salib ngrengkuh kawula tuwin panjenengan · motto vii abstrak vii daftar isi viii pendahuluan 1 ......
TRANSCRIPT
Salib Ngrengkuh Kawula tuwin Panjenengan
(Menilik Keberpusatan Salib dalam Kekristenan sebagai simbol Kesetaraan
Agama-Agama menurut pandangan Choan-Seng Song)
Oleh
Puthut Ageng Bagaskara
712014068
Tugas Akhir
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi
Guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
Teologi
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga,
2019
i
ii
iii
iv
v
Kata Pengantar
Gereja pada umumnya menempatkan salib sebagai salah satu bagian
dalam arsitektur bangunannya. Salib seringkali juga dijadikan sebagai salah satu
hiasan dinding pada bangunan rumah umat Kristen. Salib sering terlihat pada
bangunan milik institusi Yayasan Kekristenan bahkan hiasan tubuh bagi
seseorang yang beragama Kristen. Menjadi cukup menarik ketika muncul
pemahaman bahwa salib sekadar menjadi identitas Kekristenan, tanpa mendalami
lebih lanjut kekayaan makna di dalamnya.
Atas rampungnya tugas akhir ini maka puji syukur senantiasa layak
penulis haturkan bagi Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab melalui refleksi, penulis
percaya tanpa penyertaan-Nya bahwa tugas akhir ini tidak akan terselesaikan.
Akan tetapi penulis juga percaya bahwa penyelesaian tugas akhir ini dapat
terwujud berkat bantuan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan
terimakasih terima kasih dan hormat kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung sehingga tugas akhir ini boleh terselesaikan. Untuk orang tua
yang rela berjuang keras demi kebahagiaan yang saat ini penulis rasakan, kepada
merekalah terima kasih dan hormat terbesar penulis berikan. Ungkapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Pdt. Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo
sebagai pembimbing pertama. Penulis mengucapkan terimakasih atas nilai-nilai
kesabaran berproses yang penulis dapatkan dari beliau. Satu pesan beliau yang
selalu penulis ingat adalah nilai akademik dalam bidang teologi tidak selalu
berjalan sejajar dan sama dengan nilai pelayanan di lapangan. Melalui pernyataan
tersebut penulis semakin mendapatkan dorongan untuk terus berproses dalam
berbagai macam keadaan. Penulis juga menghaturkan terima kasih yang sangat
besar kepada Pdt. Simon Julianto M.Si sebagai pembimbing beliau. Motivasi, dan
nilai-nilai di dalam dinamika proses yang beliau sampaikan akan selalu penulis
pegang dalam proses kehidupan mendatang. Kepada Rizkiana Ika Raharjo yang
selalu menghasilkan semangat baru bagi penulis selama proses kuliah hingga
masa penyelesaian penulisan tugas akhir, penulis berharap bahwa semangat itu
juga terus memancar dalam proses-proses yang akan datang. Penulis juga percaya
bahwa setiap pertemuan selama proses kuliah telah melahirkan banyak refleksi
vi
dan penguatan bagi penulis dalam menjalani hari di Kota Salatiga. Kepada tim
Radak Anu: Krisarlangga Rio dan Jonathan Dea Kris Utomo, penulis berharap
bahwa dorongan untuk saling menguatkan akan terus tertuang dalam pengamalan
yang belum dinyatakan. Terkhusus bagi Ricko Danta Simanjorang, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas pengertian bahwa tidak selamanya
pemikiran miring menghasilkan dampak yang buruk, bahkan terkadang
sebaliknya yaitu mampu memberikan pengertian baru yang cukup berkontribusi
penting dalam kepelbagaian dinamika proses. Kepada segenap rekan di Fakultas
Teologi, ucapan terimakasih juga senantiasa layak penulis haturkan atas proses
bersama yang telah berjalan.
Semoga tulisan ini berguna bagi mereka yang membacanya. Kritik dan
saran dari pembaca tulisan ini sangat penulis harapkan guna perbaikan kualitas
penulisan. Tuhan kiranya menyertai kita.
Salatiga, 21 Agustus 2019
vii
Motto
“NGELI NANGING ORA KELI”
terj. Bahasa Indonesia: Menghanyut tapi tidak terhanyut
viii
Abstrak
Kekristenan pada umumnya membingkai salib sebagai simbol perwujudan
kasih Allah bagi ciptaan. Salib bahkan menjadi simbol Kekristenan paling kuat
pada saat ini. Salib sebagai simbol sudah selalu membawa ingatan pada peristiwa
tertentu. Melalui salib, perwujudan kasih Allah dihayati melalui kehidupan dan
karya pelayanan Yesus. Yesus turut hadir dalam dinamika kehidupan sosial,
bahkan menjauhkan diri-Nya dari pengenalan diri sebagai kalangan elit zaman
tersebut. Pemaknaan puncak karya pelayanan Yesus tertuang di dalam narasi
penyaliban-Nya di Golgota. Namun demikian, Yesus sebagai manusia yang
disalibkan sering kali kehilangan identitas kemanusiaan-Nya. Yesus sering
disebutkan sebagai sosok superior di antara manusia biasa. Pengenalan Yesus
sebagai manusia semestinya menjadi pijakan terkuat untuk mengenali kasih Allah
melalui solidaritas yang dilakukan-Nya.
Peristiwa salib dan narasi Yesus yang menderita memperoleh tempat
istimewa di dalam sejarah keselamatan yang diciptakan oleh Kekristenan dan
Gereja. Gereja sebagai institusi Kekristenan kemudian berupaya merumuskan
pengajarannya melalui narasi tersebut. Menjadi cukup bertentangan, ketika salib
yang juga menyimpan makna pelayanan Yesus memiliki nilai setara dan terbuka
bagi siapa pun, sementara Gereja pada umumnya menciptakan desain narasi salib
yang bersifat superior pada dirinya sendiri dan tertutup. Penelitian ini berupaya
menemukan kembali makna kesetaraan pada salib sebagai simbol Kekristenan
melalui model penelitian pustaka atas pandangan teologi yang dibangun oleh
Choan-Seng Song dalam karya-karyanya. Nilai kesetaraan yang terkandung di
dalam pemaknaan salib merupakan salah satu pandangan yang ditawarkan bagi
Kekristenan di Indonesia khususnya, dalam menghadapi kemajemukan yang ada
di lingkungannya.
Kata Kunci : Salib, Kristus, Gereja, Agama-Agama
ix
Daftar Isi
Cover
Lembar Pengesahan I
Pernyataan Tidak Plagiat Ii
Persetujuan Akses Iii
Persetujuan Publikasi Iv
Kata Pengantar V
Motto Vii
Abstrak Vii
Daftar Isi Viii
Pendahuluan 1
Salib bukan sekadar Lambang 7
Perjalanan Pemaknaan Salib 9
Hierarki dan Kesetaraan 13
Biografi Choan-Seng Song 16
Salib dan Kesetaraan 17
Makna Kesetaraan dalam Simbol Salib bagi Kehidupan Kekristenan
Indonesia
21
Kesimpulan 24
Daftar Pustaka 26
1
Pendahuluan
Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti
diungkapkan dengan memakai simbol. Simbol merupakan sebuah pusat perhatian
yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama.
Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-
simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.1 Simbol
menghantar menuju sebuah pemaknaan atau keberadaan entitas tertentu.
Pengujian atas keberhasilan sebuah simbol dapat dilihat ketika simbol itu mampu
memberikan terang atas makna yang menyertainya. Simbol hadir sebagai sebuah
tampilan sederhana yang mengandung kompleksitas makna.
“Every religion and ideology has its visual symbol, which illustrates a
significant feature of its history or beliefs.”2 Kehadiran simbol juga ditampilkan
untuk menerangkan kompleksitas ajaran agama, sebagai contoh beberapa agama
yang ada di Asia. Agama Buddha menempatkan bunga teratai sebagai salah satu
simbol agamanya. Pemaknaan ajaran Buddha dikaitkan pada bentuk roda yang
terdapat di dalam bunga teratai untuk menggambarkan siklus antara kelahiran dan
kematian. Agama Islam yang disimbolkan dengan bulan sabit, paling kurang di
Asia Barat, hendak menggambarkan tahap dari perubahan bulan. Bulan sabit
sebelumnya dimaknai oleh bangsa Yunani sebagai bangsa pagan yang berhasil
menaklukkan Byzantium karena penyertaan Dewi Artemis. Sebaliknya, agama
Yahudi kuno justru menghindari pembuatan simbol, karena khawatir dapat
melanggar perintah kedua yang melarang pembuatan patung atau berhala.3 Simbol
hadir dengan berjuang mempertahankan kualitasnya, di tengah kelanjutan proses
pemikiran dan pemaknaan ajaran agama khususnya.
“When archeologist dig up a place of worship in the desert sand and find
in it the sign of the cross, they can be virtually certain that it is a Christian
church. Today, too, we find the cross in Christian churches as the central
1 F. W. Dilistone, Daya Kekuatan Simbol, ed. A. Widyamartaya (Yogyakarta: Kanisius,
2002), 15. 2 John Stott, The Cross of Christ (Leicester: Inter-Varsity, 1986), 19. 3 Agama-agama berusaha merumuskan satu simbol yang berguna untuk menyampaikan
isi ajaran mereka. Beragam proses, diskusi, bahkan kesulitan dilalui untuk merumuskannya. Maka
perlu disadari bahwa terwujudnya suatu simbol dalam agama khususnya, membawa pula berbagai
proses dan pemikiran yang melahirkannya. Lih. Stott, Cross of Christ, 19-20.
2
symbol”4. Rupanya agama Kristen juga dinilai sebagai salah satu pengguna
simbol. Agama Kristen tampil dengan simbol yang begitu erat dengan
pengajarannya, yaitu salib. Gereja pada umumnya bahkan mengajarkan model-
model kesetiaan pada Kristus dengan menyorot kembali proses perjalanan menuju
salib. Pengajaran gereja pada umumnya yang melibatkan pemaknaan salib, mau
tidak mau membuatnya semakin sulit dilepaskan dari kehidupan pengikut Agama
Kristen.5 Seolah pengikut agama Kristen di sepanjang masa turut merasakan dan
mengalami kejadian salib Yesus di Golgota. Hal inilah yang kemudian
melahirkan beragam refleksi salib, mengingat kepelbagaian latar belakang
penganut Agama Kristen.
Salib merupakan salah satu simbol yang muncul dan menjadi identitas
agama Kristen. Beberapa simbol lain yang muncul dalam perjalanan agama
Kristen misalnya, burung merak, burung merpati, palem kemenangan, dan ikan.
Proses perumusan simbol dalam agama Kristen membutuhkan waktu panjang.6
Refleksi atas makna dari setiap simbol yang dimunculkan terus bergulir. Namun,
salib tampil sebagai simbol yang paling kuat hingga saat ini. Hal ini juga
dipengaruhi karena keberpusatan salib mengarah pada diri Yesus sendiri. Hal ini
merupakan suatu bentuk kesetiaan pada Yesus, yaitu bahwa para pengikutnya
berpegang teguh pada simbol kehadiran-Nya7.
Salib memiliki kekayaan makna yang dilahirkan oleh proses pergumulan
para teolog di sepanjang masa. Salah satu pemaknaan mengkaitkan dengan bentuk
salib, yaitu bahwa salib terdiri dari dua buah garis. Garis vertikal yang menunjuk
ke arah atas, yaitu kepada Allah; artinya, kita harus membangun relasi yang baik
dengan Allah. Garis mendatar, garis horizontal berarti setiap orang Kristen harus
membangun hubungan yang baik dengan lingkungan hidupnya, dengan sesama
manusia. Rasul Paulus menghimbau agar semua orang Kristen yang percaya
4 Jurgen Moltmann, The Crucified God, (San Francisco: SCM Press LTD, 1991), 32. 5 Gereja-gereja perlu menghadirkan diri dalam pergumulan lingkungannya. Gereja perlu
menjadi gereja salib, dimana gereja tidak menjadi gereja masochis yang menikmati keindahan
salib, melainkan sebaliknya gereja ikut serta bergumul dalam penderitaan, kesengsaraan,
kerinduan dan pengharapan dari sesamanya. Lih. Mariani Febriana, “Teologia Salib Martin Luther
dan Implikasinya Dalam Dunia Masa Kini,” Jurnal Theologia Aletheia 12, no. 21 (September
2010): 53. 6 Stott, Cross of Christ, 20. 7 Yesus mencontohkan pola kehidupan-Nya, yaitu berjalan dalam kesetiakawanan dengan
kaum miskin, dengan para perantau dan pengungsi, sehingga di dalam diri orang-orang ini kita
dapat menemukan wajah Yesus. Lih. Michael Heinz, Jalan Salib (Flores: Ledalero, 2006), 6.
3
kepada Yesus merendahkan diri, supaya sehati sepikir, dan seperasaan satu dalam
kasih (Flp. 2:1-2).8 Masalah yang umumnya muncul adalah kekayaan makna pada
salib kurang mendapatkan perhatian, sehingga salib sekadar menjadi hiasan ruang
tanpa makna.
“Yesus yang historis ini, kata Chakkarai, adalah Avatar ilahi bagi kita.”9
Allah yang Maha Tinggi, yang melampaui kehidupan duniawi rela merendahkan
diri-Nya, menjelma menjadi manusia dalam kesetaraan dan berkarya di
dalamnya. Pengurbanan Yesus sudah selalu mengandung nilai kesetaraan yang
seharusnya juga ikut diteladani oleh pengikut agama Kristen sebagai umat yang
meneladani Yesus. Efesus 2:16 menuliskan “dan untuk memperdamaikan
keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan
perseteruan pada salib itu” (TB). Bagaimanapun salib dalam kehidupan Israel
telah mengkaryakan perdamaian antara Yahudi dan Yunani, bahkan mendekatkan
pihak yang semula jauh dari keselamatan, yang pada mulanya hanya ditempatkan
pada bangsa Israel.10
Perkembangan komunitas Kristen yang dianggap berawal dari dunia Barat
hingga meluas ke Afrika dan Asia pada abad XIX telah “mengKristenkan” pihak-
pihak yang belum berada dalam kelompok agama Kristen. Misi yang sedemikian
oleh Song dipandang memiliki tujuan untuk mengendalikan, mengubah, dan
mengasingkan orang-orang Kristen baru tersebut dari akar budaya mereka.11 Asia
menyimpan kekayaan agama dan budaya, ketika misi “pengKristenan” tersebut
menghampirinya. Sangat ironis ketika sang tamu justru bersikap eksklusif dan
8 Budi Raharjo, et al., Makna Keselamatan Dalam Perspektif Agama-Agama, rev.ed.
Ignatius Loyola Madya Utama, SJ. (Yogyakarta: Universitas Sanata Darma, 2014), 62. 9 Dr. A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, ed. Stephen Suleeman (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009), 74. 10 Suatu rahasia, yang tersembunyi sejak awal, yaitu bahwa Allah menginginkan
penebusan seluruh umat manusia, Yahudi dan bukan Yahudi, melalui iman pribadi dalam
penebusan dosa dari Mesias. Lih. Bob Utley, “Paulus Terbelenggu: Injil Tak Terbelenggu,”
Kumpulan Komentari Belajar Perjanjian Baru 8, no. 47 (Juni 1996): 118. 11 Menyebut nama Yesus Kristus – inilah misi Kristen. Sejarah menunjukkan betapa
besarnya kuasa menyebut nama Kristus ini Kuasa ini telah “mengKristenkan’ dunia Barat dan
melahirkan peradaban “Kristen”. Dan pada abad XIX, dunia melihat perluasan kuasa ini ke Afrika
dan Asia. Kuasa ini pada hakikatnya telah mengubah ruang lingkup kehidupan kita. Ia telah
mengubah bentuk masyarakat, ia telah menghilangkan sifat alam dan jiwa alam semesta. Lih. C. S.
Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 6-7.
4
menuntut sang tuan rumah untuk meninggalkan kebiasaan yang telah lama
dijalani. 12
Asia adalah bunda yang dari rahimnya lahir semua agama berkitab suci di
dunia.13 Kekristenan juga merupakan salah satu agama yang lahir di Asia, namun
diasuh oleh dunia barat, dan seolah pulang ke rumah dengan membawa model
kesalehan baru dan menyingkirkan kesalehan yang telah tertanam dalam rahim
Asia. Inilah masalah yang dihadapi Kekristenan ketika kembali memasuki
kehidupan di Asia.
Agama Kristen datang ke Asia dengan sebuah proklamasi yang
mengejutkan tentang Kristus sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan.
Namun dalam Konferensi Kristen Asia di Sri Langka tahun 1965 para pemimpin
Kristen Asia menyatakan bahwa kebenaran dan keselamatan Kristus juga
dinyatakan dalam budaya Asia, agama yang ada di dalamnya, dan juga
keterlibatan rakyat Asia dalam revolusi.14 Hal ini didukung oleh tulisan Deutro
Yesaya yang telah mengambil langkah berani dari sentrisme Israel ke pandangan
yang jauh lebih luas tentang bangsa-bangsa.
Teologi atau refleksi Kristen tentang Allah memang harus bertolak dari
satu keyakinan religius (agama) tertentu, tetapi ia akan jatuh dalam bahaya
mengkarikaturkan Allah jika Allah diklaim hanya sebagai milik dari agama
tertentu.15 Kekristenan pada umumnya seolah memandang agama-agama non-
Kristen secara negatif, bahkan berusaha merendahkannya. Choan-Seng Song
merupakan tokoh yang dipandang oleh penulis telah berusaha memperlihatkan
bahwa penilaian negatif itu sesungguhnya lebih merupakan arogansi filosofi dan
kebudayaan Barat. Agama-agama bukanlah sekadar faktor-faktor kebetulan dalam
sejarah sehingga dapat dibuang semau-maunya.16
“Salib Ngrengkuh Kawula tuwin Panjenengan” jika diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia memiliki arti “Salib Merengkuh Aku dan Engkau”. Judul ini
12 Song, Sebutkanlah Nama, 7. 13 Douglas J. Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 262. 14 Ebenhaizer I. Nuban Timo, “Pencarian Kesaksian Kristen yang Relevan di Asia,”
Jurnal Ledalero 12, no. 2 (Desember 2013), 289. 15 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, (Salatiga: Satya Wacana University
Press, 2013), 123. 16 Choan Seng Song, Allah yang Turut Menderita. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012),
71.
5
sengaja menggunakan bahasa Jawa, mengingat kosakata dalam bahasa Indonesia
memiliki keterbatasan makna. Kata “aku” dalam bahasa Jawa halus dapat
diartikan sebagai “kula” dan “kawula”. Kata “kawula” menjadi kata yang dirasa
lebih tepat untuk masuk dalam judul ini mengingat artinya yang bukan sekadar
“aku”. Kata “kawula” memiliki arti “hamba; saya (dalam tingkat lebih rendah)”.
Sementara kata “panjengan” yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti
“engkau”, memiliki makna etis yang lebih tinggi karena mendapatkan suatu
penghargaan lebih. Istilah “tuwin” sebagai kata penghubung antara “kawula” dan
“panjengan” ternyata tidak dapat diterjemahkan begitu saja dengan istilah “dan”.
Istilah tuwin sesungguhnya hendak menunjukkan bahwa “kawula” dan
“panjengan” merupakan satu kesatuan yang terikat.
Kamus Bahasa Jawa terbitan Duta Wacana University Press
menerjemahkan “ngrengkuh” dalam bentuk kata kerja “narik menyang
dhadhane”. Sementara dalam bahasa Indonesia, “ngrengkuh” diterjemahkan
menjadi “merengkuh”. Arti kata ini menurut KBBI adalah menarik (mendekatkan,
meraih) arah ke dada (tubuh): ia ~ kepala anak itu, lalu didekapnya; menjadikan
(menganggap) sebagai: dia ~ anak itu seperti anak sendiri. Merengkuh dalam
terjemahan bebas juga dapat diartikan menarik seseorang yang telah jatuh dan
tidak dapat berdiri kembali, mengangkat, dan memeluk atau merangkulnya. Dapat
diterjemahkan pula bahwa melalui gestur tubuh yang sedemikian, terjalin
hubungan emosional antara si perengkuh dengan yang direngkuh.
Jadi pengertian dari judul “Salib Ngrengkuh Kawula tuwin Panjenengan”
adalah Salib menarik aku (hamba) dan engkau (tuan) ke dadanya dalam ikatan
emosional, dimana aku dan engkau juga merupakan satu kesatuan walaupun
dinyatakan dengan identitas yang berbeda. Judul ini hendak menegaskan adanya
suatu sistem kelas dalam masyarakat, dimana Kekristenan juga terlibat
didalamnya. Hal ini sangat menjadi sorotan mengingat gereja dan Kekristenan
pada umumnya tampil dengan eksklusifitas diri di tengah keberadaan budaya dan
agama di sekitarnya.
Rumusan masalah yang coba diketengahkan, yaitu: Apa relevansi makna
kesetaraan dalam Kekristenan yang disimbolkan dengan salib menurut Choan
Seng Song dengan kehidupan Kekristenan Indonesia?
6
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah: Menjelaskan makna
kesetaraan dalam Kekristenan yang disimbolkan dengan salib menurut Choan
Seng Song dengan kehidupan Kekristenan Indonesia.
Penulis mencoba menggunakan pemikiran Choan-Seng Song, mengingat
perannya sebagai seorang teolog yang mencoba merekonstruksi kembali teologi
barat dalam perspektif keberagaman budaya dan agama-agama Asia. Song
mengkritik Kekristenan yang sesungguhnya berasal dari rahim Asia dan
dibesarkan oleh dunia barat justru kembali ke Asia seolah dengan peran sebagai
tamu yang hendak menyingkirkan budaya-budaya yang sudah terkandung di Asia.
Ia kemudian melihat kemungkinan-kemungkinan munculnya pembedaan dan
tingkatan yang tegas antara Kekristenan sebagai ajaran yang benar dan agama
serta budaya Asia sebagai ajaran yang keliru bahkan perlu ditundukkan dan
disingkirkan. Song berusaha menyerakkan tingkatan tersebut dan berusaha
merumuskan nilai kesetaraan diantara agama-agama dan berbagai identitas lain
yang sesungguhnya juga terkandung dalam ajaran Kekristenan. Salib sebagai
simbol ajaran Kekrtistenan telah berupaya merengkuh agama dan budaya Asia
yang dianggap lebih rendah bersama ajaran Kekristenan yang diaggap lebih tinggi
dalam satu kesatuan karya Allah di tengah-tengah kehidupan bersama.
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode diantaranya:
a. Penelitian
Penulisan jurnal ini menggunakan penelitian kepustakaan (library
research), yaitu menelaah buku-buku pustaka terkait pemikiran Choan Seng
Song secara langsung.
b. Metode
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Metode deskriptif yakni seluruh data penelitian yang terkumpul, kemudian
disusun dalam bentuk paparan yang bersifat deskriptif.
Penulis berharap tulisan ini pada akhirnya dapat digunakan guna
pengembangan ilmu teologi dalam bidang simbol dan kontekstual bagi Fakultas
Teologi UKSW secara khusus dan dunia teologi di Indonesia pada umumnya.
Selain itu juga melalui penelitian terhadap makna salib dalam sudut pandang
kesetaraan agama-agama, penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan
7
sumbangsih gagasan bagi kehidupan Kekristenan masa kini ditengah budaya-
budaya yang ada di sekitarnya, khususnya di Indonesia sebagai bagian dari Asia.
Sistematika penulisan dalam kajian ini akan dibagi menjadi lima bagian.
Pada bagian pertama berisikan pendahuluan. Bagian kedua dari tulisan ini akan
membahas tentang teori simbol, teori kesetaraan, dan model-model pemaknaan
salib. Selanjutnya pada bagian ketiga memuat pemikiran-pemikiran Choan Seng
Song dalam kerangka kesetaraan agama-agama dalam ajaran Kekristenan yang
disimbolkan melalui salib. Bagian keempat berisi mengenai refleksi pemikiran
Choan Seng Song dan aktualisasinya bagi kehidupan pembaca dalam konteks
Kekristenan Indonesia. Terakhir, bagian kelima akan memuat penutup daripada
tulisan ini.
Simbol bukan sekadar Lambang
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan simbol sebagai
lambang.17 Penulis merasa cukup kesulitan untuk mengurai arti lambang tersebut
ke dalam konteks penelitian yang hendak dikaji. Oleh karena itu, penulis mencoba
memberikan pendekatan teori simbol melalui beberapa tokoh.
Karl Rahner adalah seorang teolog Yesuit dan merupakan salah satu
pemikir yang paling menarik perhatian dalam teologi modern.18 Melalui
kerumitan pendekatannya, Rahner mencoba merumuskan teori simbol yang
dikaitkannya dengan sakramen dalam teologi Katolik.19 Karl Rahner memandang
sakramen, sebagaimana dapat kita temukan pula dalam ajaran Katolik baku,
17 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA
EDISI KEEMPAT, (Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA. 2008), 124. 18 Karl Rahner dilahirkan tahun 1904 dari sebuah keluarga Katolik Bavarta kelas
menengah yang cukup taat. Pada usia 18 tahun ia masuk Serikat Yesus dan menjadi Yesuit
sepanjang hidupnya. Rahner dilahirkan dalam suatu iklim kehidupan Gereja Katolik yang agak
berbeda; dan ia meninggal dalam kehidupan Gereja Katolik yang agak berbeda pula; dan berbagai
tulisannya berperan besar dalam perubahan tersebut. Pada tahun 1950-an ia dikesampingkan,
ortodoksinya dipertanyakan, karyanya disensor; namun pada tahun 1960-an ia menjadi pusat
perhatian, duduk sebagai ahli teologi dalam Konsili Vatikan Kedua. Dan dalam hampir semua
pemberitaan kecuali dalam laporannya sendiri, ia disebut-sebut sebagai salah seorang yang
berpengaruh dalam konsili tersebut. Lih. Karen Kilby, KARL RAHNER, (Yogyakarta: PENERBIT
KANISIUS, 2001), 11. 19 Kilby, RAHNER, 54.
8
menegaskan bahwa sakramen pada kenyataanya menyebabkan rahmat dengan
cara menyimbolkannya.20
Rahner menekankan bahwa “simbol-simbol yang benar” dihubungkan
secara erat dengan apa yang disimbolkannya. Simbol bukan sekadar tanda,
melainkan juga menyatakan makna atas apa yang disimbolkannya.21 Menjadi
permasalahan kemudian, ketika tidak semua yang biasa disebut sebagai simbol
sesuai dengan pola ini. Bendera menyimbolkan negara, atau mulainya balapan.
Titik dan garis dalam kode Morse merupakan simbol yang mewakili huruf dan
kata. Hal ini kemudian mendapatkan pengecualian oleh Rahner. Ia menganggap
bahwa simbol ini termasuk jenis simbol sekunder atau simbol yang tidak
lengkap.22 Rahner menekankan bahwa segala sesuatu, jauh di kedalaman
hakikatnya, berlaku seperti ini. Segala sesuatu mengekspresikan diri agar menjadi
dirinya sendiri.23
Dr. Edwyn Bevan kemudian mengatakan beberapa hal terkait simbol,
diantaranya bahwa simbol mengandung suatu ingatan akan peristiwa tertentu.24 Di
sisi yang lain, kehadiran simbol juga memiliki tujuan untuk memberikan arti dan
sifatnya.25 Simbol hadir bukan sekadar dalam perwujudannya, melainkan pula
melalui pemaknaannya. Pemaknaan simbol bersifat dinamis, yang dipengaruhi
oleh internalisasi dan interpretasi dalam proses pewarisan informasi dari satu
generasi ke generasi selanjutnya.
20 Hal yang penting sehubungan dengan pendekatan Rahner adalah pernyataannya bahwa
keduanya tidak dapat dipikirkan secara terpisah. Sakramen tidak hanya menyimbolkan dan
menyebabkan rahmat, tetapi menyebabkan rahmat dengan menyimbolkannya secara tepat. Lih.
Kilby, RAHNER, 55. 21 Ketika kita melihat ciuman seorang kekasih. Ciuman menyimbolkan cinta. Tetapi
ciuman itu tidak hanya merupakan tanda dari adanya sesuatu yang sama sekali berbeda dengan
sifat ciuman tersebut. Ciuman menjadikan nyata cinta yang diungkapkannya. Ciuman, atau simbol,
bukanlah sesuatu yang sifatnya eksternal dari cinta yang disimbolkannya, namun merupakan
bagiannya. Demikian Rahner memberikan salah satu contohnya. Lih. Kilby, RAHNER, 56. 22 Kilby, RAHNER, 56. 23 Rahner menyebutkan bahwa semua makhluk pada hakikatnya bersifat simbolis. Lih.
Kilby, RAHNER, 57. 24 There are visible objects or sounds which stand for something of which we already
have direct knowledge. Such symbols are not intended to give us any information about the nature
of the thing or things symbolized, but to remind us to them, or tell us something about their action
at the particular moment, or prompt us to act in a certain way at the particular moment because of
them. Lih. Edwyn Bevan, Symbolism and Belief (London: George Allen & Unwin Ltd Museum
Street, 1938), 11‐12. 25 The other kind of symbols purport to give information about the things they symbolize,
to convey knowledge of their nature, which those who see or hear the symbols have not had before
or have not otherwise. Lih. Bevan, Symbolism and Belief, 12-13.
9
Bevan kemudian kembali menegaskan bahwa setiap simbol merupakan
penunjuk pada yang lain. Pernyataan ini juga berlaku dalam hubungan antara
simbol dan agama. Simbol keagamaan, simbol suara dalam kata, suara musik pada
rangkaian kegiatan keagamaan bisa jadi merupakan faktor utama yang
menghasilkan pemaknaan pada umat. Pemaknaan tersebut tidak hanya diterima
melalui panca indra, melainkan juga melalui jiwa umat secara pribadi. Di sisi lain,
simbol pada agama merupakan pengertian yang berasal dari pikiran. Sehingga
dapat dilihat bahwa pemaknaan pada simbol dan konsep keagamaan juga muncul
dari pemikiran yang didasarkan pada pengalaman umat. Bevan kemudian
menyatakan bahwa interaksi antara simbol dengan agama mencakup dunia yang
kelihatan dan tidak kelihatan.26
Perjalanan Pemaknaan Salib
Kekristenan mendasarkan kepercayaannya pada kisah sengsara (passio)
dan kebangkitan Yesus. Kisah sengsara menampilkan Allah yang agung dan
mahakuasa melepaskan keagungan dan kemahakuasaan-Nya dengan menjelma
sebagai Yesus yang lahir telanjang, miskin, dan mengalami nasib malang,
sengsara dan mengalami pembunuhan ngeri di salib. Melalui narasi yang
dibingkai dalam doktrin Trinitas, Allah Bapa ditampilkan sebagai sosok yang
tidak meninggalkan Putra-Nya, turut serta dalam penderitaan, dan mengangkat
Yesus yang wafat dari maut. Allah mengangkat nilai hidup di atas kuasa
kematian. Ia membuktikan Diri setia dan solider dengan manusia.27
Kekristenan menempatkan salib sebagai simbol kasih Allah. Namun salib
sebagai simbol yang dibingkai hanya sebagai milik Kekristenan merupakan suatu
pandangan yang terlalu sempit. Ketika dilihat lebih dalam, salib merupakan
simbol universal dari berbagai peradaban manusia. Simbol salib telah ditampilkan
26 But also in religion things are presented to the senses, or ideas presented to the mind,
which purport, not to call to mind other things within the experience of the worshiper, but to
convey to him knowledge of things beyond the range of any human experience. Those which
purport to give information about the unseen world, those in which resemblance of some sort
between the symbol and the thing symbolized is essential. Lih. Bevan, Symbolism and Belief, 15. 27 Rasa simpati Allah yang membuktikan diri sebagai teman ramah bagi manusia, menjadi
paling nyata dalam kisah sengsara dan penyaliban Yesus itu. Salib merupakan tanda inti
kepercayaan kristiani. Agama Kristen adalah “agama salib”, dan teologinya adalah “theologia
crucis”. Paulus telah menamakan Yesus Kristus sebagai “Sang disalibkan” (Gal 3:1). Lih. Agus
Cremes, SALIB DALAM SENI RUPA KRISTIANI, (Maumere: LPBAJ, 2002), 7.
10
sejak zaman purba. Bentuk dasar salib zaman purba memiliki kesamaan dan
memaksudkan hal yang sama, yaitu diferensiasi elementer dari gejala asli hidup
yang membeda-bedakan serta mempersatukan kembali segala bagian bertentangan
ke dalam suatu kesatuan yang terpadu.28
Salib mengalami perjalanan pemaknaan yang cukup rumit pada masa
Yunani-Romawi. Paling tidak, salib mendapatkan dua nilai pemaknaan. Pertama,
salib sebagai bentuk hukuman kejam dan mengerikan. Pemaknaan ini dapat
dijumpai pada model salib dengan corpus Yesus yang wafat dalam suasana
penderitaan yang ngeri.29 Kedua, salib sebagai bentuk kemenangan (crux invicta),
yang dalam nuansa ilahi dibingkai sebagai benuk kemenangan Yesus atas
kematian.30
Pemaknaan salib sebagai hukuman muncul dan berdampak dalam
perkembangan kehidupan gereja mula-mula. Gereja tidak menggambarkan Kristus
yang disengsarakan dan disalibkan pada awal abad kedua. Sikap tersebut
didasarkan atas pemikiran bahwa kematian di atas salib merupakan kutukan dan
hukuman ngeri dan sangat memalukan. Salib dinilai sebagai ekspresi dari semua
hal yang buruk, menjijikkan dan menyakiti hati, yang semuanya dirasakan tidak
pantas, kasar, dan biadab. Di sisi lain, gereja juga mendapatkan tekanan yang
besar melalui cemooh yang ditujukan kepadanya. Sekitar tahun 200 muncul
gambar Yesus Kristus di atas salib-Nya dengan kepala seekor keledai dan seorang
mengangkat tangannya sebagai tanda berdoa. Faktor lain yang menjadi alasan
disembunyikannya identitas Kekristenan atas diri umat adalah penganiayaan
kejam oleh kaiser-kaiser Romawi yang mereka alami pada saat itu.31
28 Beberapa model salib yang telah muncul sejak zaman purba dan dapat ditemui dalam
gua prasejarah di berbagai tempat di dunia ini adalah salib dengan ukuran keempat bagiannya
sama panjang dan salib dalam bentuk lingkaran yang sering disebut roda matahari dengan keempat
titik putarnya. Lih. Cremes, SALIB DALAM SENI, 32-33. 29 Gestur tubuh Yesus digambarkan sebagai seorang yang sangat menderita dan
disengsarakan. Lih. Cremes, SALIB DALAM SENI, 50. 30 Seluruh simbol kemenangan dari upacara pemujaan terhadap Kaiser Romawi
digunakan untuk mengangkat salib kepada kepada tingkatan sakral yang benar surgawi. Lebih dari
Kaiser imperium Romawi, Kristuslah yang menjadi pemenang ilahi dan salib menjadi tropi
kemenangan. Trofi dari Kristus ini tentu saja lebih berkuasa karena ia tidak hanya mengalahkan
bangsa barbar yang liar dan kafir, tetapi terutama neraka (hades), dosa dan maut. Lih. Cremes,
SALIB DALAM SENI, 43. 31 Sejarah mentalitas budaya kolektif menunjukkan bahwa orang antik-Romawi dan orang
Kristen perdana menjunjung tinggi semua keutamaan khas Yunani. Sungguh merupakan sesuatu
yang melawan kesopanan dan rasa halus, bahkan kurang ajar jika passio dan penyiksaan ngeri
11
Masa penganiayaan demi iman “martyrium” juga merupakan alasan untuk
menyembunyikan simbol salib yang mengerikan itu. Pada zaman pra-Konstantin
orang Kristen ditangkap, disiksa dan dibunuh seperti binatang. Hal yang
mengherankan justru terlihat ketika Gereja yang sangat dianiaya, justru semakin
tersebar luas dan menarik banyak penganut.32 Kejadian ini berlangsung pada
tahun 313 hingga Kaiser Konstantinus mengubah wajah salib ke dalam model
salib kemenangan, yang dikenal sebagai titik balik cerah dalam sejarah Gereja.
Salib yang dahulu disembunyikan, kini boleh diperkenalkan secara umum, bahkan
menjadi tanda politis-religius dari kemenangan Kristus. Perubahan radikal ini
merupakan bukti bahwa pemaknaan salib turut dipengaruhi oleh suasana politis
yang mengiringinya. Kaiser Kontantinus yang berkuasa mengangkat salib sebagai
tanda pelindung dari imperium Romawi, setelah ia mengalami pengalaman
spiritual bersama salib.33 Kristus kemudian diangkat menjadi Imperator dalam
perkembangan makna salib selanjutnya. Ia digambarkan sebagai Kaiser surgawi
yang dalam cahaya kemuliaan-Nya menguasai dan mengatur segalanya. Kristus
Pantokrator kini menjadi pusat imajinasi Kristen.34
Pandangan cukup unik justru kemudian muncul melalui lukisan penyaliban
Rabula. Perpaduan menarik ditampilkan ketika kematian dan kehidupan yang
bertetangan, dilukiskan secara serentak pada gambar yang sama. Yesus di atas
kayu salib dengan bentuk badan terentang, secara simbolis mengisyaratkan empat
penjuru alam semesta. Melalui gestur yang sedemikian, dapat ditafsirkan bahwa
salib Yesus merupakan simbol cinta Ilahi yang mengorbankan diri demi
keselamatan umat manusia dan dunia. Kristus dengan tangan terentang berupaya
mempersatukan orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir satu dengan yang lain
bersama Allah. Karya Kristus di atas kayu salib tidak hanya menunjukkan
penyaliban, seluruh penderitaan yang mendalam, air mata kesedihan, luka yang berdarah,
ketakutan akan kematian secara patetis dan ekspresif langsung dilukiskan. Lih. Cremes, SALIB
DALAM SENI, 36-40. 32 Bayangkan orang yang akan dibunuh secara kejam, sebelum saat akhir hayatnya,
menyanyikan madah pujian kepada Tuhan. Hal ini merupakan sesuatu yang mengherankan dan
menjengkelkan algoju-algoju. Lih. Cremes, SALIB DALAM SENI, 40. 33 Pada hari sebelum pertempuran dan kemenangan, Konstantinus melihat cahaya salib
dan mendengar suatu suara yang berkata: “Gunakanlah tanda ini demi kemenangan” Lih. Cremes,
SALIB DALAM SENI, 44-45. 34 Hak untuk memerintah “imperate” disebut “imperium”. Sedangkan orang yang diberi
hak untuk memerintah disebut “imperator”. Lih. Cremes, SALIB DALAM SENI, 47.
12
kemenangan atas maut, melainkan juga daya pemersatu yang ekumenis dan
kosmis, karena cinta penyelamatan meliputi dan meresapi segala-galanya.35
Pemaknaan salib terus berkembang sehingga kemudian muncul model
pemaknaan oleh Roland Litzenburger. Ia adalah seorang seniman Katolik Jerman
yang menciptakan sejumlah penggambaran salib. Penggambarannya kemudian
didasarkan pada identifikasi diri yang kuat dalam kehidupan Yesus. Baginya,
Yesus yang tersalib dan hidup itu, mewujudkan seluruh harkat kemanusiaan
dalam keadaan tak berdaya. Ia menggambarkan Yesus sebagai seorang tolol dan
gila yang ditertawakan oleh masyarakat kejam. Betapa paradoksal situasi yang
digambarkannya, ketika Yesus yang disingkirkan oleh masyarakat, namun
sekaligus menyelamatkan masyarakat buta itu.
Nilai pendamaian antara manusia dengan sang ilahi yang dikandung di
dalam salib sebagai simbol Kekristenan rupanya juga muncul dalam simbol ajaran
Buddha melalui perspektif teologisnya. Pendamaian dalam ajaran Buddha
dimaknai sebagai pelepasan diri dari penderitaan. Simbol dalam ajaran Buddha
biasanya menampilkan kedua tangan yang terlipat. Hal ini dimaknai dalam
kerangka pemikiran bahwa Buddha sebagai tempat perlindungan pertama
merupakan penemu jalan yang menunjukkan jalan pada pencerahan, yang harus
ditemukan oleh setiap pribadi bagi dirinya. Seluruh usaha pencarian pencerahan
bersifat individualistis dan terpusat pada diri sendiri, dengan tujuan untuk
membebaskan diri dari fenomena penderitaan abadi.36
Perbedaan yang cukup tegas terlihat ketika menilik makna pendamaian
dalam salib. Kristus di atas kayu salib memiliki kedua tangan terentang yang
terluka. Gestur tersebut menyiratkan suatu tindakan aktif untuk mengupayakan
pendamaian melalui jalan penderitaan. Pendamaian yang dimaksudkan justru
bukan sekadar bersifat self-centred, melainkan berupaya merengkuh yang lain.
Gestur yang ditampilkan oleh Yesus tidak mengandaikan batasan subjek yang
mendapatkan rengkuhan. Sikap Yesus di atas kayu salib menunjukkan bahwa
35 Kristus yang tersalib itu disamakan dengan Antrhropos Mundi yang melambangkan
makna ultim yang masih tersembunyi dari hidu manusia, dan yang menyingkapkan kesatuan untuk
umat manusia yang tidak terbagi-bagi ke dalam satuan-satuan individual dan kelompok-kelompok
suku bangsa. Lih. Cremes, SALIB DALAM SENI, 56-68. 36 Kedua tangan Buddha mengkomunikasikan roh kesendirian dalam usaha pencarian
perdamaian. Mereka menunjukkan bahwa tidak ada pertolongan yang nyata dari orang lain. Lih.
David W. Shenk, ILAH-ILAH GLOBAL, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2003), 147.
13
rengkuhan yang dilakukanNya bersifat universal. Rengkuhan salib melampaui
batas dan sekat, salib menjangkau seluruh aspek kehidupan ciptaan. 37
Hierarki dan Kesetaraan
Kesetaraan berasal dari Bahasa Indonesia “ke-se-tara-an”. “tara” diartikan
sebagai tingkatan atau kedudukan yang sama. Ketika ditambahkan imbuhan “se”
sehingga menjadi “setara”, maka dapat diartikan sebagai yang sama tingginya
(sejajar) dan sama tingkatannya (kedudukan).38 Kesetaraan pada akhirnya
dimaknai penulis sebagai suasana yang menunjukkan adanya beberapa subjek
dalam penilaian diri yang sejajar. Kesetaraan yang hendak dimaksudkan oleh
penulis difokuskan pada bagian judul “kawula tuwin panjenengan”. Kalimat ini
cukup rumit mengingat “kawula” dan “panjenengan” merupakan istilah dalam
bahasa Jawa yang bertentangan secara hierarkis sosial. Untuk memahami kalimat
ini, penulis memberikan pendekatan melalui perkembangan budaya Jawa dengan
memulainya pada kehidupan kerajaan Jawa.
Hierarkis sosial dalam budaya Jawa terlihat jelas dalam penggunaan
bahasa sebagai sarana komunikasi, terutama diantara orang dengan tingkat sosial
berbeda. Penulis memulai dengan dinasti Mataram sebagai pihak dengan peran
terbesar dalam pengembangan sastra babad dan bahasa Jawa dengan tatarannya
ngoko (tingkat rendah atau kasar) dan krama (tingkat tinggi atau halus).39
Dinasti Mataram adalah keluarga raja yang berasal dari orang kebanyakan
atau petani. Karena latar belakangnya, wajar kalau dinasti ini menghadapi
ancaman pergeseran. Perasaan terancam ini menuntut upaya untuk memperkokoh
kedudukannya. Sebagai penguasa yang memiliki dinamika, maka
37 Kristus di atas kayu salib memiliki kedua tangan terentang yang terluka. Inilah tangan-
tangan dari seseorang yang aktif merangkul, yang mengasihi dan mengundang musuh-musuhnya,
tangan-tangan dari seorang yang telah memilih jalan penderitaan. Lih. David W. Shenk, ILAH-
ILAH GLOBAL, (Jakarta: BPK GUNUNG MULIA, 2003), 147. 38 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA
EDISI KEEMPAT, (Jakarta: PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, 2008), 87. 39 Dalam studi sejarah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dinasti Mataram adalah
dinasti orang kebanyakan. Setelah Mataram berhasil mengubah statusnya dari kabupaten ke
kerajaan, maka berbagai upaya dilakukan untuk mengukuhkan kedudukannya yang baru. Lih. Drs.
G. Moedjanto, M.A., KONSEP KEKUASAAN JAWA, (Yogyakarta: PENERBIT KANISIUS,
1987), 41.
14
dikembangkanlah konsep kekuasaan demi kelangsungannya.40 Salah satu konsep
kekuasaan dibangun melalui aspek bahasa, dalam hal ini adalah bahasa Jawa.
Sebagai norma pergaulan masyarakat, seseorang dituntut untuk mengikuti
kaidah sosial tertentu. Dalam budaya Jawa, seseorang perlu memperhatikan
penggunaan bahasa dalam komunikasinya. Ia akan terkena sangsi ketika tidak
mengikuti kaidah penggunaan bahasa yang tepat. Penggunakan bahasa dengan
tataran yang tidak tepat menyebabkan seseorang di dalam pergaulannya menjadi
terganggu dan tidak harmonis. Budaya Jawa menuntut seseorang untuk
menggunakan tataran bahasa Jawa secara tepat, sesuai kedudukan seseorang
dalam keluarga, status sosial, tingkat kebangsawanannya, umur, atau
prestisenya.41
Tataran bahasa Jawa merupakan tata unggah-ungguh. Perkembangan ini
berasal dari keinginan bawahan untuk menunjukkan sikap hormat kepada atasan.
Sebaliknya, muncul pula keinginan atasan untuk memperoleh penghormatan
dengan penggunaan bahasa yang halus. Penggunaan tataran bahasa yang tidak
tepat dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman di antara pemakainya.42
Hingga abad XVI tataran bahasa belum terbentuk, yang tampak hanyalah
benih-benih ke arah pembentukan tataran ngoko-krama. Unggah-ungguhing basa
terbentuk dan memperoleh bentuknya seperti yang sekarang ini pada zaman
Mataram-Islam.43 Melalui suatu pameo bahwa bahasa adalah busana bangsa,
dapat dikatakan bahwa perkembangan masyarakat, yang ditandai oleh terjadinya
perubahan-perubahan sosial, mempengaruhi perkembangan bahasa. Maka dapat
dilihat bahwa unggah-ungguhing basa yang terbentuk mulai abad XVII menuntut
pelibatan Sultan Agung sebagai raja terbesar Mataram yang tidak hanya memiliki
tujuan untuk mencapai kejayaan politik, akan tetapi untuk kejayaan budaya.44
40 Dinasti Mataram telah berhasil mengubah dirinya dari keluarga orang kebanyakan
menjadi dinasti penguasa kerajaan. Lih. Moedjanto, KEKUASAAN JAWA, 9-24. 41 Kaidah dalam penggunaan bahasa, dalam hal ini penggunaan tataran ngoko-krama, atau
unggah-ungguhing basa, harus ditaati juga. Lih. Moedjanto, KEKUASAAN JAWA, 42. 42 Istilah unggah-ungguh mengandung arti yang lebih luas daripada unggah-ungguhing
basa. Unggah-ungguh berarti tata sopan santun, sedangkan unggah-ungguhing basa berarti tataran
ngoko-krama. Lih. Moedjanto, KEKUASAAN JAWA, 43. 43 Sampai tahun 1500 unggah-ungguhing basa belum ada. Unggah-ungguhing basa baru
Nampak jelas sesudah tahun 1600. Lih. Moedjanto, KEKUASAAN JAWA, 46-55. 44 Ambil contoh pada zaman penjajahan Belanda. Orang yang ingin dihormati harus dapat
berbahasa Belanda. Sebaliknya bahasa Belanda menjadi bahasa resmi. Bagaimana pada zaman
15
Budaya Jawa sangat kental dengan hierarkis sosial. Namun di sisi yang
lain, budaya Jawa memiliki satu nilai yang disebut nilai “rukun”. Prinsip
kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang
harmonis. Rukun berarti “tanpa perselisihan dan pertentangan”. Rukun menunjuk
pada cara bertindak, berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan
antara pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik.
Prinsip ini bertujuan untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah
ada. Prinsip utama kerukunan tidak menyangkut suatu sikap batin, melainkan
penjagaan keselarasan pada permukaan hubungan-hubungan sosial yang kentara.45
Penulis kemudian mencoba merumuskan bahwa prinsip kesetaraan dalam
masyarakat Jawa muncul melalui berbagai ajaran terkait harmoni. Harmoni
sebagaimana terdapat dalam ajaran Jawa tentang rukun memiliki arti “berada
dalam keadaan selaras.” KBBI mengartikan harmoni sebagai pernyataan rasa,
aksi, gagasan, dan minat, keselarasan; keserasian.46 Harmoni dalam masyarakat
Jawa dimaksudkan hadir di antara laki-laki maupun perempuan, harmoni di antara
orang miskin dan orang kaya, harmoni di antara orang yang memiliki kekuasaan
dan masyarakat biasa, bahkan harmoni di antara agama-agama. Hal ini didasarkan
pada sifat kejawen yang lentur dan akomodatif, bahkan boleh dikatakan bersifat
longgar. Konsep harmoni tidak menghilangkan perbedaan, namun menempatkan
perbedaan yang ada dalam keadaan yang selaras.47
“Salib ngrengkuh kawula tuwin panjenengan” merupakan suatu analogi
yang ditampilkan penulis dalam kaitannya dengan budaya Jawa untuk
menunjukkan bahwa Allah menghadirkan dan melibatkan diriNya dalam kawula
(orang kebanyakan, rakyat jelata, priyayi, atau pegawai keraton) dan panjenengan
(raja dan bangsawan). Kehadiran YANG ILAHI dalam setiap pribadi dengan
tingkat sosial berbeda ini menuntut suatu kesadaran untuk menciptakan harmoni
dan keselarasan di antara mereka, tanpa menghilangkan identitas dan status sosial
yang ada. Kalimat ini sesungguhnya mengandung kekeliruan kaidah penulisan.
pendudukan Jepang? Hampir sama. Orang Indonesia mempelajari bahasa Jepang, karena bahasa
Jepang adalah bahasa resmi. Lih. Moedjanto, KEKUASAAN JAWA, 56-59. 45 Keadaan rukun terdapat dimana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama
lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana. Lih. Franz Magnis Suseno, ETIKA
JAWA, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia), 1984, 39-40. 46 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL, KAMUS BAHASA INDONESIA, 55. 47 Dr. Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, (Yogyakarta: Penerbit NARASI, 2014), 9.
16
Kalimat yang muncul seharusnya adalah “kawula tuwin paduka” atau “kula tuwin
panjenengan”. Namun penulis sengaja menempatkan “kawula tuwin
panjenengan” yang merupakan satu bentuk konsep kesetaraan sebagai sesama
manusia yang mengandung dzat Allah, namun tetap menempatkan penghargaan
kepada yang lain melalui posisi hierarkis sosial yang dimunculkan dengan
menekankan tuntunan hidup Jawa tentang nilai “andhap asor” atau
kerendahatian.
Biografi Singkat Choan-Seng Song
Choan-Seng Song adalah seorang teolog asal Taiwan yang lahir pada
tanggal 19 Oktober 1929. Ia belajar di National Taiwan University, melanjutkan
studinya di New College, Edinburg dan pada tahun 1965 menerima gelar Ph.D di
Union Theological Seminary, New York. Michael S. Moore dalam artikelnya
menuliskan bahwa tidak ada seorang teolog misi yang boleh mengabaikan karya
Choan-Seng Song.48 Moore berpendapat bahwa Song membuat teolog-teolog misi
khususnya, memikirkan ulang konsep mendasar tentang Allah, Kristus, gereja,
penciptaan, inkarnasi dan pembebasan.49
Song memaknai model keselamatan yang ditampilkan melalui salib
sebagai simbol Kekristenan melalui bingkai pengalaman pribadinya. Song secara
asal-usul adalah seorang Cina kelahiran Taiwan yang melanjutkan pendidikan di
Texas, Amerika Serikat. Pengalaman lintas budaya tersebut membuat Song
mampu menjadi sosok yang arif memahami tempat budaya dalam pemaknaan
kehidupan. Karya-karya Song menampilkan dengan jelas betapa besar
kecintaanya terhadap budaya dan pengalaman-pengalaman spiritual manusia.
Song adalah seorang Kristen, namun ia tidak menempatkan penilaian bahwa
Kekristenan merupakan agama yang sempurna dan unggul jika dibandingkan
48 In spite of all the disclaimers collected here about C. S. Song’s philosophical
categories, sociopolitical concerns and theological emphases, let it be said that no serious student
of mission can afford to ignore this man’s work. Lih. Michael S. Moore, “A Critical Profile of
Choan-Seng Song’s Theology,” SAGE journals 10, no.4 (Oktober 1982), 468. 49 Choan-Seng Song is busily engaged in doing the near impossible. He is making
theologians (especially missiological-theologians) rethink some very basic concepts about God,
Christ, the church, creation, redemption, incarnation and liberation. Lih. Moore, “A Critical
Profile,” 461.
17
dengan yang lain.50 Song berupaya dengan keras memberikan ketegasan makna
kesetaraan di antara agama-agama, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin,
kulit hitam dan putih, melalui rengkuhan salib Yesus yang bersifat universal bagi
seluruh ciptaan.
Salib dan Kesetaraan
Choan-Seng Song menyebutkan bahwa salib merupakan simbol
kekejaman. Song menyebut bahwa salib menegaskan kebrutalan yang dimiliki
manusia. Keberadaan salib mengandaikan bahwa manusia memiliki potensi untuk
merampas nilai kemanusiaan dari manusia yang lain. Kekejaman pada salib
menunjukkan bahwa manusia yang berada dalam cengkeraman iblis memiliki
kekuatan untuk menciptakan ketidakadilan, bertindak saling mencabik satu sama
lain, bahkan menghancurkan satu sama lain.51 Salib memiliki potensi yang besar
untuk menjadi suatu simbol kekerasan dalam perspektif kehidupan manusia,
khususnya bagi manusia yang berada dalam cengkeraman kekuatan iblis.
Menjadi menarik ketika salib kini menjadi simbol yang paling kuat di dalam
Kekristenan, justru dengan pengajaran nilai-nilai kasih yang dilekatkan padanya.
Pemaknaan salib sebagai simbol Kekristenan sudah seharusnya berpusat
pada pemaknaan peristiwa salib Yesus. Song menyebutkan bahwa salib Yesus
merupakan salib Allah, dan suara Yesus di kayu salib merupakan suara Allah.
Suara Yesus yang diabaikan di kayu salib menyingkapkan suara tangisan seluruh
ciptaan Allah yang terabaikan. Salib merupakan bentuk pengabaian terhadap nilai-
nilai kemanusiaan. Salib menyimbolkan penindasan, bahkan kutukan yang
memalukan. Dalam peristiwa salib Yesus, penghilangan nilai kemanusiaan yang
terjadi dilakukan oleh pihak penguasa pada zaman itu. Kisah sengsara Yesus di
salib membukakan fakta sejarah tentang darah korban-korban yang diperlakukan
tidak manusiawi oleh manusia itu sendiri. Kisah tersebut dilukiskan oleh tak
terhitungnya air mata perempuan, laki-laki, dan anak-anak tertindas yang
dihancurkan oleh kekuatan iblis melalui perlakuan brutal tidak manusiawi.52
50 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, 123. 51 The cross means human beings rejecting human beings. Lih. Choan-Seng Song, Jesus,
The Crucified People, (New York: Crossroad, 1990), 98. 52 The voices of Jesus on the cross is the voice of God. And that voice tells us a secret, an
important message, about the whereabouts of God. Lih. Song, Crucified People, 122.
18
Peristiwa salib Yesus hendak menunjukkan bahwa Allah solider terhadap ciptaan-
Nya. Penilaian tersebut didasarkan pada karya Yesus yang dinyatakan melalui dan
di dalam suasana pengabaian dalam kehidupan manusia. Kehadiran Yesus secara
langsung di tengah kehidupan memampukan manusia untuk bangkit dan berjuang
demi sesuatu yang berbeda dan baru. 53 Song hendak menegaskan bahwa terdapat
dua perspektif nilai di dalam salib. Salib merupakan simbol kekejaman bagi
manusia. Namun di sisi yang lain, Allah justru tampil dengan mengubah wajah
salib sebagai simbol cinta kasih, yang terus mengupayakan penghancuran
terhadap model-model kekerasan.
Song menilai bahwa seruan orang-orang yang diabaikan pada awalnya
begitu pemalu sehingga dianggap tidak pernah terdengar, sangat lemah sehingga
dianggap tenggelam di lautan suara, bahkan sangat kecil sehingga dianggap tidak
serius. Namun melalui peristiwa-peristiwa pengabaian tersebut, justru tangisan
Yesus muncul. Tangisan Yesus sesungguhnya tercipta melalui setiap seruan kecil
pengabaian dalam kehidupan manusia.54 Tangisan tersebut tampil semakin kuat
hingga menyerupai seruan orang perkasa yang siap meruntuhkan model-model
pengabaian. Pengabaian yang dimaksud adalah suatu bentuk suasana
ketidakadilan dan penindasan atas nilai kehidupan oleh kelompok yang dianggap
Song memiliki “kekuatan”. Seruan tersebut seolah menyiratkan kerinduan
manusia terhadap kehadiran Yesus yang solider terhadap kehidupan seluruh
ciptaan. Melalui kerangka reflektif yang dibangun oleh Song, Yesus digambarkan
menghadirkan diri bukan melalui keAllahan-Nya, namun justru kemanusiaanNya
dan berkarya di tengah ketidakadilan, penindasan, dan pengabaian yang terjadi.
Salib sebagai simbol Kekristenan sudah selalu membawa ingatan pada
kisah sengsara Yesus dari Nasareth. Yesus dari Nazareth merupakan seorang
pengajar dalam bidang agama yang aktif berkeliling untuk melakukan pelayanan.
Berawal sebagai pekerja dan anak tukang kayu di kota kecil Nazareth, Yesus
berubah menjadi tokoh yang mendapat perhatian besar. Ia bahkan menjadi sosok
53 Yesus juga adalah seorang pemimpi. Kemampuan bermimpi tentang dunia yang penuh
kedamaian di tengah-tengah dunia yang penuh dengan konflik dan mempersembahkan hidup kita
untuk mewujudkannya adalah salah satu dari kekuatan-kekuatan yang mengubah jalannya sejarah
manusia. Lih. Choan-Seng Song, Yesus dan Pemerintahan Allah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010), 10. 54 The cry of people is so timid at first that it is thought to be unheard. It is so weak that it
is deemed to be drowned in the sea of noises. Lih. Song, Crucified People, 122.
19
yang cukup kontroversial pada zaman-Nya. Salah satu faktor yang menjadikan-
Nya kontroversial adalah ucapan dan tindakan-Nya selalu didasarkan pada klaim
otoritas illahi. Hal ini menjadikan-Nya sebagai sosok yang banyak dikagumi
sekaligus ditentang. Batas pemisah antara kelompok pengagum dan penentang
tampak jelas. Pihak pengagum Yesus didominasi oleh kaum miskin, kaum lemah,
masyarakat kelas bawah, dan kaum tertindas. Sementara pihak penentang-Nya
didominasi oleh para penguasa, para pemimpin agama dan masyarakat kelas
atas.55
Yesus merupakan seorang pengajar dalam bidang agama. Namun menjadi
terlalu sempit jika pelayananNya hanya dibingkai dalam wilayah keagamaan.
Pelayanan yang dilakukan Yesus semestinya dilihat sebagai sebuah bentuk narasi
visioner tentang pemerintahan Allah. Salah satu upaya untuk menyatakan
pemerintahan Allah diperlihatkan Yesus melalui kritik sosial yang sering
diungkapkan-Nya, bahkan melalui pertikaian-pertikaian panas antara Yesus
dengan para pemimpin agama. Song menganggap bahwa Yesus hanya menjumpai
model pemerintahan hierarki keagamaan pada zaman-Nya. Bukan kuasa Allah,
melainkan kuasa para pemimpin agama. Bukan kasih Allah yang menyelamatkan,
melainkan pengajaran akan rasa takut untuk memandang Allah.56 Yesus sebagai
masyarakat kelas bawah berupaya menembus batas-batas kelas. Hal ini dilakukan-
Nya melalui pengajaran yang ditujukan juga bagi kalangan penguasa dan pemuka
agama, yang justru membenci dan mencaci pelayanan-Nya.
Pemaknaan salib yang terinspirasi oleh karya Yesus Kristus merupakan
kekuatan untuk mengubah model kutuk dan penindasan dalam salib menjadi
model rengkuhan yang bersifat menyeluruh dalam kesetaraan. Inkarnasi Allah
dalam diri Yesus adalah model kesetaraan yang pertama dan terutama. Song
sangat menekankan inti iman Kristen terkait pengajaran "Firman menjadi
manusia". Penekanan yang kurang terhadap inti ajaran iman Kristen tersebut
dinilai Song dapat menyebabkan kurangnya pengenalan terhadap karya Yesus
55 Let us begin at mid-point in Jesus’ career as a wandering teacher of religion and a
social critic. He has been around for some time. Lih. Song, Crucified People, 147. 56 Jadi, pemerintahan Allah “menyimpulkan seluruh pesan Yesus.” Namun, lebih dari itu.
Semua yang Yesus katakan dan lakukan berkaitan dengan pemerintahan Allah. “Yesus muncul
sebagai Pewarta Kerajaan.” Lih. Song, Yesus dan Pemerintahan Allah, 15.
20
sebagai pribadi yang terdiri dari daging dan darah selama hidup di dunia.57 Allah
menempatkan diri-Nya sejajar dengan ciptaan yang dikasihi dan hendak
diselamatkan-Nya melalui salib.
Kesejajaran Allah dalam karya penebusan salib merupakan penunjuk bagi
kesetaraan yang seharusnya ada di antara seluruh ciptaan yang dikasihi-Nya. Salib
menegaskan rengkuhan bagi masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah,
bagi Yahudi dan non-Yahudi, bagi laki-laki dan perempuan. Pebentukan hierarkis
diantara agama-agama merupakan pembangkangan terhadap cinta kasih Allah.
Song lebih lanjut memberi tanggapan yang cukup keras tehadap sejarah
keselamatan (Heilgeschichte), terutama dalam kaitannya dengan sejarah dan
budaya Asia.58 Heilgeschichte menurut J. C. Hufmann (1810-1877) merupakan
rangkaian sejarah tindakan penyelamatan Allah (dalam konsep trinitarian) atas
umat-Nya. Peristiwa tersebut dimulai dengan pemanggilan bangsa Israel, karya
penebusan Yesus, hingga kehidupan gereja Kristen masa kini.59 Berkaitan dengan
pandangan tersebut, Song menganggap keliru apabila kesinambungan sejarah
Israel dan sejarah gereja menjadi bagian yang paling penting dari karya
penyelamatan Allah.
Bagaimana pun, Israel merupakan satu bangsa diantara yang lain. Israel dan
bangsa-bangsa di luarnya memang berbeda, namun saling bergantung. Saling
kebergantungan tersebut mencakup banyak aspek, misalkan aspek politik, sosial,
dan sejarah. Menjadi keliru apabila pandangan terkait sentrisme Israel justru
meniadakan eksistensi bangsa-bangsa dan budaya di luarnya. Israel harus dilihat
57 This is the hearth of “the Christ of their faith” in contrast to the Jesus they knew in the
flesh, as a person of flesh and blood with whom they had lived and worked for three years. Lih.
Song, Crucified People, 86. 58 Song, the first Dean of the Programme for Theology and Cultures in Asia (PTCA), has
a deep commitment to doing theology with Asian resources. He is a prolific writer who develops a
theological method centered on giving Asian stories theological resonance. Lih. David F. Ford,
The Modern Theologians, (Victoria: BLACKWELL PUBLISHING, 2005), 520. 59 The inner-trinitarian decision to commit itself to historical self-fulfilment in the
appearance of Jesus Christ set in motion the history of salvation. The nation Israel received a call
to play its part in salvation history solely in order to provide place for the appearance of Jesus and
the beginning of his church. The whole content of salvation history (from the inner-trinitarian
decision to the virgin birth, the death, resurrection, ascension and return of Christ). Lih. Alan
Richardson, THE WESTMINSTER DICTIONARY OF CHRISTIAN THEOLOGY, (Philadelphia:
THE WESTMINSTER PRESS, 1983), 248.
21
dalam gerakan besar bangsa-bangsa dan perkembangan sejarah dunia.60 Bagi
Song, sejarah Israel dan sejarah gereja hanyalah merupakan simbol tindakan Allah
dalam menyelamatkan bangsa-bangsa lain. Sehingga, bangsa-bangsa lain
termasuk bangsa Asia dapat mengalami keselamatan yang sama seperti yang
dialami oleh Israel dan gereja. Sejarah Israel bukanlah suatu pengurung karya
penyelamatan Allah.61
Makna Kesetaraan dalam Simbol Salib bagi Kehidupan Kekristenan
Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan luas wilayah 1.916.862,29 km2 dan
jumlah pulau 16.056.62 Angka tersebut merupakan suatu indikasi bahwa terdapat
kekayaan bahkan keberagaman budaya dan pemikiran di Indonesia. Hal ini
bersesuaian dengan ideologi negara yang digunakan oleh Negara Indonesia, yaitu
Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Keberagaman agama
merupakan salah satu bentuk keberagaman yang tidak dapat ditolak dalam
kehidupan bersama di Negara Kesatuan Indonesia Indonesia. Indonesia mengakui
keberadaan enam agama yang dianut masyarakatnya, yaitu Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu.63
Kekristenan merupakan salah satu bagian dari keberagaman agama yang
mewarnai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun perlu diingat bahwa
Kekristenan di Indonesia secara umum merupakan hasil pekabaran Injil yang
dilakukan oleh dunia Barat. Hal yang tidak dapat dipungkiri dalam misi pekabaran
Injil di Indonesia adalah kehadiran bangsa asing, yang selanjutnya disebut bangsa
penjajah, justru menjadi tunggangan bagi Kekristenan untuk masuk ke Indonesia.
Misi tersebut terus berkembang, bahkan mampu mengepakkan sayapnya melalui
sendi-sendi kehidupan masyarakat.64
60 Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012),
38-39. 61 Pancha Yahya, Tinjauan Terhadap Pandangan Choan-Seng Song Mengenai Sejarah
Keselamatan, Jurnal Veritas 12 no. 1, (April 2011), 123-134. 62 Badan Pusat Statistik. STATISTIK INDONESIA: STATISTICAL YEARBOOK OF
INDONESIA 2018, (Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2018), 3. 63 “Agama,” INDONESIA.GO. ID, last modified 25 Oktober 2018, diakses 31 Juli 2019. 64 Pekabaran Injil yang paling awal oleh dunia barat dilakukan oleh Bangsa Portugis yang
mengemban Misi Katolik Roma pada abad ke-XVI. Mereka memulai misi pekabaran Injil di
wilayah Maluku, Ternate, dan Halmahera. Permulaan Sending Belanda kemudian menyusul dan
22
Hadirnya Kekristenan yang juga menghadirkan filosofi dan budaya dunia
Barat rupanya menciptakan tantangan tersendiri. Warisan teologi yang sebagian
besar merupakan warisan teologi para penginjil Barat (zendeling), yang
disebabkan oleh pengaruh perkembangan teologi revival dan fundamentalisme di
negara-negara Barat (khususnya Amerika Serikat) menjadi salah satu faktor yang
menimbulkan ketegangan antara Kekristenan dengan agama-agama lain yang ada
di Indonesia. Jenis teologi ini mengutamakan pertumbuhan atau perbanyakan
gereja dan pertobatan jiwa-jiwa.65
Faktor lain yang menciptakan ketegangan antara Kekristenan dan agama
serta budaya di Indonesia berhubungan dengan sejarah masuknya Kekristenan di
Indonesia. Kekristenan pada akhirnya tentu sangat dilekatkan dengan kehadiran
bangsa Belanda dan bangsa penjajah lain, yang menimbulkan kesan jika
Kekristenan identik dengan Belanda serta bangsa penjajah yang pernah ada di
Indonesia. Di sisi yang lain, Islam merupakan agama yang telah populer di
Indonesia sebelum masuknya Kekristenan. Oleh karena itu, hubungan Islam-
Kristen sering kali digambarkan sebagai hubungan antara yang terjajah dengan
yang dijajah.66 Ketegangan tersebut tidak secara eksplisit tampak jelas dalam
kehidupan pengajaran kedua agama tersebut. Namun hal ini tetap perlu menjadi
perhatian, mengingat luka-luka yang ditimbulkan dalam hati sebagian besar umat
masih terasa hingga saat ini.
Kekristenan Indonesia pada dirinya sendiri rupanya menyimpan kekayaan
pemahaman. Gereja yang terdaftar sebagai anggota PGI saat ini mencapai jumlah
89.67 Gereja-gereja tersebut tentu tersebar di sekian banyak pulau di Indonesia
dengan latar belakang pemikiran dan budaya yang berbeda pula. Keberagaman
latar belakang tersebut semestinya mampu melahirkan kesadaran terhadap
menggunakan V.O.C. sebagai sarana untuk memulai misinya dengan klaim bahwa mereka
bertanggung jawab atas kemajuan Gereja. Lih. H. Berkhof, Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2013), 235-244. 65 Warisan teologi yang ditinggalkan para zendeling, karena bercorak dogmatis
mempersulit teologi baru ini karena ia menganggap dunia di luar sebagai dunia ‘dunia kafir’ yang
perlu ditobatkan. Lih. Martin L. Sinaga, “Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia,”
Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 5. 66 Beban sejarah ini sangat mewarnai pemikiran politis para tokoh pendiri Republik ini.
Terlebih lagi, di masa “Politik Etis”, sumbangan dari pemerintah Belanda pada pendidikan dan
kesehatan yang diselenggarakan lembaga-lembaga Kristen, menunjukkan angka-angka tertinggi.
Lih. Sinaga, “Meretas Jalan Teologi,” 7. 67 “Gereja Anggota PGI,” PGI, last modified October 8, 2013, diakses Juli 31, 2019.
23
penyelarasan dan rasa penghargaan terhadap yang berbeda, khususnya dalam
kehidupan gereja secara internal. Menjadi cukup bertentangan dengan refleksi
simbol salib dan kasih universal Allah, apabila sebagian gereja di Indonesia dalam
latar belakang lingkungan yang menganut budaya patriarki hanya menempatkan
dominasi peran laki-laki di dalam pola pelayanan kehidupan gereja.
Kepedulian Allah dalam diri Yesus sebagai manusia yang disalib
sesungguhnya menjadi teguran bagi Kekristenan di Indonesia yang masih
menempatkan Kekristenan lebih superior di antara agama-agama, budaya dan
identitas yang ada dan berbeda. Narasi rengkuhan Allah yang dinyatakan bagi
kaum Yahudi dan Yunani semestinya menegaskan kesetaraan agama-agama,
budaya, dan identitas sebagai perwujudan keutuhan cinta Allah yang dinyatakan
di dalam keberagaman tanpa diskrimimasi. Narasi rengkuhan Allah melalui salib
dalam penghargaan identitas juga perlu menjadi dasar bagi Kekristenan dan
gereja-gereja di Indonesia untuk menempatkan kesetaraan nilai dan peran di
antara laki-laki, perempuan, dan anak-anak, di antara kaya dan miskin, di antara
suku dan budaya, bahkan di kesetaraan di antara perbedaan gender yang ada.
Peristiwa salib Yesus memang tetap ditempatkan sebagai inspirasi,
mengingat analisa topik ini didasarkan pada perspektif Kekristenan. Namun
bentuk dasar salib yang mengarah ke seluruh penjuru, dan gesture tubuh Yesus
yang terbuka serta hendak memeluk siapa pun, sesungguhnya memberikan
penegasan kasih Allah yang bersifat universal dan menyeluruh. Pemusatan narasi
Yesus sebagai manusia yang disalibkan secara ekslusif di dalam sejarah
keselamatan melalui gereja sebagai institusi Kekristenan, merupakan wujud
pengkarikaturan Allah yang tak terbatas menurut pengetahuan manusia yang
terbatas, dan merupakan perlawanan terhadap narasi Yesus sang manusia yang
disalibkan. Kemajemukan agama, gender, suku, bahkan beragam identitas lain di
Indonesia semestinya ditempatkan sebagaimana Israel dan bangsa-bangsa di
luarnya yang berjalan beriringan dalam karya Allah yang agung.
Judul “Salib Ngrengkuh Kawula Tuwin Panjenengan” hendak
menunjukkan bahwa peristiwa salib Yesus merupakan perwujudan cinta kasih
Allah yang mengurungkan ke-Allahan-Nya dan melibatkan diri secara langsung di
dalam dinamika kehidupan dalam kesetaraan untuk menarik manusia dengan
24
pelbagai identitas yang ada menuju rengkuhan kasih-Nya. “Kawula tuwin
Panjenengan” merupakan konsep kesetaraan dengan menuntut rasa rendah hati
dan penghargaan terhadap yang lain. Penghargaan dalam pernyataan tersebut
tidak dimaksudkan untuk meninggikan yang berbeda, melainkan menghilangkan
penilaian superior di dalam dirinya sendiri.
Pada akhirnya penulis berusaha menempatkan Kekristenan tetap sebagai
“Panjenengan” sekaligus “Kawula”, dan agama-agama di luarnya juga sebagai
“Kawula” sekaligus “Panjenengan”. Pernyataan penulis ini diselaraskan dengan
pandangan Choan-Seng Song yang oleh Pdt. Ebenhaizer Nuban Timo disebutkan
bahwa Song melihat agama-agama sebagai jalan yang berbeda, tetapi yang
mengarah kepada tujuan yang sama.68 Melalui analogi “kawula tuwin
panjenengan”, pribadi dengan identitas dan tingkat sosial yang berbeda di dalam
budaya Jawa tetap ditempatkan sebagai manusia setara karena mengandung dzat
Allah dalam dirinya. Jika ditempatkan pada kehidupan Kekristenan Indonesia di
tengah kemajemukan agama-agama, budaya, dan identitas lainnya, maka sikap
yang perlu dibangun adalah menghilangkan penilaian superior atas identitas
Kekristenan, berupaya terbuka dengan yang berbeda dan menyadari
keberadaannya dalam kesetaraan sebagai karya kasih Allah. Di tengah beragam
budaya dan pemikiran, sangat penting juga bagi kehidupan pelayanan dan
persekutuan gereja untuk tetap menjaga kesadaran tentang kesetaraan peran di
antara laki-laki, perempuan, dan anak-anak; di antara kalangan dengan kekuasaan
dan kalangan bawah; di antara kaya dan miskin; bahkan di antara keberagaman
gender.
Kesimpulan
Satu poin mendasar yang menjadi pusat perhatian Choan-Seng Song,
bahwa pernyataan karya Allah yang tak terbatas tidak dapat dibatasi di dalam
klaim kebenaran oleh satu agama sebagaimana diciptakan oleh pemikiran manusia
yang terbatas. Penjelasan alternatif tentang Allah di luar jangkauan pemikiran
manusia yang terbatas merupakan keniscayaan. Narasi Yesus sebagai manusia
yang disalibkan merupakan pijakan untuk meneladani kesetaraan yang
68 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, 123.
25
ditunjukkan oleh-Nya. Narasi tersebut bukanlah narasi eksklusif, melainkan narasi
penuh kasih yang merengkuh tanpa membatasi dan meniadakan identitas.
Kekristenan sebagai komunitas yang menginspirasikan Kristus semestinya
berupaya menghidupi kerendahatian Allah serta kasih-Nya yang universal dan
menyeluruh bagi seluruh ciptaan.
Keteladanan Yesus sudah selalu membawa konsekuensi bagi pengikut-
Nya, yaitu menghadirkan kesetaraan dalam relasi yang dibangun, khususnya di
dalam kehidupan Kekristenan Indonesia di tengah konteks kemajemukan bangsa.
Kekristenan Indonesia dengan beragam latar belakang budaya yang menyertainya
perlu menghidupi nilai-nilai kesetaraan agama, budaya, dan beragam identitas
lain. Kesetaraan peran laki-laki, perempuan, dan anak-anak; peran yang kaya dan
miskin; peran yang berkuasa dan tidak berkuasa; bahkan peran dalam beragam
identitas gender, merupakan tema-tema yang semestinya terus dihidupi gereja
dalam mengerjakan pelayanannya. Gereja tidak semestinya berlaku diskriminatif.
Pemaknaan terhadap salib sebagai simbol Kekristenan semestinya menjadi suatu
daya bagi Gereja-Gereja di Indonesia untuk menghidupi kesetaraan dalam
kerendah-hatian yang utuh di dalam persekutuannya, sehingga mampu bergerak
keluar untuk menginspirasikan kesetaraan serta keselarasan dalam berpelayanan
di tengah keberagaman agama dan budaya yang ada di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
26
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia: Statistical Yearbook Of Indonesia 2018.
Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2018.
Berkhof, H. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2013.
Bevan, Edwyn. Symbolism and Belief. London: George Allen & Unwin Ltd
Museum Street, 1938.
Cremes, Agus. Salib Dalam Seni Rupa Kristiani. Maumere: LPBAJ, 2002.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Elwood, Douglas J. Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Penerbit NARASI, 2014.
Febriana, Mariani. “Teologia Salib Martin Luther dan Implikasinya Dalam Dunia
Masa Kini.”Jurnal Theologia Aletheia 12, no. 21 (September 2010): 53.
Ford, David F. The Modern Theologians. Victoria: Blackwell Publishing, 2005.
Google. “Agama.” INDONESIA.GO.ID. Last modified 25 Oktober 2018. Diakses
31 Juli 2019.
Google. “Gereja Anggota PGI.” PGI. Last modified October 8, 2013. Diakses Juli
31, 2019.
Heinz, Michael. Jalan Salib. Flores: Ledalero, 2006.
Kilby, Karen. Karl Rahner. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 1984.
Moedjanto, G. Konsep Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987.
Moltmann, Jurgen. The Crucified God. San Francisco: SCM Press LTD, 1991.
Moore, Michael S. “A Critical Profile of Choan-Seng Song’s Theology,” SAGE
journals 10, no.4 (Oktober 1982): 468.
Raharjo, Budi, Sujianto, Ignatia Esti Sumarah, Saifuddin Zuhri Qudzy, Jonsa
Manulang, Budi Raharjo, Totok, F.X. Dapiyanta, Khusnul Khotimah,
Lathifatul Izzah, Ev. Hana Suparti. Makna Keselamatan Dalam Perspektif
Agama-Agama. Diedit oleh Ignatius Loyola Madya Utama, SJ.
Yogyakarta: Universitas Sanata Darma, 2014.
27
Richardson, Alan. The Westminster Dictionary Of Christian Theology.
Philadelphia: The Westminster Press, 1983.
Shenk, David W. Ilah-Ilah Global. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Sinaga, Martin L. “Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia.”
Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Song, Choan-Seng. Allah yang Turut Menderita. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
Song, Choan-Seng. Jesus, The Crucified People. New York: Crossroad, 1990.
Song, Choan-Seng. Sebutkanlah Nama-Nama Kami. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999.
Song, Choan-Seng. Yesus dan Pemerintahan Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2010.
Stott, John. The Cross of Christ. Leicester: Inter-Varsity, 1986.
Timo, Nuban Ebenhaizer I. Gereja Lintas Agama. Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2013.
Timo, Nuban Ebenhaizer I. “Pencarian Kesaksian Kristen yang Relevan di Asia.”
Jurnal Ledalero 12, no. 2 (Desember 2013): 289.
Utley, Bob. “Paulus Terbelenggu: Injil Tak Terbelenggu,” Kumpulan Komentari
Belajar Perjanjian Baru 8, no. 47 (Juni 1996): 118.
Yahya, Pancha. Tinjauan Terhadap Pandangan Choan-Seng Song Mengenai
Sejarah Keselamatan, Jurnal Veritas 12 no. 1, (April 2011): 123-134.
Yewangoe, A. A. Theologia Crucis di Asia. Diedit oleh Stephen Suleeman.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.