review film "the corporation"
DESCRIPTION
Dengan membaca hasil riset pada buku ini, membuat kita akhirnya berkesimpulan bahwa mengharapkan Freeport akan melakukan Corporate Social Responsibility di Papua, atau Lapindo akan bertanggungjawab penuh dalam kasus lumpur di Sidoarjo, atau berbagai perusahaan pemegang hak pengelolaan hutan (HPH) akan mempertimbangkan masalah lingkungan hidup, seakan-akan hanyalah harapan kosong belaka.TRANSCRIPT
Review : “The Corporation”
Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293
Film ini merupakan adaptasi dari buku: “THE CORPORATION”, yang ditulis oleh Joel Bakan,
seorang profesor bidang hukum dari University of British Columbia. Menurut saya, buku ini membuka mata
kita, mengenai berbagai praktik bisnis, yang mungkin tidak terlihat di mata orang awam. Entah tepat atau tidak,
saya memberi label “ekonomi politik lingkungan” untuk fakta-fakta yang diuraikan oleh Joel Bakan ini.
Dengan membaca hasil riset pada buku ini, membuat kita akhirnya berkesimpulan bahwa
mengharapkan Freeport akan melakukan Corporate Social Responsibility di Papua, atau Lapindo akan
bertanggungjawab penuh dalam kasus lumpur di Sidoarjo, atau berbagai perusahaan pemegang hak pengelolaan
hutan (HPH) akan mempertimbangkan masalah lingkungan hidup, seakan-akan hanyalah harapan kosong
belaka.
Bagaimana korporasi sebegitu kuatnya? Ini hanyalah kisah awal mulanya saja
Sejumlah perusahaan join stock muncul pada abad 16. Pada saat itu kongsi bisnis yang terbatas pada
penarikan dana dari beberapa orang dalam rangka menjalankan bisnis bersama, tidak cukup utk mendanai
usaha-usaha baru dalam skala besar. Meski belum banyak, usaha baru berskala besar memang muncul sejak
lahirnya industrialisasi. Pada tahun 1564, perusahaan Mines Royal dibentuk sbg perusahaan Join Stock, didanai
dengan dua puluh empat (24) lembar saham yang dijual dengan harga 1200 poundsterling per lembarnya; pada
tahun 1565 perusahaan Mineral dan Battery Works meningkatkan nilai modalnya dengan menarik 36 lembar
saham yang telah diterbitkan sebelumnya. Perusahaan The New River dibentuk sbg perusahaan join stock pada
tahun 1606 utk memindahkan air bersih ke London dan beberapa kepentingan public lainnya. 15 perusahaan
join stock beroperasi di inggris pada tahun 1688. Jumlah total investasi pada perrusahaan join stock ini semakin
berkembang seiring dg kepopuleran bentuk bisnis semacam ini sbg kendaraan untuk mendanai badan usaha
kolonial.
Pada tahun 1712, Thomas Newcomen menginvestasikan mesin bertenaga uap untuk memompa air
keluar dari pertambangan batu bara dan tanpa disadari hal ini menyulut revolusi industry. Selama beberapa abad
kemudian, tenaga uap menjadi bahan bakar pembangunan industry skala besar di Inggris dan Amerika Serikat,
dan memperluas lingkup operasinya di bidang pertambangan, tekstil (dan industry terkait seperti industry
pemutihan kain (bleaching), pewarnaan kain belacu, pencelupan kain, dan penanggalan), penggilingan,
pembuatan bir, dan penyulingan.
Ada beberapa kutipan menarik dari buku ini :
Review : “The Corporation”
Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293
[Corporations] deliberately programmed, indeed legally compelled, to externalize costs
without regard for the harm it may cause to people, communities, and the natural environment. Every
cost it can unload onto someone else is a benefit to itself, a direct route to profit. (halaman : 72-73).
Kutipan di atas sangat menarik dan membuka mata kita. Jika kalkulasi bisnis atau ekonomi yang selalu
menjadi ukuran, ya memang hanya sebatas cost and benefit. Bahkan cost pun bisa di-externalize kepada pihak
lain.
Apakah yang dimaksud dengan eksternalisasi biaya (cost externalization)? Misalnya begini, sebuah
perusahaan yang karena kurang efisien dalam berproduksi, maka tentu biaya pokok produksinya akan tinggi.
Nah, ke manakah dia akan membebankan biaya yang tinggi ini? Jelas, ke harga jual produk. Apalagi kalau
perusahaan ini monopoli, semakin terbuka peluang yang sangat besar untuk melakukan eksternalisasi biaya.
Intinya eksternalisasi biaya ini adalah mengalihkan beban biaya yang seharusnya ditanggung oleh perusahaan
kepada pihak lain, dengan bersembunyi di balik berbagai dalih hukum positif. Artinya, secara hukum di
perusahaan tidak bersalah, tetapi secara etika, hanya hati nurani yang tahu. Contoh lain mengenai eksternalisasi
biaya bukanlah dalam bentuk harga jual. Melainkan dalam bentuk menanggung risiko. Mungkin contoh
Lapindo(?) di Indonesia sangat pas untuk menggambarkan hal ini, bagaimana cost di-externalize oleh Lapindo
menjadi tanggungan masyarakat di sana.
Hal lain yang menarik :
[Compliance] is a matter of costs and benefits. ( halaman : 79) … whether corporations obey
the law or not is a matter of whether it’s cost effective … If the chance of getting caught and the penalty
are less than it costs to comply, our people think of it as being just a business decision. (halaman : 80)
Sekali lagi, jika memang cost and benefit yang menjadi patokan dalam membuat keputusan, maka
semua variabel, termasuk sanksi hukum pun diukur dengan cost and benefit. Apalagi jika ternyata cost itu bisa
di-externalize, dan brengseknya, profit umumnya selalu hanya di-internalize.
Jika melanggar hukum kerugiannya (dari sisi perusahaan, bukan dari sisi masyarakat) lebih kecil
daripada patuh kepada hukum, mari kita langgar saja hukum itu. Kira-kira begitu. Peran pemerintah menjadi
sangat penting menjadi “wasit” dalam percaturan dunia bisnis. Tetapi memang layak dipikirkan, sejauh mana
pemerintah bisa menarik jarak dengan para pelaku usaha?
Korporasi juga berarti segala hal tentang memperoleh kekayaan, dan sarana yang sangat efektif untuk
mencapainya. Tidak ada batasan, apakah moral, etika, atau perundangan, korporasi dapat meng-eksploitasi
(merekayasa) batas untuk memperoleh kekayaan untuk diri mereka dan pemiliknya.
Pada pertengahan hingga akhir abad ini, korporasi berusaha mencari dan akhirnya memperoleh hak-
hak untuk eksploitasi kebanyakan dari sumber alam dunia dan hampir semua area usaha manusia. Sekarang
kenyataannya semua kegiatan ekonomi dilakukan dalam bentuk korporasi. Bagaimanapun, sisa penghalang
besar korporasi mengatur segalanya adalah adanya ruang publik.
Review : “The Corporation”
Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293
Tetapi melalui suatu proses yang kita kenal sebagai privatisasi, pemerintah sudah mulai menyerahkan
institusi yang secara alami adalah ruang publik dalam kendali korporasi. Tidak ada ruang publik yang kebal
terhadap penyusupan korporasi. Air dan pusat pembangkit listrik, polisi, dinas pemadam kebakaran dan gawat
darurat, berbagai pusat pelayanan publik, jasa kesejahteraan, jaminan sosial, sekolah dan universitas, pusat riset,
penjara, pelabuhan udara, pelayanan kesehatan, gen, penyiaran, spektrum elektromagnetik, taman publik, dan
jalan tol, semua sedang mengalami atau paling tidak dipertimbangkan-untuk-proses privatisasi sebagian
maupun keseluruhannya.
“Pasar pendidikan” menjadi masalah besar karena masih sedikitnya kehadiran perusahaan pengelola,
maka bidang ini akan dieksploitasi dengan cepat dalam tahun-tahun selanjutnya, disejajarkan dengan pelayanan
kesehatan yang telah tigapuluh tahun yang lalu dikelola secara swasta. Meski, penganjur sebenarnya tidak
mempunyai bukti kuat untuk mendukung klaim mereka bahwa sekolah swasta berkinerja lebih baik, dalam
kaitan dengan hasil belajar muridnya, dibanding sekolah negeri. Saham Lembaga Pendidikan Edison, yang
sempat mencapai $ 21,68 di pasar bursa Nasdaq, terjun menjadi kurang dari satu dollar.
Institusi publik secara alami adalah cacat, begitulah menurut pendukung privatisasi, sebab mereka
bersandar pada sesuatu yang tak realistis, tidak sepenuhnya egois dan materialis yang merupakan konsep alami
manusia.
Meskipun pelayanan swasta dalam beberapa ukuran dan dalam beberapa hal terbukti lebih efektif
dibanding pelayanan umum, privatisasi mempunyai cacat sebagai solusi jangka panjang untuk permasalahan
dalam masyarakat. Secara filosofi, privatisasi menyimpang dan belum paripurna dalam konsep manusiawi.
Egoisme dan keinginan akan material adalah hanya bagian alami dari diri kita, tidak secara mutlak.
Mendasarkan suatu sistem sosial dan ekonomi pada konsep ini mempunyai bahaya yang mendasar. Pada tataran
praktis, privatisasi mempunyai cacat untuk dipercayai melayani masyarakat dengan korporasinya yang mencari-
keuntungan-belaka. Berbeda dengan institusi publik, yang memang dimandatkan hanya untuk melayani
masyarakat, korporasi secara resmi diharuskan menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas semua
kepentingan orang lain. Korporasi boleh bertindak untuk melayani masyarakat ketika hal itu juga berdampak
mendapatkan keuntungan baginya. Tetapi mereka juga akan dengan cepat mengorbankan pelayanan
masyarakat, dan hal ini adalah sah untuk dilakukannya, ketika yang lebih diperlukan adalah mendahulukan
kepentingannya sendiri.
Bagaimana dengan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) ?
Business is all about taking advantage of circumstances. Corporate social responsibility is an
oxymoron. (halaman : 109)
Tujuan bisnis itu cuma satu, yaitu mencetak keuntungan (profit making). Jika perlu, kita bisa berkelit
dari aturan hukum yang ada, dan itulah tugas para business lawyer. Tanggung jawab sosial itu hanyalah omong
kosong, dan tidak akan pernah diperhatikan secara serius oleh perusahaan. Ini hanyalah dipergunakan untuk
publikasi demi reputasi perusahaan tersebut. Tidak lebih dari itu.
Review : “The Corporation”
Muhammad Syaiful Rohman
10/306973/PSA/02293
Kesimpulan Joel Bakan mengenai perusahaan :
… corporations are psychopathic and cannot be any other way. Regardless of the moral values
of the people who run any individual company, corporations’ sole and whole purpose is to maximise
profits for their owners. They are legally obliged to do so with disregard to anybody else’s interest,
unless taking into account such interest is beneficial to the bottom line.
Ini mungkin suatu kesimpulan yang menyakitkan dari Joel Bakan, tetapi menjadi suatu bahan renungan
buat kita, apa yang harus dilakukan jika memang kesimpulan empiris mengatakan demikian?
Dalam sebuah interview, Joel Bakan mengungkapkan bagaimana sebaiknya pihak di luar perusahaan
berperan serta untuk mewujudkan perusahaan yang akuntabel. Peran pemerintah masih sangat sangat
diperlukan, dan sangat penting:
However, I don’t believe in the end that it’s a substitute for effective governmental control. The
whole difficulty I think that that we’re facing now is the question of who is going to ensure that
corporations are accountable. The problem with leaving it to activists and non-governmental
organizations—even with the tool of the Internet at their disposal—is that those organizations and those
people don’t have the legal right to compel corporations to disclose information, and that is something
that governments can do. Governments can can send inspectors to companies. Governments can put
legal requirements in place to disclose information that consumers and workers and other interested
people need. Non-governmental organizations don’t have that legal power and to me, that’s what
imposes substantial limitiations on how far we can go with trying to keep corporations accountable
though non-governmental measures.