s ppk 054067 chapture2 -...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Belajar
1. Hakikat Belajar
Belajar adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya
tercakup perubahan-perubahan afektif, motorik, dan kognitif yang tidak dihasilkan
oleh sebab-sebab lain.
Albert Bandura (Bandura, 1969; Dahar, 1996:21) Menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahan-perubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain. Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai tindakan belajar yang dialami oleh siswa sendiri.
Menurut Gage (1948) Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses di
mana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman.
Komponen terakhir dalam definisi belajar ialah ”sebagai suatu hasil pengalaman”.
Istilah pengalaman membatasi macam-macam perubahan perilaku yang
dapat dianggap mewakili belajar. Batasan ini penting dan sulit untuk
didefinisikan. Biasanya batasan ini dilakukan dengan memperhatikan penyebab-
penyebab perubahan dalam perilaku yang tidak dapat dianggap sebagai hasil
pengalaman.
Sedangkan menurut Dimyati dan Mujiono (1996:7) Mengemukakan siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Belajar didefinisikan sebagai perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman. Paling sedikit ada lima macam perilaku perubahan pengalaman, dan dianggap sebagai faktor-faktor penyebab dasar dalam belajar.
21
Pertama, pada tingkat emosional yang paling primitif, terjadi perubahan
perilaku diakibatkan dari perpasangan suatu stimulus tak terkondisi. Kedua,
dibahas belajar kontinguitas, yaitu bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu
dengan yang lain pada suatu waktu, dan hal ini sering kali kita alami. Kita melihat
bagaimana asosiasi ini dapat menyebabkan belajar dari ”drill” dan belajar
stereotip-stereotip. Ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi-konsekuensi perilaku
mempengaruhi apakah perilaku itu akan diulang atau tidak, dan berapa besar
pengulangan itu (belajar operant). Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil
observasi manusia dan kejadian-kejadian. Kelima, belajar kognitif terjadi dalam
kepala kita, bila kita melihat dan memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita,
dan dengan insait, belajar menyelami pengertian.
2. Teori-teori Belajar
Tiap ahli psikologi memberi batasan yang berbeda tentang belajar, atau
terdapat keragaman dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar.
Adanya perbedaan sudut pandang tentang proses belajar maka teori belajar dapat
dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Teori Behaviorisme, yang menekankan pada “hasil” dari proses belajar.Tokoh yang berperan yaitu: E.L. Thorndike, Ivan Petrovich Pavlov, John B. Watson, Edwin R. Guthrie, Clark Hull, B.F. Skinner, Robert Gagne, Albert Bandura.
2. Teori Kognitivisme, menekankan pada “proses” belajar. Tokoh yang berperan yaitu: Piaget, Ausubel, Brunner, dan Gagne.
3. Teori Humanistik, menekankan pada “isi” atau “apa yang dipelajari”. Tokoh yang berperan: Kolb, Honey dan Mumford, Habermas dan Lev Vigotsky.
4. Teori Sibernetik, menekankan bahwa pada “system informasi” dari yang dipelajari.Tokoh yang berperan: Landa, Pask dan Scott.
22
Teori perubahan perilaku (belajar) dalam kelompok behaviorisme ini
memandang manusia sebagai produk lingkungan. Segala perilaku manusia
sebagian besar akibat pengaruh lingkungan sekitarnya. Lingkunganlah yang
membentuk kepribadian manusia.
Terdapat beberapa teori belajar dalam kelompok behaviorisme, yaitu
sebagai berikut:
a) Teori Operant Conditioning.
Teori operant conditioning menjelaskan bahwa psikologi akan diterima
sebagai sains (science) bila studi tingkah laku (behavior) tersebut dapat diukur,
seperti ilmu fisika, teknik, dan sebagainya.
Menurut Skinner (1994:12)
Belajar adalah proses tingkah laku yang harus dapat diukur. Bila pembelajar (peserta didik) berhasil belajar, maka respon bertambah, tetapi bila tidak belajar banyaknya respon berkurang, sehingga secara formal hasil belajar harus bisa diamati dan diukur.
b) Teori Conditioning of Leaaning
Teori ini menjelaskan yang atas dasar hasil riset tentang faktor-faktor yang
kompleks pada proses belajar manusia. Penelitian ini dimaksudkan untuk
menemukan teori pembelajaran yang efektif. Analisanya dimulai dari identifikasi
konsep hirarki belajar, yaitu urut-urutan kemampuan yang harus dikuasai oleh
pembelajar (peserta didik) agar dapat mempelajari hal-hal yang lebih sulit atau
lebih kompleks.
Menurut Gagne (1968):
Belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang komulatif. Lebih lanjut
23
Gagne menjelaskan bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat kompleks. Mendefinisikan belajar adalah: mekanisme dimana seseorang menjadi anggota masyarakat yang berfungsi secara kompleks.
Kompetensi itu meliputi: skill, pengetahuan, attitude (perilaku), dan nilai-
nilai yang diperlukan oleh manusia, sehingga belajar adalah hasil dalam berbagai
macam tingkah laku yang selanjutnya disebut kapasitas atau outcome.
c) Teori Perkembangan Kognitif
Teori ini menjelaskan bahwa, pengetahuan (knowledge) adalah interaksi
yang terus-menerus antara individu dengan lingkungan. Fokus perkembangan
kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajaran mulai
anak-anak sampai dewasa.
Konsepsi perkembangan kognitif Piaget (1972):
Diturunkan dari analisa perkembangan biologi organism tertentu. Menurut Piaget, intelegen (IQ = kecerdasan) adalah seperti sistem kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi. Menurut Piaget ada tiga perbedaan cara berfikir yang merupakan prasyarat perkembangan operasi formal, yaitu; gerakan bayi, semilogika, praoperasional pikiran anak-anak, dan operasi nyata anak-anak dewasa. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif menurut Piaget yaitu: (1) lingkungan fisik; (2) kematangan; (3) pengaruh sosial; (4) proses pengendalian diri (eqiuilibration).
Belajar dalam teori behaviorisme ini selanjutnya dikatakan sebagai
hubungan langsung antara stimulus yang datang dari luar dengan respons yang
ditampilkan oleh individu. Response tertentu akan muncul dari individu, jika
diberi stimulus dari luar. S singkatan dari Stimulus, dan R singkatan Respons.
Pada umumnya teori belajar yang termasuk kedalam keluarga besar behaviorisme
24
memandang manusia sebagai organism yang netra-pasif-reaktif terhadap stimuli
disekitar lingkungannya. Orang akan bereaksi jika diberi rangsangan oleh
lingkungan luarnya.
Demikian juga jika stimulus dilakukan secara terus menerus dan dalam
waktu yang cukup lama, akan berakibat berubahnya perilaku individu. Misalnya
dalam hal kepercayaan sebagian masyarakat tentang obat-obatan yang diiklankan
oleh televisi. Mereka sudah tahu dan terbiasa menggunakan obat-obatan tertentu
yang secara gencar ditayangkan media televisi. Jika orang sakit maag, maka
obatnya adalah promag, waisan, Mylanta, ataupun obat-obat lain yang sering
diiklankan televisi. Jenis obat lain tidak pernah digunakan untuk penyakit maag
tadi, padahal mungkin saja secara higienis obat yang tidak tertampilkan, lebih
manjur.
Syarat terjadinya proses belajar pola hubungan S-R ini adalah adanya
unsur: dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respons, dan penguatan
(reinforcement). Unsur yang pertama, dorongan, adalah suatu keinginan dalam
diri seseorang untuk memenuhi kebutuhan yang sedang dirasakannya. Unsur
dorongan ini pada setiap orang, meskipun kadarnya tidak sama, ada yang kuat
menggebu, ada yang lemah tidak terlalu perduli akan terpenuhi atau tidaknya.
Unsur berikutnya adalah rangsangan atau stimulus. Unsur ini dating dari
luar individu, dan tentu saja berbeda dengan dorongan tadi yang datangnya dari
dalam. Contoh rangsangan antara lain adalah bau masakan yang lezat, rayuan
gombal, dan bahkan bisa juga penampilan gadis cantik dengan bikininya yang
ketat.
25
Dari adanya rangsangan atau stimulus ini maka timbul reaksi di pihak
sasaran. Bentuk reaksi ini bisa bermacam-macam, bergantung pada situasi,
kondisi dan bahkan bentuk dari rangsangan tadi. Reaksi-reaksi dari seseorang
akibat dari adanya rangsangan dari luar inilah yang disebut dengan respons dalam
dunia teori belajar ini. Respons ini bisa diamati dari luar. Respons ada yang positif
dan adapula yang negatif. Yang positif disebabkan oleh adanya ketepatan
seseorang melakukan respons terhadap stimulus yang ada dan tentunya yang
sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan yang negatif adalah apabila seseorang
memberi reaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan.
Unsur yang keempat adalah masalah penguatan (reinforcement).
Unsur ini datangnya dari pihak luar, ditujukan kepada orang yang sedang
merespons. Apabila respons telah benar, maka akan diberi penguatan agar
individu tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi
lagi. Ada tiga kelompok model belajar yang sesuai dengan teori belajar
behaviorisme ini. Yaitu yang menurut namanya disebut sebagai hubungan
Stimulus-Respons (S-R bond). Pembiasan tanpa penguatan (conditioning with no
reinforcement).
3. Teori Belajar Sosial
Belajar sosial (juga dikenal sebagai pelajar observasional atau vicarious
atau belajar dari model) adalah proses belajar yang muncul sebagai fungsi dari
pengamatan, penguasaan dan, dalam proses belajar imitasi. Peniruan perilaku
orang lain. Jenis belajar ini banyak diasosiasikan dengan penelitian Albert
Bandura, yang membuat teori belajar sosial. Didalamnya ada proses belajar
26
meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap
orang tersebut. Penelitian lebih lanjut menunjukan adanya hubungan antara
belajar social dengan belajar melalui pengkondisian klasik dan operant.
Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (Social
Learning Theory), salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan
pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Teori Belajar
Sosial (Social Learning Theory) teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura
seorang psikolog pendidikan dari Stanford University, USA. Teori belajar ini
dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana orang dalam seting
alami/lingkungan sebenarnya.
Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang
menunjukan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa
disekitarnya. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku, sikap
orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Bandura dalam situs
http://www.shipedu/-cgboeree/bandura.html menyatakan bahwa:
Menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial ini.
Misalnya seorang yang hidupnya dan lingkungannya dibesarkan
dilingkungan judi, maka dia cenderung menyenangi judi, atau setidaknya
menganggap bahwa judi itu tidak jelek.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1. Perhatian (Attention), mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat (kemampuan indra, minat, persepsi, penguatan sebelumnya)
27
2. Penyimpanan atau proses mengingat (Retention),mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pikiran, pengulangan symbol, pengulangan motorik.
3. Reproduksi motorik (Reproduction), mencakup kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4. Motivasi, mencakup dorongan dari luar dengan penghargaan terhadap diri sendiri (Motivation). Belajar melalui observasi biasanya didapatkan dari peniruan (Modelling).
5. Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara mengkodekan perilaku yang ditiru dalam kata-kata, tanda atau gambar.
6. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
7. Individu akan menyukai yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
(Bandura, 1990:34)
Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori
belajar behavioristik dengan penguatan psikologi kognitif, dengan prinsip
modifikasi perilaku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi
secara langsung dalam berinteraksi dalam lingkungannya. Teori Bandura menjadi
dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan secara
massal.
Sebagai contoh: penerapan teori belajar sosial dalam iklan televisi. Iklan
selalu menampilkan bintang-bintang yang popular dan disukai masyarakat, hal ini
untuk mendorong konsomen agar membeli sabun agar seperti ”bintang” atau obat
masuk anginnya ”orang pintar”.
Teori belajar dari Bandura ini tampaknya memang bisa berlaku umum
dalam semua langkah pendidikan sosial, komunikasi, informasi dan instruksional,
namun karena kondisinya yang umum tadi maka sulit dilaksanakan dalam
sekolah-sekolah formal, sehingga metode belajar sosial dari Bandura ini agak sulit
28
dilakukan. Hanya dalam situasi sosial dan kemasyarakatanlah banyak terjadi
belajar sosial. Peristiwa sosial juga terjadi di lingkungan sekolah dan pendidikan
dalam umumnya, namun hal itu tentu saja sangat terbatas, karena suasana dan
kondisi yang sudah dirancang secara khusus untuk tujuan yang khusus pula yakni
untuk tujuan mempermudah terlaksananya proses belajar secara efektif dala situs:
http://www.shipedu/-cgboeree/bandura.html.
Bandura (1970) Menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking). Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku
Tingkah laku sering dievaluasi, bebas dari umpan balik lingkungan
sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah laku mengaktifkan
kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran jenis kelamin
dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda. Pengakuan
sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu. Kontingensi yang aktif
dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
Penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar diri sendiri ”sense of self efficacy” dan ”self regulatory system”. sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai standar yang berlaku (Pendapat Bandura dan dikutip kembali oleh Abin Syamsuddin, 1992: 22).
Self leguratory yaitu struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme
dan seperangkat fungsi-fungsi persepsi, evaluasi, pengaturan tingkah laku. Self
adalah bagian dari sistem yang resiprokal, menunjuk kepada 1) struktur kognitif
yang memberi referensi tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang
29
merasakan, mengevaluasi dan pengatur tingkah laku kita. Regulasi diri (Self
Regulation) yaitu menjebatani pengaruh-pengaruh eksternal dengan kemampuan
atau kapital yang dimiliki seseorang, sebagai dasar untuk melakukan tindakan
yang bertujuan, sehingga memungkinkan dirinya memiliki kontrol individual atas
fikiran, perasaan, motivasi, dan perilakunya. Merupakan mekanisme kontrol
internal yang memerintah perilaku, dan konsekuensi-konsekuensi yang di
tanggung oleh individu sebagai akibat dari perilakunya.
Dalam pembelajaran Self-regulatory akan menentukan ”goal setting” dan
“self evaluation” siswa dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar
yang tinggi dan sebaliknya. (http://www.shipedu/-cgboeree/bandura.html). Efikasi
diri yaitu efikasi diri berkembang sebagai hasil dari akumulasi keberhasilan
seseorang dalam satu bidang tertentu, dari observasi-observasi terhadap
kesuksesan dan kegagalan orang lain, dari persuasi orang lain, dan dari keadaan
fisiologis yang dimilikinya, seperti keadaan takut atau gelisah (nervousness), atau
kecemasan (anxiety) saat melakukan sesuatu. Perbandingan sosial antara
kinerjanya dengan kinerja orang lain, terutama kelompok sebaya dan saudara
kandung, juga merupakan sumber yang kuat bagi efikasi diri
(www.google.com/sociallearning theory).
Menurut Bandura (1972: 22)
Agar pembelajaran sukses instruktur/guru/dosen/guru harus dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar, mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi siswa. Teori belajar sosial Albert Bandura didasarkan pada konsep saling menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforecement), dan pengaturan diri atau perpikir (self regulation atau cognition).
30
• Determinis resiprokal
Tingkah laku manusia merupakan bentuk interaksi timbal balik yang terus-
menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan.
P = Pribadi
L = Lingkungan
T = Tingkah laku
• Tanpa reinforcement
Belajar melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, tingkah
laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi.
• Kognisi dan regulasi diri
Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat
mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara
mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif dan mengadakan
konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses kognitif belajar.
2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajaran.
3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan kembali atau tidak (retrievel).
4. Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, di samping pembelajaran-pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan ”sense of efficacy” dan ”self regulatory” siswa.
5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan ”reinforcement” dan hindari punishment yang tidak perlu. (Bandura, 1970)
31
B. Media Pembelajaran dan Pembelajaran Moral
1. Media Pembelajaran
Media berasal dari bahasa Latin yaitu ”medus” yang secara harfiah berarti
”tengah”, perantara atau pengantar. Dalam pengertian ini, guru, buku teks dan
lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media
dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis,
fotografi atau elektronis untuk menangkap, memproses dan menyusun kembali
informasi visual dan verbal. Dengan istilah mediator media menunjukan fungsi
atau perannya, yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama
dalam proses belajar siswa dan isi pelajaran. Ringkasnya, media adalah alat yang
menyampaikan atau mengantarkan pesan-pesan pembelajaran. Pembelajaran
berasal dari kata dasar belajar, mendapat awalan pe- dan akhiran -an.
Menurut Hilgard yang dikutip oleh Abin Syamsuddin (2003:157):
Konsep belajar itu selalu menunjukkan kepada sesuatu proses perubahan perilaku atau pribadi seseorang berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu. Selanjutnya Abin berpendapat bahwa: ...perbuatan dan hasil belajar itu mungkin dapat dimanifestasikan dalam wujud:(1) pertambahan materi pengetahuan yang berupa fakta, informasi, prinsip atau hukum atau kaidah prosedur atau pola kerja atau teori sistem nilai-nilai dan sebagainya; (2) penguasaan pola-pola perilaku kognitif (pengamatan) proses berpikir, mengingat atau mengenai kembali, perilaku afektif (sikap-sikap apresiasi; penghayatan dan sebagainya); perilaku psikomotor (keterampilan-keterampilan psikomotor termasuk yang bersifat ekspresif); (3) perubahan dalam sifat-sifat kepribadian baik yang tangible maupun yang intangible.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), belajar berarti berusaha
memperoleh kepandaian/ilmu; berlatih; bertingkah laku atau tanggapan yang
disebabkan oleh pengalaman (Depdiknas, 2002: 17).
32
Belajar lebih ditekankan pada proses perubahan tingkah laku seseorang dalam lingkungan tertentu. Hal tersebut amat berbeda dengan hakekat belajar menurut Kosasih Djahiri, beliau mengemukakan sebagai berikut: ..., maka belajar hendaknya kita tafsirkan sebagai proses interaksi antara: a. Berbagai potensi diri siswa (fisik-nonfisik, emosi-intelektual, dll) untuk
pembinaan, pengembangan dan penyempurnaan potensinya tersebut. b. Diri/potensi siswa dengan guru, siswa lain, lingkungan dan dengan
konsep/fakta. c. Berbagai stimulus berencana (condition stimulus) dengan berbagai
respon terarah/terkendali (consition respond) kea rah melahirkan berbagai perubahan yang diharapkan (condition consequencies) (Djahiri, 1985:6).
Jadi, dapat dilihat bahwa Kosasih Djahiri menekankan belajar sebagai
proses interaksi guna menggali berbagai potensi siswa.
Menurut teori tabula rasa yang dikemukakan oleh paham empirisme dan
dipelopori oleh John Locke, belajar diartikan sebagai suatu proses pengisian jiwa
dengan pengetahuan dan pengalaman sebanyak-banyaknya dengan melalui
hafalan (memorizing).
(Abin Syamsudin, 2003: 160) Menurut teori daya yang dikemukakan oleh paham nativisme, belajar berarti melatih daya (mengasah otak) agar ia tajam sehinngga ia berguna, untuk menyayat atau memecah persoalan-persoalan ataupun dalam hidup ini. Maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses perubahan seseorang dalam mencapai tujuannya melalui berbagai cara interaksi.
Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan
sangat membantu keefektifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi
pelajaran pada saat proses belajar mengajar. Selain membangkitkan motivasi dan
minat siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan
terpercaya, memudahkan penafsiran data dan memadatkan informasi.
Pengertian media pembelajaran antara lain disampaikan oleh beberapa
pakar pendidikan. Mulyani Sumantri (2000:125) menuliskan segala alat fisik yang
33
dapat menyajikan pesan serta perangsang peserta didik untuk belajar, contoh:
buku, film, kaset.
Sedangkan Noehi Nasution (2004:73) menuliskan
Media pembelajaran menurut (1) Gagne, media pembelajaran sebagai komponen sumber belajar di lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar, (2) Briggs, media pembelajaran adalah wahana fisik yang mengandung materi pelajaran, dan (3) Wilbur Schramm, media pembelajaran adalah teknik pembawa informasi atau pesan pembelajaran.
Dengan memperhatikan definisi yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa yang di maksud dengan media pembelajaran secara umum
adalah segala alat pengajaran yang digunakan untuk membantu guru dalam
menyampaikan materi pelajaran kepada siswa dalam proses belajar mengajar
sehingga memudahkan pencapaian tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah
dirumuskan.
Menurut Kemp dan Dayton (1985:3-4), mengemukakan dampak positif
dari media pembelajaran, diantaranya:
1. Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku. Setiap pelajar melihat atau mendengar penyajian melalui media menerima pesan yang sama.
2. Pembelajaran bisa lebih menarik. Media dapat diasosiasikan sebagai penarik perhatian dan membuat siswa tetap terjaga dan memprihatinkan. Kejelasan dan keruntutan pesan, daya tarik (image) yang berubah-ubah, pengguanan efek khusus yang dapat menimbulkan keingintahuan para siswa.
3. Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan diterapkannya teori belajar dan prinsip-prinsip psikologis yang di terima dalam hal partisipasi siswa, umpan balik dan pengetahuan.
4. Lama waktu pembelajaran yang diperlukan dapat dipersingkat karena kebanyakan media hanya memerlukan waktu singkat untuk mengantarkan pesan-pesan dan isi pelajaran dalam jumlah yang banyak dan kemungkinannya dapat diserap oleh siswa.
5. Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan bilamana integrasi kata dan gambar sebagai media pembelajaran dapat mengkonsumsikan elemen-elemen pengetahuan yang baik.
34
6. Pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana diinginkan atau diperlukan terutama jika media pembelajaran dirancang untuk penggunaan secara individu.
Dengan adanya penggunaan media pembelajaran, guru dan siswa dapat
suasana proses belajar mengajar yang baru. Dimulai dari efisiensi dan keefektifan
waktu dalam proses belajar mengajar, guru dapat menyampaikan bahan-bahan
pembelajaran pada siswa sesuai dengan penggunaan media pembelajaran yang
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kualitas belajar siswa.
Penggunaan alat audio visual, ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi proses belajar mengajar, sehingga diharapkan anak-anak mampu
mengembangkan daya nalar serta daya rekanya. Hasil berbagai penelitian
menunjukkan bahwa proses belajar dan mengajar dengan menggunakan sarana
audio visual mampu meningkatkan efisiensi pengajaran 20%-50%. Televisi
mempunyai manfaat dan unsur yang positif yang berguna bagi pemirsanya, baik
manfaat yang bersifat kognitif, afektif, dan psikomotor, namun tergantung pada
acara yang ditayangkan televisi. Selain itu juga dampak positif penggunaan media
pembelajaran ini, siswa dapat lebih aktif dan interaktif dalam proses belajar
mengajarnya. Apalagi jika media pembelajarannya berupa bahan-bahan audio-
visual seperti radio, televisi, media internet dll.
Seperti apa yang dikemukakan Dale (1969:180), bahwa:
”Bahan-bahan audio-visual dapat memberikan banyak manfaat asalkan guru berperan aktif dalam proses pembelajaran. Hubungan guru-siswa tetap merupakan elemen penting dalam sistem pendidikan modern saat ini”.
Sudjana dan Rivai (1992:2), mengemukakan manfaat media pembelajaran
dalam proses belajar mengajar siswa, yaitu:
35
1. Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
2. Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran.
3. Metode belajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga.
4. Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan dan lainnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan beberapa
manfaat praktis dari penggunaan media pembelajaran dalam proses belajar
mengajar, yakni salah satunya media pembelajaran dapat memberikan kesamaan
pengalaman kepada siswa terhadap peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka,
serta memungkinkan terjadinya interaksi langsung dengan guru, masyarakat, dan
lingkungan sosialnya.
2. Jenis-jenis Media Pembelajaran
Sebenarnya banyak sekali yang bisa kita kategorikan sebagai media
pembelajaran. Diantaranya yaitu: televisi, radio, komputer, koran, majalah,
internet, buku pelajaran, dan sebagainya. Namun, apabila disebutkan satu persatu
maka akan banyak sekali yang termasuk dalam kategori media pembelajaran.
Dalam hal ini, yang akan lebih banyak dibahas adalah televisi sebagai media
stimulus pembelajaran moral.
3. Pembelajaran Moral
Menurut Sumarsono Moestoko (1990:40) bahwa moral (bahasa Latin
”moralis”) berarti kesanggupan manusia untuk memilih perbuatan dan sikap mana
yang baik dan buruk, dapat pula memilih mana yang salah dan mana yang benar.
36
Menurut asal usul kata, kata moral berasal dari kata Mos/Moris (bahasa
Latin) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, atau tata cara kehidupan yang
dikemukakan oleh Singgih D. Gunarsa, (1986:46).
Menurut Kosasih Djahiri (2006:8), terdapat visi pendidikan nilai-moral
disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan Nilai,
Moral dan Norma (NMNr). Pendidikan NMNr membawakan misi:
a. Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 (lima) sistem kehidupan yang kait mengait.
b. Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub a sebagai ”moral conduct” diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana yang bersangkutan berada.
c. Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian.
d. Membina dan menegaskan “law and order” serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas.
e. Khusus di negara kita, disamping hal-hal diatas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) (Djahiri, 2006:8).
Hal ini diperjelas kembali oleh Piaget, L. Kohlberg D. Graham, dan
Barbara Leets yang dikutip kembali oleh A. Kosasih Djahiri (1989:4) yang
menyatakan bahwa:
”Moral adalah segala hal yang mengikat, membatasi dan menentukan serta harus dianut dijalankan karena hal tersebut dianut, diyakini, dilaksanakan atau diharapkan kehidupan dimana kita berada. Moral ada didalam kehidupan serta menuntut untuk dianut, diyakini menjadi moralitas diri”. Menurut Elizabeth Hurlock menyatakan inti dari moralitas seperti yang
dikutip oleh Zakiah Daradjat (1985:8):
37
1. Kelakuan yang sesuai dengan ukuran-ukuran masyarakat, yang timbul dari hati sendiri (bukan paksaan dari luar).
2. Rasa tanggung jawab atas tindakan itu. 3. Mendahulukan kepentingan umum daripada keinginan atau kepentingan
pribadi.
Dapat peneliti simpulkan bahwa pada tahap moralitas yang tertinggi
seseorang sudah dapat bertingkah laku sesaui dengan norma-norma yang dianut
dalam masyarakat dimana dia hidup, tanpa ada paksaan dari orang lain, sehingga
dia tahu benar apa yang akan dia lakukan dan dengan demikian dia berani
bertanggung jawab akan segala akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatan
itu serta siap untuk mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadinya/dirinya sendiri.
Selanjutnya tentang moralitas, Singgih Gunarsa (1938:36) menyebutkan
bahwa:
”Moralitas dapat diartikan sebagai nilai-nilai moral dalam hubungan dengan kelompok sosial. Apa yang dibenarkan oleh masyarakat banyak cenderung dianggap menjadi moralitas, namun hal tersebut tidaklah berarti setiap pembenaran dari masyarakat tertentu adalah dianggap moralitas bagi kelompok masyarakat lain”. Setiap kelompok masyarakat memiliki aturan otomatis sendiri-sendiri,
yaitu nilai-nilai normal yang dianut dan dijadikan acuan bertingkah laku
anggotanya. Bagi individu anggota dari kelompok masyarakat tersebut dituntut
kepatuhannya terhadap aturan norma-norma yang berlaku didalamnya akibat dari
pelanggaran terhadap norma adalah sanksi dari masyarakat, seperti: kecaman,
celaan atau bahkan hukuman secara fisik.
Pengertian nilai moral di atas, selain sebagai kaidah yang harus ditaati oleh
manusia juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan
38
menentukan perbuatan atau sikap dan tingkah laku yang baik dan benar serta yang
buruk dan salah. Perbuatan yang dipilihnya itu akan menentukan watak seseorang.
Jadi, pengertian moral dapat dilihat bahwa moral memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan baik dan buruk
terhadap sikap dan perbuatan manusia. Sikap dan perbuatan ini berdasarkan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Seseorang dikatakan bermoral
apabila orang tersebut bersikap, berbuat, dan bertingkah laku sesuai dengan
norma-norma yang terdapat dalam masyarakat, baik norma agama, norma hukum,
norma kesopanan maupun norma sosial budaya.
Dari berbagai pendapat di atas, moral dapat difahami dengan tiga cara,
antara lain:
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia yang mendasarkan diri pada
kesadaran bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai
dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan lingkungannya.
2. Moral sebagai perangkat ide-ide tingkah laku hidup dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia dalam lingkungan tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang sikap, tingkah laku, perbuatan yang baik
berdasarkan pandangan hidup atau agama yang dianutnya.
Tujuan aktivitas moral memang tidak hanya menyangkut segi-segi
evaluatif, tetapi juga edukasional. Sebagai aktifitas moralisasi meliputi perhatian
terhadap berbagai permasalahan seperti masalah erosi nilai-nilai moral dikalangan
generasi muda. Moral adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukan
39
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moral juga mencakup
tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Moral juga dapat dikatakan intrinsik dan ekstrinsik. Moral intrinsik
memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas lepas dari setiap bentuk
hukum positif, yang dipandang adalah apakah perbuatan baik atau buruk pada
hakikatnya bukan apakah seseorang telah memerintahkannya atau melarangnya.
Sedangkan moral ekstrinsik adalah moral yang memandang perbuatan sebagai
sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang yang berkuasa atau oleh
hukum positif, baik dari manusia asalnya maupun Tuhan.
C. Televisi sebagai Media Pendidikan
1. Televisi sebagai Media Pendidikan
Televisi merupakan perpaduan unsur-unsur radio (broadcast) dari segi
penyiarannya atau dari segi suaranya dan unsur-unsur film dari segi gambar
bergeraknya. Jadi para penonton tidak menangkap siaran televisi kalau tidak
terdapat unsur-unsur radio dan tidak mungkin dapat melihat gambar-gambar yang
bergerak pada layar televisi jika terdapat unsur-unsur film didalamnya.
Dilihat dari segi bahasa (etimologis) ”televisi” berasal dari kata ”tele” yang berarti jauh dan ”visi (vision)” yang berarti penglihatan. Segi jauhnya diusahakan oleh prinsip radio dan segi penglihatannya oleh gambar. (Rousydy Lathief, 1989:221).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:1028), definisi televisi adalah
”proses penyiaran gambar melalui gelombang frekuensi radio dan menerimanya
pada pesawat penerima yang memunculkan gambar tersebut pada sebidang layar”.
40
J.B. Wahyudi (1991:104) mendefinisikan televisi sebagai berikut:
”Televisi adalah medium audio visual yang hidup, dengan demikian lebih mengutamakan gerak atau moving/acting, bahkan ada yang berpendapat bahwa gambar yang ditayangkan di televisi haruslah merupakan perpaduan antar gerak, seni dan teknik”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan dalam bentuk sesuatu pengertian
yang sama yaitu bahwa televisi adalah alat atau benda untuk menyiarkan siaran-
siaran yang menawarkan gambar dan suara sekaligus. Dari siaran televisi ini
penonton dapat mendengarkan dan melihat gambar-gambar yang disajikan, yang
memadukan antara unsur-unsur film sekaligus.
Di samping pengertian televisi tersebut kita harus memahami bahwa
televisi merupakan satu media massa, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Berbeda dengan komunikasi antar personal (interpersonal communication) yang berlangsung dua arah (two way traffic communication), komunikasi massa berlangsung satu arah (one way communication).
2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi, oleh karena itu, komunikatornya melembaga dalam bahasa asing disebut institutionalized atau organized communicator.
3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (publik) karena ditujukan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditujukan kepada perseorangan atau sekelompok orang tertentu.
4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Ciri lain dari media komunikasi massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (simultaneity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan.
5. Komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikasi atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen (Singgih Gunarsa 1941:12).
41
Terdapat beberapa faktor yang menarik dari televisi sehingga pemirsa lebih
tertarik dengannya:
a. Audio visual Televisi memiliki kelebihan, yakni dapat didengar sekaligus dapat dilihat (audio visual). Dengan sifat ini maka siarannya harus selalu dilengkapi dengan gambar.
b. Berpikir dalam gambar
Ada dua tahap yang dilakukan dalam proses berpikir dalam gambar. Pertama, menerjemahkan kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar. Kedua, berpikir dalam gambar adalah penggambaran, yakni kegiatan merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa.
c. Pengoperasian
Pengoperasian lebih kompleks, peralatan yang digunakannya lebih banyak dan untuk mengoperasikannya lebih rumit serta harus dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan terlatih (Elvinaro dkk, 2004:128-130).
Dalam penayangan acara televisi, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
a. Pemirsa, dalam hal ini komunikator harus memahami kebiasaan dan minat
pemirsa, baik yang termasuk kategori anak-anak, remaja, dewasa, bahkan
orang yang sudah lanjut usia sekalipun.
b. Waktu, waktu penayangan harus sesuai dengan kebiasaan pemirsa.
c. Durasi, disesuaikan dengan jenis acara dan tuntutan skrip atau naskah, yang
paling penting bahwa dengan durasi tertentu terlalu singkat atau terlalu lama.
d. Metode penyajiannya, mengemas pesan sedemikian rupa yakni menggunakan
metode penyajian tertentu dimana pesan non hiburan dapat mengundang unsur
hiburan.
Menurut Dominick yang dikutip oleh Elvinaro, dkk (2004) menyebutkan
bahwa televisi merupakan alat komunikasi massa memiliki fungsi sebagai berikut:
42
a. Survillance (Pengawasan) Fungsi pengawasan ini terbagi dua, yaitu pengawasan peringatan dan pengawasan instrumental. Pengawasan peringatan terjadi ketika media massa menginformasikan tentang ancaman dari angin topan, meletusnya gunung merapi, kondisi efek yang memprihatinkan, adanya serangan militer. Fungsi pengawasan instrumental merupakan penyampaian dan penyebaran informasi memiliki kegunaan atau dapat membantu khalayak dalam kehidupan sehari-hari.
b. Interpretation (Penafsiran)
Televisi tidak hanya memasok fakta dan data, tetapi juga memberikan penafsiran terhadap kejadian-kejadian penting. Tujuannya adalah mengajak pemirsa untuk memperluas wawasan dan membahasnya lebih lanjut.
c. Linkage (Pertalian)
Fungsi ini merupakan penyatuan anggota masyarakat yang beragam, membentuk pertalian berdasarkan kepentingan dan minat yang sama.
d. Transmission of Values (Penyebaran nilai) Fungsi ini sama dengan fungsi sosialisasi. Di mana individu mengadopsi perilaku dan nilai kelompok yang mereka tonton.
e. Entertainment (Hiburan)
Fungsi dari televisi sebagai sarana hiburan tiada lain tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan pikiran khalayak, karena dengan melihat berita ringan atau tayangan hiburan di televisi dapat membuat khalayak segar kembali.
Apabila melihat pada beberapa pendapat para ahli di atas, kita dapat
mengetahui bahwa televisi sebagai media komunikasi massa memiliki beberapa
fungsi. Namun, yang paling sering ditonjolkan adalah sebagai sarana hiburan
(entertainment). Televisi merupakan media yang mengutamakan hiburan. Hampir
tiga per empat (3/4) siaran televisi sebagai media hiburan.
Hasil penelitian mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota
Bandung, menyatakan bahwa pada umunya tujuan utama khalayak menonton
televisi adalah untuk memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh
43
informasi. Melalui televisi kita semua menjadi tahu berbagai macam informasi.
Televisi telah mampu menembus ruang kehidupan kita. Peranan televisi terhadap
kita sangat besar. Secara sadar atau tidak sadar pola kehidupan kita telah berubah
dan dikendalikan oleh televisi itu sendiri. Banyak jadwal kegiatan kita berubah
disesuaikan dengan jadwal program acara yang kita senangi di televisi.
Perkembangan teknologi yang kian tidak terkendali, berpengaruh ke dalam
segala aspek kehidupan dan sangat dirasakan khususnya oleh negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. Dalam dunia pendidikan mengakibatkan
berbagai perubahan menuju ke arah perkembangan sebagai upaya untuk
menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut.
Dengan demikian, antara keduanya terjadi saling mengisi.
Pengertian pendidikan, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 butir 1
disebutkan:
“…yang dimaksud dengan: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. (UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sisdiknas).
Isi UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas di atas, menunjukkan bahwa
pendidikan dapat dilaksanakan diketiga lingkungan, di lingkungan sekolah,
keluarga atau rumah dan lingkungan masyarakat. Hal ini kalau menurut Ki Hajar
Dewantara, seorang tokoh Pendidikan Nasional, ketiga lingkungan di atas disebut
sebagai Tri Pusat Pendidikan. Di samping itu pendidikan tidak hanya
dilaksanakan dalam waktu yang terbatas, melainkan dilaksanakan seumur hidup.
44
Mengenai tujuan umum pendidikan itu sendiri, Prof. Dr. Sutari Imam
Bernadib dalam bukunya Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis menyatakan:
“Tujuan umum dari pendidikan ialah melaksanakan, mewujudkan dan memelihara perkembangan cita-cita kehidupan suatu bangsa dengan cara mengarahkan pengalaman-pengalaman mereka kepada cita-cita yang didukungnya”. (Bernadib, 1986:59).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa tujuan umum pendidikan suatu
negara, dilandasi oleh cita-cita negara yang bersangkutan. Dengan demikian
tujuan utama pendidikan untuk masing-masing negara berbeda. Pada dasarnya,
filsafat adalah nilai-nilai yang diyakini diharapkan oleh seseorang, masyarakat
tertentu atau bahkan suatu negara. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan
falsafah bangsa yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan itulah yang menjadi cita-
cita pendidikan bangsa Indonesia dan harus dilaksanakan untuk diusahakan
perwujudannya, dalam pendidikan di Indonesia.
Tujuan pendidikan di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 20 tahun 2003,
tentang Sisdiknas Bab II, Dasar, Fungsi dan Tujuan, Pasal 3 sebagai berikut:
“Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU No. 20, tentang Sisdiknas).
Sedang untuk mencapai dasar, fungsi dan tujuan umum pendidikan di atas,
telah dijabarkan dalam Sisdiknas tersebut melalui jalur pendidikan formal,
pendidikan nonformal dan pendidikan informal yang dapat saling melengkapi.
45
Perihal penggunaan televisi, khususnya di sekolah, memang besar sekali
manfaatnya, seperti yang diungkapkan oleh Oemar Hamalik yang dikutip oleh
Darwanto, sebagai berikut:
(1) Televisi bersifat langsung dan nyata. (2) Televisi memperluas tinjauan kelas (3) Televisi dapat menciptakan kembali semua peristiwa yang lalu. (4) Televisi dapat menunjukkan banyak hal dan segi. (5) Televisi menarik minat bukan saja anak-anak tetapi juga orang
dewasa. (6) Televisi mampu memberi bantuan kepada guru. (7) Televisi mampu membawa sumber-sumber yang ada di masyarakat ke
dalam kelas. (8) Masyarakat akhirnya mengerti tentang sekolah secara nyata.
(Darwanto, 2007: 125).
Dengan kekuatan yang dimiliki oleh media massa televisi, maka televisi
dimanfaatkan untuk membantu memecahkan masalah-masalah tersebut di atas,
akhirnya lambat laun:
1) Kekurangan tenaga pengajar dan ruang belajar dapat teratasi, karena seorang
guru dapat menghadapi jumlah murid yang relatif tidak terbatas jumlahnya.
2) Kekurangan buku pelajaran dapat teratasi pula, karena stasiun penyiaran
menyediakan teks atau bagi paket-paket pendidikan yang akan disiarkan.
3) Untuk peralatan laboratorium kiranya satu set peralatan di studio sudah
mencukupi, meskipun murid-murid tidak dapat mencobanya.
Menurut Darwanto (2005:130-131), televisi sebagai media pendidikan
mempunyai dua klasifikasi, yaitu:
a) Siaran Pendidikan Sekolah (School Broadcasting) Acara siaran pendidikan jenis ini erat sekali hubungannya dengan kurikulum sekolah. Tentunya akan memberi pengaruh secara langsung kepada anak didik tentang: 1) Menimbulkan keinginan kepada anak-anak untuk mencoba
menggali pengetahuan sesuai dengan pola pikir mereka.
46
2) Membantu anak-anak atas suatu pengertian yang sebelumnya belum pernah dialami.
3) Merangsang untuk menumbuhkan hasrat dan menggali hubungan antara kegiatan belajar dengan keadaan sekitarnya.
4) Merangsang anak-anak untuk berkeinginan menjadi seorang cendikiawan.
b) Siaran Pendidikan Sepanjang Masa (Life Long Education)
Acara pendidikan ini dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan saja dan yang menjadi sasarannya adalah khalayak umum. Hanya saja khalayak dibagi menjadi tingkatan tertentu, misalnya usia, jenis kelamin, agama, pendidikan dan sebagainya.
Acara siaran pendidikan harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mempunyai sasaran khalayak yang khusus/terbatas. (2) Tujuan umum acara sejalan dengan tujuan pendidikan Nasional. (3) Penyiarannya dilaksanakan secara sistematis dan berseri.
(Darwanto, 2005: 130-131).
Belajar melalui televisi mempunyai keuntungan ganda. Pertama, dapat
mempelajari ilmu pengetahuan yang telah dirancang dengan baik. Kedua, mampu
meningkatkan daya apresiasi anak dan daya kritis anak.
2. Pemanfaatan Televisi sebagai Media Pembelajaran Moral
Dewasa ini teknologi sudah semakin maju. Dimana orang dalam
memerlukan berita atau informasi sudah sangat mudah memperolehnya. Dari
sekian banyak kemajuan teknologi salah satu diantaranya adalah pesawat televisi.
Berbicara mengenai televisi, tentu ada tiga pihak yang terlibat didalamnya, yakni
yang menyajikan, yang disajikan dan yang menikmati.
Televisi yang selama ini berperan sebagai media massa elektronik,
walaupun dalam bentuk yang paling sederhana, ternyata mampu menggelitik,
mempengaruhi dan menggiring seluruh umat manusia untuk membeli dan
memilikinya di berbagai belahan bumi ini sehingga boleh jadi, sampai hari ini
sudah sekian milyar pesawat televisi diproduksi banyak pabrik di seluruh dunia.
47
Televisi dengan berbagai program acara siarannya selama ini dengan
berbagai jenis tayangan informasi dan hiburannya memang selalu menawarkan
suatu kenikmatan tersendiri bagi para pemirsanya. Manfaat dan kegunaan pesawat
televisi memang bukan tidak ada. Hanya dibandingkan dampak negatifnya,
manfaat menonton televisi siaran televisi sampai saat ini, jauh lebih kecil
ketimbang dampak negatif yang ditimbulkannya. Lebih-lebih apabila pengaruh
tayangan yang merugikan atau negatif dicerna oleh anak-anak yang pada
gilirannya akan mewarnai pola pikir anak-anak. Apabila pola pikir anak sudah
terkontaminasi oleh pikiran yang tidak sehat maka akan terbawa pada usia remaja.
Dan tanpa disadari bahwa remaja adalah bentuk miniatur dari pada kehidupan
suatu bangsa. Akan bagaimana Indonesia untuk masa mendatang tergantung dari
pada warna anak-anak yang akan menjadi remaja dan bagaimana pola pikir
remajanya.
Dewasa ini televisi dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan dengan
mudah dapat dijangkau melalui siaran dari udara ke udara dan dapat dihubungkan
melalui satelit. Apa yang kita saksikan pada layar televisi, semuanya merupakan
unsur gambar dan suara. Jadi ada dua unsur yang melengkapinya yaitu unsur
gambar dan unsur suara. Rekaman suara dengan gambar yang dilakukan di stasiun
televisi berubah menjadi getaran-getaran listrik, getaran-getaran listrik ini
diberikan pada pemancar, pemancar mengubah getaran-getaran listrik tersebut
menjadi gelombang elektromagnetik ya ng ditangkap oleh satelit. Melalui satelit
inilah gelombang elektromagnetik dipancarkan sehingga masyarakat dapat
menyaksikan siaran televisi.
48
Televisi memang tidak dapat difungsikan mempunyai manfaat dan unsur
positif yang berguna bagi pemirsanya, baik manfaat yang bersifat kognitif, afektif
dan psikomotor, namun tergantung pada acara yang ditayangkan televisi.
Dampak negatif yang ditimbulkan televisi memang tidak sedikit, baik yang
disebabkan karena terapan kesannya, maupun kehadirannya sebagai media fisik
terutama bagi pengguna televisi tanpa disertai dengan sikap selektif dalam
memilih berbagai acara yang disajikan. Dalam konteks semacam ini maka kita
dapat melihat beberapa dampak negatif itu sebagai berikut:
a. Menyia-nyiakan waktu dan umur;
b. Melalaikan tugas dan kewajiban;
c. Menumbuhkan sikap hidup konsumtif;
d. Menganggu kesehatan;
e. Alat transportasi kejahatan dan kebejatan moral;
f. Memutuskan tali silaturahmi;
g. Mempengaruhi dan menurunkan prestasi belajar siswa.
Manusia memanfaatkan televisi sebagai alat bantu yang paling efektif. Di
mana kesemuanya ini dapat terwujud melalui berbagai program dan tayangan
televisi yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan material.
Peran guru PKn dalam pembelajaran moral di sekolah ini sangat
berpengaruh, dimana pada saat ini media diyakini telah menggeser tugas guru,
orang tua dan pihak lainnya sebagai educator, menyediakan role-model bagi anak-
anak dan remaja dan menjadi sumber acuan untuk mendefinisikan mana yang baik
49
dan mana yang buruk. Dalam hal ini, media telah menjadi semacam contempory
civil religion (Robert N. Bellah, 1967).
Persoalannya, bukan rahasia lagi bahwa realitas yang dibawa oleh media
realitas yang berselimut kepentingan kapitalis industrial yang tidak lain berujung
pada akumulasi profit semata.
Menurut Kosasih Djahiri (2006: 8), terdapat visi pendidikan nilai-moral di
samping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan Nila,
Moral dan Norma (NMNr). Pendidikan NMNr membawakan misi:
a. Memelihara/melestarikan dan membina NMNr menjadi 5 (lima) sistem kehidupan yang kait mengait.
b. Mengklarifikasi dan merevitalisasi sub. a sebagai ”moral conduct” diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana ybs berada.
c. Memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian.
d. Membina dan menegakkan “law and order” serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas.
Khusus di negara kita, di samping hal-hal di atas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) (Djahiri, 2006: 8).
Sesuai dengan penjelasan mengenai pendidikan nilai-moral di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa dalam penayangan siaran acara televisipun harus
memuat nilai-nilai edukatif dan sesuai dengan norma, nilai dan moral yang dapat
memanusiakan yang berbudaya dalam memberdayakan manusia dan
kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab yang sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia.