review jurnal
DESCRIPTION
fvjhmcv,jnTRANSCRIPT
Review Jurnal
The Palliative Care Information Act in Real Life
Undang-undang tentang informasi dan pelayanan Palliative New York
pada 9 february 2011. Disponsori oleh grup pengacara yang berbelah kasih dan
pilihan New York, Hukum tersebut mengemanatkan bahwa setiap dokter dalam
merawat pasien denga prognosis buruk: “jika pasien di diagnosa dengan penyakit
atau kondisi terminal, dokter yang menangani pasien harus menawarkan untuk
memberikan pasien informasi dan konseling mengenai palliative care dan pilihan
dalam masa akhir kehidupan yang cocok kepada pasien, termasuk prognosis,
resiko dan manfaat dari bebrapa pilihan, dan hak pasien dalam rasa sakit yang
komperhensive dan penanganan gejala.” Pelanggaran pada hukum ini akan
dikenakan hukuman denda sampai $5.000 untuk pelanggaran yang diulang, dan
penjara 1 tahun untuk pelanggaran yang disengaja. California
mengimplementasikan hukum yang sama pada 2009, dan beberapa negara bagian
juga mempertimbangkan undang-undang ini.
Pasien dengan sakit serius dan keluarga mereka perlu informasi akurat
mengenai prognosis dan pilihan pengobatan, dokter yang berulangkali gagal
dalam masalah ini tentu merupakan masalah dan harus dilaporkan. Namun, masih
ada diskusi mengenai design dari hukum ini. Ironisnya, hukum yang dirancang
untuk mendorong diskusi yang jujur mengenai pilihan pengobata akhir hidup ini
lulus dengan sedikit diskusi publik dan tanpa konsultasi yang memadai
dengan kelompok utama yang akan harus menerapkannya. Satu masalah adalah
ketidakjelasan dari kategori "penyakit terminal" di mana hukum berfokus.
Sedangkan prognosis pasien dengan kanker stadium lanjut sering dapat
diperkirakan, 75% orang di Amerika Serikat mati karena kondisi selain
kanker, seperti penyakit jantung, kronis penyakit paru, penyakit Alzheimer,
dan penyakit lain yang waktu dan tentu saja jauh lebih dapat diprediksi. Bahkan
yang lebih mengganggu adalah hukum yang berat ke hubungan dokter-pasien.
New York mencoba untuk meresepkan secara legislaif apa yang harus
dibicarakan, percakapan halus intim antara dokter dan pasien yang sering
terjadi dari waktu ke waktu. Isi percakapan yang tepat dan halus antara dokter
dan pasien umumnya diatasi melalui profesional standar perawatan.
Sebuah contoh dapat memperjelas dari pembuat keputusan di akhir
kehidupa yang nyata. Seorang pria 85 tahun dengan kanker gastrointestinal yang
telah menyebar ke paru. Saat didiagnosis 2 tahun lalu beliau sudah rapuh. Dia
dirujuk ke sebuah program rumah sakit, oleh onkologisnya. Dia memiliki
dementia dini dan sudah cukup bingung dan tidak bisa ntuk menyelesaikan sebuah
arahan tapi dapat beraktifitas secara baik di rumah putrinya.
Diapun mengikuti program dengan baik, para dokter memberikan support
dan penolongan untuk menangani gejala. Namun keadaan pasien memburuk
dengan diketahuinya bahwa kankernya tetap menyebar. Akhirnya pasien dikirim
ke panti dengan rencana penanganan pada kenyamananya. Namun, putri pasien
tiba-tiba meminta dokter untuk menangani pasien sampai akhir, bahkan
memberikan resusitas jantung jika jantungnya berhenti. Dia berkata bahwa ini
adalah permintaan keluarga, awalnya dia menerima kenyataan kematian ayahnya,
tapi saat menghadapi kenyataan bahwa memburuknya keadaan ayahnya, pikiran
dan perasaanya berubah.
Dari kasus ini dapat dilihat bagaimana pengambilan keputusan tentang
akhir kehidupan penuh dengan ketidak pastian untuk para dokter, pasien, dan
keluarga pasien. Kematian bukanlah suatu acara seperti prosedur bedah, itu
adalah sebuah proses, kadang berlarut-larut, dan sering merupakan pengalaman
menyakitkan untuk menyaksikan dan menerima. Penyediaan informasi langsung
merupakan sebuah proses kompleks yang memerlukan keterampilan komunikasi,
keterlibatan emosional, dan budaya kesadaran yang merupakan bagian dari
dokter. Setelah memberikan konsultasi kepada keluarga dan bimbingan dari
seorang rabbi, akhirnya putri pasien memutuskan bahwa prosedur memasang
gastrotomy tube tidak perlu dilakukan, karena pasien masih dapat makan dari
mulut. Lalu pasien dipulangkan dengan rencana untuk bersama-sama keluarganya
dan dirawat oleh keluarganya.
Memang, dokter terlalu sering meninggalkan pasien dengan penyaki tak
tersembuhkan namun tak sadar dengan realitas kondisi mereka. Solusinya,
bagaimanapun ialah dengan memfokuskan hambatan untuk menghargai
pembicaraan tentang batas dari usaha medik untuk memperpanjang kehidupan dan
tentang terapi alternative. Kami mengingikan para dokter untuk dapat
membicarakan tentang masalah ini kepada pasien dan keluarga mereka secara
terbuka, sabar, empati, dan berkolaborasi. Artinya dokter butuh untuk merasa
nyaman dalam mengkomunikasikan pandangan dan pengalaman mereka dan
menyediakan panduan tidak langsung serta support sementara memperlihatkan
ketertarikan dan mengahargai pandangan pasien dan keluarganya.
Beberapa dokter secara alami lebih nyaman dalam berbicara dengan pasien
daripada yang lain, tetapi ada keterampilan spesifik yang dapat dipelajari.
Masyarakat profesional dari spesialisasi medis, tidak hanya onkologi
dan perawatan paliatif, harus menyadari bahwa keterampilan untuk
berkomunikasi tentang akhir kehidupan perawatan sama pentingnya dengan
belajar tentang teknik bedah terbaru atau agen farmasi terbaru. Mereka perlu
untuk memperluas kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kedokteran di
komunikasi dokter-pasien dan memimpin dalam pengaturan berpusat pada
pedoman pasien untuk diskusi pengobatan akhir kehidupan . Tugas-tugas ini
memang sulit. Jika kita mengakui, bagaimanapun, bahwa bagaimana kita merawat
pasien karena mereka mendekati akhir hidup mereka mencerminkan pemahaman
kita tentang apa artinya menjadi manusia, kita dapat mencapaitujuan dari undang-
undang New York dengan cara yang lebih tepat dan jauh lebih baik.
Seharusnya indonesia juga melakukan atau dapat mengadopsi undang-
undang yang ada ini. Karena sudah terlalu banyak kasus pasien yang tidak
diberikan pelayanan terbaik hanya karena prognosis dari penyakitnya buruk.
Pasien yang sakit itu juga mempunyai hak untuk diperjuangakan hidupnya, dan
walaupun memang hidupnya tidak lama lagi atau bagaimanapun, dokter
seharusnya berusaha sebisa mungkin untuk mengutamakan kenyamanan pasien
dan membuat keadaan pasien lebih baik. Sekarang, banyak kita lihat ketidak
adilan terjadi dimana dokter “melepas tangan” setelah mengetahui prognosis dari
pasien, harusnya pikiran seperti itu tidak ada. Dokter tidak seenaknya melepas
tangan dari pasien tersebut. Sudah seharusnya walau dalam keadaan akhirpun
dokter tetap harus melayani dan merawat pasien. Karna bagaimanapun keadaanya,
pasien itu tetap saja manusia.
TUGAS REVIEW JURNAL
The Palliative Care Information Act in Real Life
Oleh:Rachma Dewi AstariNIM : G1A008036
BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW VFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO
2011