responsi nasofaring fix
DESCRIPTION
tugas THTTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi (bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah). Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak
khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh
mereka yangg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan
ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin
buruk. Dengan melihat hal tersebut, diharapkan dokter dapat berperan dalam
pencegahan, deteksi dini, terapi maupun rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini.
Untuk dapat berperan dalam hal tersebut dokter perlu mengetahui terlebih dahulu
segala aspek dari kanker nasofaring ini, meliputi definisi, epidemiologi, etiologi,
faktor risiko, gejala dan tanda, patogenesis, diagnosis, komplikasi, terapi maupun
pencegahanya. Penulis berusaha untuk menuliskan semua aspek tersebut dalam
tinjauan pustaka ini dan diharapkan dapat bermanfaat.3
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Histologi
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang
terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga
dahulu disebut “rongga buntu atau rongga tersembunyi”. Batas-batas rongga
nasofaring, di sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas,
yang juga merupakan atap adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah
jaringan mukosa di depan vertebra servikal. Sebelah bawah adalah ismus
faring dan palatum mole, dan batas lainnya adalah dua sisi lateral.4,5
Gambar 2.1 Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping 1
2
Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang 5
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 5
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun.
Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2 Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi
fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3 Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii
(ostium tuba)
4 Fosa Rosenmulleri
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus
tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil
yang disebut sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan
tempat perubahan atau pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid
menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap merupakan
predileksi terjadinya keganasan nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-
macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis,
epitel kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia.
3
Pada tahun 1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu
berlapis pada nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih
berlapis. Demikian juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan
tajam dan jelas sekali. Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa
asal tumor ganas nasofaring itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-
celah epitel yang masuk ke jaringan limfe di bawahnya.5
Walaupun fosa Rosenmulleri atau dinding lateral nasofaring merupakan lokasi
keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di
tempat-tempat lain di nasofaring.5 Moch. Zaman mengemukakan bahwa
keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada: dinding atas nasofaring atau
basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid, di bagian depan nasofaring
yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana dan dinding lateral nasofaring
mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring dan palatum molle.
2.2 Definisi
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
yang melapisi nasofaring. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan
limfoid, dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Tumor
primer dapat kecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar
limfe regional, biasanya pada leher. Tumor ini tidak termasuk tumor kelenjar
atau limfoma.2
2.3 Epidemiologi
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid,
namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat
tertinggi, yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per
100.000 penduduk untuk Propinsi Guangdong 7, 9,12
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring,
sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan pula
cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
4
penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin
pada musim dingin 3,9,12
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah
keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan
dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu
menempati urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di
setiap daerah. Di RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per
tahun. Di RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar
25 kasus per tahun, Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per
tahun, dan di Padang sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh
berbeda juga ditemukan di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di
seluruh Indonesia. 12
2.4 Faktor risiko
Terdapat beberapa faktor predisposisi seseorang mengalami karsinoma
nasofaring. Faktor yang kemungkinan mempengaruhi timbulnya tumor ini
seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan,
kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan infeksi kuman atau parasit.
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma nasofaring,
sehingga kanker ini cukup tinggi terjadi pada penduduk Cina Selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki, dengan sebab yang belum
diketahui pasti, kemungkinan dipengaruhi oleh genetik, kebiasaan hidup,
pekerjaan, dan lain-lain. Dari beberapa penelitian dijumpai perbandingan
penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1. Namun ada penelitian yang
menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan hanya 2 : 1. Pada
penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan perbandingan
penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang dominan
pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan
5
surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan
kanker.1,7,10
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap
sejenis kayu tetentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak
tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan
antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain
tidak jelas. Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan
(daging atau ikan) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya
kejadian karsinoma ini. Faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter
atau familier dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ
tubuh lain. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan
hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.1
2.5 Etiologi
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah
Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan karsinoma
nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang pada
penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan
titer antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai
perilaku virus ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya
faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya
tumor ganas ini seperti letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan,
lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau
parasit. 2,5,12
2.6 Patogenesis
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat
berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,
mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor
ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah
cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak
6
faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu infeksi EBV, faktor
lingkungan, dan genetik
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel
epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B
dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d
(CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan
dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B. Aktivitas ini merupakan
rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit
B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu,
sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang
diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu
CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor ). Sel yang terinfeksi oleh
virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu: sel
menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan
replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan
kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas
sehingga terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita
KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B.
Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten.
Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine
kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1.
Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20
asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino)
dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor ) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.4,6,8
7
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi
metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.11,13
Dari segi lingkungan, sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada
populasi yang berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah
dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan
perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung
formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma
nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.14
2.7 Gejala Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan saraf, serta metastasis atau
gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan
hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu
dengan nasofaringoskop, karena sering kali gejala belum ada sedangkan tumor
sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah
mukosa (creeping tumor).1
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat
berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga
(otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru
kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa lubang, dari beberapa saraf otak
8
dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga
tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter
mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli
saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.1
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila
sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian
biasanya prognosisnya buruk.
Metastase ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong
pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN
telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk yang mencurigakan pada nasofaring
seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan
mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-
tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.1,2,15
2.8 Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis pasti serta stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF) serta pemeriksaan nasofaring dengan menggunakan kaca nasofaring
atau dengan nashopharyngoskop
2. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang
dengan diagnosis histologi atau sitologi. Pengambilan sampel untuk
pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari
9
hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di
hidung. Demikian juga kateter yang dari hidung di sebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca nasofaring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca
tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut,
massa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum
didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan
kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.1,7,9,12
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3
tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi
baik, sedang dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada
tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi
sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel
cukup jelas.
Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).
Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang
vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas.
Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas. Tipe tanpa
diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,
yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.
10
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh
WHO pada tahun 1991,hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi ( Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma).
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe
ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak
berdiferensiasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik
tersebut meliputi memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan
adanya tumor pada daerah nasofaring, menentukan lokasi yang lebih tepat
dari tumor tersebut, dan mencari dan menetukan luasnya penyebaran
tumor ke jaringan sekitarnya.
Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
(1) posisi lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique), (2) posisi basis kranii atau submentoverteks, (3)
Tomogram Lateral daerah nasofaring, dan (4) Tomogram Antero-
posterior daerah nasofaring
CT-.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan
eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi.
Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal
ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.
Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum
terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi
hal tersebut. Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos
ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam
densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan
11
lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan criteria
tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil.
Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada
perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.3,5,7
4. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
5. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium
III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%
dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.7
2.9 Klasifikasi
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring
digunakan sistem TNM menurut UICC (1992).3,10
T (Tumor Primer)
T0 = Tidak tampak tumor
T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap,
dll)
T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam
rongga nasofaring
T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau
orofaring
12
T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang
tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)
N0 = Tidak ada pembesaran KGB
N1 = Terdapat pembesaran KGB homolateral dan masih bisa digerakkan
N2 = Terdapat pembesaran KGB kontralateral/bilateral dan masih bias
digerakkan
N3 = Terdapat pembesaran baik homolateral/kontralateral/bilateral yang
sudah melekat pada jaringan sekitar
M (Metastasis jauh)
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
Dari keterangan di atas, karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4
stadium, yaitu:
a. Stadium I : T1 N0 M0
b. Stadium II : T2 N0 M0
c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0
d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan
menjadi 3 tipe menurut WHO.1,3,7,10 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan
dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu
variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih
dari 70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1
mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa
nasofaring, sel-sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan
menghasilkan cukup banyak keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2
ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan
13
sebagian sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan
menyerupai karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel
kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang
dahulu disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell
carcinoma, dan variasi spindel.1,5
2.10 Diagnosis Banding
Karena nasofaring merupakan bagian faring yang sulit dilihat, untungnya
banyak manifestasi tak langsung dari karsinoma nasofaringyang bisa
digunakan untuk mencurigai adanya lesi pada nasofaring. Bila terjadi
obstruksi koana, huruf ”m” akan terdengar seperti huruf ”b” dan ”n” seperti
huruf ”d”. Bila pasien mengeluh sengau dan hasil pemeriksaan hidung
anterior normal dapat dicurigai sebagi kelainan nasofaring. Sehingga
beberapa lesi di nasofaring dengan gejala yang hampir mirip bisa dianggap
sebagai diagnosis banding, misalnya :7
1. angiofibroma nasofaring
2. Hipertrofi adenoid/ adenoid persisten
3. Polip nasi /polip antrokoanal
4. Tumor dekat dasar tengkorak
2.11 Komplikasi
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering
adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis
yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring
dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing
20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.
Komplikasi lain yang biasa dialami adalah terjadinya pembesaran kelenjar
getah bening pada leher dan kelumpuhan saraf kranial.
2.12 Penatalaksanaan
14
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring pada dasarnya ada 2 macam, yaitu
pencegahan dan pengobatan.
1. Pencegahan
Karena penyebab kanker nasofaring belum jelas, maka pencegahan yang
dilakukan hanya berdasarkan faktor-faktor yang dinilai berpengaruh akan
timbulnya karsinoma nasofaring tersebut. Usaha tersebut adalah
penggunaan vaksin virus Epstein-Barr, mengurangi dan menghindari
bahan-bahan atau polutan yang dapat mempengaruhi timbulnya
karsinoma nasofaring, dan perbaikan sosial ekonomi.5,12
2. Pengobatan
Dalam pengobatan kanker umumnya meliputi tindakan bedah atau
operasi, penggunaan obat-obatan sitostatika dan hormon, radioterapi dan
imunoterapi.
a. Pembedahan
Pembedahan dapat dilakukan dengan cara pembedahan transpalatal
(Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure
Ferguson), tetapi terapi bedah ini tidak berkembang, dan hasilnya
menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor
metastase dengan membuang kelenjar limfe di leher. Operasi ini untuk
membuang kelenjar limfe permukaan tetapi sulit untu membuang
kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring. 3,7,11,12
b. Radioterapi
Radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan daerah perluasannya.
Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu teleterapi dan brakiterapi.
Teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh
penderita. Sedangkan brakiterapi, sumber sinar dekat dengan tumor
dan dipasang dalam tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan
teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah
hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe
leher. 3,5,7,10
c. Obat-obatan Sitostatika
15
Dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal
umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat
dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah methotrexat,
metomycine C, Endoxan, Bleocyne, Fluorouracyne, dan Cisplastin.
Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan
diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat bisa juga
diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.
Obat kombinasi diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi,
serta penting pada pengobatan karsinoma yang kambuh. Banyak
kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: BCMF
(Adriamycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), ABUD
(Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), COMA
(Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin). 3,5,7,10
d. Imunoterapi
Dalam pengobatan keganasan, imunoterapi telah banyak dilakukan di
klinik onkologi, tetapi sampai saat ini tampaknya masih merupakan
penelitian dan percobaan. Untuk karsinoma nasofaring telah dilakukan
penelitian antara lain dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC. 3
e. Obat Antivirus
Acyclovir dapat menghambat sintesis DNA virus sehingga dapat
menghambat pertumbuhan virus termasuk juga Virus Epstein Barr.
Obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang
merupakan EBV carrying tumor dengan DNA EBV positif .4
2.13 Prognosis
Angka bertahan hidup 5 tahun yaitu 76,9% untuk stadium I, 56% untuk
stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV.
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : stadium yang lebih
lanjut, usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan, ras Cina dari
pada ras kulit putih, adanya pembesaran kelenjar leher, adanya kelumpuhan
saraf otak, adanya kerusakan tulang tengkorak, dan adanya metastasis jauh.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Penderita
Nama : KPS
Tempat/tanggal lahir : Denpasar, 20 April 1977
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Swasta (sopir travel)
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat SLTA
Alamat : Jalan Gatot Subroto IV Gang Merpati
Status perkawinan : Sudah menikah
Pemeriksaan : 20 April 2012
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Benjolan di leher kanan yang terus membesar disertai
badan lemas
Perjalanan Penyakit: Pasien mengeluh dari satu tahun yang lalu mengalami
benjolan kecil seukuran kacang tanah di leher kanan di bawah telinga, tanpa
disertai gejala lain. Dalam 4 bulan berikutnya benjolan terus membesar dan
mulai muncul gejala batuk berdahak disertai darah, telinga mendengung, dan
pandangan terasa kabur. Pasien kemudian berobat ke poli bedah rumah sakit
Wangaya, namun tidak ada perbaikan. Setelah itu tidak lagi melakukan
pengobatan, tetapi mecoba pengobatan alternatif berupa pijatan pada telapak
kaki. Saat itu, pasien dapat bekerja dan beraktivitas secara normal, tetapi
benjolan terus membesar. Lima bulan yang lalu pasien berhenti bekerja karena
badan terasa sangat lemas, kemudian mencoba lagi pengobatan alternatif,
namun tidak ada perbaikan. Dua bulan yang lalu pasien susah makan dan tidak
ada nafsu makan, berat badan juga menurun. Kemudian pada tanggal 20 April
2012 pasien berobat ke RSUP Sanglah dengan keluhan benjolan membesar di
area leher disertai badan lemas dan tidak bisa makan dan minum. Pasien juga
mengeluh tidak bisa menoleh ke kanan karena nyeri. Sekarang, pasien
17
mengeluh masih lemas hingga tidak dapat berjalan. Ada batuk, sesak nafas,
hidung tersumbat dan keluar ingus. Telinga kiri dirasakan sakit dan
mendenging. Makan dan minum sedikit, buang air besar jarang.
Riwayat penyakit terdahulu : Pasien tidak pernah mengalami penyakit
kronik dan keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat pengobatan : Pasien pernah mendapat pengobatan medis di rumah
sakit Wangaya. Selain itu, pasien juga melaporkan pernah mendapat
pengobatan alternatif berupa pijatan kaki.
Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang
sama seperti yang dialami pasien. Tidak ada riwayat penyakit tumor di
keluarga.
Riwayat Sosial dan Lingkungan : Pasien bekerja sebagai sopir travel di
sebuah hotel di Bali, sehari-hari antar jemput tamu, istrinya bekerja sebagai
pemilik warung.
Telinga Ka Ki Hidung Ka Ki Tenggorokan
Sekret - - Sekret + + Riak -
Tuli - - Tersumbat + + Gangguan +
Tumor - - Tumor - - Suara Tidak
jelas
Tinnitus - + Pilek + + Tumor -
Sakit - + Sakit - - Batuk +
Kospus
alienum
- - Kospus
alienum
- - Korpus alienum -
Vertigo - - Bersin - - Sesak nafas +
3.3 Pemeriksaan Fisik
Vital Sign
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/100 mmHg
Nadi : 88x/menit
Respirasi : 24x/menit
Temperatur : 36°C
18
Status General :
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris, parese nervus fasialis -/
Mata : Anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor
THT : Sesuai status lokalis
Leher : Kaku kuduk (-)
Pembesaran kelenjar limfe -/-
Pembesaran kelenjar parotis -/-
Kelenjar tiroid (-)
Thorak : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur –
Po : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wh -/-
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas : dalam batas normal
Status lokalis THT :
Telinga Kanan Kiri
Daun telinga N N
Liang telinga lapang lapang
Discharge - -
Membran timpani intak intak
Tumor - -
Mastoid N N
Tes pendengaran :
Weber tidak dievaluasi
Rinne tidak dievaluasi
Schwabach tidak dievaluasi
Tes alat keseimbangan tidak dievaluasi
Hidung : Kanan Kiri
Hidung luar N N
Cavum nasi lapang lapang
Septum nasi deviasi tidak ada
Discharge mukoid mukoid
19
Mukosa hiperemi hiperemi
Tumor - -
Concha kongesti kongesti
Sinus nyeri tekan tidak ada
Choana N N
Tenggorokan :
Dispneu : -
Sianosis : -
Mukosa : hiperemi
Dinding belakang faring : granulasi
Suara : tidak ada kelainan
Tonsil : T1/T1
3.4 Hasil Laboratorium
a. Darah Lengkap
Parameter Nilai Keterangan
WBC 17,13 Tinggi
RBC 3,73 Rendah
HGB 8,70 Rendah
HCT 29,80 Rendah
MCV 79,70 Rendah
MCH 23,30 Rendah
MCHC 29,20 Rendah
PLT 814 Tinggi
MPV 6,30 Rendah
b. Kimia Klinik
Parameter Nilai Keterangan
Albumin 2,50 Rendah
Natrium 133,30 Rendah
Kalium 3,62 Normal
INR 1,109 Tinggi
20
SGOT 18,77 Normal
SGPT 13,03 Normal
BUN 6,908 Rendah
Creatinin 0,47 Rendah
Glukosa darah sewaktu 81,13 Rendah
c. Patologi Anatomi
Sampel : biopsi nasofaring
Makroskopis : diterima dalam kontainer plastik, 1 potongan jaringan
ukuran 0,5 x 0,4 x 0,2 cm, putih abu, kenyal
Mikroskopis : tampak potongan jaringan yang terdiri dari jaringan
kolagen. Pada satu fokus tampak jaringan tumor yang
infiltrasi diantara jaringan kolagen membentuk struktur
sarang-sarang. Jaringan tumor tersebut tersusun oleh sel
epithelial yang tersusun sintisial dengan anak inti
prominen, membrane inti ireguler. Diantaranya tampak
pula sebaran sel radang hipoplasmasitik.
Kesimpulan : undifferentiated carcinoma
3.5 Resume
Penderita mengeluh ada benjolan di leher di bawah telinga kanan sejak 1
tahun yang lalu, terus membesar dalam 4 bulan disertai rasa lemas,
penurunan nafsu makan, batuk berdahak disertai darah, telinga kiri
mendengung dan nyeri, hidung tersumbat dan mengeluarkan sekret. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya benjolan di leher kanan di bawah
telinga. Ditemukan pula tanda radang hidung dan hiperemi tenggorokan.
Pada pemeriksaan patologi anatomi sampel biopsi nasofaring, pasien
disimpulkan mengalami undifferentiated carcinoma
3.6 Diagnosis
KNF pro staging
21
3.7 Usulan Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan CT scan kepala fokus nasofaring potongan axial korona tebal 2
mm dengan dan tanpa kontras
3.8 Rencana Terapi
- IVFD NaCl 0,9% : Dextrose 5% =1:1, 20 tetes/menit
- Paracetamol 6 x 500 mg
- Codein 6 x 10 mg
- Vitamin B1, B6, B12 2x1 tablet
- Vitamin C 1x1 tablet
3.9 Prognosis
Dubius
22
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki usia 35 tahun asal Bali, yang bekerja sebagai sopir travel hotel
mengeluh dari satu tahun yang lalu mengalami benjolan kecil seukuran kacang
tanah di leher kanan di bawah telinga, tanpa disertai gejala lain. Dalam 4 bulan
berikutnya benjolan terus membesar dan mulai muncul gejala batuk berdahak
disertai darah, telinga mendengung dan pandangan terasa kabur. Dari data ini
ditemukan pasien memiliki beberapa faktor risiko yakni jenis kelamin laki-laki,
dimana karsinoma nasofaring memang lebih sering ditemukan pada laki-laki
walaupun alasan pastinya belum diketahui, diduga ada hubungannya dengan
faktor genetik, kebiasaan hidup, dan pekerjaan. Pekerjaan pasien yang sebagai
sopir travel menempatkan pasien lebih sering terpapar asap kendaraan bermotor,
karena pekerjaan ini membuat pasien sering berada di jalan. Secara letak
geografis, di Indonesia, termasuk di Bali, angka kejadian karsinoma nasofaring
juga tinggi.
Benjolan di leher yang dialami pasien akibat dari pembengkakan kelenjar getah
bening leher yang dapat saja merupakan bagian dari metastasis tumor ke kelenjar
getah bening regional di area leher, apalagi pembesarannya terjadi secara
progresif. Pasien saat itu tidak mengalami keluhan lain, dan masih dapat
beraktifitas normal. Pada karsinoma nasofaring, sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat di
bawah mukosa (creeping tumor). Gejala awal yang dialami pasien berupa telinga
mendengung. Ini sesuai teori dimana gangguan pada telinga merupakan gejala
dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa
Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai
rasa nyeri di telinga (otalgia). Gejala pandangan kabur dapat terjadi akibat
terganggunya nevus optikus (N II), ataupun nervus penggerak otot bola mata (N
III, IV, VI). Hal ini terjadi karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa lubang, dari
beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran
melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula
23
ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke
dokter mata. Gejala pilek dan batuk berdahak yang dialami pasien dapat
merupakan suatu manifestasi kelainan di nasofaring sendiri. Pasien mengalami
kelemahan yang progresif disertai penurunan berat badan juga mengarahkan
kecurigaan kita pada penyakit keganasan.
Pada pemeriksaan fisik THT ditemukan beberapa kelainan, yaitu: mukosa hidung
hiperemi dan terdapat sekret berupa mukoid, dan pada tenggorokan ditemukan
mukosa hiperemi, dinding posterior faring terdapat granulasi, dan menurunnya
kualitas suara. Keadaan mukosa hidung dan faring yang hiperemi disebabkan
adanya hipervaskulariasasi dan vasodilatasi lokal pada jaringan KNF yang meluas
ke mukosa faring dan hidung. Ditemukannya jaringan granulasi pada dinding
posterior faring merupakan tanda terdapat bekas pendarahan pada mukosa faring.
Pendarahan tersebut berasal dari gesekan antara jaringan tumor dengan bagian
dorsal palatum molle saat penderita menghisap secret dengan kuat dari ronggga
hidung.
Membedakan karsinoma nasofaring dengan beberapa diagnosis banding lainnya,
seperti angiofibroma nasofaring, polip nasi, dan hipertropi adenoid diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan juga diperlukan pemeriksaan penunjang yang
tepat. Angiofibroma nasofaring memiliki gejala yang mirip dengan karsinoma
nasofaring, dapat berupa hidung tersumbat, epistaksis, otalgia, tinnitus, dan
sefalgia. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk
membedakan KNF dengan angiofibroma nasofaring. Pada angiofibroma
nasofaring akan ditemukan jaringan tumor jinak terdiri dari unsur pembuluh darah
dan jaringan ikat. Sedangkan, pasien dengan hipertrofi adenoid mengeluh
rhinnore, kualitas suara berkurang, obstruksi nasal, mendengkur, gangguan tidur,
dan tuli konduktif. Dari pemeriksaan fisik ditemukan gerakan ke atas palatum
molle saat mengucapkan ‘i” yang terhambat oleh pembesaran adenoid, dengan
memasukkan jari telunjuk ke dalam nasofaring dapat meraba adenoid yang
membesar. Pada pengambilan foto polos leher lateral dapat menunjukkan ukuran
adenoid dan endoskopi fleksibel dapat ditemukan pembesaran adenoid.
Sedangkan, untuk membedakan KNF dengan polip nasi tidak rumit. Dari
anamnesis, penderita polip nasi biasanya mengeluh sumbatan di hidung yang
24
hilang timbul dan makin lama semakin memberat. Sumbatan ini tidak jarang
sampai menimbulkan hiposmia, bahkan anosmia. Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior, ditemukan polip yang memiliki ciri khas: bertangkai, mudah digerakkan,
konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah, dan pada
pemakaian vasokonstriktor tidak mengecil.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pasien dapat disimpulkan mengalami anemia
karena terjadi penurunan kadar hemoglobin hingga 8,70 gr/dL dan ada tanda
radang karena terjadi peningkatan kadar sel darah putih (WBC) hingga 17,13 x
103µL. Anemia disini dapat terjadi akibat peningkatan konsumsi darah dan nutrisi
pada sel-sel ganas. Sedangkan peningkatan kadar sel darah putih dapat terjadi
karena adanya peradangan yang menyertai keberadaan sel tumor. Penurunan
makan dan minum menyebabkan kondisi pasien lemah, penurunan kadar gula
darah sewaktu, hipoalbuminemia dan terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit seperti penurunan kadar natrium darah.
Mengingat belum dilakukannya staging KNF pada pasien tersebut, maka terapi
definitif seperti pembedahan, radioterapi, atau kemoterapi belum dapat ditentukan.
Saat ini, pasien diberikan terapi suportif dan simtomatis berupa IVFD NaCl
0,9% : Dextrose 5% =1:1, 20 tetes/menit, Paracetamol 6 x 500 mg, Codein 6 x 10
mg, Vitamin B1, B6, B12 2x1 tablet, Vitamin C 1x1 tablet. Pemberian NaCl dan
dextrose bertujuan memberikan resusitasi cairan pada pasien dan memberikan
nutrisi yang adekuat, mengingat pasien mengeluh disfagia. Sedangkan, pemberian
paracetamol dan codein bertujuan menghilangkan gejala nyeri ringan/sedang yang
dialami pasien. Selain itu, kodein juga memiliki efek antitusif yang dapat
meringankan batuk pasien. Vitamin B1, B6, B12 berfungsi sebagai koenzim yang
memungkinkan tranformasi kimia makronutrien dalam metabolism tubuh
sehingga dapat menghasilkan energi. Dalam satu tablet, mengandung vitamin B1
100 mg, vitamin B6 200 mg, dan vitamin B12 200 µg. Pemberian kombinasi
vitamin tersebut diharapkan dapat mengurangi rasa lemas yang dirasakan pasien.
Pemberian vitamin C pada pasien bertujuan meningkatkan sistem imunitas pasien
sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi.
25
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel
epitel yang melapisi nasofaring, diduga disebabkan oleh infensi Virus
Epstein-Bar.
2. Pada kasus ini, terdapat kesesuaian gejala klinis yang dikeluhkan pasien,
hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan, dan beberapa hasil pemeriksaan
penunjang berdasarkan teori yang ada. Hanya saja, KNF pada kasus ini
belum dapat diklasifikasikan berdasarkan staging karena belum dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa CT-scan.
5.2 Saran
1. Sebaiknya pasien diberikan pengertian mengenai mengenai penyakit
tersebut dan terapinya agar pasien kooperatif dalam melakukan
pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian terapi.
2. Sebaiknya segera dilakukan CT-scan agar dapat menentukan staging KNF
dan menentukan terapi definitif yang tepat.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A., dan Adham Marlinda, 2007. Karsinoma Nasofaring dalam
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, Leher, ed
6, FKUI, Jakara. pp ; 182-187
2. Ansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1,
FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396
3. American Cancer Society. 2011. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga:
American Cancer Society; 2011.
4. Asroel, Harry A. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma
Nasofaring. USU digital library : Bagian Tenggorokan Hidung danTelinga
Universitas Sumatera Utara.
5. Bambang S.S. 1992. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga,
Hidung, Tenggorok dan Kepala Leher. Semarang : Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
6. Brennan, Bernadette. 2005. Nasopharyngeal Carcinoma. United
Kingdom: Orphanet Encyclopedia.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-NPC.pdf.
7. Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006.
Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of
chemotherapy. Annals of Oncology 17 (Supplement 10): x304–x307,
2006. doi:10.1093/annonc/mdl278.
8. Hao, Sheng-Po dan Tsang, Ngan-Ming. 2010. Surgical Management of
Recurrent Nasopharyngeal Carcinoma. Chang Gung Med J Vol. 33 No. 4.
9. Jeyakumar, Anita et al. 2006. Review of Nasopharyngeal Carcinoma.
ENT-Ear, Nose & Throat Journal March 2006.
10. Leu, Yi-Shing dan Lee, Jehn-Chuan. 2009. “Carcinoma in the Pharynx:
Nasopharynx, Oropharynx and Hypopharynx”. J. Chinese Oncol. Soc.
25(2), 102-113.
11. Maitra, Anirban dan Kumar, Vinay. 2007. “Paru dan Saluran Napas Atas”.
Disunting oleh Vinay Kumar Ramzi S Cotran, dan Stanley L. Robbins.
Buku Ajar Patologi Robbins, Ed. 7, Vol.2. Jakarta : EGC.
27
12. Roezin, Averdi dan Syafril, Anida. 2006. “Karsinoma Nasofaring”.
Disunting oleh Efiaty Arsyad Soepardi dan Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher, Edisi
Keenam. Jakarta : FKUI.
13. Widjoseno-Gardjito. 2005. “Tindakan Bedah Organ dan Sistem Organ,
Kepala dan Leher”. Disunting oleh R Sjamsuhidajat dan Wim de Jong.
Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. 2. Jakarta: EGC
14. Wei, William I. 2001. Nasopharyngeal Cancer: Current Status of
Management. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001;127:766-769.
15. Marur, S dan Forastiere A.A. 2008. Head and Neck Cancer: Changing
Epidemiology, Diagnosis, and Treatment. Mayo Clin Proc. April
2008;83(4):489-501
16. Administrator. 2011. Pengobatan Kanker Nasofaring. [serial online].
http://www.indononi.com/wp-content/uploads/2011/06/Kanker-
Nasofaring.jpeg. Diakses 27 Juli 2011.
17. Cabenda. 2007. Head and Neck Cancer. [serial online]. http://www.kno-
clinic.com/images/cancer/?Page=ent_cancer. Diakses 29 Juli 2011.
28