s pai 0800490_chapter2
TRANSCRIPT
16 Oci Melisa Depiyanti, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PADA NILAI-NILAI ISLAM
A. Konsep Pendidikan Karakter
Istilah karakter dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul
pada akhir abad-18. Namun menurut Koesoema (2011: 9) sebenarnya pendidikan
karakter telah lama menjadi bagian inti dari sejarah pendidikan itu sendiri, hal ini
nampak dari temuan berupa cita-cita Paideia Yunani, Humanitas Romawi dan
pedagogi kristiani.
Pernyataan dari Koesoema di atas mengisyaratkan bahwa sebenarnya
pendidikan karakter berkembang dalam sejarah peradaban umat manusia. Terkait
hal tersebut penulis merangkum ulasan Doni Koesoema dalam bukunya yang
berjudul Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global
(Koesoema, 2011: 13-42).
a. Pendidikan karakter dalam masyarakat Yunani kuno, khususnya pada
masa Homeros yang menekankan pertumbuhan individu secara utuh
dengan cara mengembangkan potensi dalam diri invidu itu sendiri.
b. Tidak jauh berbeda dengan Homeros salah satu tokoh lainnya adalah
Hesiodos, ia menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis, yaitu
penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi
kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.
c. Kemudian pendidikan karakter ala Sparta yang membangun karakter
patriotis, semangat cinta tanah.
17
d. Sedangkan pendidikan karakter ala Athena yang lebih harmonis dan
perkembangan kultural yang lebih terbuka dan demokratis. Ideal
kebaikan dan keindahan diekspresikan dalam prestasi olahraga. Dalam
perlombaan inilah pendidikan memiliki dimensi estetis berupa keindahan
tubuh dan keindahan moral.
e. Pendidikan karakter pada masa Pericles yang merupakan pembentukan
sosok warga negara yang siap terjun dalam kehidupan politik.
Pembentukan karakter agar siap menjadi orator dan pembicara di depan
umum.
f. Pendidikan karakter pada masa Pericles yang hanya menekanka pada
kecakapan berbicara, Sokrates memberikan nuansa baru dengan
paradigma yang terkenal “kenalilah dirimu sendiri”. Pendidikan karkater
pada masa Sokrates menekankan pada pendidikan jiwa bagi
bertumbuhnya nilai-nilai etis dala diri manusia.
g. Sedangkan pada masa berikutnya, yakni pada masa Plato, baginya
pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada
keuatamaan. Pendidikan yang hanya mampu mengantarkan manusia
kepada ketamakan akan kesuksesan, rasa hormat dan popularitas
dikatakan sebagai pendidikan yang tingkatannya rendah.
h. Pendidikan karakter pada masa berikutnya adalah masa Kosmopolitan
Hellenis, pada masa ini terlihat dari usaha pendidikan manusia secara
integral dan utuh demi pertumbuhan dan kesempurnaan manusia itu
18
sendiri, pendidikan bergerak dari Paideia Yunani menuju Humanitas
Latin.
i. Pendidikan karakter ala Romawi; pendidikan karakter yang dibentuk
melalui keluarga dengan cara menghormati apa yang disebut dengan mos
maiorum1 dan sistem pater familias. Roma juga mencoba menanamkan
nilai-nilai keutamaan seperti, mengutamakan tanah air, devosi2 (la
pietas), kesetiaan (la fides), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas
(la constantia)
Sedangkan di Indonesia sendiri menurut Koesoema (2011: 44) bahwasanya
pendidikan karakter sudah menjadi tradisi dalam pendidikan. Dari beberapa
pendidik Indonesia modern yang dikenal, seperti R.A. Kartini, Ki Hajar
Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir, dll, telah mencoba
menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan
identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami pada
zamannya.
1. Pengertian Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan
Untuk mengetahui hakikat dari pendidikan karakter, maka harus diketahui
terlebih dahulu hakikat dari pendidikan itu sendiri,
Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Sedangkan pelayan yang menjemput dinamakan paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan disitilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam.
1 Mos Maiorum merupakan sebuah rasa hormat atas tradisi yang telah diberikan oleh leluhur 2 Devosi merupakan sebuah rasa hormat terhadap para dewa, negara, dan pada orang tua.
19
Sedangkan dalam bahasa inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang bearti memperbaiki moral dan melatih intelektual (Muhadjir dalam Suwarno, 2009: 9).
Sedangkan Suhartono (2009: 77) menyatakan bahwa istilah pendidikan berasal
dari bahasa Inggris yang lain, yakni:
Education, berakar dari bahasa latin educare, yang dapat diartikan bimbingan berkelanjutan (to lead forth)”. Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Sedangkan dalam Islam dikenal tiga istilah yang digunakan oleh para ahli
pendidikan Islam dalam mengartikan pendidikan, yaitu Tarbiyyah, Ta’lim dan
Ta’dīb. Sayid Muhammad al-Naquib al-Attas (Tafsir, 2010: 28) mencoba
menjelaskan ketiga istilah tersebut. Menurutnya istilah Ta’dīb adalah istilah yang
paling tepat digunakan untuk menggambarkan pengertian pendidikan, sementara
istilah tarbiyyah terlalu luas karena pendidikan dalam pengertian ini mencakupi
juga pendidikan untuk hewan. Menurut al-Attas pengertian adab yang berasal dari
kata adabun adalah pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hierarki sesuai dengan berbagai
tingkat derajat tingkatan mereka tentang tempat seseorang yang tepat dalam
hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah,
intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Berdasarkan pengertian adab tersebut al-Attas (Tafsir, 2010: 29)
mendefinisikan pendidikan menurut Islam sebagai:
Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.
20
Berbeda dengan Abdurrhaman al-Nahlawi ia merumuskan definisi pendidikan
justru dari kata al-tarbiyyah. Menurut pendapat al-Nahlawi (Tafsir, 2010: 29),
kata al-tarbiyyah berasal dari tiga kata :
1) Raba-yarbu yang berarti bertambah, bertumbuh seperti yang terdapat di
dalam al-Quran surat al-Rum ayat 39;
2) Rabiya-yarba yang berarti menjadi besar;
3) Rabbā-yarubbū yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,
menuntun, menjaga, memelihara.
Sedangkan menurut tokoh Barat George F. Kneller (Suwarno, 2009: 20):
Pendidikan memiliki arti luas dan sempit. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang mempengaruhi perkembangan jiwa, watak ataupun kemampuan fisik individu. Sedangkan dalam arti sempit pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain.
Di sisi lain John Dewey (Suwarno, 2009: 20) memandang pendidikan sebagai
“sebuah rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna,
sehingga pengalaman tersebut dapat mengarahkan pengalaman yang akan didapat
berikutnya”.
John. S. Brubacher (Suwarno, 2009: 20) mengungkapkan pendapat bahwa:
Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan dan kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
21
Sedangkan dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan diartikan sebagai:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yangdiperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Dalam semangat dialektis, Henderson (Mudyahardjo, 2006: 61)
mendefinisikan pendidikan sebagai berikut:
Pendidikan sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, berarti sebagai suatu hasil interaksi seorang individu dengan lingkungannya baik fisik maupun sosial, mulai dari lahir sampai akhir hayatnya sebagai suatu proses dengan pewarisan sosial sebagai bagian dari lingkungan sosial yang dipergunakan menjadi suatu alat untuk perkembangan dari pribadi-pribadi sebaik dan sebanyak mungkin, laki-laki dan wanita yang hendak meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ...
Dalam arti luas Suhartono (2009: 79) mengartikan “pendidikan sebagai segala
kegiatan pembelajaran yang berlangsung sepanjang zaman dalam segala situasi
kegiatan kehidupan”. Hal ini mengisyaratkan bahwa pendidikan berlangsung
disegala jenis, bentuk dan tingkat lingkungan hidup, yang kemudian mendorong
pertumbuhan segala potensi yang ada dalam diri individu. Dalam bahasa yang lain
Suhartono (2009: 79) menyatakan bahwa “pendidikan merupakan sistem proses
perubahan menuju pendewasaan , pencerdasan dan pematangan diri. Dewasa
dalam perkembangan badan, cerdas dalam perkembangan jiwa dan matang dalam
hal prilaku”.
Dari pengertian yang diuraikan di atas, Suhartono (2009: 79-80)
mengidentifikasi karakteristik pendidikan yang penulis rangkum sebagai berikut:
22
a) Pendidikan berlansung sepanjang zaman (Life long education).
Artinya, dari generasi ke generasi, pendidikan berproses tanpa
berhenti.
b) Pendidikan berlangsung disetiap bidang kehidupan manusia, artinya
pendidikan berproses di samping pada bidang pendidikan itu sendiri,
juga di bidang ekonomi dan sebagainya.
c) Pendidikan berlangsung di segala tempat di mana pun, dan di segala
waktu kapan pun. Artinya, pendidikan berproses di setiap kegiatan
kehidupan manusia.
d) Objek utama pendidikan adalah pembudayaan manusia dalam
memanusiawikan diri dan kehidupannya.
Dalam arti yang sempit Suhartono (2009: 84) mengartikan pendidikan “sebagai
seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi,
dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi
berdasar pada tujuan yang telah ditentukan”.
Sedangkan Marimba (Tafsir, 2010: 24) menyatakan bahwa pendidikan dalam
arti sempit adalah “bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama”.
Mengenai arti pendidikan secara sempit Mudyahardjo (2006: 61) juga
mengungkapakan pendapat bahwa:
Pendidikan adalah persekolahan. Pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak
23
atau remaja yang diserahkan kepadanya, agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial.
Terkait dengan yang diungkapkan oleh Mudyahardj, maka dapat dirangkum
ciri-ciri khas pendidikan dalam arti sempit yang dirangkum dari Mudyahardjo
(2006: 62-63), sebagai berikut:
(1) Pendidikan berlangsung dalam waktu terbatas, yaitu masa anak-anak,
remaja dan dewasa. Menurut jenjang pra sekolah dasar, sekolah
lanjutan pertama, sekolah lanjutan atas dan perguruan tinggi.
(2) Pendidikan berlangsung dalam ruang terbatas, yaitu di lembaga
persekolahan.
(3) Pendidikan berlangsung dalam situasi khusus yang sengaja diciptakan
menurut sistem administrasi dan manajemen tertentu.
(4) Isi pendidikan disusun secara sistematik dan terprogram dalam bentuk
kurikulum.
(5) Tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar. Tujuan pendidikan
terbatas pada pengembangan kemampuan tertentu. Tujuan pendidikan
adalah mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dimasyarakat.
b. Pengertian Pendidikan Karakter
Secara harfiah karakter artinya ‘kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama atau reputasi’ (Hornby dan Parnwell dalam Azis, 2011: 120). Menurut
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, “karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain; tabiat; watak”
(2008: 623).
24
Dalam Dorland’s Poket Medical Dictionary sebagaimana yang dikutip oleh
Aziz (2011: 120) dinyatakan bahwa:
Karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu. Sedangkan di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap.
Dari beberapa pengertian diatas Hamka Abdul Aziz dalam bukunya yang
berjudul Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati menyimpulkan bahwa:
Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Lebih lanjut Aziz mengungkapkan bahwa karakter pendidikan adalah kualitas mental dan kekuatan moral, akhlak atau budi pekerti dari nilai-nilai dan keyakinan yang ditanamkan dalam proses pendidikan yang merupakan kepribadian khusus yang harus melekat pada peserta didik (Aziz, 2011: 121).
Dalam pengertian yang masih umum Aqib dan Sujak (2011: 2). menjelaskan
dalam buku yang berjudul Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter bahwa:
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ atau menandai dan menfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tinglah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus, dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Sedangkan Russel Williams sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi dalam
tulisannya Mampukan Kita Memperbaiki Kondisi Moral Bangsa? (Q-nees dan
Hambali, 2009: 99) mengilustrasikan bahwa ‘karakter adalah ibarat otot, dimana
otot-otot karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat
dan kokoh kalau sering dipakai’.
Amśāl dari Russels di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya hakikat
pendidikan karakter mengembangkan potensi yang sudah dimiliki oleh manusia.
25
Hal ini juga berarti bahwa pada manusia terdapat bibit potensi kebenaran dan
kebaikan, yang harus didorong melalui pendidikan untuk aktual. Hal ini juga
sejalan dengan pendapat Tafsir bahwasanya tujuan pendidikan pada dasarnya
adalah menjaga fitrah.
Terkait dengan pendapat di atas, Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 1
Juni 2011 mengadakan seminar nasional dengan tema ‘Membangun Karakter
Bangsa dengan Berwawasan Kebangsaan’. Pada acara tersebut wakil menteri
pendidikan nasional Jalal (2010) menyatakan bahwa:
pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari fitrah yang diberikan Ilahi, yang kemudian membentuk jati diri dan prilaku. Dalam prosesnya sendiri fitrah Ilahi ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan prilaku.
Sedangkan Muhammad Yaumi dalam artikel yang berjudul Pengembangan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa Melalui Transdisiplinaritas (2010)
menyatakan bahwa istilah karakter merujuk pada ciri khas, perilaku khas
seseorang atau kelompok, kekuatan moral, atau reputasi. Dengan demikian,
karakter adalah evaluasi terhadap kualitas moral individu atau berbagai atribut
Termasuk keberadaan kurangnya kebajikan seperti integritas, keberanian,
ketabahan, kejujuran dan kesetiaan, atau perilaku atau kebiasaan yang baik.
Ketika seseorang memiliki karakter moral, hal inilah yang membedakan kualitas
individu yang satu dibandingkan dari yang lain.
Masih dikutip dari artikel yang di tulis oleh Yaumi (2010) bahwa:
Karakter juga dipahami sebagai seperangkat ciri perilaku yang melekat pada diri seseorang yang menggambarkan tentang keberadaan dirinya kepada orang lain. Penggambaran itu tercermin dalam prilaku ketika melaksanakan berbagai aktivitas apakah secara efektif melaksanakan
26
dengan jujur atau sebaliknya, apakah dapat mematuhi hukum yang berlaku atau tidak (Kurtus dalam Yaumi, 2010).
Lebih terperinci lagi Yaumi menuliskan “Istilah karakter sama dengan budi
pekerti atau watak yang merupakan bulatnya jiwa manusia”. Ki Hajar Dewantara
mengungkapkan bahwa “budi pekerti, watak, atau karakter adalah bersatunya
gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan yang menghasilkan tenaga,
di mana budi berarti pikiran, perasaan, dan kemauan, sedangkan pekerti berarti
tenaga” (Dewantara, 1977: 25).
Dari pengertian karakter yang diungkapkan oleh Dewantara, Yaumi (Mitrafm:
2010) menjabarkan “tenaga dalam bahasa asing dikenal dengan istilah spirit atau
spiritual yang berarti roh. Kata ini berasal dari bahasa Latin, spiritus, yang berarti
napas. Roh bisa diartikan sebagai energi kehidupan, yang membuat manusia dapat
hidup, bernapas dan bergerak”.
Sehingga pada akhirnya Yaumi (2010) menyimpulkan bahwa:
pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan kecerdasan spiritual, di mana kecerdasan spiritual diyakini sebagai kecerdasan yang paling esensial dalam kehidupan manusia dibandingkan dengan berbagai jenis kecerdasan lain seperti kecerdasan intelektual, emosional, dan kecerdasan sosial.
Pengertian lain berkenaan dengan pendidikan karakter datang dari Megawangi,
ia mengartikan bahwa:
Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperatekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. (Megawangi, 2004: 95)
Sedangkan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Suyanto (2011) dalam artikelnya menjelaskan bahwa karakter adalah “cara
27
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan
bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara”.
Abdullah (2010) mengartikan pendidikan karakter sebagai “pendidikan
kemanusiaan yang bertujuan menjadikan manusia baik, menjadikan manusia
baik tanpa prasyarat apapun”.
Sedangkan Thomas Lickona dalam Q-Anees dan Hambali (2009: 99)
menyatakan bahwa:
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk ‘membentuk’ kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya.
Dari sebuah artikel yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas: 2010) Pendidikan karakter diartikan sebagai:
Suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Menurut Buchori (Sudrajat: 2007), “pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik kepengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif,
dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata”.
Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran karya Bambang Q-Anees
dan Hambali (2011: 55) menyatakan bahwa:
Ada enam ciri khas pendidikan karakter: (1) menjadikan manusia memiliki sikap “terpesona” dan “kagum” ketika melihat anugerah Allah, seperti penciptaan alam semesta, dan manusia sendiri; (2) menghargai kebebasan dalam pembelajaran. Lewat kebebasan diharapkan mampu mendorong pserta didik untuk mengerti dan mencintai kebenaran; (3)
28
menekan sikap magis bagi setiap anak didik. Magis atau unggul bukan dalam kategori kognitif melainkan unggul dalam hal efeksi dan kerohanian; (4) setiap anak didik diharapkan mampu menemukan dan memilih apa yang menjadi kehendak Allah; (5) pendidikan karakter diharapkan mampu menjadikan manusia man or woman for others. Prosesnya dimulai dari pendidikan yang menjadi manusia bagi sesamanya, dan selanjutnya membina peserta didik menjadi manusia demi sesama; (6) penegasan atas dasar cinta kasih sejati (discerta caritas) disertai dengan “perhatian personal” (cura personalis) adalah dasar dari semuanya.
2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Berbicara tentang pendidikan karakter sama dengan berbicara pembentukan
kepribadian yang baik, ukuran baik ini bermacam-macam akan tetapi dalam hal
ini baik yang berarti sesuai dengan ajaran agama dan tidak melanggar aturan
negara, menjadi umat beragama yang taat dan warga negara yang patuh.
Zuchdi dalam buku yang berjudul Humanisasi Pendidikan (2010: 39),
menyebutkan istilah pendidikan karakter dengan pendidikan watak, ia
mengatakan bahwa:
Pendidikan watak (karakter) bertujuan mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu, nilai-nilai yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab, yang juga mengambarkan nilai-nilai perilaku moral. Menurutnya ciri-ciri watak yang baik dan menjadi tujuan pendidikan watak adalah rasa hormat, tanggung jawab, rasa kasihan, disiplin, loyalitas, keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja, dan kepercayaan serta kecintaan kepada Tuhan.
Lebih lanjut Zuchdi (2010: 39) menekankan bahwa ‘kecintaan terhadap Tuhan
merupakan aspek yang sangat penting karena kualitas keimanan menentukan
kualitas watak atau keperibadian seseorang’.
Sedangkan Megawangi menuliskan dengan cukup singkat dan padat
bahwasanya “pendidikan karakter mempunyai tujuan akhir bagaimana manusia
dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral (2004: 80).
29
Berdasarkan pada pedoman pelaksanaan pendidikan karakter yang bersumber
dari Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pusat Kurikulum Dan Perbukuan (2011) Pendidikan karakter bertujuan
mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,
meliputi :
a. mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati
baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik;
b. membangun bangsa yang berkarakter Pancasila;
c. mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya
diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Sesuai dengan fungsi pendidikan nasional, Kementerian Pendidikan Nasional
dalam Desain Induk Pendidikan Karakter (2010) memaparkan bahwa pendidikan
karakter dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Secara lebih khusus pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama (Desain
Induk Pendidikan Karakter : 2010), yaitu
1) Pembentukan dan pengembangan potensi
Pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan
potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik,
berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup
Pancasila.
2) Perbaikan dan penguatan
30
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan
warga negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut
berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi
manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju,
mandiri, dan sejahtera.
3) Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya
bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang
positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia
agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Sejalan dengan hal tersebut Pusat Kurikulum Kemendiknas juga memaparkan
fungsi Pendidikan karakter (1) membangun kehidupan kebangsaan yang
multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur,
dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia;
mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku
baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga negara yang cinta damai,
kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu
harmoni (Kementerian Pendidikan Nasional Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pusat Kurikulum Dan Perbukuan:2011).
3. Ruang Lingkup atau Materi Pendidikan Karakter
Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan
hanya sekadar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu,
31
pendidikan karakter sebagai usaha untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang
baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.
Pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter
bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan
beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup, yaitu sosialisasi/penyadaran,
pemberdayaan, pembudayaan dan kerjasama seluruh komponen bangsa.
Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif
dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil,
politik, media massa, dunia usaha, dan dunia industri (Buku Induk Pembangunan
Karakter: 2010). Sehingga satuan pendidikan adalah komponen penting dalam
pembangunan karakter yang berjalan secara sistemik dan integratif bersama
dengan komponen lainnya.
Terkait dengan hal tersebut, masih berdasarkan pedoman pelaksanaan
pendidikan karakter yang bersumber dari Kementerian Pendidikan Nasional
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pusat Kurikulum Dan Perbukuan (2011)
“pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral
knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang
baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap
hidup peserta didik”.
Sesuai dengan panduan di atas, maka pendidikan karakter meliputi dua aspek
yang dimiliki manusia, yaitu aspek ke dalam dan aspek keluar. Aspek ke dalam
atau aspek potensi meliputi aspek kognitif (olah pikir), afektif (olah hati), dan
psikomotor (olah raga
sosiokultur dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing
berisi nilai-nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan
karakter terdapat pada bagan di bawah ini:
Gambar
Sumber: Panduan
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Pe
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:
olah raga). Aspek ke luar yaitu aspek manusia dalam konteks
dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing aspek memiliki ruang yang
nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan
karakter terdapat pada bagan di bawah ini:
Gambar 1. Bagan Konfigurasi Pendidikan Karakter
Sumber: Panduan Pelaksanaan Pendidikan karakter, Kemendiknas:
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Pe
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:
32
). Aspek ke luar yaitu aspek manusia dalam konteks
dalam interaksinya dengan orang lain yang meliputi interaksi dalam
spek memiliki ruang yang
nilai pendidikan karakter. Penjelasan ruang lingkup pendidikan
Konfigurasi Pendidikan Karakter
Kemendiknas: 2011
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan
3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Pusat kurikulum:
33
Pengembangan dan Pendidikan Budaya; Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah,
2009: 9-10).
Berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum,
etika akademis, dan prinsip-prinsip HAM, Aqib dan Sujak. mengidentifikasikan
butir-butir nilai yang dikelompokkan menjadi lima nilai utama, yaitu nilai-nilai
perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama
manusia, dan lingkungan, serta kebangsaan (Aqib dan Sujak, 2011: 6-8). Berikut
adalah daftar nilai-nilai yang penulis rangkum dalam beberapa butir:
a. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Tuhan
Religius; pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu
berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
b. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
1) Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap
diri dan pihak lain.
2) Bertanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara, dan Tuhan YME.
3) Bergaya Hidup Sehat
34
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan
hidup sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu
kesehatan.
4) Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
5) Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sunguh-sungguh dalam mengatasi berbagai
hambatan guna menyelesaikan tugas (atau bekerja) dengan sebaik-baiknya.
6) Percaya Diri
Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya
setiap keinginan dan harapan.
7) Berjiwa Wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk
baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk
baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya.
8) Berpikir Logis, Kritis, Kreatif, dan Inovatif
Berpikir dan melakukan sesuatu berdasarkan kenyataan atau logika untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
9) Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
10) Ingin Tahu
35
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
11) Cinta Ilmu
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepeduliaan,
dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
c. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Sesama
1) Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri
sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
2) Patuh pada aturan-aturan sosial
Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat
dan kepentingan umum.
3) Menghargai karya dan prestasi orang lain
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang
lain.
4) Santun
Sifat yang halus dan baik hati dari sudut pandang tata bahasa maupun tata
perilakunya ke semua orang.
5) Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
d. Nilai Karakter dalam Hubungannya dengan Lingkungan
36
Peduli sosial dan lingkungan; sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu
ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
e. Nilai Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
1) Nasionalis
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian,
dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsanya.
2) Menghargai Keberagaman
Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal, baik yang
berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, maupun agama.
Sedangkan dalam Mengawangi terdapat serangkain nilai yang seharusnya
diajarkan kepada anak-anak, yang terangkum kedalam 9 pilar karakter adalah
sebagai berikut (IHF dalam Megawangi, 2004: 95):
(1) Cinta tuhan dan segenap ciptan-Nya (Love Allah, trust, reverence,
loyalty).
(2) Kemandirian dan tanggung jawab (responsibilty, excellence, self
reliance, discipline, orderliness).
(3) Kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty).
(4) Hormat dan santun (respect, courtessy, obedience).
37
(5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong (love, compassion,
caring, empathy, generousity, moderation, cooperation).
(6) Percaya diri, kreatif dan pekerja keras (confidence, assertiveness,
creativity, resourcefulness, courage, deTermination and enthusiasm).
(7) Kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, leadership).
(8) Baik dan rendah hati (kidness, friendliness, humility, modesty).
(9) Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility,
peacefulness, unity).
4. Landasan atau Dasar Pendidikan Karakter
a. Dasar Religi
1) Al-Quran
Al-Quran, dengan indah telah membuat perumpamaan tentang pentingnya
akhlak mulia sebagai karakter yang harus dimiliki;
û Í_t6≈ tƒ tΠ yŠ# u ô‰s% $ uΖø9 t“Ρr& ö/ ä3ø‹ n=tæ $ U™$ t7Ï9 “Í‘≡ uθ ムöΝä3Ï?≡ u öθ y™ $W±„ Í‘uρ ( â¨$t7 Ï9 uρ 3“uθ ø)−G9 $#
y7 Ï9≡ sŒ ×�ö� yz 4 š�Ï9≡ sŒ ô ÏΒ ÏM≈ tƒ#u «! $# óΟßγ ¯=yès9 tβρã� ©.¤‹tƒ ∩⊄∉∪
“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat” (QS: Al-A`rāf (7): 26).
Menurut Aziz (2011: 126) pakaian takwa adalah pakaian ruh, pakaian hati.
Pakaian inilah yang menutupi rasa malu, rasa hina, rasa takut dan harapan hati di
hadapan Allah.
38
¨βÎ) ©!$# yìtΒ tÏ%©!$# (#θ s)?$# tÏ%©!$# ¨ρ Νèδ šχθãΖÅ¡ øt’Χ ∩⊇⊄∇∪
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS: An-Nahl (16): 128).
øŒ Î)uρ tΑ$ s% š�•/u‘ Ïπs3Í× ¯≈ n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅ Ïã%y ’Îû ÇÚö‘ F{$# Zπ x"‹Î=yz ( (# þθ ä9$s% ã≅yè øg rBr& $ pκ� Ïù tΒ
߉š ø"ム�Ïù $pκà7 Ï"ó¡o„ uρ u!$ tΒ Ïe$!$# ß øtwΥ uρ ßxÎm7 |¡ çΡ x8ωôϑpt¿2 â Ïd‰s)çΡuρ y7 s9 ( tΑ$ s% þ’ÎoΤ Î) ãΝn=ôãr&
$ tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊂⊃∪
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS: Al-Baqarah (2): 30).
2) Hadiś
Tentang penyempurnaan akhlak, sebagaimana hadiś yang masyhur berkenaan
dengan tugas kenabian Muhammad saw. Adalah;
Sesungguhnya aku diutus (kepada seluruh manusia dalam rangka) untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR. Baihaqi dari Abu Hurairah)
b. Dasar Konstitusional
1) RPJPN
Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi
pembangunan nasional, yaitu “Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”.
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025)
39
2) UUSPN
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional –UUSPN)
3) TAP MPR No. 4/MPR/1975
Tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas
falsafah negara Pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia
pembangun yang berpancasila, dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani
dan rohani, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan
kreativitas dan tanggungjawab, dapat menyuburkan sikap kecerdasan yang tinggi,
disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama
manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.
4) UU No.2 Tahun 1985
Tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri,
serta rasa tanggung jawab bermasyarakat dan berbangsa.
40
5) TAP MPR No II/MPR/1993
Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan manusia Indonesia yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang maha Esa, berbudi
pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil,
berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan
nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta
tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, serta
kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta
berorientasi masa depan.
5. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Ada beberapa pandangan berkenaan dengan prinsip-prinsip dalam pendidikan
karakter. Salah satu diantaranya prinsip-prinsip pendidikan karakter menurut Q-
Anees dan Hambali (2009: 104) yakni sebagai berikut:
a. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, pada dirinya
memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan
atau kondisi yang mempengaruhi kesadaran. Atas dasar prinsip ini,
pendidikan karakter tidaklah bersifat teoretis, tetapi melibatkan
penciptaan situasi yang mengondisikan peserta didik mencapai
pemenuhan karakter utamanya.
b. Karena pendidikan menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh
nilai-nilai utama sebagai bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak
meyakini adanya pemisahan antara roh, jiwa, dan badan.
41
c. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi
peserta didik untuk secara ikhlas mengutamakan karakter positif.
Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi dan kapasitasnya yang
khas) yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari
kesadaran ini dalam dunia pendidikan adalah pemupukan keandalan
khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan
daya saing dalam perjuangan hidup.
d. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi
manusia ulul albab yang tidak hanya memiliki kesadaran diri, tetapi
juga kesadaran untuk terus mengembangkan diri, memperhatikan
masalah lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai dengan
pengetahuan dan karakter yang dimilikinya. Manusia ulul albab adalah
manusia yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek
intelektual, afektif, maupun spiritual.
e. Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya
berdasarkan pilihan. Setiap keputusan yang diambil menentukan
kualitas seseorang dimata orang lain. Oleh karena itu pendidikan
karakter mengutamakan sikap bertanggung jawab dan berani dalam
mengambil suatu sikap dan keputusan yang baik dan benar.
Lebih terperinci lagi Aqib dan Sujak (2011: 11) menuliskan prinsip pendidikan
karakter pada sebuah sekolah, bahwa pendidikan karakter harus didasarkan pada
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.
42
b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup
pemikiran, perasaan, dan perilaku.
c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk
membangun karakter.
d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku
yang baik.
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang
yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,
dan membantu mereka untuk sukses.
g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai
dasar yang sama.
i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter.
j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
usaha membangun karakter.
k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta
didik.
Tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip sebelumnya, Koesoema menyatakan
bahwa “pendidikan karakter di sekolah memerlukan prinsip-prinsip dasar yang
43
mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja
dalam lingkup pendidikan itu sendiri (Koesoema, 2011: 218-220).
a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang
kamu katakan atau yakini.
Prinsip ini memberikan verifikasi konkret tentang karakter seorang indvidu
dengan memberikan prioritas pada unsur psikomotorik yang menggerakkan
seseorang untuk bertindak.
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang
macam apa dirimu.
Seseorang dihormati karena keputusannya, hal ini mengisyaratkan bahwa
individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang
diambilnya. Hanya dari keputusannya inilah seseorang mendefenisikan
karakternya.
c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan
dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus
membayarnya secara mahal, sebab mengandung resiko.
Pribadi yang baik hanya dapat dibentuk dalam proses yang baik pula. Hal ini
sejalan dengan amśāl dari kehidupan lebah yang menghasilkan sesuatu yang baik,
yang berasal dari yang baik dan melalui proses yang baik. Setiap manusia
mempunyai potensi baik, dikembangkan dengan cara yang baik agar
menghasilkan produk yang baik.
44
d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang
lain sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang
lebih baik dari mereka.
Tekanan sosial dan kelompok sebaya menjadi arena yang ramai bagi
pergulatan pendidikan karakter di sekolah. Kultur non-edukatif yang berlangsung
terus menerus dalam sebuah lembaga pendidikan jika tidak diatasi akan menjadi
standar perilaku bagi para siswa.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang
individu bisa mengubah dunia.
Para siswa perlu disadarkan bahwa setiap tindakan yang berkarakter, setiap
tindakan yang bernilai yang mereka lakukan memiliki makna dan bersifat
transformatif. Setiap individu dapat mengubah dunia, jika pengaruhnya belum
cukup mampu menyerambah ke masyarakat setidaknya perubahan itu terjadi pada
diri sendiri.
f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi
pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi tempat
yang lebih baik untuk dihuni.
Setiap tindakan dan keputusan yang memiliki karakter membentuk seorang
individu itu menjadi pribadi yang lebih baik.
6. Faktor-Faktor Pendukung Terbentuknya Karakter
Berdasarkan pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, Megawangi (2004:
151) menyimpulkan ada dua faktor penentu terbentuknya karakter pada manusia,
yaitu nature (faktor alami atau fitrah) dan nurture (sosialisasi dan pendidikan).
45
a. Faktor Nature
Islam mengajarkan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat
baik dan mencintai kebaikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi dalam
Brooks dan Goble (2004: 25) bahwa:
Agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini masih bersifat potensial, atau belum Termanifestasi ketika anak dilahirkan. Confusius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga mengatakan bahwa ‘walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan instruksi (pendidikan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi.
Ratna Megawangi juga memberikan perumpamaan yang bagus berkenaan
dengan pentingnya udara lingkungan yang baik untuk mengembangkan potensi
baik yang dimiliki oleh manusia. Perumpamaannya adalah sebagai berikut:
Paru-paru anak terbentuk sangat tergantung pada bagaimana mereka menghirup udara di sekelilingnya. Kalau udara yang dihirup bagus, maka akan sehat. Begitu pula dengan pembentukan karakter anak yang sangat tergantung bagaimana mereka menghirup ‘udara moral’ di sekelilingnya. (Megawangi, 2004: 152)
b. Faktor Nurture
Menurut Thomas Lickona sebagaimana yang dikutip oleh Megawangi bahwa
para pendidik karakter adalah seperti orang tua, seorang mentor, dan model
penutan bagi muridnya (2004: 54), oleh karena itu menurut Lickona seorang guru
harus:
1) Memperlakukan murid-muridnya dengan kasih sayang, adil dan hormat.
2) Memberikan perhatian khusus secara individual, dimana guru mengerti
permasalahan setiap muridnya.
46
3) Pendidik harus menjadi panutan moral bagi peserta didiknya, dan
senantiasa selalu memperbaiki citra dirinya.
4) Mengoreksi perilaku murid-muridnya yang salah.
Doni Koesoema dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter di Zaman
Keblinger Mengembangkan Visi Guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik
karakter, menurutnya faktor utama yang mendukung pendidikan karakter adalah
guru itu sendiri. Sadar atau tidak perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pendidik menjadi wahana utama pembelajaran karakter.
Menurut Koesoema (2007: 137-152) ada beberapa prinsip-prinsip bagi
pengembangan guru sebagai pendidik karakter, yakni sebagai berikut:
a) Menghidupi visi dan inspirasi pribadi
Prinsip pertama ini mengisyaratkan bahwa pendidik karakter harus memiliki
kemampuan dalam menghidupi visi dan inspirasi yang menjadi jiwa bagi kinerja
profesionalnya. Visinya sebagai guru akan menentukan isi dan proses bagaimana
sekolah dan guru tersebut melaksanakan pendidikan karakter.
b) Nemo dat quod non habet
Istilah pada prinsip kedua ini berasal dari bahasa latin yang maknanya bahwa
‘tidak seorang pun memberikan dari apa yang tidak dimilikinya’. Maksudnya
adalah bahwa seorang guru tidak bisa mengajarkan apa yang tidak dimilikinya, ia
hanya bisa mengajarkan apa yang ia miliki, oleh karena itu sebagai pendidik
karakter maka ia harus mempunyai karakter. Pada setiap tingkah laku dalam
perjumpaannya dengan siswa selalu mengajarkan pesan moral yang bisa
ditangkap oleh siswa dengan atau tanpa disadari oleh sang guru.
47
c) Verba movent exempla trahunt
Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat hati. Hal ini
mengisyaratkan bahwa guru adalah agen pembawa nilai bukan sekadar melalui
kata-kata, melainkan melalui keteladanan. Nilai itu dapat diajarkan karena dapat
dipraktikan dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkungan
sekolah guru menjadi orang pertama yang memberikan keteladanan itu.
d) Kritis menerap nilai
Guru sebagai pembelajar sepanjang hayat, menegaskan bahwa seorang guru
harus kritis terhadap nilai-nilai yang baru serta memiliki kesedian untuk
menegaskan nilai-nilai. Oleh karena itu guru dituntut juga untuk terbuka pada
pengalaman dan pengetahuan baru.
e) Relasi interpesonal-kontekstual
Guru sebagai pendidik karakter mesti mengembangkan dimensi interpersonal
kontekstual ini agar pengembangan pendidikan karakter itu kontekstual, relevan,
dan konsisten. Pendidikan karakter itu kontekstual karena guru dan anggota
komunitas sekolah mengerti nilai-nilai dan visi yang sedang mereka perjuangkan
dalam pendidikan.
f) Integritas moral pendidik
Sebagai seorang yang profesional, guru semestinya mengedepankan
kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Sebagaimana kata Alberstus yang
dikutip oleh Koesoema (2007: 152) bahwa ‘Integritas moral seorang profesional
pertama-tama ditentukan oleh pembelaannya dan pelayanannya terutama demi
kepentingan publik. Para guru profesional semestinya mengutamakan kepentingan
48
orang-orang yang dilayaninya dahulu, misalnya para murid dibandingkan
kepentingan pribadinya.
Sedangkan Karen Bohlin, Deborah Farmer, dan Kevin Ryan sebagaimana yang
dikutip oleh Megawangi (2004: 152-153) menyatakan bahwa ada tujuh
kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik atau guru karakter, yakni
sebagai berikut:
(1) Para pendidik harus dapat menjadikan dirinya sebagai contoh
berkarakter yang baik dan mempunyai komitmen untuk menegaskan
kebenaran.
(2) Para pendidik karakter harus mampu menjadikan tujuan pembentukan
karakter muridnya sebagai suatu yang prioritas dan merupakan bagian
terpenting dari pekerjaan profesionalitasnya.
(3) Para pendidik harus senantiasa mengadakan diskusi tentang isu-isu
moral dengan murid-muridnya, tentang bagaimana seharusnya
menjalankan hidup, serta menjelaskan apa yang baik dan apa yang
buruk.
(4) Para pendidik harus dapat menyampaikan secara diplomasi (bijak)
mengenai posisinya pada berbagai isu-isu etika, tanpa harus membebani
mereka dengan pendapat dan opini pribadi.
(5) Para pendidik harus dapat mengajarkan empati terhadap orang lain,
yaitu mengajaknya untuk keluar dari diri mereka dan melihat dari
perspektif orang lain.
49
(6) Para pendidik harus menciptakan suasana kelas yang bernuansa
karakter, yang menerapkan standar etika tinggi dan penghormatan
untuk semua.
(7) Para pendidik harus dapat membuat serangkaian aktivitas untuk
memperaktekkan nilai-nilai karakter di rumah, di sekolah, dan di
komunitas lingkungan, agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia yang
peduli untuk selalu melakukan kebajikan.
Selain tujuh kompetensi dan beberapa prinsip yang telah dipaparkan di atas,
dalam upaya penanaman nilai-nilai pendidikan karakter, pendidikan dan tenaga
kependidikan harus memiliki, menghayati, dan melaksanakan etos kerja yang
positif, yang merupakan bukti tindakan terhadap komponen-komponen karakter
moral. Menurut Aqib dan Sujak (2010: 28-29) ada 8 hal yang harus dimiliki dan
dihayati, yakni : (1) kerja adalah rahmat; bekerja tulus penuh syukur, (2) kerja
adalad amanah; bekerja benar penuh tanggung jawab, (3) kerja adalah panggilan;
bekerja tuntas penuh integritas, (4) kerja adalah aktualisasi; bekerja keras penuh
semangat; (5) kerja adalah ibadah; bekerja serius penuh kecintaan, (6) kerja
adalah seni; bekerja kreatif penuh suka cita, (7) kerja adalah kehormatan; bekerja
tekun penuh keunggulan, dan (8) kerja adalah pelayanan; bekerja sempurna penuh
kerendahan hati.
Besarnya pengaruh lingkungan sebagai udara moral yang menentukan kualitas
udara yang dihirup oleh peserta didik juga tergambar dalam bait-bait dibawah ini:
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
50
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar
menemukan cinta dalam kehidupan.
7. Model Pendidikan Karakter
a. Pendidikan Holistik
Menurut Kurniasih (2010: 97) “model pendidikan holistik dikemas melalui
hubungan langsung antara anak didik dengan lingkungannya. Pendekatan holistik
tidak melihat manusia dari aktivitasnya yang terpisah pada bagian-bagian tertentu,
namun merupakan makhluk yang bersifat utuh”.
Model pendidikan holistik melahirkan kurikulum holistik, masih menurut
Kurniasih (2010: 97-98) ciri-ciri kurikulum holistik sebagai barikut:
1) Spritualitas adalah jantung dari setiap proses praktik pembelajaran.
2) Pembelajaran diarahkan agar siswa menyadari akan keunikan dirinya
dengan segala potensinya.
3) Pembelajaran tidak hanya mengembangkan cara berpikir analitis dan
linier tapi juga intuitif.
4) Pembelajaran berkewajiban menumbuh kembangkan potensi kecerdasan
ganda.
51
5) Menyadarkan anak akan keterkaitannya dengan komunitas sekitarnyta.
6) Mengajak anak menyadari hubungannya dengan bumi dan ciptaan Allah.
7) Kurikulumnya memperhatikan hubungan antara berbagai pokok bahasan
dalam tingkatan transdisipliner, sehingga hal itu akan lebih memberi
makna kepada siswa.
8) Menghantarkan anak untuk menyeimbangkan antara belajar individual
dengan kelompok.
9) Pembelajaran yang tumbuh, menemukan, dan memperluas cakrawala.
10) Pembelajaran yang merupakan sebuah proses kreatif dan artistik.
b. Pendidikan Humanistik
Model pendidikan humanistik berangkat dari sebuah konsep tentang manusia
itu sendiri. Baharuddin, dan Hakim (2007: 23) memaparkan bahwasanya:
Pendidikan humanistik memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus malangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Sebagai makhluk, batas antara hewan dan malaikat harus dipisahkan dengan tegas, yakni antara memiliki sifat-sifat rendah dengan sifat-sifat kemalaikatan atau sifat malakut (sifat-sifat luhur). Sebagai makhluk dilematis, ia dihadapkan pada pilihan-pilihan dalam kehidupannya. Sebagai makhluk moral, ia senantiasa bergelut dengan nilai-nilai. Sebagai pribadi, manusia memiliki kekuatan konstruktif dan kekuatan destruktif. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki hak-hak sosial dan harus menunaikan kewajiban-kewajiban sosialnya. Dan sebagai hamba Allah, ia harus menunaikan kewajiban-kewajiban ubudiyah-nya pula.
Terkait dengan penjelasan di atas hal tersebut mengisyaratkan bahwa ada
apresiasi yang tinggi kapada manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan
52
bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan juga sebagai
khalifatullah sebagaimana firman Allah pada Surat Al-Baqarah ayat 30.
Baharuddin dan Hakim (2007: 23) mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan
Islam terangkum dalam pendidikan humanistik yakni:
Membentuk insan manusia yang memiliki komitmen humaniter sejati, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup di tengah masyarakat sehingga ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa keterpanggilannya untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan masyarakatnya.
Sejalan dengan pernyataan-pernyataan di atas, Suyanto (2008: 146)
menyatakan bahwa:
Peserta didik adalah faktor yang pertama dan utama dalam pendidikan. Ia dapat menjadi subjek yang menjadikan pusat kegiatan pendidikan, dan mempunyai kemampuan, potensi, dan kekuatan untuk berkembang. Olah karena itu, tugas pendidik hanya menciptakan suasana yang permisif dan mendorong peserta didik untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri.
Terkait dengan pernyataanya di atas, Suyanto (2008: 147) menambahkan
bahwasanya Islam sangat menghargai kraetivitas dan produktivitas (QS-al-
Najm(53):39-40), karena manusia merupakan mahkluk yang mampu berkreasi
dan bertanggung jawab (QS. An-Nahl (16):93), mengingat pribadi manusia yang
unik, yang penuh dengan potensi laten yang baik (QS.ar-Rūm (30):30), minat
(QS.al-Kaĥf (18):29), dan kemampuan (QS.Hūd(11(:93).
Suyanto (2008: 146) juga memberikan kesimpulan bahwasanya terkait dengan
pemaparannya di atas maka “Islam membutuhkan adanya model pendidikan
dengan kurikulum yang mampu memberikan stimulus agar peserta didik mampu
membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,
dan karsanya tanpa adanya tekanan dari orang lain”.
Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk
menciptakan unsur kreativitas, spontanitas,
pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan
motivasi intrinsik (Suyanto, 2008: 146).
c. Pendidikan berbasis pada Al
Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Almerujukkan pengembangan karakter pada Alcatatan dapat ditegaskan bahwa perujukan pada Alhanya pada Aladalah bahwa ‘Aldan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan AlAnees dan Hambali, 2009: 122).
Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al
dengan urutan sebagai berikut:
Gambar 2
Pengalaman Pembelajaran
membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,
dan karsanya tanpa adanya tekanan dari orang lain”.
Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk
menciptakan unsur kreativitas, spontanitas, kemandirian, kebebasan, aktivitas,
pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan
motivasi intrinsik (Suyanto, 2008: 146).
Pendidikan berbasis pada Al-Quran
Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Aln pengembangan karakter pada Al-Quran. Namun, sebagai
catatan dapat ditegaskan bahwa perujukan pada Al-Quran bukan berarti hanya pada Al-Quran, melainkan juga pada akhlak Rasulullah. Dasarnya adalah bahwa ‘Al-Quran merupakan akhlak Rasulullah’. Jadi, penghdan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan AlAnees dan Hambali, 2009: 122).
Secara teknis, urutan pendidikan karakter berbasis Al -Quran dapat berlangsung
urutan sebagai berikut:
2. Urutan pendidikan karakter berbasis Al
Pengalaman Pembelajaran
Refleksi
Aksi
Evaluasi
53
membuat respon untuk berkreasi, mawas diri, mengembangkan daya cipta, rasa,
Kurikulum model humanistik menjadikan manusia sebagai unsur sentral untuk
kemandirian, kebebasan, aktivitas,
pertumbuhan diri, termasuk kebutuhan anak sebagai keseluruhan, minat dan
Prinsip dasar pendidikan karakter berbasis pada Al-Quran adalah Quran. Namun, sebagai
Quran bukan berarti Quran, melainkan juga pada akhlak Rasulullah. Dasarnya
Quran merupakan akhlak Rasulullah’. Jadi, penghayatan dan pengalaman (kegiatan mengalami) apa yang dilakukan Rasulullah dalam hal akhlak menjadi syarat dasar bagi penghayatan Al-Quran (Q-
Quran dapat berlangsung
. Urutan pendidikan karakter berbasis Al-Quran
54
Pengalaman adalah suatu kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan
afektif. Refleksi adalah pencarian arti untuk pengalaman pembelajaran. Aksi
adalah upaya untuk mengajari peserta didik dalam melakukan pilihan-pilihan dari
berbagai sistem nilai yang ada. Evaluasi dinisi bersifat student centered
evaluation, evaluasi dilakukan dalam konteks dan pengalaman peserta didik yang
melakukan tindakan atau aksi (Q-Anees dan Hambali, 2009: 123-126)
8. Metode dan Langkah-Langkah dalam Pendidikan Karakter
Di dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran, Megawangi
sebagaimana yang dikutip oleh Q-Anees dan Hambali (2009: 107) menengarai
perlunya penerapan 4 M dalam pendidikan karakter, yaitu mengetahui, mencintai,
menginginkan, dan mengerjakan (knowing the good, loving the good, desiring the
good, and acting the good) kebaikan secara simultan dan berkesinambungan.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa karakter adalah sesuatu yang
dikerjakan berdasarkan kesadaran yang utuh. Sedangkan kesadaran utuh itu
adalah sesuatu yang diketahui secara sadar, dicintainya, dan diinginkan. Dari
kesadaran yang utuh ini, barulah tindakan dapat menghasilkan karakter yang utuh.
Langkah-langkah 4 M dari Megawangi ini menurut penulis dilakukan secara
berkesinambungan, ketika siswa hanya diajarkan mengetahui kebaikan fakta yang
terjadi adalah siswa mengetahui perbuatan itu tidak baik tetapi ia dengan sadar
tetap melakukan hal tersebut. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah yang
sistematis, sebagaimana berikut:
55
a. Knowing the good
Untuk berbuat baik seseorang harus mengetahui apa yang dianggap baik, dan
untuk menghindari sikap yang buruk seseraong ahrus memahami dulu sikap
seperti apa yang dianggap buruk, terkait dengan hal tersebut Megawangi (2004:
111) menjelaskan bahwa:
dalam moral knowing ada 6 hal penting yang diajarkan yaitu; moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspektive taking, moral raesoning, decision making, dan self knowledge.
b. Loving the good
Menurut Megawangi aspek loving the good dalam pendidikan memang paling
sulit diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi. Berkowitz dalam Megawangi
membagi dua aspek emosi ini, yaitu self-censorship (kontrol internal) dan pro-
social. Kontrol internal erat kaitannya dengan adanya perasaan bersalah (guilty
feeling) dan malu (shame), kontrol internal inilah yang akan mampu mencegah
seseorang untuk melakukan perilaku buruk. Sedangkan aspek pro-social terkait
dengan emosi yang timbul ketika melihat penderitaan dan kesusahan orang lain,
yang sering disebut rasa empati dan simpati (Megawangi, 2004: 116-117).
c. Desiring the good
Setelah seseorang mengetahui perilaku yang baik dan buruk serta telah
mencintai perbuatan baik dengan memiliki self-censorship dan pro-social, maka
aspek yang harus ditingkatkan jug adalah desiring the good. Desiring the good
merupakan keinginan kuat untuk berbuat baik, keinginan yang kuat untuk berbuat
56
baik tentu berasal dari rasa cinta yang besar akan kebaikan itu sendiri Megawangi,
2004: 114).
d. Acting the good
“Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat
diwujudkan menjadi tindakan nyata” (Megawangi, 2004: 111). Masih menurut
Megwangi (2004: 111) bahwa “perbuatan mewujudkan perilaku baik didorong
oleh pengetahuan moral baik dan buruk, rasa cinta terhadap kebaikan dan
keinginan yang kuat untuk melakukan kebaikan serta kebiasaan (habit).”
Sedangkan Koesoema (2007: 212) mengajukan lima metode pendidikan
karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah), yaitu mengajarkan, keteladanan,
menentukan prioritas, praktis prioritas, dan refleksi. Penjelasan singkat yang
penulis rangkum berdasarkan lima metode yang diajukan oleh Koesoema (2007:
212-217) yakni sebagai berikut:
1) Mengajarkan
Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik
tentang struktur nilai tertentu, keutamaan (bila dilaksanakan). Dan maslahatnya
(bila tak dilaksanakan). Mengajarkan nilai mempunyai dua faedah, pertama
memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua menjadi pembanding atas
pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses
“mengajarkan” tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik.
57
2) Keteladanan
Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan
menempati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki
karakter yang hendak diajarkan. Guru adalah yang digugu dan ditiru.
3) Menentukan prioritas
Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas
berhasil tidaknya pendidikan karakter dapat menjadi jelas. Tanpa prioritas,
pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai
berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai
yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga.
4) Praktis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah
bukti dilaksanakannya prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus
mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah
dapat direalisasikan dalam lingkup pendidikan melalui berbagai unsur yang ada
dalam lembaga pendidikan itu.
5) Refleksi
Refleksi berarti dipantulkan ke dalam diri. Refleksi dapat disebut juga proses
bercermin, mematut-mematutkan diri pada peristiwa/konsep yang telah teralami:
apakah saya seperti itu? Apakah ada karakter baik seperti itu pada diri saya?
58
Refleksi merupakan kemampuan sadar khas manusiawi. Dengan kemampuan
sadar ini, manusia mampu mengatasi diri dan meningkatkan kualitas hidupnya
dengan lebik baik.
Sementara itu pedagogi transformatif Iganiasian menerapkan lima tahapan
penting pendidikan karakter yang harus ditempuh, yaitu konteks, pengalaman,
refleksi, aksi, dan evaluasi.
Konteks; pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan perhatian
dan pengenalan kepada masing-masing peserta didik. Untuk dapat mencapai hal
ini, pendidik harus mengenal dengan baik konteks dan latar belakang peserta
didik, seperti gaya hidup, kelompok baya, budaya, tekanan sosial, dan masalah
politik.
Pengalaman; pengalaman yang dimaksud adalah “mengenyam suatu hal dalam
batin yang mengandaikan adanya fakta dan pengertian”. Pengalaman adalah suatu
kegiatan yang melibatkan dimensi kognitif dan afektif. Metode yang dilakukan
untuk membawa peserta didik pada pengalaman dapat berupa aktivitas bersama,
problem solving, aktivitas mandiri, dan peer-grouplearning. Semua cara yang
dapat mengandaikan keunikan dan kebebasan manusia, di samping juga juga
penghargaan terhadap sesamanya.
Refleksi; refleksi adalah “pertimbangan-pertimbangan yang penuh pemikiran
tentang pengalaman”, atau “ide-ide yang menjadikan orang mampu untuk
menangkap makna yang sebenarnya secara penuh”. Refleksi adalah proses di
mana kita mencari arti untuk pengalaman pembelajaran kita. Refleksi merupakan
suatu proses (1) untuk mengedepankan perolehan makna dalam pengalaman
59
manusiawi dengan pemahaman lebih baik mengenai kebenaran yang telah
dipelajari; (2) untuk mengerti akan sumber perasaan dan reaksi yang dialami
seorang lewat apa yang dipelajari; (3) untuk memperdalam pemahaman tentang
implikasinya baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain; (4) untuk mendapat
pengertian personal akan kejadian-kejadian dan ide-ide yang ada.
Pendidikan bukan sekadar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan dari
guru ke murid, Syahidin (2009: 2) menyatakan bahwa pendidikan merupakan
suatu proses pembentukan karakter. Ada tiga misi utama pendidikan yaitu
pewarisan pengetahuan (Transfer of Knowledge), pewarisan budaya (Transfer of
Culture), dan pewarisan nilai (Transfer of Value).
Di dalam buku yang berjudul Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran
Syahidin memaparkan tujuh metode, yakni; Metode Amśal, Metode Kisah Qurani,
Metode Ibrah Mauizah, Metode Targib-Tarhib, Metode Tajribi (Latihan
Pengalaman), Metode Uswah Hasanah (Keteladanan), dan Metode Hiwar
Qur`ani. Menurutnya metode dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan pendidik
dalam lingkup peristiwa pendidikan untuk memperngaruhi siswa ke arah
pencapaian hasil belajar yang maksimal sebagaimana terangkum dalam tujuan
pendidikan. Ketujuh metode Qurani tersebut penulis rangkum dibawah ini
(Syahidin, 2009: 77-174).
Berikut penjelasan singkat berkenaan dengan tujuh metode Qurani diatas yang
penulis rangkum dari Syahidin (2009: 77-174) :
1) Metode Amśal
60
Metode ini dilakukan dengan memberikan perumpamaan, mengumpakan
sesuatu yang abstrak dengan yang lebih konkrit untuk mencapai tujuan atau
manfaat dari perumpamaan tersebut. Firman Allah:
ô‰s)s9 uρ $oΨö/u�ŸÑ Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 ’Îû #x‹≈ yδ Èβ#u ö� à)ø9 $# ÏΒ Èe≅ä. 9≅ sWtΒ öΝßγ ¯=yè ©9 tβρã�©.x‹ tGtƒ
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Quran ini Setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran” (QS: Az-Zumar (39): 27).
2) Metode Kisah Qurani
Metode ini dilakukan dengan menyampaikan kisah-kisah yang ada pada Al-
Quran, kisah-kisah yang mampu memberikan pelajaran demi tercapainya tujuan
pendidikan. Firman Allah:
ô‰s)s9 šχ% x. ’Îû öΝÎηÅÁ |Á s% ×οu�ö9 Ïã ’ Í<'ρT[{ É=≈t6 ø9 F{$# 3 $ tΒ tβ% x. $ZVƒ ωtn 2”u�tIø"ãƒ
Å6≈ s9 uρ t,ƒÏ‰óÁ s? “Ï% ©!$# t ÷t/ ϵ÷ƒ y‰tƒ Ÿ≅‹ÅÁ ø"s?uρ Èe≅à2 &ó x« “Y‰èδ uρ ZπuΗ÷q u‘uρ 5Θ öθ s)Ïj9
tβθ ãΖÏΒ ÷σム∩⊇⊇⊇∪
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman” (QS:Yūsuf (12): 111).
3) Metode Ibrah Mauizhah
Metode ini merupakan suatu cara yang dapat membuat situasi psikis seorang
siswa, mengetahui intisari perkara yang mempengaruhi perasaanya, yang diambil
dari pengalaman-pengalaman orang lain atau pengalaman hidupnya sendiri
61
sehingga sampai pada tahap perenungan, penghayatan, tafakur yang dapat
menumbuhkan amal perbuatan. Firman Allah:
(#ρç�É9 tF ôã$$ sù ’Í<'ρé' ¯≈ tƒ Ì�≈ |Áö/F{ $# ∩⊄∪
“...Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan” (QS:al-Ĥasyr (59): 2).
4) Metode Targib-Tarhib
Metode ini dilakukan sebagai cara untuk meyakinkan seseorang terhadap
kebenaran Allah melalui janji-Nya yang disertai dengan bujukan dan rayuan
untuk melakukan amal shaleh. Sedangkan metode Tarhib metode yang dilakukan
untuk meyakinkan seseorang terhadap kebenaran Allah melalui ancaman dengan
siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau tidak
melaksanakan perintah Allah.
5) Metode Tajribi (Latihan Pengalaman)
Metode tajribi atau latihan pengalaman dilakukan sebagai latihan penerapan
secara terus menerus, sehingga siswa terbiasa melakukan sesuatu sepangjang
hidupnya. Metode ini difokuskan pada pembiasaa atau habit, bukan sekedar
latihan simulasi melainkan terjun langsung membiasakan melakukan sesuatu.
6) Metode Uswah Hasanah
Metode uswaĥ ĥasanah atau yang sering disebut juga metode keteladanan
dianggap sebagai salah satu metode yang sangat besar pengaruhnya terhadap
keberhasilan proses pembelajaran. Metode uswaĥ ĥasanah merupakan suatu
metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada para
peserta didik, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatan. Firman Allah:
62
ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×π uΖ|¡ym yϑÏj9 tβ% x. (#θ ã_ ö� tƒ ©!$# tΠ öθ u‹ ø9 $#uρ t� ÅzFψ$#
t� x.sŒ uρ ©!$# # Z�� ÏVx. ∩⊄⊇∪
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah” (QS:Al-Ahzāb (33): 21).
63
7) Metode Hiwar Qurani
Metode hiwar qurani merupakan metode dialog yang mengikuti gaya dialog al-
Quran dan sunah Nabi, suatu percakapan atau pembicaraan silih berganti antara
dua belah pihak atau lebih yang dilakukan melalui tanya jawab, membahas suatu
topik yang berikatan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sejalan dengan beberapa metode yang telah dipaparkan di atas, Asyafah dalam
artikelnya yang berjudul Mendidik Karakter dengan Pengalaman dan
Pembiasaan menekankan pada metode pengamalan dan pembiasaan. Asyafah
(2011: 354) menyatakan bahwa “kebiasaan-kebiasaan merupakan rangkaian dari
perbuatan atau pengamalan-pengamalan (acting/doing).”
Asyafah (2011: 354) juga menyatakan bahwa “untuk membangun karakter
diperlukan waktu yang lama dengan pembiasaan-pembiasaan yang sistematis dan
berkelanjutan.” Hal ini sejalan dengan pepatah yang menyatakan:
Taburlah gagasan, tuailah perbuatan Taburlah perbuatan, tuailah kebiasaan Taburlah kebiasaan, tuailah karakter Taburlah karakter, tuailah nasib
Lebih jelas lagi Asyafah (2011: 354) menggambarkan bahwa:
Perbuatan atau pengamalan pada mulanya dipengaruhi oleh pikiran, akal, dan pertimbangan yang matang. Pikiran dipengaruhi oleh informasi yang diterima melalui panca indera (penglihatan, pendengaran, perasaan, perabaan, dan penciuman). Dalam ajaran agama (Islam), perbuatan manusia itu jangan hanya didasarkan atas pertimbangan akal saja, tetapi hendaknya juga didasari oleh keyakinan atau diyakini kebenaran-kebaikannya oleh fu’ad-qolbu (hati) karena fu’ad itulah yang kelak akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah (QS. Al-Isrā’ (17): 36).
64
B. Pendidikan Karakter Menurut Islam
1. Pandangan Islam tentang Pendidikan Karakter
Menurut Koesoema (2007: 9) “secara historis pendidikan karakter merupakan
misi utama para nabi”. Pernyataan tersebut sejalan dengan hadiś yang menyatakan
bahwa Muhammad sebagai Rasulullah sedari awal diutus untuk menyempurnakan
akhlak (karakter). Sebagaimana sebuah hadiś dibawah ini:
�ت � � م ��رم ا���ق إ�� � �رد و���� � م و)'رھمأ�ر$# ��ري ! ا�دب ا� “Sesungguhnya aku diutus ke muka bumi ini adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia”. (diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab al-Adab al-Mufrad, Imam al-Hakim dll)3
Terkait hal tersebut Q-Anees dan Hambali (2009: 100) menyatakan “manifesto
Muhammad sebagai Rasulullah mengindikasikan bahwa pembentukan karakter
merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat
menciptakan peradaban”.
Islam hadir sebagai jalan untuk menyempurnakan akhlak. Al-Quran yang
menjadi bahan ajar nya dan Nabi adalah pendidiknya. Islam turun di Mekkah di
Arab yang terkenal saat itu kejahiliaanya atau kebodohannya. Akan tetapi dengan
hadirnya Islam melalui Nabi Muhammad karakter tersebut berubah menjadi
karakter yang sempurna dan baik sesuai dengan fitrah manusia yang pada
dasarnya telah membawa potensi kebaikan.
Di dalam buku yang berjudul Pendidikan Humanistik karya Baharuddin dan
Makin (2007: 38) dituliskan bahwa salah satu dimensi kemanusian yang penting
dikaji dalam hubungannya dengan proses pendidikan adalah fitrah. Menurutnya
3 Teks dan terjemahan hadiś dikutip dari artikel Menyucikan Jiwa, Membersihkan Qalbu Asifudin:2010
65
“kata fitrah juga berasal dari khalaqa yang merupakan bagian luar dari khuluk
yang berarti potensi psikologis. Potensi psikologis ini berupa keterampilan
menaggapi (sam’un), kemampuan gagasan (abshar) dan sikap hati (af’idah)”.
Langgulung (2003: 214) mengartikan fitrah sebagai potensi yang baik. Hal ini
didasarkan pada analisis sebuah hadiś :
semua anak dilahirkan dalam keadaan suci (dari segala dosa dan noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi orang Yahudi, nasrani atau Majusi (HR: Abu Ya’la, AL-Thabrani, dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin sari’).
Maka penulis menyimpulkan bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki
potensi dan fitrah yang sama. Akan tetapi proses pendidikan dan proses hiduplah
yang akan mengarahkan fitrah tersebut dalam membentuk karakter seseorang.
Manusia sebagai pendidik dan yang didik menjadi sentral utama yang sangat
ramai untuk dibahas. Oleh karena itu ketika berbicara tentang konsep pendidikan
Islam maupun tentang konsep pendidikan karakter dalam padangan Islam, hal
yang terpenting untuk dibahas adalah tentang konsep manusia menurut Islam.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Langgulung (2003: 214)
menyatakan manusia memiliki fitrah dan fitrah tersebut berupa potensi-potensi
yang baik. Sejalan dengan pendapat Langgulung, Tafsir (2010: 35) juga
menyatakan bahwa “manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan;
kemampuan tersebut berupa fitrah yakni potensi. Menurutnya potensi merupakan
kemampuan dengan kata lain ia menyimpulkan bahwa fitrah berupa pembawaan.”
66
Tafsir (2010: 36) menjelaskan bahwa manusia memiliki beberapa aspek yang
perlu diperhatikan berkenaan dengan pendidikan; aspek jasmani, aspek akal dan
aspek ketiga ialah potensi rohani.
Berkenaan dengan aspek jasmani banyak firman Allah yang menerangkan hal
tersebut, diantaranya:
Æ6tGö/$#uρ !$ yϑ‹ Ïù š�9 t?#u ª!$# u‘# ¤$!$# nοt� ÅzFψ$# ( Ÿωuρ š[Ψs? y7 t7ŠÅÁ tΡ š∅ÏΒ $u‹ ÷Ρ‘‰9 $# ( ...
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi... (Al-Qaşaş (28): 77).
Ayat Al-Quran yang berkenaan dengan aspek akal juga tidak kalah banyaknya,
Nasution (Tafsir, 2010: 38) menerangkan ada tujuh kata yang digunakan dalam
Al-Quran untuk menunjuk akal, pertama kata nażara seperti dalam surat surat Qāf
(50) ayat 6-7; kedua kata tadabbara seperti dalam surat Şād (38) ayat 29, surat
Muhammad (47) ayat 24; ketiga kata tafakkara seperti dalam surat an-Nahl (16)
ayat 68-69 dan surat al-Jāśiyah (45) ayat 12-13; keempat kata faqiha dalam Al-
Isrā’ (17) ayat 44, al-An’ām (6) ayat 97-98, surat at-Taubah (9) ayat 122, kelima
kata tākkara seperti dalam surat an-Nahl (16) ayat 17, az-Zūmar (39) ayat 9, aż-
Żāriyāt (51) ayat 47-49, az-Zūmar (39) ayat 27; keenam kata fahima seperti dalam
surat al-Anbiyā (21) ayat 78-79; dan ketujuh kata ‘aqala seperti dalam surat al-
Anfāl (8) ayat 22 dan surat an-Nahl (16) ayat 11-12.
Sedangkan ayat yang menjelaskan tentang potensi rohani manusia antara lain
terdapat pada surat al-Hijr ayat 29:
#sŒ Î* sù … çµçF ÷ƒ §θy™ àM ÷‚ x"tΡuρ ϵŠÏù ÏΒ Çrρ•‘ (#θ ãès)sù …çµ s9 tωÉf≈ y™ ∩⊄∪
67
Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup
kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadaNya dengan bersujud (QS: al-Hijr (15): 29).
Melihat betapa manusia memiliki potensi yang begitu luar biasa dengan
berbagai aspek yang ia miliki, maka Tafsir (2010: 46) merangkum ciri-ciri
manusia sempurna menurut Islam yakni; jasmani yang sehat serta kuat dan
keterampilan; akal yang cerdas serta pandai; Rohani yang berkualitas tinggi penuh
iman kepada Allah.
Rumusan ciri-ciri manusia sempurna tersebut sejalan dengan pendidikan
karakter, maka pendidikan karakter menjadi perlu untuk membentuk manusia
sempurna, Pendidikan karakter menjadi dibutuhkan untuk membangun
kepribadian manusia sesuai dengan fitrah yang telah Allah berikan.
Menurut Bamualim (2010) bahwasanya akhlak memiliki beberapa keutamaan,
diantaranya sebagai berikut:
a. Akhlak merupakan sesuatu yang paling berat dalam timbangan di hari
kiamat.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW dari Abi Hurairah dari Abu Darda
radiallāhu ‘anhu:
�ان ا����� ��م ا������ �� �أن ا�12� 0)/ هللا ,)�+ و()' &�ل ��$�ء أ!� � �� =)> 6;� وإن هللا ��891 ا56�7� ا41�يء
Bahwasanya Nabi SAW. bersabda: “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam
timbangan seorang Mu’min pada hari kiamat yang melebihi timbangan akhlak yang baik. Dan sesungguhnya Allah benci kepada sesuatu yang keji dan ucapan-
68
ucapan yang jelek” [HR Tirmidzi, Maktabah Syamilah v1.0 7/284 no. 1925 dalam Mubarak Bamualim] *)4.
b. Akhlak yang mulia adalah salah satu penyebab yang sangat banyak
memasukkan seorang hamba ke surga.
Hal ini berdasarkan pada hadiś Abū Hurairah radiallāhu ‘anhu, dia berkata:
,)�+ و()' ,� أB��� CDE= ا�2�س ا�@2� (? ر(�ل 0)/ هللا هللا
و6;� اF�)> : ���ل H��ى هللا
Nabi SAW pernah ditanya tentang apakah yang banyak memasukkan seseorang ke surga? Nabi menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”*).
c. Akhlak yang mulia adalah penyempurna iman seseorang.
Sebagaimana disabdakan Nabi shallallahu alaihi wasallam, dari Abu Hurairah,
ia berkata:
2��� إJ���� أ6 ,)�+ و()' أE� ا��� 0)/ هللا ;L2' &�ل ر(�ل هللا��(= 'LM �;2� 'E�ر�= 'Eو=��ر ��(=
Rasulullah SAWbersabda: “Orang Mu’min yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada isterinya” [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 4/390 no. 1082 dalam Mubarak Bamualim]*).
d. Akhlak yang mulia dapat mengangkat derajat seseorang sama dengan
orang yang senantiasa berpuasa dan sholat di malam hari.
Hal ini berdasarkan hadiś Aiysah radhiallahu anha, ia berkata:
�� �B�رك ,)�+ و()' ���ل إن ا��� 0)/ هللا (OP� ر(�ل هللا 'M���ا 'M� Qا� �Rدر +�(= �;TU
4 *) Teks Hadiś dan terjemahan dikutip dari Ringkasan Transkrip Audio Minhajul Anbiya fi
Tazkiyaun Nufus Oleh: Ustadz Mubarak Bamualim)
69
Aku mendengar Rasulullah SAWbersabda: “Sesungguhnya seorang Mu’min benar-benar dengan akhlaknya yang mulia akan bisa mencapai derajat orang yang banyak berpuasa dan yang banyak shalat di malam hari [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/420 no. 4165 dalam Mubarak Bamualim]*).
e. Orang-orang yang memiliki akhlak yang mulia Nabi SAW. memberikan
jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi dengan akahlaknya
yang mulia.
Hal ini berdasarkan hadiś Nabi SAW dari Abu Umamah Al-Bahiliyyah
radhiallahu anhu, dia berkata:
O�1U '�,ز �Jو()' أ +�(, 0)/ هللا � ر8U ا�@CH ��� �2ك &�ل ر(�ل هللا�� و(] ا�@CH ��� �2ك ا4Z�ب وإن �Eن ��ز�6 � O�1Uو ��T� ن�E اء وإنC��ا
+�(= � � أ,)/ ا�@2� ��� 6;� O�1Uو
Rasulullah SAWbersabda: “Saya sebagai pemberi jaminan sebuah rumah di syurga yang bawa bagi orang yang meninggalkan berdebat walaupun dia benar. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan walaupun dia hanya bercanda. Dan aku memberi jaminan sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi mereka yang mulia akhlaknya. [HR Abu Dawud Maktabah Syamilah v1.0 12/422 no. 4167 dalam Mubarak Bamualim]*)
f. Orang-orang yang berakhlak mulia mereka adalah orang-orang yang
paling dekat tempat tinggalnya dengan Nabi SAW. pada hari kiamat
nanti di surga kelak.
Sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW. dari hadiś Jabir bin Abdillah
radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah SAWbersabda:
$-(� 'وم ا�+'� * أ��(��م .�� �م إ�.� وأ/ر�م �أ��/� وإن� إن� ن أ�/ون ر��رون وا� 1�د� $-(� 'وم ا�+'� * ا��� . �� أ23�م إ�.� واد�م
� /ون ! ر��رون وا� 1�د� /د 4- �� ا��� �'7+ون /��وا '�ر(ول �5� وا� +7'�� رون وا� ��� ون /�ل ا�
70
Sesungguhnya orang yang paling kucintai diantara kamu sekalian dan orang yang paling dekat tempat duduknya dengan tempatku di hari kiamat yaitu orang-orang yang paling baik budi pekertinya di antara kamu sekalian. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci di antara kamu sekalian dan orang yang paling jauh tempat duduknya di hari kiamat yaituats-tsarnaruuna, al-mutasyaddiquuna (orang yang paling banyak berbicara). Para sahabat bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Kami telah mengetahui makna ats-tsarnaruuna[Yakni orang-orang yang katsirul kalam takallufan – banyak berbicara walaupun tidak ada kepentingan (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] dan al-mutasyaddiquuna[Yaitu orang yang kadang-kadang berbicara tentang seseorang apa-apa yang tidak ada pada orang itu, melampaui batas kepada seseorang dengan pembicaraannya dan membuat-buat mulutnya ketika berbicara agar orang tertarik dengan pembicaraannya dan seterusnya (dinukil dari penjelasan al-ustadz)] lalu apakah al-mutafaihikun?” Nabi SAWmenjawab: “Yaitu orang-orang yang takabur [HR Tirmidzi Maktabah Syamilah v1.0 7/309 no. 1941 dalam Mubarak Bamualim]*).
Terkait dengan beberapa hadiś di atas. maka peneliti berkesimpulan bahwa
pembentukan karakter yang baik menjadi perhatian utama dalam Islam. Karena
pada dasarnya tugas manusia di dunia adalah menjadi hamba dan khalifah yang
berkarakter atau berakhlak.
Sejalan dengan hal tersebut, penyair besar Syauqi pernah menulis:
Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka telah hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini. ( Abdulloh Husaeri dalam Umar Bin Ahmad Baraja, Akhlak lil Banin, Surabaya: Ahmad Nabhan, tt, Juz II, h. 2)
Syair tersebut menunjukkan bahwa akhlak dapat dijadikan tolok ukur tinggi
rendahnya suatu bangsa. Keutamaan bagi bangsanya jika umat bangsa tersebut
mempunyai akhlak yang baik.
71
2. Pendidikan Karakter sebagai Tugas Kenabian
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan karakter
merupakan tugas yang diemban oleh para Nabi. Pendidikan karakter untuk
mensucikan jiwa, mengajarkan kitab dan hikmah. Allah berfirman:
uθ èδ “Ï%©!$# y]yèt/ ’ Îû z↵ Íh‹ÏiΒ W{ $# Zωθ ß™u‘ öΝåκ÷]ÏiΒ (#θ è=÷F tƒ öΝÍκö� n=tã ϵÏG≈ tƒ#u öΝÍκ� Ïj.t“ ムuρ ãΝßγ ßϑÏk=yè ムuρ
|=≈tGÅ3ø9 $# sπyϑõ3Ïtø: $#uρ βÎ)uρ (#θçΡ% x. ÏΒ ã≅ö6 s% ’ Å∀s9 9≅≈n=|Ê &Î7 •Β ∩⊄∪
“ Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS: Al-Jumu’ah (62) : 2).
Terkait dengan pernyataan di atas, Nabi Ibrahim berdo’a memohon agar
diutusnya seorang Nabi untuk membimbing umatnya. Sebagaimana terdapat pada
ayat dibawah ini:
$ uΖ−/u‘ ô]yè ö/$#uρ öΝÎγ‹Ïù Zωθß™u‘ öΝåκ÷]ÏiΒ (#θ è=÷Gtƒ öΝÍκö� n=tæ y7 ÏG≈ tƒ#u ÞΟ ßγ ßϑÏk=yè ムuρ |=≈ tGÅ3ø9 $#
sπ yϑõ3Ïtø: $#uρ öΝÍκ� Ïj.t“ ムuρ 4 y7 ¨ΡÎ) |MΡr& Ⓝ Í•yè ø9 $# ÞΟŠÅ3ys ø9 $# ∩⊇⊄∪
Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana (QS: Al-Baqarah (2): 129).
Sejalan dengan ayat di atas, hal tersebut juga terdapat pada ayat dibawah ini:
72
ô‰s)s9 £ tΒ ª!$# ’n? tã tÏΖÏΒ ÷σßϑø9 $# øŒ Î) y]yèt/ öΝÍκ� Ïù Zωθ ß™u‘ ôÏiΒ ôΜÎγ Å¡ à"Ρr& (#θ è=÷Gtƒ öΝÍκö� n=tæ
ϵÏG≈ tƒ#u öΝÍκ�Åe2t“ ムuρ ãΝßγ ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tGÅ3ø9 $# sπyϑò6 Ïtø: $#uρ βÎ)uρ (#θ çΡ% x. ÏΒ ã≅ ö6 s% ’ Å∀s9
9≅≈n=|Ê AÎ7 •Β ∩⊇∉⊆∪
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang
beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al hikmah. dan Sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata (QS: Āli-Imrān (3): 164).
Allah SWT. Juga berfirman pada surat Al-Baqarah (2) ayat 151:
!$ yϑx. $ uΖù=y™ö‘r& öΝà6‹Ïù Zωθ ß™u‘ öΝà6ΖÏiΒ (#θ è=÷Gtƒ öΝä3ø‹ n=tæ $ oΨÏG≈ tƒ#u öΝà6ŠÏj.t“ ムuρ
ãΝà6 ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tGÅ3ø9 $# sπ yϑò6 Ïtø: $#uρ Νä3ßϑÏk=yè ムuρ $ ¨Β öΝs9 (#θ çΡθ ä3s? tβθ ßϑn=÷ès? ∩⊇∈⊇∪
Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu)
Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS: Al--Baqarah (2): 151).
3. Nabi Sebagai Model Pendidik Karakter
Dalam konteks pendidikan Islam ‘pendidik’ sering disebut “murabbi, mu’allim,
mu’addib, mudarris, dan mursyid” (Suyanto, 2008: 87). Pendidik juga berarti
‘orang dewasa yang bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta
didiknya dalam perkembangan jasmanui dan rohaninya, agar mencapai tingkat
kedewasaannya, mampu mandiri dalam emmnuhi tugas sebagai hamba dan
khalifah Allah’.
73
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada sub judul sebelumnya bahwa
pendidikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan para peserta didik, dan pendidik
merupakan salah satu orang yang berinteraksi langsung di dalam lingkungan
proses pendidikan. Pendidik sebagai bapak rohani (spiritual father).
Muhaimin sebagaimana yang dikutip oleh Suyanto (2008: 92) mengemukakan
tugas-tugas pendidik. Yang dirumuskan seperti pada tabel berikut:
Tabel 1: Karakteristik dan Tugas-Tugas Pendidikan N
o
Pendidik Karakteristik dan Tugas
1 Ustadz Orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat
pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses
dan hasil kerja serta sikap continuous improvement.
2 Mu’allim Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkan serta
menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan trasfer ilmu
pengetahuan, internalisasi, serta implementasi (amalia).
3 Murabbi Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil
kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya,
masyarakat, dan alam sekitarnya.
4 Mursyid Orang yang mampu menajdi model atau sentral indetifikasi dari
atau menjadi pusat anutan, teladan, dan konsultan bagi peserta
didiknya.
5 Mudarris Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta
74
memperbarui pengetahuan dengan keahliannya secara
berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya,
memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
6 Mu’addib Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk
bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan.
Sebagaimana telah diketahui bahwasanya Nabi Muhammad sebagai Nabi
terakhir di utus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia dengan cara
mensucikan jiwa, mengajarkan kitab dan hikmat. Nabi Muhammad sebagai
pendidik umat Islam sudah selayaknya menjadi model dalam proses pendidikan
terutama pendidikan karakter karena beliau sendiri yang mengatakan bahwa ‘saya
diutus untuk menyempurnakan akhlak’. Sabda beliau tersebut mengindikasikan
bahwa beliau adalah pendidik akhlak atau pendidik karakter.
Kurniasih (2010: 90) menjelaskan bahwasanya paling tidak ada dua hal penting
yang sangat menonjol yang telah mengantarkan kesuksesan besar Rasulullah di
dalam mendidik.
a. Keteladanan Al-Qudwah
Sebagaimana firman Allah:
ô‰s)©9 tβ% x. öΝä3s9 ’Îû ÉΑθ ß™u‘ «!$# îοuθ ó™é& ×π uΖ|¡ym yϑÏj9 tβ% x. (#θ ã_ ö� tƒ ©!$# tΠ öθ u‹ ø9 $#uρ t� ÅzFψ$#
t� x.sŒ uρ ©!$# # Z�� ÏVx. ∩⊄⊇∪
75
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah (QS: Al-Ahzāb (33): 21).
Sulitnya mencari sosok model yang sempurna membuat para pendidik
kebingungan. Akan tetapi tidak akan terjadi kebingungan tersebut jika pendidik
mempelajari dan meneladani Nabi Muhammad SAW. serta menjadikannya
sebagai model pendidik.
Aisyah ra. melukiskan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah Al-Quran,
sebagaimana pada hadiś berikut:
�Eن =)�+ اC��ان Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an *).
hal ini mengisyaratkan begitu sempurnanya akhlak beliau. Di dalam melakukan
proses pendidikan terhadap bangsa Arab Muhammad memperlihatkan akhlaknya
yang mulia. Allah berfirman:
y7 ¯ΡÎ)uρ 4’ n?yès9 @, è=äz 5ΟŠÏà tã ∩⊆∪
dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS: Al-Qalam (68): 4).
Menurut Kurniasih (2010: 91) keteladanan menjadi sarana paling efektif
sebagai cara Nabi Muhammad dalam menyampaikan pendidikan. Apapun yang
dikatakan beliau tentang kebajikan, kesederhanaan, ketabahan, kesabaran,
pemberian maaf, toleransi, keadilan, kejujuran, dan lain-lain, maka beliaulah
orang pertama yang melakukannya.
b. Nasehat yang baik
76
Menurut Kurniasih (2010: 92) semua pembicaraan atau mauiżah yang
disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. sarat dengan bobot keilmuan,
kemanusiaan, ataupun spiritualitas yang tinggi. Cerita, dialog, perumpamaan,
senda gurau, dna lainnya yang disampaikan atau diterapkan oleh beliau bukanlah
sekedar omong kosong.
Melalui nasehat yang baik, pesan-pesan yang disampaikan oleh Muhammad
SAW. memberikan bekas yang kuat di dalam hati. Output dari didikan
Muhammad terbukti banyak yang cerdas, tidak hanya secara intelektual, tetapi
juga secara moral, sosila, dan cerdas secara spiritual.
4. Para Filosof Muslim sebagai Pemikir Pendidikan Karakter
a. Ibn Miskawaih
Miskawaih seorang filosof dan ahli sejarah, ia lebih terkenal sebagai filosof
moralitas. Di dalam buku yang berjudul Para Filosof Muslim (Syarif, 1985: 86)
dijelaskan bahwa “bagian terpenting kegiatan filosofis Miskawaih ditujukan
pada etika”. Hal ini mengisyaratkan bahwa pada dasarnya Miskawaih telah
membawa nilai-nilai karakter dalam filsafat moralnya.
Filsafat moral Miskawaih dimulai dengan risalah akhlak, tahdzibmal-akhlak dengan menyatakan doktrinnya tentang ruh. Menurutnya ruh mempunyai tiga pembawaan: rasional, keberanian, hasrat dan tiga kebajikan yang saling berkaiatan: bijaksana, berani dan sederhana. Dengan keberkaitan ketiga hal tersebut maka diperoleh yang keampat yakni keadilan (Syarif, 1985: 90).
Ibn Miskawaih sebagaimaa yang dikutip pada buku Para Filosof Muslim
membagi kebijaksanaan menjadi tujuh, keberanian menjadi sebelas, dua belas
kesederhanaan dan sembilan belas keadilan (Syarif, 1985: 90-91), yakni sebagai
berikut:
77
1) Tujuh kebijaksanan terdiri dari: ketajaman intelegensi, kesigapan akal,
kejelasan pemahaman, fasilitas perolehan, ketepatan dalma
membedakan, penyimpanan dan pengungkapan kembali;
2) Sebelas keberanian terdiri dari: kemurah-hatian, kebersamaan,
ketinggian pengharapan, keteguhan, kesejukan, keterarahan,
keberanianm kesabaran, kerendahatian, semangat dan kepengampunan;
3) Dua belas kesederhanaan: malu, ramah, benar, damai, menahan diri,
sabar, berarti, tenang, saleh, keteraturan, menyeluruh dan kebebasan
(yang dibagi lagi menjadi enam).
4) Sembilan belas keadilan: persahabatan, persatuan, kepercayaan, kasih
sayang, persaudaraan, pengajaran, keserasian, hubungan terbuka,
ramah-tamah, taat, penyerahdirian, pengabdian kepada Tuhan,
meninggalkan permusuhan, tidak membicarakan sesuatu yang
menyakiti orang lain, membahas sifat keadilan, tak mengenal
ketidakadilan dan lepas dari mempercayai yang hina, pedagang yang
jahat dan penipu.
Tujuan pendidikan karakter menurut Ibn Miskawaih adalah ‘terwujudnya sikap
batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan
yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh
kebahagiaan sejati’ (Ibn Miskawaih dalam kitab as-Sa’adat dalam Nata, 2003:
11).
78
Nata (2003: 12) menyimpulkan bahwa “tujuan yang ingin dicapai Ibn
Miskawaih bersifat menyeluruh, yakni menccakup kebahagian hidup manusia
dalam arti seluas-luasnya”.
Sejalan dengan uraian tersebut di atas, Ibn Miskawaih juga menyebutkan
beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan dan diperaktekkan agar tercapai
tujuan yang telah dirumuskan. ‘Ada tiga hal pokok materi pendidikan karakter
yakni: hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia (Salat, puasa dll), hal-hal
yang wajib bagi jiwa (pembahasan tentang aqidah yang benar, meng-esakan
Allah, motivasi untuk senang kepada ilmu, dan hal-hal yang wajib bagi
hubungannya dengan sesama manusia (ilmu muamalat, pertanian, perkawinan dll’
(Nata, 2003: 12).
Untuk menyampaikan materi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, Ibn
Miskawaih mengajukan beberapa metode, sebagaimana yang dikutip oleh Nata
(2003: 23) yakni:
pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-`adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengtahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.
b. Ibn Taimiyah
Dalam filsafat pendidikan Ibn Taimiyah ketauhidan menjadi asas dan dasar
dalam pendidikan. Sebagaimana yang dikutip oleh Nata (2003: 141) “menurut Ibn
Taimiyah manusia dikarunia tabi’at atau kecenderungan mengesakan Tuhan.
Manusia diciptakan oleh Allah dan di dalam dirinya terdapat kecenderungan
79
beribadah hanya kepada Allah tanpa menyekutukannya, sebagaimana jasmani
yang membutuhkan makan dan minum”.
Sejalan dengan penjelasan di atas dapat terlihat dari rumusan tujuan pendidikan
yang diajukan oleh Ibn Taimiyah, pendidikan bertujuan untuk membuka hati
manusia, pendidikan diarahkan untuk membentuk pribadi muslim yang baik, yaitu
sebagai seorang yang berpikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan
kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan apa yang diperintahkan Al-Quran
dan As-Sunnah. Pendidikan juga diarahkan pada terciptanya masyarakat yang
baik yang sejalan dengan ketentuan Al-Quran dan As-Sunnah.
Terkait dengan tujuan yang ingin dicapai maka metode pengajaran menurut
Ibnu Taimiyah ada dua, sebagaimana yang penulis rangkum dalam penjelasan
Nata (2003: 152-153). Kedua metode tersebut yaitu metode ‘ilmiyah dan metode
iradiyah. Hal ini didsarkan pada pemikirannya bahwa hati merupakan alat untuk
belajar. Hati memiliki dua daya; daya ‘ilmiyah atau daya berpikir dan daya
iradiyah atau kecenderungan untuk mengamalkan apa yang dipikirkan. Melalui
berpikir seseorang akan mengetahui, kemudiann melalui iradiyah akan tergerak
hati untuk menyesuaikan ilmu yang selanjutnya diperaktekkan dalam amal.
Puncak penggunaan kedua daya ini adalah dalam akal, karena menurut Ibn
Taimiyah akal merupakan sifat yang terdapat pada hati.
Dari penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Filsafat
pendidikan Ibn Taimiyah yang berasaskan pada ketauhidan akan mampu
membentuk karakter para siswa. Ketauhidan akan membawa peserta didik yang
menyebarkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
80
5. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam dalam
membentuk Karakter
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya
terdapat kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (peserta didik)
dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan
tersebut, serta didukung dengan adanya pemondokan atau asrama sebagai tempat
tinggal para santri (Mujib dan Mudzakkir, 2008: 234-235).
Arifin HM sebagaimana yang dikutip oleh Mujib dan Mudzakkir (2008: 235)
menjelaskan bahwa tujuan terbentuknya pesantren adalah sebagai berikut:
Tujuan umum terbentuknya pondok pesantren yaitu untuk membimbing anak didik untuk menjadi manusia berkepribadian Islam, yang dengan agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya; adapun tujuan khususnya, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sistem pendidikan di pondok pesantren dianggap unik dan mempunyai
beberapa keunggulan, hal ini sejalan dengan Amien rais M sebagaimana yang
ditulis oleh Mujid dan Mudzakkir (2008: 235) yakni:
a. Pondok pesantren memakai sistem tradisional, yang memiliki kebebasan
penuh dibandingkan dengan sekolah umum.
b. Semangat demokrasi yang begitu terasa, karena pondok pesatren
mengatasi masalah kurikuler mereka sendiri.
c. Sebagian pondok pesantren tidak mengeluarkan ijazah sehingga santri
dengan tulus hati menuntut ilmu karena Allah.
81
d. Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri, dan keberanian hidup.
Kehadirian pondok pesantren masih menjadi perbincangan hanagt oleh para
ahli, banyak peneliti yang berusaha menggali makna-makna positif dari
pendidikan di pondok pesatren walaupun tidak sedikit juga yang memberikan
kritikan terhadap sistemnya yang belum terencana dengan matang dan belum
terstruktur.
Mujid dan mudzakkir (2008: 236) menjelaskan bahwasanya pondok pesantren
seharusnya membutuhkan beberapa komponen kompleks yang mendukung
tercapainya tujuan pendidikan di pesantren, yakni;
planning pada kenyataanya masih banyak pondok pesantren yang belum memiliki rencana yang jelas dalam melaksanakan kebijaksanaan pendidikan dan pengajaran; organizing pondok pesantren yang ada tidak memiliki keseragaman struktur oragnisasi dan administrasi serta tidak mempunyai kesepakatan struktur kurikulum; staffing pelaksana pendidikan seperti kiai dan pengurus seharusnya diberikan up-grading, penataran, kursus-kursus dan pengkaderan yang terstruktur; coordinating; reporting; dan budgeting.
Penulis melihat pondok pesantren dituntut untuk membenahi diri, sehingga saat
ini banyak bermunculan pondok pesantren yang dulu dikenal salafiyah (kuno) kini
berubah menjadi khalafiyah (modern). Dan diakui atau tidak pada kenyataanya
sistem pendidikan unggulan yang berbasis Islamic full day school adalah sebagai
cerminan pondok pesantren modern.
82
C. Islamic Fullday School
1. Sejarah Islamic Full day school
Sebelum mengetahui sejarh munculnya Islamic Full day school, ada baiknya
jika kita mengatahui terlebih dahulu bagaimana sejarah mucunlnya full day school
secara umu.
Pada awalnya program Full day school lahir pada awal tahun 1980-an di
Amerika Serikat yang diterapkan untuk sekolah taman kanak-kanak, yang
akhirnya melebar ke jenjang sekolah dasar hingga menengah atas.
Menurut Sismanto (2008) dalam artikel yang berjudul Pesanteran VS Full day
school “awal mula jenis sekolah full day school yang dianggap unggul ini pertama
kali muncul pada pertengahan tahun 1990”. Dahulu sekolah-sekola seperti ini
dikenal dengan istilah excellent school. Sekolah yang menawarkan pendidikan
sehari penuh ini tiba-tiba saja tumbuh subur seperti ‘jamur sembagi’ di musim
hujan.
Pada awalanya full day school dirintis oleh swasta dan sekolah Islam swasta
dengan tarif biaya tinggi dengan menawarkan faslitas, elit, ekslusif dan guru-
gurunya diambil dari kalangan profesional. Sehingga tidak salah jika pada
awalanya sekolah dengan sistem full day school dianggap sebagai sekolah untuk
kalangan atas yang borjuis dan berduit.
Sekolah dengan model ini sangat diminati dikalangan masyarakat modern yang
nota bene mempunyai kesibukan di luar rumah sangat tinggi (bekerja), sehingga
perhatian terhadap keluarga khususnya pendidikan agama anak-anak sangat
83
kurang. Maka sekolah model ini dapat menjadi solusi alternatif bagi pembinaan
kegiatan keagamaan maupun kegiatan lainnya untuk anak.
Konsep full day school itu sendiri menurut Basuki (2011) “semula berangkat
dari sebuah kebutuhan masyarakat (katakanlah masyarakat perkotaan) yang
memiliki tingkat mobilitas yang sangat tinggi”.
Orang tua meninggalkan rumah untuk bekerja pukul 6 pagi dan kembali ke
rumah menjelang malam hari. Para orang tua bekerja selama 5 hari per minggu
dan mereka libur (weekend) pada hari sabtu dan minggu. Sementara anak-anak
berangkat sekolah pukul 6.30 pagi dan pulang pukul 13.00 siang. Mereka sekolah
6 hari dalam seminggu yaitu senin-sabtu.
2. Pengertian Islamic Full day school
Program full day school yang dimaksud adalah program sekolah di mana
proses pembelajaran dilaksanakan sehari penuh di sekolah. Dengan kebijakan
seperti ini maka waktu dan kesibukan anak-anak lebih banyak dihabiskan di
lingkungan sekolah dari pada di rumah. Anak-anak dapat berada di rumah lagi
setelah menjelang sore. Anak berada di sekolah dari pukul 08.00 – 15.00 WIB.
Bahkan, terkadang anak berada di sekolah sampai pukul 16.00 WIB karena
menunggu dijemput oleh orang tuanya.
Menurut Sismanto (2007) dalam artikelnya yang berjudul Menakar
Kapitalisasi Full day school, Islamic full day school merupakan model sekolah
umum yang memadukan sistem pengajaran Islam secara intensif yaitu dengan
memberi tambahan waktu khusus untuk pendalaman keagamaan siswa.
84
Masih menurut Sismanto (2007) bahwa usaha pengembangan sekolah model
Full day school penting dilakukan, dengan syarat tidak meninggalkan aspek-aspek
peningkatan mutu pendidikan. Menurut ada beberapa aspek yang perlu dijaga
yakni:
a. Pembinaan prestasi akademik harus selalu ditingkatkan dengan
memberikan jadwal remedial secara kolektif atau secara individu bagi
anak-anak yang kurang mampu dalam mengikuti pelajaran di kelas,
sehingga anak benar-benar sangat menguasai pelajaran;
b. Pembinaan prestasi non akademik melalui berbagai kegiatan ekstra
kurikuler harus terus ditingkatkan. Seluruh potensi siswa sebisa mungkin
dapat digali dan disalurkan serta diasah sehingga kelak setiap siswa dapat
mempunyai bidang ketrampilan (bekal hidup) yang ditekuni secara
profesional sesuai minat dan bakatnya;
c. Peningkatan mutu dan kualitas tenaga pengajar, sarana prasarana belajar
Termasuk perpustakaan dan laboratorium serta sumber-sumber belajar
lainnya;
d. Memberikan teladan dalam melaksakan school culture sehingga siswa
memiliki karakter yang tangguh dalam menjalankan keyakinan
agamanya; dan
e. Menjalin kerjasama antara sekolah dan masyarakat dalam meningkatkan
mutu sekolah.
85
3. Pro dan Kontra Full day school
Banyak pro dan kotra berkenaan dengan adanya sekolah yang berbasis full day
school, tidak sedikit yang berpendapat bahwa dalam pelaksanaannya model
sekolah yang berbasis full day school hanya diperuntukkan untuk kelangan
borjuis, elit, dan berduit yang ingin mempertahankan eksistensinya sebagai
kalangan atas. Kalaupun ada peserta didik yang masuk ke sekolah dengan sistem
subsidi silang itu hanya akal-akalan saja dari pihak sekolah untuk menghindari
‘ image’ di masyarakat sebagai sekolah mahal dan berkualitas. Padahal,
sebenarnya dengan sistem ini hanya satu atau dua peserta didik saja yang dapat
masuk dalam komunitas yang bernama sekolah full day.
Terlepas dari kontra tersebut, pada dasarnya sesuai dengan UU No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu”, dan pasal 11, ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi”.
Terkait hal tersebut maka sudah menjadi tugas pemerintah untuk memberikan
pelayanan dan memudahkan masyarakat untuk memperoleh sekolah yang
bermutu. Akan tetapi memang ada beberapa kalangan masyarakat yang memilih
full day school untuk pendidikan anaknya justeru bukan karena menganggap
sekolah biasa tidak unggul tetapi karena kesibukan dan lain hal sehingga mereka
memilih menyekolahkan anaknya di full day school.
86
Anjaryati (2009) seorang mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta menuliskan pada artikelnya bahwa ada beberapa alasan orang tua
memasukkan anaknya ke Sekolah berbasis Full day school, yakni:
a. Kesibukan orang tua yang keduanya bekerja di luar sehingga
membutuhkan sekolah yang homey dan penuh kasih sayang. Tinggal
disekolah dengan berbagai kegiatan positif tapi juga seimbang dengan
istirahat untuk anak seusianya menurut mereka lebih baik dibanding
dengan meninggalkan anak di rumah tanpa pengawasan yang tepat
apalagi dengan majunya teknologi seperti sekarang (komputer, TV, dan
playstation)
b. Orang tua mencari sekolah yang student center bukan teacher center,
sehingga anak diberikan kebebasan untuk bereksplorasi, dan anak
menjadi lebih kreatif.
c. Orang tua mencari sekolah yang mau melatih/menstimulasi anak step by
step untuk menstimulasi anak secara keseluruhan baik motorik (kasar
dan halus) maupun life skill, jadi tidak by pass ke akademik atau
sekarang dikenal dengan calistung karena sebelum sampai ke tahap
tersebut semua aspek motorik kasar dan halusnya harus matang terlebih
dahulu.
d. Orang tua percaya bahwa full day school mempunyai manajemen waktu
yang baik, lebih baik dari pada sekolah yang hanya beberapa jam tetapi
hanya diisi dengan mengerjakan tugas, LKS dan teacher center karena
nature anak dibawah umur 7 tahun yang masih perlu bergerak,
87
bersosialisasi dan stimulasi yang menyeluruh tidak hanya untuk urusan
akademik (hard skill) tapi juga soft skill yang ada anak lebih tertekan
dan stres (walaupun hanya 2-3 jam). Manajemen waktu yang baik disini
tentu harus yang tepat juga untuk anak usia dini, dimana antara kegiatan
dan istirahat dan disiplin waktu harus seimbang sebab orangtua percaya
kebiasaan baik tumbuh dari proses yang baik pula.
e. Orang tua percaya bahwa melatih anak untuk mempunyai/
menumbuhkan motivasi belajar lebih baik daripada memaksa anak
untuk belajar dan ini hanya bisa dicapai dari proses dan lingkungan yang
kondusif dan fun bagi anak.
f. Orang tua mencari sekolah yang mempunyai action plan yang jelas
untuk anak-anak yang mungkin “tertinggal” dari anak seusianya atau
bahkan lebih “advanced” untuk anak seusianya. Sebab anak adalah unik
dan merupakan individu yang berbeda ada yang lambat ada yang
advance jangan sampai semua anak dipaksa untuk memiliki keahlian
dan kemajuan yang sama.
g. Orang tua tidak ingin memaksakan visi mereka kepada anak, yang
dilakukan orang tua hanya memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh anak
tahap demi tahap agar anak “siap” dan “matang” menjadi apa saja yang
diinginkan di masa depan.
88
4. Contoh Islamic Full day school
Saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang menerapkan sistem islamic full
day school walaupun masih didominasi oleh sekolah yang terkenal dengan
biayanya yang mahal.
a. Salman Al-Farisi
Salman Al Farisi maerupakan sekolah dengan konsep full day school yang
mengimplementasikan kurikulum berbasis kompetensi dengan menekankan 4
pokok kekhasan, yaitu: leadership, penerapan nilai-nilai keislaman, bahasa asing
dan teknologi informatika dan komunikasi.
Ritme kehidupan anak disekolah yang dimulai dari pukul 07.30 sampai pukul
16.00 WIB.
b. Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah salah satu sekola full day yang mempunyai Visi ‘Menjadi
Sekolah Dasar Islam unggulan yang menghasilkan peserta didik yang
berpengetahuan luas, berkepribadian kuat, dan berperadaban Islam.’
SD Ibnu Sina memiliki Misi sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan pendidikan tingkat dasar yang mengintegrasikan
nilai-nilai Islam dalam proses kegiatan belajar-mengajar.
2) Mengembangkan sistem pendidikan yang berorientasi pada siswa agar
lebih kreatif, inovatif, dan mampu bereksplorasi dalam bingkai kaidah
Islam.
89
3) Mendidik siswa untuk senantiasa menjaga kelurusan kaidah dan fikrah,
ketaatan ibadah serta memiliki perilaku Islami dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya.
4) Membimbing siswa berakhlak Islam melalui keteladanan perilaku dari para
pendidika yang istiqomah, berdisiplin tinggi, dan mampu menjadi figur
panutan.
5) Membentuk siswa agar memiliki keunggulan kompetitif pada aspek
keberanian bertindan, kemandirian bersikap, dan pencapaian prestasi
akademik yang unggul.
D. Penelitian Terdahulu
1. Konsep Pendidikan Akhlak (Studi Komparasi pada Pemikiran Ibn
Miskawaih dan Ki Hadjar Dewantara)
Skripsi ini ditulis oleh Abd. Qadir Muslim. Dalam penelitiannya ia
membandingkan konsep pendidikan akhlak Ibn Miskawaih dan Ki Hajar
Dewantara.
Hasil penelitian Abd. Qadir Muslim dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ibn Miskawaih dan Ki Hadjar Dewantara memiliki persamaan dan perbedaan
dalam memandang pendidikan akhlak. Tetapi, secara umum keduanya sepaham
dalam memahami pendidikan akhlak.
Persamaannya mengenai hakikat dan tujuan pendidikan akhlak (keduanya
pendidikan akhlak sebagai proses pengembangan jiwa dan penanaman nilai dalam
diri siswa supaya memiliki akhlak mulia, metode pembelajaran pendidikan akhlak
(sama-sama menerapkan pembiasaan-pembiasaan), materi pendidikan akhlak
90
(mengamini syariat sebagai materi) dan pusat pendidikan akhlak (mereka sepakat
menggunakan lingkungan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak).
Sedangkan perbedaan antara Ibn Miskawaih dan Ki Hadjar terletak pada
kompetensi guru. Ibn Miskawaih memiliki kriteria-kriteria khusus bagi guru
pendidikan akhlak, seperti pandai dan dicintai oleh muridnya. Berbeda dengan Ki
Hadjar Dewantara, beliau menyarankan agar semua guru mengajarkan pendidikan
akhlak kendatipun tidak pandai.
Secara spesifik penelitian ini hanya membandingkan dan mendeskripsikan
pemikiran Ibn Miskawaih dan Ki Hajar Dewantara. Penelitian ini melalui
pendekatan studi literatur jadi hanya berkutat pada buku-buku yang di karang
oleh Ibn Miskawaih dan Ki Hajar Dewantara. Penelitian ini pada dasarnya kurang
relevan dengan penelitian yang saat ini peneliti laporkan karena jenis
penelitiannya studi literatur sedangkan jenis penelitian peneliti adalah studi kasus
yakni meneiti pada salah satu sekolah. Akan tetapi penelitian ini cukup membantu
peneliti dalam memberikan teori berkenaan pendidikan karakter menurut Ibn
Miskawaih.
2. Pendidikan Karakter (Studi Perbandingan Antara Konsep Doni
Koesoema Dan Ibn Miskawaih)
Tesis ini ditulis oleh Heni zuhriyah. Dalam penelitiannya ia membandingkan
konsep pendidikan karakter Doni Koesoema dan Ibn Miskawaih. Dalam
Penelitiannya ia menyimpulkan:
Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema merupakan sebuah struktur
antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri manusia secara
91
terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang
berkeutamaan. Yakni dengan mengaktualisasikan nilai-nilai keutamaan seperti
keuletan, tanggung jawab, kemurahan hati, dan lain-lain. Hal ini karena Doni
Koesoema menganggap bahwa jiwa manusia bisa dirubah dengan pendidikan, dan
ini bisa dilakukan disekolah. Ia menggagas lima metode pendidikan karakter
yakni mengajarkan pengetahuan tentang nilai, memberikan keteladanan
menentukan prioritas, praksis prioritas dan refleksi. Semua metode tersebut
dilaksanakan dalam setiap momen disekolah, yang kemudian diaktualisasikan ke
masyarakat supaya bisa mengotrolnya dan juga ikut mempraktekkan.
Sedangkan pendidikan karakter atau akhlak bagi Ibn Miskawaih merupakan
sebuah struktur teologis untuk melakukan keutamaan dengan tanpa berfikir dan
pertimbangan, dan untuk itu diperlukan pembiasaan dan latihan dengan cara
diberikan pendidikan. Ia berpedoman bahwa jiwa bisa dirubah supaya terbentuk
karakter atau akhlak tertentu, untuk itu metode Thoriqun Thob`iyyun, yakni
metode mendidik akhlak dengan disesuaikan pada perkembangan lahir-batin
(psycho-phisiologis) anak, perlu diterapkan. Ibn Miskawaih mengatakan
pendidikan karakter itu bertujuan untuk mengamalkan nilai keutamaan hikmah,
syaja`ah, iffah dan `adalah. Dan dalam mengaktualisasikannya perlu orang lain
atau masyarakat untuk mencapai kebahagiaan bersama.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa perbedaan antara Doni Koesoema dan
Ibn Miskawaih terletak pada penekanan pelaksanaan pendidikan karakter, Doni
Koesoma menekankan untuk diterapkan disekolah atau lembaga formal(sekolah)
sedangkan Ibn Miskawaih lebih ditekankan dalam keluarga atau lingkungan
92
rumah. Perbedaan penekanan ini berpengaruh pada metode yang digagas
keduanya. Peran masyarakat bagi Doni Koesoema adalah sebagai kontrol
pendidikan karakter sekaligus ikut mengaktualisasikanya, sedangkan bagi Ibn
Miskawaih pendidikan akhlak harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam
masyarakat.
Persamaan dari keduanya adalah bahwa pendidikan karakter itu untuk
menghasilkan manusia yang mempunyai keutamaan dan hal ini harus bersama-
sama dengan masyarakat untuk mengaktualisasikan.
Pada tesis ini Heni Zuhriyah, membandingkan konsep pendidikan karakter
Doni Koesoema dan Ibn Miskawaih, tidak berbeda dengan penelitian Abd. Qadir
Muslim, Heni Zuhriyah juga menggunakan jenis penelitian studi literatur.
Sedangkan pada penelitian yang saat ini peneliti laporkan adalah penelitian yang
berkaitan dengan model pendidikan karakter yang yang diterapkan pada sekolah
yang berbasis full day school.
3. Pelaksanaan Sistem Pembelajaran Islamic Full day school Bidang Studi
Matematika di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al Madinah Sukoharjo
Skripsi ini ditulis oleh Hindun Hatsmah Kandari, dalam penelitian ini ia
menguraikan pelaksanaan sistem pembelajaran bidang studi matematika di
Islamic Full day school. Berangkat dari identifikasi masalah bahwa bidang studi
matematika kurang memenuhi standar. Menurutnya Islamic Full day school
sebagai sekolah yang katanya unggulan akan dapat memberikan suatu
pelaksanaan sistem pembelajaran yang berbeda dengan sekolah pada umumnya.
93
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan sistem Islamic Full day
school, pelaksanaan pembelajaran bidang studi matematika lebih teratur dan rapi
dengan sistem pembelajaran yang ketat dan efektif.
Pada dasarnya tidak ada hubungannya penelitian bidang studi Matematika
dengan pendidikan karakter yang saat ini peneliti teliti, akan tetapi penelitiannya
sejenis yakni studi kasus pada salah satu sekolah Islamic Full day school, yang
sama-sama meneliti proses perencanaan pembelajaran, proses evaluasi, kendala
dan penunjang pendidikan di Islamic Full day school tersebut.
4. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus
di Jurusan Teknik Industri Uk Petra)
Artikel ini ditulis oleh Wanda Chrisiana, dalam penelitian yang dilaporkan
dalam bentuk artikel ini dapat diatrik kesimpulan bahwa pendidikan karakter
sangat diperlukan bagi mahasiswa dan penelitian ini menawarkan pilot project,
live in dan pekan kepedulian sebagai upaya untuk menerapkan pendidikan
karakter bagi mahasiswa teknik industri di Uk Petra.
Pada dasarnya penelitian ini sedikit berhubungan dengan peneliti, penelitian ini
bersifat studi kasus tetapi penelitian ini dilakukan untuk menerapkan nilai-nilai
pendidikan karakter dari ajaran kristiani sedangkan peniliti disini meneliti model
penerapan pendidikan karakter dari nilai-nilai Islami.
5. Implementasi Pendidikan Karakter pada Mata Pelajaran di Smp
Negeri 1 Kuwarasan Kabupaten Kebumen
Tesis ini ditulis oleh Muhaimin, dalam penelitian ini ia memfokuskan
panelitian pendidikan karakter pada mata pelajaran saja, tidak meneliti pendidikan
94
karakter secara keseluruhan yang ada disekolah sebagaimana yang peneliti pada
skripsi ini. Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut : 1) Pendidikan karakter
agar dilaksanakan dalam pembelajaran (KTSP) di setiap sekolah, 2) Sosialisai
kepada guru-guru terus dilakukan , 3) Perlu daya dukung, sarana dan prasaran
untuk menunjang pendidikan karakter. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam Penelitian ini yakni observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik yang
digunakan sama dengan peneliti.