s24804-corry permata sari.pdf

63
DUGAAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA DALAM PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK SKRIPSI CORRY PERMATA SARI 0505000589 PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK DESEMBER 2008 Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Upload: lythuan

Post on 27-Jan-2017

227 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: S24804-Corry Permata Sari.pdf

DUGAAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN

FARMASI DI INDONESIA DALAM PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK

SKRIPSI

CORRY PERMATA SARI 0505000589

PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

DESEMBER 2008

Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 2: S24804-Corry Permata Sari.pdf

DUGAAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN

FARMASI DI INDONESIA DALAM PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum

CORRY PERMATA SARI 0505000589

PROGRAM REGULER FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

DESEMBER 2008

Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 3: S24804-Corry Permata Sari.pdf

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Corry Permata Sari

NPM : 0505000589

Tanda Tangan :

Tanggal : 24 Desember 2008

Universitas Indonesia

iiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 4: S24804-Corry Permata Sari.pdf

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Corry Permata Sari NPM : 0505000589 Program Studi : Reguler Judul Skripsi : Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat Generik Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Reguler, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI Pembimbing : Kurnia Toha, S.H., LL.M, PH.D (…………………………….) Pembimbing : Ditha Wiradiputra, S.H. (…………………………….) Penguji : Surini Ahlan Syarif, S.H., M.H. (…………………………….) Penguji : M. Sofyan Pulungan, S.H, M.A. (…………………………….) Penguji : Suharnoko, S.H. MLI (.............................................) Ditetapkan di : Depok Tanggal : 3 Januari 2009

Universitas Indonesia

iiiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 5: S24804-Corry Permata Sari.pdf

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi Allah SWT pemilik bumi dan

segala isinya yang telah memberikan rahmat dan kesempatan kepada penulis

untuk menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Program Kekhususan Hukum tentang Kegiatan Ekonomi Fakultas Hukum

Universitas Indonesia.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari terdapat banyak kekurangan dan

kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua

pihak yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi ini lebih lanjut.

Pertama penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua dosen

pembimbing penulis yaitu Bang Kurnia Toha S.H., LL.M, PH.D dan Bang Ditha

Wiradiputra S.H. yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran mereka

untuk mengoreksi serta membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari pula bahwa tanpa bantuan serta bimbingan dari

berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Karenanya penulis

ingin mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kedua orang tua

penulis (Drs. H. Syahrir Anwar dan Hj. Ernawati Syahrir), tunangan penulis

(Letnan Dua Marinir Bagus Sutrisno), kakek penulis (Dekan Fakultas Sastra

Universitas Al-Azhar Indonesia, Drs. H. Murni Djamal, M.A), serta kedua kakak

penulis (Ersa Purnamasari, B.B.A, M.B.A, dan Edward Syahrir, S.S.) yang telah

memberikan dorongan, bantuan, serta dukungan kepada penulis.

Terima kasih penulis sampaikan pula kepada pembimbing akademis

penulis Ibu Eka Sri Sunarti S.H., M.Si yang telah banyak memberikan bantuan

serta bimbingannya selama 3,5 tahun penulis menempuh pendidikannya di

Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini, Pak Slam (Biro Pendidikan) atas

semua bantuannya mengurusi masalah administrasi penulis menjelang sidang

skripsi hingga kelulusan, Kak Fernan atas semua bantuannya menyelesaikan

pengurusan transfer kredit penulis, teman-teman seperjuangan penulisan skripsi

tentang Hukum Persaingan Usaha atas kebersamaanya menunggu datangnya

Universitas Indonesia

ivDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 6: S24804-Corry Permata Sari.pdf

pembimbing (Ika 2004, Endhi 2005, dan Salman 2004), untuk “Pildacil--ina, tata,

etha, wn, yossy” (terutama Ina dan Yossy karena sudah menemani penulis dan

memberikan dukungan semangat pada saat menunggu detik-detik menjelang

sidang) thanks for being such a good friends girls, serta teman-teman penulis

lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas dukungan semangat mereka.

Semoga skripsi ini dapat berguna terutama bagi penulis sendiri dan

memberikan manfaat bagi masyarakat luas pada umumnya dan almamater

Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada khususnya.

Wassalamualaikum, Wr. Wb.

Depok, 24 Desember 2008

Penulis

Universitas Indonesia

vDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 7: S24804-Corry Permata Sari.pdf

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Corry Permata Sari

NPM : 0505000589

Program Studi : Reguler

Fakultas : Hukum

Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh Perusahaan-

Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat Generik.”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai

pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 24 Desember 2008

Yang menyatakan

(Corry Permata Sari)

Universitas Indonesia

viDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 8: S24804-Corry Permata Sari.pdf

ABSTRAK

Nama : Corry Permata Sari

Program studi : Reguler

Judul : Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh

Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat

Generik

Skripsi ini membahas mengenai adanya dugaan persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dalam penetapan harga obat generik. Obat generik yang ditujukan bagi masyarakat menengah kebawah seharusnya memiliki harga yang murah, akan tetapi yang terjadi pada kenyataannya adalah adanya perbedaan harga yang sangat signifikan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek tanpa adanya perbedaan khasiat antara keduanya. Terdapat beberapa poin yang dapat diduga sebagai penyebab mahalnya harga obat generik bermerek. Apabila penyebabnya dikarenakan adanya kolusi diantara sesama pelaku usaha farmasi maupun kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apotek, maka dapat diduga telah terdapat suatu indikasi terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik di Indonesia. Penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi bila dipandang dari hukum persaingan usaha, seharusnya ditetapkan sesuai dengan biaya produksi yang sewajarnya mereka keluarkan tanpa adanya perjanjian untuk menetapkan harga diantara mereka.

Kata kunci: persaingan usaha tidak sehat, obat generik, perusahaan farmasi.

Universitas Indonesia

viiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 9: S24804-Corry Permata Sari.pdf

ABSTRACT

Name : Corry Permata Sari

Study Program : Regular

Title : Presumption of Unhealthy Competition among

Pharmaceutical Companies in Indonesia on Determining Generic Drugs Prices

The focus of this study is Presumption of Unhealthy Competition among

Pharmaceutical Companies in Determining Generic Drugs Prices. Generic drugs

as drugs that aimed for lower-middle society should have inexpensive price, but

what happened on the factual condition were there are altered significant prices

between branded generic drugs and unbranded generic drugs without any

different special quality between them. There are several points that could be

assumed as the caused of high-priced generic drugs. If the cause was collusion

between the pharmaceutical companies; or collusion between the pharmaceutical

companies with doctor and or pharmacy, then it could be assumed that there is an

indication of unhealthy competition on determining generic drugs prices in

Indonesia. The determining of generic drugs prices that has been doing by

pharmaceutical companies if considering from competition law should be

determined suitable with genuine production cost that they spend without any

price fixing agreement between them.

Key words: unhealthy competition, generic drugs, pharmaceutical companies.

Universitas Indonesia

viiiDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 10: S24804-Corry Permata Sari.pdf

.....SKRIPSI INI PENULIS SEMBAHKAN UNTUK PAPI DAN MAMI TERSAYANG.....

Universitas Indonesia

ixDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 11: S24804-Corry Permata Sari.pdf

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii KATA PENGANTAR............................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH...............................vi ABSTRAK.............................................................................................................vii LEMBAR PERSEMBAHAN.................................................................................ix DAFTAR ISI............................................................................................................x I. PENDAHULUAN...............................................................................................1 I.1 Latar Belakang Permasalahan.................................................................1 I.2 Pokok Permasalahan...............................................................................7 I.3 Tujuan Penelitian....................................................................................7 I.4 Manfaat Penelitian..................................................................................8 I.5 Batasan Penelitian...................................................................................8 I.6 Metode Penelitian...................................................................................8 I.7 Sistematika Penulisan...........................................................................12 II. PERSAINGAN USAHA INDONESIA DAN DUNIA FARMASI..............14 II.1 Persaingan Usaha Indonesia................................................................14 II.1.1 Sejarah Hukum Persaingan Usaha Secara Umum......................14 II.1.2 Teori-Teori Hukum Anti Monopoli dalam Sejarah....................21 II.1.3 Institusi Persaingan Usaha Indonesia.........................................22 II.2 Industri Farmasi...................................................................................24 II.2.1 Sejarah Industri Farmasi.............................................................25 II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi.................................................27 II.2.3 Gambaran Umum Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia..28 III. ANALISIS MENGENAI PENETAPAN HARGA PADA KASUS PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK OLEH PERUSAHAAN-PERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA...................................................33 III.1 Indikasi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat

Generik di Indonesia............................................................................33 III.2 Penetapan Harga Obat Generik Ditinjau Dari Perspektif Hukum

Persaingan Usaha ................................................................................40 IV. PENUTUP......................................................................................................44 IV.1 Kesimpulan........................................................................................44 IV.2 Saran..................................................................................................45 DAFTAR REFERENSI.......................................................................................47 LAMPIRAN..........................................................................................................51

Universitas Indonesia

xDugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 12: S24804-Corry Permata Sari.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Permasalahan

Berbicara mengenai perilaku antipersaingan usaha tidak dapat dipisahkan

dengan pengertian persaingan usaha itu sendiri1. Meskipun definisi persaingan

usaha itu sendiri diantara para pakar hukum persaingan belum terdapat kesamaan

pendapat, dan di dalam sumber hukum utama hukum persaingan usaha di

Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terdapat definisi dari

persaingan usaha itu sendiri, namun kita masih dapat menemukan padanannya

dalam bahasa Inggris yaitu “competition” yang didefinisikan sebagai “..a struggle

or contest between two or more persons for the same objects”2.

Definisi diatas menunjukkan bahwa dalam setiap persaingan akan

ditemukan adanya dua pihak atau lebih yang terlibat dalam upaya saling

mengungguli, dan unsur adanya kehendak diantara para pihak tersebut untuk

mencapai tujuan yang sama3. Dimana diantara sekian banyak persaingan antar

manusia, kelompok, masyarakat, atau bahkan bangsa, persaingan di bidang

ekonomi merupakan salah satu bentuk persaingan yang paling utama4.

Definisi persaingan usaha tidak sehat, dapat dilihat di dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 yaitu berupa “persaingan antarpelaku usaha dalam

menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang

dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat

persaingan usaha”5.

1“Persaingan Bisnis”, <http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/19/eko08.html>, 10 Oktober 2008 . 2Merriam Webster Dictionary, sebagaimana dikutip dalam buku Hukum Persaingan Usaha oleh Arie Siswanto 3Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal 13. 4Thomas J. Anderson, Our Competitive System and Public Policy, (Cincinnati: South Western Publishing Company, 1958), hal.4.

Universitas Indonesia

1Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 13: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Adanya persaingan akan menghindarkan terjadinya konsentrasi kekuatan

pasar pada satu atau beberapa perusahaan6. Hal ini berarti konsumen mempunyai

banyak alternatif dalam memilih barang dan jasa yang dihasilkan produsen yang

begitu banyak, sehingga harga benar-benar akan ditentukan oleh pasar permintaan

dan penawaran bukan oleh hal-hal lain7. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa

adanya persaingan memungkinkan tersebarnya kekuatan pasar dan menyebabkan

kesempatan berusaha menjadi terbuka lebih lebar yang memberi peluang bagi

pengembangan dan peningkatan kewiraswastaan yang akan menjadi modal utama

bagi kegiatan pembangunan ekonomi bangsa8.

Dapat pula dikatakan bahwa persaingan merupakan suatu situasi yang

diperlukan bagi tercapainya efisiensi, yang berarti persaingan merupakan suatu

conditio sine qua non bagi terselenggaranya ekonomi pasar9. Karenanya tidak

berlebihan bila dikatakan bahwa hukum persaingan mempunyai posisi kunci

dalam ekonomi pasar yang menjamin berlangsungnya keseimbangan diantara

kekuatan pasar dalam suatu mekanisme pasar yang sehat dan wajar10.

Iklim usaha yang sehat memerlukan11:

1. Kebijakan persaingan usaha yang kondusif, yaitu keharmonisan antara nilai-

nilai persaingan usaha dengan berbagai kebijakan, seperti kebijakan industri,

perdagangan, investasi dan kebijakan sektoral lainnya. Dalam hal ini, baik tujuan,

prioritas dan kendala tiap kebijakan sektoral dapat diselaraskan dengan nilai

persaingan sehat, sehingga terhindarkan pengorbanan pembangunan sektoral

5Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,, UU No.5 tahun 1999, ps. 1 huruf f. 6 Normin S. Pakpahan, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan), hal. 2. 7Ibid. 8Ibid. 9Ibid. 10Ibid., hal.3. 11“Era Persaingan Sehat yang Mengedepankan Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform), Catatan Akhir Tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, <http://www.kppu.go.id/baru/ index.php?type=art&aid=315&encodurl=05%2F03%2F08% 2C07%3A05%3A14>, 12 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

2Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 14: S24804-Corry Permata Sari.pdf

tertentu, dan sebaliknya persaingan memperkuat pengembangan sektoral tersebut

dalam tujuannya untuk mensejahterakan rakyat;

2. Iklim usaha yang sehat memerlukan perilaku pelaku usaha yang pro-

persaingan, yaitu mengindahkan hukum persaingan dalam upaya mencapai

keuntungan maksimalnya. Kesadaran budaya persaingan tidak hanya bermanfaat

untuk meraup keuntungan di pasar, tetapi juga meningkatkan daya saing terlebih

untuk tantangan era globalisasi, yang pada akhirnya membawa manfaat bagi

masyarakat pada umumnya.

Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang pencapaiannya menjadi

tanggung jawab sosial. Karena itu, penyediaan obat dan pelayanan kesehatan

seharusnya memiliki tujuan sosial. Upaya pemerintah melakukan intervensi di

bidang kesehatan antara lain melalui ketersediaan obat dan keterjangkauan harga

obat. Namun bila upaya ini diserahkan pada kebebasan pasar maka tujuan mencari

untung akan lebih dominan. Mekanisme pasar obat jelas berbeda dari produk lain.

Posisi tawar konsumen boleh dikatakan nihil12. Dari sudut keterjangkauan secara

ekonomis, harga obat di Indonesia umumnya dinilai mahal dan struktur harga obat

tidak transparan13.

Penelitian WHO menunjukkan perbandingan harga antara satu nama

dagang dengan nama dagang yang lain untuk obat yang sama, berkisar 1:2 sampai

1:5. Artinya, harga obat generik bermerk dapat mencapai 5 kali harga obat

generiknya. Penelitian di atas juga membandingkan harga obat dengan nama

dagang dan obat generik menunjukkan obat generik bukan yang termurah.

Keadaan ini antara lain menggambarkan betapa pentingnya kebijakan pemerintah

mengenai penetapan harga obat (pricing policy)14.

Menurut catatan Departemen Kesehatan, harga obat esensial generik di

Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan harga obat di sejumlah negara di Asia.

Harga amoksisilin 500 mg, misalnya, hampir dua kali lipat lebih mahal

12“Subsidi Obat Generik Rawan Korupsi”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0107/27/ fea02.html>, 12 Oktober 2008. 13“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, <http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type= art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49>, 12 Oktober 2008. 14Ibid.

Universitas Indonesia

3Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 15: S24804-Corry Permata Sari.pdf

dibandingkan dengan Filipina dan Thailand. Sejumlah obat generik lainnya juga

lebih mahal harganya dibandingkan Singapura15.

Tanggal 7 Februari 2006 Menteri Kesehatan mengeluarkan Kepmenkes

Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi

(HET) Pada Kemasan Obat yang berlaku efektif mulai tanggal 3 Agustus 2006.

Kepmenkes tersebut bertujuan untuk menginformasikan harga obat yang lebih

transparan ke konsumen. HET dihitung dari harga netto obat di apotek ditambah

pajak pertambahan nilai (PPN) 10 %, plus margin untuk apotek sebesar 25 %16.

Kewenangan pemerintah dalam pengaturan harga obat sebenarnya sangat

kecil. Dibandingkan dengan ribuan jenis obat yang beredar, pemerintah hanya

mempunyai kewenangan mengatur harga obat yang masuk dalam kategori Daftar

Obat Esensial Nasional (DOEN) yang diperbaharui setiap dua tahun sekali. Dari

232 jenis obat generik yang ada di Indonesia, yang masuk dalam DOEN hanya

153 jenis saja. Berbeda dengan aturan kewenangan pemerintah dalam mengatur

harga obat, aturan kewajiban pencantuman HET justru dapat dikaitkan dengan

undang-undang kesehatan, khususnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998

tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, khususnya pada Bab

VII tentang Penandaan dan Iklan17.

Menteri Kesehatan mengatakan sebagaimana dikutip dari situs resmi

Departemen Kesehatan bahwa selama ini harga obat generik bermerek di

Indonesia sangat tinggi, enam sampai delapan kali lebih mahal dari harga obat

generik biasa karena itu ditetapkanlah batas maksimal harga obat generik

bermerek tiga kali lipat dari harga obat generik biasa. Untuk sementara penetapan

harga obat generik bermerek baru dilakukan pada 31 jenis obat yang mencakup

kurang lebih 1.400 sediaan farmasi dari berbagai industri. Dengan penetapan batas

15“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm>, 12 Oktober 2008. 16“Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Metropolitan/0608/10/075619.htm>, 12 Oktober 2008. 17“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, <http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type =art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49>, 12 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

4Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 16: S24804-Corry Permata Sari.pdf

maksimal harga obat tersebut maka saat ini harga obat-obat generik bermerek

mengalami penurunan antara 10 persen hingga 70 persen dari harga sebelumnya.

Bagi konsumen, penurunan harga 31 jenis obat generik tersebut tidak akan

memberikan arti signifikan. Selain karena obat tersebut jarang dipakai,

masyarakat pun tetap pada posisi yang tidak diuntungkan dalam obat generik ini.

Karena obat generik yang diturunkan harganya ternyata bukanlah kebutuhan

kesehatan masyarakat pada umumnya18. Meski Kepmenkes Nomor

069/Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi Pada

Kemasan Obat telah mulai berlaku sejak 3 Agustus 2006, belum semua apotek

melaksanakannya. Tak sedikit apotek yang belum menempelkan label harga pada

setiap kemasan obat yang dijual ke masyarakat. Hal ini terjadi karena kurangnya

sosialisasi dan kendala teknis, yakni tenaga dan waktu yang menjadi alasan para

pemilik apotek belum menaati kewajiban itu19.

Sedangkan yang menjadi fokus penelitian ini adalah meneliti dugaan

adanya pengaturan harga di industri farmasi. Karena terjadi perbedaan harga yang

sangat signifikan antara harga obat generik bermerek dengan obat generik non

merek. Sedangkan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek

tidak ada perbedaan zat berkhasiat.

Menurut Ketua KPPU, tingginya harga obat bisa disebabkan oleh beberapa

hal. Pertama, adanya perilaku usaha yang mengarah pada persaingan yang tidak

sehat seperti kartel; kedua, penyalahgunaan posisi dominan, ketiga, disebabkan

oleh kebijakan pemerintah yang tidak pas. Seperti kebijakannya tidak ada atau

kebijakannya terlalu berlebihan.

Kemudian yang dimaksud dengan obat generik non merek atau umum

disebut sebagai obat generik adalah obat yang menggunakan nama zat

berkhasiatnya dan mencantumkan logo lingkaran garis hijau pada kemasan obat

yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat, sedangkan obat generik

18“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm>, 12 Oktober 2008. 19“Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, <http://www2.kompas.com/ver1/ Metropolitan/0608/10/075619.htm>, 12 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

5Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 17: S24804-Corry Permata Sari.pdf

bermerek atau yang lebih umum disebut obat bermerek adalah obat yang diberi

merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya20.

Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara generik non merek dengan

generik bermerek. Satu-satunya perbedaan yang ada hanyalah generik yang satu

diberi merek, dan yang satunya lagi tidak diberi merek. Perbedaan harga yang

signifikan antara obat generik non merek dan obat generik bermerek untuk kelas

terapi tertentu tanpa perbedaan khasiat, mengindikasikan penyalahgunaan

penguasaan pasar oleh produsen obat terhadap konsumen. Karena harga yang

tinggi nampak dari harga obat generik yang belum ditetapkan oleh pemerintah.

Bedanya hanya pada ada atau tidaknya label, sehingga tidak seharusnya harganya

menjadi lebih mahal berkali-kali lipat hanya karena tidak adanya label. Obat

dengan nama generik yang sama pun dapat memiliki puluhan alternatif merek,

sehingga tidak mengherankan apabila jumlah obat yang beredar mencapai lebih

dari 16.000 an macam21.

Sejarah munculnya obat generik non merek (obat generik) yaitu, obat

generik ini diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 1991 dengan tujuan agar

masyarakat kelas menengah ke bawah dapat terpenuhi kebutuhannya akan obat22.

Harga obat generik dapat ditekan karena obat generik hanya berisi zat yang

dikandungnya dan dijual dalam kemasan dengan jumlah besar, sehingga tidak

diperlukan biaya kemasan dan biaya iklan dalam pemasarannya23. Dimana

proporsi biaya iklan obat dapat mencapai 20% - 30%, sehingga dengan tidak

adanya biaya iklan untuk obat generik, akan mempengaruhi harga obat secara

signifikan. Karenanya, memang sudah sewajarnya apabila harga obat generik jauh

lebih murah dari harga obat bermerek. Maka dari itu penulis tertarik untuk

melakukan penelitian terkait masalah-masalah di atas melalui penulisan skripsi

dengan judul ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang Dilakukan Oleh

20“Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”, <http://www.medicastore.com/ obat_generik/>, 30 agustus 2008.

21“Piliha Rasional Untuk Sehat”, <http://www.apotekkita.com/2008/12/pilihan-rasional-untuk-sehat/>, 23 desember 2008.

22“Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”, Op. Cit.. 23Ibid.

Universitas Indonesia

6Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 18: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan Harga Obat

Generik”.

1.2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang permasalahan yang telah

penulis uraikan sebelumnya, maka ditemukan beberapa permasalahan yang akan

diulas lebih lanjut oleh penulis pada bab-bab selanjutnya pada makalah ini.

Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain:

1. Apakah terdapat indikasi persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan

harga obat generik di Indonesia?

2. Bagaimana seharusnya penetapan harga obat generik oleh perusahaan-

perusahaan farmasi di Indonesia itu ditinjau dari perspektif hukum persaingan

usaha?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis melakukan penelitian mengenai adanya dugaan

persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik adalah untuk:

1. UMUM

a. Mengembangkan wawasan studi hukum tentang hukum persaingan

usaha;

b. Mengetahui pengaturan mengenai penetapan harga dalam peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

2. KHUSUS

a. Mengetahui berbagai hal berkaitan dengan persaingan usaha tidak sehat

dalam penetapan harga obat generik;

b. Mengetahui kesesuaian penetapan harga obat generik yang dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dengan ketentuan

Universitas Indonesia

7Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 19: S24804-Corry Permata Sari.pdf

peraturan perundang-undangan mengenai hukum persaingan usaha

khususnya.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

berkembangnya wawasan studi hukum penulis serta pembaca mengenai hukum

persaingan usaha, serta dapat memberikan tambahan pemikiran secara teoritis

kepada penulis dan pembaca didalam mengembangkan pengetahuan hukum

khususnya di bidang hukum persaingan usaha.

1.5. Batasan Penelitian

Agar penulisan skripsi ini lebih terfokus pada inti permasalahan dan untuk

memudahkan pengkajian dan penganalisaan maka penulis membatasi

permasalahan yang dibahas pada masalah ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat

yang Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam

Penetapan Harga Obat Generik”.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian secara ilmiah dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat

ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan

bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab-akibatnya,

atau kecenderungan-kecenderungan yang timbul24. Penelitian pada dasarnya

merupakan suatu upaya pencarian, bukan hanya sekedar mengamati dengan teliti

terhadap sesuatu obyek yang mudah terpegang di tangan25.

Penelitian hukum itu sendiri harus dilakukan secara metodologis,

sistematis, dan konsisten26. Metodologis berarti suatu penelitian dilakukan sesuai

24Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. (Jakarta: UI Press, 1986), hal.3. 25Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 27.

Universitas Indonesia

8Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 20: S24804-Corry Permata Sari.pdf

dengan metode atau tata cara tertentu; sistematis berarti penelitian dilakukan

berdasarkan suatu sistem27; sedangkan konsisten berarti penelitian dilakukan

secara taat asas28. Dengan demikian, tanpa adanya metode atau metodologi,

peneliti tidak akan mampu menemukan, merumuskan, menganalisa, maupun

memecahkan masalah-masalah tertentu, untuk mengungkapkan kebenaran29.

Metodologi penelitian hukum mempunyai ciri-ciri tertentu yang menjadi

identitasnya karena ilmu hukum dapat dibedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan

lainnya30. Penelitian hukum itu sendiri merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk

mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan

menganalisanya31.

Dalam skripsi tentang ”Dugaan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

Dilakukan Oleh Perusahaan-Perusahaan Farmasi di Indonesia dalam Penetapan

Harga Obat Generik” ini, penulis menggunakan tipe penelitian hukum normatif

yang berbasis pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the

books32. Pada tipe penelitian hukum normatif ini, yang diteliti adalah bahan

pustaka atau bahan sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan

tertier33. Dengan demikian, objek yang dianalisis dalam skripsi ini adalah norma

hukum, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang persaingan usaha34.

Dilihat dari sudut sifatnya, dikenal adanya penelitian eksploratoris,

penelitian deskriptif, dan penelitian eksplanatoris. Sifat penelitian dalam penulisan

26Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.3. mengutip H.L.Manheim, Sociological Research: Philosophy and Methods, (Illinois: The Dorsey Press, 1977), hal. 42. 27Ibid. 28Sri Mamudji dkk., Op.Cit., hal.2. 29Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.13.

30Ronny Hanitijo Soemitro, MetodologiPenelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990), hlm. 9.

31Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal.43. 32Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hal. 250.

33Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 52. 34Bambang Sunggono, Op.Cit., hal.42, mengutip Soetandyo Wignjosoebroto, ”Penelitian Hukum : Sebuah Tipologi”, Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke-I No.2, 1974.

Universitas Indonesia

9Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 21: S24804-Corry Permata Sari.pdf

skripsi ini yaitu penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan data

yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya35.

Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini adalah memberikan

gambaran yang sebenarnya terjadi dalam kasus penetapan harga obat generik oleh

perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia dan menganalisisnya dengan

ketentuan yang berlaku mengenai persaingan usaha khususnya mengenai

penetapan harga dan posisi dominan.

Secara umum di dalam penelitian biasanya dibedakan antara data yang

diperoleh langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer atau data dasar,

dan data yang diperoleh dari bahan pustaka yang dinamakan dengan data

sekunder36. Data yang dipergunakan dalam penelitian hukum untuk penulisan

skripsi ini adalah data sekunder.

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat37, yang terdiri

dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tema skripsi ini yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi;

3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/Menkes/SK/II/2006 tentang

Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Kemasan Obat;

4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang

Paket Deregulasi Pedagang Besar Farmasi;

5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan

Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi; dan

6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 tahun

1983 tentang Kebijaksanaan Obat Nasional.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer38. Bahan-bahan hukum sekunder yang penulis gunakan untuk

35Ibid., hal. 10. 36Ibid., hal. 51. 37Ibid., hal.52.

Universitas Indonesia

10Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 22: S24804-Corry Permata Sari.pdf

skripsi ini yaitu buku-buku ilmiah, artikel-artikel dari internet yang terkait tema

skripsi ini, serta hasil karya dari kalangan hukum seperti skripsi serta tesis dari

alumni fakultas hukum.

Di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis alat

pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau

observasi, dan wawancara atau interview dimana ketiga jenis alat pengumpulan

data tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung untuk

mendapatkan hasil semaksimal mungkin karena masing-masing jenis alat

pengumpulan data tersebut mempunyai kelemahan dan kelebihannya39.

Alat pengumpulan data mana yang akan dipergunakan dalam suatu

penelitian tergantung pada ruang lingkup dan tujuan penelitian hukum yang akan

dilakukan40. Setiap bahan hukum tersebut harus diperiksa ulang valididas dan

reliabilitasnya, karena hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian41.

Penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen

terhadap data sekunder sebagai cara untuk memperoleh data-data yang diperlukan

dalam upaya mencapai tujuan penelitian. Manfaat yang dapat diperoleh dari studi

kepustakaan ini, adalah:

a. Konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan

permasalahan penelitian;

b. Kesimpulan spesifik yang mengarah pada penyusunan jawaban sementara

terhadap permasalahan penelitian;

c. Informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian;

d. Kesimpulan umum yang diarahkan pada penyusunan jawaban teoritis terhadap

permasalahannya42.

38Ibid. 39Ibid., hal. 66. 40Ibid.

41Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 68. 42Bambang Sunggono, Op.Cit., hal.114-115.

Universitas Indonesia

11Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 23: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Terdapat dua pendekatan dalam melakukan analisis data suatu penelitian

hukum, yaitu pendekatan secara kuantitatif dan pendekatan secara kualitatif.

Dalam penelitian ini penulis melakukan analisis data dengan mempergunakan

pendekatan secara kualitatif karena penulis dalam melakukan penelitian ini

bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang penulis teliti43.

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis akan ditarik

kesimpulannya dengan menggunakan metode yang bersifat induktif, yang berarti

metode penarikan kesimpulannya adalah dengan cara menarik kesimpulan yang

bermula dari statemen-statemen khusus untuk kemudian tiba pada suatu

kesimpulan yang berdaya laku umum44. Metode penarikan kesimpulan ini

dilakukan dengan cara menganalisis peraturan perundangan-undangan di bidang

persaingan usaha dalam hubungannya dengan kasus adanya dugaan penetapan

harga obat generik oleh perusahaan-perusahaan farmasi di Indonesia yang

melanggar ketentuan hukum persaingan usaha, yang kemudian akan tiba pada

suatu kesimpulan.

1.7. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terbagi dalam lima Bab yang akan terdiri dari Sub

Bab-Sub Bab dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I adalah Pendahuluan dimana penulis menjelaskan latar belakang

permasalahan, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II adalah Persaingan

Usaha Indonesia dan Dunia Farmasi dimana penulis menjabarkan mengenai

persaingan usaha Indonesia, dilihat dari sejarah hukum persaingan usaha secara

umum, teori-teori hukum anti monopoli dalam sejarah, dan institusi persaingan

usaha Indonesia. Serta akan dijabarkan mengenai industri farmasi terkait sejarah

industri farmasi, perkembangan industri farmasi, dan gambaran umum

43Soerjono Soekanto, Op.Cit., hal. 32.

44“Legal Reasoning: Penalaran Deduktif dan Induktif Pada Penelitian Hukum”, <http://www.huma.or.id/>, 16 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

12Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 24: S24804-Corry Permata Sari.pdf

kemampuan industri farmasi di Indonesia. Bab III adalalah Analisis Mengenai

Penetapan Harga Pada Kasus Penetapan Harga Obat Generik oleh Perusahaan-

Perusahaan Farmasi di Indonesia yang berisikan pembahasan mengenai indikasi

adanya persaingan usaha tidak sehat dalam penetapan harga obat generik di

Indonesia, serta pembahasan mengenai bagaimana seharusnya penetapan harga

obat generik bila ditinjau dari perspektif hukum persaingan usaha. Pembahasan

yang akan dilakukan dikaitkan dengan regulasi-regulasi tentang obat yang sudah

ada di Indonesia selama ini. Dan analisa yang akan dilakukan pada bab ini akan

ditinjau dari Undang-Undang 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Bab IV adalah Penutup yang berisikan

kesimpulan-kesimpulan dan saran-saran.

Universitas Indonesia

13Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 25: S24804-Corry Permata Sari.pdf

BAB II

PERSAINGAN USAHA INDONESIA DAN DUNIA FARMASI

II.1. Persaingan Usaha Indonesia

II.1.1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha Secara Umum

Tujuan dari adanya kebijakan persaingan usaha adalah untuk memastikan

bahwa kompetisi atau persaingan pasar tidak terbatasi dalam cara-cara yang

membahayakan bagi masyarakat, dalam hal ini konsumen45. Bila dibandingkan

dengan sejarah hukum yang lain, sejarah tentang anti monopoli atau persaingan

usaha terbilang relatif baru. Baik sejarahnya dalam dunia internasional maupun di

Indonesia46.

Hukum anti monopoli memainkan peranan yang penting dalam mengatur

kegiatan bisnis di Inggris47. Pada awal diadakannya pengaturan hukum anti

monopoli dalam hukum Inggris, terdapat beberapa aspek yang dilarang

sehubungan dengan dilakukannya restriksi terhadap perdagangan di Inggris.

Dengan dasar pemikiran bahwa persaingan usaha yang terbuka dan beralasan

merupakan hal yang baik untuk konsumen maupun pelaku usaha, hukum anti

monopoli mencegah timbulnya tindakan-tindakan bisnis dari pelaku usaha yang

masuk kedalam perjanjian-perjanjian yang anti persaingan serta mencegah para

pelaku usaha bisnis tersebut untuk menyalahgunakan posisi dominan mereka48.

Sejak abad ke-17 hingga abad ke-20 telah terjadi berbagai perkembangan

pengaturan serta penafsiran untuk kasus-kasus monopoli di Inggris, baik

penerapan doktrin konspirasi kriminal maupun doktrin restraint of trade, dan

45“Competition Policy: Introduction”, <www.iue.it/Personal/Motta/courses/Amato-

Motta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf>, 16 Desember 2008.

46Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.35.

47“Competition Law and Policy in the EC and UK”, < http://www.routledge.com/97804 15458474>, 16 Desember 2008.

48Ibid.

Universitas Indonesia

14Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 26: S24804-Corry Permata Sari.pdf

akhirnya pada awal abad ke-20 kebijaksanaan mengenai hukum anti monopoli

yang ditujukan kepada persaingan pasar yang fair dan pencegahan eksploitasi

kekuatan pasar oleh kekuatan perusahaan tunggal secara monopoli ataupun oleh

kartel sudah ditinggalkan49. Saat ini Inggris sedang dalam proses mengadopsi

model baru dari sebuah hukum anti monopoli yang berdasarkan kepada sistem

hukum anti monopoli di European Community50.

Kebijakan persaingan usaha serta hukum persaingan usaha di Belanda

telah berkembang secara substansial dalam dekade yang lampau51. Pada tahun

1956 di Belanda dikenal suatu Undang-Undang yang bertujuan melarang

konspirasi bisnis yang membatasi persaingan dan merugikan kepentingan umum,

yaitu Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 (Wet Economische

Medediging)52. Dalam masyarakat Eropa pun pasal 85 dan 86 dari Traktat Roma

tahun 1957, yang merupakan dasar Masyarakat Ekonomi Eropa terbentuk, telah

pula mengatur tentang ketentuan anti monopoli sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang tentang Kompetisi Ekonomi tahun 1956 tersebut53.

Amerika mulai memberlakukan pengaturan tentang anti monopoli

menjelang akhir dari abad 19, yaitu pada tahun 1889 dan 189054. Berbagai

pengaturan antitrust dan anti monopoli di Amerika antara lain adalah Sherman

Act tahun 1890, Clayton Act dan Federal Commission Act tahun 1914, Robinson-

Patman Act tahun 1936, serta beberapa Undang-Undang Antitrust di tingkat

negara bagian Amerika55. Penyebab munculnya berbagai pengaturan tentang anti

monopoli tersebut di Amerika adalah terjadinya revolusi dalam bidang

49Ibid.

50Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64.

51“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”, <www.oecd.org /dataoecd/3/42/2497317.pdf>, 16 Desember 2008. 52Munir Fuady, Op. Cit., hal.38. 53Ibid.

54R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 2.

55Munir Fuady, Op.Cit., hal.38.

Universitas Indonesia

15Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 27: S24804-Corry Permata Sari.pdf

transportasi dan komunikasi yang mengarahkan kepada monopoli pasar, berbagai

inovasi dalam bidang teknologi, bertambah besarnya perusahaan-perusahaan yang

juga dilakukan melalui merger, serta terjadinya ketidakstabilan pasar sebagai

akibat dari krisis makro ekonomi dan perang harga yang memberikan insentif

untuk terbentuknya kartel serta trust56.

Sedangkan dalam sejarah Indonesia tidak banyak yang dicatat seputar

kelahiran serta perkembangan hukum persaingan usaha di Indonesia karena yang

banyak dicatat dalam sejarah justru tindakan-tindakan atau perjanjian dalam bisnis

yang sebenarnya harus dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli57.

Sebelum adanya Undang-Undang yang secara formal serta komprehensif

mengatur mengenai persaingan usaha, di Indonesia telah terdapat beberapa upaya

konkret untuk membuat konsep hukum persaingan usaha58. Sebelum tahun 1999

pun, secara sektoral dan tidak terkodifikasi, aturan tentang persaingan usaha telah

dapat ditemukan tersebar di berbagai produk perundang-undangan59, seperti di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil60, namun pengaturan tersebut

sangatlah minim, tidak memadai, dan tidak populer dalam masyarakat sehingga

tidak pernah diterapkan dalam kenyataan61.

Hingga akhirnya pada tanggal 5 Maret 1999 untuk pertama kalinya dalam

sejarah Indonesia diundangkan suatu hukum persaingan usaha yang komprehensif,

yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

56“Competition Policy: Introduction”, Op. Cit.

57Munir Fuady, Op.Cit., hal.41. 58Arie Siswanto, Op. Cit., hal.71. 59Ibid., hal.72. 60 Arie Siswanto, Op.Cit., hal.72-73 61Munir Fuady, Op.Cit., hal.42.

Universitas Indonesia

16Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 28: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang terdiri atas sebelas bab dan 53

pasal yang dipublikasikan melalui Lembaran Negara RI Nomor 33 Tahun 199962.

Beberapa faktor yang ikut mendorong diundangkannya hukum persaingan

usaha di Indonesia adalah adanya desakan dari IMF (International Monetary

Fund) agar Indonesia menyusun aturan persaingan usaha yang komprehensif, dan

adanya gagasan untuk memangkas segala jenis monopoli yang merugikan pasca

rezim Orde Baru63.

Asas dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana tercantum

dalam pasal 2 undang-undang tersebut adalah demokrasi dalam bidang ekonomi

dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan

kepentingan umum.

Adapun pokok-pokok pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 ini yaitu:

1. Perjanjian yang Dilarang, yang terbagi lagi menjadi:

• Oligopoli

• Pembagian Wilayah

• Pemboikotan

• Kartel

• Trust

• Oligopsoni

• Integrasi Vertikal

• Perjanjian Tertutup

• Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri

• Penetapan Harga

62Arie Siswanto, Op.Cit., hal. 71-72. 63Ibid., hal.71.

Universitas Indonesia

17Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 29: S24804-Corry Permata Sari.pdf

2. Kegiatan yang Dilarang, yang pembagian pengaturannya menjadi:

• Monopoli

• Monopsoni

• Penguasaan Pasar

• Persekongkolan

3. Posisi Dominan, yang dibagi lagi menjadi:

• Penyalahgunaan posisi dominan

• Jabatan rangkap (interlocking directorate)

• Pemilikan saham

• Penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan

Dalam skripsi ini yang akan lebih dibahas oleh penulis adalah mengenai

penetapan harga serta diskriminasi harga, berikut akan dijabarkan lebih luas

mengenai kedua poin pengaturan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tersebut.

Penetapan harga menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 dapat terwujud dalam beberapa bentuk berikut64:

1) Penetapan harga antarpelaku usaha

Penetapan harga antarpelaku usaha dilarang oleh pasal 5 ayat (1) dari

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 karena penetapan harga secara bersama-

sama di kalangan pelaku usaha akan menyebabkan tidak berlakunya hukum pasar

tentang harga yang terbentuk dari adanya penawaran dan permintaan65.

Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian

sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2), yaitu apabila perjanjian penetapan

harga itu dibuat dalam suatu usaha patungan, atau didasarkan oleh undang-undang

yang berlaku66.

2) Penetapan harga yang berbeda terhadap barang dan atau jasa yang sama

Yang dilarang berdasarkan pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

adalah membuat perjanjian yang memberlakukan diskriminasi terhadap

64Arie Siswanto, Op.Cit., hal.82. 65Munir Fuady, Op. Cit., hal.56. 66Arie Siswanto, Op. Cit., hal.82, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24.

Universitas Indonesia

18Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 30: S24804-Corry Permata Sari.pdf

kedudukan konsumen dan mengakibatkan konsumen yang satu harus membayar

dengan harga yang harus dibayar oleh konsumen lainnya67.

Meskipun demikian, bukan berarti semua pembedaan harga tersebut

dilarang oleh hukum persaingan usaha, karena apabila cost yang dikeluarkan oleh

penjual untuk satu konsumen dengan konsumen lainnya berbeda, maka tentunya

secara logis harganya pun tentunya akan berbeda pula68.

3) Penetapan harga di bawah harga pasar dengan pelaku usaha lain atau

pelaku usaha pesaingnya melalui perjanjian horizontal69

Larangan yang termuat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999 dimaksudkan agar pihak pesaing tidak dirugikan karena barang atau jasanya

tidak laku padahal harga barang atau jasanya sesuai dengan harga pasar. Larangan

ini baru berlaku apabila telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak

sehat70.

4) Penetapan harga jual kembali

Larangan ini termuat dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999. Maksudnya adalah agar pihak pembeli bebas menetapkan harga dari barang

atau jasa yang sudah dibelinya agar dapat dijualnya kembali sesuai dengan

permintaan dan penawaran yang ada di pasar71. Praktek semacam ini juga disebut

sebagai RPM (Resale Price Maintenance72).

Dalam teori ilmu hukum anti monopoli dikenal beberapa macam

diskriminasi harga yang dilarang, yaitu:

1. Diskriminasi harga primer

Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha

yang dapat mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pelaku usaha pesaingnya.

2. Diskriminasi harga sekunder

67Munir Fuady, Op. Cit., hal.56, dan Ahmad Yani, Op. Cit., hal.24. 68Munir Fuady, Ibid. 69Arie Siswanto, Op. Cit., hal.83. 70Munir Fuady, Op. Cit., hal. 59-60. 71Ibid., hal. 60. 72Arie Siswanto, Op. Cit., hal. 83.

Universitas Indonesia

19Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 31: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha

yang dapat mempunyai akibat negatif terhadap para konsumen dari pelaku usaha

pesaingnya.

3. Diskriminasi harga umum

Yaitu suatu diskriminasi harga yang dilakukan oleh seorang pelaku usaha

tanpa melihat kepada letak geografisnya.

4. Diskriminasi harga geografis

Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga dibeda-bedakan menurut

letak geografisnya.

5. Diskriminasi harga tingkat pertama

Ini disebut dengan diskriminasi harga sempurna, karena perbedaan harga

dari satu konsumen ke konsumen lainnya sangat jauh.

6. Diskriminasi harga tingkat kedua

Ini disebut juga dengan diskriminasi harga tidak sempurna, karena pihak

pembeli yang membeli pada tingkat harga yang lebih mahal memang membeli

dengan harga yang lebih mahal, akan tetapi bukan pada tingkat harga termahal

yang mungkin diberikan.

7. Diskriminasi harga secara langsung

Yaitu suatu diskriminasi harga yang diberikan oleh seorang penjual kepada

konsumen dimana terlihat dari harganya secara nominal memang berbeda antara

satu konsumen dengan konsumen lainnya.

8. Diskriminasi harga secara tidak langsung

Yaitu suatu diskriminasi harga dimana harga nominalnya tetap sama

namun ada kemudahan atau tambahan servis tertentu yang hanya diberikan

kepada pembeli tertentu secara diskriminatif73.

Dilarangnya diskriminasi harga oleh hukum persaingan usaha diakibatkan

oleh adanya faktor-faktor pertimbangan sebagaimana dibawah ini, yaitu74:

• Kesamaan Marginal Cost.

• Kesamaan kualitas dan kuantitas barang yang dijual.

73Munir Fuady, Op. Cit., hal. 57-59 74Ibid., hal.57.

Universitas Indonesia

20Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 32: S24804-Corry Permata Sari.pdf

• Kesamaan cost untuk memproduksi, menjual, dan delivery.

• Tidak ada perubahan harga karena perubahan atau perbedaan waktu.

• Marketability dari barang tersebut harus sama.

• Komponen harga yang berbeda.

II.1.2. Teori-Teori Hukum Anti Monopoli dalam Sejarah

Dalam sejarah hukum anti monopoli terdapat berbagai macam teori hukum

anti monopoli, seperti teori keseimbangan (balancing), teori output analysis, teori

market power analysis, teori ancillary restraint, teori per se, serta teori rule of

reason75. Dari berbagai teori tersebut, dua teori yang bahkan pada U.S. Antitrust

sendiri masih seringkali diperdebatkan penerapannya pada kasus adalah teori per

se dan teori rule of reason. Perdebatan yang tak kunjung selesai ini disebabkan

oleh kurangnya pemahaman mengenai karakter asli dari kedua teori tersebut serta

hubungan diantara teori per se dengan teori rule of reason76. Dua teori ini pula lah

yang digunakan dalam hukum anti monopoli Indonesia.

Teori per se yaitu suatu teori yang titik beratnya terletak pada struktur

pasar tanpa terlalu memperhitungkan kepentingan ekonomi dan sosial yang lebih

luas. Berdasarkan teori ini, pertukaran informasi harga antara pihak kompetitor

bagaimanapun juga dianggap bertentangan dengan hukum anti monopoli77.

Sedangkan yang dimaksud dengan teori rule of reason yaitu suatu teori

yang lebih berorientasi kepada prinsip efisiensi, dimana teori ini diterapkan

dengan melakukan pertimbangan antara akibat negatif dari tindakan tertentu

terhadap persaingan dengan keuntungan ekonomisnya. Berdasarkan teori ini,

haruslah dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat maksud atau pengetahuan

dari pihak pelaku terhadap konsekuensi dari tindakannya itu terhadap persaingan

pasar78.

75Ibid., hal. 46-50.

76Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European Competition Law Review, 1997), hal. 145.

77 Munir Fuady, Op. Cit,, hal.46-47. 78Ibid., hal.47.

Universitas Indonesia

21Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 33: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Menurut Oliver Black dalam jurnalnya yang berjudul “Per Se Rule and

Rules of Reason: What are They”, untuk dapat melihat asal mula timbulnya rule

of reason ini dapat dilakukan dengan mengkaji bagian I dari the Sherman Act,

yaitu "Every contract, combination in the form of trust or otherwise, or

conspiracy, in restraint of trade or commerce among the several states, or with

foreign nations, is hereby declared to be illegal"79. Dari bagian I the Sherman Act

ini dapat dilihat bahwa apabila kata-kata “restraint of trade or commerce” dibaca

sebagai mengacu kepada setiap jenis pembatasan betapapun kecilnya dan terdapat

kemungkinan tidak akan berdampak pada penghilangan persaingan, maka hal ini

akan menjaring terlalu banyak tindakan yang sebenarnya tidak harus diperiksa

apakah tindakan tersebut melanggar persaingan, karena terdapat kemungkinan

pembatasan kecil yang timbul tersebut memang hal yang normal terjadi dalam

suatu perdagangan. Karenanya kemudian U.S. Courts melakukan adopsi terhadap

bagian I the Sherman Act ini dengan menggunakan pendekatan yang diambil dari

common law terhadap restrictive covenant, yaitu mereka menginterpretasikan

larangan tersebut hanya diaplikasikan terhadap pembatasan-pembatasan yang

tidak beralasan80. Karena adanya interpretasi inilah kemudian timbul teori rule of

reason.

II.1.3. Institusi Persaingan Usaha Indonesia

Agar ketentuan-ketentuan tentang persaingan usaha dapat terwujud ke

dalam praktek, dibutuhkan adanya suatu badan yang memiliki tugas pokok

mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum persaingan usaha tersebut81.

Undang-undang nomor 5 tahun 1999 pun mensyaratkan perlunya dibentuk

suatu competition authority82 yang dinamakan Komisi Pengawas Persaingan

79Oliver Black, Op. Cit. 80Ibid.

81Ibid., hal. 101.

82Arie Siswanto, Ibid., hal. 92.

Universitas Indonesia

22Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 34: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Usaha dan diatur secara khusus di dalam bab VI undang-undang tersebut serta di

dalam pasal-pasal lain di luar bab VI83.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah suatu lembaga

independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak

lainnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan khusus dibentuk

oleh dan berdasarkan undang-undang untuk mengawasi jalannya undang-

undang84.

Tugas dari KPPU sebagaimana terdapat dalam pasal 35 undang-undang

nomor 5 tahun 1999 yaitu:

• Melakukan penilaian terhadap tindakan-tindakan yang dilarang berdasarkan

tiga kategori yang ada.

• Mengambil tindakan sesuai kewenangan komisi.

• Memberi saran dan pertimbangan terhadap competition policy pemerintah.

• Menyusun pedoman dan publikasi berkaitan dengan undang-undang ini.

• Mengajukan laporan berkala atas hasil kerja KPPU kepada Presiden dan

DPR85.

Sedangkan kewenangan dari KPPU adalah:

• Menampung laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang

dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

• Melakukan penelitian akan adanya dugaan kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat;

• Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh

masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh komisi sebagai

hasil dari penelitiannya;

83Ibid., hal. 92-93. 84Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Ibid., hal. 53. 85Arie Siswanto, Ibid., hal. 94, Munir Fuady, Ibid., hal. 101-102, dan Ahmad Yani, Ibid., hal. 55.

Universitas Indonesia

23Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 35: S24804-Corry Permata Sari.pdf

• Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini;

• Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain

guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;

• Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku

usaha lain atau masyarakat;

• Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;

• Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini86.

II.2. Industri Farmasi

Definisi dari farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat,

mencampur, meracik, memformulasi, mengidentifikasi, mengkombinasi,

menganalisis, serta menstandarkan obat dan pengobatan, juga sifat-sifat obat

beserta pendistribusian dan penggunaannya secara aman87. Webster memberikan

definisi farmasi sebagai the art, practice, or profession of preparing, preserving,

compounding, and dispensing medical drugs88. Kata farmasi itu sendiri dalam

bahasa Yunani disebut farmakon yang berarti medika atau obat89.

86Indonesia, Ibid., ps. 36. 87Syamsuni, Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, (Jakarta: EGC, 2006), hal.2. 88“Pharmacy”, <http://medical.merriam-webster.com/medical/pharmacy>, 18 Desember 2008. 89Syamsuni, Op. Cit..

Universitas Indonesia

24Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 36: S24804-Corry Permata Sari.pdf

II.2.1. Sejarah Industri Farmasi90

Definisi dari industri farmasi menurut SK MENKES RI No.

245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan

Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi adalah industri obat jadi dan industri

bahan baku obat.

Kemudian yang dimaksud dengan obat jadi yaitu sediaan atau paduan

bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem

fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi. Dan yang

dimaksud dengan bahan baku obat yaitu bahan-bahan baik yang berkhasiat

maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengelolaan obat dengan standar

mutu sebagai bahan farmasi.

Sejarah industri farmasi sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

tradisi tabib dan pengobatan yang telah berjalan ribuan tahun dan bahkan

diperkirakan telah ada bersamaan dengan keberadaan manusia di alam semesta

ini. Pada awalnya kemampuan mengobati dan meracik obat dipegang oleh satu

orang dan dalam prakteknya tidak didasarkan atas pengetahuan anatomi,

farmakologi, dan farmasi melainkan dijalankan secara spekulatif, dipengaruhi

oleh takhayul, dan perdukunan.

Perkembangan tradisi tabib dan pengobatan tersebut berkembang di

Yunani, Mesir, Cina, India, dan berbagai wilayah Asia seperti Timur Tengah,

dimana pada saat itu di Yunani pendeta dianggap sebagai orang yang mampu

menjaga kesejahteraan rohani dan jasmani rakyat. Namun lambat laun peran

pendeta ini diambil alih oleh tabib yang memperoleh ilmu pengobatan secara

intuitif dan empiris.

Pada tahun 400 SM terdapat sekolah kedokteran dengan alumninya yang

terkenal yaitu Hippocrates, yang merasionalisasikan ilmu pengobatan serta

meningkatkan profesi tabib pada taraf etik yang tinggi. Kemudian muncul pula

90Ibid., hal.6-7, dan Amir Hamzah Pane (369604211Y), Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Magister Manajemen, 1998, hal. 7 dan hal. 59.

Universitas Indonesia

25Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 37: S24804-Corry Permata Sari.pdf

tokoh Yunani lain yang bernama Galenus, seseorang yang ahli meracik obat dari

sari pati tumbuhan sehingga keterampilan meracik obat dari sari pati tumbuhan ini

kemudian dikenal dengan istilah Galenika. Dalam zaman keemasan Islam dikenal

sejumlah sarjana farmasi, yang salah satu tokoh paling terkenalnya adalah Abu

‘Ali al-Husayn bin ‘Abdullah bin Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina,

atau Avicenna (panggilan dari orang Barat), yang lahir pada tahun 980 M di

Afsyahnah, daerah dekat Bukhara yang sekarang menjadi wilayah Uzbekistan91.

Melalui Al-Qanun fi At Tibb, buku kedokteran klasik paling populer, Ibnu Sina

disebut sebagai “Bapak Kedokteran Modern”, bahkan sejarawan sains, George

Sarton, menyebut Ibnu Sina sebagai ilmuwan paling terkenal dari Islam92.

Pada tahun 1240 Kaisar Jerman, Kaisar Frederick II mengeluarkan

maklumat untuk memisahkan ilmu farmasi dan kedokteran sehingga masing-

masing ahli mempunyai keinsyafan, standar etik, pengetahuan, serta keterampilan

sendiri. Dengan adanya maklumat ini, keahlian farmasi menjadi profesi resmi

yang terpisah dari profesi kedokteran, namun tetap mempunyai tujuan yang sama

yaitu menolong orang sakit dan meningkatkan kesehatan umat manusia.

Sejarah industri farmasi modern dimulai pada tahun 1897 saat Felix

Hoffman menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom

ekstra hidrogen ke dalam ekstrak kulit kayu Willow sehingga menghasilkan

Acetylsalicylic acid yang selanjutnya dikenal sebagai Aspirin. Untuk

mengembangkan produk ini kemudian didirikan perusahaan farmasi modern

pertama di dunia, yaitu Bayer.

Di Indonesia sendiri, kelahiran industri farmasi dimulai dengan berdirinya

perusahaan perdagangan dan impor obat jadi serta menjadi distributor bagi produk

obat perusahaan farmasi luar negeri di tahun 1950-an. Dengan keluarnya Undang-

Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 serta Undang-Undang Penanaman

Modal Dalam Negeri tahun 1968, kesempatan bagi perusahaan farmasi di

Indonesia untuk bekerja sama dengan pihak asing untuk mendirikan industri

farmasi semakin terbuka lebar.

91“Ilmuwan Legendaris di Masa Kejayaan Buwaih”, Harian Republika, Selasa 23

Desember 2008, hal. 8.

92Ibid.

Universitas Indonesia

26Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 38: S24804-Corry Permata Sari.pdf

II.2.2 Perkembangan Industri Farmasi93

Perkembangan industri farmasi dunia mengalami peningkatan yang sangat

pesat sejak tahun 1980, yang ditandai dengan munculnya perusahaan bioteknologi

seperti Amgen, Genentech, Chiron, dan Genzyme yang mampu melakukan

penemuan obat baru tanpa proses screening laboratories. Meskipun perusahaan-

perusahaan tersebut relatif kecil, akan tetapi memiliki penjualan tahunan yang

sangat besar karena hasil penemuannya dapat dijual ke Big Pharma seperti Glaxo

Wellcome, Merck, dan lain-lain, yang kemudian memproduksi serta

memasarkannya ke seluruh dunia.

Aliansi strategis ini menghasilkan bisnis yang menguntungkan bagi kedua

belah pihak, karena mereka dapat memperoleh hasil penjualan yang sangat besar,

serta dengan adanya bentuk kerjasama ini dapat mempersingkat proses research

and development yang biasanya memakan waktu 13 tahun dan menghabiskan

biaya hingga US$ 300 juta untuk satu jenis obat baru.

Sejak tahun 1980 itu pula, peta kefarmasian Indonesia telah berubah

drastis yang ditandai dengan terjadinya merger, integrasi vertikal, serta aliansi

strategis yang secara umum penyebab dari perubahan mendasar ini yaitu agar

tetap survive dalam era perdagangan tanpa batas, makin meningkatnya anggaran

research and development, semakin pendeknya siklus usia produk, dan adanya

tekanan pada harga obat khususnya di negara maju sebagai upaya menekan biaya

belanja kesehatan yang dilakukan oleh asuransi kesehatan.

Di Indonesia sendiri, pemerintah mendorong tumbuhnya industri farmasi

dan jalur distribusinya dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan

No.918/Menkes/Per/X/1993 yang merupakan paket deregulasi Pedagang Besar

Farmasi (PBF), dengan diperbolehkannya perusahaan farmasi PMA membuka

PBF sepanjang bekerjasama dengan perusahaan lokal.

Besarnya populasi penduduk menyebabkan berbagai industri farmasi luar

negeri berlomba-lomba membuka anak perusahaannya di Indonesia. Meskipun

demikian karakteristik industri farmasi Indonesia tidak jauh berubah sejak tahun

1970-an hingga saat ini, yaitu hanya merupakan industri farmasi formulasi, yang

93Ibid., hal. 13, hal. 61, dan hal. 90.

Universitas Indonesia

27Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 39: S24804-Corry Permata Sari.pdf

oleh UNIDO dikelompokkan kedalam klasifikasi C1 yakni negara yang industri

farmasinya berkemampuan reproduktif dalam memformulasi bahan baku dan obat

jadi.

Sampai dengan tahun 1996 perkembangan industri farmasi dan PBF di

Indonesia sangat pesat meskipun lokasinya hanya terkonsentrasi di pula Jawa.

Perkembangan yang sangat pesat ini pun menyebabkan persaingan sesama

perusahaan farmasi menjadi sangat ketat, terlebih dengan adanya batas waktu

penerapan ketentuan hak paten bagi copy product dan copy process.

II.2.3. Gambaran Umum Kemampuan Industri Farmasi di Indonesia

Persaingan di industri farmasi bukanlah terletak pada tampilan,

kemewahan, ataupun harga, melainkan pada khasiat, keamanan, serta jangkauan

terapi obat. Obat yang beredar dapat langsung menjadi usang pada saat

perusahaan farmasi lain mampu memproduksi obat yang lebih baik dari segi

khasiat, keamanan, maupun jangkauan terapi obat94.

Tingkat persaingan pasar produk farmasi sangat tinggi terlebih dengan

adanya kemungkinan munculnya produk baru dari perusahaan farmasi asing,

sehingga menyebabkan perusahaan farmasi Indonesia harus terus-menerus

melakukan pemantauan terhadap kemungkinan munculnya produk baru yang

dapat dilisensi sehingga menjadi first mover dalam mengenalkan produk

tersebut95.

Bahan baku industri farmasi terdiri dari bahan dasar, bahan pembantu, dan

pengemas. Namun sayangnya dari tiga kelompok bahan baku industri farmasi

tersebut, belum ada yang mampu diproduksi di Indonesia, sehingga menyebabkan

perusahaan farmasi Indonesia sangat rentan terhadap resiko fluktuasi nilai mata

uang yang mengakibatkan harga produk akhir (obat jadi) akan sebanding dengan

fluktuasi nilai dolar karena harus selalu mengimpor bahan baku obat-obatan yang

akan diproduksi di Indonesia96.

94Ibid., hal. 71. 95Ibid., hal.72. 96Ibid.

Universitas Indonesia

28Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 40: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Pemalsuan produk merupakan persoalan serius yang dihadapi oleh industri

farmasi Indonesia. Pemalsuan produk ini dapat berupa bahan baku yang tidak

sesuai dengan khasiat, pemalsuan merek, serta pemalsuan kemasan yang

dilakukan dengan cara pabrikasi yang sederhana97.

Aspek keterjangkauan harga merupakan hal yang penting bagi pengadaan

obat. Karenanya untuk mendukung tercapainya keterjangkauan harga, pemerintah

telah menerapkan kebijaksanaan obat generik yang harganya lebih murah 30% -

60% dibandingkan dengan obat non generik98.

Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai obat generik, penulis akan

sedikit menjabarkan mengenai pengertian serta penggolongan obat. Obat secara

umum diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran yang dipergunakan

oleh semua makhluk untuk bagian dalam dan luar tubuh guna mencegah,

meringankan, dan menyembuhkan penyakit99. Menurut undang-undang, yang

dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau campuran bahan untuk

dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi,

menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka100.

Pengertian obat secara khusus dapat dibagi menjadi:

-Obat jadi. -Obat tradisional

-Obat paten. -Obat esensial.

-Obat baru. -Obat generik.

-Obat asli101.

Penggolongan obat dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria:

• Menurut kegunaan obat.

• Menurut cara penggunaan obat.

• Menurut cara kerja obat

• Menurut undang-undang.

97Ibid. 98Ibid., hal. 79. 99Syamsuni, Op. Cit., hal. 47. 100Ibid. 101Ibid., hal. 47-48.

Universitas Indonesia

29Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 41: S24804-Corry Permata Sari.pdf

• Menurut sumber obat.

• Menurut bentuk sediaan obat.

• Menurut proses fisiologis dan biokimia dalam tubuh102.

Lebih lanjut pemasyarakatan pemakaian obat generik di Indonesia sangat

lambat, sosialisasi (promosi) dan penegakan aturan tentang obat generik ini pun

masih lemah103. Hal ini diperkirakan karena pemahaman dan apresiasi masyarakat

terhadap obat generik sangat kurang, disamping pengertian obat paten yang selalu

dicampuradukkan dengan obat bermerek104.

Kata ”paten” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ”patent” yang

dalam bahasa Inggris artian bebasnya adalah suatu hak yang dilindungi hukum

untuk tidak bisa ditiru atau dipalsukan105. Obat paten itu sendiri adalah obat milik

suatu industri farmasi penemu formulasi obat (pabrik inovator), yang memiliki

merek terdaftar yang dipatenkan dan dilindungi hukum, sehingga untuk jangka

waktu tertentu industri farmasi tersebut menjadi pemilik sah dari pembuatan dan

merek obat. Setelah masa paten dari suatu obat habis, perusahaan yang semula

memonopoli hak untuk memproduksi obat paten tersebut tidak dapat lagi

melarang perusahaan lain untuk memproduksi serta menjual obat yang bio-

equivalent dengan obat paten tersebut yang sekarang telah berubah nama menjadi

obat generik106.

Obat paten yang diproduksi oleh pabrik inovator merupakan produk yang

beredar di pasar dan telah terbukti khasiat, keamanan, dan kualitasnya melalui

berbagai tahapan uji pra klinis dan klinis. Obat generik hanya meng-”copy” obat

paten yang sudah ada, dan sudah habis masa patennya. Sehingga, untuk menilai

khasiat, keamanan, dan kualitas obat generik tidak diperlukan lagi tahapan uji

102Ibid., hal. 48-50. 103“Problema di Seputar Obat Generik”, < http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi? newsid1110347915,99818>, 4 November 2008. 104Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 79. 105Ibid.

106 Jacques-Philippe Gunther dan Charlotte Breuvart, “Misuse of Patent and Drug Regulatory Approval Systems in The Pharmaceutical Industry: an Analysis of US and EU Converging Approaches”, (European Competition Law Review, 2005), hal. 669.

Universitas Indonesia

30Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 42: S24804-Corry Permata Sari.pdf

praklinis dan klinis. Faktor inilah yang antara lain mengurangi biaya yang sangat

signifikan di dalam pengembangan obat generik107.

Nama obat generik itu sendiri hanya didasarkan pada nama zat aktif yang

terkandung di dalam obat tersebut, misalnya Rifampisin sebagai obat anti-TBC,

Captopril sebagai obat antihipertensi, dan Levofloxacin sebagai obat antibiotik108.

Ciri-ciri dari obat generik adalah obat generik biasanya (dan memang

seharusnya) harganya lebih murah, seringkali hanya terdiri dari satu substansi,

memiliki kemasan yang lebih sederhana109, dan selalu ditandai dengan logo

lingkaran garis hijau yang menunjukkan tanda khusus dari produsen obat (contoh

logo terlampir)110.

Kualitas obat generik memiliki kualitas yang setara dengan obat paten jika

sudah melalui suatu tahap penelitian yang disebut uji bioekivalensi yang tujuan

utamanya mengetahui kesetaraan efek terapi antara obat generik dan obat

patennya111. Kini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan

aturan yang lebih ketat dalam pemberian izin edar beberapa jenis obat generik

karena obat generik tersebut baru akan mendapat nomor registrasi dari BPOM jika

sudah terbukti kesetaraannya dengan obat paten melalui uji bioekivalensi112.

Uji bioekivalensi adalah suatu pengujian untuk obat copy atau obat

generik dengan cara membandingkan bioavailabilitasnya atau ketersediaannya

dalam sirkulasi sistemik dengan obat pembandingnya yang biasanya merupakan

obat paten, dengan cara melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat

yang mencapai peredaran darah. Cara pengujiannya adalah dengan memberikan

obat uji dan obat pembanding dalam periode pemberian yang terpisah kepada

107“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, <http://www.dexa-medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=2&id=353>, 4 November 2008. 108Ibid. 109 “Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, <http://konservasipapua.blogspot.com/2006 /08/tips-mencari-khasiat-obat.html>, 4 November 2008. 110“Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, <http://www.tempointeractive.com /hg/nusa/jawamadura/2007/12/02/brk,20071202-112723,id.html>, 4 November 2008. 111“Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit. 112Ibid.

Universitas Indonesia

31Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 43: S24804-Corry Permata Sari.pdf

sejumlah sukarelawan yang menjadi subjek dari uji bioekivalensi tersebut.

Kemudian untuk dapat melihat jumlah dan kecepatan zat aktif dalam produk obat

yang mencapai peredaran darah, dilakukan pengukuran kadar obat di dalam

spesimen biologis seperti darah atau urin milik para sukarelawan subjek uji

bioekivalensi tersebut. Untuk dapat dikatakan suatu obat uji bioekivalen dengan

obat pembandingnya, jumlah dan kecepatan zat aktif dalam obat uji yang terdapat

di dalam darah harus sama dengan obat pembandingnya.

Penerapan konsepsi nama generik untuk rasionalisasi harga obat sudah

mulai digiatkan oleh pemerintah melalui SK MENKES No.47 tahun 1983 tentang

Kebijaksanaan Obat Nasional. Pemerintah juga memiliki instrumen untuk

mengontrol rasionalisasi harga obat dengan ditetapkannya harga patokan tertinggi

obat generik yang dievaluasi setiap tahun113.

Nilai penjualan obat generik dunia pada tahun 1991 adalah sebesar US$ 15

miliar dari total penjualan obat sebesar US$ 187,5 miliar yang berarti 18% dari

penjualan obat dunia adalah untuk obat generik114. Di negara maju justru obat

generik lebih populer dibandingkan dengan di negara berkembang115. Tahun 1990

penjualan obat generik di Amerika Serikat sebesar 30% dari total penjualan obat,

Denmark 50%, Jerman 17%, Inggris 10%, dan Belanda 16%116. Hal ini

menunjukkan bahwa justru di negara maju anggapan bahwa obat generik tidak

berkualitas tidak berlaku di sana.

113Ibid. 114 Amir Hamzah Pane, Op. Cit., hal. 80. 115 Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, Op. Cit. 116Ibid.

Universitas Indonesia

32Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 44: S24804-Corry Permata Sari.pdf

BAB III

ANALISIS MENGENAI PENETAPAN HARGA PADA KASUS

PENETAPAN HARGA OBAT GENERIK OLEH PERUSAHAAN-

PERUSAHAAN FARMASI DI INDONESIA

III.1. Indikasi Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Penetapan Harga Obat

Generik di Indonesia

Terkait mahalnya harga obat generik di Indonesia, terdapat perbedaan

pandangan antara perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen dengan

masyarakat kelas menengah ke bawah yang mengkonsumsi obat generik sebagai

konsumen. Perusahaan-perusahaan farmasi sebagai produsen memandang bahwa

obat-obat generik yang mereka produksi dan beredar di Indonesia sudah teramat

murah sampai-sampai mereka hampir merugi dan bahkan mereka meminta

diberikan subsidi dari pemerintah untuk bahan baku obat generik117. Perusahaan-

perusahaan farmasi juga meminta pemerintah melakukan peninjauan ulang

terhadap harga obat generik, karena di dalam harga pokok obat terdapat pula

variabel bahan baku dan biaya produksi sehingga dengan melonjaknya harga

minyak internasional maka akan menyumbang kenaikan biaya produksi sebesar

15%-20%118. Unsur-unsur yang menyebabkan para pelaku usaha farmasi memiliki

pandangan bahwa harga obat generik yang mereka produksi terlalu murah dan

berharap untuk dinaikkan adalah diimpornya sebagian besar bahan baku obat.

Dimana sesuai dengan struktur keadaan Negara Indonesia ini yang masih berbelit-

belit birokrasinya sehingga menimbulkan biaya-biaya yang tinggi untuk hal yang

tidak seharusnya seperti adanya pungutan-pungutan liar dan biaya yang besar

untuk mengeluarkan barang dari pelabuhan. Rantai birokrasi di Indonesia seperti

sengaja diperpanjang. Sistem pelayanannya tidak dibuat secara terpadu dengan

sistem pelayanan satu pintu. Hal-hal itulah yang menimbulkan mahalnya harga

117”Obat Generik Terancam Hilang”, <http://tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=26142

&kategori=9>, 19 Desember 2008.

118”Indofarma Belum Naikkan Harga Obat Meski BBM Naik”, <http://jkt2.detikhot.com/ read/2008/05/29/120234/946987/124/.http://jkt2.detikhot.com>, 19 Desember 2008.

Universitas Indonesia

33Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 45: S24804-Corry Permata Sari.pdf

pokok impor. Diimpornya sebagian besar bahan baku obat tersebut merupakan

efek dari kelemahan sistem pembangunan Indonesia yang setiap kali ada

pembangunan pabrik akan selalu memakai substitusi impor (raw materialnya

harus impor). Padahal di Indonesia sebenarnya semuanya tersedia, dan juga

dengan tidak terlalu mengandalkan kepada impor bahan pembuatan obat, akan

turut menyejahterakan masyarakat karena mereka akan mendapat lapangan

pekerjaan. Kalaupun dirasa yang tersedia di Indonesia belum cukup layak,

seharusnya jangan juga mengimpor barang jadi, namun sebisa mungkin

mengimpor barang yang setengah jadi saja agar proses pengolahan selanjutnya

dapat tetap dilakukan di Indonesia. Contoh sederhana lainnya, mie instan yang

tepungnya di impor, dengan mie instan yang tepungnya olahan dalam negeri,

maka mie instan yang tepungnya hasil olahan dalam negeri harganya akan lebih

murah.

Selain karena impor bahan baku, unsur lainnya adalah perbedaan yang

terlampau jauh antara kurs rupiah dengan kurs dolar juga mengakibatkan

pandangan para pelaku usaha farmasi tersebut. Contohnya saja US$ 1 = Rp.

11.000, maka bagi yang terbiasa bertransaksi dengan menggunakan dolar memang

tidak akan berpikir obat di Indonesia mahal, akan tetapi lain halnya bagi rakyat

Indonesia terutama kalangan menengah kebawah yang bertransaksi dengan

menggunakan rupiah, mereka akan menganggap bahwa harga obat di Indonesia

memang mahal. Karenanya apabila pihak produsen mematok harga pokok obat

generik yang mereka produksi dengan unsur karena impor (yang berarti dengan

kurs dolar), otomatis harga obat generik di Indonesia akan terasa mahal bagi

konsumen dalam negeri. Contoh sederhananya saja, coca cola yang dibeli di

Singapura seharga 3 dolar, ketika dibawa ke Indonesia akan menjadi Rp.30.000,

sedangkan bila membeli coca cola yang diproduksi di Indonesia, cukup

membelinya dengan harga Rp. 2.500.

Seharusnya masyarakat mendapatkan kesempatan yang sama untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan mempunyai akses yang

sama untuk mendapatkan obat yang terjamin kualitasnya sesuai daya belinya119.

119”Obat untuk Siapa”, <http://yugosan.blogspot.com/2008/07/obat-untuk-siapa.html>, 19 Desember 2008.

Universitas Indonesia

34Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 46: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Untuk mengatasi perbedaan pandangan serta pendapat antara produsen dan

konsumen tersebut, pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan berupaya untuk

menjembatani perbedaan tersebut dengan mengeluarkan suatu kebijakan terkait

harga obat generik, yaitu dengan adanya SK Menteri Kesehatan Nomor

487/Menkes/SK/VII/2006 yang menetapkan harga obat generik sebagai pengganti

SK Menteri Kesehatan Nomor 336/Menkes/SK/V/2006 tentang Harga Obat

Generik yang mengatur harga 386 item obat generik. Namun meskipun SK

Menteri tersebut memiliki niat yang baik, akan tetapi tidak akan efektif apabila

tidak melihat kepada sisi produsen seperti darimana sumber bahan baku obatnya,

bagaimana penyediaan bahan bakunya, dan bagaimana rantai birokrasi serta

perizinannya.

Berdasarkan hasil penelusuran serta analisa penulis, penulis berpendapat

bahwa justru kebijakan pemerintah yang dimaksudkan untuk membantu

menyejahterakan masyarakat banyak tersebut dikhawatirkan malah akan

memfasilitasi terjadinya kartel diantara pelaku usaha farmasi. Karena kartel

merupakan salah satu bentuk dari tindakan pelanggaran persaingan usaha yang

paling menarik untuk dilakukan oleh para pelaku usaha. Adam Smith menulis

dalam The Wealth Nations pada tahun 1776, “People of the same trade seldom

meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a

conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices”120. Dengan

seringnya para pelaku usaha dalam bisnis yang sama bertemu, perbincangan yang

terjadi diantara mereka yang semula memperbincangkan mengenai hal-hal yang

tidak berkaitan dengan kegiatan bisnis mereka seperti kegiatan-kegiatan yang

mereka lakukan pada waktu luang mereka, namun pada akhir perbincangan

mereka tersebut akan dihasilkan suatu konspirasi yang bertentangan dengan

kesejahteraan konsumen, atau bahkan perbincangan mereka tersebut akan

berujung pada terbentuknya suatu plot untuk menaikkan harga. Untuk

mengalahkan kartel, berdasarkan sistem ekonomi caranya adalah dengan

menerapkan sistem ekonomi liberal yang terkendali. Jadi meskipun para pelaku

usaha dibiarkan untuk bersaing sebebas-bebasnya namun untuk hal-hal tertentu

120R. Shyam Khemani, A Framework for the Design and Implementation of Competition

Law and Policy, (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999), hal. 21.

Universitas Indonesia

35Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 47: S24804-Corry Permata Sari.pdf

seperti contohnya untuk bahan baku yang penting, jangan dikuasai oleh satu

pelaku usaha melainkan harus tersedia di pasar secara bebas. Globalisasi

merupakan salah satu alternatif untuk menghilangkan kartel, namun untuk negara-

negara berkembang pemerintahnya harus melakukan perlindungan kepada

masyarakatnya terutama golongan ekonomi lemah atau pengusaha-pengusaha

kecil dengan cara salah satunya yaitu memberikan subsidi untuk melindungi

konsumen yang tidak mampu. Apabila harga obat generik dapat ditekan melalui

jalan pemfokusan kepada produk-produk dalam negeri untuk proses produksi,

industri-industri akan dapat menambah tenaga kerja, bahan baku dalam negeri

dapat diolah secara meluas sehingga dapat memakai banyak tenaga kerja, daya

beli masyarakat akan naik, dan karena anggaran pemerintah Indonesia masih

terbatas maka dengan murahnya harga obat generik otomatis pemerintah dapat

membangun lebih banyak Puskesmas sehingga akan lebih banyak pula masyarakat

tidak mampu yang akan terbantu.

Dalam melakukan penetapan harga obat, pemerintah juga harus melakukan

peninjauan harga atas harga-harga yang sudah ditetapkan sebelumnya secara

berkala. Apabila peninjauan harga secara berkala tersebut terus-menerus tidak

dilakukan, maka sangat dimungkinkan akan timbulnya kartel diantara pelaku

usaha farmasi karena mereka harus dapat mempertahankan kehidupan

perusahaannya sehingga berbagai cara akan mereka lakukan untuk dapat bertahan

hidup. Dimana salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan tanpa

melanggar ketentuan dari pemerintah tentang harga obat yang sudah ditetapkan

oleh pemerintah dengan harga yang murah tanpa memperhatikan kondisi

perekonomian adalah dengan membentuk suatu kartel diantara para pengusaha

farmasi tersebut. Mereka akan bersepakat untuk melakukan pengaturan produksi

obat generik dan melakukan pengaturan atas pemasaran obat-obat generik

tersebut.

Dampak dari adanya penetapan harga obat oleh pemerintah tanpa adanya

peninjauan secara berkala untuk dilihat kesesuaiannya dengan kondisi saat ini

sudah mulai terlihat. Sejumlah obat generik yang penting mulai sulit untuk

ditemukan di apotek-apotek. Kalaupun ada, harga dari obat generik tersebut

Universitas Indonesia

36Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 48: S24804-Corry Permata Sari.pdf

meningkat sekitar 5% - 40%121. Pernah pula salah satu obat generik benar-benar

menghilang di peredaran dengan alasan mahalnya harga bahan baku obat122.

Kenyataan yang terjadi di lapangan, setelah harga obat generik ditetapkan

dengan harga yang ekonomis ternyata masih bisa memberikan bonus untuk apotek

sebesar 20% - 60%123. Yang berarti masih terdapat selisih harga yang cukup besar

dengan penurunan yang dilakukan pemerintah.

Mengenai perbedaan harga yang mencolok antara obat generik bermerek

dengan obat generik non merek, menurut pandangan penulis terdapat empat poin

yang dapat menjadi penyebabnya. Yang pertama ialah biaya publikasi yang besar

yang diperlukan oleh obat generik bermerek untuk dapat mempublikasikan

produknya. Yang kedua adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan

yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk dapat tetap

mempertahankan citra mereknya. Apabila salah satu atau kedua poin tersebut

yang menjadi penyebab mahalnya harga obat generik bermerek dibandingkan

dengan obat generik non mereknya, hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang

salah, karena biaya publikasi serta biaya untuk mempertahankan citra suatu merek

merupakan hal yang wajar untuk dikeluarkan oleh suatu perusahaan. Sebagaimana

dikatakan oleh DR. Dr. Fachmi Idris, M.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan

Dokter Indonesia (IDI) periode 2006-2009 bahwa untuk obat generik itu sendiri

memang tidak terdapat perbedaan zat berkhasiat antara generik non merek dengan

generik bermerek124. Perbedaannya hanyalah obat generik non merek diberi logo

oleh pemerintah, dan obat generik bermerek tidak diberi logo oleh pemerintah

melainkan diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang memproduksinya.

Karenanya harga obat generik non merek memang seharusnya lebih murah karena

harganya sudah ditetapkan oleh pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat.

121“Obat Generik Langka dan Mahal”, <www.kompas.com/kompas-

cetak/0704/27/jatim/65739.htm>, 12 Desember 2008.

122“Menkes: Aksi Mafia Membuat Harga Obat Mahal”, <http://www.detikinet.com/read/2007/12/17/124615/868074/10/menkes-aksi-mafia-membuat-harga-obat-mahal>, 12 Desember 2008.

123“Soal Penetapan Harga Jangan sampai Obat Langka”,

<http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008.

124“Beralihlah ke Obat Generik”, < http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php? option=com_content&task=view&id=565&Itemid=1>, 18 Desember 2008.

Universitas Indonesia

37Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 49: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Selain itu biaya promosi obat generik non merek tidak sebesar obat generik

bermerek sehingga lebih ekonomis.

Dua poin lainnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat

generik bermerek dibandingkan dengan harga obat generik non merek meskipun

khasiat keduanya sama yaitu adanya kemungkinan terdapat kolusi diantara para

pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut untuk

menjaga level harga mereka yang tetap tinggi. Hal ini terlihat dari, meskipun

banyak pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek, akan

tetapi kesemuanya sama-sama menjual obat generik bermerek produksinya

dengan harga yang mahal bila dibandingkan dengan harga obat generik non

mereknya, padahal besarnya tiap-tiap perusahaan tersebut jelas berbeda, sehingga

besarnya biaya produksi tiap-tiap perusahaan pasti berbeda. Meskipun memang

antara perusahaan farmasi yang satu dengan perusahaan farmasi yang lain tidak

menyeragamkan harganya, akan tetapi mereka sama-sama tetap menjaga level

harga mereka pada posisi yang tinggi. Ini tidak akan terjadi apabila persaingan

usaha terjadi secara kompetitif. Dengan kompetitifnya persaingan yang terjadi,

pasti akan ada diantara perusahaan farmasi itu yang melakukan langkah-langkah

inovatif untuk dapat menjual obat generiknya dengan harga yang lebih murah

dibandingkan dengan pesaingnya yang memproduksi jenis obat generik yang

berkhasiat sama dengan tujuan untuk menarik konsumen dan memperbesar pangsa

pasar. Namun dengan tidak terjadinya hal tersebut, dapat dicurigai bahwa telah

terjadi suatu tindakan anti persaingan diantara para pelaku usaha farmasi untuk

tetap menjaga level harga mereka pada tingkat yang tinggi untuk menghindari

berpindahnya konsumen kepada perusahaan yang memproduksi obat dengan

harga yang lebih murah dibanding pesaingnya.

Apabila benar hal inilah yang menyebabkan mahalnya harga obat generik

bermerek di Indonesia, maka terdapat indikasi timbulnya kartel diantara para

pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik bermerek tersebut. Dengan

asumsi bahwa benar terjadi kartel diantara para pelaku usaha farmasi yang sama-

sama memproduksi obat generik dengan cara membuat perjanjian diantara mereka

untuk mempengaruhi harga obat generik bermerek, hal ini akan mengakibatkan

terganggunya kesejahteraan masyarakat karena masyarakat harus tetap membayar

Universitas Indonesia

38Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 50: S24804-Corry Permata Sari.pdf

mahal untuk membeli obat yang seharusnya dapat mereka beli dengan murah, dan

juga efisiensi yang menjadi tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 tidak tercapai karena para pelaku usaha tidak melakukan usaha-usaha

yang inovatif untuk dapat mencapai efisiensi tersebut, dengan anggapan bahwa

mereka tidak perlu repot-repot berusaha menurunkan harga karena dengan harga

yang tinggi pun produk mereka akan selalu laku di pasaran karena mereka tidak

memiliki saingan. Dengan asumsi demikian, maka para pelaku usaha farmasi yang

memproduksi obat generik ini telah melakukan tindakan anti persaingan dan

melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Namun demikian berdasarkan hasil penelusuran penulis, literatur-literatur

ekonomi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kesepakatan untuk melakukan kolusi

yang terjadi diantara para pelaku usaha farmasi ini yang kemudian dapat

membentuk suatu ”tacitly collusive group” dapat dilihat kemampuan para anggota

grupnya untuk menyetujui kesepakatan dengan bergantung kepada setidaknya

empat aspek dari struktur pasar yaitu meningkatnya pembagian pasar,

meningkatnya jumlah pelaku usaha yang menjadi anggota grup kolusi yang akan

mengakibatkan mengecilnya pembagian keuntungan, meningkatnya tingkat ke-

asimetrisan diantara para anggota grup yang akan memunculkan satu anggota

grup dengan insentif yang besar untuk mematahkan kesepakatan kolusi, serta

meningkatnya tingkat ke-asimetrisan antara anggota grup dengan pelaku usaha

yang bukan anggota grup karena perusahaan yang relatif besar dan tidak menjadi

bagian dari grup kolusi tersebut akan memiliki kemampuan yang lebih besar

untuk meningkatkan produksi serta mencuri penjualan dari anggota grup125.

Dengan demikian, tindakan kesepakatan berkolusi yang dilakukan oleh para

pelaku usaha farmasi tersebut dapat dikatakan sangatlah rapuh karena sewaktu-

waktu dapat saja salah satu diantara anggota grup mendadak keluar dari grup

karena ingin meraih keuntungan serta pangsa pasar yang lebih besar, dapat pula

muncul pelaku usaha baru diluar grup tersebut yang berani menjual dengan harga

yang lebih murah dibandingkan dengan anggota grup karena pelaku usaha baru ini

melakukan berbagai inovasi agar tercapainya efisiensi sehingga dia dapat menjual

125David Parker, “A Screening Device for Tacit Collusion Concerns”, (European

Competition Law Review, 2006), hal.424.

Universitas Indonesia

39Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 51: S24804-Corry Permata Sari.pdf

obat generik dengan harga yang lebih murah dibanding pesaing-pesaingnya

dengan khasiat yang sama bagusnya.

Poin berikutnya yang dapat menjadi penyebab mahalnya harga obat

generik bermerek yaitu, adanya kemungkinan terdapat kolusi antara dokter

dengan pelaku usaha farmasi yang disebabkan oleh tidak transparannya harga obat

dan minimnya informasi soal obat126. Selain adanya kemungkinan terjadinya

kolusi antara dokter dengan pelaku usaha farmasi, berdasarkan hasil penelitian

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), terdapat juga permainan dengan

apotek127. Karena bisa saja seorang dokter menyetujui permintaan pasiennya agar

dituliskan resep generik akan tetapi ketika sudah sampai di apotek, resep itu akan

segera diganti menjadi obat paten, bukan generik lagi. Seandainya benar terjadi

kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apotek, dan pelaku

usaha farmasi tersebut telah melakukan kesepakatan dengan mayoritas dokter

maupun apotek di suatu wilayah, maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha

farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry bagi pelaku usaha-

pelaku usaha pesaingnya, karena tindakan dari pelaku usaha farmasi tersebut telah

menghalangi pelaku usaha farmasi pesaingnya untuk melakukan kegiatan usaha

yang sama pada pasar yang sama dengannya. Dengan tidak adanya pesaing dalam

pasar yang sama, maka dia dapat menentukan harga obatnya seenaknya. Dengan

asumsi pelaku usaha farmasi tersebut telah menciptakan suatu barrier to entry

yang mengakibatkan timbulnya persaingan usaha tidak sehat, maka pelaku usaha

farmasi tersebut telah melanggar pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

III.2. Penetapan Harga Obat Generik Ditinjau Dari Perspektif Hukum

Persaingan Usaha

Industri obat merupakan suatu industri yang mahal dan membutuhkan

biaya yang besar terlebih untuk proses research & developmentnya. Karenanya

126“Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, http://health.groups.yahoo.com/group/Dokter_Indonesia/message/4864>, “Bisnis Obat: Kolusi Dokter-Farmasi Harus Ditindak”, <http://www2.kompas.com/kesehatan/news/0604/28/110720. htm>, dan ”Mengakhiri Kolusi Dokter dan Perusahaan Farmasi”, < http://www.hukumonline.com/ detail.asp?id=18808&cl=Kolom>, 23 Desember 2008.

127”Kolusi Antara Dokter dan Perusahaan Obat Seharga Sebuah Sedan Volvo”, Ibid.

Universitas Indonesia

40Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 52: S24804-Corry Permata Sari.pdf

untuk suatu industri yang mahal seperti industri obat, adanya intervensi dari

pemerintah, dalam hal ini pricing policy, sah-sah saja untuk dilakukan demi

melindungi kesejahteraan masyarakat banyak. Dan selain juga industri obat

merupakan suatu industri yang mahal, dalam industri obat ini posisi tawar

masyarakat adalah nol, sehingga intervensi dan campur tangan pemerintah untuk

menentukan harga obat memang penting untuk dilakukan, terlebih untuk obat

generik yang memang ditujukan untuk masyarakat menengah kebawah.

Namun, pemerintah juga harus melihat serta memperhatikan dari sisi

kelangsungan hidup produsennya, dan juga harus memperhatikan persaingan yang

terjadi di pasar. Jangan sampai dengan adanya pricing policy tersebut justru

persaingan usaha yang semula terjadi dengan baik dan sehat, malah berubah

menjadi persaingan usaha yang tidak sehat karena persaingan yang sehat dalam

dunia usaha itu mutlak perlu dilakukan.

Iklim usaha yang kondusif harus turut diperhatikan oleh pemerintah

manakala membuat suatu pengaturan persaingan usaha, untuk menjamin tetap

adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama baik bagi pelaku usaha besar,

menengah, maupun kecil. Hal ini sesuai dengan tujuan dari adanya pengaturan

mengenai persaingan usaha sebagaimana terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999.

Mengenai pricing policy tersebut, akan lebih baik apabila pemerintah

bukan menetapkan harga obat melainkan memberikan referensi harga. Karena

apabila pemerintah menetapkan harga obat, maka kemungkinan yang akan timbul

adalah produsen obat yang memproduksi obat generik lambat laun akan

mengurangi produksinya karena memproduksi obat generik sudah tidak

menguntungkan lagi bagi mereka128.

Akan tetapi, bila memang yang sudah terjadi saat ini adalah penetapan

harga secara sepihak oleh pemerintah, yang harus dilakukan oleh pemerintah

adalah senantiasa melakukan peninjauan secara berkala terhadap harga yang

ditetapkan. Pemerintah harus melihat, apakah harga yang ditetapkan tersebut

masih sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Jangan sampai dengan adanya

penetapan harga dari pemerintah yang tidak pernah dilakukan peninjauan tersebut

128“Cabut Pajak Obat!Pangsa Pasar Obat Rp 26 Triliun/Tahun”, <http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139>, 12 Desember 2008.

Universitas Indonesia

41Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 53: S24804-Corry Permata Sari.pdf

mengakibatkan perusahaan-perusahaan farmasi jadi mengurangi produksi mereka

demi efisiensi serta kelangsungan hidup perusahaan mereka. Karena hal tersebut

justru akan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat. Dan juga, jangan sampai

dengan adanya penetapan harga yang tidak pernah ditinjau tersebut

mengakibatkan timbulnya kartel dalam industri farmasi.

Selain harus adanya peninjauan secara berkala dari pemerintah terhadap

harga yang mereka tetapkan, dapat pula dilakukan penetapan tarif bawah tarif atas

sebagaimana yang diterapkan terhadap perusahaan taksi. Sehingga dengan

demikian, perusahaan-perusahaan farmasi tersebut dapat dengan bebas

menentukan harga dalam rentang harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan

demikian, persaingan usaha yang sehat dalam industri farmasi akan terjaga,

karena dengan kebebasan bagi mereka untuk menentukan harga selama masih

tetap berada dalam rentang harga yang diijinkan oleh pemerintah, mereka akan

berlomba-lomba untuk menarik konsumen dengan cara mengurangi harga jualnya

namun tetap dengan tidak mengurangi khasiatnya. Dengan cara demikian pula,

menurut penulis pemerintah dapat lebih mudah memonitor perkembangan

persaingan usaha yang terjadi di dunia industri.

Terhadap perbedaan harga yang signifikan antara obat generik bermerek

dan obat generik non merek untuk obat dengan khasiat yang sama, pemerintah

dapat memberikan pembatasan persentase keuntungan maksimal yang boleh

diperoleh perusahaan farmasi, dimana pembatasan persentase keuntungan

maksimal tersebut diberikan setelah tentunya pemerintah melakukan penelitian

harga pokok dari obat yang bersangkutan.

Contoh dari mekanisme pembatasan keuntungan maksimal sebesar 10%

dari harga pokok. Pelaku usaha A dan B yang sama-sama memproduksi obat

dengan khasiat yang sama, dimana pelaku usaha A yang berproduksi dengan cara

yang lebih efisien sehingga menghasilkan harga pokok obat Rp.9.-, dari harga

pokok tersebut pelaku usaha A diperbolehkan untuk mengambil keuntungan

maksimal 10% sehingga apabila obat tersebut dijual dengan harga Rp.9,9.- maka

pelaku usaha A sudah mendapatkan keuntungan maksimal. Sedangkan pelaku

usaha B yang berproduksinya kurang efisien sehingga menghasilkan harga pokok

obat yang lebih mahal dari pelaku usaha A yaitu Rp.10.-, apabila dia juga ingin

Universitas Indonesia

42Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 54: S24804-Corry Permata Sari.pdf

memperoleh keuntungan maksimal, dia harus menjual obatnya dengan harga Rp.

11.-. Dari perbedaan harga jual tersebut, kembali kepada pilihan konsumen

apakah tetap ingin membeli produk yang harganya lebih mahal, sedangkan ada

obat yang khasiatnya sama persis dengan obat yang harganya lebih mahal tersebut

hanya saja harganya lebih murah.

Mekanisme ini dalam accounting disebut dengan COGS (Cost of Good

Sold)129. Dengan digunakannya mekanisme ini, akan selalu timbul persaingan

diantara para pelaku usaha farmasi, karena siapa yang lebih efisien dalam

berproduksi maka dialah yang akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dan

memperoleh pangsa pasar yang lebih besar.

Pengawasan atas mekanisme ini menurut penulis akan lebih baik

diserahkan kepada KPPU, YLKI, dan konsumen. Biarkan konsumen sendiri yang

memilih dan menilai. Mekanisme seperti ini menurut analisa penulis merupakan

suatu mekanisme yang win-win solution, karena baik masyarakat sebagai

konsumen maupun pelaku usaha sebagai produsen akan sama-sama mendapatkan

keuntungan. Mekanisme ini juga mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat

yang kritis, kritis memilih mana obat yang memang sesuai antara harga dengan

khasiatnya, jangan sampai masyarakat hanya membayar mahal untuk mereknya

bukan untuk khasiatnya.

129“Cost of Goods Sold: Definiton”, <http://www.investorwords.com/1158/Cost_Of_

Goods_Sold.html>, dan “Cost of Goods Sold (COGS)”, <http://www.accountingglossary.net/ definition/106-Cost_Of_Goods_Sold_COGS>, 23 Desember 2008.

Universitas Indonesia

43Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 55: S24804-Corry Permata Sari.pdf

BAB IV

PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab III maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

guna menjawab pokok permasalahan pada skripsi ini. Kesimpulan tersebut antara

lain:

1. Dalam penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-

perusahaan farmasi di Indonesia, apabila mahalnya harga obat generik

bermerek disebabkan oleh adanya biaya untuk mempublikasikan suatu produk

obat generik bermerek, serta disebabkan oleh adanya biaya untuk

mempertahankan citra dari suatu merek secara sesuai dan sewajarnya, maka

kedua hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai suatu tindakan persaingan

usaha yang tidak sehat. Namun apabila mahalnya harga obat generik bermerek

tersebut disebabkan oleh adanya kolusi diantara sesama pelaku usaha farmasi

maupun kolusi antara pelaku usaha farmasi dengan dokter maupun apoteker,

maka kedua hal tersebut dapat diduga sebagai suatu persaingan usaha yang

tidak sehat.

2. Penetapan harga obat generik yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan

farmasi dipandang dari hukum persaingan usaha, harus ditetapkan sesuai

dengan biaya produksi yang sewajarnya mereka keluarkan. Kegiatan usaha

para pelaku usaha farmasi yang memproduksi obat generik tersebut harus

dilakukan dengan cara-cara yang inovatif agar tercapai efisiensi serta

persaingan yang kompetitif diantara para pelaku usaha farmasi. Karena

dengan tercapainya efisiensi dalam kegiatan usaha mereka, kesejahteraan

masyarakat pun akan meningkat. Hal ini sesuai dengan tujuan dari

pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Universitas Indonesia

44Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 56: S24804-Corry Permata Sari.pdf

IV. 2. Saran

Sebagaimana telah diuraikan di atas, adanya perbedaan harga yang sangat

signifikan antara obat generik bermerek dengan obat generik non merek tanpa

adanya perbedaan khasiat yang berarti, bila terus dibiarkan oleh pemerintah tanpa

adanya pengaturan lebih lanjut maka masyarakat sebagai konsumen akan menjadi

pihak yang dirugikan karena mereka harus membayar harga yang jauh lebih mahal

untuk produk dengan khasiat yang sama. Sehubungan dengan hal ini maka penulis

menyarankan:

1. Dilakukannya peninjauan secara berkala oleh pemerintah untuk harga obat

generik yang telah ditetapkan untuk dilihat kesesuaiannya dengan kondisi

ekonomi saat itu.

2. Ada baiknya bila pemerintah ikut campur dalam menentukan impor bahan

baku obat. Karena dengan berkurangnya impor bahan baku obat, akan secara

otomatis mengurangi harga obat sehingga pemerintah tidak perlu lagi

memberikan subsidi terlalu banyak untuk obat agar dapat terjangkau oleh

masyarakat. Dengan diproduksinya bahan-bahan baku obat di Indonesia, maka

akan membuka peluang kerja yang menyerap tenaga kerja dalam negeri dalam

volume yang banyak. Efek berantai selanjutnya adalah, dengan berkurangnya

tingkat pengangguran maka daya beli masyarakat pun akan ikut meningkat

sehingga masyarakat sudah dapat membeli sendiri obat generik yang mereka

butuhkan tanpa mengharapkan bantuan subsidi lagi dari pemerintah.

3. Dalam membuat suatu kebijakan terutama terkait masalah obat generik, selain

memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai konsumen pemerintah juga

tetap harus memperhatikan kepentingan pelaku usaha sebagai produsen.

Karena apabila pelaku usaha tidak meneruskan memproduksi obat generik

dengan alasan mahalnya bahan baku obat maka lambat laun masyarakat juga

yang akan menderita kerugian karena obat generik yang dibutuhkan oleh

masyarakat akan menghilang dari peredaran, sedangkan harga obat paten

mahal dan memang pemerintah tidak berwenang menentukan harga obat

paten. Karenanya jangan sampai dengan adanya kebijakan dari pemerintah

Universitas Indonesia

45Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 57: S24804-Corry Permata Sari.pdf

yang semula dengan maksud untuk kebaikan masyarakat justru malah akan

menjadi bumerang bagi masyarakat itu sendiri.

4. Selain memperhatikan kepentingan pelaku usaha, dalam membuat suatu

kebijakan terkait obat generik, pemerintah juga harus senantiasa menjaga

terjadinya persaingan usaha yang sehat pada pasar obat generik. Karena

dengan selalu terjaganya persaingan usaha yang sehat diantara para pelaku

usaha obat generik tersebut mereka akan selalu berlomba-lomba untuk

merebut pangsa pasar dengan cara berproduksi seefisien mungkin agar dapat

menjual obat generik dengan harga yang lebih murah dibandingkan pelaku

usaha obat generik saingannya dan tetap mendapatkan keuntungan yang besar.

Universitas Indonesia

46Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 58: S24804-Corry Permata Sari.pdf

DAFTAR REFERENSI

A. Buku-buku Amir Hamzah Pane (369604211Y). Strategi Industri Farmasi Indonesia dalam

Menghadapi Era Pasar Bebas. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Program Studi Magister Manajemen, 1998.

Amiruddin, dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006). Arie Siswanto. Hukum Persaingan Usaha. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004). Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2007). H.L.Manheim. Sociological Research: Philosophy and Methods. (Illinois: The

Dorsey Press, 1977). Munir Fuady. Hukum Anti Monopoli: Menyongsong Era Persaingan Sehat.

(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000). Normin S. Pakpahan. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha.

(Jakarta: Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pengawasan Pembangunan).

Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1990). R. Shyam Khemani. A Framework for the Design and Implementation of

Competition Law and Policy. (United States of America: Library of Congress Cataloging, 1999).

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. cet.3. (Jakarta: UI Press, 1986). Syamsuni. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. (Jakarta: EGC, 2006). Thomas J. Anderson. Our Competitive System and Public Policy. (Cincinnati:

South Western Publishing Company, 1958). B. Jurnal Oliver Black, “Per Se Rules and Rules of Reason: What Are They”, (European

Competition Law Review, 1997), hal. 145.

Universitas Indonesia

47Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 59: S24804-Corry Permata Sari.pdf

Soetandyo Wignjosoebroto, ”Penelitian Hukum : Sebuah Tipologi”, Majalah Masyarakat Indonesia, tahun ke-I No.2, 1974.

Vincent Power, “E.C. Competition Law In The U.K.: Learning From The Irish

Experience”, (Europeran Competition Law Review, 2000), hal.64. C. Internet “Apotek Belum Pasang Harga Obat di Kemasan”, http://www2.kompas.com/ver1/

Metropolitan/0608/10/075619.htm, diakses pada 12 Oktober 2008.

“Beralihlah ke Obat Generik”, http://citizennews.suaramerdeka.com/index.php? option=com_content&task=view&id=565&Itemid=1, 18 Desember 2008.

“Cabut Pajak Obat!Pangsa Pasar Obat Rp 26 Triliun/Tahun”,

http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.

“Competition Law and Policy in the EC and UK”, http://www.routledge.com/978

0415458474, diakses pada 16 Desember 2008. “Competition Policy: Introduction”, www.iue.it/Personal/Motta/courses/Amato-

Motta/1- IntroductionCompetitionLaw.pdf, diakses pada 16 Desember 2008.

“Era Persaingan Sehat yang Mengedepankan Penataan Kebijakan Pemerintah (Regulatory Reform), Catatan Akhir Tahun 2007, Komisi Pengawas Persaingan Usaha”, http://www.kppu.go.id/baru/index.php?type=art&aid= 315&encodurl=05%2F03%2F08%2C07%3A05%3A14, diakses pada 12 Oktober 2008.

“Hak Pasien Atas Obat”, www.yudihardis.com/hakpasien.doc, 18 Desember 2008.

“Harga Obat Bisa Turun”, http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail. asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.

“Harga Obat Generik Mengalami Penurunan”, http://www2.kompas.com/ver1/ Kesehatan/0608/30/115119.htm, diakses pada 12 Oktober 2008.

”Indofarma Belum Naikkan Harga Obat Meski BBM Naik”, http://jkt2.detikhot.

com/read/2008/05/29/120234/946987/124/.http://jkt2.detikhot.com, 19 Desember 2008.

“Labelisasi dan Penetapan Harga Obat”, http://www.kppu.go.id/baru/index.php? type=art&aid=268&encodurl=03%2F30%2F08%2C06%3A03%3A49, diakses pada 12 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

48Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 60: S24804-Corry Permata Sari.pdf

“Legal Reasoning: Penalaran Deduktif dan Induktif Pada Penelitian Hukum”,

http://www.huma.or.id/, diakses pada 16 Oktober 2008. “Mahasiswa Farmasi Kampanyekan Obat Generik”, http://www.tempointeractive.

com/hg/nusa/jawamadura/2007/12/02/brk,20071202-112723,id.html, diakses pada 4 November 2008.

”Menjamin Khasiat Obat Generik Lewat Uji Bioekivalensi”, http://www.dexa-

medica.com/newsandmedia/news/detail.php?idc=2&id=353, diakses pada 4 November 2008.

“Menkes: Aksi Mafia Membuat Harga Obat Mahal”, http://www.detikinet.com/read/2007/12/17/124615/868074/10/menkes-aksi-mafia-membuat-harga-obat-mahal, 12 Desember 2008.

“Netherlands - The Role of Competition Policy in Regulatory Reform”,

www.oecd.org/dataoecd/3/42/2497317.pdf, diakses pada 16 Desember 2008.

”Obat Generik, Harga Murah Tapi Mutu Tidak Kalah”,

http://www.medicastore.com/ obat_generik/, diakses pada 30 agustus 2008.

“Obat Generik Langka dan Mahal”, www.kompas.com/kompas-

cetak/0704/27/jatim/65739.htm, 12 Desember 2008. ”Obat Generik Terancam Hilang”, http://tribunjabar.co.id/artikelview.php?id=261

42&kategori=9, 19 Desember 2008.

”Obat untuk Siapa”, http://yugosan.blogspot.com/2008/07/obat-untuk-siapa.html, 19 Desember 2008.

”Persaingan Bisnis”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0303/19/eko08.html, diakses pada 10 Oktober 2008.

“Pharmacy”, http://medical.merriam-webster.com/medical/pharmacy, diakses

pada 18 Desember 2008. “Problema di Seputar Obat Generik”, http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.

cgi?newsid1110347915,99818, diakses pada 4 November 2008.

”Soal Penetapan Harga Jangan sampai Obat Langka”, http://www.faisalbasri.com/Content/Aktifitas_Detail.asp?AktifitasID=139, 12 Desember 2008.

“Subsidi Obat Generik Rawan Korupsi”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/01

07/27/Fea02.html, diakses pada 12 Oktober 2008.

Universitas Indonesia

49Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 61: S24804-Corry Permata Sari.pdf

“Tips&Trik: Tips Mencari Khasiat Obat”, http://konservasipapua.blogspot.com/20 06/08/tips-mencari-khasiat-obat.html, diakses pada 4 November 2008.

D. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Larangan Praktik

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999. _______, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Farmasi, UU No. 7 Tahun

1963. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 47 tahun 1983

tentang Kebijaksanaan Obat Nasional.

Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 245/MENKES/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Paket

Deregulasi Pedagang Besar Farmasi.

Universitas Indonesia

50Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 62: S24804-Corry Permata Sari.pdf

LAMPIRAN

Contoh obat generik bermerek dengan obat generik non mereknya, serta contoh logo lingkaran garis hijau pada obat generik: 1. Amoxsan (obat generik bermerek untuk Amoxicilin)

Universitas Indonesia

51Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008

Page 63: S24804-Corry Permata Sari.pdf

2. Baquinor Forte (obat generik bermerek untuk Ciprofloxacin)

Universitas Indonesia

52Dugaan persaingan..., Corry permata sari, FHUI, 2008