review jurnal
TRANSCRIPT
Tugas Ekonomi Perencanaan Kota
Afriyadi, 1106111666
Review Jurnal
Judul : Sprawl and Blight
Penulis : Jan K. Brueckner, Robert W. Hesley
Penerbit : Journal of Urban Economics Vol. 69
Halaman : 8 lembar (hal. 205-213)
Tahun : 2011.
I. Ringkasan
Jurnal ini membahas mengenai fenomena urban sprawl dan urban blight
yang terjadi pada suatu kota, serta dampaknya pada persaingan properti
(perumahan) di suburban dan pusat kota tua. Penulis menetapkan urban sprawl
sebagai perluasan kota yang diakibatkan oleh investasi berlebih pada suburban baru
dan menyebabkan wilayah perkotaan meluas, sementara urban blight ditetapkan
sebagai penurunan investasi kembali pada properti yang berada di pusat kota tua.
Untuk mengetahui apakah fenomena urban sprawl dan urban blight didasari oleh
proses ekonomi yang sama, sebuah model dikembangkan untuk mengukur
kompetisi antara properti yang ada di suburban baru dan pusat kota tua dalam
mendapatkan penduduk/peminat. Penulis berasumsi bahwa kegagalan pasar yang
menyebabkan turunnya biaya dalam mendapatkan lokasi suburban menyebabkan
terjadinya pembangunan berlebih pada suburban, menurunkan harga rumah di pusat
dan menurunkan biaya insentif yang diperlukan dalam pemeliharaan pusat kota tua
sehingga menyebabkan tingkat reinvestasi pusat kota tua yang tidak efisien.
Kegagalan pasar yang dimaksud penulis diidentifikasi dari tiga aspek, yakni
dari kemacetan lalu lintas yang tidak terukur (unpriced traffic congestion),
kegagalan dalam penyediaan fasilitas ruang terbuka dan penyediaan infrastruktur
berbasis biaya marginal. Dengan terjadinya kemacetan, biaya sosial yang
ditanggung seseorang dalam menempuh perjalanan dalam kota melebihi biaya
privat, yang diakibatkan oleh waktu perjalanan yang terlalu panjang karena kota
yang terlalu meluas. Sementara ketika fasilitas ruang terbuka tersedia atau ketika
1
infrastruktur di pusat kota tua dibawah standar, biaya sosial dari pengembangan
lahan suburban melebihi biaya privat yang dihadapi pengembang sehingga
menyebabkan ekspansi perkotaan yang tidak efisien. Dengan terjadinya kegagalan
pasar, fenomena sprawl dan blight muncul akibat sifat alami dari pasar lahan, di
mana biaya hidup di suburban yang rendah, mendorong penduduk untuk pindah
menjauhi pusat kota. Perpindahan penduduk ini menyebabkan turunnya harga
rumah di pusat kota dan menurunkan insentif untuk reinvestasi dalam struktur kota
yang telah terbangun.
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya urban blight di pusat kota
adalah sifat eksternal dari properti perumahan, atau dapat disebut sebagai efek
lingkungan (neighborhood effect) yang dapat mempengaruhi keputusan seorang
individu dalam menanam investasi atau melakukan pemeliharaan pada suatu
properti perumahan. Jika suatu unit rumah rusak berat atau ditinggalkan dan
terlantar dalam waktu yang lama, dapat menurunkan minat seorang individu untuk
tinggal atau menanam investasi dalam lingkungan perumahan tersebut. Menurunnya
tingkat permintaan properti menimbulkan turunnya kemampuan pengembang dalam
mengupayakan perbaikan fasilitas dalam perumahan tersebut. Dengan kata lain,
blight dapat timbul dari interaksi lingkungan yang bersifat eksternal dan dipacu oleh
sebuah kejadian yang menyebabkan menurunnya tingkat pemeliharaan dan investasi
kembali suatu properti.
Sementara terdapat dua hal lain yang mendasari terjadinya perkembangan
suburban dan terjadinya blight. Pertama, adanya ketidakcocokan spasial (spatial
mismatch), dimana suburbanisasi pekerjaan ditambah dengan diskriminasi tenaga
kerja, perumahan, dan pasar hipotek di suburban telah berkontribusi pada terjadinya
konsentrasi dan resistensi kemiskinan di pusat kota. Kedua, terjadinya flight from
blight dimana terjadi desentralisasi permukiman dari pusat kota yang didorong oleh
keinginan penduduk dalam ‘melarikan diri’ dari kriminalitas pusat kota, kemiskinan,
kemacetan, polusi, dan hal tidak menyenangkan lainnya yang terdapat di pusat kota.
Model dan Analisis
Lebih lanjut, Brueckner dan Hasley mengembangkan sebuah model dinamis
untuk mengukur tingkat persaingan properti di suburban dan pusat kota sebagai
2
dampak dari urban sprawl dan blight. Dalam model ini, penulis menyederhanakan
elemen struktur kota menjadi hanya terdiri dari zona pusat (central zone) dan zona
suburban (suburban zone), yang terhubung oleh sebuah jembatan. Zona pusat
disederhanakan menjadi seragam, di mana terdiri dari CBD pada ujung sebelah kiri
(lihat Gambar 1.). serta biaya angkutan (transportasi) dari CBD ke setiap lokasi
pusat kota diasumsikan menjadi nol. Sementara zona suburban terdiri dari lahan
terbangun dan lahan terbuka yang berpotensi untuk dikembangkan, dan terhubung
oleh sebuah jembatan congestible. Karena biaya angkutan dalam zona pusat
diasumsikan sama dengan nol, biaya angkutan dari zona suburban ke zona pusat
setara dengan diasumsikan setara dengan biaya yang diperlukan untuk
menyeberangi jembatan.
Perhitungan dan analisis dalam model ini dilakukan penulis secara bertahap,
agar dapat mencakup seluruh preposisi yang dapat terjadi. Tahap pertama dalam
model ini belum memperhitungkan kegagalan pasar untuk mendapatkan gambaran
normal dari kondisi suburban dan pusat kota. Perhitungan dalam Tahap 1 dibagi
menjadi ke dalam dua periode, yakni periode 1 dimana diasumsikan terjadinya
perkembangan seluruh pusat kota dan belum terdapat limpahan (spillover)
penduduk ke suburban. Model pada periode 1 lebih menekankan pada perhitungan
preferensi konsumen dalam memilih perumahan yang dipengaruhi oleh kualitas dan
kuantitas perumahan, potensi lahan terbangun di suburba dan juga biaya konstruksi
untuk revitalisasi perumahan di pusat kota serta utilitas.
Sementara perhitungan dalam periode 2 diasumsikan telah terjadi
pengembangan suburban, sehingga model menjadi lebih kompleks karena
mengikutsertakan variabel jumlah penduduk (baik suburban dan pusat kota) dan
3
Gambar 1. Struktur Kota
juga biaya sewa. Adapun dalam periode ini, perhitungan ditekankan untuk
mendapatkan nilai marjinal layanan perumahan di kota tua dan tingkat kompetisi
pengembang dalam suburban dan pusat kota. Pada tahap pertama, baik dalam
periode 1 dan 2, penulis berasumsi bahwa kepemilikan tanah tidak mempengaruhi
tingkat kompetisi perumahan di suburban dan pusat kota. Dalam suatu unit (rumah
sewa) di pusat kota misalnya, dapat saja pemilik tanah tinggal di suburban,
sehingga biaya sewa di pusat kota menjadi mengalir ke suburban, dan model
menjadi tidak relevan.
Dalam tahap kedua, kegagalan pasar yang selanjutnya disebut sebagai
distorsi pemicu sprawl dimasukkan ke dalam analisis. Kemacetan lalu lintas,
kegagalan dalam memperhitungkan nilai kemudahan ruang terbuka dan kegagalan
dalam menetapkan harga infrastruktur berdasarkan nilai marginal, menghasilkan
distorsi urban sprawl, yang dalam konteks ini berarti perkembangan wilayah
pinggiran kota yang berlebihan dengan jumlah penduduk terlalu sedikit di zona
pusat kota. Dalam setiap kasus urban sprawl, sebuah kebijakan korektif yang tepat
dibutuhkan untuk dapat mengurangi efek sprawl dengan mendorong populasi
penduduk kembali ke tengah kota. Meskipun demikian, pergeseran populasi ini
juga cenderung disertai dampak blight yang membuat penduduk enggan untuk
kembali ke pusat kota.
Tujuan dari analisis ini adalah untuk menganalisis dampak blight yang
terjadi serta melihat fenomena sprawl dan blight secara terpisah dari tiga distorsi
yang berbeda (kemacetan, ketersediaan ruang terbuka, dan infrastruktur), dan
kebijakan korektif terkait. Untuk setiap distorsi, kondisi keseimbangan (persamaan)
yang telah diuraikan pada tahap sebelumnya dimodifikasi untuk menggabungkan
distorsi. Kemudian masalah perencanaan dalam ekonomi perkotaan dipecahkan
untuk menemukan kebijakan sosial optimum dan korektif untuk mendukung
pembangunan kota. Adapun analisis dampak sprawl dan bligh sesuai distorsinya
antara lain sebagai berikut:
a. Distorsi 1: Kemacetan
Dengan terjadinya kemacetan, biaya menyeberangi jembatan
penghubung suburban dan pusat kota, yang sebelumnya diasumsikan
konstan menjadi sebuah fungsi dengan adanya jumlah komuter dari
4
suburban. Penghitungan beban biaya yang ditanggung seseorang setiap
kali terjadi kemacetan, seringkali diacuhkan, sehingga masalah
kemacetan tidak terpecahkan. Sebagai solusi, penulis menganjurkan
diterapkannya pungutan biaya kemacetan (congestion pricing) seperti
biaya jalan tol agar setiap komuter memiliki beban yang sama dan juga
untuk mengurangi jumlah pengguna kendaraan.
Dengan dipungutnya biaya kemacetan, populasi penduduk kota
akan kembali ke pusat, hal ini tentunya akan meningkatkan permintaan
akan properti di pusat kota dan meningkatkan harga rumah secara
keseluruhan, sehingga membuat pengembang dan atau pemerintah dapat
mengeluarkan dana lebih banyak untuk meningkatkan kualitas
perumahan yang tersedia, sehingga menurunkan terjadinya urban blight.
b. Distorsi 2: Ketersediaan Ruang Terbuka
Dengan berasumsi bahwa kemacetan lalu lintas kembali tidak
diperhitungkan seperti pada tahap sebelumnya, ruang terbuka yang
tersedia di suburban menawarkan kemudahan fasilitas bagi setiap
penduduk. Berpindahnya populasi penduduk dari kota ke suburban
menyebabkan biaya marginal dari rumah di suburban menjadi
meningkat, semakin banyak lahan terbangun di suburban dan lahan
terbuka menjadi semakin terbatas. Dalam model analisisnya penulis
mengasumsikan adanya pajak amenitas ruang terbuka untuk meredam
migrasi penduduk dari pusat kota ke suburban, dan mereduksi terjadinya
blight.
c. Distorsi 3: Infrastruktur Berbasis Biaya Marginal
Pada distorsi yang ketiga ini, penulis beranggapan bahwa secara
tradisional, pembangunan infrastruktur dibiayai berdasarkan harga rata-
rata, di mana seorang pengembang akan membayar pajak sesuai
sejumlah unit per luas tertentu kepada pemerintah, dimana harga ini akan
diteruskan pada konsumen dalam bentuk harga rumah. Akan tetapi,
untuk mendesentralisasi sosial optimum, dengan mempertimbangan
kondisi konsumen, pajak berbasis biaya rata-rata ini harus digantikan
dengan pajak berbasis biaya marginal, atau disebut juga dengan biaya
5
dampak (impact fee). Jika biaya rata-rata tetap diterapkan, dapat
menurunkan keuntungan pengembang dalam pembangunan infrastruktur,
sehingga menurunkan tingkat investasi kembali pada bangunan pusat
kota, dan populasi suburban melebihi optimum sosial. Dengan adanya
biaya dampak, yang merefleksikan biaya marginal, dapat meningkatkan
investasi kembali sehingga menurunkan terjadinya urban blight, dengan
mengembalikan populasi ke pusat kota.
Berdasarkan uraian model dan analisis, penulis menyimpulkan bahwa urban
sprawl dan blight di suatu kota terjadi sebagai suatu hasil dari proses ekonomi yang
sama. Penulis mengusulkan beberapa kebijakan korektif yang dapat dilakukan untuk
mengurang terjadinya blight antara lain dengan memungut biaya kemacetan (congestion
pricing), memungut pajak amenitas pada ruang terbuka, serta menetapkan biaya
marginal sebagai dasar untuk menghitung harga infrastruktur.
II. Tanggapan
Dalam jurnal ini, Brueckner dan Hesley (2011) telah menguraikan suatu
fenomena urban sprawl dan blight yang terjadi pada suatu kota ke dalam suatu model
ekonomi sederhana dengan baik. Tidak hanya itu saja, model tersebut juga bersifat
sistematis, di mana model dijelaskan secara bertahap, mulai dari kondisi pusat kota
sebelum terjadinya urban sprawl dan blight, terjadinya suburbanisasi, serta fenomena
sprawl dan blight itu sendiri, dilihat dari kegagalan pasar (distorsi) yang terjadi. Model
analisis yang disampaikan penulis masih memiliki sejumlah keterbatasan, dimana model
hanya dapat diterapkan pada struktur kota yang monosentris, di mana dalam suatu kota
hanya terdiri dari satu pusat kota dengan CBD, pinggiran kota, dan suburban.
Perhitungan analisis berbasis model kota monosentris, memiliki kelemahan karena
model hanya terfokus pada jarak antara pusat kota dan suburban sebagai biaya angkutan
yang harus ditanggung dalam pemilihan perumahan di suburban. Sementara faktor
spasial dan sifat eksernalistas lingkungan di pusat kota dan suburban ditiadakan.
Caruso (2007) dalam Rahma (2011) berargumen bahwa sprawl lebih baik
dijelaskan melalui inerteraksi ekonomi diantara agen yang terdisribusi secara spasial,
dan menekankan tingkat kompetisi eksternal. Sprawl dapat dikatakan sebagai hasil dari
apresisasi yang signifikan terhadap ruang terbuka lingkungan (eksternalitas hijau) dan
6
interaksi sosial (eksternalitas sosial). Lebih lanjut Rahma (2011) menilai bahwa
fenomena urban sprawl pada kota besar yang memiliki struktur kota yang kompleks
seperti Jakarta lebih cocok dinilai dari eksternalitas lingkungannya, dimana faktor
spasial penggunaan tanah dan interaksi ekonomi dapat menjelaskan/memprediksi arah
perkembangan sprawl lebih baik, sehingga kebijakan pembangunan terkait dengan hal
tersebut dapat disusun secara lebih optimal.
Keterbatasan lainnya akibat berlakunya asumsi berbasis model kota konsentris
adalah dalam perhitungan biaya pungutan kemacetan. Dalam model tersebut, biaya
pungutan kemacetan (congestion price) hanya dihitung berdasarkan ongkos yang
dikeluarkan komuter untuk menempuh jarak antara suburban dan pusat kota, sementara
ongkos yang ditempuh dalam pusat kota diasumsikan menjadi nol atau tanpa biaya.
Dengan kata lain, Brueckner mengasumsikan bahwa dalam pusat kota tidak terjadi
kemacetan. Hal ini tentunya menjadi kurang relevan, karena dalam pusat kota pasti
terdapat kemacetan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Wassmer (2005) bahwa
salah satu akar pemicu sprawl itu sendiri adalah terjadinya kemacetan pusat kota yang
menyebabkan keinginan penduduk untuk ‘melarikan diri’ dan memilih untuk tinggal
dalam suburban. Dalam kota dengan beban jumlah penduduk yang kecil, mungkin teori
ini masih relevan, karena dengan terjadinya suburbanisasi, jumlah penduduk dapat
diasumsikan bergeser ke suburban sehingga titik kemacetan juga bergeser, akan tetapi
dalam kota besar seperi Jakarta, model ini menjadi kurang relevan untuk diterapkan.
Di Jakarta, terdapat lebih dari 10 juta penduduk (BPS,2011) dan sedikitnya 6,7
juta unit kendaraan bermotor (Dishub, 2010) yang berada di jalan, ditambah dengan
sedikitnya 1,2 juta penduduk dan 600.000 kendaraan dari kota di sekitarnya (Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi). Jumlah kendaraan yang lebih banyak di kota bila
dibandingkan dengan kendaraan yang masuk dari luar kota menunjukan kecenderungan
bahwa tingkat kemacetan di ruas jalan di pusat kota Jakarta lebih tinggi dibandingkan
dengan tingkat kemacetan di ruas jalan antara suburban dan pusat kota, sehingga model
menjadi kurang relevan, dan diperlukan adanya pungutan biaya kemacetan di dalam
kota. Unuk mengatasi kemacetan di kota Jakarta, selain upaya untuk mengurangi jumlah
kendaraan dengan menetapkan pungutan biaya untuk tol dalam kota, pemerintah kota
7
Jakarta sedang mengupayakan metode Electronic Road Pricing yakni suatu metode
pemungutan ongkos jalan secara elektronik pada jam-jam sibuk1.
Sementara dalam penerapan konsep Urban Blight dan Sprawl secara
keseluruhan, Brueckner dan Hasley (2011) menyederhanakannya sebagai suatu
hubungan sebab akibat, di mana terjadinya sprawl dapat menyebabkan terjadinya
blight, meskipun pada kenyataannya, dengan adanya kemiskinan di perkotaan dapat
menimbulkan pelapukan kota atau blight terlebih dahulu, yang dapat menurunkan
kualitas permukiman perkotaan sehingga memicu terjadinya sprawl. Dalam kasus yang
terjadi pada kota metropolitan seperi Jakarta, fenomena sprawl dan blight yang terjadi
menjadi lebih kompleks. Sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki fungsi vital baik
sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan, maupun pusat perekonomian, bahkan
kegiatan perekonomian di Jakarta mencapai 60% dari seluruh kegiatan ekonomi di
Indonesia (Rizqihandari, 2011).
Hal ini menyebabkan Jakarta dipandang sebagai daerah yang menjanjikan,
sehingga Jakarta menjadi daerah tujuan migran dengan pertambahan penduduk yang
signifikan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan populasi dan migrasi serta pertumbuhan
ekonomi yang pesat di Jakarta menyebabkan terjadinya suburbanisasi ke kota-kota di
sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Aktivitas
pembangunan pada Bodetabek telah didominasi oleh proyek insentif lahan dengan
kepadatan yang rendah, dan kurang terencana, sehingga mengkonsumsi daerah
pertanian primer, dan mengkonversinya menjadi daerah industri dan aktivitas berbasis
jasa, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai sprawl.
Terjadinya sprawl pada dasarnya disebabkan oleh perluasan wilayah
metropolitan sebagai akibat dari limpahan penduduk, atau sebagai hasil dari
pembangunan yang tidak terencana (Burchell, dkk: 1998). Sprawl yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan, dan juga kesenjangan
sosial ekonomi penduduk di suatu kota. Dalam hal pola spasialnya, bentuk sprawl dapat
bermacam-macam terkait pola pembangunannya, misalnya seperti tersebar, lompatan
katak (leapfrog), dan pita (ribbon). Adapun pola spasial persebaran pusat kegiatan di
Jabodetabek sebagai bentuk akibat dari sprawl dapat terlihat pada Gambar 2.
1 Kewenangan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan program ERP dipegang oleh Pemerintah Propinsi Jakarta sesuai UU no 34 Tahun 1997 tentang PemProv DKI, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, dan UU no 39 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan anara Pemerintah, Pemda Propinsi, dan Pemda Kota.
8
Gambar 2. Peta Sebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek
Untuk mengurangi dampak sprawl yang tidak terkontrol, pemerintah telah
melalui kementrian pekerjaan umum telah menyusun Rencana Tata Ruang Kawasan
Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan
Cianjur), dan membentuk Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekpunjur sebagai
wadah koordinasi pimpinan pemerintah daerah daam mengelola kawasan tersebut agar
perencanaan pembangunan dapat berjalan sinergis, dan dampak sprawl dapat lebih
terkontrol. Adapun pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabekpunjur berdasarkan
keterkaitan Hulu-Hilir dapat terlihat dalam Gambar 3.
9
Gambar 3. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Keterkaitan Hulu-Hilir DAS Ciliwung
Sementara dalam kasus terjadinya urban blight di Jakarta yang ditandai dengan
melapuknya atau menurunnya kualitas perumahan di pusat kota, pemicu utama
bukanlah akibat penurunan investasi pada pusat kota tua, melainkan akibat dari
kemiskinan penduduk perkotaan, di mana keterbatasan eknonomi dan keterbatasan
ruang ibukota memaksa mereka untuk tinggal di daerah marjinal yang terletak dengan
pusat kegiatan seperti di sekitar kereta rel kereta api, pasar, ataupun terminal. Masalah
lain yang dihadapi dalam penyediaan perumahan di Jakarta adalah kebutuhan akan
perumahan yang semakin meningkat sementara lahan yang tersedia semakin terbatas.
Berdasarkan data Susenas tahun (2001) dalam Cahyadi (2009), jumlah backlog atau
kebutuhan akan perumahan di Jakarta mencapai 700.000 unit, sementara lahan yang
tersedia untuk membangun kawasan perumahan sangat terbatas. Untuk memenuhi
kebutuhan perumahan dan Untuk mengatasi blight pemerintah melalui dinas perumahan
telah memberikan solusi dengan diantaranya dengan mengadakan Rumah Susun
(Rusunawa dan Rusunami), dimana orientasi perumahan yang sebelumnya horizontal
menjadi vertikal, untuk menampung lebih banyak penghuni, serta menggalakkan
perbaikan program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dimana pemerintah
10
memberikan bantuan sejumlah dana melalui Program PNPM di setiap kelurahan untuk
membantu penduduk miskin yang kurang mampu dalam memperbaiki kualitas
rumahnya.
III. Kesimpulan
Model ekonomi yang dikembangkan Brueckner dan Hesley (2011) untuk
mengukur urban sprawl dan blight, di suatu kota, masih kurang rerlevan untuk
diterapkan pada kota besar dan dinamis seperti Jakarta, karena berbasis pada model kota
yang monosentris, dimana faktor spasial dan eksternalitas kota tidak dimasukkan ke
dalam analisis. Kebijakan korektif untuk menanggulangi efek sprawl dan blight di
Jakarta antara lain dapat dilakukan dengan penerapan pungutan biaya kemacetan
Electronic Road Pricing, perencanaan wilayah Jabodetabekpunjur secara sinergis dan
perbaikan Rumah Tidak Layak Huni, serta mendorong investasi perumahan yang
berorientasi vertikal (apartemen dan rusun).
Sumber
Brueckner, Jan dan Robert Hesley. 2011. Sprawl and Blight. Journal of Urban
Economics Vol. 69. Hal 205-2013.
11
Cahyadi, Rusli dan Gusti Ketut. 2009. Penduduk dan Pembangunan Rumah di
Jabodetabek: Tantangan Pengembangan Megapolitan Jakarta. Jurnal
Pembangunan Vol IV. No. 1.
Fitriani, Rahma dan Michael Harris. 2011. The Extent of Sprawl in The Fringe of
Jakarta Metropolitan Area from the Perspective of Externalities. Sydney:
Univerity of Sydney.
Rizqihandari, Nurrokhmah. 2011. Kemiskinan dan Struktur Ruang Kota di Jakarta.
Universitas Indonesia.
Sutanudjaja, Elisa. 2009. Urban Sprawl di Jakarta: Korelasi antara Ketergantungan
Kendaraan Bermotor dengan Perencananan Desain Perkotaan Jakarta.
Universitas Diponegoro.
Wassmer, Robert. (2005). Urban Sprawl (Decentralization) in United States. California:
Sacramento State University.
Naskah Akademik RTRW Jakarta 2011
Penjelasan Menteri Pekerjaan Umum mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan
Jabodetabek-Punjur.
Lampiran
Peta Persebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek sebagai Efek dari sprawl
12
13