rickoblok24

38
Leukemia Granulositik Kronis Uria RickoTanguhno Handen Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 E-mail : [email protected] Pendahuluan Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder (MPD) yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit. 1 LGK terutama dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade keempat dan kelima kehidupan. 2,3 LGK merupakan 15% dari semua jenis leukemia. 3 LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode

Upload: ricko-handen-uria

Post on 24-Jan-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

blok 24

TRANSCRIPT

Page 1: rickoblok24

Leukemia Granulositik Kronis

Uria RickoTanguhno Handen

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida

Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

E-mail : [email protected]

Pendahuluan

Leukemia Granulositik Kronis (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronis (LML) atau

Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan suatu Myeloproliferative Disorder (MPD)

yang ditandai oleh proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada

apusan darah tepi dapat dengan mudah dilihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari

promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit.1 LGK terutama

dijumpai pada orang dewasa berusia 25 sampai 60 tahun, dengan insiden puncak pada dekade

keempat dan kelima kehidupan.2,3 LGK merupakan 15% dari semua jenis leukemia.3

LGK merupakan kelainan klonal dari sel punca pluripoten. Diagnosis LGK dibantu

dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas. Kromosom ini merupakan translokasi

antara kromosom 9 dan 22 sebagai akibat bagian dari onkogen ABL1 berpindah ke gen BCR

pada kromosom 22 dan bagian kromosom 22 berpindah ke kromosom 9. Kromosom Ph

menghasilkan gen chimeric BCR-ABL1 yang mengkode suatu protein gabungan yang memiliki

aktivitas tirosin kinase berlebih.4 Pada sebagian besar pasien kromosom Ph terlihat dengan

pemeriksaan kariotip sel tumor, tetapi pada sebagian kecil kasus, abnormalitas Ph tidak tampak

dengan mikroskop, namun dengan pemeriksaan molecular kromosom ini dapat tampak dengan

teknik yang lebih sensitive yaitu fluorescent in situ hybridization (FISH) atau polymerase chain

reaction (PCR). LGK dengan Ph-negatif BCR-ABL1 memiliki klinis sama seperti LGK Ph-

positif. Oleh karena kromosom Ph merupakan kelainan yang didapat pada sel punca

hematopoietic, kelainan dapat terlihat pada kedua jalur baik myeloid (granulositik, eritroid, dan

megakariositik) dan limfoid (sel B dan T). Pada LGK, jumlah leukosit dapat meningkat demikian

rupa (biasanya berjumlah 50.000-250.000/mm3), sehingga darah tampak berwarna keabu-abuan.

Page 2: rickoblok24

Anamnesis

Berikut hal-hal yang harus ditanyakan kepada pasien pada skenario ini :

1. Identitas pasien, Pria usia 60 tahun.

2. Keluhan utama: lemas sejak 2 bulan, sering demam, keringat malam.

3. Riwayat penyakit sekarang

Sifat demam

Batuk

Hal yang memperberat gejala

Penyakit yang sedang diderita saat ini

Riwayat keluhan sama berulang

Keluhan lain (anoreksia, penurunan BB, dll)

4. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit infeksi sebelum keluhan timbul

Riwayat penyakit kronis

Riwayat pengobatan

5. Riwayat keluarga dan sosial

Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama

Pekerjaan pasien

Gaya hidup pasien (merokok, alcohol, pola makan, aktivitas)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan umum dan tanda-tanda vital

yang meliputi tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan suhu. Pada pemeriksaan fisik

secara umum, dapat dilihat keadaan pasien yang tampak lemah dan pucat, serta ditemukan

conjungtiva anemis yang menunjukkan adanya anemia.

Pemeriksaan fisik pada abdomen, khususnya pemeriksaan pembesaran hati dan Schuffner

untuk memeriksa adanya splenomegali, sangat penting dilakukan oleh karena biasa ditemukan

hepatosplenomegali pada LGK. Hepatosplenomegali disebabkan oleh adanya hematopoiesis

Page 3: rickoblok24

ekstramedular yang sering dipersulit oleh infark local, terutama pada limpa.2 Splenomegali

ringan hingga berat paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik, sedangkan hepatomegali

hanya sesekali ditemui.5 Splenomegali yang menetap, meskipun telah diterapi, merupakan suatu

tanda akselerasi penyakit.5 Limfadenopati dan myeloid sarcoma tidak biasa dijumpai, kecuali

pada akhir perjalanan penyakit.5 Bila ditemui adanya limfadenopati dan myeloid sarcoma, maka

prognosisnya adalah dubia ad malam.

Pemeriksaan Penunjang

Hematologi rutin

Pada fase kronis, kadar Hb umumnya normal atau sedikit menurun.1 Jumlah leukosit

biasanya >50.000/mm3.3,4 Persentasi eosinofil atau basofil meningkat. Trombosit biasanya

meningkat antara 500.000-600.000/mm3, tetapi dapat juga normal atau trombositopeni. Nilai

hematokrit antara 25-35%.4

Apus darah tepi

Eritrosit sebagian besar normokrom normositer, sering ditemukan adanya polikromasi

eritroblas asidofil atau polikromatofil. Leukosit dalam jumlah besar tampak dalam berbagai

stadium pematangan, baik immature maupun mature, umumnya persentasi sel mielosit dan

metamielosit meningkat dengan jumlah mielosit lebih banyak daripada metamielosit.1,4,5

Eosinofil dan/atau basofil meningkat pada stadium lanjut, menyebabkan pruritus, diare, dan

flushing.1,5 Aktivitas leukocyte alkaline phosphatase (LAP) hampir selalu rendah bahkan

mungkin turun sampai 0.4,5

Pada fase akselerasi, terjadi peningkatan derajat anemia yang ditandai dengan penurunan

kadar Hb oleh karena adanya pendarahan atau efek terapi, sel blast dalam darah dan sumsum

tulang antara 10 dan 20%, basofil darah dan sumsum tulang ≥20%, atau trombosit

<100.000/mm3.5

Page 4: rickoblok24

Fase krisis blast ditentukan sebagai leukemia akut dengan kadar blast dalam darah atau

sumsum tulang ≥20% . Mungkin ditemukan neutrofil hiposegmented (Pelger-Huet anomaly). Sel

blast bisa diklasifikasikan sebagai myeloid, cytochemical, dan immunologic features.5

Tabel 1. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Darah Tepi

Fase LGK Morfologi Sel

Fase awal Leukosit <50.000/µL, terdapat bentuk yang belum matang tersendiri

Basofil mungkin +

Fase kronik Leukosit 50.000-500.000

Granulopoiesis +, blas - , bagiannya tergantung dari jumlah sel

keseluruhan. Sebagian besar <5%

Basofil +, bentuk kerdil

Trombosit sering >400.000

Fase akselerasi Leukosit hingga 250.000

Bentuk yang belum matang ++ (promielosit 20-30%), blas hingga 10%

Basofil ++

Trombosit normal

Fase akhir

(krisis blas)

Sebagian besar >50%, prefinal hampir 100%

Blas 25% TdT atau PAS positif

Merupakan elemen sisa dari fase kronik dengan atipik yang

beranekaragam

Trombositopeni +

Apus sumsum tulang

Selularitas sumsum tulang meningkat akibat proliferasi dari sel-sel leukemia, sehingga

rasio myeloid : eritrosit meningkat.1,5 Berbeda dengan sumsum tulang normal, yang biasanya

50% selular dan 50% lemak, sumsum tulang CML biasanya 100% selular dengan dominasi

Page 5: rickoblok24

precursor granulositik yang berada dalam proses maturasi. Meningkatnya jumlah megakariosit,

sering disertai oleh bentuk-bentuk displatik, juga sering dijumpai, sementara progenitor eritroid

biasanya berjumlah normal atau berkurang. Temuan khas adalah adanya histiosit dengan

sitoplasma keriput hijau-biru tersebar.2 Persentasi sel blast sumsum tulang umumnya normal atau

sedikit meningkat.5 Megakariosit juga tampak lebih banyak.1 Pada pewarnaan retikulin, tampak

bahwa stroma sumsum tulang mengalami fibrosis, meskipun hal ini jarang terlihat.

Tabel 2. Morfologi Sel pada Tiap Fase LGK dari Spesimen Sumsum Tulang

Fase LGK Morfologi Sel

Fase awal Sangat kaya sel

Granulopoesis bergeser ke kiri secukupnya

Indeks GE (perbandingan kuantitatif antara granulopoesis dan

eritopoesis) 5-6

Basofil dan eosinofil meningkat

Megakariosit dan mikrokariosit +

Fase kronik Sangat kaya sel, tidak ada sel lemak

Granulopoesis jelas bergeser ke kiri

Indeks GE >10

Basofil dan eosinofil ++

Blas –

Mikrokariosit +

Fase akselerasi Seperti fase kronik, namun terdapat pergeseran ke kiri yang meningkat

Peningkatan promielosit berlebihan

Blas ± 10%

Fase akhir

(krisis blas)

Blas sumsum sangat banyak, 25% dari fase akselerasi bereaksi positif

dengan PAS

Basofil muda +

Eritrosit –

Trombopoesis direduksi

Page 6: rickoblok24

Karyotipik

Dahulu dikerjakan dengan teknik pemitaan (G-banding technique), saat ini teknik ini

sudah mulai ditinggalkan dan peranannya digantikan oleh metoda FISH (Fluorescen In Situ

Hybridization) yang lebih akurat.1 Pada LGK, ditemukan kromosom Philadelphia yang

merupakan translokasi t(9; 22) (q34; q11). Semula, translokasi ini dikenal oleh keberadaan

pemendekan kromosom 22 (22q-), yaitu kromosom Ph yang muncul dari timbal balik t(9; 22).3,5

Beberapa pasien mungkin memiliki translokasi kompleks (dikenal sebagai variant

translocations) yang melibatkan tiga, empat, atau lima kromosom (biasanya meliputi kromosom

9 dan 22). Semua pasien harus memiliki bukti translokasi molekuler atau oleh sitogenetik atau

FISH untuk menegakkan diagnosis LGK.5

Gambar 1. Deteksi Gen Fusi BCR-ABL dengan Teknik FISH.2

Gambar di atas menunjukkan kromosom 9 dan kromosom 22 pada orang normal (kiri)

dan penderita LGK (kanan). Warna hijau menunjukkan probe ABL, sedangkan warna merah

adalah probe BCR. Pada kromosom normal (kiri), probe ABL dan probe BCR telah dihibridisasi

ke kromosom metaphase dan nucleus interfase yang dipersiapkan dari sel darah perifer orang

normal. Oleh karena pembentukan pasangan sister chromatids selama mitosis, sinyal-sinyal

kromosom metaphase dapat terlihat sebagai titik tunggal atau sepasang titik yang terlihat

berdekatan. Dua pasang sinyal merah dan dua sinyal hijau terlihat di kromosom metaphase,

sementara dua sinyal merah dan dua sinyal hijau terdapat di nucleus interfase, masing-masing

menunjukkan salinan ABL dan BCR yang terpisah normal.2

Page 7: rickoblok24

Sebaliknya, pada kromosom yang mengalami translokasi (kanan), kromosom metaphase

dan nucleus interfase yang diperoleh dari sel sumsum tulang pasien LGK memperlihatkan satu

sinyal ABL normal, satu sinyal BCR normal, dan satu sinyal kuning abnormal yang tercipta oleh

tumpang-tindih sebuah sinyal BCR dan sebuah sinyal ABL. Temuan ini menunjukkan adanya

gen fusi BSCR-ABL.2

Laboratorium lain

Kadar asam urat dalam serum dan urin umumnya meningkat oleh karena pemecahan

purin berlebih. Selain itu, mungkin dijumpai batu urat di dalam ginjal atau gout. LDH (Laktat

Dehidrogenase) meningkat, menunjukkan adanya peningkatan kerusakan protein. Kadar vitamin

B12 dalam serum dan protein pengikat vitamin B12 biasanya meningkat. Granulositosis berlebih

menyebabkan peningkatan transkobalamin dalam darah, yaitu suatu protein pengikat vitamin B12.

Peningkatan transkobalamin ini bertujuan untuk dapat mengikat vitamin B12 lebih banyak untuk

meningkatkan eritropoesis. Namun, oleh karena granulopoesis lebih besar daripada eritropoesis,

maka eritropoesis terhambat, sehingga terjadi anemia.

Diagnosis Banding

Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM)

MMM merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi

kolagen berlebih dalam sumsum tulang. Kelainan merupakan kelainan stem sel hematopoesis

klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative disorders (CMPD), di mana adanya

hematopoesis ekstramedular merupakan gambaran yang mencolok. MMM menyerang golongan

umur menengah dan tua, rata-rata umur 60 tahun, pria dan wanita memiliki kemungkinan yang

sama.1

Pada 25% kasus MMM berpenampilan asimtomatis. Diagnosis ditegakkan dengan

adanya pemeriksaan darah yang abnormal atau secara insidentil terdapat splenomegali. Gejala

klinis pada umumnya adalah kelelahan otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom

Page 8: rickoblok24

hipermetabolik (5-20% pasien), pendarahan dan memar, kadang terdapat massa dalam perut,

gout, dan kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tidak jelas, dan nyeri substernal kadang

diketemukan.1

Tabel 3. Kelainan Klinis untuk Diagnosis Pasien dengan Mielofibrosis dengan Metaplasia

Mieloid1

Sangat sering ditemukan (>50% kasus)

Splenomegali, hepatomegali, fatique, anemia, leukositosis, trombositosis

Sering ditemukan (10-50% kasus)

Asimtomatik, penurunan berat badan, keringat malam, perdarahan, nyeri splenik,

leukositopenia, trombositopenia

Kurang sering ditemukan (<10% kasus)

Edema perifer, hipertensi portal, limfadenopati, ikterik, gout

Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Hepatomegali

ditemukan pada separuh pasien, 2-6% terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi:

asites, varises esophagus, perdarahan gastrointestinal, dan ensefalopatia hepatik. Juga ditemukan

ptekie, ekimosis, dan limpadenopatia. Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis

neutrofilik serupa pada sweet-syndrome dan mengalami hematopoesis ekstramedulare dermal,

osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan

serosa terlibat dalam hematopoesis mungkin akan terdapat efusi pleura dan perikard atau asites.

Kadang diikuti komplikasi neuroplogis berupa tekanan intracranial meningkat, delirium, koma,

perdarahan subdural, kerusakan motorik, sensorik, dan paralisis.1

Pada pemeriksaan darah tepi, didapatkan sel eritrosit berbentuk tear drop yang

dihubungkan dengan adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur dan

platelet besar abnormal. Retikulosit meningkat: eritrosit polikromasi, fragmentasi dan sel target

juga sering ditemukan.nabnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoesis,

bebasnya sel lebih awal dari sumsum tulang dan hematopoesis ekstramedular.1

Page 9: rickoblok24

Anemia dengan Hb <10 gr/dl, ditemukan 60% kasus yang dapat terjadi akibat hemodilusi

akibat volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang, dan hemolisis.

Hapusan darah tepi didapat aniso-poikilositosis, oval dari eritrosit, reaksi leukomoid (samping

granulosit terdapat 1 metamielosit, 1 promielosit, dan 1 normoblas). Morfologi anemia tidak

khas pada umumnya normositik normokromik, makrositik bila defisiensi asam folat dan

mikrositik hipokromik bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit

meningkat pada 50% kasus, diikuti eosinofilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal.

Beberapa mieloblas ditemukan pada darah tepi, konsentrasi mieloblas >1% memberikan

prognosis buruk. Ditemukan juga neutrofil hipersegmen, kenaikan enzim neutrofil, trombosit

meningkat pada fase awal, pada progresifitas penyakit dapat terjadi trombositopenia. Platelet

baiasanya berukuran besar dan dalam sirkulasi ditemukan megakariosit utuh atau terfragmentasi.

Perubahan pada faktor pembekuan terlarut dapat terjadi karena abnormalitas platelet. Kadar asam

urat dan LDH hampir selalu meningkat, menggambarkan ada massa berlebih dari sel

hematopoetik atau ada hematopoesis inefektif atau keduanya. Enzim alkali fosfatase serum

meningkat yang menunjukkan keterlibatan tulang. Kadar albumin, kolesterol, dan lipoprotein

menurun. Dapat terjadi kenaikan kadar vitamin B12 pada pasien dengan leukositosis yang

merupakan refleksi dengan peningkatan massa neutrofil.1

Biopsi sumsum tulang diperlukan untuk menegakkan MMM. Kriteria yang harus ada

untuk membuat diagnosis MMM, antara lain fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi

hyperplasia sumsum tulang, dan hematopoesis ekstramedular. Pada pemeriksaan patologi, ada

osteosklerosis akibat fibrosis sumsum tulang, terutama pada kerangka aksial dan proksimal

tulang panjang. Korteks tulang mengalami penebalan dan pola normal trabekula menghilang.

Hematopoesis terutama terjadi di lien dengan adanya splenomegali. Hepar juga dapat terlibat

dengan adanya hepatomegali. Proporsi eritroid lebih tinggi pada sisi ekstramedular daripada

dalam sumsum tulang. Hematopoesis ekstramedular ada tendensi indeks mitosis rendah, sel

imatur, dan megaloblastik yang tinggi daripada hematopoesis medulare.1

Page 10: rickoblok24

Reaksi Leukemoid

Reaksi leukemoid merupakan leukositosis reaktif yang berlebih dengan sel darah putih

matur dan imatur membanjiri sirkulasi. Karena gambaran darah mirip dengan leukemia kronis,

proses ini disebut reaksi leukemoid. Penyakit ini bukan penyakit primer sumsum tulang dan

biasanya sekunder terhadap penyakit lain. Granulosit paling sering terlibat, tetapi monositosis

yang mencolok dapat terjadi pada tuberkulosis, sedangkan limfositosis leukemoid pernah

dilaporkan pada tuberculosis, batuk rejan, dan mononucleosis infeksiosa.6

Granulositosis dengan proporsi leukemoid dapat menyertai tumor-tumor ganas dengan

atau tanpa metastasis ke tulang, infeksi tuberculosis atau piogenik yang parah, keracunan logam

berat, krisis sel sabit, gangguan metabolik berat yang mengenai ginjal atau hati, dan ketoasidosis

diabetes. Pasien yang baru pulih dari agranulositosis atau dari kemoterapi mungkin

memperlihatkan produksi berlebih sel darah putih menyerupai proliferasi pada leukemia, tetapi

leukopoesis dengan kecepatan seperti ini jarang menetapkan lebih dari seminggu.6

Apabila reaksi leukemoid terjadi karena penyakit mendasar yang sudah jelas, pembedaan

dengan leukemia tidak sulit. Namun, perlu diingat bahwa leukemia dapat timbul bersama dengan

penyakit lain. Leukemia dan tuberculosis, misalnya, dapat timbul bersama-sama, dan masing-

masing memperparah yang lain. Apabila penyakit yang primer tidak jelas, gambarannya

mengisyaratkan leukemia. Gambaran yang membedakan reaksi leukemoid dengan LGK

diperlihatkan pada table 4 di bawah ini.6

Tabel 4. Perbedaan Antara Reaksi Leukemoid dan Leukemia Granulositik Kronik6,7

Reaksi Leukemoid Leukemia Granulositik Kronik

Leukosit biasanya <50.000/µL Leukosit biasanya >50.000/µL

Granulasi toksik dan badan Dohle ++ Granulasi toksik ± / = 0

Basofilia dan eosinofilia tidak adaTerdapat basofilia dan eosinofilia, bisa juga

tidak ada

Sel batang menonjol Semua stadium ada, terutama mielosit

Tidak ada trombositopenia Terdapat trombositopenia

Page 11: rickoblok24

Anemia ringan atau tidak ada sama sekali Ada anemia, biasanya berat

Ada hiperseluler sumsum tulang Ada hiperseluler sumsum tulang (lebih berat)

Eritopoesis dan trombopoesis normalEritropoesis dan trombopoesis terhambat

oleh leukopoesis

Leukocyte Alkali Phosphatase (LAP)

meningkat (>100)LAP bisa meningkat atau tidak meningkat

Limpa biasanya tidak teraba Limpa biasanya membesar

Tidak terdapat kromosom PhiladelphiaKromosom Philadelphia terdapat pada 90%

kasus

Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja kasus tersebut adalah leukemia granulosit kronis (LGK) tahap akhir fase

kronis; berdasarkan pemeriksaan fisik ditemukan adanya conjungtiva anemis, sclera non ikterik,

dan splenomegali (Schuffner 3). Pada pemeriksaan laboratorium didapat data Hb: 9, Ht: 35%,

Leukosit: 100.000/mL, trombosit: 25.000/mL. Pada apus darah didapat retikulosit 4%, eritrosit

mikrositik hipokrom, sel blast 10%, hitung jenis 1 / 1 / 0 / 73 / 22 / 1 / 2, metamielosit 10.

Diagnosis LGK ditegakkan oleh adanya anemia, splenomegali (biasanya massif),

leukositosis berat (terutama mielosit, metamielosit, dan neutrofil), dan yang terpenting adalah

identifikasi ekspansi klonal stem cell hematopoietik yang memproses translokasi resiprokal

antara kromosom 9 dan 22.

Etiologi

Tidak ada korelasi yang jelas antara pajanan obat sitotoksik dengan LGK dan tidak

ditemukan bukti yang cukup kuat yang menjelaskan infeksi virus sebagai etiologi LGK. Pada era

pra-imatinib, rokok mempercepat progresi krisis blas. Korban bom atom Hiroshima dan

Nagasaki yang selamat mengalami peningkatan insiden LGK dengan massa sel LGK 10.000/µL

dalam 6,3 tahun. Diperkirakan hanya radiasi dosis besar yang bisa menginduksi LGK.5

Page 12: rickoblok24

Patofisiologi

Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk

pluripoten pada sistem hematopoiesis. Klon-klon ini selain proliferasinya berlebih juga dapat

bertahan hidup lebih lama dibanding sel normal karena gen BCR-ABL juga anti-apoptosis.

Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak

sistem hematopoiesis lainnya.1

Mekanisme terbentuknya kromosom Ph dan waktu yang dibutuhkan sejak terbentuknya

Ph sampai menjadi LGK dengan gejala klinis yang jelas, hingga kini masih belum diketahui

secara pasti. Diduga Ph terjadi akibat pengaruh radiasi, sebagian ahli berpendapat akibat mutasi

spontan. Diketahui bahwa translokasi ini menyebabkan pembentukan gen hibrid BCR-ABL

BCR-ABL pada kromosom 22 dan gen resiprokal ABL-BCR pada kromosom 9.1

Gambar 2. Translokasi Kromosom 9 Gen ABL dengan Kromosom 22 Gen BCR1

Gen hibrid BCR-ABL yang berada dalam kromosom Ph ini selanjutnya mensintesis suatu

protein yang berperan dalam lekemogenesis, sedangkan peranan gen resiprokal ABL-BCR tidak

diketahui.1

Saat ini diketahui terdapat beberapa varian dari kromosom Ph. Varian-varian ini dapat

terbentuk karena translokasi kromosom 22 atau kromosom 9 dengan kromosom lainnya. Varian

lain juga dapat terbentuk karena patahan pada gen BCR tidak selalu di daerah q11, akan tetapi

dapat juga di daerah q12 atau q13, sehingga protein yang dihasilkan juga berbeda berat

molekulnya.1

Page 13: rickoblok24

Tabel 5. Variasi Kelainan Sitogenetik pada LGK1

Karyotipik Gen-Gen yang Terlibat Istilah Klinik

t(9; 22)(q34; q12) BCR-JAK LGK atipik

t(9; 22)(q34; q13) BCR-PDGFRB LGK atipik

t(9; 22)(q34; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif

t(8; 22)(p11; q11) BCR-FGFR1 LGK BCR-ABL negatif

t(4; 22)(q12; q11) BCR-PDGFRA LGK atipik

t(9; 12)(q34; p13) ABL-TEL LGK atipik

Del(4)(q12) FIP1L1-PDGFRA LGK hipereosinofilia

Jadi sebenarnya, gen BCR-ABL pada kromosom Ph (22q-) selalu terdapat pada semua

pasien LGK, tetapi gen BCR-ABL pada 9q+ hanya terdapat pada 70% pasien LGK. Dalam

perjalanan penyakitnya, pasien dengan Ph+ lebih rawan terhadap adanya kelainan kromosom

tambahan. Hal ini terbukti pada 60-80% pasien Ph+ yang mengalami fase krisis blas ditemukan

adanya trisomi 8, trisomi 19, dan isokromosom lengan panjang kromosom 17 i(17)q. Dengan

kata lain, selain gen BCR-ABL, ada beberapa gen lain yang berperan dalam patofisiologi LGK

atau terjadi abnormalitas dari gen supresor tumor, seperti gen p53, p16, dan gen Rb.1

Pada kebanyakan pasien LGK, patahan pada gen BCR ditemukan di daerah 5,8-kb atau di

daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr), kemudian

gen BCR-ABL akan mensintesa protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis

p210BCR-ABL. Patahan lainnya ditemukan di daerah 54,4-kb atau e1 yang dikenal sebagai minor

bcr (m-bcr) yang gen BCR-ABL nya akan mensintesa p190. Ditemukan juga variasi patahan ini

pada 3’ gen BCR antara e19-e20 yang selanjutnya akan terbentuk p230. Daerah patahan ini

kemudian dikenal sebagai micro-bcr (µ-bcr). Tiga variasi letak patahan pada gen BCR ini yaitu

mayor, minor, dan mikro ternyata berhubungan dengan gambaran klinik penyakitnya. Pasien

LGK yang patahan pada gen BCRnya di M-bcr berhubungan dengan trombositopenia, patahan di

m-bcr berhubungan dengan monositosis yang prominen, sedangkan patahan di µ-bcr

berhubungan dengan neutrofilia dan/atau trombositosis.1

Page 14: rickoblok24

Pada gambar 3, tampak bahwa p210BCR-ABL mempunyai potensi leukemogenesis dengan

cara sebagai berikut: gen BCR berfungsi sebagai heterodimer dari gen ABL yang mempunyai

aktivitas tirosin kinase, sehingga fusi kedua gen ini memiliki kemampuan untuk oto-fosforilasi

yang akan mengaktivasi beberapa protein di dalam sitoplasma sel melalui domain SRC-

homologi 1 (SH1), sehingga terjadi deregulasi dari proliferasi sel-sel, berkurangnya sifat aderen

sel-sel terhadap stroma sumsum tulang, dan berkurangnya respon apoptosis.1

Gambar 3. Fusi Gen BCR-ABL1

Selanjutnya, fusi gen BCR-ABL akan berinteraksi dengan berbagai protein di dalam

sitoplasma, sehingga terjadilah transduksi sinyal yang yang bersifat onkogenik, seperti tampak

pada gambar 4 di bawah ini. Sinyal ini akan menyebabkan aktivasi dan juga represi dari proses

transkripsi pada RNA, sehingga terjadi kekacauan pada proses proliferasi sel dan juga proses

apoptosis.1

Page 15: rickoblok24

Gambar 4. Proses Aktivasi Sinyal Transduksi oleh Fusi Gen BCR-ABL1

Pada LGK, berbagai turunan myeloid, sel limfoid B dan mungkin sel limfoid T

mengekspresikan protein fusi BCR-ABL yang menunjukkan bahwa sasaran transformasi adalah

sel tunas pluripoten. Oleh sebab yang belum diketahui, efek BCR-ABL kinase yang terus

menerus aktif pada awal LGK, terutama tampak pada progenitor granulositik dan dengan derajat

yang lebih ringan, pada progenitor megakariositik.2

LGK secara alami berkembang lambat, bahkan tanpa pengobatan sekalipun, pasien dapat

diharapkan bertahan hidup 3 tahun. Setelah suatu periode yang bervariasi (sekitar 3 tahun),

sekitar 50% pasien masuk ke fase akselerasi. Pada fase ini, terjadi peningkatan anemia dan

trombositopeni, serta kadang-kadang eosinofilia darah tepi yang mencolok. Kelainan sitogenik

klonal lain, misalnya trisomi 8, isokromosom 17q, atau duplikasi Ph juga dapat ditemukan.

Dalam 6-12 bulan, fase percepatan berakhir dengan gambaran mirip dengan leukemia akut

(krisis blas). Di lain pihak, pada 50% sisanya krisis blas timbul secara mendadak tanpa diselingi

oleh fase percepatan. Pada 70% krisis blas, blas memperlihatkan gambaran morfologi dan

sitokimia mieloblas, sementara pada kebanyakan dari sisanya, blas mengandung enzim TdT dan

mengekspresikan penanda-penanda turunan B dini seperti CD 10 dan CD19. Meskipun jarang,

blas dapat mirip dengan sel T prekursor.

Page 16: rickoblok24

Epidemiologi

Kejadian LGK mencapai 20% dari semua leukemia pada dewasa, kedua terbanyak

setelah leukemia limfositik kronik (LLK). Pada umumnya menyerang usia 40-50 tahun,

walaupun dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang, kejadiannya

meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, demikian juga di Rusia

setelah reactor Chernobil meledak.1

Insiden LGK adalah 1,5 per 100.000 orang per tahun dan insiden pada pria lebih tinggi

daripada wanita. Insiden LGK meningkat lambat sesuai pertambahan usia sampai pertengahan

usia 40 tahun akan meningkat cepat. Insiden LGK pada wanita agak menurun (1,8%) antara

tahun 1994 dan 2006 dibandingkan tahun 1975-1994.5

Manifestasi Klinis

Dalam perjalanan penyakitnya, LGK dibagi menjadi 3 fase, yakni: fase kronik, fase

akselerasi, dan fase krisis blas. Umumnya, saat diagnosis pertama kali ditegakkan, pasien masih

dalam fase kronis, bahkan seringkali diagnose LGK ditemukan secara kebetulan, misalnya saat

persiapan pra-operasi ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala infeksi.

Pada fase kronis, pasien sering mengeluh perut terasa penuh atau cepat kenyang oleh

karena adanya splenomegali yang mendesak gaster. Kadang timbul nyeri mendadak seperti

diremas di perut kanan atas bila telah terjadi infark limpa. Keluhan lain sering tidak spesifik,

seperti cepat lelah, lemah, demam yang tidak terlalu tinggi, dan keringat malam. Penurunan berat

badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan gambaran

hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Hiperurikemia yang hebat dapat

mencetuskan nyeri yang hebat. Memar, epistaksis, dan pendarahan dari berbagai tempat bisa

terjadi oleh karena fungsi trombosit yang abnormal.

Page 17: rickoblok24

Tabel 6. Urutan Keluhan Pasien Berdasarkan Frekuensi1

Keluhan Frekuensi (%)

Splenomegali 95

Lemah 80

Penurunan BB 60

Hepatomegali 50

Keringat malam 45

Cepat kenyang 40

Perdarahan/purpura 35

Nyeri perut (infark limpa) 30

Demam 10

Setelah 2-3 tahun, beberapa pasien penyakitnya menjadi progresif atau mengalami

akselerasi. Bila saat diagnosa ditegakkan pasien berada pada fase kronis, maka kelangsungan

hidup berkisar antara 1 sampai 1,5 tahun. Ciri khas fase akselerasi antara lain: leukositosis yang

sulit dikontrol dengan obat-obat mielosupresif, mieloblas di perifer mencapai 15-30%,

promielosit >30%, dan trombosit <100.000. Secara klinis, fase ini dapat diduga bila limpa yang

tadinya sudah mengecil dengan terapi kembali membesar, keluhan anemia bertambah berat,

timbul ptekie atau ekimosis bila disertai demam, biasanya ada infeksi. Diagnosis LGK pada fase

akselerasi menurut WHO, antara lain:

Blas 10-19% dari WBC pada darah tepi dan/atau dari sumsum tulang berinti

Basofil darah tepi atau sumsum tulang >20%

Trombositopenia persisten (<100.000) yang tidak dihubungkan dengan terapi,

atau trombositosis (>100.000) yang tidak responsif terhadap terapi

Peningkatan splenomegali atau jumlah leukosit, tidak merespon pada terapi

Perubahan sitogenik dengan abnormalitas baru selain kromosom Philadelphia

Page 18: rickoblok24

Fase krisis blas merupakan suatu perburukan dari tahap akselerasi mieloproliferatif.

Terjadi pada 80% pasien LGK. Fase ini ditandai dengan jumlah sel blas yang semakin

meningkat, adanya perdarahan, sepsis, dan pembesaran kelenjar getah bening. Gejala klinik pada

fase ini sama dengan leukemia akut dan jika sel blas mencapai lebih dari 100 000 per mm3 maka

penderita memiliki resiko terjadinya sindroma hiperleukositosis. Fase ini dibedakan dengan

leukemia akut di mana splenomegali tidak menonjol, basofilia dan adanya Ph’-2 kromosom.

Adapun kriteria tahap blas, antara lain:

Demam 5 hari tanpa adanya penyebab yang jelas

Darah tepi: mieloblas dan promielosit >30%

Hb <10,5 gr%, leukosit >30.000/mm3, trombosit <100.000/mm3

Sumsum tulang: mieloblas dan promielosit 30. Pada 20% kasus, sel blas adalah

limfoblas

Diagnosis klinis LGK fase krisis blas menurut WHO, antara lain:

Blas >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti

Proliferasi blas ekstramedular

Focus besar atau cluster sel blas dalam biopsy sumsum tulang

Penatalaksanaan

Secara umum tujuan terapi penderita LGK pada fase kronik adalah menghilangkan gejala

klinik dengan cara menurunkan leukositosis dan organomegali. Remisi komplit yaitu hilangnya

Ph’+ klon dan pergantian sel oleh sel normal jarang terjadi dengan pengobatan konvensional.

Walaupun demikian, dengan teknik transplantasi sumsum tulang, kesembuhan tersebut

memungkinkan, tujuan terapi LGK pada fase akselerasi dan blas adalah mengembalikan ke fase

kronik.

Page 19: rickoblok24

Pengobatan standar LMK fase kronik adalah dengan obat tunggal, walaupun kebanyakan

kasus jarang terjadi kesembuhan secara sempurna. Dengan pemberian obat tunggal tersebut akan

terjadi pengurangan organomegali dan leukosit dalam darah tepi menjadi normal tetapi

hiperplasia granulosit dan metaplasia Ph’+ di sumsum tulang tetap terjadi. Untuk menurunkan

kadar asam urat serum, allopurinol dapat diberikan. Transfusi trombosit dan eritrosit perlu

dilakukan bila terdapat anemia dan trombositopenia yang berat.

Hydroxyurea

Merupakan terapi terpilih untuk induksi remisi hematologi pada LGK. Hidroksiurea lebih

efektif dibandingkan busulfan, melfalan, dan klorambusil. Efek mielosupresif masih berlangsung

beberapa hari sampai 1 minggu setelah pengobatan dihentikan. Tidak seperti busulfan yang dapat

menyebabkan anemia aplastik dan fibrosis paru.

Dosis 30mg/kgBB/hari diberikan sebagai dosis tunggal maupun dibagi 2-3 dosis. Bila

leukosit >300.000, dosis boleh ditingkatkan sampai maksimal 2,5g/hari. Penggunaan dihentikan

sementara bila leukosit <8.000 atau trombosit <100.000. Interaksi obat dapat terjadi bila

digunakan bersamaan dengan 5-Fluorourasil (5-FU), menyebabkan neurotoksisitas.

Selama menggunakan obat ini, harus dilakukan pemantauan terhadap Hb, leukosit,

trombosit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar.

Busulfan

Termasuk golongan alkil yang sangat kuat. Dosis 4-8mg/hari peroral, dapat ditingkatkan

hingga 12mg/hari. Pemakaian dihentikan bila leukosit antara 10.000 – 20.000, dan dimulai

kembali setelah leukosit >50.000. bila leukosit sangat tinggi, sebaiknya pemberian busulfan

disertai dengan alopurinol dan hidrasi yang baik.

Obat ini tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Interaksi obat dengan asetaminofen,

siklofosfamid, dan itrakonazol akan meningkatkan efek busulfan, sedangkan fenitoin akan

Page 20: rickoblok24

menurunkan efeknya. Efek samping busulfan adalah fibrosis paru dan supresi sumsum tulang

yang berkepanjangan.

Imatinib mesylate

Merupakan antibody monoclonal yang dibuat sebagai inhibitor spesifik dari protein

gabungan BCR-ABL1 untuk menghambat aktivitas tirosin kinase dengan cara bersaing pada

ikatan ATP. Imatinib merupakan obat lini pertama dalam penatalaksanaan LGK fase kronis.

Dosis 400mg/hari diberikan setelah makan. Dosis dapat ditingkatkan sampai 600mg/hari bila

tidak mencapai respon hematologic setelah 3 bulan pemberian, atau pernah mencapai respon

yang baik tetapi terjadi perburukan secara hematologik, yaitu Hb menjadi rendah dan/atau

leukosit meningkat dengan/tanpa perubahan jumlah trombosit. Dosis harus diturunkan apabila

terjadi neutropeni berat (<500/mm3) atau trombositopeni berat (<50.000/mm3) atau peningkatan

sGOT/sGPT dan bilirubin. Untuk fase akselerasi atau fase krisis blas, dapat diberikan langsung

800mg/hari (400mg b.i.d).

Imatinib tidak dapat diberikan pada wanita hamil. Efek samping berupa reaksi

hipersensitivitas dapat timbul, walaupun sangat jarang. Interaksi obat dengan ketokonazol,

simvastatin, dan fenitoin akan meningkatkan efek imatinib mesilat.

Imatinib sangat efektif dalam menurunkan jumlah sel tumor di sumsum tulang dan harus

dipantau dengan pemeriksaan kariotip sumsum tulang bersama dengan pemeriksaan PCR

terhadap adanya transkripsi BCR-ABL di sumsum tulang atau darah tepi. Penilaian terhadap

respon diawali dengan penilaian sumsum tulang secara teratur 3 – 6 bulan untuk menilai

sitogenik metaphase. Respon sitogenik sempurna atau CCyR (complete cytogenetic response)

ditentukan berdasarkan tidak terdapatnya metaphase Ph-positif di sumsum tulang, dan apabila

CCyR tercapai, maka pemantauan dilanjutkan dengan perhitungan BCR-ABL dalam darah pada

rentang waktu tertentu. Respons optimal LGK terhadap imatinib adalah sebagai berikut:3

Respon hematologi komplit (hitung darah tepi normal) dan setidaknya terdapat respon

sitogenetik minimal (cytogenetic response/CyR) (Ph+ <95%) dalam 3 bulan

Setidaknya terdapat parsial CyR (Ph+ <35%) dalam 6 bulan

Page 21: rickoblok24

Komplit CyR dalam 12 bulan

Respons molecular mayor dengan setidaknya penurunan 3log pada transkripsi BCR-ABL

dalam 18 bulan (misalnya mencapai 0,1% atau lebih sedikit dari kadar sebelum

pengobatan)

Definisi gagal respons, antara lain:

Respon hematologi tidak komplit dalam 3 bulan

Tidak terdapat CyR (Ph+ >95%) dalam 6 bulan

Kurang dari parsial CyR (Ph+ >35%) dalam 12 bulan

Kurang dari CyR lengkap dalam 18 bulan

Kehilangan respon komplit yang sebelumnya pernah dicapai baik hematologi atau

sitogenetik.

Kondisi selain kondisi tersebut, didefinisikan sebagai respon suboptimal.

Pasien dengan respon optimal tetap melanjutkan imatinib, sedangkan pasien yang gagal

akan diobati dengan generasi kedua penghambat tirosin kinase atau transplantasi sumsum tulang.

Pasien dengan respon suboptimal dapat diobati dengan meningkatkan dosis imatinib mencapai

600 atau 800mg/hari, perubahan dalam terapi penghambat tirosin kinase, atau transplantasi sel

punca alogenik lebih awal.

Mekanisme resistensi penyakit terhadap pengobatan imatinib adalah terjadi mutasi dalam

protein gabungan BCR-ABL. Mutasi ini dapat dideteksi dengan mengurutkan gen BCR-ABL

dan pemeriksaan ini dilakukan pada banyak rumah sakit terhadap pasien yang gagal berespon

baik terhadap imatinib. Pola mutasi dapat digunakan untuk menentukan arah pengobatan untuk

memilih terapi lini kedua.

Jika transkripsi BCR-ABL pasien menjadi negatif, maka imatinib tidak dilanjutkan,

beberapa pasien tetap menjadi negatif. Untuk pasien yang menjadi positif kembali, lanjutan

imatinib biasanya akan menjadikan remisi negatif lebih lanjut. Imatinib dan beberapa obat

sejenis dalam perkembangannya sangat mungkin untuk dapat menyembuhkan beberapa pasien

Page 22: rickoblok24

LGK, tetapi dalam hal ini akan memerlukan pemantauan klinis lebih lama dari pada waktu

seharusnya.

Dasatinib dan Nilotinib

Dasatinib merupakan penghambat multikinase luas yang efektif pada kasus yang BCR-

ABL telah mengalami mutasi yang menyebabkan resisten terhadap imatinib. Obat ini secara luas

digunakan pada kasus tersebut meskipun retensi cairan dapat menjadi efek samping yang

bermasalah.

Nilotinib memiliki mekanisme kerja mirip dengan imatinib, namun memiliki afinitas

tinggi terhadap BCR-ABL kinase dan dapat efektif untuk kasus dengan mutasi resisten imatinib.

Baik nilotinib maupun dasatinib sekarang telah diuji banding dengan imatinib sebagai lini

pertama pengobatan LGK dan hasilnya, ternyata obat ini lebih unggul.

Interferon α-2a atau Interferon α-2b

Berbeda dengan imatinib, interferon tidak dapat menghasilkan remisi biologis walaupun

dapat mencapai remisi sitogenetik. Dosis 5 juta IU/m2/hari subkutan sampai tercapai remisi

sitogenetik, biasanya setelah 12 bulan terapi. berdasarkan data penelitian di Indonesia, dosis

yang dapat ditoleransi adalah 3 juta IU/m2/hari. Saat ini sudah tersedia sediaan pegilasi

interferon, sehingga penyuntikan cukup sekali seminggu, tidak perlu tiap hari.

Diperlukan premedikasi dengan analgetik dan antipiretik sebelum pemberian interferon

untuk mencegah/mengurangi efek samping interferon berupa flue-like syndrome. Komplikasi

lebih serius adalah anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien dapat mencapai

remisi jangka panjang dengan tidak adanya kromosom Ph pada pemeriksaan sitogenetik

meskipun gabungan BCR-ABL masih dapat terdeteksi dengan PCR. Interferon menyebabkan

perpanjangan fase kronik dengan peningkatan angka harapan hidup.

Page 23: rickoblok24

Interaksi obat dengan teofilin, simetidin, vinblastin, dan zidovudin dapat meningkatkan

efek toksik interferon. Hati-hati apabila diberikan pada usia lanjut, gangguan faal hepar dan renal

yang berat, serta pada pasien epilepsi.

Cangkok sumsum tulang

Merupakan terapi definitif untuk LGK. Data menunjukkan bahwa transplantasi sumsum

tulang dapat memperpanjang masa remisi sampai >9 tahun, terutama pada cangkok sumsum

tulang alogenik. Indikasi cangkok tulang, antara lain:1

1. Usia tidak lebih dari 60 tahun

2. Ada donor yang cocok, yaitu donor dengan HLA yang cocok dan tidak berelasi dengan

penerima

3. Termasuk golongan risiko rendah menurut perhitungan Sokal

Cangkok sumsum tulang tidak dilakukan pada LGK dengan kromosom Ph negatif atau BCR-

ABL negatif. Kekambuhan LGK setelah transplantasi merupakan masalah serius, namun infus

leukosit memiliki efektivitas tinggi pada LGK, khususnya bila kekambuhan didiagnosis dini

dengan pemeriksaan transkripsi BCR-ABL.3

Prognosis

Dahulu median kelangsungan hidup pasien berkisar antara 3-5 tahun setelah diagnosis

ditegakkan. Saat ini, dengan ditemukannya beberapa obat baru, maka median kelangsungan

hidup pasien dapat diperpanjang secara signifikan. Sebagai contoh, pada beberapa uji klinis

kombinasi hidrourea dan interferon, median kelangsungan hidup mencapai 6-9 tahun. Imatinib

mesilat memberi hasil yang lebih menjanjikan, tetapi median kelangsungan hidup belum dapat

ditentukan karena masih menunggu beberapa hasil uji klinik yang saat ini masih berlangsung.1

Faktor – faktor di bawah ini memperburuk prognosis pasien LGK, antara lain:1

Page 24: rickoblok24

Pasien: lanjut usia, keadaan umum buruk, disertai gejala sistemik seperti

penurunan BB, demam, dan keringat malam.

Laboratorium: anemia berat, trombositopenia, trombositosis, basofilia, eosinofilia,

kromosom Ph negatif, BCR-ABL negatif.

Terapi: memerlukan waktu lama (>3 bulan) untuk mencapai remisi, memerlukan

terapi dengan dosis tinggi, waktu remisi yang singkat.

Hasil klinis pasien LGK bervariasi. Pada era pra-imatinib, kematian diperkirakan pada

10% pasien dalam 2 tahun dan sekitar 20% dalam lebih dari 2 tahun, serta median kelangsungan

hidup 4 tahun. Oleh karena itu, dikembangkan beberapa model prognostik. yang

mengidentifikasi kelompok risiko yang berbeda pada LGK. Prognostik yang paling banyak

digunakan adalah sistem staging yang berasal dari analisa multivariasi faktor prognostik.5

Indeks Sokal mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah

trombosit, usia, dan evolusi klonal sitogenik sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini

dikembangkan berdasarkan pengobatan kemoterapi.5

Sistem Hasford dikembangkan berdasarkan pengobatan interferon α (IFN-α), yang

mengidentifikasi persentasi sirkulasi sel blas, ukuran limpa, jumlah platelet, usia, dan persentase

eosinofil dan basofil sebagai indikator prognostik terpenting. Sistem ini dibedakan dari sistem

sokal oleh pengabaian evolusi klonal dan penggabungan persentase eosinofil dan basofil. Ketika

diaplikasikan pada suatu data yang melibatkan 272 pasien yang telah diterapi dengan IFN-α,

sistem Hasford lebih baik daripada skor Sokal dalam memprediksi survival time. Sistem Hasford

mengidentifikasi lebih banyak pasien berisiko rendah, tetapi hanya tersisa sejumlah kecil kasus

pada kelompok berisiko tinggi. Hasil awal menunjukkan bahwa kedua sistem tersebut berlaku

untuk pasien yang telah diterapi oleh imatinib.

Page 25: rickoblok24

Pencegahan

Tidak ada pencegahan spesifik pada LGK mengingat leukemia merupakan salah satu

penyakit yang disebabkan oleh mutasi genetik atau suatu proses degenerasi. Upaya yang dapat

dilakukan adalah mencegah terjadinya mutasi genetik lebih dini. Menerapkan gaya hidup sehat

dan proteksi diri terhadap bahan-bahan karsinogenik merupakan cara terbaik.

Kesimpulan

Leukemia granulositik kronik adalah suatu penyakit mieloproliferatif yang bersifat kronik

dengan peningkatan sebagian besar myeloid sel di sumsum tulang oleh karena terjadinya

resiprokal translokasi pada kromosom 22 dan kromosom 9 dengan cirri khas adanya kromosom

Philadelphia. Perjalanan penyakit LGK dibagi dalam 3 fase yang digunakan dalam penentuan

terapi, yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Diagnosis pasti ditegakkan dengan

ditemukannya kromosom Ph pada pemeriksaan kromosom. Pada fase akselerasi, bisa ditemukan

adanya abnormalitas kromosom lain selain Ph.

Page 26: rickoblok24

Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. ed 4. Jakarta: FKUI; 2006.

2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. ed 7. Jakarta: EGC; 2007.

3. Hoffbrand AV, Moss PAH. Kapita selekta hematologi. ed 6. Jakarta: EGC; 2013.

4. Kiswari R. Hematologi & Transfusi. Jakarta: Erlangga; 2014.

5. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s

principles of internal medicine volume 1. 18th ed. USA: McGraw-Hill; 2012.

6. Sacher RA, McPherson RA. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. ed 11.

Jakarta: EGC; 2004.

7. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik

hematologi. Jakarta: FK Ukrida; 2009.