s ppk 054244 chapture2 -...

53
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan tentang Pendidikan Politik 1. Pengertian Pendidikan Politik Pendidikan di Indonesia merupakan upaya untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdasarkan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila. Selain itu, fungsi pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sesuai rumusan pasal 7 Bab V Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, upaya pendidikan politik merupakan sarana vital dalam pembentukan warga negara atau individu-individu untuk mendapatkan informasi, wawasan, serta memahami sistem politik yang berimplikasi pada persepsi mengenai politik dan peka terhadap gejala-gejala politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif pemecahan masalah dari masalah-masalah politik yang ada. Pendidikan politik di Indonesia secara edukatif merupakan upaya yang sistematis untuk memantapkan kesadaran politik dan bernegara untuk menjaga kelestarian Pancasila dan UUD 1945. Jadi, pendidikan politik disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat

Upload: phungkhanh

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan tentang Pendidikan Politik

1. Pengertian Pendidikan Politik

Pendidikan di Indonesia merupakan upaya untuk menciptakan sumber daya manusia

yang berkualitas dan berdasarkan falsafah bangsa dan pandangan hidup bangsa yaitu

Pancasila. Selain itu, fungsi pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggungjawab.

Sesuai rumusan pasal 7 Bab V Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik, upaya pendidikan politik merupakan sarana vital dalam pembentukan warga negara

atau individu-individu untuk mendapatkan informasi, wawasan, serta memahami sistem

politik yang berimplikasi pada persepsi mengenai politik dan peka terhadap gejala-gejala

politik yang terjadi di sekitarnya. Selanjutnya, warga negara diharapkan memiliki

keterampilan politik sehingga memiliki sikap yang kritis dan mampu mengambil alternatif

pemecahan masalah dari masalah-masalah politik yang ada.

Pendidikan politik di Indonesia secara edukatif merupakan upaya yang sistematis

untuk memantapkan kesadaran politik dan bernegara untuk menjaga kelestarian Pancasila dan

UUD 1945. Jadi, pendidikan politik disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat

Page 2: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

serta yang menjadi landasan moral bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam Instruksi Presiden

Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Bagi Generasai Muda sebagai berikut:

Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai budaya bangsa.

Perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik dilakukan secara

sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap individu. Dalam

proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif diyakini dan

dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1993:3) menyatakan pendapatnya,

“Pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses dimana

individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai unsur yang

penting dari konsep dirinya”. Proses internalisasi nilai-nilai ini menjadi kekuatan pendidikan

politik yang memberi makna bahwa pendidikan dan politik itu saling bertautan.

Pendidikan politik mencoba mengembangkan prinsip-prinsip demokrasi yang akan

diterapkan pada warga negara sebagai landasan pola pikir dalam membangun partisipasi

politik warga negara. Partisipasi politik warga negara dapat diwujudkan dalam bentuk

pengambilan keputusan politik yang didasarkan pada kebebasan memilih dan menentukan

keputusan yang dibuat. Hal ini senada dengan Haines (Brownhill, 1989:4) bahwa upaya

pendidikan politik bertujuan untuk “Free men have to decide, to chose, to elect

refresentatives, support or under mine policies, advocate, persuade, guide, teach, as well as

manage, their own affairs as well as they are able”.

Dengan demikian pendidikan politik menghargai hak setiap individu untuk memilih

dan mengambil keputusan politik tanpa ada tekanan dari pihak manapun serta berpartisipasi

dalam sistem politik yang ada. Pendidikan politik pun memiliki tujuan untuk menarik

individu memahami politik sehingga menjadi warga negara yang bertanggungjawab dengan

Page 3: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencoba bagaimana menganalisa dan memberikan penilaian terhadap situasi politik yang

sedang berlangsung secara mandiri.

Pendapat ini senada dengan pernyataan Haines (Idrus Affandi, 1993:5) bahwa: Pendidikan politik adalah bagaimana mengembangkan keinginan professional dalam politik dan mengutamakan yang mengarah kepada tanggungjawab politik, yang dalam waktu yang sama berusaha memberikan kepada mereka pengetahuan yang penting dan keterampilan untuk melaksanakan tanggungjawab.

Definisi di atas menunjukkan bahwa pendidikan politik merupakan upaya pembinaan

kepada setiap individu untuk berpartisipasi terhadap kehidupannya dengan penuh rasa

tanggungjawab.

Rusadi Kantaprawira (1988:54) memandang bahwa “pendidikan politik sebagai salah

satu fungsi struktur politik dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat

agar mereka dapat berpartisipasi secara nasional dalam sistem politiknya”. Dengan demikian

pendidikan politik sebagai cara untuk mengenalkan serta memahami politik kepada warga

negara untuk secara aktif berpartisipasi dalam sistem politik yang sedang berjalan.

Sedangkan Alfian (1992:235) mengemukakan pendapat tentang pendidikan politik

sebagai berikut:

Pendidikan politik (dalam arti kata yang lebih ketat) dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi masyarakat sehingga memahami dan menghayati betul-betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun.

Dengan demikian, pendidikan politik menurut Alfian sama dengan sosialisasi politik,

yaitu proses menyampaikan atau menyebarkan program-program pemerintah (penguasa)

kepada masyarakat dalam suatu sistem politik. Senada dengan Alfian, Wahab (Komarudin,

2005:19) mengemukakan, bahwa “pendidikan politik secara umum adalah sosialisasi nilai-

nilai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Kedua pendapat tersebut

berkaitan erat dengan sosialisasi politik. Dalam hal ini pendidikan politik merupakan upaya

mengenalkan suatu sistem politik pada individu dan menentukan reaksi terhadap gejala-gejala

Page 4: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

politik dalam sistem tersebut. Konsep pendidikan politik dan sosialisasi politik memiliki arti

yang berdekatan atau hampir sama sehingga dapat digunakan secara bergantian.

Menurut Michael Rush dan Philip Althoff (2001:22), bahwa sosialisasi politik

diartikan sebagai “suatu proses oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem

politik yang kemudian menentukan sifat-sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta

reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik”.

Inti dari pengertian sosialisasi yang diungkapkan Michael Rush dan Philip Althoff

tersebut, yaitu pengenalan terhadap sistem politik. Apabila seorang individu telah mengenali

lingkungan sistem politiknya maka individu tersebut akan memiliki persepsi terhadap

lingkungan sistem politiknya. Perlu diketahui bahwa persepsi setiap individu terhadap

lingkungan sistem politiknya akan berbeda-beda tergantung intensitas sosialisasi, pesan yang

ada dalam sosialisasi, penyampaian atau media sosialisasi tersebut. Selain itu aspek-aspek

yang ada dalam individu juga akan mempengaruhi tingkat persepsi orang mengenai sistem

politiknya seperti intelegensi, tingkat pendidikan, emosi, nilai-nilai, dan sebagainya. Karena

persepsi setiap individu berbeda maka tidak aneh reaksi-reaksi terhadap sistem politiknya pun

akan berbeda-beda pula.

Proses ini dipengaruhi oleh lingkungan individu berada baik secara sosial, ekonomi,

politik, dan budaya. Pendidikan politik yang diperoleh setiap individu menimbulkan

pengalaman-pengalaman politik yang baru sehingga menimbulkan perilaku politik. Perilaku

politik sebagai hasil pendidikan politik diungkapkan oleh Kenzie dan Silver (Rush dan

Althoff, 200:180) bahwa:

Perilaku politik seseorang itu ditentukan oleh interaksi dari sikap sosial dan sikap politik individu yang mendasar, dan oleh situasi khusus yang dihadapainya. Asosiasi antara berbagai karakteristik pribadi dan sosial dan tingkah laku politik mungkin adalah hasil dari motivasi sadar atau tidak sadar, atau yang lebih mungkin lagi kombinasi keduanya.

Page 5: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Dengan demikian perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik

dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap

individu. Dalam proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif

diyakini dan dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1996:3) menyatakan

pendapatnya “pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses

dengan mana individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai

unsur yang penting dari konsep dirinya”.

Dalam hal ini politik dilihat sebagai inti dari proses pendidikan politik yakni

membenarkan nilai-nilai dan menerapkannya di masyarakat, sedangkan pendidikan adalah

media untuk menyampaikan nilai-nilai tersebut. Sehingga inti dari proses pendidikan politik

yakni internalisasi nilai-nilai yang ada di masyarakat untuk mengembangkan pemahaman

sistem politik menuju pembentukan warga negara yang melek politik. Hal ini sesuai dengan

Made Suara (2006) bahwa “Pendidikan politik merupakan proses mempengaruhi individu

agar mendapat informasi, wawasan, dan keterampilan politik hingga sanggup bersikap kritis

dan lebih internasional serta lebih terarah hidupnya”.

Dengan demikian, pendidikan politik merupakan suatu usaha untuk menciptakan

warga negara yang benar-benar melek politiknya. Selain itu, pendidikan politik sebagai usaha

dalam mencapai hak politik yang dimiliki setiap warga negara dalam membangun dan

menjalankan suatu sistem politik yang ada. Di samping itu warga negara diharapkan mampu

berpartisipasi aktif dalam sistem politik yang menuntut kedewasaan berpolitik untuk

menciptakan kedamaian bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

2. Tujuan Pendidikan Politik

Pada dasarnya tujuan pendidikan politik di setiap negara berbeda-beda. Hal ini terjadi

karena landasan serta tujuan pelaksanaan pendidikan politik disesuaikan dengan dasar dan

Page 6: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

falsafah bangsa. Indonesia sebagai negara yang demokratis menjalankan proses pendidikan

politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan warga negara. Sehingga tujuan

pendidikan politik harus sejalan dengan penjabaran tujuan pendidikan nasional. Dalam

rumusan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan

fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagai berikut:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Upaya untuk mengembangkan pendidikan yang membentuk watak dan peradaban

bangsa serta menjadi warga negara adalah bagian penting dari tujuan pendidikan politik.

Menurut Wahab (Komarudin, 2005:24), “… pendidikan politik bertujuan membentuk warga

negara yang baik, yaitu warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan dengan

baik hak-hak dan kewajibannya sebagai individu warga negara”. Dengan demikian,

terwujudnya warga yang baik (good citizen) yaitu warga negara yang melek politik, memiliki

kesadaran politik, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik merupakan tujuan utama dari

pendidikan politik.

Proses pendidikan politik merupakan suatu proses untuk membina dan

mengembangkan warga negara untuk mengenali sistem politik dan reaksi terhadap gejala-

gejala politik. Pada dasarnya tujuan pendidikan politik adalah membentuk manusia yang

sadar akan hak dan kewajibannya dalam rangka memahami situasi sistem politik menuju

kesejahteraan hidup bangsa. Selain itu, pendidikan politik diharapkan mampu menciptakan

warga negara yang memiliki jiwa nasionalis dan egaliter serta kualitas pribadi yang kuat

sebagai warga negara.

Terdapat beberapa tujuan dari pendidikan politik sebagaimana dikemukakan oleh

Amril (2004:104) sebagai berikut:

Page 7: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

a. Melatih orang muda dan orang dewasa menjadi warga negara yang baik; khususnya dalam fungsi sosial dan fungsi politik, seperti bisa mengembangkan sikap gotong royong/kooperatif, mau bermusyawarah dan kerjasama; bersikap toleran, solider, loyal terhadap bangsa dan negara, bersikap sportif dan seterusnya demi kesejahteraan hidup bersama.

b. Membangkitkan dan mengembangkan hati nurani politik, rasa etika politik dan tanggungjawab politik, agar orang menjadi insan politik yang terpuji (bukan memupuk egoisme dan menjadi bintang politik).

c. Agar orang memiliki wawasan kritis mengenai relasi-relasi politik yang ada di sekitarnya. Memiliki kesadaran bahwa urusan-urusan manusia dan struktur sosial yang ada di tengah masyarakat itu tidak permanen, tidak massif atau immanen sifatnya, tetapi selalu saja bisa berubah dan dapat diubah melalui perjuangan politik.

d. Kemudian mampu mengadakan analisis mengenai konflik-konflik politik yang aktual, lalu berusaha ikut memecahkan; jadi terdapat partisipasi politik. Sebab, urusan politik itu jelas membawa dampak kebaikan atau dampak keburukan kepada rakyat banyak. Karena itu rakyat juga sangat berkepentingan dengan urusan politik yang menyangkut mati hidupnya diri sendiri dan keselamatan rakyat pada umumnya.

e. Selanjutnya berpartisipasi politik dengan jalan memberikan pertimbangan yang konstruktif mengenai masyarakat dan kejadian politik itu merupakan hak-hak demokratis yang asasi. Hal yang perlu bukan hanya melancarkan proses-proses politik dari warga negara dan pertanggungjawabannya untuk mengatur masyarakat dan negara mengarah pada kehidupan yang sejahtera.

f. Partisipasi aktif itu memiliki pengaruh dan kekuatan sebab biasanya ikut pula dalam pengawasan aktivitas mengatur masyarakat dan negara. Maka menjalani proses pendidikan politik tanpa bisa berbuat politik itu sama saja dengan berenang di atas kasur. Sebaliknya melakukan perbuatan politik tanpa refleksi atau kearifan dan pendidikan politik bisa disebut aktivisme, yaitu berbuat awur-awuran atau anarki dan perbuatan makar.

Jika melihat maksud pendidikan politik di atas tidaklah salah apabila pendidikan

politik diberikan kepada generasi muda sebagai bagian dari pembinaan generasi muda

Indonesia untuk menciptakan kehidupan yang demokratis di masa yang akan datang. Selain

itu diharapkan para generasi muda mampu berperan dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara secara tangguh dan penuh tanggungjawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1982 tentang

Page 8: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan tujuan pendidikan politik sebagai

berikut:

Untuk menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia yang seutuhnya yang perwujudannya akan terlihat dalam perilaku hidup bermasyarakat sebagai berikut: a. Sadar akan hak dan kewajibannya serta tanggungjawab sebagai warga negara

terhadap kepentingan bangsa dan negara. b. Sadar dan taat pada hukum dan semua peraturan perundangan yang berlaku. c. Memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa

depan yang disesuaikan dengan kemampuan objektif bangsa saat ini. d. Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional. e. Mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis sesuai dengan UUD

1945 dan Pancasila. f. Berpartisipasi secara aktif dan kreatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara

khususnya dalam usaha pembangunan nasional. g. Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan

keanekaragaman bangsa. h. Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam sekitar secara

selaras, serasi, dan seimbang. i. Mampu melakukan penilaian terhadap gagasan, nilai serta ancaman yang

bersumber dari ideologi lain di luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir dan penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.

Dalam hal ini pendidikan politik di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan dan

mengembangkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan falsafah

Pancasila dan UUD 1945. Peningkatan pemahaman akan kesadaran kehidupan berbangsa dan

bernegara diharapkan mampu meningkatkan partisipasi secara aktif untuk membangun

bangsa sesuai dengan arah dan cita-cita bangsa. Pandangan di atas sejalan dengan Sumantri

dan Affandi (1986:126) yang menyatakan bahwa:

Maksud diselenggarakannya pendidikan politik pada dasarnya adalah untuk memberikan pedoman bagi generasi muda Indonesia guna meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan dengan arah dan cita-cita bangsa Indonesia. Generasi muda sebagai pewaris cita-cita bangsa dituntut untuk berpartisipasi secara

aktif membangun bangsa. Oleh sebab itu, generasi muda harus memiliki pengetahuan serta

Page 9: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

keterampilan politi sehingga para generasi muda menggunakan pengetahuannya untuk

berpolitik secara bertanggungjawab. Pendapat ini sejalan dengan Brownhill dan Patricia

Smart (1989:4) bahwa:

The aim of political education should therefore be to develop the professionals interest and to poin them toward their political responsibilities, while at the same time endeavouring togive them the necessary knowledge and skills to carry out those responsibilities.

Dengan demikian, pendidikan politik bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan

pemahaman serta kemampuan untuk bertanggungjawab sebagai warga. Selain itu

memberikan pemahaman mengenai pengetahuan politik sehingga warga negara berpartisipasi

dalam sistem politik yang sedang berjalan. Pelaksanaan pendidikan politik harus dilakukan

secara sistematis untuk menumbuhkan iklim demokratis dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Menurut Ragnar Muller (2006) mengungkapkan bahwa “One of the fundamental

objectives of political education is to develop an understanding of politics among pupils and

to give them an insight into how politics works and how it is connected”. Jadi, salah satu

tujuan pendidikan politik adalah mengembangkan sebuah pemahaman diantara siswa dan

memberikan kepada siswa wawasan tentang bagaimana politik berjalan dan mencari

hubungan konsep dasar politik.

Konsep dasar politik atau basic knowledge yang dapat diberikan kepada setiap

individu adalah konsep demokrasi, pemilihan umum, partai politik, dan lain-lain. Konsep ini

diberikan kepada individu sebagai upaya peningkatan pemahaman terhadap politik. Setelah

memahami politik diharapkan individu mampu memberikan opini politik secara independent

berdasarkan konsep dasar politik yang diketahuinya. Setelah itu, individu diharapkan mampu

berpartisipasi aktif dalam politik sebagai perwujudan dari warga negara yang

bertanggungjawab. Berikut ilustrasi dari uraian di atas:

Page 10: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

KO

NS

EP

D

AS

AR

PO

LIT

IK

PE

MA

HA

MA

N

PO

LIT

IK [

OP

INI

PO

LIT

IK

IND

EP

EN

DE

NT

PA

RT

ISIP

AS

I P

OLI

TIK

WA

RG

A N

EG

AR

A

YA

NG

BE

RT

AN

GG

UN

G

JAW

AB

Gambar 2.1 Tujuan dan Tugas Pendidikan Politik

TUJUAN DAN TUGAS PENDIDIKAN POLITIK

(Sumber: Devi Andriana, 2007:34)

Dalam hal ini pendidikan politik diarahkan pada pembentukan warga negara yang

memiliki sikap dan analisis kritis terhadap berbagai masalah sosial politik di lingkungannya.

Sehingga diharapkan warga negara ikut serta dalam memecahkan masalah yang dihadapi dan

memiliki kesadaran politik yang berimbas pada partisipasi politik aktif.

Pendidikan politik menjadi sebuah pemahaman dalam setiap warga negara untuk

dihayati sehingga membentuk perilaku politik atau melek politik. Kedudukan dan

pelaksanaan pendidikan politik dikemukakan oleh Affandi (1996:6) sebagai berikut:

Pendidikan politik tidak saja akan menentukan efektivitas sebuah sistem politik karena mampu melibatkan warganya, tetapi juga memberikan corak pada kehidupan bangsa di waktu yang akan datang melalui upaya penerusan nilai-nilai politik yang dianggap relevan denga pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.

Page 11: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Sedangkan A. Kosasih Djahiri (Iyep Candra Hermawan, 2004:33) mengemukakan

bahwa pendidikan politik di Indonesia memiliki target ysng jelas, yaitu membina siswa melek

politik yakni manusia Indonesia yang:

1. Melek konstitusi dan hukum; yang memahami pokok pikiran UUD 1945 dan hukum yang ada dalam negara RI serta mengerti esensi penegakkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Melek pembangunan; yakni manusia yang memahami laju gerak kemajuan bangsa yang sudah, sedang, dan akan ditempuh serta mau dan mampu berpartisipasi secara aktif dan fungsional.

3. Melek masalah; yakni tahu persoalan, kendala, dan kesulitan yang dihadapi masyarakat, bangsa, negara, dan dirinya dalam membina hal-hal di atas.

Dari penjelasan di atas, pendidikan politik memegang peranan yang sangat vital untuk

mencapai kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Dengan pendidikan politik dibentuk dan

dikembangkan warga negara yang memiliki kesadaran politik dalam kerangka kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya

pewarisan nilai-nilai budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan

hak dan kewajiban warga negara. Sehingga partisipasi aktif warga negara memberikan

konstribusi bagi pembangunan demokrasi Indonesia serta sesuai dengan cita-cita bangsa yang

terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945.

3. Bentuk-bentuk Pendidikan Politik

Pendidikan politik ditinjau dari sudut proses merupakan upaya pewarisan nilai-nilai

budaya bangsa, proses peningkatan dan pengembangan kesadaran akan hak dan kewajiban

warga negara. Sehingga partisipasi aktif warga negara memberikan kontribusi bagi

pembangunan demokrasi Indonesia yang sesuai dengan cita-cita bangsa yang terkandung

dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian ini berkaitan dengan bentuk-bentuk

pendidikan politik yang akan dilaksanakan dan ditinjau dari sudut proses maupun tujuan yang

hendak dicapai. Bentuk-bentuk pendidikan politik diharapkan mampu menciptakan warga

Page 12: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

negara yang melek politik. Menurut Stradling (Brownhill dan Patricia Smart, 1989:105)

mengemukakan bahwa:

Pengertian melek politik di sini sebaiknya menyangkut keterampilan tindakan yang di dalamnya terdapat kemampuan untuk berpartisipasi dalam membentuk keputusan kelompok dan kemampuan secara selektif untuk mempengaruhi dan atau merubah institusi politik.

Pendidikan politik untuk menciptakan warga negara yang melek politik merupakan

upaya pembangunan politik masyarakat untuk mengenal, mengetahui, dan memahami sistem

politik yang berjalan serta nilai-nilai politik tertentu yang akan mempengaruhi perilaku warga

negara. Menurut Idrus Affandi (Komarudin S, 2005:22) bahwa: “Pembangunan politik

merupakan proses penataan kehidupan pemerintah yang terus-menerus sesuai dengan

pertumbuhan sosial politik masyarakata dan tidak dapat dibendung oleh suatu rezim tertentu

yang menghendaki kekuasaan absolut”. Dari definisi tersebut terungkap bahwa perubahan

yang selalu terjadi dalam kehidupan manusia harus disikapi serta direspon melalui

pembangunan politik atau pendidikan politik agar manusia sebagai warga negara dapat

menyikapi perubahan yang terjadi secara sadar dan bertanggungjawab.

Perubahan yang selalu terjadi menjadi wahana bagi pembinaan perilaku politik yang

cerdas, kritis, dan bertanggungjawab. Pembinaan perilaku politik dapat melalui

penyelenggaraan pendidikan politik yang dilakukan dengan pengajaran-pengajaran yang

mengacu pada substansi dari pendidikan politik tersebut. Dalam hal ini, substansi kurikulum

pendidikan politik menurut Stradling (Brownhill dan Patricia Smart, 1989:104) membaginya

ke dalam tiga bagian, yaitu:

Pertama, pengetahuan; yang terdiri dari pengetahuan professional, dan pengetahuan praktikal, pemahaman. Kedua, keterampilan yang terdiri dari keterampilan intelektual, keterampilan tindakan, keterampilan komunikasi. Ketiga, sikap dan nilai-nilai prosedural.

Dari pendapat di atas, secara garis besar kurikulum pendidikan politik menyentuh

aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam aspek kognitif pendidikan politik memberikan

Page 13: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

pengetahuan dan pemahaman politik terhadap setiap individu. Sedangkan dalam aspek

psikomotor kurikulum pendidikan politik hendaknya memberikan kemampuan keterampilan

kepada individu untuk memiliki keterampilan intelektual, tindakan, dan komunikasi politik

secara efektif. Kurikulum pendidikan politik secara efektif harus membuat individu

menimbulkan sikap politik sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal senada

diungkapkan oleh Brownhill dan Patricia Smart (1989:110) yang mengungkapkan bahwa

kurikulum pendidikan politik harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Nilai-nilai, tujuan, etika dasar serta sasaran yang dicapai, antara lain: isi kurikulum harus didasarkan kepada suatu etika yang dapat diterima oleh semua jenis dan kalangan masyarakat.

b. Nilai-nilai tersebut nantinya dipakai sebagai bahan untuk menyusun informasi, pengetahuan teoritis serta hal-hal yang bersifat informative dan kognitif.

c. Selain pengetahuan yang bersifat teoritis, kurikulum pendidikan politik harus mengandung seperangkat pengetahuan praktis.

Lebih lanjut, Brownhill dan Patricia Smart (1989:110) mengemukakan pengetahuan

praktis dalam kurikulum pendidikan politik terdiri dari:

a. Hakekat argumen rasional, argument deduktif. Argument induktif, serta bentuk-bentuk argumen dialektika dari argument politik.

b. Argument persuasive, yakni bagaimana memberikan argumentasi dengan cara-cara yang dapat meyakinkan orang dan mampu memprestasikan secara logis maupun retorik.

c. Penggunaan tekanan dalam perjanjian, bargaining, dan diplomasi dinamika kelompok diskusi.

d. Keterampilan berkomunikasi dan menanamkan pengaruh di kalangan pengikut, keterampilan mengembangkan argument secara rasional maupun tertulis serta teknik-teknik persuasi.

Dengan demikian isi dari kurikulum pendidikan politik tidak hanya menanamkan

pengetahuan dan keterampilan semata, akan tetapi mengandung bagaimana bersikap secara

politik yang disertai dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat. Hal ini

didasarkan bahwa pendidikan politik merupakan proses pewarisan dan internalisasi nilai-nilai

yang terkandung di dalam masyarakat ke setiap individu.

Page 14: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Pendidikan politik sesungguhnya telah menjadi bagian dalam kehidupan manusia

sebab di mana ada manusia maka terdapat pula masyarakat atau dengan kata lain manusia

adalah zoon politicon. Sehingga ketika terdapat unsur politik dalam kehidupan manusia maka

akan terjadi sosialisasi politik dalam arti longgar dari pendidikan politik, baik di lingkungan

keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Hal ini sebagaimana yang telah digariskan dalam

Inpres No. 12 Tahun 1982 bahwa jalur-jalur terlaksananya pendidikan politik meliputi: a)

jalur informal, b) jalur formal, dan c) jalur non formal.

Hal senada diungkapkan oleh Kuntowijoyo (Dian Sudiono, 2004:78) yang

menyebutkan bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan politik sebagai berikut:

Pendidikan politik formal, yaitu pendidikan politik yang diselenggarakan melalui indoktrinasi. Berikutnya adalah pendidikan politik yang diselenggarakan tidak melalui pendidikan formal, seperti pertukaran pemikiran melalui mimbar bebas, sedangkan pendidikan politik yang baik adalah pendidikan politik yang memobilisasi simbol-simbol nasional, seperti sejarah, seni, sastra, dan bahasa.

Dalam definisi di atas metode indoktrinasi merupakan metode pendidikan politik

secara formal yakni di tingkat persekolahan. Namun pendidikan politik yang baik adalah

pendidikan politik yang menampilkan simbol-simbol nasional untuk memperkuat jati diri

bangsa. Warga negara yang melek politik harus memiliki karakter atau jati diri bangsa yang

tangguh.

Ruslan (Abu Ridha, 2002:58) mengemukakan, bahwa institusi untuk menyampaikan

pendidikan politik meliputi “Keluarga, sekolah, partai politik, dan kelompok penekan,

berbagai media informasi dan komunikasi massa”. Dari dua pendapat di atas menunjukkan,

bahwa media massa memegang peranan yang sangat besar untuk mempengaruhi pikiran,

perasaan, dan perilaku individu sebagai imbas dari era globalisasi dan kemajuan teknologi

informasi. Selain media massa pendidikan politik secara formal dilakukan pada persekolahan

dan hal ini menjadi tahap awal yang penting bagi proses pendidikan politik sehingga peranan

sekolah sangat penting dalam pendidikan politik. Pendidikan politik di persekolahan akan

Page 15: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

menentukan sikap politik setiap individu yang dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan serta

keakuratan informasi yang diterima dari media cetak atau elektronik. Proses pendidikan

politik yang dilakukan secara formal di persekolahan menjadi tahap awal untuk indoktrinasi

politik. Hal ini sesuai dengan pendapat Brownhill (1989:143) bahwa “Most opposition to the

inclusion of political education in the curriculum comes from those who maintain that the

teaching of politics in schools would be the first stepping stone to political indoctrination”.

Kajian terhadap proses indoktrinasi dalam proses pendidikan masih menjadi

perdebatan yang menimbulkan pro dan kontra. Walaupun sesungguhnya dalam proses

pendidikan selalu menggunakan indoktrinasi karena indoktrinasi merupakan langkah awal

untuk menanamkan ideologi. Pendidikan politik dalam lembaga formal harus menghilangkan

kekhawatiran terhadap proses indoktrinasi sebagai hambatan dalam pengajaran politik. Hal

ini didasarkan pada pendidikan politik merupakan salah satu pelajaran yang ditempatkan

pada semua jenjang persekolahan. Alasan lainnya menurut Dunn (Brownhill, 1989:8) yakni

“pendidikan politik di sekolah-sekolah telah memiliki tempat yang sah dalam kurikulum

persekolahan dengan tujuan untuk mendapatkan pengetahuan politik sebagai syarat mutlak

menjadi warga negara yang lebih dewasa”.

Di Indonesia pendidikan politik yang diberikan di persekolahan dilakukan melalui

pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini tercantum dalam misi Pendidikan

Kewarganegaraan yang baru yakni sebagai pendidikan politik. Pendidikan Kewarganegaraan

memiliki program pendidikan untuk memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan

kepada siswa agar mereka mampu hidup sebagai warga negara yang memiliki tingkat

kemelekan politik (political literacy) dan kesadaran politik (political awareness), serta

kemampuan berpartisipasi politik (political participation) yang tinggi.

Dalam bentuk pendidikan nonformal, pendidikan politik dapat dilakukan oleh partai

politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan politik yang

Page 16: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

dilakukan partai politik merupakan sebuah kewajiban karena salah satu ciri berjalannya

fungsi partai politik sebagai media pendidikan politik. Berfungsinya partai politik sebagai

media pendidikan politik merupakan tahap lanjutan bahkan tingkat akhir dari proses

pendidikan politik di persekolahan. Partai politik dapat dijadikan tempat setiap warga negara

untuk mengaplikasikan ilmu politik yang diperoleh sebagai perwujudan partisipasi politik.

Sedangkan secara informal pendidikan politik dapat dilakukan dalam keluarga dan

lingkungan, diantaranya memberikan contoh keteladanan. Secara nonformal dapat dilakukan

oleh partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan

(ormas).

Dengan demikian bentuk-bentuk penyelenggaraan pendidikan politik dapat

dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah melalui partai politik

dan organisasi kemasyarakatan. Penyelenggaraan pendidikan politik yang terbagi ke dalam

tiga jalur tidak menghilangkan esensi dari tujuan pendidikan politik itu sendiri yakni

meningkatkan kemelekan politik, kesadaran politik, dan partisipasi politik yang tinggi.

Sesungguhnya komponen pokok dari proses pendidikan politik bukan terletak pada

bentuknya, akan tetapi yang lebih pokok adalah substansi dari proses pendidikan politik

tersebut yang meliputi materi dan kurikulum pendidikan politik.

B. Tradisi Politik Pesantren

1. Landasan Etik Politik Islam

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya aqidah, syariah, dan akhlak

mempunyai korelasi yang erat dengan politik dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi

masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik.

Implementasinya kemudian diatur dalam rumusan syari’ah sebagai katalog lengkap dari

Page 17: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

perintah dan larangan Alloh SWT, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek

kehidupan manusia.

Islam dan politik mempunyai titik singgung yang kuat bila keduanya dipahami

sebagai sarana untuk menata hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan

sebagai ‘kedok” dan “alat legitimasi’ terhadap kekuasaan dan dipahami sebagai sarana

perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan. Politik yang hanya dipahami demikian pada

akhirnya akan mengaburkan makna dan menutup kontribusi Islam terhadap dunia politik.

Dengan demikian Islam perlu dijadikan sebagai sumber inspirasi cultural dan kerangka

paradigmatic dalam pemikiran politik.

Namun dalam perjalanan sejarahnya, Islam belum mampu meletakkan sistem religio-

politiknya sebagai kekuatan pembebas atau pengatur pranata sosial yang mapan. Islam

cenderung berperan sebagai sumber ideologis untuk menjustifikasi kemapanan sebuah

kekuasaan (status quo).

Pemikiran politik Islam sebagai hasil sistematisasi ajaran-ajaran Islam dan tradisi-

tradisi kaum muslimin di bidang politik muncul sejalan dengan kepesatan Islam keluar

jazirah Arab. Ekspansi ini menimbulkan masalah-masalah baru tentang cara pengaturan

negara, di samping konsekuensi logis munculnya kelompok-kelompok kepentingan (political

interest groups). Kelompok-kelompok ini baik yang berbasis sosial budaya atau sosial

keagamaan tertentu (mazhab) merasa ikut memberi kontribusi dalam proses jihad fisabilillah.

Data historis menyebutkan fenomena persaingan-persaingan kelompok pemikiran keagamaan

baik mazhab pemikiran kalam maupun dalam merebut pengaruh dan patronase dengan

penguasa.

Polarisasi pemikiran politik dalam Islam tampaknya lebih disebabkan oleh perbedaan

dalam menafsirkan teks-teks normative agama, disamping perbedaan-perbedaan basis sosial

budaya yang melingkupinya. Perbedaan itu sangat wajar karena Islam tidak secara eksplisit

Page 18: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

memberikan suatu formulisasi bagi sistem kenegaraan yang baku dan harus diikuti oleh

seluruh umat Islam. Perhatian utama Al-Qur’an adalah memberikan landasan etik bagi

terbangunnya sistem politik yang didasarkan pada prinsip tegaknya masyarakat yang

berkeadilan dan bermoral. Oleh karena itu modal dan struktur ketatanegaraan Islam bukanlah

sesuatu yang tidak dapat diubah karena ia senantiasa terikat dengan perubahan dimensi ruang

dan waktu.

Salah satu isu yang kontroversial dalam sejarah pemikiran politik Islam mengenai

teori khilafah atau imamah. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, masyarakat Islam yang

masih baru mengalami kekosongan pemerintahan dihadapkan pada suatu krisis

konstitusional, yaitu mengenai bagaimana mekanisme pemilihan kepala negara untuk

menggantikan posisi Nabi Muhammad sebagai pemimpin komunitas Islam.

Dalam konteks yang demikian ini, Al-Qur’an dan Al-Sunah tidak memberikan

ketentuan yang jelas tentang mekanisme suksesi, bentuk pemerintahan dan lembaga politik

lainnya. Informasi yang ada hanya bersifat global tentang garis-garis besar bagaimana suatu

masyarakat harus dibentuk. Pertanyaan yang timbul adalah mengapa Al-Qur’an ataupun Al-

Sunah tidak memberikan suatu teori atau sistem politik yang baku sebagai pedoman

masyarakat muslim? Paling tidak ada dua alasan pokok yang mendasarinya. Pertama, Al-

Qur’an bukanlah sebuah kitab politik. Kedua, sudah merupakan kenyataan sejarah

(sunnatullah) bahwa institusi-institusi sosial politik dan organisasi yang dibentuk manusia

akan mengalami perubahan.

Dari sini dapat dimengerti bahwa diamnya Al-Qur’an dalam masalah ini memberikan

suatu jaminan dan sengaja member peluang bagi umat Islam untuk melakukan kajian-kajian

dalam memformulasikan sistem politiknya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Landasan

etik dari bangunan politik Islam adalah nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kemerdekaan.

Dari perspektif ini, suatu negara bisa dikatakan bercorak Islam manakala mampu

Page 19: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

menerjemahkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam tatanan politik praktis

tanpa harus mempertanyakan bentuk dan sistem politik apa yang harus dibangun.

Oleh karena itu mengkaji pemikiran politik dan sistem ketatanegaraannya dalam

Islam harus diorientasikan pada upaya menerjemahkan cita-cita politik Islam dengan cara

membuat format dan sistem politik yang sesuai dengan etika Al-Qur’an. Pada level

perumusan formulasi sistem politik inilah sesungguhnya yang menjadi fokus perdebatan di

kalangan pemikir muslim dari zaman klasik sampai pemikir muslim kontemporer.

2. Islam dan Wawasan Politik

Salah satu karakteristik syariah Islam adalah cakupannya. Tidak ada satu pun dalam

kehidupan yang tidak ada hukumnya dalam syariah. Oleh karena itu, dalam teks-teks Al-

Qur’an kita dapat menemukan hukum-hukum ibadah, aqidah (teologi), akhlak dan muamalah

dalam maknanya yang luas yang mengatur hubungan timbal balik manusia, baik sebagai

individu maupun makhluk sosial. Islam bukanlah agama yang hanya mementingkan

persoalan keagamaan yang bersifat ritual saja. Lebih dari itu, Islam merupakan sistem ajaran

yang menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia.

Dari kajian tentang Al-Qur’an dan karir Nabi Muhammad selama ke-Rasul-annya,

disimpulkan bahwa Islam dan wawasan kekuasaan (politik) harus disinari oleh wawasan

moral sebagai salah satu indicator iman dalam konteks sosial dan realitas sejarah. Al-Qur’an

telah menegaskan bahwa, “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan

matiku adalah untuk Allah pemelihara alam semesta”. Menurut ayat ini, shalat di masjid,

berjualan di pasar, atau berbicara tentang masalah pembatasan masa jabatan presiden di

parlemen tidaklah ditempatkan pada kategori dikhotomis antara ibadah dan kerja sekuler.

Oleh karena itu agama tidak bisa dipisahkan dari politik dan politik harus disinari oleh nilai

moral.

Page 20: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Hubungan antara agama dan negara dalam Islam telah diberi tauladannya oleh

Rasulullah setelah hijrah dari Mekkah ke Madinah (Al-Madinah, kota parexcellence). Dari

nama yang dipilih oleh Nabi sebagai kota hijrahnya, menunjukkan rencana Nabi dalam

rangka mengemban misi suci dari Tuhan, yaitu menciptakan masyarakat yang berbudaya

tinggi yang kemudian menghasilkan suatu entetitas sosial politik sebuah negara. Negara

Madinah yang dipimpin oleh Nabi adalah model bagi hubungan antara agama dan negara

dalam Islam.

Risalah Al-Qur’an adalah untuk member petunjuk kepada manusia termasuk dalam

kapasitasnya sebagai makhluk politik. Maka agar kita mendapat gambaran yang memadai

tentang petunjuk Al-Qur’an yang telah beroperasi dalam kenyataan sejarah, kita perlu

mempelajari secara ringkas karir sejarah Nabi Muhammad, baik periode Mekkah maupun

Madinah. Pada periode Mekkah, Nabi tidak mempunyai kekuasaan politik untuk menyokong

misi kenabiannya, sementara di Madinah Nabi berperan sebagai kepala politik.

Kerangka dasar pemikiran politik dalam Islam banyak diintrodusir oleh nash, baik Al-

Qur’an maupun Al-Hadist terutama nash-nash yang berkaitan dengan konsep musyawarah

(syura), keadilan (‘adalah), dan perjuangan melawan agresi. Pada umumnya konsep-konsep

ini jarang tersentuh pada pembahasan kitab fiqih karena aksetuansi kitab fiqih lebih banyak

pada aspek ibadah, mu’amalah dan jinayat. Oleh karena itu, maka kajian pada wilayah politik

ini membuka kita untuk melakukan entellectual exercise (ijtihad) yang didasarkan pada

penalaran manusia dan menjadi wilayah ijtihadiyyah. Prinsip syura dalam Islam

sesungguhnya mengidealkan suatu sistem sosial politik sebagai manifestasi dari egaliter dan

penegakkan nilai demokrasi.

Dalam Islam mendirikan institusi politik (imamah) adalah bagian tugas keagamaan,

rangka membumikan ajaran Islam dalam kerangka kehidupan sosial. Persoalannya kemudian

adalah bagaimana sistem politik dijalankan. Diantara refleksi tauhid dalam kehidupan

Page 21: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

bermasyarakat adalah tumbuhnya sikap egaliter. Sikap ini akan dapat tercermin dan menjadi

sistem nilai manakala teori-teori tentang keunggulan ras, suku bangsa, dan keturunan

dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Dalam Islam negara dipandang sebagai instrument bagi tegaknya syariah dan ia bukan

eksistensi dari agama. Persoalannya kemudian, kenapa Islam tidak memberikan suatu sistem

politik yang baku dan sistematis sehingga dapat dijadikan srandar dan berlaku universal bagi

dunia Islam. Dalam hal ini ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, Al-Qur’an

pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi manusia, ia bukanlah kita ilmu hukum atau politik.

Kedua, sudah menjadi kenyataan sejarah manusia bahwa institusi politik dan organisasi

manusia akan selalu berubah seiring dengan dinamika perubahan masyarakat. Oleh karena

itu, diamnya Al-Qur’an dalam konteks ini justru memberikan ruang gerak bagi munculnya

pemikiran-pemikiran baru dengan didasarkan pada kerangka etik Al-Qur’an.

Dengan kata lain, Al-Qur’an tidak tertarik pada teori tertentu tentang bentuk dan

sistem politik tertentu. Perhatian utama Al-Qur’an adalah agar masyarakat ditegaskan atas

nilai-nilai keadilan dan moralitas. Konsekuensinya adalah model dari ketatanegaraan Islam

bukanlah sesuatu yang tidak dapat diubah tetapi ia senantiasa terikat dengan perubahan,

modifikasi, dan perbaikan menurut kebutuhan waktu dan tempat. Untuk membumikan nilai-

nilai etika Al-Qur’an dalam kerangka kehidupan dan menjadi sistem sosial maka negara

menjadi alat untuk mengorganisasikan dan menggerakkannya. Tanpa dukungan otoritas

politik, syariah tidak akan tegak maksimal.

C. Kultur Pesantren

Anwar dan Matahari (2000:3) berpendapat, bahwa:

“Secara kultural lembaga pondok pesantren telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa tumbuh dan berkembang. Figur kyai, santri, dan perangkat fisiknya biasanya menunjukkan iklim yang senantiasa dikelilingi

Page 22: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

oleh kultur yang bersifat religious keislaman. Proses keterpaduan dalam pesantren antara belajar, beribadah, dan bekerja merupakan proses keterpaduan dalam melaksanakan hakekat hidup manusia yang sudah diamalkan oleh santri”.

Perlu dibedakan antara kultur pesantren dengan pesantren kultural. Kultur pesantren

adalah kultur atau budaya yang eksis sebagaimana adanya dan terjadi di suatu pesantren

tertentu berdasarkan khas nilai-nilai keislaman, yaitu yang berlandaskan ajaran Islam.

Sedangkan pesantren kultural adalah kehidupan pesantren yang lebih menitikberatkan atau

mengedepankan kultur atau budaya sehingga pesantren itu eksis dalam menjalankan fungsi

dan perannya.

Apabila meninjau pendapat di atas maka secara eksplisit pesantren itu merupa kan

lembaga yang berperan serta dalam aspek kebudayaan di masyarakat, yaitu dalam

membentuk dan memberikan corak serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senantiasa

tumbuh dan berkembang. Kultur pesantren menurut pendapat di atas lebih menekankan

kepada iklim yang senantiasa bersifat religious keislaman. Pendapat tersebut memang benar

karena dalam pesantren terdapat budaya yang melekat (inhern). Biasanya budaya yang

dikembangkannya berbeda-beda sesuai dengan latar belakang historisnya, kondisi masyarakat

setempat, dan dengan faktor kedekatannya dengan budaya masyarakat, misalnya antara

pesantren di daerah Sunda memiliki kultur dan tradisi yang berbeda dengan pesantren di

daerah Jawa. Walaupun demikian setiap pesantren memiliki kesamaan khas kultural, yaitu

terdapat pewarisan nilai-nilai lama yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama Islam.

D. Tinjauan tentang Kiai

1. Pengertian Kiai

Menurut Dhofier Z (2000:55) asal-usul perkataan Kiai dalam bahasa jawa dipakai

untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu:

Page 23: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, “Kiai garuda kencana” dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di keratin.

b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang

memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahun Islamnya).

Adapun penggolongan pengertian kiai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau

menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.

Perlu ditekankan di sini bahwa ahli-ahli pengetahuan Islam di kalangan umat Islam

disebut ulama. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan, di Jawa Tengah dan Jawa Timur,

ulama yang memimpin pesantren disebut Kiai. Namun di zaman sekarang banyak ulama yang

cukup berpengaruh di masyarakat mendapat gelar Kiai juga walaupun mereka tidak

memimpin pesantren. Gelar kiai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok

Islam tradisional.

Pendapat lain tentang definisi kiai dikemukakan oleh Turmudi, bahwa Kiai adalah

orang yang diyakini penduduk desa mempunyai otoritas yang sangat besar dan kharismatik.

Hal ini karena kiai adalah orang suci yang dianugerahi berkah.

2. Kategori Kiai

Kiai dalam menjalankan perannya sebagai pengembang agama Islam dapat

dikategorikan menjadi beberapa macam diantaranya seperti yang dikemukakan oleh Turmudi

E (2004:32) ada beberapa kategori kiai, yaitu Kiai pesantren, Kiai tarekat, Kiai politik, dan

Kiai panggung sesuai dengan kegiatan-kegiatan khusus mereka dalam pengembangan Islam.

Kemudian Turmudi E (2004:32) mengungkapkan lebih lanjut tentang kategori kiai,

bahwa dari empat kategori tersebut kekiaian dapat dibagi menjadi dua kategori yang lebih

besar dalam kaitannya dengan para pengikutnya. Kategori pertama adalah kiai yang

Page 24: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mempunyai pengikut yang lebih banyak dan pengaruh yang lebih luas daripada kiai yang

masuk kategori kedua. Pengaruh kiai yang masuk kategori pertama menyebar ke seluruh

daerah. Kategori yang pertama ini terdiri dari kiai pesantren dan kiai tarekat.

Kiai pesantren memusatkan perhatiannya pada mengajar di pesantren untuk

meningkatkan sumber daya masyarakat melalui pendidikan. Hubungan antara santri dengan

kiai menyebabkan keluarga santri secara tidak langsung menjadi pengikut sang kiai. Ketika

orangtua mengirimkan anak-anaknya kepada seorang kiai maka secara tidak langsung mereka

juga mengakui bahwa kiai itu adalah orang yang patut untuk diikuti dan seorang pelajar yang

tepat untuk mengembangkan pengetahuan Islam.

Santri adalah sumber pendukung lain bagi kiai pesantren. Santri tidak saja penting

bagi eksistensi pesantren tetapi juga menjadi sumber yang menjamin eksistensinya di masa

mendatang. Selain itu santri adalah sumber jaringan yang menghubungkan satu pesantren

dengan pesantren lainnya. Mereka yang menyelesaikan pendidikan di suatu pesantren dan

kemudian menjadi kiai maka mereka juga membangun jaringan yang menghubungkan antara

mereka dengan kiai pesantren di mana mereka nyantri atau dengan penggantinya yang

melanjutkan kepemimpinan di pesantren.

Kiai tarekat memusatkan kegiatan mereka dalam membangun batin (dunia hati) umat

Islam. Tarekat adalah sebuah lembaga formal dan para pengikut kiai tarekat merupakan

anggota formal gerakan tarekat. Jumlah pengikut ini bisa lebih banyak daripada pengikut kiai

pesantren karena melalui cabang-cabang di berbagai kota di Indonesia para anggota tarekat

secara otomatis menjadi pengikut kiai tarekat.

Kategori kedua terdiri dari kiai panggung dan kiai politik. Kiai panggung adalah para

dai. Mereka menyebarkan dan mengembangkan Islam melalui kegiatan dakwah. Seorang kiai

panggung mempunyai pengikut dari berbagai daerah namun demikian hal itu jarang terjadi

karena hanya kiai panggung yang popular saja yang biasa diundang memberikan ceramah di

Page 25: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

daerah lain. Kebanyakan kiai panggung bersifat local dalam arti hanya dikenal oleh umat

Islam di daerahnya saja. Sementara itu kiai politik lebih merupakan kategori campuran. Ia

merujuk pada kiai yang mempunyai concern untuk mengembangkan aliran Islam secara

politis.

3. Peran Kiai

Ciri budaya pesantren yang bersifat komunal menempatkan figur kiai sebagai

pencetus gagasan dan penjaga tradisi keagamaan. Karena itu, Gertz menyebut kiai sebagai

cultural broker yang berfungsi menyampaikan informasi-informasi baru dari lingkungan

yang dianggap baik dan membuang informasi-informasi yang dianggap kurang baik atau

menyesatkan komunitas pesantren.

Sukamto (1996:6) memaparkan tentang peran kiai, bahwa berdasarkan penelitian

Horikhosi, kiai adalah figur yang berperan sebagai penyaring informasi dalam memacu

perubahan di dalam pondok pesantren dan sekitarnya.

Peran dalam kedudukan kiai di atas adalah pemegang pesantren yang menawarkan

agenda perubahan sosial keagamaan, baik yang menyangkut masalah interpretasi agama

dalam kehidupan sosial maupun perilaku keagamaan santri yang kemudian menjadi rujukan

masyarakat.

Selain peran kiai yang telah disebutkan di atas, Sukamto (1999:7) juga memaparkan

peran kiai yang lain, yaitu “Kiai berperan dalam melakukan sosialisasi budaya baru melalui

berbagai kegiatan dengan memanfaatkan unsur-unsur yang ada. Karena itu penerimaan

budaya baru sangat bergantung atas keberhasilan kiai dalam melakukan akulturasi budaya”.

Penelitian Jackson berkaitan dengan fungsi tokoh masyarakat atau kewibawaan

tradisional seorang tokoh dalam mendominasi aktivitas politik masyarakat, di mana

keikutsertaan masyarakat dalam politik disebabkan oleh pengaruh posisi tokoh tradisional

yang senantiasa dipatuhi orang-orang Sunda. Peranan tokoh tradisional sangat besar dalam

Page 26: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mempengaruhi komunitas Sunda untuk melakukan pemberontakan atau perlawanan terhadap

penjajah. Kekuatan hubungan kewibawaan tradisional dalam kehidupan masyarakat

dibuktikan oleh adanya kepatuhan dan keikutsertaan masyarakat di bidang politik sesuai

dengan pilihan politik yang ditentukan oleh kalangan orangtua atau tokoh masyarakat.

Jackson mengklasifikasikan bentuk hubungan masyarakat, di satu sisi sebagian kelompok

masyarakat menduduki status sosial yang tinggi atau superior, terdiri atas tokoh masyarakat

informal maupun formal, para orangtua, dan sesepuh desa. Kelompok ini menjadi panutan

masyarakat dan menentukan corak kehidupan masyarakat desa. Di sisi lain, kelompok yang

jumlahnya lebih besar terdiri atas anggota masyarakat secara keseluruhan dan kalangan muda

yang menduduki posisi status sosial lebih rendah atau subordinat. Afiliasi pilihan politik

kelas subordinat ditentukan dan mengikuti kelas superior. Ikatan-ikatan sosial yang terjalin

dalam komunitas membentuk suatu pengaruh kewibawaan tradisional dengan kehidupan

sosial politik masyarakat.

Para kiai membentuk jaringan kerja sampai tingkat desa dalam melakukan

transformasi keagamaan. Karena itu para pemimpin formal yang terdiri dari kepala desa dam

pamong desa hampir semua merupakan kepanjangan dari peranan kiai atau ulama dan

pengaruh kepala desa tidak terlepas dari pengaruh kiai. Hal ini sejalan dengan pendapat

Sukamto (1999:9) tentang fungsi kiai, yaitu “Fungsi kiai tidak hanya sebagai ahli ilmu

keagamaan yang sikap dan tindakannya dijadikan rujukan masyarakat melainkan juga

menjadi pimpinan masyarakat yang sering kali dimintai pertimbangan dalam menjaga

stabilitas keamanan desa”.

Kiai khususnya yang memimpin pesantren mempunyai posisi yang lebih terhormat.

Hal ini telah menjadikannya sebagai pemimpin dalam masyarakat dan kepemimpinannya

juga tidak terbatas pada wilayah agama tetapi meluas pada wilayah politik. Keberhasilannya

dalam peran-peran kepemimpinan ini menjadikannya semakin kelihatan sebagai orang

Page 27: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

berpengaruh yang dengan mudah dapat menggerakkan aksi sosial. Oleh karena itu kiai telah

lama menjadi elit yang sangat kuat.

Hukum agama Islam tidak hanya mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan

tetapi juga hampir semua hubungan sosial dan personal sehingga dengan demikian

memberikan kekuasaan yang sangat luas kepada para kiai dalam masyarakat. Masyarakat

mempercayakan kepada kiai bimbingan dan keputusan-keputusan tentang hak milik,

perkawinan, perceraian, warisan dan sebagainya, itulah sebabnya pengaruh mereka sangat

kuat. Dibarengi dengan sikap enggan mereka terhadap urusan-urusan kenegaraan maka

pengaruh mereka yang sangat besar itu memberikan pula kekuasaan moral yang luar biasa

dan mempersembahkan kepada mereka kedudukan sebagai suatu kelompok intelektual yang

menonjol.

Para kiai yang memimpin pesantren besar telah berhasil memperluas pengaruh

mereka di seluruh wilayah negara dan sebagai hasilnya mereka diterima sebagai bagian dari

elite nasional. Sejak Indonesia merdeka banyak diantara mereka yang diangkat menjadi

menteri, anggota parlemen, duta besar, dan pejabat-pejabat tinggi pemerintahan.

4. Tipe Kepemimpinan Kiai

Kepemimpinan kiai sering diidentikan dengan sebutan kepemimpinan kharismatik

sekalipun telah lahir pemetaan kedudukan dan fungsi dalam struktur organisasi pondok

pesantren. Berkaitan dengan figure kharismatik ini, Sartono Kartodirjo (1999:21) yang

dikutip oleh Sukamto mengatakan bahwa “Kiai-kiai pondok pesantren dulu dan sekarang

merupakan sosok penting yang dapat membentuk kehidupan sosial cultural dan keagamaan

warga muslim Indonesia”.

Pengaruh kiai sendiri terhadap kehidupan santri tidak terbatas pada saat santri masih

di pondok pesantren saja melainkan juga pengaruh itu tetap berlaku dalam kurun waktu yang

panjang bahkan seumur hidup.

Page 28: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Mendefinisikan kepemimpinan sebagai usaha untuk mengarahkan perilaku orang lain

guna mencapai tujuan mempunyai makna bahwa kepemimpinan memerankan fungsi penting

sebagai pelopor dalam menetapkan struktur kelompok, keadaan kelompok, ideologi

kelompok, pola dan kegiatan kelompoknya. Sukamto (1999:22-24) membagi kepemimpinan

menjadi tiga cara pandang yang berbeda, yaitu:

“Pertama, kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atas orang-perorangan. Kedua, bentuk kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu melainkan dalam jabatan atau status yang dipegang individu. Ketiga, kepemimpinan bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap kesakralan tradisi kuno”.

Untuk lebih jelasnya tentang kepemimpinan di atas dipaparkan di bawah ini: Pertama,

kepemimpinan dapat dipandang sebagai kemampuan yang melekat dalam diri individu atas

orang-perorangan. Hal ini berarti aspek tertentu dari seseorang telah memberikan suatu

“penampilan berkuasa” dan menyebabkan orang lain menerima perintahnya sebagai sesuatu

yang harus diikuti (sang individu dianggap mendapat anugerah kekuasaan luar biasa).

Individu yang memiliki kekuasaan tersebut diyakini mendapat bimbingan wahyu, memiliki

kualitas yang sacral dan menghimpun massa dari masyarakat kebanyakan.

Menurut Max Weber, kepemimpinan yang bersumber dari kekuasaan luar biasa

disebut kepemimpinan charisma atau charismatic authority. Kepemimpinan jenis ini

didasarkan pada identifikasi psikologis seseorang dengan orang lain. Makna identifikasi

adalah keterlibatan emosional seorang individu dengan individu lain yang akhirnya nasib

orang itu berkaitan dengan nasib orang lain. Bagi para pengikut, pimpinan adalah harapan

untuk suatu kehidupan yang lebih baik. Dia adalah penyelamat dan pelindung. Kedua, bentuk

kepemimpinan terletak bukan pada diri kekuasaan individu melainkan dalam jabatan atau

status yang dipegang individu. Menurut Max Weber kekuasaan yang bersandar pada tata

urutan disebut legal authority.

Page 29: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Otoritas legal diwujudkan dalam organisasi birokratis, tanggungjawab pemimpin

dalam mengendalikan organisasi tidak ditentukan oleh penampilan kepribadian dari individu

melainkan dari prosedur aturan yang telah disepakati. Unsur-unsur emosional

dikesampingkan dan diganti unsur rasional.

Ketiga, kepemimpinan bersumber pada kepercayaan yang telah mapan terhadap

kesakralan tradisi kuno. Kedudukan pemimpin ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang

lama dilakukan oleh kelompok masyarakat dalam menjalankan berbagai tradisi.

Kepemimpinan kharismatik didasarkan pada kualitas luar biasa yang dimiliki oleh

seseorang sebagai pribadi. Pengertian ini sangat ideologis karena untuk mengidentifikasi

daya tarik pribadi yang melekat pada diri seseorang harus dengan menggunakan asumsi

bahwa kemantapan dan kualitas kepribadian yang dimiliki adalah merupakan anugerah

Tuhan.

5. Tradisi Hubungan Kiai-Santri

Kharisma yang dimiliki oleh para kiai menyebabkan mereka menduduki posisi

kepemimpinan dalam lingkungannya. Selain sebagai pemimpin agama dan pemimpin

masyarakat desa, kiai juga memimpin sebuah pondok pesantren tempat di mana ia tinggal. Di

lingkungan pondok pesantren inilah kiai tidak saja diakui sebagai guru pengajar pengetahuan

agama tetapi juga dianggap oleh santri sebagai seorang bapak atau orangtuanya sendiri.

Sebagai seorang bapak yang luas jangkauan pengaruhnya kepada semua santri menempatkan

kiai sebagai seorang yang disegani, dihormati, dipatuhi, dan menjadi sumber petunjuk ilmu

pengetahuan bagi santri.

Kedudukan kiai seperti itu sesungguhnya merupakan patron, tempat bergantung para

santri. Hubungan santri dan kiai apalagi dilandasi dengan pembenaran ajaran agama, seperti

hubungan murid-guru di lingkungan tarekat. Karena kewibawaan kiai, seorang murid tidak

pernah (enggan) membantah apa yang dilakukan kiai. Kedudukan santri sebagai client bagi

Page 30: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

dirinya. Lajimnya kiai sebagai patron tidak saja terbatas pada kehidupan santri tetapi juga

warga masyarakat sekitarnya dan para orangtua santri. Keampuhan kiai selain ilmu agama

juga mahir dalam pengobatan, mempunyai kesaktian atau hal-hal lain yang dianggap luar

biasa sering memperkuat kedudukannya sebagai patron dalam masyarakatnya.

Hubungan pemimpin dan yang dipimpin dalam orientasi budaya seperti itu setidaknya

melahirkan hubungan kepemimpinan model patron-client relationship. Secara definitive,

James C. Scoot yang dikutip Sukamto (1999:78) menjelaskan hubungan patron-client sebagai

berikut:

“Hubungan timbal balik diantara dua orang dapat diartikan sebagai sebuah kasus

khusus yang melibatkan perkawanan secara luas, di mana individu yang satu memiliki status

sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber

yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan-keuntungan kepada

individu lain yang memiliki status lebih rendah (klien). Dalam hal ini klien mempunyai

kewajiban membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk

pelayanan-pelayanan pribadi kepada patron.

Merujuk pada penjelasan Scoot di atas, peran patron dalam kehidupan kepemimpinan

di pondok pesantren dijalankan oleh kiai atau keluarga kiai. Seperti diungkapkan Dhofier,

bahwa kiai merupakan patron karena memiliki otoritas dan kekuasaan mutlak dalam

mewarnai lembaga pondok pesantren. Tak satu pun melawan kiai apalagi santri di lingkungan

pesantren, kecuali kiai yang memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar. Dengan

sumber-sumber kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki berarti kiai secara normative

ditempatkan dalam status paling tinggi dari unsur-unsur lain yang ada di lingkungan pondok

pesantren.

Page 31: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Dari penjelasan ini tampak bahwa hubungan kiai sebagai patron dengan santri sebagai

klien diperkuat oleh sistem nilai yang melembaga, yaitu tradisi sami’na wa’atho’na

(mendengar dan menaati).

6. Unsur-unsur Patron Klien

a. Kiai

Kiai adalah orang yang memiliki lembaga pondok pesantren dan menguasai

pengetahuan agama serta secara konsisten menjalankan ajaran-ajaran agama.

b. Santri

Istilah santri ditujukan kepada orang yang sedang menuntun pengetahuan agama di

pondok pesantren. Para santri menuntut pengetahuan agama kepada para kiai dan mereka

bertempat tinggal di pondok pesantren. Karena posisi santri seperti ini maka kedudukan

dalam komunitas pesantren menempati status sosial subordinat sedangkan kiai menempati

posisi superdinat.

Menurut Zamakshari D yang dikutip oleh Sukamto (1999:102), istilah santri terbagi

menjadi dua pengertian yang berbeda, yaitu santri mukim dan santri kalong. Pengertian

secara lughowi, mukim adalah orang yang bertempat tinggal di suatu tempat. Istilah ini

kemudian berkembang menjadi istilah santri mukim, yaitu santri yang menetap di pondok

pesantren dalam kurun waktu yang relative lama dan berasal dari daerah jauh.

Sedangkan istilah santri kalong mempunyai arti bahwa santri yang bersangkutan tidak

menetap di pondok pesantren. Mereka pergi ke pondok pesantren dan pulang ke rumah dalam

sehari dan begitu pula pada hari-hari berikutnya mereka tidak menginap di pondok. Disebut

kalong karena mereka diibaratkan seperti binatang kelelawar yang pada waktu siang hari

tinggal di sarang dan pada malam hari mereka mencari makan.

c. Khadam

Page 32: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Istilah khadam mempunyai arti sikap rendah diri seorang ulama akan keterbatasan

ilmu yang dimiliki. Hubungan khadam dan kiai bersifat vertical. Kedudukan kiai berada di

posisi atas dan khadam berada di posisi bawah. Hubungan keduanya dapat diibaratkan

sebagai majikan dengan buruh meskipun berbeda karakter.

d. Guru/Ustadz

Istilah ustadz lebih khusus lagi berlaku di pesantren dengan sebutan sebagai ahli ilmu

agama yang dipercaya kiai. Mereka membantu para santri dalam memahami kitab dan

membaca Al-Qur’an secara benar. Ustadz adalah wakil kiai dalam mengajarkan pebgetahuan

agama di pondok pesantren bila kiai tidak dapat melakukan tugas dan kewajibannya.

Berikut ilustrasi tentang hubungan antar unsur-unsur pendukung kekuasaan kiai

dalam mengembangkan ikatan-ikatan sosial budaya.

Gambar 2.2 : Ilustrasi tentang hubungan antar unsur-unsur pendukung

kekuasaan kiai dalam mengembangkan ikatan-ikatan sosial budaya

Kesimpulan yang dapat ditarik dari sketsa ini adalah bahwa kiai memiliki tiga unsur

pendukung kekuasaan yang selalu dipertahankan di pondok pesantren, yaitu santri, khadam,

dan ustadz. Santri merupakan unsur dalam komunitas pesantren karena selain jumlahnya

besar juga sebutan santri dirujuk dari istilah pesantren. Kiai dapat menyampaikan perintah-

perintah secara langsung berupa fatwa, pengajian, wejangan, dan pengumuman tertulis

kepada ketiga unsure tanpa ada hambatan. Di pondok pesantren hanya kiai yang memiliki

SANTRI

KHADAM GURU /

USTADZ

KIAI

Page 33: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

posisi yang tertinggi. Kiai adalah sumber pengetahuan agama, santri memperoleh

pengetahuan dari kegiatan mengaji atau melihat perilaku keagamaan sehari-hari dalam

kehidupan pondok pesantren. Dalam melestarikan tradisi-tradisi kepercayaan, kiai

mempercayakan ustadz menjadi wakilnya untuk melakukan transformasi pengetahuan.

Seorang ustadz pada awalnya mentransfer ilmu-ilmu keagamaan dari kiai dan kemudian

menyampaikannya kepada santri. Proses transformasi pengetahuan dan perilaku keagamaan

ini memakan waktu yang cukup lama sehingga akhirnya membentuk tradisi keilmuan pondok

pesantren.

7. Hubungan Kiai-Masyarakat

Hubungan kiai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi keagamaan yang membuat

kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma yang menyertai aksi-aksi kiai juga

menjadikan hubungan penuh emosi. Alasan tersebut didukung oleh pendapat cf Horiskoshi

yang dikutip oleh Turmudi E (2004:97) yang menyatakan bahwa:

“Karena kiai telah menjadi penolong bagi para penduduk dalam memecahkan masalah-masalah mereka yang tidak hanya terbatas pada masalah spiritual tetapi juga mencakup aspek kehidupan yang lebih luas, maka para penduduk juga menganggap kiai sebagai pemimpin dan wakil mereka dalam sistem nasional”.

Keberhasilannya dalam menunjukkan peran penting tersebut diungkapkan oleh Geertz

(1962:238) yang menyatakan sebagai berikut: “….mengarah secara hampir tak terelakan pada

penempatannya tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi juga

sebagai kekuatan suci itu sendiri”.

Di bawah kondisi-kondisi seperti ini, kiai di Jawa mempunyai pengaruh yang sangat

kuat dalam masyarakat dan memainkan peran krusial dalam menggerakkan aksi-aksi sosial

dan bahkan politik. Posisi dan peran pentingnya juga tidak hanya terbatas pada masyarakat di

bawah saja, seperti dapat dilihat dalam NU khususnya ketika ia merupakan organisasi politik

yang mempunyai berbagai macam anggota termasuk para intelektual dan politisi

Page 34: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

professional. Hal ini senada dengan pendapat Samson (1978:201) yang menyatakan, bahwa

“Persetujuan kiai dapat menjamin dukungan masyarakat pada sebuah partai politik karena

kiai pada umumnya diyakini sejak lama menggunakan kekuasaan secara sah karena mereka

melakukannya demi Tuhan”.

Hubungan antara kiai dengan masyarakat mirip dengan hubungan antara ulama atau

orang suci dalam masyarakat dunia Islam lain. Kemiripan ini mungkin disebabkan oleh

kenyataan bahwa umat Islam sama-sama menerima konsep dan pengalaman keagamaan yang

menciptakan gaya kepemimpinan yang sama. Gagasan yang mempengaruhi terbentuknya

pola-pola ini ditemukan dalam ajaran Islam. Posisi terhormat kiai pada dasarnya berasal dari

fatwa bahwa Islam menekankan pentingnya pengetahuan yang harus dikejar oleh semua umat

Islam. Dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits selalu ditekankan bahwa mencari ilmu adalah bagian

penting dari kehidupan umat Islam dan bahwa seorang muslim yang berpengetahuan

mempunyai status yang lebih tinggi di hadapan Alloh SWT. Tidak berlebihan jika dikatakan

bahwa konsep ini mendorong umat Islam untuk mencari pengetahuan. Oleh karenanya

memiliki keingintahuan akademik menjadi bagian dari kewajiban seorang muslim dan

mereka yang berhasil memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan itu akan dihargai oleh

masyarakat. Pandangan ini melahirkan sebuah budaya yang menghargai ulama karena ia

adalah orang yang memperoleh pengetahuan seperti itu.

8. Hubungan Kiai-Penguasa

Baik kiai maupun pemerintah mempunyai kekuasaan dalam hubungannya dengan

masyarakat. Mereka menggunakan kekuasaannya ini untuk saling menawar dan mendapat

keuntungan. Dari perspektif pemerintah, kekuasaan kiai cukup kuat untuk mempengaruhi

tindakan sosial politik masyarakat. Hal ini karena mereka menduduki posisi sebagai

legitimator keagamaan dan umat Islam seperti di Indonesia membutuhkan legitimasi kiai

Page 35: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

untuk melakukan hal-hal duniawi mereka. Pandangan kiai dan pemerintah yang berbeda

sering kali menyulut situasi dimana hubungan mereka ditandai oleh disharmonisasi dan

bahkan ketegangan. Di Indonesia ketegangan ini biasanya terjadi karena pemerintah

membutuhkan kiai untuk memperoleh dukungan politik dari umat Islam. Selain itu

pemerintah juga memerlukan legitimasi kiai atas kebijakan-kebijakannya yang bersentuhan

dengan persoalan agama.

Para kiai telah memegang posisi penting sejak kedatangan Islam di Indonesia. Sejak

pembentukan kerajaan Islam pada masa-masa awal Indonesia, beberapa kiai terkenal sudah

terlibat dalam masalah-masalah pemerintahan. Namun demikian hubungan antara kiai dan

pemerintah Indonesia mengalami fluktualisasi. Pandangan-pandangan yang mendasari

hubungan ini kebanyakan berasal dari ulama salaf. Bagi kebanyakan dari mereka bergabung

dengan pemerintah selalu dipandang secara negative. Pada saat itu ada pandangan umum

bahwa menjadi bagian dari pemerintah adalah tidak baik karena jika ini terjadi orang akan

masuk pada hal-hal secara agama kurang bisa diterima. Meski demikian, garis antara ‘dapat

diterima’ dan ‘tidak dapat diterima’ tidak ditetapkan secara jelas. Akibatnya kiai manapun

yang benar-benar mendekati pemerintah akan menjadi sasaran gosip dan cemooh sebagai kiai

keceng.

Oleh karena hubungan antara kiai dan masyarakat telah lama terlembagakan melalui

norma-norma patron klien, pemerintah menyadari posisi kiai yang begitu menentukan dalam

mempengaruhi tidakan sosial politik masyarakat serta dalam membimbing mereka untuk

menerima langkah-langkah tertentu. Pemerintah lantas coba memasukkan kiai dalam

mesinnya dengan mendirikan sebuah lembaga formal yang disebut Majelis Ulama Indonesia

(MUI) dari tingkat Kecamatan hingga tingkat nasional. Tujuan awal lembaga ini adalah untuk

menjembatani kesenjangan antara pemerintah di satu sisi dengan umat Islam di sisi lain.

Akan tetapi secara praktis lembaga ini sering dikritik karena menjadi alat pemerintah untuk

Page 36: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

melegitimasi program-programnya. Namun demikian hanya sejumlah kecil saja kiai yang

mau direkrut ke dalam badan milik pemerintah ini, mayoritas mereka bersikap independen.

E. Pesantren dan Pendidikan Politik

Pendidikan politik di Indonesia secara edukatif merupakan upaya yang sistematis

untuk memantapkan kesadaran politik dan bernegara untuk menjaga kelestarian Pancasila dan

UUD 1945. Jadi, pendidikan politik disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat

serta yang menjadi landasan moral bangsa. Hal ini dapat dilihat dalam Instruksi Presiden

Nomor 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik Bagi Generasai Muda sebagai berikut:

Pada prinsipnya pendidikan politik bagi generasi muda merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai budaya bangsa.

Perilaku politik yang lahir dari sebuah proses pendidikan politik dilakukan secara

sadar atau tidak sadar yang dipengaruhi pula oleh interaksi sosial setiap individu. Dalam

proses tersebut mengandung nilai-nilai tertentu yang secara normatif diyakini dan

dilaksanakan oleh setiap individu. Dalam hal ini Affandi (1993:3) menyatakan pendapatnya

“Pendidikan politik selalu terkait dengan internalisasi nilai, yakni sebagai proses dimana

individu mempelajari budaya dan menjadi bagian dari budaya tersebut sebagai unsur yang

penting dari konsep dirinya”. Proses internalisasi nilai-nilai ini menjadi kekuatan pendidikan

politik yang memberi makna bahwa pendidikan dan politik itu saling bertautan.

Salah satu tipe budaya politik yang berkembang di Indonesia adalah budaya politik

Islam. Budaya politik Islam adalah budaya politik yang lebih mendasarkan idenya pada suatu

keyakinan dan nilai agama tertentu, dalam hal ini tentu saja agama Islam. Agama Islam di

Indonesia menjadi agama mayoritas dan Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim

terbesar di dunia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Islam menjadi salah satu

budaya politik yang cukup mewarnai kebudayaan politik di Indonesia. Orientasi politik yang

Page 37: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mendasarkan pada nilai agama Islam mulai tampak sejak para pendiri bangsa membangun

negeri ini.

Politik budaya Islam biasanya dipelopori oleh salah satu kelompok masyarakat yang

biasa disebut sebagai kelompok santri. Kelompok santri adalah kelompok kelompok

masyarakat yang identik dengan pendidikan pesantren atau sekolah-sekolah Islam. Kelompok

masyarakat ini, dapat kita klasifikasikan lagi menjadi dua, yaitu tradisional dan modern.

Kelompok tradisional biasanya diwakili oleh masyarakat santri yang berasal dari organisasi

Nahdlatul Ulama (NU). Sementara yang modern biasanya diwakili oleh masyarakat santri

yang berasal dari organisasi Muhammadiyah. Perbedaan karakter Islam ini juga turut

melahirkan perbedaan pilihan politik. Ini membuat budaya politik Islam menjadi tidak satu

warna. Pada masa lalu, kelompok santri biasanya berafiliansi pada partai seperti Masyumi

dan partai NU. Kedua partai ini memiliki basis pada kelompok masyarakat Islam.

Pendidikan politik harus diajarkan secara komprehensif di lingkungan pesantren.

Pendidikan kewarganegaraan yang menjelaskan hak-hak dan kewajiban warga negara harus

kembali diajarkan sehingga proses demokrasi yang dilangsungkan benar-benar menjadi ajang

pembelajaran, bukan pembodohan terhadap rakyat. Kalangan pesantren, selain mengajarkan

ilmu politik melalui Adab al-Dunya wa al-Din dan Ahkam al-Sulthaniyya, juga perlu

memahami secara baik ilmu politik Barat yang dianut Indonesia.

Pesantren sangat perlu melakukan kajian kritis atas pasang surutnya politik pada era

daulat-daulat Islam, terutama Muawiyah dan Abbasiyah. Santri dapat mengkaji bagaimana

ilmu pengetahuan bisa mencapai puncaknya berkat suksesnya kepemimpinan politik dua

dinasti itu. Sebaliknya, santri akan mengerti pula bagaimana puncak-puncak peradaban itu

hancur oleh ambisi-ambisi kekuasaan. Dari kajian ilmu politik ini akan diketahui bahwa batas

antara agama dan politik sangatlah tipis. Dengan begitu, santri akan mampu mengkritisi

klaim-klaim keagamaan (keislaman) yang dijual para politisi mutakhir.

Page 38: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Dengan pendidikan politik yang terstruktur itu, pesantren sejak awal bisa membagi-

bagi peran. Kepada santri yang berniat menjadi politisi, pesantren membekalinya dengan

etika berpolitik. Sementara santri yang memilih jalur keilmuan bisa memahami permainan

dunia politik sehingga tidak mudah diperdaya oleh broker politik. Kepada santri yang ingin

berdagang, pesantren bisa mengajarkan kiat-kiat bisnis serta aturan, hukum, dan perundangan

di dunia bisnis saat ini. Dari praktik dagang Nabi Muhammad SAW, kejujurannya itulah

yang patut diteladani. Adapun untuk terjun di dunia bisnis mutakhir, santri harus berbekal

ilmu ekonomi mutakhir pula.

Mengubah kurikulum, menambah atau mengurangi bukan perkara mudah. Di sekolah

formal, hal itu berkaitan dengan proses birokrasi yang berbelit. Sementara di pesantren,

problemnya adalah tantangan untuk merombak konvensi, wasiat, dan tradisi yang sudah

terlanjur disakralkan. Dibandingkan dengan sekolah formal, pesantren mempunyai peluang

yang lebih terbuka. Untuk memasukkan mata pelajaran ilmu politik, pesantren hanya

memerlukan izin ajengan atau dewan ustadz. Pilihan pada ilmu politik ini karena real life saat

ini menuntut kalangan pesantren untuk segera melek politik agar tidak selalu menjadi bulan-

bulanan permainan para politisi.

Untuk mewujudkan pendidikan ilmu politik itu, ada beberapa tahap yang dapat dilalui

kalangan pesantren. Pertama, sharing (membagi) gagasan antarpengasuh pesantren yang

sudah terorganisasi dalam asosiasi pesantren. Pesantren saat ini terkotak dalam berbagai

organisasi sesuai dengan afiliasi organisasi massa, partai politik, atau aliran Islam yang

dianutnya. Dari sharing awal ini akan dihasilkan beberapa rancangan, yaitu materi

(kurikulum), pengajar, dana belajar-mengajar, jenjang usia santri, termasuk dampak yang

akan timbul akibat penerapan pelajaran baru ini.

Kedua, para pengasuh yang sudah sepakat itu mengadakan pertemuan. Mereka

membawakan bahan (kertas kerja) yang dipresentasikan dalam forum sesuai dengan sudut

Page 39: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

pandang yang disepakati sebelumnya. Sebagai pembanding, bisa dihadirkan pakar ilmu

politik dan politisi yang dianggap kapabel serta kredibel. Dalam forum ini, rancangan dalam

sharing gagasan dimatangkan sampai siap untuk diaplikasikan.

Ketiga, memilih satu-dua pesantren sebagai proyek rintisan. Menilik kemampuan

sarana dan prasarana yang dimiliki, tidak mungkin menerapkan kurikulum itu secara

langsung di semua pesantren yang mengikuti pertemuan. Ke pesantren terpilih inilah secara

periodik pesantren lainnya mengirimkan santri untuk belajar ilmu politik.

Maka dengan adanya pembelajaran ilmu politik ini pesantren secara sadar

memandang perlunya santri mengerti dunia politik. Dengan pilihan itu, pesantren

membuktikan diri tidak setengah-setengah dalam membimbing santri. Santri diberi wawasan

seluas-luasnya dalam berbagai bidang kajian. Trauma masa lalu biarlah berlalu seiring

dengan perjalanan waktu. Sebab, jika membiarkan santri sekadar menjadi bobotoh partai

politik atau politisi tertentu, hal itu akan menghasilkan sejarah yang lebih pahit lagi. Dengan

inovasi ini, tidak berlebihan jika pesantren di masa depan diprediksikan akan sangat

menentukan kehidupan di tengah masyarakat.

F. Pengembangan Budaya Politik Pesantren

Pada dasarnya kondisi kehidupan yang dibentuk atau terjadi dalam suatu komunitas

masyarakat tentunya diwarnai budaya-budaya yang sudah ada. Budaya melalui kompleksitas

nilai-nilainya akan bersentuhan, baik dengan individu maupun dengan kelompok. Begitu juga

sebaliknya kondisi dan situasi baru dalam masyarakat bisa juga memberikan corak dan warna

bagi kebudayaan yang sudah ada sehingga muncul budaya baru. Kondisi demikian

merupakan dinamika cultural dalam masyarakat sebagai konsekuensi tarik ulurnya faktor

manusia sebagai pelaku budaya dengan aspek-aspek kehidupannya, termasuk di dalamnya

aspek religi, ekonomi, sosial, politik, dan pendidikan.

Page 40: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Pembahasan tentang pengembangan budaya politik pesantren tentunya harus ditinjau

dari perkembangan masyarakat pesantren itu sendiri. Antara politik-lembaga politik dengan

masyarakat. Perkembangan masyarakat erat kaitannya dengan bagaimana konsepsi pemikiran

dan perilakunya yang ditunjukkan dalam politik.

Dilihat dari tingkah laku atau perilaku politik masyarakat, sebagaimana dikemukakan

oleh David E. Apter (1996:210), bahwa:

“Perhatian utama paham tingkah laku terletak pada hubungan antara pengetahuan politik dan tindakan politik, termasuk bagaimana proses pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh, dan bagaimana cara orang menyadari peristiwa-peristiwa politik. Kategori-kategori pemikiran seperti itu biasanya dianggap sebagai ideologi atau sistem kepercayaan yang menciptakan pola-pola tingkah laku yang penuh makna”…. Pendekatan behavioral memperhitungkan factor-faktor sosialisasi, cara kita menginternalisir nilai dan kepercayaan-kepercayaan yang berlaku, cara perubahan-perubahan pandangan yang terjadi”.

Berdasarkan pendapat tersebut, penekanan utama adanya perkembangan budaya

politik masyarakat pesantren tentunya harus ditinjau dari sistem kepercayaan atau keyakinan

(ideologi) masyarakat itu sendiri dan kaitannya dengan perilaku politiknya. Sistem keyakinan

politik tentunya memiliki kaitan dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat itu sendiri.

Karena itu dalam penguatan politik termasuk lembaga politik di dalamnya harus

dipertimbangkan pula kekuatan sosial yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan Samuel P. Huntington (2003:12), bahwa:

“Dalam praktek perbedaan antara suatu lembaga politik dengan kekuatan sosial bukan merupakan perbedaan yang tegas. Banyak kelompok dapat menggabungkan beberapa ciri khas kedua bentuk tersebut. Namun bagaimana pun secara teoritis perbedaan antara kedua kelompok itu cukup jelas. Semua orang yang melibatkan diri di dalam suatu tindakan politik dapat diasumsikan bahwa mereka adalah juga anggota berbagai kelompok sosial. Tingkat pembangunan politik yang dapat dicapai oleh suatu masyarakat sebagian besar tergantung dari sejauh mana orang-orang yang aktif berkecimpung di bidang politik itu termasuk juga di dalam mengidentifikasikan dirinya dengan berbagai lembaga politik”.

Page 41: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Ditinjau dari arah pengembangan budaya politik pesantren, memang pesantren bukan

merupakan lembaga politik sebagaimana dijumpai dalam struktur politik. Tetapi

bagaimanapun dalam kaitannya dengan politik kenegaraan, tentunya pesantren itu tidak

mungkin dapat menarik diri dari dinamika politik yang terjadi. Dengan demikian adanya

preseden bahwa pesantren sebagai lembaga non-politik atau memiliki kiprah secara aktif di

bidang politik pun termasuk satu bukti bahwa pesantren dengan independensinya yang

otonom harus mampu mengimbangi dinamika masyarakat, terutama dalam bidang politik

yang sedang dan akan terjadi.

Secara historis pesantren telah memberikan peranan sangat berarti bagi proses

pendewasaan berpikir masyarakat, bahkan menjadi garda terdepan dalam menentang sistem

kolonialisme di Indonesia. Ketika penjajahan terjadi, solidaritas kalangan penduduk termasuk

kalangan Islam-pesantren di dalamnya telah mampu mengusir dan menghantam penjajah dan

kebodohan sehingga mencapai puncak kemerdekaan. Dalam hal ini sebagaimana

dikemukakan Manfred Ziemek (1986:188), sebagai berikut:

“Berbeda dengan abad ke-18 dan 19, ketika pesantren menjadi basis revolusi politik, dimana dikorbankan semangat terhadap tekanan sosial tumbuh di kalangan penduduk pedesaan, yang menjadi bebas dalam luapan kekerasan, sudah dalam bagian pertama abad ini jawaban dari Islam politik atas penindasan colonial amat lebih rasional dan efektif. Dikonsentrasikan dalam gerakan-gerakan sosial dan politik, potensi-potensi Islam itu tidak hanya sanggup membangun dalam sistem sekolah pribumi terhadap sistem sekolah colonial, melainkan juga dalam perjuangan militer dan politik merupakan sumbangan yang menentukan untuk mencapai kemerdekaan”.

Berdasarkan pendapat tersebut, penulis sependapat bahwa pada dasarnya adanya

gerakan-gerakan sosial dan politik Islam (pesantren) apabila dilihat dari potensi-potensi yang

dimilikinya akan sangat menentukan dinamika politik yang terjadi. Interpretasi kemerdekaan

di atas tidak hanya diartikan sebagai secara sempit, yaitu hanya terbebas dari kemelut

penjajahan kolonialisme tetapi kemerdekaan sebenarnya, termasuk dalam mengisi

kemerdekaan dewasa ini. Alasannya didasarkan pada kenyataan bahwa pesantren merupakan

Page 42: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

lembaga yang menunjukkan eksistensinya, baik sebelum kemerdekaan negara dicapai

maupun setelah merdeka.

Pesantren dalam kaitannya dengan kondisi kehidupan masyarakat yang terjadi, lebih

lanjut menurut Manfred Ziemek (1986:188):

“Bilamana pesantren ingin memelihara komponen-komponen terpenting dari identitasnya (pendidikan pemimpin masyarakat Muslim, pemeliharaan sistem nilai dan dengan demikian perkembangan selanjutnya dari tradisi Islam), haruslah diberikan jawaban baru atas pengaruh-pengaruh luar yang kuat, yang merubah kehidupan masyarakat”.

Apabila penulis tinjau dari pendapat Ziemek di atas, beliau melihat kehidupan

pesantren (budaya pesantren) sebagai sesuatu yang dinamis. Pendapat tersebut menempatkan

“memberikan jawaban baru terhadap pengaruh luar” menunjukkan identitas pesantren dengan

segala kelengkapannya komponen-komponennya itu harus mampu relevan dengan kondisi

masyarakat. Walaupun demikian tentunya jangan sampai identitas pesantren ini menjadi

semu atau hilang karena elasitiasnya dalam beradaptasi dengan masyarakat, tetapi tingkat

elasitas itu justru menjadi fondasi dalam menciptakan budaya yang benar-benar menjadi

sentral tauladan untuk masyarakat.

Pesantren ditinjau dari peranan politik kemasyarakatannya, menurut Manfred Ziemek

(1986:191), sebagai berikut:

“Pesantren sehubungan dengan peranan politik kemasyarakatannya berada dalam tatanan hubungan yang mempunyai tiga komponen, yaitu: pesantren dan atau kyai, masyarakat dan kelembagaan negara (pemerintah daerah/lingkungan instansi negara)….dalam ikatan segitiga ini untuk membedakan tiga macam proses: proses keputusan politik, komunikasi dan pelaksanaan program. Dengan demikian dapat lebih dibedakan bidang tegangan politik di lingkungan yang untuk pengamanan selanjutnya dianggap relevan…” Kedekatan hubungan pesantren dengan masyarakat dalam peranannya di kehidupan

masyarakat, lembaga pesantren ini merupakan lembaga yang sangat diperhitungkan. Dalam

pola hubungannya tentunya pesantren memiliki andil besar termasuk dalam proses keputusan

politik. Dilihat dari statusnya, pesantren bukan merupakan lembaga dalam infrastruktur

Page 43: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

politik, tetapi hanya sebagai suprastruktur politik yang berada di luar kelompok kepentingan

atau juga kelompok penekan. Kondisi demikian menunjukkan bahwa pesantren itu lebih

otonom dalam membangun komunikasi baik dengan pemerintah maupun dengan masyarakat

dan lembaga lainnya.

Akan tetapi permasalahannya yang berkembang di masyarakat timbulnya preseden

negatif, bahwa pesantren termasuk santri di dalamnya itu seringkali dijadikan onderbouw

kendaraan politik tertentu dan mudah tergiur untuk membackup kiai sebagai orang yang

berpengaruh. Terlebih budaya politik yang berkembang di pesantren dianggap budaya

paternalistic, yaitu sebagai politik manut atau taklid buta. Asumsi atau preseden buruk

tersebut sangat kontradiktif dengan pendapat Ziemek (1986:193) yang mengemukakan,

bahwa:

“Berdasarkan pandangan para kyai maka pesantren membentuk dasar dan alat dari politik kemasyarakatannya. Akan tetapi para kyai tidak dapat secara mutlak atau otonom melaksanakan pengaruhnya. Mereka harus mempertimbangkan pandangan dari tokoh-tokoh pimpinan lainnya dalam pesantren dan seraya berada dalam ikatan tradisi, turut menentukan aliran politik dan pandangan duniawi. Terlebih jelas adalah perluasan proses pengambilan keputusan dalam pesantren yang didukung oleh sebuah Yayasan…. Ikatan tradisional sebagai dasar pandangan duniawi bersama dalam hal itu ditunjukkan sebagai contoh dengan mematuhi fatwa-fatwa yang diucapkan oleh para ulama yang terhormat, atau warisan rohaniah dari para kyai pendiri, yang lama setelah ia meninggal tetap menjadi inspirasi sehingga tetap langgeng dan dihormati”.

Berdasarkan pendapat tersebut maka secara eksplisit disebutkan bahwa atas kyai tidak

dijalankan mutlak, tetapi didasarkan pada pertimbangan para pemimpin pesantren lainnya.

Dalam hal ini penulis sependapat dengan Ziemek, bahwa dengan adanya tradisi yang

digunakan di pesantren itu merupakan salah satu pengukur normatif yang dapat ditempuh

dalam menentukan aliran politik dan pandangan terhadap kondisi duniawi. Dengan demikian

keputusan santri terhadap consensus ulama atau para pemimpin pesantren bukan merupakan

harga mati pandangan berikutnya tetapi hanya sebuah pelanggengan tradisi. Keadaan tersebut

sama dengan yang dikemukakan Ziemek (1986:193-194), sebagai berikut:

Page 44: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

“Selanjutnya dalam hal keputusan-keputusan tentang rencana kemasyarakatan harus memperhatikan pendapat rakyat desa, demikian juga pendapat pemimpin formal dan informal. Karena kemufakatan tradisional dan sebagai hasil partisipasi sukarela dari penduduk pada pelaksanaan program hanya dapat dicapai bilamana keputusan-keputusan dibuat, yang semua peserta dapat mengidentifikasikan diri dengannya”….dengan demikian kegiatan-kegiatan kemasyarakatan pesantren berada dalam suatu bidang tegangan antara kepentingan sendiri, tugas pendidikan keagamaan dan kecakapan untuk memobilisasi loyalitas dari penduduk pedesaan”. Berdasarkan pendapat di atas, peletak dasar adanya kesolidan yang mungkin

menunjukkan warna yang sama memiliki alasan yang sangan kuat. Dalam terminology

budaya politik, kondisi demikian tidak menjadi permasalahan selama masih berada dalam

suatu keseimbangan antara kepentingan pribadi, tugas pendidikan keagamaan, dan kecakapan

untuk memobilisasi loyalitas dari penduduk pedesaan.

Selain dari kajian terhadap tradisi kepatuhan santri dan masyarakat pesantren terhadap

kiai yang menjadi dasar pertimbangan kita menurut penulis adalah seberapa kuat dasar

rasionalitas dan emosi yang dimiliki masyarakat pesantren itu dalam menentukan sikap, cara

berpikir, dan tindakan politik tersebut.

Tentang kedekatan emosi atau ikatan moral yang terjadi di pesantren kaitannya

dengan tindakan politik dikemukakan Jackson dan Moeliono yang dikutif Manfred Ziemek

(1986:194):

“Dalam penyelidikan mereka mengenai mekanisme pengaruh otoritas tradisional dalam situasi-situasi ketegangan politik di Jawa Barat, ikatan-ikatan moral dan pribadi antara pemimpin dan pengikut tradisional menentukan tingkat sosial kemasyarakatan. Ikatan sosial dan pribadi ini mengandung kewajiban moril atau hutang budi seorang anak buah yang diwajibkan terhadap bapak. Sekali terbentuk hubungan antara bapak dan anak buah mengandung arti emosional dan praktis bagi kedua belah pihak. Kewajiban moril yang diikuti oleh hutang budi dapat dimobilisasi untuk aksi politik dan malaham untuk tindak kekerasan politik walaupun hampir tanpa ada petunjuk terhadap isi ideologi dari pertentangan itu”.

Berdasarkan pendapat tersebut, penulis melihat bahwa interpretasi Jackson dan

Moeliono di atas berkenaan dengan factor pola hubungan yang dibentuk antara kiai dengan

santri. Permasalahan yang menjadi focus kajian dalam hal itu bukan tentang kekentalan atau

Page 45: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

kedekatan emosi antara kiai dengan santrinya yang diinterpretasikan Jackson dan Moeliono

sebagai “hutang budi seorang anak buah yang diwajibkan terhadap bapaknya”, tetapi tentang

bagaimana pola hubungan , termasuk komunikasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak.

Apabila pola hubungan yang dilakukan cenderung searah, yaitu secara sepihak memposisikan

santri sebagai yang dirugikan tentunya keseimbangan dalam sistem budaya pesantren itu

belum tercapai. Artinya kepatuhan tersebut hanya didasarkan atas tradisi yang keliru dan

dapat dikatakan sebagai non-ideologis, tetapi hanya merupakan cikal entropi cultural

pesantren karena tidak menempatkan pesantren sebagai lembaga yang independen atau

mandiri dalam eksistensi budayanya.

Pendapat Ziemek juga tidak membatasi pesantren sebagai lembaga stagnan dalam

kaitannya dengan kondisi sosial-kemasyarakatan. Beliau melihat pesantren itu sebagai

lembaga yang dinamis. Menurut Ziemek (1986:197):

“Kebanyakan pesantren termasuk tradisional yang khusu mengajarkan agama dan terutama mengarah pada para santri yang berdiam dalam pondok. Namun di sini masih terdapat proses reformasi yang luas, yang menuju pada ilmu pendidikan kemasyarakatan yang lebih kuat. Ini adalah hasil kesadaran baru yang diperluas:

• Bagi peranan politik kemasyarakatan pesantren dalam masyarakat di lingkungannya;

• Bagi keharusan perkembangan selanjutnya dari sistem nilai Islam dan sehubungan dengan itu pemahaman ilmu pendidikan keagamaan sebagai konsekuensi perubahan sosial budaya yang cepat;

• Bagi peranan ilmu pendidikan yang berkonsentrasi kemasyarakatan, dipahami sebagai proses interaksi antara tempat pendidikan desa dengan masyarakat sekelilingnya”.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa peran pesantren erat sekali dengan pendidikan

yang terjadi. Dalam hal ini penulis sependapat bahwa kondisi yang tidak rigid pesantren

sebagai institusi dapat dicapai apabila pola pendidikan yang dikemas menempatkan faktor

kesadaran masyarakat sebagai hal yang sangat penting sehingga santri diorientasikan dan

memiliki orientasi baik ke dalam pesantren itu sendiri maupun ke dalam kehidupan

masyarakat di luar pesantren.

Page 46: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Manfred Ziemek (1986:239) berpendapat, bahwa sikap dasar konservatif dan

individualistis para kiai dengan interpretasi mereka yang khas mengenai masalah agama,

sosial, dan politik pada mulanya menghambat kerjasama yang lebih erat dan diterimanya

pembaharuan. Di lain pihak, sifat-sifat baik yang seringkali terdapat pada mereka, seperti

toleransi, keterbukaan, kesediaan dalam diskusi mempertimbangkan pikiran baru, dapat

menyebabkan adanya fleksibilitas. Karena itu kiai berorientasi pada nasehat tokoh-tokoh

yang mereka terima sebagai yang berwenang dalam hal agama, maka pikiran baru akan

relative cepat diterima jika ada seorang pemimpin terkemuka dengan memiliki charisma di

bidang ini, dapat diyakinkan akan kebenaran suatu perencanaan. Loyalitas terhadap seorang

kiai yang diakui sebagai senior adalah demikian besar sehingga seorang ulama yang begitu

muda menuruti nasehatnya bagi suatu perintah. Dari sanalah demi kelanjutan perkembangan

dan terbukanya kesempatan kegiatan pesantren, dapat terjadi efek-efek bola salju”….loyalitas

agama dan politik seringkali mempercepat dalam suatu “ikatan-kiai” pembaharuan, akan

tetapi di lain pihak menghambat pula komunikasi dengan warga-warga pesantren yang tidak

termasuk ikatan tersebut.

Berkaitan dengan pendapat tersebut, Devi Andriana dalam skripsi sarjana SI-nya

(2007:93-94) mengutif pendapat Abdurrahman Wahid sebagaimana dikutif Manfred Ziemek

(1986:253), mengemukakan tentang masalah-masalah penting yang harus dipecahkan apabila

ingin mempertahankan dan membangun peranan pesantren dalam perkembangan selanjutnya

di Indonesia, sebagai berikut:

1. Bagaimana pesantren menyesuaikan dirinya dengan kenyataan bahwa sistem sekolah modern tak terhindarkan dalam jangka panjang, dengan implikasi-implikasi besar bagi pesantren sendiri (hubungan antara kyai dengan santri pengembangan suatu sistem nilai yang baru dalam lingkungannya sendiri dan sebagainya).

2. Bagaimana pesantren merencanakan untuk membiayai kegiatan-kegiatannya sendiri, dalam bidang pendidikan maupun pelayanan sosial, sedangkan dalam jangka jauh, memusatkan perhatian kepada pola pembiayaan sendiri di masa mendatang.

Page 47: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

3. Bagaimana pesantren menemukan cara pemecahan dilemma dasarnya kepada kehidupannya walaupun kyai tidak tergantung kepada bantuan pemerintah, pesantren masih lebih melayani golongan berpunya daripada yang tidak berpunya, akibat ketergantungannya kepada bantuan-bantuan keuangan dari lapisan atas masyarakat pedesaan (suatu dilemma yang dikenal sebagai hal umum di lembaga-lembaga tradisional di dunia ketiga).

4. Bagaimana pesantren memahami implikasi stuktural dari peran serta rakyat dalam pengembangan masyarakat dan bagaimana pesantren menanggapi peranannya dalam proses tersebut.

5. Bagaimana pesantren merencanakan untuk membina sifat-sifat khas budaya maupun kedudukan sosio-kulturalnya dalam kehidupan masyarakat dalam rangka tanggapannya tentang peranannya sendiri dalam pengembangan masyarakat.

Berdasarkan pendapat Wahid di atas, Devi Andriana mengemukakan pendapatnya

(2007:94-95), bahwa ia sepakat dengan argumen yang diajukan karena bagaimanapun

pesantren harus mampu menunjukkan kiprahnya, baik dalam skala kehidupan pesantren itu

sendiri maupun dalam kehidupan masyarakat luas. Dengan demikian pesantren akan lebih

menunjukkan eksistensinya sebagai tempat pendalaman ilmu-ilmu agama dan mampu

berkiprah sesuai dengan keaslian karakteristiknya dalam kehidupan masyarakat.

Apabila dihubungkan dengan masalah budaya berkaitan dengan pengembangan

budaya pesantren, penulis sependapat dengan Andriana (2007:95), bahwa kajian terhadap

permasalahan-permasalahan tersebut dapat difokuskan menjadi tiga prioritas. Pertama

mengenai kemandirian pesantren dalam berbudaya termasuk di dalamnya memberi arah

penyesuaian serta peka dengan perkembangan masyarakat dan mampu memfilterisasi

terhadap budaya negatif yang masuk. Permasalahan kedua tentang kemampuan kemandirian

dalam hal financial dan manajerialnya, tentunya pertimbangannya agar secara ekonomi

pesantren itu memiliki potensi untuk mensejahterakan masyarakatnya atau minimal orang-

orang di dalam pesantren, sehingga tidak selamanya tergantung kepada bantuan pihak lain

termasuk bantuan dari pemerintah. Kemudian permasalahan yang terakhir, pesantren

merencanakan untuk membina sifat-sifat khas keaslian budaya Indonesia maupun dalam

Page 48: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

kedudukan sosio-kulturalnya dalam kehidupan masyarakat dalam rangka tanggapannya

tentang peranannya sendiri dalam pengembangan masyarakat.

Berbeda dengan pendapat Wahid yang lebih melihat pesantren sebagai lembaga yang

sangat potensial dalam terminology budaya atau sosio-kultural. Hasil penelitian Horikoshi

lebih menyoroti tentang aspek politiknya (budaya politik) berkenaan dengan masalah

kepemimpinan di pesantren. Sebagaimana dikutif oleh Manfred Ziemek (1986:194), bahwa

posisi yang menentukan dari pemimpin keagamaan tradisional juga berdasarkan berbagai

faktor sebagai berikut:

� Kekayaan di atas rata-rata dalam bentuk pemilikan tanah dan pemanfaatan tanah secara efisien yang mengikutsertakan penduduk pedesaan melalui pengupahan dan penyewaan lahan.

� Keunggulan intelektual, baik dalam pemanfaatan pengetahuan secular maupun keagamaan.

� Daya memimpin kharismatik dengan menerapkan kepintaran berpidato mereka, demikian pula memanfaatkan loyalitas moral dan keagamaan.

� Ikatan kekeluargaan atau hubungan keagamaan yang erat dengan keluarga-keluarga pemimpin lainnya di lingkungan dan juga di tingkat wilayah.

� Koneksi dengan instansi pemerintah di tingkat wilayah. � Mekanisme komunikasi keagamaan dan politik sendiri di tingkat wilayah. � Partisipasi pada pembentukan kehendak politik sentral dengan memasuki

partai Islam, pers, dan parlemen.

Berdasarkan pendapat tersebut, mengenai kemampuan pemimpin tradisional tersebut

selain memiliki keunggulan potensi sebagai individu dalam bidang finansial, intelektual serta

spiritual tentunya sangat cerdas dalam memainkan simbol-simbol politik sesuai dengan

perkembangan budaya masyarakatnya. Mengenai keunggulan yang dikemukakan di atas tidak

terdapat arah atau potensi kekuasaan yang didasarkan atas kekuatan fisik atau melalui cara-

cara pemaksaan kehendak untuk menjadi pemimpin. Karakteristik yang khas adalah tentang

potensi kharismatis dan kedekatan emosi atau hubungan keagamaan dengan keluarga-

keluarga pemimpin lainnya.

Page 49: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

Setiap masyarakat tentunya memiliki dinamika budaya dan politiknya. Berkaitan

dengan politik Islam, termasuk yang dikembangkan oleh pesantren tentunya konsepsi tentang

pengembangannya tidak lepas dari bagaimana langkah setting sosiokultural yang dilakukan

akan dihadapkan dengan kondisi riil sosiokultural itu sendiri.

Pembangunan budaya politik pesantren erat kaitannya dengan usaha bagaimana

menumbuhkan tingkat kemelekkan politik santri. Mengenai pentingnya kemelekkan politik

itu sebagaimana dikemukakan oleh Idrus Affandi (1996:27). Aspek pengetahuan seseorang

dapat diketahui dapat dikatakan melek politik apabila sekurang-kurangnya menguasai

tentang:

� Informasi dasar tentang siapa pemegang kekuasaan, dari mana uang berasal, bagaimana sebuah institusi bekerja.

� Bagaimana melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan pengetahuan. � Kemampuan memprediksi secara efektif bagaimana memutuskan sebuah isu. � Kemampuan mengenali tujuan kebijakan secara baik yang dapat dicapai ketika

isu (masalah) terpecahkan. � Kemampuan memahami pandangan orang lain dan pembenaran mereka

tentang tindakannya sendiri.

Untuk mengukur tinggi rendahnya kesadaran politik sangatlah sulit untuk diukur

secara kuantitaf, maka salah satu jalan yang ditempuh untuk mengukur tingkat kesadaran

politik tersebut yaitu dengan mengemukakan dan menggali indikator-indikator yang dapat

menunjukkan kecenderungan kesadaran politik warga negara.

Tentunya dalam hal ini peranan ulama dan santrinya sangat diperhitungkan dalam

keterlibatannya berkaitan dengan orientasi-orientasi dan perilaku politiknya. Peran ulama

dalam kehidupan dewasa ini sebagaimana dikemukakan Nanang Takik (2004:189) yang

dikutif oleh Andriana (2007:101), sebagai berikut:

“Dalam bahasa lain peran ini (ulama) disebut juga amar ma’ruf nahy munkar, yang rinciannya meliputi tugas untuk: (1) menyebarkan dan mempertahankan ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama, (2) melakukan control dalam masyarakat (social control), (3) memecahkan problem yang terjadi dalam masyarakat, dan (4) menjadi agen perubahan sosial (agent of social change)…peran tersebut teraktualisasi sepanjang

Page 50: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

sejarah Islam, meskipun bentuk dan kapasitasnya tidak selalu sama antara satu waktu dengan lainnya dan antara satu tempat dengan lainnya. Hal ini tergantung pada struktur sosial dan politik serta problem dihadapi oleh masyarakat Islam dimana ulama itu berada….”

Peran ulama sebagaimana dikemukakan Nanang di atas berkaitan dengan posisinya

sebagai leader baik di pesantren maupun di masyarakat sekitar pesantren itu. Peran tersebut

memang harus mampu mengimbangi kondisi-kondisi yang terjadi termasuk memiliki

relevansi dengan kondisi sosial dan politik serta permasalahan yang terjadi.

Tentang keterlibatan ulama dalam politik, khususnya partai politik lebih lanjut

dikemukakan oleh Nanang Takik (2004:199) yang dikutif oleh Andriana (2007:102), sebagai

berikut:

“Keterlibatan ulama dalam partai-partai politik itu dengan sendirinya menjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang hal ini bisa membawa dampak positif karena mereka akan dapat ikut serta memberikan pendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun hal ini juga bisa membawa dampak negatif karena mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnya untuk memilih partainya dengan cara bijaksana dalam sistem dan budaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampak perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh para tokoh maupun oleh publik”.

Berdasarkan pendapat di atas, telah jelas bahwa segala sesuatunya memiliki dua sisi

seperti uang koin, sisi positif dan negatif begitu pula dalam hal berpolitik. Konsepsi politik

dalam Islam tidak dimaknai sebagai alat atau kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan

semata apalagi diorientasikan untuk dijalankan dengan penuh kesewenang-wenangan

(corrupt). Perlu diperhatikan bagaimana sistem politik itu mampu berjalan secara efektif

termasuk berkaitan dalam hal budaya masyarakatnya. Kedewasaan dalam berpolitik baik

dalam menentukan atau mengakomodir orientasi politik individu maupun orientasi kelompok

harus mampu menjadikan lahirnya genuine will (kemauan asli) ke dalam political will atau

kehendak politik bersama yang didasarkan untuk kemaslahatan umat. Kondisi demikian dapat

tercapai apabila budaya yang dikembangkan di pesantren itu menciptakan kemelekan politik

Page 51: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

(political democracy) sehingga tertanam adanya penalaran, pengetahuan, pemahaman, serta

internalisasi nilai moral politik demokrasi.

Urgensi pendidikan politik dalam kaitannya dengan perilaku politik sebagaiman

dikemukakan Kartini Kartono (1989:4) yang dikutif oleh Devi Andriana (2007:103), bahwa

“pendidikan politik pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan orang dewasa”.

Karena itu para ulama termasuk santri diusahakan agar mempunyai kecakapan politik

sehingga dapat memainkan peranan penting dalam kehidupan politik demokrasi dalam

membentuk tatanan sistem politik (political system). Langkah yang ditempuh dalam hal ini

adalah peningkatan pemahaman tentang budaya pesantren dan kaitannya dengan politik agar

mereka menjadi insan politik yang melek atau cakap politik. Peningkatan pemahaman

tersebut dapat ditempuh misalnya melalui pendidikan politik yang bertujuan agar mampu

meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kemelekan politik sehingga mereka menjadi

cakap dalam tindakan politiknya. Dengan adanya perkembangan politik Islam sekarang ini

sesuai dengan dinamika yang terjadi tidak menjadikan politik Islam yang dijalankan oleh para

aktor politik, baik ulama maupun kalangan santri yang terjun dalam politik itu menyimpang

dari nilai-nilai Islam, termasuk nilai budaya pesantren. Percaturan politik Islam oleh kalangan

ulama maupun santri tidak diorientasikan sebagai langkah politik yang melahirkan polarisasi

diantara umat Islam itu sendiri karena bagaimanapun adanya konsepsi, orientasi, dan

tindakan politik Islam harus sanggup mengarungi dinamika politik dan dapat diterima oleh

masyarakat secara lebih luas.

Dalam kaitannya dengan keterlibatan ulama dalam berpolitik, Nanang Takik

(2004:200), berpendapat bahwa:

“Sementara itu para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetap memiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudan dari peran pencerahan mereka terhadap umat. Peran ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh para ulama, tetapi belum optimal. Mereka juga bisa melakukan tindakan politik meski dengan jalan non-politik (political action in the non-political way), yang dilakukan

Page 52: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

dalam kerangka melakukan amr ma’ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan komitmen kepada penegakkan etika-moral, mereka bisa jadi pihak independen dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yang berlangsung”.

Pendidikan politik bagi rakyat sangatlah penting karena secara prinsipil setiap warga

negara harus cakap berpolitik. Diperlukan pola pengembangan budaya yang mampu

menjembatani nilai-nilai budaya yang menunjukkan eksistensi realitas dalam dinamika serta

kondisi politik yang diharapkan.

Lebih lanjut tentang urgensi pendidikan politik dikemukakan Idrus Affandi

(1996:132) yang dikutif oleh Andriana (2007:104), bahwa:

“…pendidikan dengan indoktrinasi dipandang sudah kurang tepat karena dalam banyak hal terbukti kurang memberi hasil sebagaimana diinginkan. Sementara itu penyadaran politik lebih berorientasi pada tindakan-tindakan, yakni mempraktekkan apa yang telah diketahui dan dipahami masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menunjukkan bahwa proses pendidikan politik yang efektif tidak sekedar menambah pengetahuan, tetapi sampai pada tingkat pengambilan keputusan dan tindakan…”

Urgensi pendidikan politik dalam meningkatkan pemahaman dan penyadaran akan

menggeser budaya politik parochial-kaula ke partisipan. Tentunya membutuhkan eksistensi

nilai-nilai budaya sehingga mencerminkan adanya moral politik-demokrasi. Dengan

demikian kesadaran akan pentingnya nilai-nilai yang melandasi pengetahuan, orientasi, dan

tindakan politik sangat dibutuhkan bagi setiap insan politik sehingga pomeo “Islam yes dan

Islam politik atau politik Islam no” atau berpolitik itu kotor ditepis dan dikikis dalam kultur

sebagian masyarakat terlebih dalam masyarakat pesantren.

Memang nilai budaya memiliki urgensi dan relevansinya dengan realita kehidupan

masyarakat, sebagaimana yang dikemukakan Berliana Kartakusumah (2006:35) yang dikutif

oleh Andriana (2007:105), bahwa:

“…dalam kehidupan manusia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar nilai-nilai, yaitu (1) nilai-nilai dasar atau pokok (fundamental values), dan (2) nilai-nilai tambahan (instrumental values). Nilai-nilai dasar adalah nilai-nilai yang memiliki

Page 53: S PPK 054244 Chapture2 - a-research.upi.edua-research.upi.edu/operator/upload/s_ppk_054244_chapture2.pdf · dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

sifat mutlak, abadi, dan universal semisal nilai agama yang tertulis dalam kitab suci maupun di dalam hukum alam semesta. Sedangkan nilai-nilai tambahan adalah nilai-nilai yang memiliki sifat berubah, terbatas, dan kontekstual. Kedua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia amat berpengaruh dan menentukan”.

Apabila pendapat di atas dihubungkan dengan nilai budaya tentu saja nilai budaya

politik terkait dengan fundamental values. Adanya nilai tambahan bukan berarti kontradiktif

dengan nilai universal tetapi sebagai tambahan dalam penjabaran untuk memperkuat

eksistensi nilai fundamental. Kondisi demikian apabila ditafsirkan dan diterapkan dalam

perilaku sosial akan menciptakan masyarakat yang tidak determinan (free will) tetapi

merupakan kesatuan yang terikat dalam tatanan nilai. Namun tantangannya adalah tentang

pola pendidikan dan penyadaran berpolitik yang diterapkan di masyarakat pesantren itu

berperan optimal, yaitu menempatkan santri sebagai agen perubahan, pembaharu, dan calon

pemimpin masa depan sebagai subjek politik yang aktif.