s pai 0800490_chapter2

79
16 Oci Melisa Depiyanti, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu BAB II PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PADA NILAI-NILAI ISLAM A. Konsep Pendidikan Karakter Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad-18. Namun menurut Koesoema (2011: 9) sebenarnya pendidikan karakter telah lama menjadi bagian inti dari sejarah pendidikan itu sendiri, hal ini nampak dari temuan berupa cita-cita Paideia Yunani, Humanitas Romawi dan pedagogi kristiani. Pernyataan dari Koesoema di atas mengisyaratkan bahwa sebenarnya pendidikan karakter berkembang dalam sejarah peradaban umat manusia. Terkait hal tersebut penulis merangkum ulasan Doni Koesoema dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Koesoema, 2011: 13-42). a. Pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno, khususnya pada masa Homeros yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh dengan cara mengembangkan potensi dalam diri invidu itu sendiri. b. Tidak jauh berbeda dengan Homeros salah satu tokoh lainnya adalah Hesiodos, ia menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis, yaitu penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat. c. Kemudian pendidikan karakter ala Sparta yang membangun karakter patriotis, semangat cinta tanah.

Upload: rahmahtul-bayyinah

Post on 22-Jun-2015

744 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: S pai 0800490_chapter2

16 Oci Melisa Depiyanti, 2012

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

BAB II

PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PADA NILAI-NILAI ISLAM

A. Konsep Pendidikan Karakter

Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul

pada akhir abad-18. Namun menurut Koesoema (2011: 9) sebenarnya pendidikan

karakter telah lama menjadi bagian inti dari sejarah pendidikan itu sendiri, hal ini

nampak dari temuan berupa cita-cita Paideia Yunani, Humanitas Romawi dan

pedagogi kristiani.

Pernyataan dari Koesoema di atas mengisyaratkan bahwa sebenarnya

pendidikan karakter berkembang dalam sejarah peradaban umat manusia. Terkait

hal tersebut penulis merangkum ulasan Doni Koesoema dalam bukunya yang

berjudul Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global

(Koesoema, 2011: 13-42).

a. Pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno, khususnya pada

masa Homeros yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh

dengan cara mengembangkan potensi dalam diri invidu itu sendiri.

b. Tidak jauh berbeda dengan Homeros salah satu tokoh lainnya adalah

Hesiodos, ia menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis, yaitu

penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi

kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.

c. Kemudian pendidikan karakter ala Sparta yang membangun karakter

patriotis, semangat cinta tanah.

Page 2: S pai 0800490_chapter2

17

d. Sedangkan pendidikan karakter ala Athena yang lebih harmonis dan

perkembangan kultural yang lebih terbuka dan demokratis. Ideal

kebaikan dan keindahan diekspresikan dalam prestasi olahraga. Dalam

perlombaan inilah pendidikan memiliki dimensi estetis berupa keindahan

tubuh dan keindahan moral.

e. Pendidikan karakter pada masa Pericles yang merupakan pembentukan

sosok warga negara yang siap terjun dalam kehidupan politik.

Pembentukan karakter agar siap menjadi orator dan pembicara di depan

umum.

f. Pendidikan karakter pada masa Pericles yang hanya menekanka pada

kecakapan berbicara, Sokrates memberikan nuansa baru dengan

paradigma yang terkenal “kenalilah dirimu sendiri”. Pendidikan karkater

pada masa Sokrates menekankan pada pendidikan jiwa bagi

bertumbuhnya nilai-nilai etis dala diri manusia.

g. Sedangkan pada masa berikutnya, yakni pada masa Plato, baginya

pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada

keuatamaan. Pendidikan yang hanya mampu mengantarkan manusia

kepada ketamakan akan kesuksesan, rasa hormat dan popularitas

dikatakan sebagai pendidikan yang tingkatannya rendah.

h. Pendidikan karakter pada masa berikutnya adalah masa Kosmopolitan

Hellenis, pada masa ini terlihat dari usaha pendidikan manusia secara

integral dan utuh demi pertumbuhan dan kesempurnaan manusia itu

Page 3: S pai 0800490_chapter2

18

sendiri, pendidikan bergerak dari Paideia Yunani menuju Humanitas

Latin.

i. Pendidikan karakter ala Romawi; pendidikan karakter yang dibentuk

melalui keluarga dengan cara menghormati apa yang disebut dengan mos

maiorum1 dan sistem pater familias. Roma juga mencoba menanamkan

nilai-nilai keutamaan seperti, mengutamakan tanah air, devosi2 (la

pietas), kesetiaan (la fides), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas

(la constantia)

Sedangkan di Indonesia sendiri menurut Koesoema (2011: 44) bahwasanya

pendidikan karakter sudah menjadi tradisi dalam pendidikan. Dari beberapa

pendidik Indonesia modern yang dikenal, seperti R.A. Kartini, Ki Hajar

Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir, dll, telah mencoba

menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan

identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami pada

zamannya.

1. Pengertian Pendidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan

Untuk mengetahui hakikat dari pendidikan karakter, maka harus diketahui

terlebih dahulu hakikat dari pendidikan itu sendiri,

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan disitilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam.

1 Mos Maiorum merupakan sebuah rasa hormat atas tradisi yang telah diberikan oleh leluhur 2 Devosi merupakan sebuah rasa hormat terhadap para dewa, negara, dan pada orang tua.

Page 4: S pai 0800490_chapter2

19

Sedangkan dalam bahasa inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang bearti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhadjir dalam Suwarno, 2009: 9).

Sedangkan Suhartono (2009: 77) menyatakan bahwa istilah pendidikan berasal

dari bahasa Inggris yang lain, yakni:

Education, berakar dari bahasa latin educare, yang dapat diartikan bimbingan berkelanjutan (to lead forth)”. Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.

Sedangkan dalam Islam dikenal tiga istilah yang digunakan oleh para ahli

pendidikan Islam dalam mengartikan pendidikan, yaitu Tarbiyyah, Ta’lim dan

Ta’dīb. Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas (Tafsir, 2010: 28) mencoba

menjelaskan ketiga istilah tersebut. Menurutnya istilah Ta’dīb adalah istilah yang

paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara

istilah tarbiyyah terlalu luas karena pendidikan dalam pengertian ini mencakupi

juga pendidikan untuk hewan. Menurut al-Attas pengertian adab yang berasal dari

kata adabun adalah pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa

pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarki sesuai dengan berbagai

tingkat derajat tingkatan mereka tentang tempat seseorang yang tepat dalam

hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah,

intelektual, maupun rohaniah seseorang.

Berdasarkan pengertian adab tersebut al-Attas (Tafsir, 2010: 29)

mendefinisikan pendidikan menurut Islam sebagai:

Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.

Page 5: S pai 0800490_chapter2

20

Berbeda dengan Abdurrhaman al-Nahlawi ia merumuskan definisi pendidikan

justru dari kata al-tarbiyyah. Menurut pendapat al-Nahlawi (Tafsir, 2010: 29),

kata al-tarbiyyah berasal dari tiga kata :

1) Raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh seperti yang terdapat di

dalam al-Quran surat al-Rum ayat 39;

2) Rabiya-yarba yang berarti menjadi besar;

3) Rabbā-yarubbū yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,

menuntun, menjaga, memelihara.

Sedangkan menurut tokoh Barat George F. Kneller (Suwarno, 2009: 20):

Pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak ataupun kemampuan fisik individu. Sedangkan dalam arti sempit pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain.

Di sisi lain John Dewey (Suwarno, 2009: 20) memandang pendidikan sebagai

“sebuah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna,

sehingga pengalaman tersebut dapat mengarahkan pengalaman yang akan didapat

berikutnya”.

John. S. Brubacher (Suwarno, 2009: 20) mengungkapkan pendapat bahwa:

Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Page 6: S pai 0800490_chapter2

21

Sedangkan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

pendidikan diartikan sebagai:

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yangdiperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam semangat dialektis, Henderson (Mudyahardjo, 2006: 61)

mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, berarti sebagai suatu hasil interaksi seorang individu dengan lingkungannya baik fisik maupun sosial, mulai dari lahir sampai akhir hayatnya sebagai suatu proses dengan pewarisan sosial sebagai bagian dari lingkungan sosial yang dipergunakan menjadi suatu alat untuk perkembangan dari pribadi-pribadi sebaik dan sebanyak mungkin, laki-laki dan wanita yang hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ...

Dalam arti luas Suhartono (2009: 79) mengartikan “pendidikan sebagai segala

kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi

kegiatan kehidupan”. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan berlangsung

disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong

pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dalam bahasa yang lain

Suhartono (2009: 79) menyatakan bahwa “pendidikan merupakan sistem proses

perubahan menuju pendewasaan , pencerdasan dan pematangan diri. Dewasa

dalam perkembangan badan, cerdas dalam perkembangan jiwa dan matang dalam

hal prilaku”.

Dari pengertian yang diuraikan di atas, Suhartono (2009: 79-80)

mengidentifikasi karakteristik pendidikan yang penulis rangkum sebagai berikut:

Page 7: S pai 0800490_chapter2

22

a) Pendidikan berlansung sepanjang zaman (Life long education).

Artinya, dari generasi ke generasi, pendidikan berproses tanpa

berhenti.

b) Pendidikan berlangsung disetiap bidang kehidupan manusia, artinya

pendidikan berproses di samping pada bidang pendidikan itu sendiri,

juga di bidang ekonomi dan sebagainya.

c) Pendidikan berlangsung di segala tempat di mana pun, dan di segala

waktu kapan pun. Artinya, pendidikan berproses di setiap kegiatan

kehidupan manusia.

d) Objek utama pendidikan adalah pembudayaan manusia dalam

memanusiawikan diri dan kehidupannya.

Dalam arti yang sempit Suhartono (2009: 84) mengartikan pendidikan “sebagai

seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi,

dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi

berdasar pada tujuan yang telah ditentukan”.

Sedangkan Marimba (Tafsir, 2010: 24) menyatakan bahwa pendidikan dalam

arti sempit adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian

yang utama”.

Mengenai arti pendidikan secara sempit Mudyahardjo (2006: 61) juga

mengungkapakan pendapat bahwa:

Pendidikan adalah persekolahan. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak

Page 8: S pai 0800490_chapter2

23

atau remaja yang diserahkan kepadanya, agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial.

Terkait dengan yang diungkapkan oleh Mudyahardj, maka dapat dirangkum

ciri-ciri khas pendidikan dalam arti sempit yang dirangkum dari Mudyahardjo

(2006: 62-63), sebagai berikut:

(1) Pendidikan berlangsung dalam waktu terbatas, yaitu masa anak-anak,

remaja dan dewasa. Menurut jenjang pra sekolah dasar, sekolah

lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi.

(2) Pendidikan berlangsung dalam ruang terbatas, yaitu di lembaga

persekolahan.

(3) Pendidikan berlangsung dalam situasi khusus yang sengaja diciptakan

menurut sistem administrasi dan manajemen tertentu.

(4) Isi pendidikan disusun secara sistematik dan terprogram dalam bentuk

kurikulum.

(5) Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan

terbatas pada pengembangan kemampuan tertentu. Tujuan pendidikan

adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dimasyarakat.

b. Pengertian Pendidikan Karakter

Secara harfiah karakter artinya ‘kualitas mental atau moral, kekuatan moral,

nama atau reputasi’ (Hornby dan Parnwell dalam Azis, 2011: 120). Menurut

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, “karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak

atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; tabiat; watak”

(2008: 623).

Page 9: S pai 0800490_chapter2

24

Dalam Dorland’s Poket Medical Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh

Aziz (2011: 120) dinyatakan bahwa:

Karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Sedangkan di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.

Dari beberapa pengertian diatas Hamka Abdul Aziz dalam bukunya yang

berjudul Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati menyimpulkan bahwa:

Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Lebih lanjut Aziz mengungkapkan bahwa karakter pendidikan adalah kualitas mental dan kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti dari nilai-nilai dan keyakinan yang ditanamkan dalam proses pendidikan yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada peserta didik (Aziz, 2011: 121).

Dalam pengertian yang masih umum Aqib dan Sujak (2011: 2). menjelaskan

dalam buku yang berjudul Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter bahwa:

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ atau menandai dan menfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tinglah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Sedangkan Russel Williams sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi dalam

tulisannya Mampukan Kita Memperbaiki Kondisi Moral Bangsa? (Q-nees dan

Hambali, 2009: 99) mengilustrasikan bahwa ‘karakter adalah ibarat otot, dimana

otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat

dan kokoh kalau sering dipakai’.

Amśāl dari Russels di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya hakikat

pendidikan karakter mengembangkan potensi yang sudah dimiliki oleh manusia.

Page 10: S pai 0800490_chapter2

25

Hal ini juga berarti bahwa pada manusia terdapat bibit potensi kebenaran dan

kebaikan, yang harus didorong melalui pendidikan untuk aktual. Hal ini juga

sejalan dengan pendapat Tafsir bahwasanya tujuan pendidikan pada dasarnya

adalah menjaga fitrah.

Terkait dengan pendapat di atas, Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 1

Juni 2011 mengadakan seminar nasional dengan tema ‘Membangun Karakter

Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan’. Pada acara tersebut wakil menteri

pendidikan nasional Jalal (2010) menyatakan bahwa:

pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku.

Sedangkan Muhammad Yaumi dalam artikel yang berjudul Pengembangan

Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Transdisiplinaritas (2010)

menyatakan bahwa istilah karakter merujuk pada ciri khas, perilaku khas

seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi. Dengan demikian,

karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau berbagai atribut

Termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti integritas, keberanian,

ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau kebiasaan yang baik.

Ketika seseorang memiliki karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas

individu yang satu dibandingkan dari yang lain.

Masih dikutip dari artikel yang di tulis oleh Yaumi (2010) bahwa:

Karakter juga dipahami sebagai seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran itu tercermin dalam prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas apakah secara efektif melaksanakan

Page 11: S pai 0800490_chapter2

26

dengan jujur atau sebaliknya, apakah dapat mematuhi hukum yang berlaku atau tidak (Kurtus dalam Yaumi, 2010).

Lebih terperinci lagi Yaumi menuliskan “Istilah karakter sama dengan budi

pekerti atau watak yang merupakan bulatnya jiwa manusia”. Ki Hajar Dewantara

mengungkapkan bahwa “budi pekerti, watak, atau karakter adalah bersatunya

gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan yang menghasilkan tenaga,

di mana budi berarti pikiran, perasaan, dan kemauan, sedangkan pekerti berarti

tenaga” (Dewantara, 1977: 25).

Dari pengertian karakter yang diungkapkan oleh Dewantara, Yaumi (Mitrafm:

2010) menjabarkan “tenaga dalam bahasa asing dikenal dengan istilah spirit atau

spiritual yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti

napas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat

hidup, bernapas dan bergerak”.

Sehingga pada akhirnya Yaumi (2010) menyimpulkan bahwa:

pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, di mana kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling esensial dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan lain seperti kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan sosial.

Pengertian lain berkenaan dengan pendidikan karakter datang dari Megawangi,

ia mengartikan bahwa:

Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperatekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. (Megawangi, 2004: 95)

Sedangkan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,

Suyanto (2011) dalam artikelnya menjelaskan bahwa karakter adalah “cara

Page 12: S pai 0800490_chapter2

27

berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan

bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan

negara”.

Abdullah (2010) mengartikan pendidikan karakter sebagai “pendidikan

kemanusiaan yang bertujuan menjadikan manusia baik, menjadikan manusia

baik tanpa prasyarat apapun”.

Sedangkan Thomas Lickona dalam Q-Anees dan Hambali (2009: 99)

menyatakan bahwa:

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk ‘membentuk’ kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya.

Dari sebuah artikel yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional

(Kemendiknas: 2010) Pendidikan karakter diartikan sebagai:

Suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Menurut Buchori (Sudrajat: 2007), “pendidikan karakter seharusnya membawa

peserta didik kepengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif,

dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata”.

Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran karya Bambang Q-Anees

dan Hambali (2011: 55) menyatakan bahwa:

Ada enam ciri khas pendidikan karakter: (1) menjadikan manusia memiliki sikap “terpesona” dan “kagum” ketika melihat anugerah Allah, seperti penciptaan alam semesta, dan manusia sendiri; (2) menghargai kebebasan dalam pembelajaran. Lewat kebebasan diharapkan mampu mendorong pserta didik untuk mengerti dan mencintai kebenaran; (3)

Page 13: S pai 0800490_chapter2

28

menekan sikap magis bagi setiap anak didik. Magis atau unggul bukan dalam kategori kognitif melainkan unggul dalam hal efeksi dan kerohanian; (4) setiap anak didik diharapkan mampu menemukan dan memilih apa yang menjadi kehendak Allah; (5) pendidikan karakter diharapkan mampu menjadikan manusia man or woman for others. Prosesnya dimulai dari pendidikan yang menjadi manusia bagi sesamanya, dan selanjutnya membina peserta didik menjadi manusia demi sesama; (6) penegasan atas dasar cinta kasih sejati (discerta caritas) disertai dengan “perhatian personal” (cura personalis) adalah dasar dari semuanya.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

Berbicara tentang pendidikan karakter sama dengan berbicara pembentukan

kepribadian yang baik, ukuran baik ini bermacam-macam akan tetapi dalam hal

ini baik yang berarti sesuai dengan ajaran agama dan tidak melanggar aturan

negara, menjadi umat beragama yang taat dan warga negara yang patuh.

Zuchdi dalam buku yang berjudul Humanisasi Pendidikan (2010: 39),

menyebutkan istilah pendidikan karakter dengan pendidikan watak, ia

mengatakan bahwa:

Pendidikan watak (karakter) bertujuan mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab, yang juga mengambarkan nilai-nilai perilaku moral. Menurutnya ciri-ciri watak yang baik dan menjadi tujuan pendidikan watak adalah rasa hormat, tanggung jawab, rasa kasihan, disiplin, loyalitas, keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja, dan kepercayaan serta kecintaan kepada Tuhan.

Lebih lanjut Zuchdi (2010: 39) menekankan bahwa ‘kecintaan terhadap Tuhan

merupakan aspek yang sangat penting karena kualitas keimanan menentukan

kualitas watak atau keperibadian seseorang’.

Sedangkan Megawangi menuliskan dengan cukup singkat dan padat

bahwasanya “pendidikan karakter mempunyai tujuan akhir bagaimana manusia

dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral (2004: 80).

Page 14: S pai 0800490_chapter2

29

Berdasarkan pada pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang bersumber

dari Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan

Pusat Kurikulum Dan Perbukuan (2011) Pendidikan karakter bertujuan

mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,

meliputi :

a. mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati

baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik;

b. membangun bangsa yang berkarakter Pancasila;

c. mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya

diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.

Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Nasional

dalam Desain Induk Pendidikan Karakter (2010) memaparkan bahwa pendidikan

karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa.

Secara lebih khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama (Desain

Induk Pendidikan Karakter : 2010), yaitu

1) Pembentukan dan pengembangan potensi

Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan

potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik,

berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup

Pancasila.

2) Perbaikan dan penguatan

Page 15: S pai 0800490_chapter2

30

Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan

warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran

keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut

berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi

manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju,

mandiri, dan sejahtera.

3) Penyaring

Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya

bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang

positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia

agar menjadi bangsa yang bermartabat.

Sejalan dengan hal tersebut Pusat Kurikulum Kemendiknas juga memaparkan

fungsi Pendidikan karakter (1) membangun kehidupan kebangsaan yang

multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur,

dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia;

mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku

baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga negara yang cinta damai,

kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu

harmoni (Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan

Pusat Kurikulum Dan Perbukuan:2011).

3. Ruang Lingkup atau Materi Pendidikan Karakter

Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan

hanya sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu,

Page 16: S pai 0800490_chapter2

31

pendidikan karakter sebagai usaha untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang

baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak

berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.

Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter

bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan

beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup, yaitu sosialisasi/penyadaran,

pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama seluruh komponen bangsa.

Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif

dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil,

politik, media massa, dunia usaha, dan dunia industri (Buku Induk Pembangunan

Karakter: 2010). Sehingga satuan pendidikan adalah komponen penting dalam

pembangunan karakter yang berjalan secara sistemik dan integratif bersama

dengan komponen lainnya.

Terkait dengan hal tersebut, masih berdasarkan pedoman pelaksanaan

pendidikan karakter yang bersumber dari Kementerian Pendidikan Nasional

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dan Perbukuan (2011)

“pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral

knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang

baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap

hidup peserta didik”.

Sesuai dengan panduan di atas, maka pendidikan karakter meliputi dua aspek

yang dimiliki manusia, yaitu aspek ke dalam dan aspek keluar. Aspek ke dalam

atau aspek potensi meliputi aspek kognitif (olah pikir), afektif (olah hati), dan

Page 17: S pai 0800490_chapter2

psikomotor (olah raga

sosiokultur dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam

keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing

berisi nilai-nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan

karakter terdapat pada bagan di bawah ini:

Gambar

Sumber: Panduan

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah

teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (

Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)

Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Pe

Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:

olah raga). Aspek ke luar yaitu aspek manusia dalam konteks

dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam

keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing aspek memiliki ruang yang

nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan

karakter terdapat pada bagan di bawah ini:

Gambar 1. Bagan Konfigurasi Pendidikan Karakter

Sumber: Panduan Pelaksanaan Pendidikan karakter, Kemendiknas:

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah

teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan

pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)

Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)

Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Pe

Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:

32

). Aspek ke luar yaitu aspek manusia dalam konteks

dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam

spek memiliki ruang yang

nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan

Konfigurasi Pendidikan Karakter

Kemendiknas: 2011

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah

teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan

3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)

Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)

Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli

Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:

Page 18: S pai 0800490_chapter2

33

Pengembangan dan Pendidikan Budaya; Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah,

2009: 9-10).

Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum,

etika akademis, dan prinsip-prinsip HAM, Aqib dan Sujak. mengidentifikasikan

butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai

perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama

manusia, dan lingkungan, serta kebangsaan (Aqib dan Sujak, 2011: 6-8). Berikut

adalah daftar nilai-nilai yang penulis rangkum dalam beberapa butir:

a. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Tuhan

Religius; pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu

berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.

b. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri

1) Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang

selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap

diri dan pihak lain.

2) Bertanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya

sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,

lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan YME.

3) Bergaya Hidup Sehat

Page 19: S pai 0800490_chapter2

34

Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan

hidup sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu

kesehatan.

4) Disiplin

Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan

dan peraturan.

5) Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sunguh-sungguh dalam mengatasi berbagai

hambatan guna menyelesaikan tugas (atau bekerja) dengan sebaik-baiknya.

6) Percaya Diri

Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya

setiap keinginan dan harapan.

7) Berjiwa Wirausaha

Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk

baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk

baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.

8) Berpikir Logis, Kritis, Kreatif, dan Inovatif

Berpikir dan melakukan sesuatu berdasarkan kenyataan atau logika untuk

menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.

9) Mandiri

Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam

menyelesaikan tugas-tugas.

10) Ingin Tahu

Page 20: S pai 0800490_chapter2

35

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam

dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

11) Cinta Ilmu

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepeduliaan,

dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.

c. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Sesama

1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri

sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

2) Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat

dan kepentingan umum.

3) Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang

berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang

lain.

4) Santun

Sifat yang halus dan baik hati dari sudut pandang tata bahasa maupun tata

perilakunya ke semua orang.

5) Demokratis

Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban

dirinya dan orang lain.

d. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan

Page 21: S pai 0800490_chapter2

36

Peduli sosial dan lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu berupaya

mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan

upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu

ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

e. Nilai Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa

dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

1) Nasionalis

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian,

dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,

ekonomi, dan politik bangsanya.

2) Menghargai Keberagaman

Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal, baik yang

berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, maupun agama.

Sedangkan dalam Mengawangi terdapat serangkain nilai yang seharusnya

diajarkan kepada anak-anak, yang terangkum kedalam 9 pilar karakter adalah

sebagai berikut (IHF dalam Megawangi, 2004: 95):

(1) Cinta tuhan dan segenap ciptan-Nya (Love Allah, trust, reverence,

loyalty).

(2) Kemandirian dan tanggung jawab (responsibilty, excellence, self

reliance, discipline, orderliness).

(3) Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty).

(4) Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience).

Page 22: S pai 0800490_chapter2

37

(5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong (love, compassion,

caring, empathy, generousity, moderation, cooperation).

(6) Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness,

creativity, resourcefulness, courage, deTermination and enthusiasm).

(7) Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership).

(8) Baik dan rendah hati (kidness, friendliness, humility, modesty).

(9) Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility,

peacefulness, unity).

4. Landasan atau Dasar Pendidikan Karakter

a. Dasar Religi

1) Al-Quran

Al-Quran, dengan indah telah membuat perumpamaan tentang pentingnya

akhlak mulia sebagai karakter yang harus dimiliki;

û Í_t6≈ tƒ tΠ yŠ# u ô‰s% $ uΖø9 t“Ρr& ö/ ä3ø‹ n=tæ $ U™$ t7Ï9 “Í‘≡ uθ ムöΝä3Ï?≡ u öθ y™ $W±„ Í‘uρ ( â¨$t7 Ï9 uρ 3“uθ ø)−G9 $#

y7 Ï9≡ sŒ ×�ö� yz 4 š�Ï9≡ sŒ ô ÏΒ ÏM≈ tƒ#u «! $# óΟßγ ¯=yès9 tβρã� ©.¤‹tƒ ∩⊄∉∪

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu

pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS: Al-A`rāf (7): 26).

Menurut Aziz (2011: 126) pakaian takwa adalah pakaian ruh, pakaian hati.

Pakaian inilah yang menutupi rasa malu, rasa hina, rasa takut dan harapan hati di

hadapan Allah.

Page 23: S pai 0800490_chapter2

38

¨βÎ) ©!$# yìtΒ tÏ%©!$# (#θ s)?$# tÏ%©!$# ¨ρ Νèδ šχθãΖÅ¡ øt’Χ ∩⊇⊄∇∪

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS: An-Nahl (16): 128).

øŒ Î)uρ tΑ$ s% š�•/u‘ Ïπs3Í× ¯≈ n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅ Ïã%y ’Îû ÇÚö‘ F{$# Zπ x"‹Î=yz ( (# þθ ä9$s% ã≅yè øg rBr& $ pκ� Ïù tΒ

߉š ø"ム�Ïù $pκà7 Ï"ó¡o„ uρ u!$ tΒ Ïe$!$# ß øtwΥ uρ ßxÎm7 |¡ çΡ x8ωôϑpt¿2 â Ïd‰s)çΡuρ y7 s9 ( tΑ$ s% þ’ÎoΤ Î) ãΝn=ôãr&

$ tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊂⊃∪

ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS: Al-Baqarah (2): 30).

2) Hadiś

Tentang penyempurnaan akhlak, sebagaimana hadiś yang masyhur berkenaan

dengan tugas kenabian Muhammad saw. Adalah;

Sesungguhnya aku diutus (kepada seluruh manusia dalam rangka) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah)

b. Dasar Konstitusional

1) RPJPN

Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi

pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,

bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.

(Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025)

Page 24: S pai 0800490_chapter2

39

2) UUSPN

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional –UUSPN)

3) TAP MPR No. 4/MPR/1975

Tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas

falsafah negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia

pembangun yang berpancasila, dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani

dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan

kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap kecerdasan yang tinggi,

disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama

manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

4) UU No.2 Tahun 1985

Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan

mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu yang beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan

keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri,

serta rasa tanggung jawab bermasyarakat dan berbangsa.

Page 25: S pai 0800490_chapter2

40

5) TAP MPR No II/MPR/1993

Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan manusia Indonesia yaitu

manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi

pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil,

berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan

nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta

tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, serta

kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta

berorientasi masa depan.

5. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter

Ada beberapa pandangan berkenaan dengan prinsip-prinsip dalam pendidikan

karakter. Salah satu diantaranya prinsip-prinsip pendidikan karakter menurut Q-

Anees dan Hambali (2009: 104) yakni sebagai berikut:

a. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya

memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan

atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran. Atas dasar prinsip ini,

pendidikan karakter tidaklah bersifat teoretis, tetapi melibatkan

penciptaan situasi yang mengondisikan peserta didik mencapai

pemenuhan karakter utamanya.

b. Karena pendidikan menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh

nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak

meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan.

Page 26: S pai 0800490_chapter2

41

c. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi

peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif.

Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi dan kapasitasnya yang

khas) yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari

kesadaran ini dalam dunia pendidikan adalah pemupukan keandalan

khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan

daya saing dalam perjuangan hidup.

d. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi

manusia ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri, tetapi

juga kesadaran untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan

masalah lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai dengan

pengetahuan dan karakter yang dimilikinya. Manusia ulul albab adalah

manusia yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek

intelektual, afektif, maupun spiritual.

e. Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya

berdasarkan pilihan. Setiap keputusan yang diambil menentukan

kualitas seseorang dimata orang lain. Oleh karena itu pendidikan

karakter mengutamakan sikap bertanggung jawab dan berani dalam

mengambil suatu sikap dan keputusan yang baik dan benar.

Lebih terperinci lagi Aqib dan Sujak (2011: 11) menuliskan prinsip pendidikan

karakter pada sebuah sekolah, bahwa pendidikan karakter harus didasarkan pada

prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.

Page 27: S pai 0800490_chapter2

42

b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup

pemikiran, perasaan, dan perilaku.

c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk

membangun karakter.

d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.

e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku

yang baik.

f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang

yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,

dan membantu mereka untuk sukses.

g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.

h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang

berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai

dasar yang sama.

i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam

membangun inisiatif pendidikan karakter.

j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam

usaha membangun karakter.

k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru

karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta

didik.

Tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip sebelumnya, Koesoema menyatakan

bahwa “pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang

Page 28: S pai 0800490_chapter2

43

mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja

dalam lingkup pendidikan itu sendiri (Koesoema, 2011: 218-220).

a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang

kamu katakan atau yakini.

Prinsip ini memberikan verifikasi konkret tentang karakter seorang indvidu

dengan memberikan prioritas pada unsur psikomotorik yang menggerakkan

seseorang untuk bertindak.

b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang

macam apa dirimu.

Seseorang dihormati karena keputusannya, hal ini mengisyaratkan bahwa

individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang

diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah seseorang mendefenisikan

karakternya.

c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan

dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus

membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko.

Pribadi yang baik hanya dapat dibentuk dalam proses yang baik pula. Hal ini

sejalan dengan amśāl dari kehidupan lebah yang menghasilkan sesuatu yang baik,

yang berasal dari yang baik dan melalui proses yang baik. Setiap manusia

mempunyai potensi baik, dikembangkan dengan cara yang baik agar

menghasilkan produk yang baik.

Page 29: S pai 0800490_chapter2

44

d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang

lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang

lebih baik dari mereka.

Tekanan sosial dan kelompok sebaya menjadi arena yang ramai bagi

pergulatan pendidikan karakter di sekolah. Kultur non-edukatif yang berlangsung

terus menerus dalam sebuah lembaga pendidikan jika tidak diatasi akan menjadi

standar perilaku bagi para siswa.

e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang

individu bisa mengubah dunia.

Para siswa perlu disadarkan bahwa setiap tindakan yang berkarakter, setiap

tindakan yang bernilai yang mereka lakukan memiliki makna dan bersifat

transformatif. Setiap individu dapat mengubah dunia, jika pengaruhnya belum

cukup mampu menyerambah ke masyarakat setidaknya perubahan itu terjadi pada

diri sendiri.

f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi

pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat

yang lebih baik untuk dihuni.

Setiap tindakan dan keputusan yang memiliki karakter membentuk seorang

individu itu menjadi pribadi yang lebih baik.

6. Faktor-Faktor Pendukung Terbentuknya Karakter

Berdasarkan pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, Megawangi (2004:

151) menyimpulkan ada dua faktor penentu terbentuknya karakter pada manusia,

yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan).

Page 30: S pai 0800490_chapter2

45

a. Faktor Nature

Islam mengajarkan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat

baik dan mencintai kebaikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi dalam

Brooks dan Goble (2004: 25) bahwa:

Agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini masih bersifat potensial, atau belum Termanifestasi ketika anak dilahirkan. Confusius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga mengatakan bahwa ‘walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan instruksi (pendidikan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi.

Ratna Megawangi juga memberikan perumpamaan yang bagus berkenaan

dengan pentingnya udara lingkungan yang baik untuk mengembangkan potensi

baik yang dimiliki oleh manusia. Perumpamaannya adalah sebagai berikut:

Paru-paru anak terbentuk sangat tergantung pada bagaimana mereka menghirup udara di sekelilingnya. Kalau udara yang dihirup bagus, maka akan sehat. Begitu pula dengan pembentukan karakter anak yang sangat tergantung bagaimana mereka menghirup ‘udara moral’ di sekelilingnya. (Megawangi, 2004: 152)

b. Faktor Nurture

Menurut Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi bahwa

para pendidik karakter adalah seperti orang tua, seorang mentor, dan model

penutan bagi muridnya (2004: 54), oleh karena itu menurut Lickona seorang guru

harus:

1) Memperlakukan murid-muridnya dengan kasih sayang, adil dan hormat.

2) Memberikan perhatian khusus secara individual, dimana guru mengerti

permasalahan setiap muridnya.

Page 31: S pai 0800490_chapter2

46

3) Pendidik harus menjadi panutan moral bagi peserta didiknya, dan

senantiasa selalu memperbaiki citra dirinya.

4) Mengoreksi perilaku murid-muridnya yang salah.

Doni Koesoema dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter di Zaman

Keblinger Mengembangkan Visi Guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik

karakter, menurutnya faktor utama yang mendukung pendidikan karakter adalah

guru itu sendiri. Sadar atau tidak perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan

tugasnya sebagai pendidik menjadi wahana utama pembelajaran karakter.

Menurut Koesoema (2007: 137-152) ada beberapa prinsip-prinsip bagi

pengembangan guru sebagai pendidik karakter, yakni sebagai berikut:

a) Menghidupi visi dan inspirasi pribadi

Prinsip pertama ini mengisyaratkan bahwa pendidik karakter harus memiliki

kemampuan dalam menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja

profesionalnya. Visinya sebagai guru akan menentukan isi dan proses bagaimana

sekolah dan guru tersebut melaksanakan pendidikan karakter.

b) Nemo dat quod non habet

Istilah pada prinsip kedua ini berasal dari bahasa latin yang maknanya bahwa

‘tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya’. Maksudnya

adalah bahwa seorang guru tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, ia

hanya bisa mengajarkan apa yang ia miliki, oleh karena itu sebagai pendidik

karakter maka ia harus mempunyai karakter. Pada setiap tingkah laku dalam

perjumpaannya dengan siswa selalu mengajarkan pesan moral yang bisa

ditangkap oleh siswa dengan atau tanpa disadari oleh sang guru.

Page 32: S pai 0800490_chapter2

47

c) Verba movent exempla trahunt

Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat hati. Hal ini

mengisyaratkan bahwa guru adalah agen pembawa nilai bukan sekadar melalui

kata-kata, melainkan melalui keteladanan. Nilai itu dapat diajarkan karena dapat

dipraktikan dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan

sekolah guru menjadi orang pertama yang memberikan keteladanan itu.

d) Kritis menerap nilai

Guru sebagai pembelajar sepanjang hayat, menegaskan bahwa seorang guru

harus kritis terhadap nilai-nilai yang baru serta memiliki kesedian untuk

menegaskan nilai-nilai. Oleh karena itu guru dituntut juga untuk terbuka pada

pengalaman dan pengetahuan baru.

e) Relasi interpesonal-kontekstual

Guru sebagai pendidik karakter mesti mengembangkan dimensi interpersonal

kontekstual ini agar pengembangan pendidikan karakter itu kontekstual, relevan,

dan konsisten. Pendidikan karakter itu kontekstual karena guru dan anggota

komunitas sekolah mengerti nilai-nilai dan visi yang sedang mereka perjuangkan

dalam pendidikan.

f) Integritas moral pendidik

Sebagai seorang yang profesional, guru semestinya mengedepankan

kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Sebagaimana kata Alberstus yang

dikutip oleh Koesoema (2007: 152) bahwa ‘Integritas moral seorang profesional

pertama-tama ditentukan oleh pembelaannya dan pelayanannya terutama demi

kepentingan publik. Para guru profesional semestinya mengutamakan kepentingan

Page 33: S pai 0800490_chapter2

48

orang-orang yang dilayaninya dahulu, misalnya para murid dibandingkan

kepentingan pribadinya.

Sedangkan Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin Ryan sebagaimana yang

dikutip oleh Megawangi (2004: 152-153) menyatakan bahwa ada tujuh

kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik atau guru karakter, yakni

sebagai berikut:

(1) Para pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai contoh

berkarakter yang baik dan mempunyai komitmen untuk menegaskan

kebenaran.

(2) Para pendidik karakter harus mampu menjadikan tujuan pembentukan

karakter muridnya sebagai suatu yang prioritas dan merupakan bagian

terpenting dari pekerjaan profesionalitasnya.

(3) Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu

moral dengan murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya

menjalankan hidup, serta menjelaskan apa yang baik dan apa yang

buruk.

(4) Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak)

mengenai posisinya pada berbagai isu-isu etika, tanpa harus membebani

mereka dengan pendapat dan opini pribadi.

(5) Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain,

yaitu mengajaknya untuk keluar dari diri mereka dan melihat dari

perspektif orang lain.

Page 34: S pai 0800490_chapter2

49

(6) Para pendidik harus menciptakan suasana kelas yang bernuansa

karakter, yang menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan

untuk semua.

(7) Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk

memperaktekkan nilai-nilai karakter di rumah, di sekolah, dan di

komunitas lingkungan, agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang

peduli untuk selalu melakukan kebajikan.

Selain tujuh kompetensi dan beberapa prinsip yang telah dipaparkan di atas,

dalam upaya penanaman nilai-nilai pendidikan karakter, pendidikan dan tenaga

kependidikan harus memiliki, menghayati, dan melaksanakan etos kerja yang

positif, yang merupakan bukti tindakan terhadap komponen-komponen karakter

moral. Menurut Aqib dan Sujak (2010: 28-29) ada 8 hal yang harus dimiliki dan

dihayati, yakni : (1) kerja adalah rahmat; bekerja tulus penuh syukur, (2) kerja

adalad amanah; bekerja benar penuh tanggung jawab, (3) kerja adalah panggilan;

bekerja tuntas penuh integritas, (4) kerja adalah aktualisasi; bekerja keras penuh

semangat; (5) kerja adalah ibadah; bekerja serius penuh kecintaan, (6) kerja

adalah seni; bekerja kreatif penuh suka cita, (7) kerja adalah kehormatan; bekerja

tekun penuh keunggulan, dan (8) kerja adalah pelayanan; bekerja sempurna penuh

kerendahan hati.

Besarnya pengaruh lingkungan sebagai udara moral yang menentukan kualitas

udara yang dihirup oleh peserta didik juga tergambar dalam bait-bait dibawah ini:

Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.

Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.

Page 35: S pai 0800490_chapter2

50

Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya.

Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.

Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.

Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar kepercayaan.

Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.

Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar

menemukan cinta dalam kehidupan.

7. Model Pendidikan Karakter

a. Pendidikan Holistik

Menurut Kurniasih (2010: 97) “model pendidikan holistik dikemas melalui

hubungan langsung antara anak didik dengan lingkungannya. Pendekatan holistik

tidak melihat manusia dari aktivitasnya yang terpisah pada bagian-bagian tertentu,

namun merupakan makhluk yang bersifat utuh”.

Model pendidikan holistik melahirkan kurikulum holistik, masih menurut

Kurniasih (2010: 97-98) ciri-ciri kurikulum holistik sebagai barikut:

1) Spritualitas adalah jantung dari setiap proses praktik pembelajaran.

2) Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya

dengan segala potensinya.

3) Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis dan

linier tapi juga intuitif.

4) Pembelajaran berkewajiban menumbuh kembangkan potensi kecerdasan

ganda.

Page 36: S pai 0800490_chapter2

51

5) Menyadarkan anak akan keterkaitannya dengan komunitas sekitarnyta.

6) Mengajak anak menyadari hubungannya dengan bumi dan ciptaan Allah.

7) Kurikulumnya memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan

dalam tingkatan transdisipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi

makna kepada siswa.

8) Menghantarkan anak untuk menyeimbangkan antara belajar individual

dengan kelompok.

9) Pembelajaran yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.

10) Pembelajaran yang merupakan sebuah proses kreatif dan artistik.

b. Pendidikan Humanistik

Model pendidikan humanistik berangkat dari sebuah konsep tentang manusia

itu sendiri. Baharuddin, dan Hakim (2007: 23) memaparkan bahwasanya:

Pendidikan humanistik memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus malangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas, yakni antara memiliki sifat-sifat rendah dengan sifat-sifat kemalaikatan atau sifat malakut (sifat-sifat luhur). Sebagai makhluk dilematis, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergelut dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya. Dan sebagai hamba Allah, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban ubudiyah-nya pula.

Terkait dengan penjelasan di atas hal tersebut mengisyaratkan bahwa ada

apresiasi yang tinggi kapada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan

Page 37: S pai 0800490_chapter2

52

bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai

khalifatullah sebagaimana firman Allah pada Surat Al-Baqarah ayat 30.

Baharuddin dan Hakim (2007: 23) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan

Islam terangkum dalam pendidikan humanistik yakni:

Membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat sehingga ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya.

Sejalan dengan pernyataan-pernyataan di atas, Suyanto (2008: 146)

menyatakan bahwa:

Peserta didik adalah faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia dapat menjadi subjek yang menjadikan pusat kegiatan pendidikan, dan mempunyai kemampuan, potensi, dan kekuatan untuk berkembang. Olah karena itu, tugas pendidik hanya menciptakan suasana yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.

Terkait dengan pernyataanya di atas, Suyanto (2008: 147) menambahkan

bahwasanya Islam sangat menghargai kraetivitas dan produktivitas (QS-al-

Najm(53):39-40), karena manusia merupakan mahkluk yang mampu berkreasi

dan bertanggung jawab (QS. An-Nahl (16):93), mengingat pribadi manusia yang

unik, yang penuh dengan potensi laten yang baik (QS.ar-Rūm (30):30), minat

(QS.al-Kaĥf (18):29), dan kemampuan (QS.Hūd(11(:93).

Suyanto (2008: 146) juga memberikan kesimpulan bahwasanya terkait dengan

pemaparannya di atas maka “Islam membutuhkan adanya model pendidikan

dengan kurikulum yang mampu memberikan stimulus agar peserta didik mampu

Page 38: S pai 0800490_chapter2

membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,

dan karsanya tanpa adanya tekanan dari orang lain”.

Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk

menciptakan unsur kreativitas, spontanitas,

pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan

motivasi intrinsik (Suyanto, 2008: 146).

c. Pendidikan berbasis pada Al

Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Almerujukkan pengembangan karakter pada Alcatatan dapat ditegaskan bahwa perujukan pada Alhanya pada Aladalah bahwa ‘Aldan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan AlAnees dan Hambali, 2009: 122).

Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al

dengan urutan sebagai berikut:

Gambar 2

Pengalaman Pembelajaran

membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,

dan karsanya tanpa adanya tekanan dari orang lain”.

Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk

menciptakan unsur kreativitas, spontanitas, kemandirian, kebebasan, aktivitas,

pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan

motivasi intrinsik (Suyanto, 2008: 146).

Pendidikan berbasis pada Al-Quran

Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Aln pengembangan karakter pada Al-Quran. Namun, sebagai

catatan dapat ditegaskan bahwa perujukan pada Al-Quran bukan berarti hanya pada Al-Quran, melainkan juga pada akhlak Rasulullah. Dasarnya adalah bahwa ‘Al-Quran merupakan akhlak Rasulullah’. Jadi, penghdan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan AlAnees dan Hambali, 2009: 122).

Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al -Quran dapat berlangsung

urutan sebagai berikut:

2. Urutan pendidikan karakter berbasis Al

Pengalaman Pembelajaran

Refleksi

Aksi

Evaluasi

53

membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,

Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk

kemandirian, kebebasan, aktivitas,

pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan

Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Al-Quran adalah Quran. Namun, sebagai

Quran bukan berarti Quran, melainkan juga pada akhlak Rasulullah. Dasarnya

Quran merupakan akhlak Rasulullah’. Jadi, penghayatan dan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan Al-Quran (Q-

Quran dapat berlangsung

. Urutan pendidikan karakter berbasis Al-Quran

Page 39: S pai 0800490_chapter2

54

Pengalaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan

afektif. Refleksi adalah pencarian arti untuk pengalaman pembelajaran. Aksi

adalah upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan pilihan-pilihan dari

berbagai sistem nilai yang ada. Evaluasi dinisi bersifat student centered

evaluation, evaluasi dilakukan dalam konteks dan pengalaman peserta didik yang

melakukan tindakan atau aksi (Q-Anees dan Hambali, 2009: 123-126)

8. Metode dan Langkah-Langkah dalam Pendidikan Karakter

Di dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran, Megawangi

sebagaimana yang dikutip oleh Q-Anees dan Hambali (2009: 107) menengarai

perlunya penerapan 4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai,

menginginkan, dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the

good, and acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan.

Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang

dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh. Sedangkan kesadaran utuh itu

adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintainya, dan diinginkan. Dari

kesadaran yang utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh.

Langkah-langkah 4 M dari Megawangi ini menurut penulis dilakukan secara

berkesinambungan, ketika siswa hanya diajarkan mengetahui kebaikan fakta yang

terjadi adalah siswa mengetahui perbuatan itu tidak baik tetapi ia dengan sadar

tetap melakukan hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang

sistematis, sebagaimana berikut:

Page 40: S pai 0800490_chapter2

55

a. Knowing the good

Untuk berbuat baik seseorang harus mengetahui apa yang dianggap baik, dan

untuk menghindari sikap yang buruk seseraong ahrus memahami dulu sikap

seperti apa yang dianggap buruk, terkait dengan hal tersebut Megawangi (2004:

111) menjelaskan bahwa:

dalam moral knowing ada 6 hal penting yang diajarkan yaitu; moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspektive taking, moral raesoning, decision making, dan self knowledge.

b. Loving the good

Menurut Megawangi aspek loving the good dalam pendidikan memang paling

sulit diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi. Berkowitz dalam Megawangi

membagi dua aspek emosi ini, yaitu self-censorship (kontrol internal) dan pro-

social. Kontrol internal erat kaitannya dengan adanya perasaan bersalah (guilty

feeling) dan malu (shame), kontrol internal inilah yang akan mampu mencegah

seseorang untuk melakukan perilaku buruk. Sedangkan aspek pro-social terkait

dengan emosi yang timbul ketika melihat penderitaan dan kesusahan orang lain,

yang sering disebut rasa empati dan simpati (Megawangi, 2004: 116-117).

c. Desiring the good

Setelah seseorang mengetahui perilaku yang baik dan buruk serta telah

mencintai perbuatan baik dengan memiliki self-censorship dan pro-social, maka

aspek yang harus ditingkatkan jug adalah desiring the good. Desiring the good

merupakan keinginan kuat untuk berbuat baik, keinginan yang kuat untuk berbuat

Page 41: S pai 0800490_chapter2

56

baik tentu berasal dari rasa cinta yang besar akan kebaikan itu sendiri Megawangi,

2004: 114).

d. Acting the good

“Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat

diwujudkan menjadi tindakan nyata” (Megawangi, 2004: 111). Masih menurut

Megwangi (2004: 111) bahwa “perbuatan mewujudkan perilaku baik didorong

oleh pengetahuan moral baik dan buruk, rasa cinta terhadap kebaikan dan

keinginan yang kuat untuk melakukan kebaikan serta kebiasaan (habit).”

Sedangkan Koesoema (2007: 212) mengajukan lima metode pendidikan

karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan, keteladanan,

menentukan prioritas, praktis prioritas, dan refleksi. Penjelasan singkat yang

penulis rangkum berdasarkan lima metode yang diajukan oleh Koesoema (2007:

212-217) yakni sebagai berikut:

1) Mengajarkan

Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik

tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan). Dan maslahatnya

(bila tak dilaksanakan). Mengajarkan nilai mempunyai dua faedah, pertama

memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas

pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses

“mengajarkan” tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik.

Page 42: S pai 0800490_chapter2

57

2) Keteladanan

Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan

menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki

karakter yang hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu dan ditiru.

3) Menentukan prioritas

Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas

berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas,

pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai

berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai

yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga.

4) Praktis Prioritas

Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah

bukti dilaksanakannya prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus

mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah

dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan melalui berbagai unsur yang ada

dalam lembaga pendidikan itu.

5) Refleksi

Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Refleksi dapat disebut juga proses

bercermin, mematut-mematutkan diri pada peristiwa/konsep yang telah teralami:

apakah saya seperti itu? Apakah ada karakter baik seperti itu pada diri saya?

Page 43: S pai 0800490_chapter2

58

Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi. Dengan kemampuan

sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya

dengan lebik baik.

Sementara itu pedagogi transformatif Iganiasian menerapkan lima tahapan

penting pendidikan karakter yang harus ditempuh, yaitu konteks, pengalaman,

refleksi, aksi, dan evaluasi.

Konteks; pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan perhatian

dan pengenalan kepada masing-masing peserta didik. Untuk dapat mencapai hal

ini, pendidik harus mengenal dengan baik konteks dan latar belakang peserta

didik, seperti gaya hidup, kelompok baya, budaya, tekanan sosial, dan masalah

politik.

Pengalaman; pengalaman yang dimaksud adalah “mengenyam suatu hal dalam

batin yang mengandaikan adanya fakta dan pengertian”. Pengalaman adalah suatu

kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif. Metode yang dilakukan

untuk membawa peserta didik pada pengalaman dapat berupa aktivitas bersama,

problem solving, aktivitas mandiri, dan peer-grouplearning. Semua cara yang

dapat mengandaikan keunikan dan kebebasan manusia, di samping juga juga

penghargaan terhadap sesamanya.

Refleksi; refleksi adalah “pertimbangan-pertimbangan yang penuh pemikiran

tentang pengalaman”, atau “ide-ide yang menjadikan orang mampu untuk

menangkap makna yang sebenarnya secara penuh”. Refleksi adalah proses di

mana kita mencari arti untuk pengalaman pembelajaran kita. Refleksi merupakan

suatu proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna dalam pengalaman

Page 44: S pai 0800490_chapter2

59

manusiawi dengan pemahaman lebih baik mengenai kebenaran yang telah

dipelajari; (2) untuk mengerti akan sumber perasaan dan reaksi yang dialami

seorang lewat apa yang dipelajari; (3) untuk memperdalam pemahaman tentang

implikasinya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain; (4) untuk mendapat

pengertian personal akan kejadian-kejadian dan ide-ide yang ada.

Pendidikan bukan sekadar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan dari

guru ke murid, Syahidin (2009: 2) menyatakan bahwa pendidikan merupakan

suatu proses pembentukan karakter. Ada tiga misi utama pendidikan yaitu

pewarisan pengetahuan (Transfer of Knowledge), pewarisan budaya (Transfer of

Culture), dan pewarisan nilai (Transfer of Value).

Di dalam buku yang berjudul Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran

Syahidin memaparkan tujuh metode, yakni; Metode Amśal, Metode Kisah Qurani,

Metode Ibrah Mauizah, Metode Targib-Tarhib, Metode Tajribi (Latihan

Pengalaman), Metode Uswah Hasanah (Keteladanan), dan Metode Hiwar

Qur`ani. Menurutnya metode dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan pendidik

dalam lingkup peristiwa pendidikan untuk memperngaruhi siswa ke arah

pencapaian hasil belajar yang maksimal sebagaimana terangkum dalam tujuan

pendidikan. Ketujuh metode Qurani tersebut penulis rangkum dibawah ini

(Syahidin, 2009: 77-174).

Berikut penjelasan singkat berkenaan dengan tujuh metode Qurani diatas yang

penulis rangkum dari Syahidin (2009: 77-174) :

1) Metode Amśal

Page 45: S pai 0800490_chapter2

60

Metode ini dilakukan dengan memberikan perumpamaan, mengumpakan

sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan atau

manfaat dari perumpamaan tersebut. Firman Allah:

ô‰s)s9 uρ $oΨö/u�ŸÑ Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 ’Îû #x‹≈ yδ Èβ#u ö� à)ø9 $# ÏΒ Èe≅ä. 9≅ sWtΒ öΝßγ ¯=yè ©9 tβρã�©.x‹ tGtƒ

“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran” (QS: Az-Zumar (39): 27).

2) Metode Kisah Qurani

Metode ini dilakukan dengan menyampaikan kisah-kisah yang ada pada Al-

Quran, kisah-kisah yang mampu memberikan pelajaran demi tercapainya tujuan

pendidikan. Firman Allah:

ô‰s)s9 šχ% x. ’Îû öΝÎηÅÁ |Á s% ×οu�ö9 Ïã ’ Í<'ρT[{ É=≈t6 ø9 F{$# 3 $ tΒ tβ% x. $ZVƒ ωtn 2”u�tIø"ãƒ

Å6≈ s9 uρ t,ƒÏ‰óÁ s? “Ï% ©!$# t ÷t/ ϵ÷ƒ y‰tƒ Ÿ≅‹ÅÁ ø"s?uρ Èe≅à2 &ó x« “Y‰èδ uρ ZπuΗ÷q u‘uρ 5Θ öθ s)Ïj9

tβθ ãΖÏΒ ÷σム∩⊇⊇⊇∪

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS:Yūsuf (12): 111).

3) Metode Ibrah Mauizhah

Metode ini merupakan suatu cara yang dapat membuat situasi psikis seorang

siswa, mengetahui intisari perkara yang mempengaruhi perasaanya, yang diambil

dari pengalaman-pengalaman orang lain atau pengalaman hidupnya sendiri

Page 46: S pai 0800490_chapter2

61

sehingga sampai pada tahap perenungan, penghayatan, tafakur yang dapat

menumbuhkan amal perbuatan. Firman Allah:

(#ρç�É9 tF ôã$$ sù ’Í<'ρé' ¯≈ tƒ Ì�≈ |Áö/F{ $# ∩⊄∪

“...Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (QS:al-Ĥasyr (59): 2).

4) Metode Targib-Tarhib

Metode ini dilakukan sebagai cara untuk meyakinkan seseorang terhadap

kebenaran Allah melalui janji-Nya yang disertai dengan bujukan dan rayuan

untuk melakukan amal shaleh. Sedangkan metode Tarhib metode yang dilakukan

untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui ancaman dengan

siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau tidak

melaksanakan perintah Allah.

5) Metode Tajribi (Latihan Pengalaman)

Metode tajribi atau latihan pengalaman dilakukan sebagai latihan penerapan

secara terus menerus, sehingga siswa terbiasa melakukan sesuatu sepangjang

hidupnya. Metode ini difokuskan pada pembiasaa atau habit, bukan sekedar

latihan simulasi melainkan terjun langsung membiasakan melakukan sesuatu.

6) Metode Uswah Hasanah

Metode uswaĥ ĥasanah atau yang sering disebut juga metode keteladanan

dianggap sebagai salah satu metode yang sangat besar pengaruhnya terhadap

keberhasilan proses pembelajaran. Metode uswaĥ ĥasanah merupakan suatu

metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para

peserta didik, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Firman Allah:

Page 47: S pai 0800490_chapter2

62

ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×π uΖ|¡ym yϑÏj9 tβ% x. (#θ ã_ ö� tƒ ©!$# tΠ öθ u‹ ø9 $#uρ t� ÅzFψ$#

t� x.sŒ uρ ©!$# # Z�� ÏVx. ∩⊄⊇∪

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS:Al-Ahzāb (33): 21).

Page 48: S pai 0800490_chapter2

63

7) Metode Hiwar Qurani

Metode hiwar qurani merupakan metode dialog yang mengikuti gaya dialog al-

Quran dan sunah Nabi, suatu percakapan atau pembicaraan silih berganti antara

dua belah pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab, membahas suatu

topik yang berikatan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Sejalan dengan beberapa metode yang telah dipaparkan di atas, Asyafah dalam

artikelnya yang berjudul Mendidik Karakter dengan Pengalaman dan

Pembiasaan menekankan pada metode pengamalan dan pembiasaan. Asyafah

(2011: 354) menyatakan bahwa “kebiasaan-kebiasaan merupakan rangkaian dari

perbuatan atau pengamalan-pengamalan (acting/doing).”

Asyafah (2011: 354) juga menyatakan bahwa “untuk membangun karakter

diperlukan waktu yang lama dengan pembiasaan-pembiasaan yang sistematis dan

berkelanjutan.” Hal ini sejalan dengan pepatah yang menyatakan:

Taburlah gagasan, tuailah perbuatan Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan Taburlah kebiasaan, tuailah karakter Taburlah karakter, tuailah nasib

Lebih jelas lagi Asyafah (2011: 354) menggambarkan bahwa:

Perbuatan atau pengamalan pada mulanya dipengaruhi oleh pikiran, akal, dan pertimbangan yang matang. Pikiran dipengaruhi oleh informasi yang diterima melalui panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan, perabaan, dan penciuman). Dalam ajaran agama (Islam), perbuatan manusia itu jangan hanya didasarkan atas pertimbangan akal saja, tetapi hendaknya juga didasari oleh keyakinan atau diyakini kebenaran-kebaikannya oleh fu’ad-qolbu (hati) karena fu’ad itulah yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah (QS. Al-Isrā’ (17): 36).

Page 49: S pai 0800490_chapter2

64

B. Pendidikan Karakter Menurut Islam

1. Pandangan Islam tentang Pendidikan Karakter

Menurut Koesoema (2007: 9) “secara historis pendidikan karakter merupakan

misi utama para nabi”. Pernyataan tersebut sejalan dengan hadiś yang menyatakan

bahwa Muhammad sebagai Rasulullah sedari awal diutus untuk menyempurnakan

akhlak (karakter). Sebagaimana sebuah hadiś dibawah ini:

�ت � � م ��رم ا���ق إ�� � �رد و���� � م و)'رھمأ�ر$# ��ري ! ا�دب ا� “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk

menyempurnakan akhlak yang mulia”. (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Hakim dll)3

Terkait hal tersebut Q-Anees dan Hambali (2009: 100) menyatakan “manifesto

Muhammad sebagai Rasulullah mengindikasikan bahwa pembentukan karakter

merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat

menciptakan peradaban”.

Islam hadir sebagai jalan untuk menyempurnakan akhlak. Al-Quran yang

menjadi bahan ajar nya dan Nabi adalah pendidiknya. Islam turun di Mekkah di

Arab yang terkenal saat itu kejahiliaanya atau kebodohannya. Akan tetapi dengan

hadirnya Islam melalui Nabi Muhammad karakter tersebut berubah menjadi

karakter yang sempurna dan baik sesuai dengan fitrah manusia yang pada

dasarnya telah membawa potensi kebaikan.

Di dalam buku yang berjudul Pendidikan Humanistik karya Baharuddin dan

Makin (2007: 38) dituliskan bahwa salah satu dimensi kemanusian yang penting

dikaji dalam hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Menurutnya

3 Teks dan terjemahan hadiś dikutip dari artikel Menyucikan Jiwa, Membersihkan Qalbu Asifudin:2010

Page 50: S pai 0800490_chapter2

65

“kata fitrah juga berasal dari khalaqa yang merupakan bagian luar dari khuluk

yang berarti potensi psikologis. Potensi psikologis ini berupa keterampilan

menaggapi (sam’un), kemampuan gagasan (abshar) dan sikap hati (af’idah)”.

Langgulung (2003: 214) mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal ini

didasarkan pada analisis sebuah hadiś :

semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi orang Yahudi, nasrani atau Majusi (HR: Abu Ya’la, AL-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin sari’).

Maka penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki

potensi dan fitrah yang sama. Akan tetapi proses pendidikan dan proses hiduplah

yang akan mengarahkan fitrah tersebut dalam membentuk karakter seseorang.

Manusia sebagai pendidik dan yang didik menjadi sentral utama yang sangat

ramai untuk dibahas. Oleh karena itu ketika berbicara tentang konsep pendidikan

Islam maupun tentang konsep pendidikan karakter dalam padangan Islam, hal

yang terpenting untuk dibahas adalah tentang konsep manusia menurut Islam.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Langgulung (2003: 214)

menyatakan manusia memiliki fitrah dan fitrah tersebut berupa potensi-potensi

yang baik. Sejalan dengan pendapat Langgulung, Tafsir (2010: 35) juga

menyatakan bahwa “manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan;

kemampuan tersebut berupa fitrah yakni potensi. Menurutnya potensi merupakan

kemampuan dengan kata lain ia menyimpulkan bahwa fitrah berupa pembawaan.”

Page 51: S pai 0800490_chapter2

66

Tafsir (2010: 36) menjelaskan bahwa manusia memiliki beberapa aspek yang

perlu diperhatikan berkenaan dengan pendidikan; aspek jasmani, aspek akal dan

aspek ketiga ialah potensi rohani.

Berkenaan dengan aspek jasmani banyak firman Allah yang menerangkan hal

tersebut, diantaranya:

Æ6tGö/$#uρ !$ yϑ‹ Ïù š�9 t?#u ª!$# u‘# ¤$!$# nοt� ÅzFψ$# ( Ÿωuρ š[Ψs? y7 t7ŠÅÁ tΡ š∅ÏΒ $u‹ ÷Ρ‘‰9 $# ( ...

dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi... (Al-Qaşaş (28): 77).

Ayat Al-Quran yang berkenaan dengan aspek akal juga tidak kalah banyaknya,

Nasution (Tafsir, 2010: 38) menerangkan ada tujuh kata yang digunakan dalam

Al-Quran untuk menunjuk akal, pertama kata nażara seperti dalam surat surat Qāf

(50) ayat 6-7; kedua kata tadabbara seperti dalam surat Şād (38) ayat 29, surat

Muhammad (47) ayat 24; ketiga kata tafakkara seperti dalam surat an-Nahl (16)

ayat 68-69 dan surat al-Jāśiyah (45) ayat 12-13; keempat kata faqiha dalam Al-

Isrā’ (17) ayat 44, al-An’ām (6) ayat 97-98, surat at-Taubah (9) ayat 122, kelima

kata tākkara seperti dalam surat an-Nahl (16) ayat 17, az-Zūmar (39) ayat 9, aż-

Żāriyāt (51) ayat 47-49, az-Zūmar (39) ayat 27; keenam kata fahima seperti dalam

surat al-Anbiyā (21) ayat 78-79; dan ketujuh kata ‘aqala seperti dalam surat al-

Anfāl (8) ayat 22 dan surat an-Nahl (16) ayat 11-12.

Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang potensi rohani manusia antara lain

terdapat pada surat al-Hijr ayat 29:

#sŒ Î* sù … çµçF ÷ƒ §θy™ àM ÷‚ x"tΡuρ ϵŠÏù ÏΒ Çrρ•‘ (#θ ãès)sù …çµ s9 tωÉf≈ y™ ∩⊄∪

Page 52: S pai 0800490_chapter2

67

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup

kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud (QS: al-Hijr (15): 29).

Melihat betapa manusia memiliki potensi yang begitu luar biasa dengan

berbagai aspek yang ia miliki, maka Tafsir (2010: 46) merangkum ciri-ciri

manusia sempurna menurut Islam yakni; jasmani yang sehat serta kuat dan

keterampilan; akal yang cerdas serta pandai; Rohani yang berkualitas tinggi penuh

iman kepada Allah.

Rumusan ciri-ciri manusia sempurna tersebut sejalan dengan pendidikan

karakter, maka pendidikan karakter menjadi perlu untuk membentuk manusia

sempurna, Pendidikan karakter menjadi dibutuhkan untuk membangun

kepribadian manusia sesuai dengan fitrah yang telah Allah berikan.

Menurut Bamualim (2010) bahwasanya akhlak memiliki beberapa keutamaan,

diantaranya sebagai berikut:

a. Akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan di hari

kiamat.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW dari Abi Hurairah dari Abu Darda

radiallāhu ‘anhu:

�ان ا����� ��م ا������ �� �أن ا�12� 0)/ هللا ,)�+ و()' &�ل ��$�ء أ!� � �� =)> 6;� وإن هللا ��891 ا56�7� ا41�يء

Bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam

timbangan seorang Mu’min pada hari kiamat yang melebihi timbangan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah benci kepada sesuatu yang keji dan ucapan-

Page 53: S pai 0800490_chapter2

68

ucapan yang jelek” [HR Tirmidzi, Maktabah Syamilah v1.0 7/284 no. 1925 dalam Mubarak Bamualim] *)4.

b. Akhlak yang mulia adalah salah satu penyebab yang sangat banyak

memasukkan seorang hamba ke surga.

Hal ini berdasarkan pada hadiś Abū Hurairah radiallāhu ‘anhu, dia berkata:

,)�+ و()' ,� أB��� CDE= ا�2�س ا�@2� (? ر(�ل 0)/ هللا هللا

و6;� اF�)> : ���ل H��ى هللا

Nabi SAW pernah ditanya tentang apakah yang banyak memasukkan seseorang ke surga? Nabi menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”*).

c. Akhlak yang mulia adalah penyempurna iman seseorang.

Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abu Hurairah,

ia berkata:

2��� إJ���� أ6 ,)�+ و()' أE� ا��� 0)/ هللا ;L2' &�ل ر(�ل هللا��(= 'LM �;2� 'E�ر�= 'Eو=��ر ��(=

Rasulullah SAWbersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna

imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada isterinya” [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 4/390 no. 1082 dalam Mubarak Bamualim]*).

d. Akhlak yang mulia dapat mengangkat derajat seseorang sama dengan

orang yang senantiasa berpuasa dan sholat di malam hari.

Hal ini berdasarkan hadiś Aiysah radhiallahu anha, ia berkata:

�� �B�رك ,)�+ و()' ���ل إن ا��� 0)/ هللا (OP� ر(�ل هللا 'M���ا 'M� Qا� �Rدر +�(= �;TU

4 *) Teks Hadiś dan terjemahan dikutip dari Ringkasan Transkrip Audio Minhajul Anbiya fi

Tazkiyaun Nufus Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim)

Page 54: S pai 0800490_chapter2

69

Aku mendengar Rasulullah SAWbersabda: “Sesungguhnya seorang Mu’min benar-benar dengan akhlaknya yang mulia akan bisa mencapai derajat orang yang banyak berpuasa dan yang banyak shalat di malam hari [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/420 no. 4165 dalam Mubarak Bamualim]*).

e. Orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia Nabi SAW. memberikan

jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi dengan akahlaknya

yang mulia.

Hal ini berdasarkan hadiś Nabi SAW dari Abu Umamah Al-Bahiliyyah

radhiallahu anhu, dia berkata:

O�1U '�,ز �Jو()' أ +�(, 0)/ هللا � ر8U ا�@CH ��� �2ك &�ل ر(�ل هللا�� و(] ا�@CH ��� �2ك ا4Z�ب وإن �Eن ��ز�6 � O�1Uو ��T� ن�E اء وإنC��ا

+�(= � � أ,)/ ا�@2� ��� 6;� O�1Uو

Rasulullah SAWbersabda: “Saya sebagai pemberi jaminan sebuah rumah di syurga yang bawa bagi orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dia hanya bercanda. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi mereka yang mulia akhlaknya. [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/422 no. 4167 dalam Mubarak Bamualim]*)

f. Orang-orang yang berakhlak mulia mereka adalah orang-orang yang

paling dekat tempat tinggalnya dengan Nabi SAW. pada hari kiamat

nanti di surga kelak.

Sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW. dari hadiś Jabir bin Abdillah

radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah SAWbersabda:

$-(� 'وم ا�+'� * أ��(��م .�� �م إ�.� وأ/ر�م �أ��/� وإن� إن� ن أ�/ون ر��رون وا� 1�د� $-(� 'وم ا�+'� * ا��� . �� أ23�م إ�.� واد�م

� /ون ! ر��رون وا� 1�د� /د 4- �� ا��� �'7+ون /��وا '�ر(ول �5� وا� +7'�� رون وا� ��� ون /�ل ا�

Page 55: S pai 0800490_chapter2

70

Sesungguhnya orang yang paling kucintai diantara kamu sekalian dan orang yang paling dekat tempat duduknya dengan tempatku di hari kiamat yaitu orang-orang yang paling baik budi pekertinya di antara kamu sekalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kamu sekalian dan orang yang paling jauh tempat duduknya di hari kiamat yaituats-tsarnaruuna, al-mutasyaddiquuna (orang yang paling banyak berbicara). Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Kami telah mengetahui makna ats-tsarnaruuna[Yakni orang-orang yang katsirul kalam takallufan – banyak berbicara walaupun tidak ada kepentingan (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] dan al-mutasyaddiquuna[Yaitu orang yang kadang-kadang berbicara tentang seseorang apa-apa yang tidak ada pada orang itu, melampaui batas kepada seseorang dengan pembicaraannya dan membuat-buat mulutnya ketika berbicara agar orang tertarik dengan pembicaraannya dan seterusnya (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] lalu apakah al-mutafaihikun?” Nabi SAWmenjawab: “Yaitu orang-orang yang takabur [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 7/309 no. 1941 dalam Mubarak Bamualim]*).

Terkait dengan beberapa hadiś di atas. maka peneliti berkesimpulan bahwa

pembentukan karakter yang baik menjadi perhatian utama dalam Islam. Karena

pada dasarnya tugas manusia di dunia adalah menjadi hamba dan khalifah yang

berkarakter atau berakhlak.

Sejalan dengan hal tersebut, penyair besar Syauqi pernah menulis:

Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini. ( Abdulloh Husaeri dalam Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, Surabaya: Ahmad Nabhan, tt, Juz II, h. 2)

Syair tersebut menunjukkan bahwa akhlak dapat dijadikan tolok ukur tinggi

rendahnya suatu bangsa. Keutamaan bagi bangsanya jika umat bangsa tersebut

mempunyai akhlak yang baik.

Page 56: S pai 0800490_chapter2

71

2. Pendidikan Karakter sebagai Tugas Kenabian

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan karakter

merupakan tugas yang diemban oleh para Nabi. Pendidikan karakter untuk

mensucikan jiwa, mengajarkan kitab dan hikmah. Allah berfirman:

uθ èδ “Ï%©!$# y]yèt/ ’ Îû z↵ Íh‹ÏiΒ W{ $# Zωθ ß™u‘ öΝåκ÷]ÏiΒ (#θ è=÷F tƒ öΝÍκö� n=tã ϵÏG≈ tƒ#u öΝÍκ� Ïj.t“ ムuρ ãΝßγ ßϑÏk=yè ムuρ

|=≈tGÅ3ø9 $# sπyϑõ3Ïtø: $#uρ βÎ)uρ (#θçΡ% x. ÏΒ ã≅ö6 s% ’ Å∀s9 9≅≈n=|Ê &Î7 •Β ∩⊄∪

“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul

di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS: Al-Jumu’ah (62) : 2).

Terkait dengan pernyataan di atas, Nabi Ibrahim berdo’a memohon agar

diutusnya seorang Nabi untuk membimbing umatnya. Sebagaimana terdapat pada

ayat dibawah ini:

$ uΖ−/u‘ ô]yè ö/$#uρ öΝÎγ‹Ïù Zωθß™u‘ öΝåκ÷]ÏiΒ (#θ è=÷Gtƒ öΝÍκö� n=tæ y7 ÏG≈ tƒ#u ÞΟ ßγ ßϑÏk=yè ムuρ |=≈ tGÅ3ø9 $#

sπ yϑõ3Ïtø: $#uρ öΝÍκ� Ïj.t“ ムuρ 4 y7 ¨ΡÎ) |MΡr& Ⓝ Í•yè ø9 $# ÞΟŠÅ3ys ø9 $# ∩⊇⊄∪

Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan

mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS: Al-Baqarah (2): 129).

Sejalan dengan ayat di atas, hal tersebut juga terdapat pada ayat dibawah ini:

Page 57: S pai 0800490_chapter2

72

ô‰s)s9 £ tΒ ª!$# ’n? tã tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# øŒ Î) y]yèt/ öΝÍκ� Ïù Zωθ ß™u‘ ôÏiΒ ôΜÎγ Å¡ à"Ρr& (#θ è=÷Gtƒ öΝÍκö� n=tæ

ϵÏG≈ tƒ#u öΝÍκ�Åe2t“ ムuρ ãΝßγ ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tGÅ3ø9 $# sπyϑò6 Ïtø: $#uρ βÎ)uρ (#θ çΡ% x. ÏΒ ã≅ ö6 s% ’ Å∀s9

9≅≈n=|Ê AÎ7 •Β ∩⊇∉⊆∪

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang

beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS: Āli-Imrān (3): 164).

Allah SWT. Juga berfirman pada surat Al-Baqarah (2) ayat 151:

!$ yϑx. $ uΖù=y™ö‘r& öΝà6‹Ïù Zωθ ß™u‘ öΝà6ΖÏiΒ (#θ è=÷Gtƒ öΝä3ø‹ n=tæ $ oΨÏG≈ tƒ#u öΝà6ŠÏj.t“ ムuρ

ãΝà6 ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tGÅ3ø9 $# sπ yϑò6 Ïtø: $#uρ Νä3ßϑÏk=yè ムuρ $ ¨Β öΝs9 (#θ çΡθ ä3s? tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊇∈⊇∪

Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)

Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS: Al--Baqarah (2): 151).

3. Nabi Sebagai Model Pendidik Karakter

Dalam konteks pendidikan Islam ‘pendidik’ sering disebut “murabbi, mu’allim,

mu’addib, mudarris, dan mursyid” (Suyanto, 2008: 87). Pendidik juga berarti

‘orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta

didiknya dalam perkembangan jasmanui dan rohaninya, agar mencapai tingkat

kedewasaannya, mampu mandiri dalam emmnuhi tugas sebagai hamba dan

khalifah Allah’.

Page 58: S pai 0800490_chapter2

73

Sebagaimana yang telah dipaparkan pada sub judul sebelumnya bahwa

pendidikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan para peserta didik, dan pendidik

merupakan salah satu orang yang berinteraksi langsung di dalam lingkungan

proses pendidikan. Pendidik sebagai bapak rohani (spiritual father).

Muhaimin sebagaimana yang dikutip oleh Suyanto (2008: 92) mengemukakan

tugas-tugas pendidik. Yang dirumuskan seperti pada tabel berikut:

Tabel 1: Karakteristik dan Tugas-Tugas Pendidikan N

o

Pendidik Karakteristik dan Tugas

1 Ustadz Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat

pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses

dan hasil kerja serta sikap continuous improvement.

2 Mu’allim Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkan serta

menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi

teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan trasfer ilmu

pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amalia).

3 Murabbi Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar

mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil

kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,

masyarakat, dan alam sekitarnya.

4 Mursyid Orang yang mampu menajdi model atau sentral indetifikasi dari

atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta

didiknya.

5 Mudarris Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta

Page 59: S pai 0800490_chapter2

74

memperbarui pengetahuan dengan keahliannya secara

berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,

memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan

sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

6 Mu’addib Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk

bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang

berkualitas di masa depan.

Sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi Muhammad sebagai Nabi

terakhir di utus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan cara

mensucikan jiwa, mengajarkan kitab dan hikmat. Nabi Muhammad sebagai

pendidik umat Islam sudah selayaknya menjadi model dalam proses pendidikan

terutama pendidikan karakter karena beliau sendiri yang mengatakan bahwa ‘saya

diutus untuk menyempurnakan akhlak’. Sabda beliau tersebut mengindikasikan

bahwa beliau adalah pendidik akhlak atau pendidik karakter.

Kurniasih (2010: 90) menjelaskan bahwasanya paling tidak ada dua hal penting

yang sangat menonjol yang telah mengantarkan kesuksesan besar Rasulullah di

dalam mendidik.

a. Keteladanan Al-Qudwah

Sebagaimana firman Allah:

ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×π uΖ|¡ym yϑÏj9 tβ% x. (#θ ã_ ö� tƒ ©!$# tΠ öθ u‹ ø9 $#uρ t� ÅzFψ$#

t� x.sŒ uρ ©!$# # Z�� ÏVx. ∩⊄⊇∪

Page 60: S pai 0800490_chapter2

75

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS: Al-Ahzāb (33): 21).

Sulitnya mencari sosok model yang sempurna membuat para pendidik

kebingungan. Akan tetapi tidak akan terjadi kebingungan tersebut jika pendidik

mempelajari dan meneladani Nabi Muhammad SAW. serta menjadikannya

sebagai model pendidik.

Aisyah ra. melukiskan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran,

sebagaimana pada hadiś berikut:

�Eن =)�+ اC��ان Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an *).

hal ini mengisyaratkan begitu sempurnanya akhlak beliau. Di dalam melakukan

proses pendidikan terhadap bangsa Arab Muhammad memperlihatkan akhlaknya

yang mulia. Allah berfirman:

y7 ¯ΡÎ)uρ 4’ n?yès9 @, è=äz 5ΟŠÏà tã ∩⊆∪

dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS: Al-Qalam (68): 4).

Menurut Kurniasih (2010: 91) keteladanan menjadi sarana paling efektif

sebagai cara Nabi Muhammad dalam menyampaikan pendidikan. Apapun yang

dikatakan beliau tentang kebajikan, kesederhanaan, ketabahan, kesabaran,

pemberian maaf, toleransi, keadilan, kejujuran, dan lain-lain, maka beliaulah

orang pertama yang melakukannya.

b. Nasehat yang baik

Page 61: S pai 0800490_chapter2

76

Menurut Kurniasih (2010: 92) semua pembicaraan atau mauiżah yang

disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. sarat dengan bobot keilmuan,

kemanusiaan, ataupun spiritualitas yang tinggi. Cerita, dialog, perumpamaan,

senda gurau, dna lainnya yang disampaikan atau diterapkan oleh beliau bukanlah

sekedar omong kosong.

Melalui nasehat yang baik, pesan-pesan yang disampaikan oleh Muhammad

SAW. memberikan bekas yang kuat di dalam hati. Output dari didikan

Muhammad terbukti banyak yang cerdas, tidak hanya secara intelektual, tetapi

juga secara moral, sosila, dan cerdas secara spiritual.

4. Para Filosof Muslim sebagai Pemikir Pendidikan Karakter

a. Ibn Miskawaih

Miskawaih seorang filosof dan ahli sejarah, ia lebih terkenal sebagai filosof

moralitas. Di dalam buku yang berjudul Para Filosof Muslim (Syarif, 1985: 86)

dijelaskan bahwa “bagian terpenting kegiatan filosofis Miskawaih ditujukan

pada etika”. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada dasarnya Miskawaih telah

membawa nilai-nilai karakter dalam filsafat moralnya.

Filsafat moral Miskawaih dimulai dengan risalah akhlak, tahdzibmal-akhlak dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Menurutnya ruh mempunyai tiga pembawaan: rasional, keberanian, hasrat dan tiga kebajikan yang saling berkaiatan: bijaksana, berani dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal tersebut maka diperoleh yang keampat yakni keadilan (Syarif, 1985: 90).

Ibn Miskawaih sebagaimaa yang dikutip pada buku Para Filosof Muslim

membagi kebijaksanaan menjadi tujuh, keberanian menjadi sebelas, dua belas

kesederhanaan dan sembilan belas keadilan (Syarif, 1985: 90-91), yakni sebagai

berikut:

Page 62: S pai 0800490_chapter2

77

1) Tujuh kebijaksanan terdiri dari: ketajaman intelegensi, kesigapan akal,

kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalma

membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali;

2) Sebelas keberanian terdiri dari: kemurah-hatian, kebersamaan,

ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan, keterarahan,

keberanianm kesabaran, kerendahatian, semangat dan kepengampunan;

3) Dua belas kesederhanaan: malu, ramah, benar, damai, menahan diri,

sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan

(yang dibagi lagi menjadi enam).

4) Sembilan belas keadilan: persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih

sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan terbuka,

ramah-tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan,

meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang

menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal

ketidakadilan dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang

jahat dan penipu.

Tujuan pendidikan karakter menurut Ibn Miskawaih adalah ‘terwujudnya sikap

batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan

yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh

kebahagiaan sejati’ (Ibn Miskawaih dalam kitab as-Sa’adat dalam Nata, 2003:

11).

Page 63: S pai 0800490_chapter2

78

Nata (2003: 12) menyimpulkan bahwa “tujuan yang ingin dicapai Ibn

Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni menccakup kebahagian hidup manusia

dalam arti seluas-luasnya”.

Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ibn Miskawaih juga menyebutkan

beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan dan diperaktekkan agar tercapai

tujuan yang telah dirumuskan. ‘Ada tiga hal pokok materi pendidikan karakter

yakni: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia (Salat, puasa dll), hal-hal

yang wajib bagi jiwa (pembahasan tentang aqidah yang benar, meng-esakan

Allah, motivasi untuk senang kepada ilmu, dan hal-hal yang wajib bagi

hubungannya dengan sesama manusia (ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dll’

(Nata, 2003: 12).

Untuk menyampaikan materi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Ibn

Miskawaih mengajukan beberapa metode, sebagaimana yang dikutip oleh Nata

(2003: 23) yakni:

pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-`adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengtahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.

b. Ibn Taimiyah

Dalam filsafat pendidikan Ibn Taimiyah ketauhidan menjadi asas dan dasar

dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Nata (2003: 141) “menurut Ibn

Taimiyah manusia dikarunia tabi’at atau kecenderungan mengesakan Tuhan.

Manusia diciptakan oleh Allah dan di dalam dirinya terdapat kecenderungan

Page 64: S pai 0800490_chapter2

79

beribadah hanya kepada Allah tanpa menyekutukannya, sebagaimana jasmani

yang membutuhkan makan dan minum”.

Sejalan dengan penjelasan di atas dapat terlihat dari rumusan tujuan pendidikan

yang diajukan oleh Ibn Taimiyah, pendidikan bertujuan untuk membuka hati

manusia, pendidikan diarahkan untuk membentuk pribadi muslim yang baik, yaitu

sebagai seorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan

kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintahkan Al-Quran

dan As-Sunnah. Pendidikan juga diarahkan pada terciptanya masyarakat yang

baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah.

Terkait dengan tujuan yang ingin dicapai maka metode pengajaran menurut

Ibnu Taimiyah ada dua, sebagaimana yang penulis rangkum dalam penjelasan

Nata (2003: 152-153). Kedua metode tersebut yaitu metode ‘ilmiyah dan metode

iradiyah. Hal ini didsarkan pada pemikirannya bahwa hati merupakan alat untuk

belajar. Hati memiliki dua daya; daya ‘ilmiyah atau daya berpikir dan daya

iradiyah atau kecenderungan untuk mengamalkan apa yang dipikirkan. Melalui

berpikir seseorang akan mengetahui, kemudiann melalui iradiyah akan tergerak

hati untuk menyesuaikan ilmu yang selanjutnya diperaktekkan dalam amal.

Puncak penggunaan kedua daya ini adalah dalam akal, karena menurut Ibn

Taimiyah akal merupakan sifat yang terdapat pada hati.

Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Filsafat

pendidikan Ibn Taimiyah yang berasaskan pada ketauhidan akan mampu

membentuk karakter para siswa. Ketauhidan akan membawa peserta didik yang

menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Page 65: S pai 0800490_chapter2

80

5. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam dalam

membentuk Karakter

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya

terdapat kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik)

dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan

tersebut, serta didukung dengan adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat

tinggal para santri (Mujib dan Mudzakkir, 2008: 234-235).

Arifin HM sebagaimana yang dikutip oleh Mujib dan Mudzakkir (2008: 235)

menjelaskan bahwa tujuan terbentuknya pesantren adalah sebagai berikut:

Tujuan umum terbentuknya pondok pesantren yaitu untuk membimbing anak didik untuk menjadi manusia berkepribadian Islam, yang dengan agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya; adapun tujuan khususnya, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.

Sistem pendidikan di pondok pesantren dianggap unik dan mempunyai

beberapa keunggulan, hal ini sejalan dengan Amien rais M sebagaimana yang

ditulis oleh Mujid dan Mudzakkir (2008: 235) yakni:

a. Pondok pesantren memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan

penuh dibandingkan dengan sekolah umum.

b. Semangat demokrasi yang begitu terasa, karena pondok pesatren

mengatasi masalah kurikuler mereka sendiri.

c. Sebagian pondok pesantren tidak mengeluarkan ijazah sehingga santri

dengan tulus hati menuntut ilmu karena Allah.

Page 66: S pai 0800490_chapter2

81

d. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,

persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.

Kehadirian pondok pesantren masih menjadi perbincangan hanagt oleh para

ahli, banyak peneliti yang berusaha menggali makna-makna positif dari

pendidikan di pondok pesatren walaupun tidak sedikit juga yang memberikan

kritikan terhadap sistemnya yang belum terencana dengan matang dan belum

terstruktur.

Mujid dan mudzakkir (2008: 236) menjelaskan bahwasanya pondok pesantren

seharusnya membutuhkan beberapa komponen kompleks yang mendukung

tercapainya tujuan pendidikan di pesantren, yakni;

planning pada kenyataanya masih banyak pondok pesantren yang belum memiliki rencana yang jelas dalam melaksanakan kebijaksanaan pendidikan dan pengajaran; organizing pondok pesantren yang ada tidak memiliki keseragaman struktur oragnisasi dan administrasi serta tidak mempunyai kesepakatan struktur kurikulum; staffing pelaksana pendidikan seperti kiai dan pengurus seharusnya diberikan up-grading, penataran, kursus-kursus dan pengkaderan yang terstruktur; coordinating; reporting; dan budgeting.

Penulis melihat pondok pesantren dituntut untuk membenahi diri, sehingga saat

ini banyak bermunculan pondok pesantren yang dulu dikenal salafiyah (kuno) kini

berubah menjadi khalafiyah (modern). Dan diakui atau tidak pada kenyataanya

sistem pendidikan unggulan yang berbasis Islamic full day school adalah sebagai

cerminan pondok pesantren modern.

Page 67: S pai 0800490_chapter2

82

C. Islamic Fullday School

1. Sejarah Islamic Full day school

Sebelum mengetahui sejarh munculnya Islamic Full day school, ada baiknya

jika kita mengatahui terlebih dahulu bagaimana sejarah mucunlnya full day school

secara umu.

Pada awalnya program Full day school lahir pada awal tahun 1980-an di

Amerika Serikat yang diterapkan untuk sekolah taman kanak-kanak, yang

akhirnya melebar ke jenjang sekolah dasar hingga menengah atas.

Menurut Sismanto (2008) dalam artikel yang berjudul Pesanteran VS Full day

school “awal mula jenis sekolah full day school yang dianggap unggul ini pertama

kali muncul pada pertengahan tahun 1990”. Dahulu sekolah-sekola seperti ini

dikenal dengan istilah excellent school. Sekolah yang menawarkan pendidikan

sehari penuh ini tiba-tiba saja tumbuh subur seperti ‘jamur sembagi’ di musim

hujan.

Pada awalanya full day school dirintis oleh swasta dan sekolah Islam swasta

dengan tarif biaya tinggi dengan menawarkan faslitas, elit, ekslusif dan guru-

gurunya diambil dari kalangan profesional. Sehingga tidak salah jika pada

awalanya sekolah dengan sistem full day school dianggap sebagai sekolah untuk

kalangan atas yang borjuis dan berduit.

Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang

nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga

perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat

Page 68: S pai 0800490_chapter2

83

kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan

kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.

Konsep full day school itu sendiri menurut Basuki (2011) “semula berangkat

dari sebuah kebutuhan masyarakat (katakanlah masyarakat perkotaan) yang

memiliki tingkat mobilitas yang sangat tinggi”.

Orang tua meninggalkan rumah untuk bekerja pukul 6 pagi dan kembali ke

rumah menjelang malam hari. Para orang tua bekerja selama 5 hari per minggu

dan mereka libur (weekend) pada hari sabtu dan minggu. Sementara anak-anak

berangkat sekolah pukul 6.30 pagi dan pulang pukul 13.00 siang. Mereka sekolah

6 hari dalam seminggu yaitu senin-sabtu.

2. Pengertian Islamic Full day school

Program full day school yang dimaksud adalah program sekolah di mana

proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah. Dengan kebijakan

seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di

lingkungan sekolah dari pada di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi

setelah menjelang sore. Anak berada di sekolah dari pukul 08.00 – 15.00 WIB.

Bahkan, terkadang anak berada di sekolah sampai pukul 16.00 WIB karena

menunggu dijemput oleh orang tuanya.

Menurut Sismanto (2007) dalam artikelnya yang berjudul Menakar

Kapitalisasi Full day school, Islamic full day school merupakan model sekolah

umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan

memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa.

Page 69: S pai 0800490_chapter2

84

Masih menurut Sismanto (2007) bahwa usaha pengembangan sekolah model

Full day school penting dilakukan, dengan syarat tidak meninggalkan aspek-aspek

peningkatan mutu pendidikan. Menurut ada beberapa aspek yang perlu dijaga

yakni:

a. Pembinaan prestasi akademik harus selalu ditingkatkan dengan

memberikan jadwal remedial secara kolektif atau secara individu bagi

anak-anak yang kurang mampu dalam mengikuti pelajaran di kelas,

sehingga anak benar-benar sangat menguasai pelajaran;

b. Pembinaan prestasi non akademik melalui berbagai kegiatan ekstra

kurikuler harus terus ditingkatkan. Seluruh potensi siswa sebisa mungkin

dapat digali dan disalurkan serta diasah sehingga kelak setiap siswa dapat

mempunyai bidang ketrampilan (bekal hidup) yang ditekuni secara

profesional sesuai minat dan bakatnya;

c. Peningkatan mutu dan kualitas tenaga pengajar, sarana prasarana belajar

Termasuk perpustakaan dan laboratorium serta sumber-sumber belajar

lainnya;

d. Memberikan teladan dalam melaksakan school culture sehingga siswa

memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan keyakinan

agamanya; dan

e. Menjalin kerjasama antara sekolah dan masyarakat dalam meningkatkan

mutu sekolah.

Page 70: S pai 0800490_chapter2

85

3. Pro dan Kontra Full day school

Banyak pro dan kotra berkenaan dengan adanya sekolah yang berbasis full day

school, tidak sedikit yang berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya model

sekolah yang berbasis full day school hanya diperuntukkan untuk kelangan

borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai

kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem

subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari

‘ image’ di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal,

sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat

masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.

Terlepas dari kontra tersebut, pada dasarnya sesuai dengan UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa

“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan

yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa

diskriminasi”.

Terkait hal tersebut maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk memberikan

pelayanan dan memudahkan masyarakat untuk memperoleh sekolah yang

bermutu. Akan tetapi memang ada beberapa kalangan masyarakat yang memilih

full day school untuk pendidikan anaknya justeru bukan karena menganggap

sekolah biasa tidak unggul tetapi karena kesibukan dan lain hal sehingga mereka

memilih menyekolahkan anaknya di full day school.

Page 71: S pai 0800490_chapter2

86

Anjaryati (2009) seorang mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta menuliskan pada artikelnya bahwa ada beberapa alasan orang tua

memasukkan anaknya ke Sekolah berbasis Full day school, yakni:

a. Kesibukan orang tua yang keduanya bekerja di luar sehingga

membutuhkan sekolah yang homey dan penuh kasih sayang. Tinggal

disekolah dengan berbagai kegiatan positif tapi juga seimbang dengan

istirahat untuk anak seusianya menurut mereka lebih baik dibanding

dengan meninggalkan anak di rumah tanpa pengawasan yang tepat

apalagi dengan majunya teknologi seperti sekarang (komputer, TV, dan

playstation)

b. Orang tua mencari sekolah yang student center bukan teacher center,

sehingga anak diberikan kebebasan untuk bereksplorasi, dan anak

menjadi lebih kreatif.

c. Orang tua mencari sekolah yang mau melatih/menstimulasi anak step by

step untuk menstimulasi anak secara keseluruhan baik motorik (kasar

dan halus) maupun life skill, jadi tidak by pass ke akademik atau

sekarang dikenal dengan calistung karena sebelum sampai ke tahap

tersebut semua aspek motorik kasar dan halusnya harus matang terlebih

dahulu.

d. Orang tua percaya bahwa full day school mempunyai manajemen waktu

yang baik, lebih baik dari pada sekolah yang hanya beberapa jam tetapi

hanya diisi dengan mengerjakan tugas, LKS dan teacher center karena

nature anak dibawah umur 7 tahun yang masih perlu bergerak,

Page 72: S pai 0800490_chapter2

87

bersosialisasi dan stimulasi yang menyeluruh tidak hanya untuk urusan

akademik (hard skill) tapi juga soft skill yang ada anak lebih tertekan

dan stres (walaupun hanya 2-3 jam). Manajemen waktu yang baik disini

tentu harus yang tepat juga untuk anak usia dini, dimana antara kegiatan

dan istirahat dan disiplin waktu harus seimbang sebab orangtua percaya

kebiasaan baik tumbuh dari proses yang baik pula.

e. Orang tua percaya bahwa melatih anak untuk mempunyai/

menumbuhkan motivasi belajar lebih baik daripada memaksa anak

untuk belajar dan ini hanya bisa dicapai dari proses dan lingkungan yang

kondusif dan fun bagi anak.

f. Orang tua mencari sekolah yang mempunyai action plan yang jelas

untuk anak-anak yang mungkin “tertinggal” dari anak seusianya atau

bahkan lebih “advanced” untuk anak seusianya. Sebab anak adalah unik

dan merupakan individu yang berbeda ada yang lambat ada yang

advance jangan sampai semua anak dipaksa untuk memiliki keahlian

dan kemajuan yang sama.

g. Orang tua tidak ingin memaksakan visi mereka kepada anak, yang

dilakukan orang tua hanya memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh anak

tahap demi tahap agar anak “siap” dan “matang” menjadi apa saja yang

diinginkan di masa depan.

Page 73: S pai 0800490_chapter2

88

4. Contoh Islamic Full day school

Saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang menerapkan sistem islamic full

day school walaupun masih didominasi oleh sekolah yang terkenal dengan

biayanya yang mahal.

a. Salman Al-Farisi

Salman Al Farisi maerupakan sekolah dengan konsep full day school yang

mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi dengan menekankan 4

pokok kekhasan, yaitu: leadership, penerapan nilai-nilai keislaman, bahasa asing

dan teknologi informatika dan komunikasi.

Ritme kehidupan anak disekolah yang dimulai dari pukul 07.30 sampai pukul

16.00 WIB.

b. Ibnu Sina

Ibnu Sina adalah salah satu sekola full day yang mempunyai Visi ‘Menjadi

Sekolah Dasar Islam unggulan yang menghasilkan peserta didik yang

berpengetahuan luas, berkepribadian kuat, dan berperadaban Islam.’

SD Ibnu Sina memiliki Misi sebagai berikut:

1) Menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar yang mengintegrasikan

nilai-nilai Islam dalam proses kegiatan belajar-mengajar.

2) Mengembangkan sistem pendidikan yang berorientasi pada siswa agar

lebih kreatif, inovatif, dan mampu bereksplorasi dalam bingkai kaidah

Islam.

Page 74: S pai 0800490_chapter2

89

3) Mendidik siswa untuk senantiasa menjaga kelurusan kaidah dan fikrah,

ketaatan ibadah serta memiliki perilaku Islami dalam berinteraksi dengan

lingkungan sosialnya.

4) Membimbing siswa berakhlak Islam melalui keteladanan perilaku dari para

pendidika yang istiqomah, berdisiplin tinggi, dan mampu menjadi figur

panutan.

5) Membentuk siswa agar memiliki keunggulan kompetitif pada aspek

keberanian bertindan, kemandirian bersikap, dan pencapaian prestasi

akademik yang unggul.

D. Penelitian Terdahulu

1. Konsep Pendidikan Akhlak (Studi Komparasi pada Pemikiran Ibn

Miskawaih dan Ki Hadjar Dewantara)

Skripsi ini ditulis oleh Abd. Qadir Muslim. Dalam penelitiannya ia

membandingkan konsep pendidikan akhlak Ibn Miskawaih dan Ki Hajar

Dewantara.

Hasil penelitian Abd. Qadir Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut:

Ibn Miskawaih dan Ki Hadjar Dewantara memiliki persamaan dan perbedaan

dalam memandang pendidikan akhlak. Tetapi, secara umum keduanya sepaham

dalam memahami pendidikan akhlak.

Persamaannya mengenai hakikat dan tujuan pendidikan akhlak (keduanya

pendidikan akhlak sebagai proses pengembangan jiwa dan penanaman nilai dalam

diri siswa supaya memiliki akhlak mulia, metode pembelajaran pendidikan akhlak

(sama-sama menerapkan pembiasaan-pembiasaan), materi pendidikan akhlak

Page 75: S pai 0800490_chapter2

90

(mengamini syariat sebagai materi) dan pusat pendidikan akhlak (mereka sepakat

menggunakan lingkungan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak).

Sedangkan perbedaan antara Ibn Miskawaih dan Ki Hadjar terletak pada

kompetensi guru. Ibn Miskawaih memiliki kriteria-kriteria khusus bagi guru

pendidikan akhlak, seperti pandai dan dicintai oleh muridnya. Berbeda dengan Ki

Hadjar Dewantara, beliau menyarankan agar semua guru mengajarkan pendidikan

akhlak kendatipun tidak pandai.

Secara spesifik penelitian ini hanya membandingkan dan mendeskripsikan

pemikiran Ibn Miskawaih dan Ki Hajar Dewantara. Penelitian ini melalui

pendekatan studi literatur jadi hanya berkutat pada buku-buku yang di karang

oleh Ibn Miskawaih dan Ki Hajar Dewantara. Penelitian ini pada dasarnya kurang

relevan dengan penelitian yang saat ini peneliti laporkan karena jenis

penelitiannya studi literatur sedangkan jenis penelitian peneliti adalah studi kasus

yakni meneiti pada salah satu sekolah. Akan tetapi penelitian ini cukup membantu

peneliti dalam memberikan teori berkenaan pendidikan karakter menurut Ibn

Miskawaih.

2. Pendidikan Karakter (Studi Perbandingan Antara Konsep Doni

Koesoema Dan Ibn Miskawaih)

Tesis ini ditulis oleh Heni zuhriyah. Dalam penelitiannya ia membandingkan

konsep pendidikan karakter Doni Koesoema dan Ibn Miskawaih. Dalam

Penelitiannya ia menyimpulkan:

Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema merupakan sebuah struktur

antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri manusia secara

Page 76: S pai 0800490_chapter2

91

terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang

berkeutamaan. Yakni dengan mengaktualisasikan nilai-nilai keutamaan seperti

keuletan, tanggung jawab, kemurahan hati, dan lain-lain. Hal ini karena Doni

Koesoema menganggap bahwa jiwa manusia bisa dirubah dengan pendidikan, dan

ini bisa dilakukan disekolah. Ia menggagas lima metode pendidikan karakter

yakni mengajarkan pengetahuan tentang nilai, memberikan keteladanan

menentukan prioritas, praksis prioritas dan refleksi. Semua metode tersebut

dilaksanakan dalam setiap momen disekolah, yang kemudian diaktualisasikan ke

masyarakat supaya bisa mengotrolnya dan juga ikut mempraktekkan.

Sedangkan pendidikan karakter atau akhlak bagi Ibn Miskawaih merupakan

sebuah struktur teologis untuk melakukan keutamaan dengan tanpa berfikir dan

pertimbangan, dan untuk itu diperlukan pembiasaan dan latihan dengan cara

diberikan pendidikan. Ia berpedoman bahwa jiwa bisa dirubah supaya terbentuk

karakter atau akhlak tertentu, untuk itu metode Thoriqun Thob`iyyun, yakni

metode mendidik akhlak dengan disesuaikan pada perkembangan lahir-batin

(psycho-phisiologis) anak, perlu diterapkan. Ibn Miskawaih mengatakan

pendidikan karakter itu bertujuan untuk mengamalkan nilai keutamaan hikmah,

syaja`ah, iffah dan `adalah. Dan dalam mengaktualisasikannya perlu orang lain

atau masyarakat untuk mencapai kebahagiaan bersama.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa perbedaan antara Doni Koesoema dan

Ibn Miskawaih terletak pada penekanan pelaksanaan pendidikan karakter, Doni

Koesoma menekankan untuk diterapkan disekolah atau lembaga formal(sekolah)

sedangkan Ibn Miskawaih lebih ditekankan dalam keluarga atau lingkungan

Page 77: S pai 0800490_chapter2

92

rumah. Perbedaan penekanan ini berpengaruh pada metode yang digagas

keduanya. Peran masyarakat bagi Doni Koesoema adalah sebagai kontrol

pendidikan karakter sekaligus ikut mengaktualisasikanya, sedangkan bagi Ibn

Miskawaih pendidikan akhlak harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam

masyarakat.

Persamaan dari keduanya adalah bahwa pendidikan karakter itu untuk

menghasilkan manusia yang mempunyai keutamaan dan hal ini harus bersama-

sama dengan masyarakat untuk mengaktualisasikan.

Pada tesis ini Heni Zuhriyah, membandingkan konsep pendidikan karakter

Doni Koesoema dan Ibn Miskawaih, tidak berbeda dengan penelitian Abd. Qadir

Muslim, Heni Zuhriyah juga menggunakan jenis penelitian studi literatur.

Sedangkan pada penelitian yang saat ini peneliti laporkan adalah penelitian yang

berkaitan dengan model pendidikan karakter yang yang diterapkan pada sekolah

yang berbasis full day school.

3. Pelaksanaan Sistem Pembelajaran Islamic Full day school Bidang Studi

Matematika di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al Madinah Sukoharjo

Skripsi ini ditulis oleh Hindun Hatsmah Kandari, dalam penelitian ini ia

menguraikan pelaksanaan sistem pembelajaran bidang studi matematika di

Islamic Full day school. Berangkat dari identifikasi masalah bahwa bidang studi

matematika kurang memenuhi standar. Menurutnya Islamic Full day school

sebagai sekolah yang katanya unggulan akan dapat memberikan suatu

pelaksanaan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah pada umumnya.

Page 78: S pai 0800490_chapter2

93

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan sistem Islamic Full day

school, pelaksanaan pembelajaran bidang studi matematika lebih teratur dan rapi

dengan sistem pembelajaran yang ketat dan efektif.

Pada dasarnya tidak ada hubungannya penelitian bidang studi Matematika

dengan pendidikan karakter yang saat ini peneliti teliti, akan tetapi penelitiannya

sejenis yakni studi kasus pada salah satu sekolah Islamic Full day school, yang

sama-sama meneliti proses perencanaan pembelajaran, proses evaluasi, kendala

dan penunjang pendidikan di Islamic Full day school tersebut.

4. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus

di Jurusan Teknik Industri Uk Petra)

Artikel ini ditulis oleh Wanda Chrisiana, dalam penelitian yang dilaporkan

dalam bentuk artikel ini dapat diatrik kesimpulan bahwa pendidikan karakter

sangat diperlukan bagi mahasiswa dan penelitian ini menawarkan pilot project,

live in dan pekan kepedulian sebagai upaya untuk menerapkan pendidikan

karakter bagi mahasiswa teknik industri di Uk Petra.

Pada dasarnya penelitian ini sedikit berhubungan dengan peneliti, penelitian ini

bersifat studi kasus tetapi penelitian ini dilakukan untuk menerapkan nilai-nilai

pendidikan karakter dari ajaran kristiani sedangkan peniliti disini meneliti model

penerapan pendidikan karakter dari nilai-nilai Islami.

5. Implementasi Pendidikan Karakter pada Mata Pelajaran di Smp

Negeri 1 Kuwarasan Kabupaten Kebumen

Tesis ini ditulis oleh Muhaimin, dalam penelitian ini ia memfokuskan

panelitian pendidikan karakter pada mata pelajaran saja, tidak meneliti pendidikan

Page 79: S pai 0800490_chapter2

94

karakter secara keseluruhan yang ada disekolah sebagaimana yang peneliti pada

skripsi ini. Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut : 1) Pendidikan karakter

agar dilaksanakan dalam pembelajaran (KTSP) di setiap sekolah, 2) Sosialisai

kepada guru-guru terus dilakukan , 3) Perlu daya dukung, sarana dan prasaran

untuk menunjang pendidikan karakter. Teknik pengumpulan data yang digunakan

dalam Penelitian ini yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik yang

digunakan sama dengan peneliti.