resistensi identitas kemaduraan pada warga...
TRANSCRIPT
RESISTENSI IDENTITAS KEMADURAAN PADA WARGA KANGEAN
KABUPATEN SUMENEP
(SEBUAH STUDI FENOMENOLOGI TENTANG PEMAKNAAN IDENTITAS
KEMADURAAN OLEH WARGA KANGEAN)
Dedi Sulaiman
Program Magister Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang fenomena masyarakat Kangean yang menolak
identitas kemaduraan yang dibawanya sejak lahir. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah; pertama, untuk mengetahui dan menemukan sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya tindakan masyarakat Kangean yang tidak mau disebut
orang Madura. Kedua, untuk mengetahui dan memahami tujuanapa yang sebenarnya ingin dicapai oleh masyarakat Kangean dengan menolak identitas kemaduraan tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fenomenologi terutama fenomenologi yang diperkenalkan oleh Alfred Schutz tentang because motive dan in order to motive. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal
yang menyebabkan masyarakat Kangean menolak identitas Kemaduraan yang dimilikinya. Beberapa hal yang dimaksud adalah stereotipe orang Madura dan kebijakan
Pemerintah Sumenep yang tidak berpihak pada Kepulauan. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai melalui pergerakan-pergerakan yang dilakuan oleh para mahasiswa dan masyarakat yakni untuk memisahkan diri dan menjadikan Kangean sebagai Kabupaten
sendiri.
Kata kunci: Resistensi, identitas, Stereotipe, Fenomenologi
PENDAHULUAN
Kangean merupakan salah satu
pulau yang terdapat di Kepulauan
Kangean yang masih menjadi bagian dari
Kabupaten Sumenep Provensi Jawa timur,
terletak di sebelah timur Pulau Madura.
Mempunyai luas keseluruhan 188 km2.
Pulau Kangean terbagi menjadi dua
Kecamatan yaitu Kecamatan Arjasa yang
mewakili Kangean barat serta Kecamatan
Kangayan mewakili Kangean bagian
timur yang sekaligus merupakan hasil
pemekaran dari kecamatan Arjasa.
Berdasarkan data survei tahun 2012
Kecamatan Arjasa mempunyai jumlah
penduduk sebanyak 60.592 jiwa yang
terbagi menjadi 19 desa dengan rincian
sebagai berikut. Jumlah laki-laki 27.885
jiwa dan jumlah perempuan 32.707 jiwa
dengan sex ratio 85.26. Kepadatan
penduduk yang ada di kecamatan Arjasa
dengan luas (km2) 241.97 dan kepadatan
penduduk 250.41 (kecamatan Arjasa
dalam angka 2013).
Terdapat banyak versi cerita yang
berkembang dalam masyarakat tentang
bagaimana sejarah pulau ini, baik itu
mengenai asal penduduk maupun sejak
kapan Kangean mulai di tempati. Salah
satunya adalah cerita masyarakat yang
mengatakan bahwasanya Kepulauan
Kangean merupakan tempat pembuangan
narapidana yang mendapat hukuman dari
Raja Sumenep dan kemudian diasingkan
ke Kangean. Namun tidak ada literatur
maupun kepustakaan yang menjelaskan
dengan pasti mengenai sejarah pulau ini.
Di Arjasa (Kangean) penduduk
menceritakan kedatangan komunitas cina
beranggotakan 1000 orang ke pulau
kangean pada pertengahan abad XVIII.
Mereka juga menceritakan pada masa itu
etnis Madura sudah merupakan komunitas
terbesar di pulau kangean. Pertama-tama
pada saat orang Sulawesi datang, orang
Madura telah menempati pulau-pulau
terbesar di Kepulauan Kangean (pulau
kangean) serta mengelola menjadi lahan
pertanian. Sehingga yang tersisa hanya
pulau-pulau yang terletak lebih ketimur,
berukuran kecil, seringkali tidak memiliki
sumber air tawar, dan oleh karenanya
tidak bisa dijadikan lahan pertanian
sehingga ditinggalkan oleh orang Madura.
Namun orang Sulawesi terutama etnis
Bajo/Mandar adalah orang laut yang
terkenal dengan cara hidup mereka dilaut,
jadi mereka mampu menempati pulau-
pulau kecil tersebut. (Charles dan Grange,
2013: 22-23).
Pertama-tama terkait bahasa,
bahasa ini dikelompokkan menurut dua
komunitas etnis besar; komunitas Madura
dan komunitas Sulawesi. Di tingkat
kepulauan, mayoritas ujung barat
(Kangean) menggunakan salah satu dialek
Madura seperti “iye-enje’ enggi-
bunten,”, sedangkan ujung timur (pulau-
pulau Sapeken) menggunakan bahasa
yang berasal dari Sulawesi seperti Bajo,
Bugis, Mandar. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, di sana sini
terdapat juga perbedaan. Misalnya untuk
Desa-desa tertentu di Kangean kata “aku”
di Madura berarti “sengko’” di sana
orang mengucap “ako”, tapi ada juga
Desa yang tetap menggunakan bahasa
Madura tanpa mengalami banyak
perubahan (Sahwanoedin, 2005:18).
Jika dilihat dari berbagai tradisi
dan budaya yang ada, jelas Kangean tidak
berbeda jauh dengan Madura, walaupun
mengalami sedikit pergeseran tentang
pelaksanaan dan nilai-nilai yang
terkandung dalam budaya asli di Madura.
Akan tetapi budaya seperti carok dan
kerapan sapi yang sudah menjadi identitas
Madura tidak sulit ditemui di Kangean,
bahkan kerapan sapi masih menjadi
tontonan yang menarik perhatian banyak
masyarakat disana. Ciri lain yang
mungkin dapat ditemui disana bahwa
Masyarakat Kangean sangat ramah
terhadap orang yang tidak menyakitinya
dan sebaliknya akan jahat pada orang
yang dianggap menyakitinya. Selain itu
masyarakat kangean sangat menjunjung
tinggi harga diri, dan bagi laki-laki
dewasa biasanya mereka membawa pisau
atau celurit dalam bajunya yang dalam
istilah orang Madura disebut “nyikep”.
Hal ini tentu dapat melambangkan
karakter Madura yang cenderung keras
dan kasar. Begitulah stereotipe atau citra
orang Madura di mata banyak orang,
walaupun stereotipe sama sekali tidaklah
mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
kebenaran objektif. Namun sebagian
orang percaya bahwa pencitraan itu benar,
dan jika memang benar demikian halnya
stereotipe itu memang masih mempunyai
makna dalam menentukan pikiran dan
tindak tanduk manusia (Rifai, 2007: 129).
Selain kerapan sapi, model
perumahan yang ada di Kangean juga
sama persis dengan yang ada di Madura.
Satu bidang tanah dibangun rumah secara
berjejer dan berhadap-hadapan yang mana
perumahan tersebut biasanya dihuni oleh
satu keluarga besar mulai dari orang tua,
anak hingga cucu-cucunya dan di ujung
dibangun sebuah Mushalla atau langgar.
Orang Madura menyebut model
perumahan seperti ini adalah “taneyan
lanjhang”.
Persoalan ini menjadi sangat
menarik karena saat ini justru sangat sulit
dijumpai masyarakat Kangean yang mau
dibilang orang Madura baik yang tinggal
di Kangean maupun yang tinggal di luar
Kangean. Tidak sedikit masyarakat
Kangean yang mulai keberatan jika
dibilang orang Madura, ini di dukung
dengan adanya ungkapan-ungkapan
masyarakat kangean seperti “Kangean
adalah Kangean dan bukan Madura”,
diskusi-diskusi semacam ini sering
dilakukan pada jejaring sosial “facebook”
melalui grup yang bernama “Media
Kangean” dimana di dalamnya sering
membahas penolakan-penolakan terhadap
identitas Madura dan image Madura yang
terkenal keras dan kasar. Lebih dari itu,
pergerakan-pergerakan yang dilakukan
oleh mahasiswa yang berasal dari
Kangean untuk mengidentifikasi Kangean
dengan cara membentuk organisasi-
organisasi yang mengatasnamakan
Kangean, yang mana organisasi-
organisasi yang telah terbentuk ini
nantinya akan mengadakan kegiatan-
kegiatan seperti workshop dan forum
diskusi sekaligus menjadi kontrol bagi
pemerintahan Kabupaten Sumenep.
Sebagai contoh HIMAKAB (Himpunan
Mahasiswa Kangean Bangkalan), IMKS
(Ikatan Mahasiswa Kangean Surabaya),
KMKI (Kesatuan Mahasiswa Kangean
Indonesia) yang setiap pulang ke Kangean
rutin mengadakan forum-forum diskusi.
TINJAUAN TEORITIS
Sebagai suatu istilah,
fenomenologi sebenarnya sudah ada sejak
Emmanuel kant yang mencoba
memikirkan dan memilah unsur mana
yang berasal dari pengalaman dan unsur
mana yang terdapat di dalam akal.
Kemudian lebih luas lagi ketika
digunakan Hegel tentang tesis dan
antitesis yang melahirkan antitesis
(Wirawan, 2012: 133-134). Tujuan utama
fenomenologi adalah mempelajari
bagaimana fenomena dialami dalam
kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan,
seperti bagaimana fenomena itu bernilai
atau diterima secara estetis.
Fenomenologi mencoba mencari
pemahaman bagaimana manusia
mengkonstruksi makna dan konsep-
konsep penting, dalam kerangka
intersubjektivitas. Intersubjektif karena
pemahaman kita mengenai dunia dibentuk
oleh hubungan dengan orang lain
(Kuswarno, 2009: 2).
Tokoh lain yang juga berperan
penting bagi berkembangnya
fenomenologi adalah Alfred Schutz, saat
ini Schutz dikenal sebagai ahli
fenomenologi yang paling menonjol.
Meskipun Schutz tidak pernah menjadi
murid langsung dari Husserl, namun ia
mempelajari pemikiran-pemikiran Husserl
secara mendalam. Schutz mampu
membuat ide-ide Husserl yang masih
dirasakan sangat abstrak, menjadi lebih
mudah dipahami. Dia jugalah yang
membawa fenomenologi ke dalam ilmu
sosial. Bagi Schutz, tugas fenomenologi
adalah menghubungkan antara
pengetahuan ilmiah dengan pengalaman
sehari-hari, dan dari kegiatan di mana
pengalaman dan pengetahuan itu berasal
(Kuswarno, 2009: 17).
Inti pemikiran Schutz adalah
bagaimana memahami tindakan sosial
melalui penafsiran. Proses penafisran
dapat digunakan untuk memperjelas atau
memeriksa makna yang sesungguhnya,
sehingga dapat memberikan konsep
kepekaan yang implisit. Dalam hal ini
Schutz mengikuti pemikiran Husserl,
yaitu proses pemahaman aktual kegiatan
kita, dan pemberian makna terhadapnya,
sehingga terrefleksi dalam tingkah laku.
Dalam pandangan Schutz, manusia
adalah makhluk sosial, sehingga
kesadaran akan dunia kehidupan sehari-
hari merupakan sebuah kesadaran sosial.
Ia beranggapan bahwa dunia sosial
keseharian senantiasa merupakan suatu
yang intersubjektif dan pengalaman penuh
makna (Wirawan, 2012: 134). Manusia
dituntut untuk saling memahami satu
sama lain, dan bertindak dalam kenyataan
yang sama. Dengan demikian ada
penerimaan timbal balik, pemahaman atas
dasar pengalaman yang bersama, dan
tipikasi atas dunia bersama (Kuswarno,
2009: 18).
Meskipun Schutz beralih dari
kesadaran dan mengarah ke dunia
kehidupan intersubjektif, ia tetap
menawarkan cara bagaimana memahami
kesadaran, khusunya dalam pemikirannya
tentang makna dan motif orang. Secara
keseluruhan, Schutz menitikberatkan
hubungan dialektis antara bagaimana
orang mengkonstruksi realitas sosial dan
realitas budaya yang telah mapan yang
mereka warisi dari pendahulu mereka di
dunia sosial (Ritzer dan Goodman, 2008:
235).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Melalui pendekatan
fenomenologi, dapat diperoleh
pemahaman dan penafsiran yang
mendalam mengenai makna, kenyataan,
dan fakta yang relevan. Dalam
pendekatan fenomenologi, peneliti
melakukan pengumpulan data dengan
observasi partisipasi dan wawancara
mendalam untuk mengetahui fenomena
secara lebih mendalam (Sugiyono,
2010:14). Peneliti fenomenologi harus
mampu membuka selubung praktik yang
digunakan oleh informan dalam menjalani
kehidupannya. Watt dan Berg (1995)
menjelaskan bahwa paradigma
fenomenologi yang mengembangkan
metode kualitatif dapat mengungkapkan
konstruksi sosial atas realitas.
Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan paradigma interpretif
sebagai sudut pandang dalam memahami
pemaknaan masyarakat Kangean terhadap
etnis Madura. Peneliti ingin menemukan
dan memahami motif-motif sebab dan
tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat
Kangean dengan menolak identitas
kemaduraan. Oleh karena itu sejalan
dengan apa yang dianjurkan oleh Husserl,
maka peneliti terlebih dahulu
mengurungkan (bracketing) atau
menunda sementara pemahaman yang
telah ada sebelumnya tentang realitas
sosial yang ada pada masyarakat
Kangean.
Paradigma interpretif kualitatif
membutuhkan kesungguhan dalam
pengamatan, empati, asbtraksi, dan
interpretasi melalui verstehen dengan
menggunakan observasi dan penelitian
lapangan. Teknik-teknik ini menuntut
peneliti mengabdikan waktunya, untuk
melakukan kontak pribadi langsung
dengan orang yang mereka pelajari, demi
memperoleh pemahaman mendalam
mengenai cara orang menciptakan makna
dalam hidup. (Neuman, 2013:116).
Lokasi dalam penelitian ini adalah
Pulau Kangean. Pulau Kangean
merupakan salah satu pulau yang terdapat
di Kepulauan Kangean yang masih
menjadi bagian dari Kabupaten Sumenep
Provensi Jawa timur, terletak di sebelah
timur Pulau Madura. Mempunyai luas
keseluruhan 188 km2. Pulau Kangean
terbagi menjadi dua Kecamatan yaitu
Kecamatan Arjasa yang mewakili
Kangean barat serta Kecamatan Kangayan
mewakili Kangean bagian timur yang
sekaligus merupakan hasil pemekaran dari
kecamatan Arjasa. Berdasarkan data
survei tahun 2012 Kecamatan Arjasa
mempunyai jumlah penduduk sebanyak
60.592 jiwa yang terbagi menjadi 19 desa.
(Kecamatan Arjasa dalam angka 2013).
Subjek penelitian ditentukan
dengan menggunakan teknik purposive
atau yang biasa disebut teknik bertujuan.
Purposive adalah teknik pengambilan
sumber data dengan pertimbangan
tertentu. Pertimbangan tertentu ini
misalnya orang tersebut yang dianggap
paling tahu tentang apa yang kita
harapkan atau mungkin dia sebagai
penguasa sehingga akan memudahkan
peneliti menjelajah objek atau situasi
sosial yang diteliti (Sugiyono, 2010:54).
Dalam penelitian ini, teknik
purposive digunakan untuk mencari key
informan atau informan kunci. Informan
kunci ini oleh peneliti diambil dari orang
yang paling mengetahui tentang Madura
dan Kangean, serta berperan aktif dalam
upaya menolak identitas Kemaduraan.
Sehingga informan inilah yang dianggap
peneliti dapat mengetahui apa saja sebab
dan tujuan dari penolakan identitas
Kemaduraan. Dari informan kunci ini
peneliti dapat mengetahui kondisi sosial
di Kangean. Dari informan kunci ini juga
peneliti mendapatkan sebab-sebab
mengapa resistensi identitas Kemaduraan
itu bisa muncul sekaligus tujuan apa yang
ingin dicapai melalui penolakan identitas
Kemaduraan tersebut.
Peneliti menggunakan metode
pengumpulan data berupa observasi,
dokumentasi, dan wawancara mendalam
(indepth interview) khususnya untuk
mengetahui motif sebab dan motif tujuan
masyarakat Kangean menolak identitas
kemaduraanya. Pada tahap ini peneliti
menggali informasi-informasi seputar
fokus kajian penelitian. Dalam tahap ini
peneliti menyiapkan pertanyaan-
pertanyaan kunci yang terarah pada
masalah penelitian.
Wawancara mendalam merupakan
salah satu teknik pengumpulan data
primer yang diambil dalam penelitian ini.
Wawancara mendalam (indepth iterview)
adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya
jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang
yang diwawancarai, dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara.
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan proses wawancara
mendalam (indept interview) dan terarah
(guided interview).
Kegiatan observasi sudah
dilakukan peneliti sejak awal penelitian
ini dilakukan. Pada awal penelitian,
observasi dilakukan untuk meninjau
lokasi penelitian dan juga melihat
kegiatan-kegiatan warga. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kebenaran
adanya penolakan terhadap identitas
Kemaduraan. Setelah mengetahui adanya
penolakan identitas Kemaduraan,
observasi juga dilakukan peneliti dalam
pengumpulan data berupa sebab dan
tujuan yang melatar belakangi penolakan
identitas tersebut.
Pada penelitian ini, peneliti
menggunakan dokumen berbentuk
gambar berupa foto-foto informan,
aktivitas masyarakat, beberapa rumah,
serta foto lingkungan sekitar seperti
model perumahan, jalan, serta alat-alat
transportasi yang ada di Kangean. Hal ini
ditujukan agar pembaca dapat mengetahui
kondisi geografis dan kondisi sosial
Kecamatan Arjasa dan Kangean secara
umum.
Sesudah data terkumpul dilakukan
transkrip wawancara dan observasi. Pada
tahap ini seluruh hasil observasi dan
wawancara dibuatkan transkrip. Transkrip
merupakan uraian dalam bentuk tulisan
dengan rinci dan lengkap mengenai apa
yang dilihat dan didengar baik secara
langsung maupun dari hasil rekaman.
Hasil transkrip peneliti kategorikan
berdasarkan nama informan. Sesudah
pengkategorian tahap pertama, peneliti
berusaha mengkategorikan pemahaman
informan tentang fokus kajian peneliti
berdasarkan topik wawancara. Pada tahap
ini peneliti memberi catatan penting yang
menjadi penekanan informan berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas.
Setelah pengkategorian selesai,
tahap selanjutnya adalah peneliti menilai
motif sebab dan motif tujuan masyarakat
berkaitan dengan topik penelitian. Pada
tahap ini peneliti akan menganalisis lebih
jauh motif sebab dan motif tujuan yang
telah diperoleh dari informan dengan
penekanan yang bervariasi. Analisis ini
dilakukan dengan menggunakan piranti
teoretik because motive dan in order to
motive. Analisis ini melibatkan
keterbukaan peneliti dan kepekaan untuk
menangkap makna di balik setiap
pernyataan dan tindakan yang
dipraktikkan.
Resistensi Identitas Kemaduraan Yang
Terjadi Pada Warga Kangean
Mengaku Berbeda Dengan Madura
Kangean memang mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan
Madura, hal ini disebabkan oleh beberapa
hal, salah satunya yaitu fakta bahwa orang
Madura merupakan komunitas pertama
yang menempati Pulau Kangean. Namun
memang kurang begitu jelas bagaimana
awal mula kedatangan orang Madura ke
Pulau Kangean, itu sebabnya banyak
berkembang cerita di masyarakat yang
mengatakan bahwa masyarakat Kangean
merupakan orang-orang yang diasingkan
oleh raja Sumenep zaman dulu karena
melakukan berbagai kesalahan.
Fakta di atas ternyata tidak cukup
kuat untuk membuat masyarakat Kangean
mengakui bahwa dirinya merupakan
orang Madura, tidak sedikit masyarakat
Kangean yang mengatakan bahwa
Kangean itu berbeda dengan Madura jika
dilihat dari banyak hal seperti bahasa dan
karakter masyarakatnya, kalaupun ada
kesamaan dari segi bahasa dan
kebudayaan, itu disebabkan oleh adanya
interaksi yang dilakukan oleh masyarakat
Kangean dengan orang Madura.
Tidak sedikit warga Kangean yang
berprofesi sebagai TKI di Malaysia yang
juga tidak mau disebut orang Madura.
Orang Madura dan Kangean yang
seharusnya bisa bersatu dan kompak
karena sama-sama mencari nafkah di
negeri orang. Namun, perasaan berbeda
ini justru membuat orang Madura dan
orang Kangean seakan sama-sama tidak
mau dikalahkan, bahkan mereka
seringkali berkonflik di tanah rantau.
Permusuhan antara Kangean dan Madura
ini sudah berlangsung dengan waktu yang
cukup lama, walaupun ini biasanya
dilakukan oleh anak muda, namun tidak
menutup kemungkinan akan meluas pada
yang lain.
Kondisi semacam ini tidak hanya
terjadi pada masyarakat Kangean yang
berada di luar Kangean atau Madura.
Namun, masyarakat yang menetap di
Kangean pun mempunyai asumsi yang
tidak jauh berbeda dengan mereka yang
berada di perantauan, mereka juga
menganggap bahwa Kangean memang
berbeda dengan Madura. Menurut
beberapa informan mengatakan bahwa
hanya Kabupaten saja yang ikut Sumenep.
Namun, dilihat dari segi yang lain
Kangean dan Madura sangatlah berbeda,
pulau terpisah, bahasanya juga berbeda,
dan karakter orangnya dimana orang
Kangean tidak kasar seperti orang
Madura.
Menutupi Identitas Kemaduraannya
Masyarakat Kangean yang
mempunyai mobilitas yang cukup tinggi,
sudah pasti mengalami interaksi dengan
banyak orang, baik dengan masyarakat
Kangean sendiri maupun dengan
masyarakat luar Kangean. Seperti
mahasiswa yang menuntut ilmu di daratan
atau para TKI di luar Negeri. Mereka
berangkat dan keluar dari Kangean
tentunya sudah membawa identitas siapa
dia dan dari mana dia berasal yaitu orang
Madura, namun ternyata karena alasan
malu akan identitas Madura tersebut tidak
sedikit masyarakat Kangean yang
melakukan transmigrasi ke luar wilayah
Madura justru berusaha untuk menutupi
identitas Kemaduraan yang dimilikinya.
Menurut beberapa informan lebih
baik mengaku orang Kangean secara
langsung tanpa menyertakan embel-embel
Madura, karena sudah pasti ketika kita
mengatakan bahwa kita berasal dari
Madura, sementara kita tahu orang luar
Madura hanya mengenal Madura dari satu
sisi yaitu keras dan kasar, secara otomatis
kita juga akan dianggap sama walaupun
sebenarnya kita tidak seperti itu.
Keadaan semacam ini tidak hanya
dilakukan oleh satu orang, namun hampir
seluruh masyarakat Kangean yang pernah
merantau ke luar Madura melakukan hal
yang sama dan dengan alasan yang sama
pula, yaitu malu. Kebanyakan mereka
yang berada di luar wilayah Madura
terutama para Mahasiswa malu apabila
disebut orang Madura.
Oleh karena itu warga Kangean
yang tinggal di luar Madura melakukan
berbagai upaya untuk dapat menutupi
identitas Kemaduraan yang dimilikinya.
Misalnya, merubah penampilan menjadi
lebih modis dan trendi, selain memang
karena gengsi dan ingin terlihat bagus, ia
mengaku hal itu sebenarnya dilakukan
salah satunya agar tidak terlihat seperti
orang Madura yang menurut dia sangat
khas dalam berpenampilan. Menurutnya,
penampilan merupakan sesatu yang dapat
menjadi penanda bagi suatu kelompok
atau etis tertentu, sehingga untuk dapat
menutupi identitas maka penampilan atau
cara berpakain adalah salah satu hal yang
perlu dirubah. Selain merubah
penampilan dan cara berpakaian,
kendaraan yang digunakan pun sengaja
tidak menggunakan plat M yang notabene
nopol (nomor polisi) kendaraan yang
berasal dari Madura, hal ini dilakukan
agar semakin tidak terlihat jika dia
memang berasal dari Madura.
Hal ini ternyata sudah menjadi
semacam tren dikalangan mahasiswa
Kangean yang berada di luar wilayah
Madura, hampir semua mahasiswa
Kangean berusaha menutupi identitas
kemaduraannya. Namun, ada juga
mahasiswa yang hanya akan mengakui
atau bahkan menonjolkan identitas
Kemaduraannya ketika mendapatkan
masalah atau konflik dengan orang lain
terutama orang luar Madura. Dengan
mengaku orang Madura kebanyakan
musuh terutama anak-anak Jawa menjadi
kurang berani dan memilih untuk minta
maaf atau kabur. Dalam hal ini identitas
Kemaduraan hanya dijadikan sebuah alat,
apabila dirasa dapat menguntungkan
maka akan digunakan, namun sebaliknya
jika identitas tersebut merugikan maka
identitas tersebut akan ditutupi atau
bahkan dihilangkan.
Tindakan semacam ini dalam teori
Fenomenologi dijelaskan oleh Weber
melalui metode Verstehen yang mengarah
pada suatu tindakan bermotif demi tujuan
yang hendak dicapai, sebagai salah satu
metode untuk memahami motif dan
makna dibalik tindakan manusia.
Tindakan rasional yang demikian ini
adalah tindakan yang bertujuan atas dasar
rasionalitas nilai yang berlaku, atau
tindakan yang terkait dengan kemampuan
intelektual dan emosi, serta berdasarkan
pemahaman makna subjektif dari pelaku
itu sendiri (Kuswarno, 2009: 19).
Latar Belakang Munculnya Resistensi
Identitas Kemaduraan
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan masyarakat Kangean tidak
mau disebut orang Madura, faktor-faktor
inilah yang oleh masyarakat Kangean
dianggap sebagai sesuatu yang
memberikan dampak negatif, bahkan
dapat merugikan masyarakat Kangean
sendiri. Faktor-faktor yang dimaksud
adalah citra Madura dan perilaku
masyarakatnya, serta kebijakan
pemerintah Sumenep yang dianggap
merugikan masyarakat Kangean, selain
itu ada pula yang menganggap bahwa
Kangean memang berbeda dengan
Madura. Hal inilah yang melatar
belakangi penolakan terhadap identitas
Kemaduraan yang dimiliki, bahkan ada
sebagian masyarakat yang sampai
melakukan pergerakan-pergerakan untuk
dapat menghilangkan identitas
kemaduraan tersebut dengan cara
membentuk berbagai organisasi
kedaerahaan.
Citra Orang Madura
Jika masyarakat luar Madura
mempunyai pandangan yang cukup kelam
tentang orang Madura, ternyata
masyarakat Kangean juga tidak kalah
buruk dalam melihat orang Madura.
Mereka juga melihat orang Madura hanya
dari satu sisi yang cenderung negatif yaitu
keras, kasar, dan angkuh. Persepsi
masyarakat Kangean tentang orang
Madura yang seperti ini tentunya sangat
menarik atau bahkan aneh karena
seseorang yang masih menjadi bagian dari
kelompok tertentu justru mempunyai
penilaian yang buruk pada kelompok itu
sendiri.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, masyarakat Kangean
menggambarkan orang Madura dilihat
dari beberapa sisi, yaitu karakter,
kebiasaan, pembawaan diri, serta agama
dan kepercayaan. Namun sebenarnya apa
yang dikatakan masyarakat Kangean tidak
jauh berbeda dengan apa yang sudah
menjadi stereotipe orang Madura secara
umum bahwa orang madura keras, kasar,
gampang marah dan kurang bersahabat
dan sebagainya. Walaupun ada pula
beberapa masyarakat Kangean yang
melihat etnis Madura dari sisi yang
positif.
Karakter
Orang madura sangat
pendendam dan cenderung berfikir
pendek dalam setiap tindakannya. Ini
terlihat dari bagaimana cara orang
Madura menyikapi setiap masalah
yang dihadapinya, misalnya apabila
orang Madura dipermalukan maka dia
akan langsung membalas dengan lebih
kejam. Tidak hanya itu, masalah kecil
seperti kesalahpahaman yang
sebenarnya bisa diselesaikan dengan
cara baik-baik, namun orang Madura
justru lebih sering menyelesaikannya
dengan cara kekerasan. Biasanya orang
Madura akan sangat marah ketika
masalah itu menyangkut istri dan
keluarganya. Hal ini memang sudah
menjadi karakter orang Madura secara
umum yang mana mereka sangat
menjunjung tinggi yang namanya
harga diri.
Kebiasaan dan Tradisi
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan, terdapat beberapa
pandangan masyarakat Kangean
terhadap kebiasaan orang Madura
diantaranya bahwa orang Madura
beraninya dari belakang, suka
mengganggu kehidupan orang lain, dan
suka memamerkan kekayaan agar bisa
dihargai oleh orang lain. Namun yang
positif dari kebiasaan orang Madura
adalah bahwa orang Madura akan
memberikan apa yang dia punya untuk
diberikan pada tamunya.
Kebiasaan orang Madura yang
seperti itu menurut beberapa informan
menjadi penyebab kehidupan
masyarakat Madura jauh dari kata
damai dan tentram, selalu ada gesekan-
gesekan antara masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan seringnya terjadi
carok di Madura, karena selain orang
Madura pendendam orang Madura
memang suka mengganggu kehidupan
orang lain.
Pembawaan Diri
Pembawaan diri sebagai
sesuatu yang dapat menggambarkan
diri seharusnya dapat mencerminkan
nilai positif, namun pada kenyataanya
yang terjadi pada orang Madura justru
sebaliknya, pembawaan orang Madura
ini dapat memunculkan hal yang tidak
menguntungkan bagi orang Madura
sendiri, bagaimana orang Madura
beperilaku dan membawa dirinya
justru semakin mempertegas anggapan
masyarakat luas terhadap watak dan
karakter orang Madura yang memang
dikenal keras dan kasar. Karena
bagaimanapun apa yang orang luar
Madura lihat terhadap orang Madura
yaitu bagaimana orang Madura
membawa dirinya, baik itu dalam sikap
dan perilaku cenderung negatif.
Demi kepentingan keamanan
diri seringkali orang Madura
memanfaatkan citra yang sudah
melekat pada Madura sendiri dengan
cara pembawaan diri yang seakan
membenarkan citra tersebut seperti
contoh diatas dengan tujuan agar
ditakuti oleh orang lain. Selain ingin
ditakuti orang Madura juga ternyata
selalu ingin disegani, hal ini sering
mereka lakukan dengan cara
mengumbar harta, kebiasaan orang
Madura dalam memakai perhiasan
berlebihan menjadi bukti bahwa
memang orang Madura senang apabila
dirinya dihormati atau dianggap lebih
tinggi derajatnya oleh orang lain.
Agama dan Kepercayaan
Berbicara mengenai islam di
Madura memang tidak akan bisa lepas
dari peran seorang ulama, karena para
ulamalah yang membawa islam ke
Madura melalui jalur kerajaan.
Barangkali ini yang menyebabkan
mengapa orang Madura hingga saat ini
sangat menghormati seorang kiyai,
bahkan orang Madura menganggap apa
yang dikatakan seorang kiyai
merupakan sesuatu yang harus diikuti
serta dilaksanakan.
Islam di Madura tidak jauh
berbeda dengan islam di Kangean,
walaupun tidak begitu jalas bagaimana
sejarah islam di Kangean, namun islam
menjadi satu-satunya agama yang
diyakini oleh masyarakat di sana.
Sebagaimana di Madura, masyarakat
Kangean juga sangat menghormati dan
mengikuti apa yang dikatakan kiyai.
Madura memang mayoritas
islam dan cukup fanatik, namun
menurut beberapa informan orang
Madura belum bisa dikatakan pemeluk
agama islam yang baik, karena masih
banyaknya orang Madura yang
melakukan berbagai macam kegiatan
perjudian, yang mana perjudian itu
sendiri sudah menyimpang dari ajaran
dan syari’at islam. Lebih parah lagi,
orang Madura seakan menghalalkan
yang namanya perjudian tersebut, hal
ini terbukti dengan mudahnya
ditemukan arena-arena perjudian di
Madura seperti sabung ayam dan lain
sebagainya. Hampir semua yang
melakukan perjudian itu justru
menggunakan peci dan sarung, yang
sebenarnya itu merupakan pakaian
yang identik dengan umat muslim.
Memang di Madura itu dikenal dengan
istilah putih dan hitam yang
maksudnya adalah putih (kiyai) dan
hitam (blater) atau bajingan, dan bagi
orang madura kedua unsur itu harus
dapat berjalan secara bersamaan.
Citra buruk orang Madura inilah
sebenarnya yang mempengaruhi kondisi
psikologis seorang mahasiswa yang
kuliah di luar Madura seperti Jawa dan
Kalimantan. Mereka akan merasa malu
untuk mengatakan identitas yang
sebenarnya, itu sebabnya banyak
mahasiswa yang berasal dari Kangean
lebih suka Mengatakan dirinya dari
Kangean tanpa menyertakan nama
Sumenep sebagai Kabupaten apalagi
Madura, padahal tentu orang akan lebih
mengenal Sumenep bila dibandingkan
Kangean, lebih jauh lagi mereka
mengatakan Kangean itu dekat dengan
Bali. Hal ini dilakukan untuk menghindari
kemungkinan adanya diskriminasi akibat
stereotipe orang Madura tersebut.
Sehingga menjadi sangat wajar
apabila kemudian seseorang berusaha
untuk menutupi atau bahkan menghapus
sebuah identitas yang tidak lagi dapat
memberikan dampak positif, namun justru
identitas tersebut dapat memberikan
dampak negatif. Contoh, siapapun
orangnya, walaupun dia tidak mempunyai
sifat kasar, angkuh dan lain sebagainya,
tapi dia berasal dari Madura, maka oleh
orang luar Madura dia akan dilihat kasa
dan angkuh sama seperti stereotipe yang
terbentuk pada orang Madura. Dalam hal
ini mengenai identitas Madura yang
melekat pada masyarakat Kangean yang
oleh masyarakat Kangean identitas
tersebut memberikan dampak negatif bagi
masyarakat Kangean baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Sejarah Penduduk Pulau Kangean
Kurangnya referensi maupun
buku-buku yang menceritakan secara
detail dan pasti tentang Pulau Kangean
terutama terkait sejarah penduduknya dan
sejak kapan Pulau Kangean mulai dihuni
menyebabkan munculnya banyak cerita
rakyat atau cerita dari mulut ke mulut.
Cerita rakyat yang mengatakan bahwa
penduduk Pulau Kangean merupakan
tempat pengasingan atau penghukuman
bagi narapidana yang ada di Kerajaan
Sumenep hingga saat ini masih sering
didengar dalam masyarakat. Apabila kita
bertanya tentang sejarah Pulau Kangean,
cerita seperti itulah yang akan kita
dapatkan.
Cerita itu memang sudah melekat
dalam masyarakat, meskipun demikian
tidak sedikit masyarakat Kangean yang
menolak akan cerita rakyat tersebut. Ada
sebagian masyarakat yang tidak percaya
dan memiliki versi sendiri terkait sejarah
Pulau Kangean, tidak sedikit pula
masyarakat Kangean yang percaya cerita
tersebut namun tetap tidak mau
mengakuinya.
Salah satu informan menjelaskan
bahwa penduduk Kangean bukanlah
buangan narapidana seperti yang
diceritakan orang-orang. Menurutnya
bagaimana mungkin penduduk Kangean
merupakan buangan dari Sumenep
sedangkan sebelum kerajaan Sumenep
berdiri Kangean sudah berpenghuni. Jadi,
menurutnya sangat keliru apabila orang
Kangean mau disebut orang Madura,
karena semuanya berbeda. menjelaskan
bahwa penduduk Kangean bukanlah
buangan narapidana seperti yang
diceritakan orang-orang. Menurutnya
bagaimana mungkin penduduk Kangean
merupakan buangan dari Sumenep
sedangkan sebelum kerajaan Sumenep
berdiri Kangean sudah berpenghuni. Jadi,
menurutnya sangat keliru apabila orang
Kangean mau disebut orang Madura,
karena semuanya berbeda.
Kebijakan Pemerintah Sumenep
Berdasarkan beberapa sumber
maupun media, Pulau Kangean
merupakan salah satu penyumbang
pendapatan asli daerah terbesar untuk
Kabupaten Sumenep, seharusnya
pemerintah Kabupaten Sumenep dapat
memberikan perhatian lebih terhadap
pulau Kangean, namun pada kenyataanya
pulau Kangean menjadi pulau yang
kurang mendapatkan perhatian dari
pemerintah Kabupaten Sumenep. Banyak
kebijakan pemerintah Kabupaten yang
mengesampingkan kesejahteraan
masyarakat pulau Kangean, baik itu
kebijakan politik maupun kebijakan
pembangunan. Ini terlihat dari begitu
buruknya infrasruktur yang ada di pulau
Kangean, tidak kalah memprihatinkan
pula mengenai transportasi publik ke
pulau Kangean yang sampai saat ini
masih jauh dari kata layak. Hal ini dinilai
oleh masyarakat Kangean sebagai sesuatu
yang harus disikapi secara serius, karena
jika dibiarkan sudah pasti akan semakin
meperburuk kondisi Kangean sendiri.
Kebijakan pemerintah Kabupaten
Sumenep yang tidak berpihak pada pulau
Kangean ini tentu sangat mempengaruhi
cara pandang masyarakat Kangean
terhadap Kabupaten Sumenep dan
Madura khususnya, hal ini menyebabkan
banyak masyarakat Kangean yang mulai
geram terhadap keadaan yang sudah
berlangsung dengan waktu yang cukup
lama ini, terjadi semacam rasa tidak
nyaman berada dibawah bayang-bayang
Kabupaten Sumenep, dan tidak sedikit
pula masyarakat Kangean yang sampai
memunculkan ide untuk dapat
melepaskan diri dari Kabupaten Sumenep.
Kondisi di atas menyebabkan
banyak masyarakat Kangean yang sudah
tidak mau mengakui dirinya merupakan
bagian dari Sumenep, apalagi Madura.
Karena bagi masyarakat Kangean,
kebijakan pemerintah Kabupaten
Sumenep dinilai sangat merugikan
masyarakat Kangean sendiri, alat
transportasi yang seharusnya bisa lebih
baik dari yang ada sekarang, listrik yang
seharusnya bisa 24 jam, namun hal itu
sampai saat ini belum bisa dinikmati oleh
masyarakat Kangean, sehingga
masyarakat Kangean hampir tidak
mengalami kemajuan jika dilihat dari
infrstruktur yang ada disana. Hal inilah
yang menyebabkan masyarakat Kangean
mempunyai anggapan bahwa tidak ada
gunanya lagi mengaku sebagai orang
Madura, sedangkan pemerintah Sumenep
sendiri seakan melupakan keberadaan
Kangean.
Hal inilah yang berusaha
dijelaskan oleh Schutz bahwa sebelum
masuk pada tataran in order to motive ada
tahapan because motive yang
mendahuluinya. Fenomenologi hadir
untuk memahami makna subjektif
manusia yang diatributkan pada tindakan-
tindakannya dan sebab-sebab objektif
serta konsekuensi dari tindakannya
tersebut (Wirawan, 2012: 137). Biasanya,
motif yang menjadi sebab merujuk
kepada suatu keadaan pada masa yang
lampau. Begitu pula yang terjadi pada
masyarakat Kangean, latar belakang yang
menjadi sebab penolakan identitas
Kemaduraan yang dilakukan oleh
masyarakat Kangean ini tentunya
dipengaruhi oleh pengalaman mereka di
masa lalu.
Tujuan Politis Yang Ingin Dicapai
Hingga saat ini masyarakat
Kangean masih merasa menjadi budak
dari Pemerintah Sumenep. Bagaimana
tidak, selama ini Kangean seakan dianak
tirikan bahkan dilupakan oleh pemerintah
Kabupaten Sumenep. Infrastruktur, listrik,
transportasi, kesehatan, dan pendidikan
yang menjadi tolak ukur kesejahteraan
suatu masyarakat kondisinya sangatlah
memprihatinkan. Sebagai contoh
misalnya transportasi laut yang
sebenarnya jauh dari kata layak, tidak ada
kapal yang memang dikhususkan untuk
membawa penumpang, yang ada justru
kapal yang mengangkut penumpang dan
barang menjadi satu dalam satu kapal.
Tidak jarang penumpang harus berkumpul
bahkan tidur bersama ayam-ayam dan
harus menghirup bau kotoran ayam
selama perjalanan dalam kapal, selain itu
juga penumpang yang terpaksa tidur di
atas tumpukan barang di pinggiran kapal
yang sebetulnya sangat membahayakan
keselamatan mereka menjadi
pemandangan yang lazim dijumpai setiap
kapal berlayar. Hal ini tentu menambah
penderitaan tersendiri bagi Masyarakat
Kangean.
Kondisi ini membuat semangat
para aktivis Kangean menjadi semakin
berapi-api. Mereka santer sekali
menyuarakan maupun mengajak seluruh
masyarakat Kangean baik secara langsung
maupun melalui jejaring sosial untuk
sama-sama berjuang demi masa depan
Kangean. Salah satu contoh seruan yang
dilakukan oleh para aktivis dan
mahasiswa Kangean untuk berjuang
menjadikan Kangean sebagai Kabupaten.
Mimpi untuk menjadikan Kangean
Sebagai Kabupaten saat ini sedang
menjadi perbicangan hangat di kalangan
mahasiswa dan para aktivis Kangean.
Mereka yakin bahwa sudah tidak ada lagi
yang bisa diharapkan dari pemerintah
Sumenep, segala yang dibutuhkan
masyarakat Kangean tidak pernah
terpenuhi, sehingga ini sudah saatnya
mengambil tindakan nyata untuk
mengupayakan Kangean sebagai
Kabupaten. Bahkan baru-baru ini mereka
para aktivis dan tokoh masyarakat
Kangean telah membentuk panitia
persiapan untuk Kabupaten Kangean
tersebut. Pembentukan panitia ini
dilakukan sekaligus memanfaatkan
momentum Madura yang sedang
diupayakan menjadi Provinsi Madura.
Berbicara mengenai keinginan
masyarakat Kangean untuk membentuk
Kabupaten sendiri, ternyata apa yang
dilakukan masyarakat Kangean saat ini
tidak hanya bertujuan untuk dapat
melepaskan Kangean dari Kabupaten
Sumenep secara administratif saja.
Namun, yang lebih penting daripada itu
adalah bahwa upaya untuk melepaskan
diri dari Kabupaten Sumenep ini oleh
masyarakat Kangean juga dimanfaatkan
sebagai upaya untuk menghilangkan
identitas Madura yang disandangnya
karena identitas tersebut dianggap kurang
sesuai dengan masyarakat Kangean
sendiri. Menurut masyarakat Kangean,
faktor yang menyebabkan sulitnya
menghilangkan identitas Kemaduraan
tersebut karena Kangean masih menjadi
bagian dari pemerintah Sumenep,
sehingga apabila Kangean dibentuk
sebagai Kabupaten sendiri tentu
masyarakat Kangean tidak bisa lagi
disebut atau dianggap orang Madura
karena memang manusia Kangean dan
manusia Madura itu berbeda. oleh sebab
itu, menjadikan Kangean sebagai
Kabupaten inilah satu-satunya cara yang
dapat dilakukan.
Terdapat dua macam masyarakat
Kangean yang menolak identitas Madura
ini. Pertama, masyarakat yang tidak suka
namun tidak melakukan apapun untuk
menghilangkan identitas madura tersebut
(pasif). Kedua adalah masyarakat yang
menolak dan melakukan berbagai upaya
untuk dapat menghapus identitas
kemaduraanya, misalnya dengan
membentuk berbagai gerakan (aktif).
Bagi masyarakat yang kedua ini,
identitas diartikan sebagai sesuatu yang
harus diperjuangkan, karena sebenarnya
identitas yang positif seharusnya dapat
memberikan rasa aman bahkan
melindungi anggota kelompoknya. Dalam
hal ini mengenai identitas Kemaduraan
yang melakat pada masyarakat Kangean
yang menurut masyarakat Kangean
sebenarnya identitas tersebut tidak sesuai
dengan karakter masyarakat Kangean
sendiri, selain tidak sesuai identitas
Madura tersebut juga dinilai dapat
memberikan dampak negatif terhadap
masyarakat Kangean. Oleh sebab itu
identitas tersebut sudah seharusnya
dihilangkan.
Menghilangkan identitas
Kemaduraan tersebut tentunya tidak akan
mudah semudah membalikkan telapak
tangan. Sehingga hal itu membutuhkan
sebuah usaha dan tekad yang sangat kuat.
Tampaknya tantangan tersebut disadarai
betul oleh Masyarakat Kangean
bahwasanya untuk menjadikan Kangean
sebagai Kabupaten itu akan menemui
banyak rintangan. Oleh karena itu melalui
mahasiswa yang menuntut ilmu di
daratan, mereka memulai pergerakan
dengan cara membentuk berbagai
organisasi keKangeanan seperti IMKS
(Ikatan Mahasiswa Kangean Surabaya)
HIMAKAB (Himpunan Mahasiswa
Kangean Bangkalan) IMAKA (Ikatan
Mahasiswa Malang Kangean) K2Y
(Keluarga Kangean Yogyakarta) dan lain
sebagainya yang bertujuan untuk
menyatukan seluruh aspirasi masyarakat
Kangean.
Organisasi-organisasi kedaerahan
yang telah terbentuk ini oleh masyarakat
Kangean dijadikan tonggak yang dapat
meruntuhkan bayang-bayang Kabupaten
Sumenep dan Madura secara perlahan,
dengan berbagai kegiatan yang
dilaksanakan masyarakat Kangean yakin
dapat melepaskan diri dari bayang-bayang
Pemerintah Sumenep.
Dalam teori fenomenologi yang
dijelaskan oleh Schutz, setiap tindakan
memiliki suatu motif tujuan (in order to
motives) yang ingin dicapai. motif yang
menjadi tujuan jelas merujuk kepada
suatu keadaan pada masa yang akan
datang di mana aktor berkeinginan untuk
mencapainya melalui beberapa tindakan.
Dalam pengertian ini motivasi tersebut
akan menentukan tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh aktor (zeitlin, 1998: 270).
Motivasi untuk membentuk
Kangean menjadi Kabupaten inilah yang
dijadikan dasar setiap tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat Kangean saat
ini. Sehingga apapun yang mereka
lakukan khususnya dalam konteks
membangun Kangean kedepan dan
menolak identitas Kemaduraan yang
dimilikinya itu semata-mata hanya
bertujuan pada terbentuknya Kangean
Kabupaten. Tujuan ini dianggap sesuatu
yang harus dicapai dalam rangka
medapatkan kehidupan yang lebih
sejahtera. Dalam wujud tindakan, maka
aktor hanya merupakan suatu kesadaran
terhadap motif yang menjadi suatu tujuan
dan bukan kepada motifnya yang menjadi
sebab. Kesadaran ini, pada akhirnya
didapatkan melalui refleksi.
Gambar. 1. Analisis motif sebab dan tujuan
KESIMPULAN DAN SARAN
Resistensi identitas Kemaduraan
yang terjadi pada masyarakat Kangean
merupakan hasil dari kegelisahaan yang
dirasakan oleh masyarakat Kangean sejak
lama. Kegelisahan yang dimaksud dalam
hal ini adalah bahwa masyarakat Kangean
tidak pernah merasa ada kesamaan antara
Kangean dan Madura, masyarakat
Kangean menganggap kalaupun ada
kesamaan antara Kangean dan Madura itu
semata-mata akibat dari interaksi yang
berlangsung sejak lama antara keduanya.
Selain itu kesejahteraan yang hingga saat
ini belum diperoleh dan dirasakan sebagai
bagian dari pemerintah Kabupaten
Sumenep menyebabkan munculnya ide
untuk melepaskan diri dari Kabupaten
Sumenep dan Madura secara umum
dengan membentuk Kabupaten Kangean.
Oleh karena itu tindakan penolakan
identitas Kemaduraan yang dilakukan
masyarakat Kangean ini merupakan
manifestasi dari sebab dan tujuan yang
saling berkaitan. Dari hasil penelitian dan
analisis yang telah dilakukan dapat ditarik
kesimpulan terangkum sebagai berikut:
Bentuk Resistensi Yang Terjadi
Mengaku berbeda dengan Madura
Dengan berbagai fakta dan bukti
yang menunjukkan bahwa
penduduk Kangean merupakan
etnis Madura, namun pada
kenyataannya masyarakat
Kangean justru tetap merasa
berbeda dengan Madura.
Menutupi identitas
Kemaduraannya
Masyarakat Kangean terutama
yang berada di luar wilayah
Madura seringkali melakukan
Masyarakat
Kangean
Membentuk Kangean
Kabupaten
Resistensi Identitas
Motif Tujuan
Citra orang Madura, kebijakan pemerintah
Sumenep
Motif Sebab
berbagai upaya untuk menutupi
identitas Kemaduraan tersebut.
Latar Belakang Terjadinya
Resistensi Identitas Kemaduraan
Citra orang Madura
Citra orang Madura yang dikenal
begitu keras dan kasar tidak dapat
dipungkiri menjadi penyebab yang
paling kuat terhadap munculnya
penolakan identitas Kemaduraan
yang dilakukan oleh masyarakat
Kangean.
Sejarah penduduk Kangean
Cerita rakyat yang menyatakan
bahwa penduduk Kangean
merupakan narapidana yang
dibuang atau diasingkan dari
kerajaan Sumenep zaman dulu
ditolak oleh masyarakat Kangean.
Mereka tidak mau dianggap
sebagai keturunan narapidana.
Kebijakan pemerintah Sumenep
Kondisi Kangean secara
infrastruktur, kesehatan, dan
pendidikan yang masih sangat
buruk dinilai oleh masyarakat
Kangean sebagai dosa pemerintah
Sumenep. Ketidak berpihakan
setiap kebijakan pemerintah
Sumenep terhadap masyaraka
Kangean menyebabkan
masyarakat Kangean semakin
menolak untuk dikatakan orang
Madura.
Tujuan Politis Yang Ingin Dicapai
Aksi dan pergerakan
masyarakat Kangean yang menolak
identitas Kemaduraan dengan
membentuk berbagai organisasi-
organisasi sebagai wadah aspirasi
masyarakat ternyata juga memiliki
tujuan politis. Dampak negatif yang
dirasakan masyarakat Kangean akibat
stereotipe orang Madura ditambah
kebijakan Pemerintah Kabupaten
Sumenep yang tidak pro masyarakat
Pulau Kangean memunculkan ide
untuk memisahkan diri dengan
membentuk Kabupaten Kangean.
Kondisi semacam ini diyakini oleh
masyarakat Kangean sebagai saat yang
tepat untuk memulai perubahan demi
kehidupan yang lebih sejahtera.
Pembentukan Kangean Kabupaten ini
juga disadari betul oleh masyarakat
Kangean sebagai memontum untuk
menghilangkan identitas Kemaduraan
yang selama ini dirasa sangat
mengganggu masyarakat Kangean,
terutama masyarakat Kangean yang
merantau ke luar Madura yang
tentunya paling merasakan dampak
negatif akibat stereotipe negatif orang
Madura.
SARAN
a. Untuk masyarakat Kangean maupun
mahasiswa Kangean yang melakukan
transmigrasi ke luar wilayah Madura
seharusnya sudah siap menghadapi
stereotipe atau perlu menyiapkan
strategi agar tidak disamakan dengan
citra orang Madura tersebut. Misalnya
bersikap dan berprilaku yang tidak
membenarkan anggapan tersebut.
b. Jika masyarakat Kangean memang
ingin menghilangkan identitas
Kemaduraan yang dimilikinya, yang
pertama harus dilakukan ialah
mengkoordiner organisasi-organisasi
yang telah terbetuk dan menyatukan
seluruh tenaga serta semangat
masyarakat Kangean, agar apa yang
dicita-citakan dapat terwujud,
termasuk membentuk kabupaten
sendiri.
c. Bagi orang Madura yang sudah
diidentikkan dengan kekerasan dan
sifat kasar, jika memang pelabelan itu
dianggap tidak sesuai dengan Madura
seharusnya disertai dengan tindakan
yang menunjukkan bahwa citra
tersebut memang tidak benar, bukan
justru sebaliknya.
d. Untuk pemerintah Kabupaten
Sumenep, kiranya bisa lebih
memperhatikan masyarakat
Kepulauan, khususnya Kangean agar
masyarakat tidak hidup dalam
keterbatasan dan ketidaknyamanan.
Karena hal ini juga dapat
mengakibatkan hubungan yang kurang
harmonis antara masyarakat Kepulauan
dengan pemerintah.
e. Bagi peneliti yang akan melakukan
penelitian selanjutnya tentang
masyarakat Kangean diharapkan dapat
lebih memperdalam motif-motif sebab
yang melatarbelakangi tindakan
penolakan identitas Kemaduraan.
Karena tentu hal yang
melatarbelakangi munculnya resistensi
identitas Kemaduraan ini tidak hanya
tentang stereotipe orang Madura dan
kebijakan Pemerintah Kabupaten
Sumenep. Namun, tentu masih ada hal-
hal lain yang mungkin tidak ditemukan
pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Djojoprajitno. Sahwanoedin. 2005. Kangean dari zaman wilwatikta sampai Republik Indonesia
(1350-1950). Pamekasan: Hasma Jaya
Illouz. Charlez., dan Grange. Philippe. 2013, Kepulauan kangean penelitian terapan untuk
pembangunan. Jakarta: Gramedia
Kantor Kecamatan Arjasa.2013. kecamatan arjasa dalam angka 2013. Sumenep
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi (metode penelitian komunikasi). Bandung: Widya
Padjajaran
Moleong, Lexy.J. 2002. Metodologi penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Neuman, Lawrence.W. 2013. Metode penelitian sosial: pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Jakarta: PT. Indeks
Sugiyono, P. D. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Wirawan, Ida Bagus. 2012. Teori-teori sosial dalam tiga paradigma. Jakarta: Kencana Prenida
Media Group