAB III

ASMA BRONKIAL

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai

dengan mengi episodik, batuk dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran

napas. Asma masih menjadi menjadi permasalahan kesehatan di seluruh dunia.

WHO memperkirakan sekitar 235 juta penduduk diseluruh dunia menderita asma.

Asma bronkial merupakan penyakit kronis yang paling sering terjadi pada anak.

3.1 Definisi Definisi dari asma bronkial telah banyak direvisi sejak pertama kali

dideskripsikan oleh Sir William Osler pada tahun 1892. Istilah asma berasal dari

bahasa Yunani yang artinya terengah-engah dan serangan napas pendek. Asma

didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan patologis. Ciri klinis yang

paling dominan adalah riwayat episode sesak, terutama pada malam hari yang

sering disertai batuk, adanya mengi dan episode obstrtuksi saluran napas yang

ditandai oleh keterbatasan arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri patologis

yang khas adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan

struktur saluran napas.14,15,16

Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan

tanda dan gejala mengi dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:

timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari, musiman,

adanya faktor pencetus, bersifat reversibel baik secar spontan maupun dengan

pengobatan serta adanya riwayat atopi.

Menurut GINA (Global Initiative for Asthma), asma didefinisikan secara

lengkap sebagai gangguan inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel

berperan antara lain, sel mast, eosinofi dan limfosit T. Pada orang yang rentan,

inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak napas, rasa dada

yang tertekan, dan batuk khususnya pada waktu malam atau dini hari saja. Gejala

ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran atau jalan napas yang luas

dan bervariasi, sebagian besar bersifat reversibel baik spontan maupun dengan

pengobatan. Inflamasi ini berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas

terhadap pelbagai rangsangan.14

Page 19: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

19

gambar 5. definisi dari asma

3.2 Epidemiologi14,15,17

Asma merupakan masalah kesehatan dunia, diperkirakan sekitar 300 juta

orang diduga mengidap asma (GINA 2008) dan 225.000 orang meninggal

diakibatkan asma. Prevalensi dari asma meningkat secara global sebesar 50%

setiap dekade, dimana peningkatan yang signifikan dari prevalensi asma ini terjadi

pada anak-anak. Prevalensi asma di negara maju berkisar antara 10-15% dari

jumlah penyakit yang diderita, sedangkan di negara berkembang prevalensinya

lebih rendah. Angka kejadian asma pada anak-anak berkisar antara 1,4 - 11,4%.

Berdasarkan beberapa penelitian dilaporkan bahwa prevalensi asma pada anak

laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan.

Berdasarkan laporan MMM pada tahun 2001, prevalensi asma pada laki-laki lebih

tinggi daripada anak perempuan dengan rasio 3:2 pada usia anak 6-11 tahun dan

meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun.14,17

Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil

penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner

ISAAC (International study on Asthma and Allergy in Child) pada tahun 1995

melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat

menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada sekolah di beberapa kota di Indonesia

(Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan

Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)

Page 20: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

20

berkisar antara 3,7-6,4%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma

telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian

serius. 17

Seiring meningkatnya prevalensi asma, jumlah kematian akibat asma juga

meningkat. Di Amerika dilaporkan pada tahun 1994 sekitar 5500 pasien asma

meninggal. Kematian akibat asma pada setiap kelompok usia meningkat sebesar

3,4% setiap tahunnya sejak tahun 1980 sampai 1998. Berdasarkan laporan NCHS

pada tahun 2000, terdapat 4487 kematian akibat asma atau sebesar 1,6 per

100.000 populasi. Pada tahun yang sama untuk kematian didapat kematian 223

anak usia 0 – 17 tahun. Di Indonesia, berdasarkan survei kesehatan domestik pada

tahun 1995, proporsi kematian yang disebabkan oleh penyakit pada sistem

respirasi sebesar 15,7%, dimana asma dan status asmatikus ditemukan sebanyak

59 kasus dari 293 kematian (16,9%) yang disebabkan oleh penyakit sistem

respirasi. Dimana insidensi kematian lebih tinggi pada laki-laki sebanyak 35 kasus

dibanding pada perempuan sebesar 24 kasus, namun secara proporsional

perbedaan tersebut tidak signifikan. Namun yang mengejutkan tingkat kematian

lebih tinggi terjadi pada daerah perkotaan yaitu sebesar 28,3% dibandingkan pada

daerah pedesaan yang hanya sebesar 18%.14,17

tabel 1. Prevalensi asma di Indonesia

Page 21: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

21

3.3 Klasifikasi Asma

Dalam GINA 2006 asma diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat

penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran napas. Pembagian

derajat penyakit asma menurut GINA adalah sebagai berikut14,15,16

:

1. Intermiten

Gejala kurang dari 1 kali/minggu.

Serangan singkat

Gejala Nokturnal tidak lebih dari 2 kali/bulan

FEV1 ≥ 80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik

inidvidu

Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

2. Persisten Ringan

Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari.

Serangan dapat menganggu aktivitas dan tidur

Gejala Nokturnal > 2 kali/bulan

FEV1 ≥ 80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik

inidvidu

Variabilitas PEF atau FEV1 20 - 30%

3. Persisten Sedang

Gejala terjadi setiap hari

Serangan dapat menggangu aktivitas dan tidur

Gejala Nokturnal > 1 kali dalam seminggu

menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari.

FEV160 - 80% predicted atau PEF 60 - 80% nilai terbaik

inidvidu

Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

4. Persisten Berat

Gejala terjadi setiap hari.

Serangan sering terjadi.

Gejala asma nokturnal sering terjadi.

Page 22: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

22

FEV1 ≥ 80% predicted atau PEF ≥ 80% nilai terbaik

inidvidu

Variabilitas PEF atau FEV1 < 20%

Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) membagi asma menjadi 3 derajat

penyakit asma yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang dan asma

persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma anak, kejadian episodik lebih

sering dibandingkan dengan kejadian persisten. Dasar pembagian atau klasifikasi

asma pada anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas diluar

serangan dan beberapa pemeriksaan penunjang.14

1. Asma episodik jarang

Terjadi pada 75% populasi asma anak. Ditandai oleh adanya episode <1x

tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktivitas berat, tidak terdapat gejala

diantara episode serangan dan fungsi paru normal diantara serangan.

2. Asma episodik sering

Terjadi pada 20% populasi asma anak. Ditandai oleh adanya frekuensi

serangan yang lebih sering, mengi setelah aktivitas sedang, tetapi dapat

dicegah dengan pemberian agonis β2. Gejala terjadi kurang dari 1x/minggu

dan fungsi paru diantara serangan normal atau hampir normal.

3. Asma persisten

terjadi pada sekitar 5% populasi asma anak. Ditandai oleh seringnya

episode akut, mengi pada aktivitas ringan, dan diantara interval gejala

dibutuhkan agonis β2 lebih dari 3 kali/minggu karena anak terbangun di

malam hari atau dada terasa berat di pagi hari.

Page 23: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

23

Tabel 2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak menurut PNAA 2004

3.4 Faktor Risiko Asma

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian

asma, serta berat ringannya asma. Risiko berkembangnya asma merupakan

interaksi antara faktor pejamu (host faktor) dan faktor lingkungan. 15,16,18,19

1. Faktor Pejamu

a. Atopi/alergi bronkus

b. hipereaktivitas bronkus

c. Faktor yang memodifikasi penyakit genetik

d. Jenis kelamin

e. Ras/etnik

f. Obesitas

Page 24: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

24

2. Faktor Lingkungan

a. alergen di dalam ruangan (tungau, debu, rumah, kucing, jamur, dll)

b. Alergen diluar ruangan (tepung sari, dll)

c. makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,

makanan laut, susu sapi, telur)

d. obat-obatan tertentu ( misal golongan aspirin, NSAID, β bloker,

dll)

e. Bahan yang mengiritasi (misal parfum, household spray, dll)

f. Asap rokok

g. Exercise induced asthma

h. Perubahan cuaca

3.5 Diagnosis Asma

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,

disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya

penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik. Khususnya

pada anak, sering terjadi kesulitan dalam mendianosis asma pada anak.14,15,18,19,20

Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat

diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Kelompok anak yang patut

diduga asma adalah anak yang menunjukkan batuk dan/atau mengi yang timbul

secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari (nokturnal), musiman,

setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi pada pasien atau

keluarga.14,19,20

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa

batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan

dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,

ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama

reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.

Page 25: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

25

3.5.1 Anamnesis

Anamnesis dalam menegakkan asma pada anak harus dilakukan secara cermat

agar didapatkan riwayat penyakit yang akurat mengenai gejala sulit bernafas,

mengi atau dada terasa berat yang bersifat episodik dan berkaitan dengan musim,

serta adanya riwayat asma atau penyakit atopi pada anggota keluarga. Beberapa

pertanyaan berikut sangat berguna dalam pertimbangan diagnosis asma (consider

diagnosis of asthma):14,19

Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?

Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?

Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?

Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat atau batuk setelah

terpajan alergen atau polutan?

Apakah jika pilek anak membutuhkan > 10 hari untuk sembuh?

Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti asma?

3.5.2 Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisis, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien

tidak mengalami serangan . Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada

derajat serangannya. Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara

lancar, tidak dijumpai adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium.

Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat

dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan

frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda

atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.15,19,20

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan fungsi paru

Pemeriksaan fungsi paru yang obyektif dan lengkap dapat bermanfaat

dalam evaluasi diagnostik anak dengan batuk, mengi berulang, aktivitas

terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan sistem respiratorik.

Pemeriksaan paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala

Page 26: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

26

asma yang tidak khas. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran

sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak

ekspirasi (APE). pulse oxymetry, spirometri, sampai pengukuran yang

kompleks yaitu muscle strength testing, volume paru absolut dan kapasitas

difusi. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek

fungsi paru, yaitu: volume paru, fungsi jalan napas, dan pertukaran

gas.14,19,20

b. Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran napas

Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak

normal penilaian respon saluran napas melalui uji provokasi bronkus

dengan histamin, metakolin, latihan olahraga, udara dingin atau kering

atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis untuk

menegakkan diagnosis asma. pengukuran ini sensitif terhadap asma

namun spesifisitasnya rendah.14,16,19

c. Pengukuran petanda inflamasi saluran napas non invasif

Penilaian terhadap inflamasi saluran napas akibat asma dapat dilakukan

dengan cara memeriksa eosinofil sputum, pengukuran kadar NO ekshalasi.

Namun pemeriksaan ini tidak spesifik untuk asma dan juga belum terdapat

penelitian yang menyatakan bahwa hal ini dapat membantu dalam

diagnosis asma. 14,16,19

d. Penilaian status alergi.

Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik

dalam serum tidak banyak dalam membantu diagnosis asma, tetapi

pemeriksaan ini dapat membantu dalam menetukan faktor resiko atau

pencetus asma.

3.5.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang mungkin pada anak adalah 14,16

:

a. Rinosinusitis

b. Refluks gastroesofageal

c. OSAS

d. Fibrosis kistik,

e. Asiprasi benda asing

f. Tuberkulosis

g. vocal cord dysfunction

Page 27: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

27

3.6. Patogenesis

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan

ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas

hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang

dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia

tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan.

Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama kehidupan lebih besar

kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan memiliki

penyakit atopi terkait lainnya, terutama rhinitis alergika dan dermatitis atopik.14,15

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T

oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang

melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II

pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8

+). Sel dendritik merupakan

Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik

terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan

yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.

Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah

pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas,

sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah

menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan

pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang

efektif. 14,15,16,19

Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif

terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien

dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut

berperan. Reaksi fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat

dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T,

basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T pada saluran

respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator. Sel

T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami

polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat

Page 28: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

28

terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti

IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini

terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat.14,19

Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang

menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran

respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi

struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang

berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue

Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan

profibrotik atau Transforming Growth Faktors (TGF-β), dan proliferasi serta

diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang

penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi

faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi

sel-sel otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas

mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf.

Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada

dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat

asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.14,16,19

Gambar 6. Patogenesis Asma

Page 29: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

29

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet

dan kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik

dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan

perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan

penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting

pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik, terutama

pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak

sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.16,19

Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari

obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus.

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag

alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal

menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan

oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan

memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi

yang terjadi.

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan

serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit

dan limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti

leukotrien, tromboksan, Platelet Activating Faktors (PAF) dan protein sititoksis

memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya

menimbulkan hiperaktivitas bronkus.

Gejala Faktor Risiko

Hiperaktivitas

Bronkus

Obstruksi

Bronkus

Faktor Risiko Faktor Risiko

Inflamasi

Page 30: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

30

3.7 Patofisiologi Asma

3.7.1 Obstruksi saluran respiratori

Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat

disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos

bronkial yang diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi.

Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah hiperplasia

kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran

nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi

sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar

dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.14,16,19

Gambar 7. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

3.7.2 Hiperaktivitas saluran respiratori

Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang

menyebabkan penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun

dapat berhubungan dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi

sekunder serta berpengaruh terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai

tambahan, inflamasi pada dinding saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot

polos tersebut.15,16,19

Page 31: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

31

3.7.3 Otot polos saluran respiratori

Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.

Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian

elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan

kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur

filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi

hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.16,19

Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan

protein kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk

berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin.

Keadaan inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung

ataupun sekunder terhadap geometri saluran nafas.

3.7.4 Hipersekresi mukus

Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada

saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan

karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran

nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab

ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak

mengalami perbaikan dengan bronkodilator.14,16,19

Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu

mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan

mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel

Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena

adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.

Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh

mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,

kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.14,15,16,19

Page 32: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

32

3.8 Tatalaksana Asma

Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan

jangka panjang. Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk

menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan

potensi genetiknya.Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah14,18

:

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak,

termasuk bermain dan berolah raga.

2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang

mencolok pada PEF.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga

hari, dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin

timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tujuan tatalaksana saat serangan14,18

:

- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

- Mengurangi hipoksemia

- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya

- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah

kekambuhan.

3.8.1 Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda

(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk

meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah

teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau

diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga

obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah

dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian

obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya

Page 33: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

33

kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setiap penurunan

setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.14,15,20

Obat – obat Pereda (Reliever)

1. Bronkodilator14,18,19

a. Short-acting β2 agonist

Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP

menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang

menyebabkan terjadinya bronkodilatasi.

Epinefrin/adrenalin

Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2

agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α

sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,

takiaritmia, tremor, dan hipertensi.

β2 agonis selektif

Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol. Efek samping

β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi, dan

takikardi.

b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,

tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini

diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan

antikolinergik. Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada

konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

2. Antikolinergik14,18

Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan

nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis

anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Efek sampingnya adalah kekeringan

atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada

terapi asma jangka panjang pada anak.

Page 34: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

34

3. Kortikosteroid14,18,20

Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:

Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan

yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan

kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.

Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon

dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali

sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi

kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek

mineralokortikoid minimal.

Obat – obat Pengontrol14

1. Inhalasi glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling

efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Efek samping

berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan

gangguan pada gigi dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)

Ada 2 preparat LTRA :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali

sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun

dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

3. Long acting β2 Agonist (LABA)14,18

Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.

Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone

propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort).

Page 35: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

35

Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini

mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid

yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan

glukokortikosteroid. Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit

kepala, stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan

jarang, perdarahan lambung.

3.8.2 Cara Pemberian Obat14

Tabel berikut berisi anjuran pemakaian alat inhalasi sesuai dengan usia anak

tabel 3. jenis alat inhalasi sesuai dengan usia

UMUR ALAT INHALASI

< 5 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler) dengan alat perenggang (spacer)

Aerochamber, Babyhaler

5-8 tahun Nebuliser

MDI dengan spacer

Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)

>8 tahun Nebuliser

MDI (metered dose inhaler)

Alat Hirupan Bubuk

MDI tanpa spacer

3.8.3 Prevensi dan Intervensi Dini14,18

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dokter,

khususnya spesialis anak dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan,

pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan, menghindari makanan berpotensi

alergen, pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu

binatang telah terbukti mengurangi timbulnya alergi makanan dan khususnya

dermatitis atopi pada bayi. Manfaatnya untuk menurunkan prevalensi asma jangka

panjang diduga ada tetapi masih dalam penelitian.

Page 36: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

36

BAB IV

United Airway Disease:

Keterkaitan Rhinitis Alergi dan Asma Bronkiale

Rhinitis alergika dan asma bronkial merupakan penyakit alergi pada

saluran napas akibat proses inflamasi pada mukosa saluran napas dengan lokasi

dan manifestasi klinis penyakit yang berbeda. Rhinitis alergi dan asma seringkali

muncul bersamaan pada satu penderita dan kedua penyakit ini sering disimpulkan

berbagi faktor predisposisi genetik yang sama dimana faktor genetik ini saling

berinteraksi dengan lingkungan. Namun, hingga saat ini rhinitis alergika dan asma

bronkial masih dievaluasi dan diterapi sebagai penyakit yang terpisah.1,2,3

Perkembangan terkini dari berbagai temuan dan laporan ilmiah

menunjukkan adanya hubungan atau keterkaitan yang kuat antara penyakit rhinitis

alergi dan asma. Praktisi medis dan peneliti telah memikirkan adanya hubungan

diantara kedua penyakit tersebut dimana disfungsi pada saluran napas atas dan

saluran napas bawah sering terjadi bersamaan dan memiliki keterkaitan dalam

proses patogenesisnya. Begitu eratnya keterkaitan rhinitis dan asma beberapa

peneliti menyatakan sebuah konsep dari keterkaitan dari kedua penyakit tersebut

yang dikenal sebagai united airway disease atau rinobronkitis alergi.3

Hipotesis atau konsep dari united airway disease mengemukakan bahwa

setiap penyakit yang mempengaruhi saluran napas atas mempunyai

kecenderungan untuk mempengaruhi saluran napas bawah dan demikian juga

sebaliknya. Penyakit-penyakit yang bermanifestasi pada saluran napas atas dan

bawah mungkin saling terkait melalui respon inflamasi sistemik. Selain itu,

keterkaitan antara rhinitis alergi dan asma didukung oleh berbagai penelitian

epidemiologi dan juga karakteristik anantomi, histologi, fisiologi, imunopatologi

dan juga dalam kaitan tatalaksananya dimana adanya efek yang postif dalam

terapi terhadap gejala asma pada pasien rhinitis alergi.1,3

Page 37: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

37

IV. 1 Keterkaitan Epidemiologi

Penelitian – penelitian epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa

rhinitis alergi dan asma sering muncul bersamaan pada satu penderita. Hasil dari

penelitian bervariasi berdasarkan wilayah yang ada, dan metode dan perangkat

penelitian yang dilakukan. Secara garis besar dilaporkan bahwa gejala nasal

ditemukan pada 28% - 78% pasien asma dibandingkan pada populasi umum yang

mencapai 20% pada seluruh populasi. Demikian juga dengan data yang

menunjukkan bahwa 19% - 78% pasien dengan rhinitis alergi akan terpapar asma,

jauh lebih tinggi dari dibandingkan populasi umum yang berkisar 3% - 8% yang

akan terpapar asma. 3,21,22

The European Coomunity Respiratory Health Survey (ECRHS), suatu

penelitian populasi, dilakukan untuk menilai prevalensi dan faktor resiko dari

asma atau gejala-gejala menyerupai asma. Dari 765 subyek penelitian yang diteliti

di Paris yang dilakukan oleh Leynaert dkk, dilaporkan bahwa kejadian asma pada

pasien dengan rhinitis didapat sebesar 22,5%, sedangkan pada pasien tanpa

riwayat adanya rhinitis alergi ditemukan sebesar 4%. Peneltian yang dilakukan

oleh Settipane, dkk pada tahun 1994 terhadap 690 mahasiswa baru yang tidak

menderita asma bronkial didapatkan mahasiswa dengan gejala rhinitis alergika

mengalami asma sebesar 10,5% sedangkan yang tidak memiliki gejala rhinitis

alergika hanya sebesar 3,6%. Pada penelitian epidemiologi di Anqing, China

dilaporkan dari 47% penduduk yang sensitif terhadap sekurang-kurangnya satu

alergen udara, prevalensi dari rhinitis alergi dilaporkan sebesar 3,9% ( berlawanan

dengan negara barat yang berkisar 20% - 30%) dan prevalensi asma sebesar 8,4%

dimana angka ini serupa dengan prevalensi asma di negara barat. 21,22,23,24,25

Page 38: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

38

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Univeritas Georgia terhadap

99 pasien yang diikuti selama 10 tahun didapat hasil sebesar 32% pasien dengan

rhinitis alergika mengalami asma dan sebesar 50% pasien dengan asma

mengalami rhinitis alergika. Pada penelitian Kopenhagen, suatu penelitiaan

longitudinal yang dilakukan selama 8 tahun (1990-1998) didapat hasil sebesar 100

% subyek dengan asma yang disebabkan alergi serbuk sari mengalami rhinitis

alergi terhadap serbuk sari, sebesar 89 % subyek dengan asma yang disebabkan

alergi terhadap binatang mengalami rhinitis alergika terhadap binatang dan 95%

subyek dengan asma yang disebabkan karena tungau juga mengalami rhinitis

alergika terhadap tungau.24,25,26,27

Pada penelitian yang dilakukan Geisner dkk, tahun 1998 terhadap 738

mahasiswa Universitas Brown (laki-laki 69%, perempuan 31%) dilaporkan bahwa

sebesar 45% subyek yang menderita asma dan rhinitis alergika musiman

mengalami rhinitis terlebih dahulu, 35% subyek yang mengalami asma sebelum

rhinitis dan 21% timbul secara bersamaan. Sedangkan pada subyek dengan

riwayat asma dan rhinitis alergi bukan musiman didapat 38,5% didahului oleh

rhinitis alergika, 31% didahului asma dan 31% mengalami asma dan rhinitis

secara bersamaan. 3,24,25,26,27

Berat ringannya dari rhinitis mempengaruhi perkembangan dari asma.

Beberapa penelitian telah membuktikan pentingnya gejala dari rhinitis terhadap

perkembangan asma. Pasien dengan rhinitis alergika persisten dan dengan gejala

rhinitis yang berat memiliki resiko 5 kali untuk mengalami asma. Selain itu,

rhinitis juga dilaporkan lebih berat pada pasien yang mengalami asma dan rhinitis

secara bersamaan dibandingkan dengan merka yang hanya mengalami rhinitis

saja. Sedangkan penelitian lainnya melaporkan ketika rhinitis persisten

mengalami perbaikan maka penyakit asma pun ikut mengalami perbaikan.

Marogna dkk, pada penelitian epidemiologi terhadap 832 subyek penelitian

dengan rhinitis intermiten melaporkan 11,6% dari subyek penelitian mengalami

asma pada saat kondisi rhinitis derajat ringan dan 22, 2% mengalami asma pada

rhinitis derajat sedang-berat. Sedangkan pada 968 subyek dengan rhinitis

Page 39: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

39

persisten, 30,1 % penderita mengalami asma pada kondisi rhinitis persisten derajat

ringan dan 35,4% pada kondisi derajat sedang-berat.

IV. 2 Keterkaitan Anatomi

Saluran napas manusia secara fungsional terbagi menjadi dua bagian,

sebagai penghantar dan sebagai pertukaran udara. Walaupun dari hidung hingga

ke alveoli anatominya berbeda, namun berdasarkan fungsinya kedua organ ini

merupakan suatu kesatuan. Sebagai saluran napas terdepan, hidung memiliki

fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara. Fungsi

menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara ini pada dasarnya untuk

melindungi saluran napas bagian bawah terhadap pengaruh udara dingin, kering,

maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung tidak berfungsi dengan baik maka

saluran napas bagian bawah akan terkena dampaknya. 1,2,3

gambar 9. saluran napas atas dan bawah

Rongga hidung digambarkan sebagai ruangan yang kaku yang dibatasi

oleh tulang-tulang wajah dan terdapat jaringan mukosa yang banyak mengandung

pembuluh darah yang membentuk sinusoid-sinusoid dimana pembuluh darah ini

dipengaruhi oleh sistem saraf disekitar rongga hidung sehingga mudah melebar

dan menyempit. Sedangkan bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin

Page 40: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

40

kartilago yang dilengkapi oleh otot polos, dimana makin ke distal cincin kartilago

ini makin mengecil dan menghilang pada bronkiolus. Kontraksi dari otot polosi

pada bronkus ini akan mempengaruhi diameter saluran napas.

Rongga hidung mempunyai pengaruh pada resistensi saluran napas dimana

hal ini sangat penting terhadap kaitannya dengan fungsi alveoli. Bernapas melalui

mulut ataupun proses dari trakeostomi dapat menyebabkan kolaps pada alveoli.

Hilangnya peranan humidifikasi atau pelembab pada fungsi hidung akan

menimbulkan masalah dimana bila udara yang dingin dan kering akan

mengeringkan sekret dan menyebabkan spasme bronkus disaluran napas bagian

bawah. Untuk mengatasi hal tersebut, produksi sekret akan bertambah sehingga

menyebabkan meningkatnya gejala paru. Hidung merupakan protektor bagi

saluran napas bagian bawah. Hilangnya fungsi hidung akan menyebabkan udara

langsung masuk melalui mulut. Pajanan saluran napas bawah terhadap bahan

bahan iritan yang kita hirup tanpa melewati hidung menjadi salah satu mekanisme

pencetus terjadinya asma.3,21,23,30,31

Berdasarkan histologi, jalan napas dilapisi dengan mukosa yang terdiri

dari epitelium, membran basal, dan lamina propria. Walaupun tidak ada perbedaan

mendasar antara struktur epitel bersilia pada saluran napas atas dan saluran napas

bawah, kerapuhan epitel dan peningkatan penebalan membran basal dalam

ditemukan pada mukosa bronkus pada pasein asma, namun tidak ditemukan pada

mukosa hidung pasien rhinitis alergi. Pada lamina propria hidung terdapat

jaringan subepitelial kapiler, arteri vena dan sinusoid vena yang dapat berubah

dalam dimensi dan memodulasi resistensi saluran napas bagian atas. Pada lamina

propria bronkus, tingkat vaskularisasi pada lapisan ini lebih sedikit dibandingkan

vaskularisasi pada hidung. Mukosa bronkus dikelilingi oleh lapisan otot polos

yang mengatur saluran napas bagian bawah. Terlepas dari perbedaan temuan

dalam histologi, rhinitis alergi dan asma memilki kesamaan dalam proses

inflamasi pada epitelium dan lamina propia dari mukosa hidung dan

bronkus.28,29,30,31

Page 41: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

41

(a) (b)

gambar 10.a Mukosa bronkial gambar 10.b. Mukosa Hidung

IV.3 Keterkaitan Patofisiologi

Beberapa mekanisme patofisiologi telah dikemukakan untuk menjelaskan

hubungan antara saluran napas bagian atas dan saluran napas bagian bawah serta

konsep dari united airway disease. Termasuk diantaranya adalah gangguan fungsi

hidung, aspirasi saluran napas bawah, refleks naso bronkial, dan absorbsi sel

mediator inflamasi pada sirkulasi.

1. Gangguan Fungsi Hidung

Pada rhinitis alergi, terjadi sumbatan pada hidung sehingga penderita lebih

menyukai melakukan pernapasan melalui mulut. Hal ini menyebabkan

berkurangnya fungsi penyaringan hidung yang menyebabkan meningkatnya

pajanan alergen dan polutan di saluran napas bawah. Pada orang yang rentan, hal

ini dapat menyebabkan perubahan inflamasi dan peningkatan respon pada saluran

napas. Dunlop dkk menyatakan bahwa tindakan bedah pada pasien asma yang

disertai polip nasal dan rhinosinusitis kronis menyebabkan perbaikan pada kondisi

asma, menunjukkan bahwa perbaikan fungsi hidung menyebabkan perbaikan

dalam pengendalian asma. 30,31

Page 42: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

42

2. Aspirasi dari post nasal drip

Pada penderita rhinitis alergika sekret hidung yang berisi sel-sel inflamasi

dan mediator mungkin dapat teraspirasi sehingga dapat menyebabkan peningkatan

reaktivitas dari saluran napas bawah. Namun hal ini jarang terjadi karena

umumnya post nasal drip ditelan dan dinetralisir di saluran cerna. Badin dkk,

melalui penelitian dengan zat radiaktif menunjukkan tidak ditemukan adanya

aspirasi ke dalam bronkus. Mekanisme ini tidak memiliki kontribusi dalam

interaksi nasobronkial.28,29,30

3. Refleks naso bronkial

Persarafan sensoris hidung berasal dari persarafan saraf trigeminal.

Sedangkan saluran napas bagian bawah mendapatkan persarafan melalui saraf

vagus. Adanya reflek nasobronkial yang berasal dari ujung-ujung saraf sensoris

yang berjalan menuju sistem saraf pusat melalui melalui saraf trigeminus dan

mengikuti jalur eferen melalui saraf vagus untuk menghasilkan kontraksi otot

polos pada saluran napas masih menjadi perdebatan selama bertahun-tahun.30,31

Refleks nasobronkial ini terungkap dari penelitian yang dilakukan oleh

Kaufman dan Wright pada tahun 1969 dimana mereka membuktikan pemberian

silikat di mukosa hidung individu yangg sehat dapat menyebabkan peningkatan

resistensi saluran napas bagian bawah. Spasme dari bronkus yang diakibatkan

pemberian silikat ini ternyata dapat dihambat dengan pemberian atropin dan

reseksi dari saraf trigeminus. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Yan dkk pada tahun 1983 dimana terjadi penurunan volume FEV1

setelah melakukan uji provokasi histamin pada hidung penderita rhinitis alergika

dan penderita asma yang stabil. Cepatnya respon dari saluran napas bagian bawah

terhadap uji provokasi hidung ini menunjukkan adanya kemungkinan mekanisme

refleks nasobronkial terhadap interaksi dari united airway disease.31

Page 43: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

43

gambar 11. Refleks Nasobronkial

4. Absorbsi sel mediator inflamasi pada sirkulasi

Provokasi hidung dengan metakolin pada pasien asma dan rhinitis

mengakibatkan peningkatan tahanan saluran napas bagian bawah, menunjukkan

peran mediator sistemik dalam induksi dari tahanan saluran napas bagian bawah.

Penelitian lebih lanjut pada hewan, pasien rhinitis alergika, asma dan penyakit

atopik lainnya menunjukkan peningkatan sirkulasi sel infllamasi setelah inhalasi

alergen. Corren dkk berpendapat bahwa hiperresponsivitas bronkial yang

berkepanjangan setelah provokasi alergen dapat dijelaskan akibat masuknya sel

mediator secara berkesinambungan yang mencapai saluran napas bagian bawah

melalui sirkulasi sistemik.28,29,30,31

IV. 4 Keterkaitan Imunopatologi

Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rhinitis alergi dan

asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator

yang akan menyebabkan gejala rhinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan

sel mast dan sel Th2 di saluran napas.3

Page 44: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

44

Keadaan tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti

histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan

menuju ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil. Eosinofil sirkulasi

masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami migrasi ke paru dengan

rolling (menggulir di endotel pembuluh darah daerah inflamasi), mengalami

aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan kemotaksis. Eosinofil berinteraksi dengan

selektin kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di

superfamili immunoglobulin protein adhesi yaitu vascular-cell adhesion

molecule(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1.33,34,35

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran

napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperi RANTES, eotaksin,

monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-

1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator

inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas.

Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi

saluran napas yang persisten.34,35

Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang

dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa

asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa

lebih banyak menderita rhinitis saja dibanding rhinitis dan asma masih belum

diketahui secara pasti.

Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting

baik pada asma maupun rhinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi

sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek

fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast

terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.

Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam merespons

inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam

menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan

bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rhinitis alergi

daripada asma.33,34,35,36

Page 45: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

45

Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi

melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.

Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas

beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinins. Hal

tersebut menyebabkan terjadi gejala rhinitis dan asma melalui pengaruh langsung

terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada

reseptor otot polos. Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast

dan akan menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.

Gejala pada saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea.

Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi,

hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan mengi. Gejala rhinitis

maupun asma yang timbul akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di

bawah.

tabel 3. pengaruh mediator terhadap gejala yang ditimbulkan

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen

disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons tipe

lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat diawali dengan

pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4, selanjutnya

terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 dan GM-

CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi

mengeluarkan berbagai growth faktor, enzim elastase dan metaloproteinase,

kemokin (RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya

Page 46: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

46

terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus. Eosinofil menghasilkan

mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin. Mediator lipid,

protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin mempunyai peran dalam

patogenesis asma fase lambat.

diagram 2.peranan eosinofil dalam proses alergi

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada saluran

napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian respons tipe

lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan oleh masuknya

sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan peningkatan

reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rhinitis alergi dan asma dapat

timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel

epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik

pada rhinitis maupun asma dimediasi oleh eosinofil.

Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah

masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan

berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses

sekresi eosinofil. Rangkaian utamanya adalah akibat melekatnya sel inflamasi

Page 47: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

47

pada endotel maupun protein matriks melalui matriks spesifik yang akan

menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotrien.

Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator

yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak

cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan

rhinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau

meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh darah

dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting

dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl

leukotrien pada receptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada

penderita rhinitis dan asma.33,34,35

Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan

refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti

apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau

anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi

bukan merupakan proses analog pada rhinitis alergi. Hal tersebut akibat dari

perbedaan respons end organ. Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator

lipid dan growth faktor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus,

menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik

yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein

(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf,

eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator

lipid.22 Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan

angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sintesis

protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6,

IL- 11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan

diferensiasi dan migrasi fibroblas. Transforming growth faktor (TGF)-β dan

fibroblast growth faktor (FGF)-2 mempunyai pengaruh langsung terhadap otot

polos saluran napas. Eosinofil menghasilkan angiogenic faktor yaitu VEGF dan

angiogenin. Sel endotel diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis faktor (TNF)-ά.

Aktivasi sel epitel, sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin

Page 48: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

48

derivat eosinofil yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά..22 35

Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru

adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.

Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin

tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat waktu

tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada saluran

napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen.36

Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal epithelial

shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih sering

terjadi daripada rhinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan zat yang

menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan sitokin

yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi pada saluran

napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih besar daripada

atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama. Perbedaan penting

lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos saluran napas merupakan sel

sekresi yang merupakan bagian dari proses autokrin. Saluran napas atas

mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat perbedaan gejala rhinitis alergi

dan asma. Otot polos saluran napas dapat menghasilkan RANTES, eotaksin, GM-

CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang bisa berperan dalam bronkokonstriksi

maupun bronkodilatasi. Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya

terpajan alergen dan iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan

mekanisme molekul efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan

efek patologis pada hidung dibandingkan pada paru. Jadi dapat disimpulkan

bahwa terdapat persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel

efektor dan mediator dalam patogenesis rhinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan

menyebabkan persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rhinitis alergi

dan asma.33,36

IV. 4 Keterkaitan Terapi 3,21,22,23,24,25,28,36,37

Rhinitis alergika dan asma memiliki patofisiologi yang sama dan respon

yang sebanding terhadap intervensi farmakologi dan imunologi. Pedoman ARIA

Page 49: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

49

menganjurkan untuk mengevaluasi rhinitis alergika pada penderita asma dan

sebaliknya mengevaluasi asma pada penderita rhinitis alergika. Pengobatan

rhinitis alergika yang agresif sejak dini mungkin dapat menurunkan insidensi dan

morbiditas dari asma.1,2,3

Medikasi yang paling sering digunakan untuk kedua

penyakit tersebut adalah kortikosteroid intranasal dan antihistamin. Namun, obat

antiinflamasi lain dengan efek sistemik telah diperkenalkan untuk tatalaksana

kedua penyakit. Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan gejala kedua

penyakit.

1. Kortikosteroid intranasal3,22,23,24,25,26,39

Kortikosteroid intranasal meliputi beklometason, flunisolid, budesonid,

flutikason, dan mometason sangat efektif dalam pengobatan rhinitis alergika.

Penelitian menunjukkan deposisi minimal dari kortikosteroid intranasal pada

paru-paru membatasi efek terapi dari kortikosteroid intranasal terserbut terhadap

saluran napas bagian bawah. Percobaan terapeutik terhadap pengobatan spesifik

dari rhinitis alergika ini bertujuan untuk menilai efek disfungsi hidung pada

penderita asma. Beberapa percobaan telah dilakukan untuk menilai efikasi dari

kortikosteroid intranasal terhadap pasien rhinitis alergika musiman dan perineal

terhadap saluran napas atas dan bawah.

Welsh dkk, membandingkan penggunaan flunisolid intranasal,

beklometason diproprionat, kromolin dan plasebo pada penderita ragweed hay

fever. Pada penelitian ini selain menilai gejala nasal, peneliti juga menilai gejala

paru pada subgrup kecil penderita yang menderita asma musiman. Hasil yang

didapat adalah perbaikan pada rhinitis terjadi pada penderita yang mendapatkan

pengobatan aktif (flunisolid intranasal, beklometason diproprionat, kromolin)

namun flunisolid intranasal dan beklometason diproprionat dilaporkan lebih

efektif dibandingkan kromolin. Selain itu, pada penderita yang mendapatkan

flunisolid intranasal dan beklometason diproprionat, gejala asma tereliminasi

dibandingkan pada penderita yang mendapatkan kromolin dan plasebo.

Pada penelitian ujicoba penggunaan budenosid intranasal selama 4 minggu

dengan fokus pasien dengan rhinitis alergika dan asma didapat perbaikan pada

sumbatan hidung yang kronik dan berkurangnya pernapasan mulut dimana dengan

Page 50: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

50

perubahan pada fungsi hidung ini gejala harian asma juga berkurang. Pada

penelitian lainnya yang membandingkan efek beklometason dipropriat intranasal

terhadap beklometason dipropriat oral pada reaktivitas saluran napas bawah dari

penderita rhinitis tanpa disertai asma setelah pengamatan selama 2 minggu. Dari

penelitian ini didapat hasil pemberian kortikosteroid intranasal memberikan

perbaikan pada hiperreaktivitas bronkus, sedangkan pemberian secara oral tidak

memberikan efek yang nyata.

2. Antihistamin25,26,28,38,39

Histamin merupakan salah satu mediator pencetus yang penting pada asma

alergi. Sebagai antagonis resptor H1, diketahui memiliki efek langsung pada paru.

Bukti menunjukkan bahwa obat-obatan ini bisa memberikan manfaat pada

pasien asma. Kita ketahui bahwa antihistamin merupakan pengobatan utama pada

rhinitis alergika. Beberapa percobaan klinis dengan menggunakan antihismatin

golongan 1 menunjukan berbagai macam perubahan pada gejala dan fungsi dari

saluran napas bawah. Penelitian yang dilakukan Grant JA dkk, selama 6 minggu

menilai efikasi cetrizin 10 mg/hari versus plasebo pada pasien dengan riwayat

rhinitis alergika dan asma didapat bahwa cetirizine menunjukkan perbaikan pada

gejala rhinitis dan gejala asma.

Penelitian yang dilakukan Corren dkk mengenai evaluasi efek loratadin

dan pseudoefedrin pada 184 pasein dengan rhinitis alergika dan asma ringan

selama 6 minggu, menyimpulkan bahwa pada pasien yang mendapatkan loratadin

dan pseudoefdrin memiliki skor gejala yang lebih rendah dibandingkan penderita

yang mendapatkan plasebo.

Sebuah penelitian yang mengamati pemberian terfenadin menunjukkan

bahwa obat tersebut dapat mengurangi gejala asma serta kebutuhan bronkodilator

dan sedikit memperbaiki fungsi paru. Namun penelitian ini memerlukan dosis dari

terfenadin yang besar yaitu 240-540 mg sehari dibandingkan dengan penelitian

lain yang melaporkan bahwa pemberian cetirizin 15-20 mg sehari dapat

mengurangi gejala rhinitis dan asma.

Page 51: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

51

3. Antileukotrien

Leukotrien memainkan peran penting dalam saluran napas atas dan bawah

Sejumlah obat antileukotrien, termasuk montelukast, zafirlukast, dan zileuton

telah diteliti efikasinya dalam mengatasi gejala asma. Namun hanya montelukast

yang diteliti pada penderita asma dan rhinitis alergika. Pada penelitian yang

melibatkan 831 penderita yang berusia 15 sampai 85 tahun dengan penggunaan

montelukast 10 mg/hari memperbaiki gejala nasal dan bronchial dan menurunkan

penggunaan obat beta agonis. Pada penelitian ini penderita secara acak diberi

montelukast oral 10 mg (n=415) attau plasebo (n=416) selama 2 minggu.

Sebuah penelitian oleh Wilson dkk, yang membandingkan efek

pengobatan dengan antagonis reseptor leukotrien ditambah antihistamin oral

dengan kotrikosterroid intranasal dan inhaler untuk pasien dengan rhinitis alergika

dan asma. Kedua rejimen kombinasi memperbaiki penilaian gejala asma dan

fungsi paru serta mengurangi pemakaian inhaler Temuan dari studi ini

memperkuat hubungan antara alergi rhinitis dan asma

gambar 12. LTRAs pada konsep united airway disease

4. Terapi anti IgE

Pemakaian terapi anti-IgE antibodi efektif mengurangi kadar IgE serum

terlepas dari kekhususan alergen. Pengobatan ini telah berhasil diuji pada pasien

Page 52: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

52

rhinitis alergi, asma dan alergi makanan, dimana terapi ini menunjukkan

keberhasilan signifikan dalam mengurangi gejala. Akan tetapi terapi Anti-LGE

dibatasi oleh biaya tinggi dan kebutuhan untuk setiap musimnya. Anti-IgE bukan

pendekatan kuratif karena tidak bertujuan untuk menghambat fase induksi dari

reaksi alergi.

Omalizumab merupakan suatu antibodi anti IgE monoklonal yang

memiliki manfaat klinis pada pasien rhinitis alergika. Pada suatu penilitian

terhadap 405 pasien dengan rhinitis alergika dan asma menunjukkan bahwa

omalizumab memperbaiki gejala nasal dan bronkial. Namun diantara pasien yang

diberi omalizumab 20,6% mengalami eksaserbasi asma.

Page 53: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

53

BAB V

RINGKASAN

Rhinitis alergi dan asma seringkali muncul bersamaan pada satu penderita

dan kedua penyakit ini sering disimpulkan berbagi faktor predisposisi genetik

yang sama dimana faktor genetik ini saling berinteraksi dengan lingkungan.

Namun, hingga saat ini rhinitis alergi dan asma bronkial masih dievaluasi dan

diterapi sebagai penyakit yang terpisah. 1,2,3

Hipotesis atau konsep dari united airway disease mengemukakan bahwa

setiap penyakit yang mempengaruhi saluran napas atas mempunyai

kecenderungan untuk mempengaruhi saluran napas bawah dan demikian juga

sebaliknya. Penyakit-penyakit yang bermanifestasi pada saluran napas atas dan

bawah mungkin saling terkait melalui respon inflamasi sistemik. Selain itu,

keterkaitan antara rhinitis alergi dan asma didukung oleh berbagai penelitian

epidemiologi dan juga karakteristik anantomi, histologi, fisiologi, imunopatologi

dan juga dalam kaitan tatalaksananya dimana adanya efek yang postif dalam

terapi terhadap gejala asma pada pasien rhinitis alergi.1,3

Penelitian – penelitian epidemiologi secara konsisten menunjukkan bahwa

rhinitis alergi dan asma sering muncul bersamaan pada satu penderita. Hasil dari

penelitian bervariasi berdasarkan wilayah yang ada, dan metode dan perangkat

penelitian yang dilakukan. Secara garis besar dilaporkan bahwa gejala nasal

ditemukan pada 28% - 78% pasien asma dibandingkan pada populasi umum yang

mencapai 20% pada seluruh populasi. Demikian juga dengan data yang

menunjukkan bahwa 19% - 78% pasien dengan rhinitis alergi akan terpapar

asma, jauh lebih tinggi dari dibandingkan populasi umum yang berkisar 3% - 8%

yang akan terpapar asma. 3,21,22

Walaupun dari hidung hingga ke alveoli anatominya berbeda, namun

berdasarkan fungsinya kedua organ ini merupakan suatu kesatuan. Sebagai

saluran napas terdepan, hidung memiliki fungsi menghangatkan, melembabkan

dan menyaring udara. Fungsi menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara

Page 54: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

54

ini pada dasarnya untuk melindungi saluran napas bagian bawah terhadap

pengaruh udara dingin, kering, maupun udara kotor karena polusi. Bila hidung

tidak berfungsi dengan baik maka saluran napas bagian bawah akan terkena

dampaknya. 1,2,3

Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rhinitis alergi dan

asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator

yang akan menyebabkan gejala rhinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan

sel mast dan sel Th2 di saluran napas.

Pedoman ARIA menganjurkan untuk mengevaluasi rhinitis alergika pada

penderita asma dan sebaliknya mengevaluasi asma pada penderita rhinitis

alergika. Pengobatan rhinitis alergika yang agresif sejak dini mungkin dapat

menurunkan insidensi dan morbiditas dari asma. Medikasi yang paling sering

digunakan untuk kedua penyakit tersebut adalah kortikosteroid intranasal dan

antihistamin. Namun, obat antiinflamasi lain dengan efek sistemik telah

diperkenalkan untuk tatalaksana kedua penyakit. Tujuan pengobatan adalah untuk

mengendalikan gejala kedua penyakit.

Page 55: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

55

DAFTAR PUSTAKA

1. Judarwanto W. United Airway Disease: Keterkaitan Penyakit Rhinits

dan Asma pada Anak. Available from

www.childrenclinic.wordpress.com. accesed 26 September 2011.

2. Sundaru Heru. Rhinitis Alergika – Asma Saling Berhubungan. Dalam :

Ethical Digest No 86 Thn IX, April 2011.21-23

3. Bergeron C. et al. Relationship between Asthma and Rhinitis:

Epidemiologic, Pathophysiologic, and Therapeutic Aspects: A Review

Article. Alergy, Asthma and Clinical Immunology volume 1, Number 2,

Spring 2005.

4. Nina Irawati,dkk. Rinitis Alergika. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke 6 cetakan ke 2. Balai

Penerbit FK UI. 2007. hlm128-132

5. Munasir Zakiudin, Martani Widjayanti Rakun. Rinitis Alergik. Dalam:

Buku Ajar Alergi Imunologi Anak, edisi kedua, penyunting: Arwin AP

Akib, dkk, Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2007 hlm 245-251

6. J Basquet et al. Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma (ARIA) 2008

Update (in collaboration with the world Health Orgqniztion, GA2LEN* and

AllerGen. Journal compilation. Blackwell Munksgaard. 2008

7. Skonner DP. Allergic Rhinitis: definition, epidemiology, pathphysiology,

detection and diagnosis. J. Allergy Clin. Immunol 2001.

8. Van Cauwenberge et al. Consensus Statement on The Treatment of Allergic

Rhinitis. Dalam: European Academy of Allergology and Clinnical

Immunology. 2000 hlm 116-129

9. Bush, Robert K, et al. Allergic Rhinitis: Today’s Approach on Treatment of

Allergc Rhinitis. Dalam: Handbook of Asthma and Rhinitis. Blackwell

Science Ltd. England. hlm 116-129

10. Cantani, Arnaldo. Allergic Rhinitis. Dalam: Pediatric Alergy, Asthma, and

Immunology. Springer, Berlin. 2011. pg 899-929

11. Gentle, Deborah A. Allergic Rhinitis. Dalam Pediatric Allergy: Principles

and Practice. Edisi kedua. 2010 hlm 291-298

12. Harsono, Ariyanto dan Anang Endaryanto. Rinitis Alergika Diunduh dari;

www. pediatrik.com. Oktober 2011.

13. Ledfard, Dennis K. Allergic Rhinitis. Dalam: Allergic Disease: Diagnosis

and Treatment. Edisi kedua. Penyunting: Phil Liebermen dan John

Andersen. Hamara Press. New Jersey. 2007

14. Kartasasmita, Cissy B, dkk. Asma. Dalam: Buku Ajar Respirologi Anak.

Edisi Pertama. Penyunting: Nastiti N Rahajoe, dkk. Ikatan Dokter Anak

Indonesia. 2008

15. Cantani, Arnaldo. Asthma. Dalam: Pediatric Alergy, Asthma, and

Immunology. Springer, Berlin. 2011. hlm 750-853

16. Bush, Robert K. Asthma. Dalam: Handbook of Asthma and Rhinitis.

Blackwell Science Ltd. England.

17. Sundaru, Heru. Epidemiology of Asthma in Indonesia. Dalam: Ach Med

Indonesia I Intern Med. vol 37. Januari-Maret 2009

Page 56: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

56

18. Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman

Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI. 2009

19. Gershan, M Eric, et. al. Bronchial Asthma: Principle of Diagnostic and

Treatment. Edisi keempat. Humana Press. New Jersey. 2001

20. Lahiri, Keya R. Bronchial Asthma in Children: A Clinical Diagnsotic and

Management Primer. Edisi pertama. Jaypee Publ. New Delhi. 2003

21. Bousquet, J. et al. Links Between Rhinitis and Asthma: A Review Article.

Blackwell Munksgaard. 2003

22. Togias, A. Rhinitis and Asthma: Evidence for respiratory system

integration. Dalam Journal Allergy Clinnical Immunology. June 2003.

23. Simons, F.E.R. Alleric rhinobronchitis: The asthma-allergic rhinitis link.

Dalam The Journal of Allergy and Cclinnical Immunology. Vol 104.

September 1999.

24. Meltzer, eli O, et.al. Allergic Rhinitis, Asthma, and Rhinosinusitis: Diseases

of the Integrated Airway: Subjec Review. Dalam: Journal of Managed care

Pharmacy. Vol 10 No 4. July-August 2004.

25. Braunsthal, Gert J and Peter W Hellings. Allergic Rhinitis and Asthma: the

link further unraveled. Dalam; Current Opinion in Pulmonary Medicine.

Lippincott Wiliiams and Wilkins. 2003.

26. Leynaert, Benedicte, et.al. Epidemiologic evidence for asthma and rhinitis

comorbidity. Journal of Allergy and Clinnical Immunology vol 106 no 5.

November 2000.

27. Maesano, J Annesi. Epidemiological evidence of the occurrence of rhinitis

and sinusitis in asthmatics. Allerry 1999, 54. Suppl 57, 7-13.

28. Corren, Jonathan. The Impact of Allergic Rhinitis on Bronchial Asthma.

Journal of Allergy and Clinnical Immunology. 1998

29. Jing Li, et al. Medical progress: Link between allergic rhinitis and asthma.

Dalam: Chinesse Medical Journal. 2006

30. Togias, A. Mechanism of nose-lung interaction. Allergy 1999, 54. Suppl 57,

94-105.

31. Braunsthal, Gert J. Nasobronchial interaction in allergic rhinitis and asthma.

2001

32. Riccioni G, Della Vecchia R, Castronuovo M, Di Pietro V, Spoltore R, De

Benedictis M, et al. Bronchial hyperresponsiveness in adults with seasonal

and perennial rhinitis: is there a link for asthma and rhinitis? Int J

Immunopathol Pharmacol 2002; 15: 69-74

33. Alan R, David M, Jeffrey MD, Klause FR, Stephen PP, Robert MN, et al.

Immunobiology of Asthma and rhinitis: patoghenic factors and therapeutic

options. Am J Respir Crit Care Med 1999: 160: 1778-87

34. Busse WW, Lemanske RF. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001;

344: 350-62.

35. Kroegel C, Virchow JC, Luttmann W, Walker C, Warner JA. Pulmonary

immune cells in health and disease: the eosinophil leukocyte. Eur Respir J

1998; 7: 519–43.

36. John M S, Hirst J, Jose PJ, Robichaud A, Berkman N, Witt C, Twort HC et

al. Human airwaysmooth muscle cells express and release RANTES in

Page 57: Sari Pustaka -United Airway Disease-.pdf

57

response to Thelper 1 cytokines:regulation by T helper 2 cytokines and

corticosteroids. J Immunol 1999; 158:1841–7.

37. Karnen GB. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI, 2006

38. Pawankar, Ruby. Allergic Rhinitis and Asthma: from the Link to Emerging

Therapies, a review article. Dalam: The Indian Journal of Chest Diseases &

Allied Sciences vol 45. 2003

39. Durham, S.R. Effect of intranasal corticosteroid treatment on asthma in

children and adults. Allergy 1999,54. Suppl.57, 124-131.