responsi rematologi erupsi obat

Upload: acai-boncai

Post on 14-Jul-2015

199 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

esponsi RematologiERUPSI OBAT PHENYTOIN

Oleh : Alia Daniella Abdul Halim Mohd. Faizal Rasid Eka Rahmawati W. Virda Maharani Pembimbing : Dr. C Singgih Wahono, Sp.PD

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD SAIFUL ANWAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah Kulit dan membrana mukosa merupakan salah satu organ tubuh yang sangat

mudah memberikan suatu manifestasi klinis apabila timbul suatu gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut boleh disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas terhadap suatu obat. Erupsi obat ini dapat terjadi akibat pemakaian obat yang telah diresepkan atau juga obat-obat yang dijual bebas, termasuk campuran jamu-jamuan. Erupsi kulit akibat alergi obat merupakan reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi akibat pemberian obat dengan cara sistemik atau topical. Secara sistemik obat tersebut masuk melalui mulut, hidung, rectum, vagina, suntikan atau infuse. Sedangkan secara topical obat digunakan pada permukaan kulit yang dapat menyebabkan alergi sistemik akibat penyerapan obat oleh kulit. Manifestasi klinis akibat reaksi alergi terhadap suatu obat antaranya; urtikaria dan angioedema, erupsi makulopapular atau morbiliformis, fixed drug eruption (FDE), eritroderma (dermatitis eksfoliativa), purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergi, pustulosis eksantematosa generalisata akut, Eritema Multiformis, Sindrom StevenJohnson (SSJ), Nekrolisis Epidermal Toksis (NET). Namun tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi, hanya beberapa golongan obat 1-3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi kulit. Menurut WHO sekitar 2% dari seluruh jenis obat yang tergolong serius, karena reaksi alergi obat memerlukan perawatan di rumah sakit bahkan menyebabkan kematian. Sindrom Steven Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) merupakan beberapa bentuk reaksi serius tersebut. Hasil survey prospektif yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug Surveillance Program menunjukkan bahwa reaksi kulit yang timbul akibat pemberian obat adalah sekitar 2.7% dari 48.000 pasien yang dirawat pada bagian penyakit dalam dari tahun 1974 hingga 1993. Sekitar 3% dari seluruh pasien yang dirawat di rumah sakit, ternyata mengalami erupsi kulit setelah mengkonsumsi obatobatan. Data di Amerika Syarikat menunjukkan lebih dari 100.000 jiwa meninggal setiap tahunnya disebabkan erupsi obat yang serius. Menurut bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSCM/FKUI obat-obatan yang sering menyebabkan alergi tersebut yaitu obat anti-inflamasi non steroid (AINS), antibiotic

seperti penisilin dan derivatnya, sulfonamid, barbiturat dan obat-obatan anti-konvulsi (fenitoin, carbamazepine, fenobarbital). Karena alasan tersebut, maka dalam responsi kami ini kami mengangkat kasus erupsi obat fenitoin sebagai judul responsi kami.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Efek Samping Obat Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, inipun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh. Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari atau dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindaricfaktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui. Beberapa contoh efek samping misalnya: - reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik), - hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan), - osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama), - hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat withdrawal syndrome), - fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), - dan sebagainya. Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: - Kegagalan pengobatan, - Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien,

- Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik). - Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat. Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis. 2.2 Epidemiologi Efek Samping Obat Angka kejadian yang dilaporkan cukup beragam. Dari negara-negara Barat, ternyata angka-angka yang didapatkan cukup mengejutkan, yakni: - Dari pasien rawat tinggal, yang rata-rata menerima 5-10 jenis obat selama 10 hari perawatan di rumah sakit, + 25% nya akan menderita 1 macam atau lebih efek samping obat dari berbagai derajad, dan 1% menderita efek samping yang membahayakan kehidupan. Pada pasien rawat tinggal ini, efek samping yang berat paling banyak terjadi pada pengobatan kemoterapi kanker. - Di praktek swasta, kemungkinan terjadinya efek samping jauh lebih besar. Terbukti dari pasien akut yang masuk rumah sakit (hospital admission), + 25% nya ternyata disebabkan karena atau berhubungan dengan efek samping obat. - Dari kematian di rumah sakit, 0,24 - 2,9% adalah karena efek samping obat. - Golongan umur yang terbanyak mengalami efek samping adalah orang tua. Kelompok ini umumnya menerima jenis obat cukup banyak, sedangkan respons farmakokinetik dan farmakodinamik tidak sama. Data di Indonesia belum banyak terungkap, namun paling tidak angka-angka ini dapat memberikan gambaran kejadian dan masalahnya. 2.3 Pembagian Efek Samping Obat Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin pembagian yang paling

praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan adalah pembagian seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Jenis-jenis efek samping obat. Efek samping yang dapat diperkirakan- aksi farmakologik yang berlebihan - respons karena penghentian obat - efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama Efek samping yang tidak dapat diperkirakan - reaksi alergi

- reaksi karena faktor genetik - reaksi idiosinkratik 2.3.1 Efek samping yang dapat diperkirakan 2.3.1. (a) Efek farmakologik yang berlebihan Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relative yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada pasien-pasien tertentu (Pemakaian obat pada kelompok khusus: anak, usia lanjut, kehamilan) Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika. Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:

- Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin. - Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi. - Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi. - Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi. - Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi. - Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin. - Dsb. Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan. 2.3.1. (b) Gejala penghentian obat Gejala penghentian obat (= gejala putus obat, withdrawal syndrome) adalah munculnya kembali gejala penyakit semula atau reaksi pembalikan terhadap efek farmakologik obat, karena penghentian pengobatan. Contoh yang banyak dijumpai misalnya: - agitasi ekstrim, takikardi, rasa bingung, delirium dan konvulsi yang mungkin terjadi pada penghentian pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat seperti barbiturat, benzodiazepin dan alkohol, - krisis Addison akut yang muncul karena penghentian terapi kortikosteroid, - hipertensi berat dan gejala aktivitas simpatetik yang berlebihan karena penghentian terapi klonidin, - gejala putus obat karena narkotika, Reaksi putus obat ini terjadi, karena selama pengobatan telah berlangsung adaptasi pada tingkat reseptor. Adaptasi ini menyebabkan toleransi terhadap efek farmakologik obat, sehingga umumnya pasien memerlukan dosis yang makin lama makin

besar

(sebagai

contoh

berkurangnya

respons

penderita

epilepsi

terhadap

fenobarbital/fenitoin, sehingga dosis perlu diperbesar agar serangan tetap terkontrol). Reaksi putus obat dapat dikurangi dengan cara menghentikan pengobatan secara bertahap misalnya dengan penurunan dosis secara berangsur-angsur, atau dengan menggantikan dengan obat sejenis yang mempunyai aksi lebih panjang atau kurang poten, dengan gejala putus obat yang lebih ringan. 2.3.1. (c) Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya: - Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obatobat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll. - Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan (motion sickness). - Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin. - Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil - Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan. - Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb. 2.3.2 Efek samping yang tidak dapat diperkirakan 2.3.2. (a) Reaksi alergi Alergi obat atau reaksi hipersensitivitas merupakan efek samping yang sering terjadi, dan terjadi akibat reaksi imunologik. Reaksi ini tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seringkali sama sekali tidak tergantung dosis, dan terjadi hanya pada sebagian kecil dari populasi yang menggunakan suatu obat. Reaksinya dapat bervariasi dari bentuk yang ringan seperti reaksi kulit eritema sampai yang paling berat berupa syok

anafilaksi yang bisa fatal. Reaksi alergi dapat dikenali berdasarkan sifat-sifat khasnya, yaitu: - gejalanya sama sekali tidak sama dengan efek farmakologiknya, - seringkali terdapat tenggang waktu antara kontak pertama terhadap obat dengan timbulnya efek, - reaksi dapat terjadi pada kontak ulangan, walaupun hanya dengan sejumlah sangat kecil obat, - reaksi hilang bila obat dihentikan, - keluhan/gejala yang terjadi dapat ditandai sebagai reaksi imunologik, misalnya rash (=ruam) di kulit, serum sickness, anafilaksis, asma, urtikaria, angio-edema, dll. Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya alergi, yakni:

Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.

Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat, membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.

Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).

Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis

kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal. Walaupun mekanisme efek samping dapat ditelusur dan dipelajari seperti diuraikan di atas, namun dalam praktek klinik manifestasi efek samping karena alergi yang akan dihadapi oleh dokter umumnya akan meliputi: 1. Demam. Umumnya demam dalam derajad yang tidak terlalu berat, dan akan hilang dengan sendirinya setelah penghentian obat beberapa hari. 2. Ruam kulit (skin rashes). Ruam dapat berupa eritema, urtikaria, vaskulitis kutaneus, purpura, eritroderma dan dermatitis eksfoliatif, fotosensitifitas, erupsi, dll. 3. Penyakit jaringan ikat. Merupakan gejala lupus eritematosus sistemik, kadang-kadang melibatkan sendi, yang dapat terjadi pada pemberian hidralazin, prokainamid, terutama pada individu asetilator lambat 4. Gangguan sistem darah. Trombositopenia, neutropenia (atau agranulositosis), anemia hemolitika, dan anemia aplastika merupakan efek yang kemungkinan akan dijumpai, meskipun angka kejadiannya mungkin relatif jarang. 5. Gangguan pernafasan: Asma akan merupakan kondisi yang sering dijumpai, terutama karena aspirin. Pasien yang telah diketahui sensitif terhadap aspirin kemungkinan besar juga akan sensitif terhadap analgetika atau antiinflamasi lain. 2.3.2. (b). Reaksi karena faktor genetik Pada orang-orang tertentu dengan variasi atau kelainan genetik, suatu obat mungkin dapat memberikan efek farmakologik yang berlebihan. Efek obatnya sendiri dapat diperkirakan, namun subjek yang mempunyai kelainan genetik seperti ini yang mungkin sulit dikenali tanpa pemeriksaan spesifik (yang juga tidak mungkin dilakukan pada pelayanan kesehatan rutin). Sebagai contoh misalnya:

- Pasien yang menderita kekurangan pseudokolinesterase herediter tidak dapat memetabolisme suksinilkolin (suatu pelemas otot), sehingga bila diberikan obat ini mungkin akan menderita paralisis dan apnea yang berkepanjangan. Pasien yang mempunyai kekurangan enzim G6PD (glukosa-6-fosfat dehidrogenase) mempunyai potensi untuk menderita anemia hemolitika akut pada pengobatan dengan primakuin, sulfonamida dan kinidin. Kemampuan metabolisme obat suatu individu juga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Contoh yang paling populer adalah perbedaan kemampuan metabolisme isoniazid, hidralazin dan prokainamid karena adanya peristiwa polimorfisme dalam proses asetilasi obat-obat tersebut. Berdasarkan sifat genetik yang dimiliki, populasi terbagi menjadi 2 kelompok, yakni individu-individu yang mampu mengasetilasi secara cepat (asetilator cepat) dan individu-individu yang mengasetilasi secara lambat (asetilator lambat). Di Indonesia, 65% dari populasi adalah asetilator cepat, sedangkan 35% adalah asetilator lambat. Pada kelompok-kelompok etnik/sub-etnik lain, proporsi distribusi ini berbeda-beda. Efek samping umumnya lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat daripada asetilator cepat. Sebagai contoh misalnya: - neuropati perifer karena isoniazid lebih banyak dijumpai pada asetilator lambat, - sindroma lupus karena hidralazin atau prokainamid lebih sering terjadi pada asetilator lambat.

2.3.2. (c) Reaksi idiosinkratik Istilah idiosinkratik digunakan untuk menunjukkan suatu kejadian efek samping yang tidak lazim, tidak diharapkan atau aneh, yang tidak dapat diterangkan atau diperkirakan mengapa bisa terjadi. Untungnya reaksi idiosinkratik ini relatif sangat jarang terjadi. Beberapa contoh misalnya: - Kanker pelvis ginjal yang dapat diakibatkan pemakaian analgetika secara serampangan. - Kanker uterus yang dapat terjadi karena pemakaian estrogen jangka lama tanpa pemberian progestogen sama sekali.

- Obat-obat imunosupresi dapat memacu terjadinya tumor limfoid. - Preparat-preparat besi intramuskuler dapat menyebabkan sarkomata pada tempat penyuntikan. - Kanker tiroid yang mungkin dapat timbul pada pasien-pasien yang pernah menjalani perawatan iodium-radioaktif sebelumnya. 2.4 Faktor-faktor Pendorong Terjadinya Efek Samping Obat Setelah melihat uraian di atas, maka kemudian dapat diidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong terjadinya efek samping obat. Faktor-faktor tersebut ternyata meliputi: 2.4.1. Faktor bukan obat Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah: a) Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi, penyakit, sikap dan kebiasaan hidup. b) Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya pencemaran oleh antibiotika. 2.4.2. Faktor obat a) Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping. b) Pemilihan obat. c) Cara penggunaan obat. d) Interaksi antar obat.

2.5 Definisi Erupsi Obat Fenitoin Erupsi obat fenitoin atau hipersensitivitas antikonvulsan sindrom (AHS) adalah, reaksi hipersensitivitas yang berat tetapi jarang ditemukan diakibatkan oleh obat antikonvulsi dan ditandai dengan demam, ruam dan keterlibatan sistemik. Pembesaran kelenjar getah bening hepatitis dan eosinophilia juga sering didapatkan. Hampir semua

obat

antikonvulsi

aromatic

bisa

menimbulkan

reaksi

ini

termasuk

fenytoin,

carbamazepine, fenobarbital dan primidone dan termasuk reaksi silang.

AHS adalah

sebagian daripada sindroma Drug-related Rash with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS) atau pseudolymphomatous sindrom. Sindrom ini terdiri dari reaksi obat yang parah yang terkait beberapa karakteristik tertentu, onset gejala terlambat (dari 2 minggu sampai 2 bulan), keterlibatan organ multiple (meniru penyakit menular atau sistemik), keparahan karena keterlibatan sistem hati, ginjal, dan saraf pusat; dan lambat resolusi. 2.6 Epidemiologi Erupsi Obat Fenitoin Interval antara paparan obat pertama dan gejala biasanya di antara dua sampai empat minggu tetapi pernah dilaporkan pada individu yang menerima antikonvulsan selama tiga bulan. Sindrom ini lebih parah pada individu yang pernah tersensitisasi sebelumnya. Insiden AHS tidak diketahui karena variabilitas dalam presentasi, kurangnya kriteria diagnostik yang ketat dan kasus tidak dilaporkan. Namun, kejadiannya dianggap langka. Sementara 1 dalam 5 pasien yang minum obat fenitoin yang menimbulkan erupsi kulit, hanya sebagian kecil akan berkembang menjadi AHS. Menurut P. Gaig et al., angka kejadian adalah 1 dalam tiap 1000 sampai 10,000 paparan. 2.7 Etiologi Erupsi Obat Fenitoin Tanda klinis dan gejala reaksi alergi obat adalah sangat heterogeneous dan mencakup berbagai reaksi alergi seperti reaksi immediate-type termasuk anafilaksis, reaksi tipe II dan III seperti purpura dan vaskulitis, serta reaksi tertunda atau delayedreactions. Untuk semua jenis reaksi alergi, penyatuan antigen dengan T-limfosit khusus peka adalah prasyarat. Dalam kasus hipersensitifitas reaksi jenis tertunda terhadap obat antikonvulsan aromatik seperti fenitoin, deteksi alergen spesifik sel T terutama adalah penting untuk diagnosis karena tidak adanya alergen-IgE spesifik.

2.8

Patofisiologi Erupsi Obat

Patogenesis lengkap DRESS tidak diketahui.

Mulai dari metabolit dari

antikonvulsan aromatik (misalnya arene oksida), penyakit graft-versus-host, infeksi human herpes virus (HHV) -6 dan mekanisme imunolog semua dikatakan saling terlibat. Sebuah asosiasi penyakit auto-imun bulosa pada kulit dengan dengan penggunaan obat karbamazepin, pertama kali dilaporkan oleh Yoshimura et al. yang mengakui kadar antibodi desmogleins 1 dan 3 meningkat pada 3 dari 25 pasien yang diberikan karbamazepin tanpa ruam kulit, tetapi tidak pada 8 pasien yang menggunakan valproate. Ketiga pasien ini juga menunjukkan antibodi interseluler pada permukaan sel seluruh epidermis. Patterson & Davies melaporkan kasus karbamazepin yang pemfigus pada seorang menimbulkan gadis berusia 13 tahun menunjukkan pewarnaan langsung

dengan pemeriksaan immunoflourescence pada IgG dan C3, tapi IIF negatif tetapi uji enzyme-linked immunosorbent (ELISA) anti-desmoglein 1 dan 3 tidak dilakukan. Fitur klinis mengungkapkan foliaceus pemfigus pada wajah dan pemfigus vulgaris pada badan dan kaki yang bermanifestasi sebagai lepuh lembek dan eritema. Pada pasien ini, IIF tes mengungkapkan IgG disimpan dalam interseluler pada epidermis dan analisis imunoblot menunjukkan reaktivitas untuk 190-kDa protein, yang kompatibel dengan berat molekul antibodi periplakin dan PNP serum. Temuan ini menunjukkan bahwa beredarnya auto-antibodi terhadap antigen-190 kDa mungkin dihasilkan pada paparan karbamazepin, dan bahwa ini mungkin telah memicu DRESS. Antibodi terhadap antigen-kDa 190 biasanya terdeteksi pada pasien pemfigus foliace. Hal ini masih belum jelas apakah pembentukan auto-antibodi beredar ditargetkan untuk molekul epidermis selama berlangsungnya DRESS ini adalah patogen utama yang signifikan atau telah muncul dengan mekanisme dari epitop menyebar. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan peran antibodi otomatis beredar di yang patomekanisme dari DRESS. (2446) Dari penelitian Sanjoy Roychowdhury dan Craig K. Svensson dari Divisi Farmasi, College of Pharmacy, The University of Iowa, Iowa City mengatakan, reaksi obat kulit (CDR) yang efek samping yang paling sering dilaporkan. Reaksi ini dapat berkisar dari agak tidak menyenangkan sampai mengancam hidup. CDR dapat timbul baik dari mekanisme imunologis atau nonimmunologis, meskipun bukti menunjukkan dominan peranan respon imunologi. Beberapa erupsi kulit muncul segera setelah asupan obat, sementara yang lain tidak terwujud sampai 7 sampai 10 hari setelah inisiasi terapi dan

konsisten dengan tipe hipersensitivitas tertunda. Inisiasi reaksi hipersensitivitas tertunda di kulit, yang termasuk haptenisasi protein, aktivasi/ migrasi sel dendritik dan propagasi sel T. Reaksi DTH pada kulit juga terkait dengan administrasi sistemik dari sejumlah macam obat. Obat tersebut termasuk antimikroba (misalnya, sulfonamida, dapson), antikonvulsan (misalnya, carbamazepine), anestesi (misalnya, lidokain), analgesik (misalnya, asetaminofen), antipsikotik (misalnya, clozapine), kardiovaskular (misalnya, prokainamid dan hydralazine), obat anti-infl ammatory (misalnya, diklofenak), dan steroid (misalnya, estrogen) agen. Naldi dkk menemukan bahwa obat antimikroba agen yang paling umum yang terkait dengan CDRs, diikuti oleh obat anti-infl ammatory obat (NSAID) dan analgesik lainnya. Namun, CDRs dalam respon terhadap terapi NSAID dan analgesik lebih sering dikaitkan dengan kematian dibandingkan dengan agen antimikroba yang terjadi. Peneliti an ini juga menemukan bahwa yang paling sering dilaporkan reaksi CDR serius yang diinduksi antimikroba adalah angioedema, eritema multiforme dan Stevens Johnson Syndrome. Sejumlah bukti, terutama berasal dari analisis imunohistokimia lesi kulit dan generasi obat klon T-sel spesifik dari individu dengan riwayat CDR, menunjukkan bahwa komponen sel-dimediasi dari sistem kekebalan tubuh memainkan peran sentral dalam patogenesis reaksi DTH pada kulit yang dipicu oleh obat. Selain itu, onset tertunda, pembengkakan kelenjar getah bening, dan sekresi sitokin pro-inflammatory selama reaksi-reaksi ini memberikan dukungan lebih lanjut untuk keterlibatan langsung dari sistem kekebalan tubuh dalam CDR. Penekanan reaksi hipersensitivitas yang dipicu oleh obat dengan kenaikan dosis bertahap, yang dapat dijelaskan dengan toleransi kekebalan tubuh, juga menunjukkan eterlibatan langsung dari sistem kekebalan dalam pathogenesis DTH yang dipicu obat. Reaksi kulit yang dipicu obat paling sering muncul sebagai exanthemas (ruam luas atau letusan). Menggunakan tes kulit dan analisis imunohistokimia, Britschgi dkk menunjukkan infiltration luas neutrofil dalam pustula dan sel T dalam dermis dan epidermis dari pasien dengan pustulosis exanthematous. Analisis Immunohistological kulit pada saat CDR diinduksi bromisovalum juga menunjukkan infiltrasi limfosit CD4 + dan CD8 + dalam dermal dan epidermal masing-masing. Analisis histologi lainnya terhadap exanthema yang dipicu obat menunjukkan infiltrasi ringan sampai sedang sel

mononuklear di kulit. Sel mononuclear ini terdiri dari sel T CD3 + dengan dominasi sel T CD4 + dalam dermis perivaskular, sedangkan jumlah yang sama CD4 + dan CD8 + sel T muncul di zona persimpangan dermato-epidermal dan epidermis kulit. Namun demikian, penting untuk dicata bahwa infiltrasi limfosit di kulit atau pembesaran kelenjar getah bening juga merupakan konsekuensi dari infeksi kulit yang memicu respon kekebalan tubuh. Oleh karena itu, adalah mungkin bahwa bukti keterlibatan kekebalan immunohistological dikutip di atas adalah dimediasi oleh infeksi bersamaan daripada respon langsung terhadap obat itu sendiri. Yang menariknya, tampak bahwa infeksi virus dapat sendiri menjadi faktor predisposisi untuk pengembangan CDRs. Bukti yang paling kuat yang mendukung keterlibatan sistem kekebalan tubuh dalam CDRs dilihat melalui demonstrasi proliferasi obat-spesifik limfosit T c yang diperoleh dari pasien dengan riwayat CDR. Pichler dan rekan telah mampu mengisolasi CD4 dan CD8 obat tertentu T-sel pasien dengan riwayat CDR untuk sulfonamida, sefalosporin, dan antikonvulsan. (aapsj)

Figure 1. Schematic representation of critical events involved in xenobiotic-induced immune reactions in skin. Drug or metabolite enter the epidermis through the stratum corneum and diffuse into KC. Alternatively, drug or metabolite may enter via the systemic circulation. Drug may undergo bioactivation, followed by intracellular protein haptenation. Metabolite entering directly or released from KC may haptenate extracellular proteins. Antigen uptake by Langerhans cells, 37 together with infl ammatory signals, results in

activation/maturation of LC. Activation of LC results in the release of signals that direct migration of these cells to the draining lymph node. Upon arrival at the lymph node, LC present antigen to T cells in an MHC-restricted (major histocompatability) fashion. Engagement of the TCR in the presence of costimulatory signals (CD80/CD28) results in clonal expansion of xenobiotic-reactive T cells. These T cells express skin homing receptors, which play an important role in recruitment to the site of allergen presentation. Activation of xenobiotic-reactive T cells in the skin results in cell killing and infl ammation.

BAB III LAPORAN KASUS

SUMMARY OF DATA BASE Tn. Fikri Zamroni / 14 tahun / Ruang 25 / MRS : 26 September 2011 Anamnesa Keluhan Utama : Autoanamnesis & Heteroanamnesis : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh demam tinggi sejak dua hari SMRS. Demam muncul tiba-tiba dan berlangsung terus-menerus. Keluarga pasien memberikan obat paracetamol. Demam sempat turun tetapi kemudian demam muncul lagi. Keluarga tidak tahu demam sampai berapa derajat celcius. Pasien merasa menggigil tetapi saat dipegang badan pasien terasa panas. Karena keluarga pasien merasa demam semakin tinggi, pasien dibawa ke RSSA. Selain demam, pasien juga mengalami ruam yang gatal-gatal di seluruh tubuh. Awalnya hanya seperti bintil-bintil merah kecil di wajah dan belakang telinga yang muncul sejak dua hari yang lalu. Tetapi kemudian semakin bertambah banyak dan ke seluruh tubuh, termasuk juga daerah kemaluan. Selain muncul bintil-bintil, daerah muka dan bibir pasien mengalami bengkak. Kelopak mata pasien juga bengkak dan dirasakan sulit dibuka. Pasien juga mengalami susah saat bernafas dan sulit bicara dan menelan. Pasien merasakan mual dan sempat muntah-muntah dua kali di rumah. Muntah 1/4 gelas, berisi air, tidak ada lendir dan darah. Selain itu, pasien juga mengeluhkan terdapat pembesaran di daerah leher yang dekat dengan telinga sejak dua hari yang lalu. Riwayat Penyakit Terdahulu : Pasien sempat mengalami kecelakaan sekitar satu bulan yang lalu. Kemudian pasien sempat MRS di Tumpang selama dua hari. Setelah 1 hari KRS dari RS Tumpang,

pasien mengalami kejang terus menerus dari malam hingga pagi hari. Sewaktu kejang pasien tidak sadar. Pagi hari pasien dibawa ke UGD RSSA. Pasien sempat MRS di RSSA selama 21 hari. Menurut pemeriksaan, pasien mengalami pembengkakan otak. Sewaktu dirawat di RSSA, pasien mendapatkan obat injeksi antikejang (pasien tidak ingat obat apa). Pasien juga sempat minum obat phenytoin 3x100mg di rumah setelah KRS. Riwayat kejang sebelum mengalami kecelakaan disangkal. Riwayat Pengobatan : Pasien mengkonsumsi obat tablet dari RSSA setelah KRS karena kejang selama dua hari SMRS, tetapi pasien tidak ingat nama obat. Riwayat Keluarga : Riwayat kejang dalam keluarga disangkal. Riwayat Alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan Riwayat atopi: Riwayat bersin-bersin pagi hari atau asma disangkal. Kehidupan sosial : Pasien biasanya makan 3 kali sehari, menunya ganti-ganti, Pasien tidak merokok dan tidak minum alkohol. Pemerikasaan Fisik Keadaan Umum Kesadaran Nampak sakit Turgor Gizi Keadaan kulit Nadi Tensi Pernafasan Suhu axiler Berat badan Tinggi badan : GCS 335 : Sedang : baik : cukup : coklat normal : 100 x/menit, reguler : Lengan kanan : 120 / 80 mmHg : Frekuensi : 24 x/menit : 38,1C : 40 kg : 140 cm Bau : tidak berbau

BMI Kepala Bentuk Rambut Nyeri tekan/ketok Mata Pandangan normal

: 20.8 kg/m2 : bulat, simetris : hitam : tidak ada Cornea jernih, bulat Conjunctiva anemis -/-

Angiodema kelopak mata (+) Sclera ikterus -/Telinga Pendengaran Normal Hidung Buntu tidak ada Radang tidak ada Mulut Bibir basah Lidah bersih Edema bibir (+) Leher Trachea di tengah Kaku kuduk (-) Thorax Bentuk dada simetris Kolateral tidak ada

Radang tidak ada Nyeri tekan tidak ada Sekret tidak ada Gigi geligi atas :16, bawah :16,caries(-), Uvula di tengah Nyeri telan (+) Kelenjar terdapat pembesaran di preaurikuler

Kelenjar gondok tidak membesar J.V.P normal (R+0cmH2O)

Pernafasan simetris Keadaan otot simetris

Paru Inspeksi Bentuk Waktu nafas Palpasi D D

Muka Kanan = = Kiri S S D D

Belakang Kanan = = Kiri S S

Waktu nafas Stem fremitus Perkusi Suara Batas paru hati Auskultasi Suara nafas

D D sonor

= =

S S sonor

D D sonor

= =

S S sonor

ICS V (D)

Th IX

v v v v b v v - Wh -

v v v v v v

Suara tambahan Bronchofoni Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi

Rh

: Pulsasi precordial tidak tampak Ictus invisible : Ictus palpable pada ICS VI MCL (S) : Batas kiri Batas kanan ictus SL (D)

Auskultasi : Irama Jantung : Reguler Suara Jantung : S1 S2 tunggal Murmur (-) Friction Rub : tidak ada Abdomen Inspeksi : Bentuk perut flat Ptechie (-) Umbilikus normal Striae (-) Palpasi : Dinding perut teraba soefl Hepar : tidak teraba Lien Ren : tidak teraba : tidak teraba Tumor tidak ada Colateral tidak ada Cicatrix (-)

Inguinal : tidak teraba pembesaran kelenjar inguinal Perkusi : Undulasi : (-) Shifting dullness : (-) Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal Bruit Columna Vertebralis Skoliosis Kifosis Extremitas Kanan Ptechie Udema Varises Jari tabuh Kuku Ulkus ada tidak ada tidak ada normal tidak ada Atas Kiri ada tidak ada tidak ada normal tidak ada Kanan ada tidak ada tidak ada normal tidak ada Nyeri tekan Nyeri ketok Bawah Kiri ada tidak ada tidak ada normal tidak ada

POMRCue and Clue . Mr. X 14 y.o Sudden onset of fever since 2 days before admission. Fever is accompanied rashes all over the body and spread centrifugally Eyelids, lips and face edema. Shortness of breath. Dysphagia Nausea, vomited Preauricular and neck lymph node enlargement History of receiving anticonvulsant for post traumatic seizure 1 month ago GCS 456 Tax :38, 1C Leukosit:17.90 0 /ul SGOT:64 mv/ml SGPT: 61 mv/ml Mr. X 14 y.o History of road trauma 1 month ago History of seizure 2 days post trauma hospitalized for 21 days PL 1. Drug eruption + Angioedema Idx 1.1Hipersensiti vity antikonvulsan syndrome(AH S) PDx DL Ur/Cr SE SGOT/SGP T UL

PT O2 4 lpm via nasal cannule Diet 2000 Kcal/ day TKTP IVFD NS 0.9% 30 tpm Stop anticonvulsant therapy (phenytoin tab 3x100mg) Inj. Diphenhydrami ne 3x10mg PO : Methylpredniso lone tab 3x16mg Inj. Ranitidine 2x50mg

Pmo VS Subjective Urine production

2. Post traumatic brain injury

2.1 early onset post traumatic brain injury

Head CT scan EEG

Valproic Acidtablet 3 x 200mg

observation episode of seizure

BAB IV PEMBAHASAN AHS (Anticonvulsant Hypersensitivity Syndrome) adalah termasuk dalam reaksi ruam akibat obat yang terkait dengan eosinofilia dan sindrom gejala sistemik atau drugrelated rash with eosinophilia and systemic symptoms syndrome (DRESS) yang merupakan suatu reaksi idiosinkratik terhadap antikonvulsan aromatik yang dapat mengakibatkan disfungsi multi-organ yang berat dan kematian. Sekelompok gejala yang berhubungan dengan AHS termasuk trias klasik demam, ruam dan keterlibatan organ internal (paling sering hati). Untuk fenitoin, interval onset berarti AHS adalah 17-21 hari. AHS tidak berhubungan dengan dosis atau konsentrasi serum antikonvulsan. Sebagian besar pasien datang dengan demam, malaise dan limfadenopati. Pada pasien dalam penelitian yang dilakukan oleh P Gaig et al, datang dengan demam tinggi, menggigil, limfadenopati, eosinofilia dan hepatitis selama 10 sampai 12 minggu setelah penggunaan awal fenitoin dengan perkembangan selanjutnya ruam makulopapular konsisten dengan AHS., kelainan hematologi yang umum didapatkan pada AHS. Neutropenia dan eosinofilia yang menonjol pada pasien ini. Sesuai dengan teori, pada pasien ini reaksi timbul kurang lebih sebulan setelah pemakaian phenytoin dan keluhan pertama yang dirasakan adalah demam tinggi sejak dua hari SMRS. Demam muncul tiba-tiba dan berlangsung terus-menerus. Pasien merasa menggigil tetapi saat dipegang badan pasien terasa panas. Selain demam, pasien juga mengalami ruam yang gatal-gatal di seluruh tubuh. Awalnya hanya seperti bintil-bintil merah kecil di wajah dan belakang telinga yang muncul sejak dua hari yang lalu. Tetapi kemudian semakin bertambah banyak dan ke seluruh tubuh, termasuk juga daerah kemaluan. Selain muncul bintil-bintil, daerah muka dan bibir pasien mengalami bengkak. Kelopak mata pasien juga bengkak dan dirasakan sulit dibuka. Pasien juga mengalami susah saat bernafas dan sulit bicara dan menelan. Pasien merasakan mual dan sempat muntah-muntah dua kali di rumah. Muntah 1/4 gelas, berisi air, tidak ada lendir dan darah. Selain itu, pasien juga mengeluhkan terdapat pembesaran di daerah leher yang dekat dengan telinga sejak dua hari yang lalu. Risiko berkembang menjadi AHS, dalam waktu 60 hari pada pengguna baru carbamazepine atau fenitoin diperkirakan 2,3-4,5 per 10.000 dan 1-4,1 per 10.000 masing-

masing. Fenitoin, karbamazepin, fenobarbital dan primidone, semuanya diklasifikasikan sebagai antikonvulsan aromatik, dapat menghasilkan reaksi, hipersensitivitas identik multisistem antara 4 minggu dan 3 bulan setelah memulai penggunaan. Temuan dermatologis mulai sebagai makula eritema merata yang berwarna merah muda berkembang menjadi ruam konfluen, papular, yang biasanya pruritus. Badan, wajah dan bagian atas ekstremitas yang biasanya terkena dulu. Efek kulit dapat berkisar dari erupsi exanthematous sampai Stevens-Johnson sindrom yang lebih serius, edema wajah atau bahkan nekrolisis epidermal toksis. Sesuai dengan teori, pada pasien ini ruam maculo-papular yang muncul pada wajah dan belakang telinga pada awalnya berupa bintil-bintil merah yang kecil dan gatal berkembang dan kemudian menyebar ke ekstremitas atas dan bawah termasuk kemaluan. Perawatan suportif adalah lini pertama dari terapi pada pasien dengan AHS, termasuk penggunaan steroid topikal untuk perawatan kulit untuk mengurangi gejala. Menghentikan obat pemicu adalah essensial.Terdapat banyak perdebatan atas penggunaan kortikosteroid dalam AHS. Meskipun beberapa kasus yang dilaporkan telah menunjukkan resolusi klinis yang cepat dan spontan dengan terapi kortikosteroid untuk keterlibatan organ internal masih kontroversial. Steroid oral dan intravena dapat digunakan pada pasien dengan AHS dengan gejala sistemik, namun belum ada uji coba terkontrol secara acak untuk membuktikan bahwa ianya memperpendek durasi reaksi atau mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Apabila digunakan, hati-hati penyapihan dari kortikosteroid penting karena penghentian awal akan menyebabkan kambuh HS. Dalam beberapa kasus yang dilaporkan, fenomena hipersensitivitas antikonvulsan terkait bertahan setelah agen pemicu telah dihapus, meskipun dengan penggunaan jangka panjang kortikosteroid. Penatalaksanaan pada pasien ini adalah sesuai dengan teori, telah dihentikan pemakaian obat phenytoin dan terapi yang diberikan adalah terapi suportif dengan oksigen 4 L/menit dengan nasal canule, diet 2000 Kcal/hari yang tinggi kalori dan protein, infus cairan IVFD NS 0.9%, injeksi Diphenhydramine 3x10mg, injeksi Ranitidine 2x50mg dan Methylprednisolone tablet 3x16mg per oral. Ada juga banyak perdebatan atas penggunaan terapi imunosupresan dalam pengobatan reaksi cuteanous berat yang dipicu obat. Metry et al menunjukkan dalam

penelitiannya bahwa dengan terapi imunoglobulin intravena (IVIG) telah berhasil dalam tujuh kasus pediatrik dengan reaksi cuteanous yang parah dipicu oleh obat antikonvulsi eperti Steven-Johnson syndrome (SJS) dan nekrolisis epidermal toksik (NET). Meskipun penggunaan IVIG telah menunjukkan beberapa manfaat dalam kasus seperti SJS dan NET, itu adalah tidak berarti dianggap terapi standar pada semua kasus reaksi obat yang merugikan seperti pada pasien ini. Calon multi-pusat percobaan masih diperlukan untuk menentukan efikasi dan keamanan IVIG dengan modalitas pengobatan lain yang berpotensi efektif dalam kasus tersebut. Konseling keluarga merupakan bagian penting dari manajemen pasien di AHS karena tingkat pertama peningkatan risiko terhadap mengalami reaksi yang serupa. Semua antikonvulsan aromatik harus dihindari pada kerabat tingkat pertama. Kontrol kejang dapat dicapai dengan benzodiazepin kerja singkat atau antikonvulsi alternatif dari kelompok non-aromatik seperti asam valproik atau gabapentin. Tiagabine atau topiramate mungkin sebagai alternatif, namun pengenalan dosis dengan kecepatan lambat setelah AHS telah direkomendasikan untuk administrasi dapat membatasi kegunaan mereka dalam setting akut, antikonvulsan alternatif seharusnya hanya diadministrasi sepenuhnya mereda karena sebagian besar antikonvulsan yang memiliki potensi hepatotoksisitas, yang selanjutnya dapat membahayakan hati yang sudah rusak. Pada pasien ini sesuai dengan teori, konseling terhadap keluarga dan passien telah dilakukan dengan harapan untuk mencegah kejadian ulang dari erupsi obat ini. Kontrol jangka panjang terhadap kejang pada pasien ini dicapai dengan menggantikan phenytoin dengan asam valproik. Mengingat angka kematian yang signifikan dari sindrom ini, yaitu sekitar 10%, diagnosis yang tepat dan cepat adalah entitas yang sangat penting dengan cara menggali sedalamnya riwayat pengobatan pasien terutamanya selang waktu antara inisiasi obat dan awal erupsi kulit yang dapat bervariasi antara 2 sampai 6 minggu sampai 2 bulan. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengenali tanda-tanda awal dari suatu DRESS sindrom, terutama untuk menghindari keterlambatan dalam penarikan obat pelakunya. Selanjutnya temuan selain hematologi eosinofilia, seperti leukositosis dan kimia darah yang abnormal hasil tes, seperti enzim hati dan serum kadar kreatinin, mengindikasikan keterlibatan mendalam.

Sesuai dengan teori, pada pasien ini telah dilakukan tes darah lengkap dan tes fungsi hati untuk mengidentifikasi sama ada telah terjadi komplikasi yang berupa keterlibatan organ dan hasilnya negatif, yaitu masih belum didapatkan keterlibatan organ.