report sosen

120
Kamis, 25 November 2010 Pertemuan Ke 1 Sosiologi Seni Pengaruh Budaya Lingkungan (Pedesaan) Terhadap Seni Rupa Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Upload: febby-medianie

Post on 28-Jun-2015

466 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Report Sosen

Kamis, 25 November 2010

Pertemuan Ke 1

Sosiologi Seni

Pengaruh Budaya Lingkungan (Pedesaan) Terhadap Seni Rupa

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Page 2: Report Sosen

Kota = urban

Desa = Rural

Desa – Kota = sub urban

Lingkungan pedesaan ada 3 yaitu swadaya, swakarya dan swasembada, itu adalah

kemampuan untuk melakukan kebudayaan.

Desa yang dapat melakukan kesenian adalah desa swadaya, biasanya adalah desa

tradisi karena keseniannya tradisi dan sangat kental pada tradisi. Desa ini ada

kekurangan dan kelebihannya. Desa ini akan memiliki karya seni yang masih murni

dan belum terjadi akulturasi. Artinya desa yang di dalam kebudayaannya membiayai

desanya sendiri. Letak desanya tersebut tidak hanya yang jauh dari kota namun ada

juga yang dekat dengan kota, contohnya Desa Cihideung yang membuat festival bunga

Cihideung. Dalam festival tersebut ada kesenian tari dan kesenian lain yang berciri

khas desa tersebut. Seni rupanya adalah menghias bunga-bunga. Seni tari juga

menggunakan bunga-bunga dan daun-daun.

Desa Swakarya. Desa yang masih mengalami transisi dan belum berkembang. Sudah

dapat berkarya namun belum dapat member manfaat. Contoh, di Cirebon desa Gegesik

memiliki kerajinan lukisan kaca. Kemampuan berkarya dan bertindak.

Desa Swasembada. Desa yang sudah berkembang, mampu bersembada atau

membiayai desanya sendiri agar berkembang. Keseniannya sudah menjadi miliknya

Desa

Swadaya

Swakarya

Swasembada

Page 3: Report Sosen

sendiri, contohnya di Subang dengan kesenian Sisingaan, dan juga desa Trusmi dengan

batik trusminya.

Desa itu mampunyai bermacam-macam lingkungan dengan pola melingkar, pola

memdatar, pola konsentris memungkinkan kemasukan pengeruh luar. Desa yang tertutup yaitu

pola mendatar 2 misalnya kampung naga. Apabila swasembada akan menjadi sangat kuat.

Sifat masyarakat adalah kegotongroyongan. Pola memanjang adalah desa yang mementingkan

air atau desa yang dibelah oleh aliran sungai, misalnya desa barito yang memiliki pasar apung.

Ada juga di Kalimantan Barat, sungai Mahakam ada tradisi swakarya membuat perahu naga.

Karena mereka percaya pada ular yang bermukim di sungai tersebut dan dianggap sebagai

kepercayaan mereka. Desaitu nantinya akan menjadi desa-kota atua sub-urban. Misalnya

Cihideung,mungkin akan terjadi kemasukan budaya luar, misalnya tanaman bunga dari luar,

namun bunga aslinya masih ada. Juga cara merangkai bunga dari jepang (ikebana). Daun

berpita panjang dan bunga-bunga lebar. Contoh: di desa-kota sub-urban, Ujung Berung setiap

bulan Juni-Juli diadakan festival seni Ujung Berung, seni music angklung buhun/ bubrak, juga

helaran topebf badawang. Desa yang kemasukan seseorang yang membawa kesenian yang

mengeksplorasi dan terjadi tradisi difusi (serapan dari unsure luar) bias terjadi inkulturasi dan

ekspansi atau pergerakan dari luar ke dalam. Dalam kuliner, gudeg Jogja, mie Aceh dan mie

Jawa.

- Difusi menciptakan nilai yang baru.

- Akulturasi karena teknologi baru menyesuaikan, terjadi keseragaman homogenetik.

Contoh: Samba Sunda, wayang catur (berbicara sendiri/monolog)

Terjadinya akulturasi karena:

1. Persenyawaan

2. Perseragaman homogenetik

3. Fungsi = memiliki unsur-unsur yang serasi dan dapat berkembang.

4. Keinginan dalam batas habitat atau selera kebiasaan setempat. Contoh: fusi yang

menetap disuatu desa.

Page 4: Report Sosen

Kesimpulan

Sebenarnya kesenian yang tumbuh disebuah desa selalu memakai ciri-ciri masyarakat

setempat

Ciri-ciri masyarakat pedesaan itu:

1. Mempunyai sifat homogeny.

Contoh: sentra keramik di Plered, keramik yang desanya maju adalah siti winangun.

Keramiknya memiliki dasar-dasar sacral agama islam. Warga desa tersebut membuat

bejana yang berhubungan untuk agama islam, untuk wudhu yang berhiaskan tukisan

arab. Seorang yang mempelopori peningkatan kerajinan keramik siti winangun adalah

Pak Bonsan.

Di Jogja, desa kasongan yang dulunya hanya menghasilkan keramik coet dll. Kini

membuat hiasan atap rumah yang dipelopori oleh Sapto Hudoyo.

2. Kehidupan desa lebih menekankan keluarga. Keluarga menjadi unit ekonomi untuk

memenuhi kehidupan keluarga.

3. Mempunyai hubungan sesama anggota masyarakat yang akrab. Menurut penelitian

Belanda Gesheikaf= koto, Gemenskaf= desa.

4. Factor geografis sangat berpenganruh misalnya pola-pola yang ada di atas akan

menjadi akrab.

Pelopor festival cihideung adalah Mas Nanu (dosen karawitan STSI Bandung)

Tugas diskusikan tentang Desa Ciptagelar.

Study Mandiri:

Festival Cihideung

Page 5: Report Sosen

Akulturasi di Desa Adat Ciptagelar

Desa adat Ciptagelar sebenarnya desa yang kesekian kalinya menjadi tempat singgah

kelompok ada tersebut di daerah Banten Kidul. Awalnya desa mereka bernama desa Ciptarasa,

namun karena desa ciptarasa telah penuh yaitu 40 keluarga maka berpindahlah ke desa

ciptagelar yang sekarang ini.

Desa ciptagelar dipimpin oleh seorang kepala adat yang disebut Abah. Karena Abah

yang sebelumnya telah tiada, maka digantikan oleh anaknya. Desa ini memiliki ada yang

kental sekali, mereka sangat mengagungkan Padi di dalam kehidupan mereka. Bagi mereka

padi memberi banyak sekali berkah. Pada setiap tahunnya pada saat panen, mereka sealu

mengadakan ritual-ritual panen dari mulai cara memotong padi hingga ritual menaruh padi di

lumbung atau yang masyarakat sunda sebut Leuit. Di desa ini terdapat banyak sekali leuit.

Maksimal satu keluarga itu harus memiliki 3 leuit, ini menandakan bahwa keluarga tersebut

hidup berkecukupan. Selain leuit-leuit milik keluarga, di desa ini juga memiliki leuit yang

dikeramatkan, bentuk leuitnya lebih besar dari leuit-leuit yang lain dan yang boleh

memasukinya adalah keluarga dari Abah.

Pada waktu pesta panen digelar, banyak sekali orang yang dating dari berbagai penjuru

Banten dan Jawa Barat bahkan banyak pula turis-turis asing yang sengaja datang dari hari-hari

sebelumya ubtuk melihat kehidupan masyarakat desa ciptagelar. Banyak dari para pengunjung

desa pada saat pesta panen tersebut yang tertarik untuk mendalami segala sesuatu tentang desa

ciptagelar. ,ereka tinggal di sana awalnya menumpang di rumah penduduk, namun banyak

juga yang sekarang telah memiliki rumah sendiri dan menetap menjadi warga desa.

Kedatangan mereka membawa berbagai kemajuan untuk desa ciptagelar diantaranya

masukya jaringan telekomunikasi, seperti siaran televisi dan radio local desa tersebut.

Jaringan. telepon selular juga telah masuk ke daerah pedalaman tersebut. Bahkan jaringan

internet Wi-Fi sudah terpasang di area rumah Abah.

Page 6: Report Sosen

Festival Cihideung

Hajat "Cihideung Festival" Mulai DigelarSABTU, 20/11/2010 - 10:10

ILHAM PRATAMA/"PRLM"PARA penari sedang mempertontonkan tarian khas Desa Cihideung pada Cihideung Festival, di Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Sabtu (20/11).*

NGAMPRAH, (PRLM).-Selama dua hari Sabtu (20/11) hingga Minggu (21/11), Desa Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, menggelar hajat Cihideung Festival. Kegiatan tersebut dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas karunia dan kekayaan alam yang ada di desa tersebut.

Pada acara tersebut, dilaksanakan ritual irung-irung. Irung-irung merupakan mata air yang selama ini menjadi sumber air bagi masyarakat yang berada di tiga RW. Pada pelaksanaannya, masyarakat menyusuri kali hingga sumber mata air.

"Pada pelaksanannya, kambing diarak dengan kesenian sasapian oleh masyarakat ke sumber air irung-irung. Setibanya disana, kambing disembelih dan dagingnya dibawa ke balai desa," kata Abah Nunu, selaku konseptor Cihideung Festival.

Selai ritual tersebut, digelar juga karnaval hias sasapian, adu kreasi desain jongko tanaman hias, dan murak tumpeng dan guneman. (A-195/kur)***

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/127687

Page 7: Report Sosen

Festival Cihideung

Untuk mengasah kemampuan ibu-ibu di Desa Cihideung, Kec. Parongpong, Kab. Bandung

Barat (KBB), digelar lomba merangkai bunga dalam rangkaian acara Cihideung Festival yang

dimulai, Sabtu (20/11). Lomba merangkai bunga tersebut disambut meriah ibu-ibu setempat,

walaupun hujan lebat sempat mengguyur kegiatan yang dilangsungkan, Minggu (21/11)

tersebut

Page 8: Report Sosen

Kamis, 2 Desember 2010

Pertemuan Ke 2

Sosiologi Seni

Masyarakat Terhadap Kesenian dan Kesenian Terhadap Masyarakat

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Fondasi Komunitas

Benda seni

Seniman Masyarakat

Masyarakat Individu

Cosmos

Kesenian

Symbol ekspresi

System

Dewa Ra (terang)

Nur Ilahi

Seniman Kritikus seni

Juru bicara

Percaya

Ilmu

Seni/estetik

Sanggar

Metafora

Agama

Lukisan Guernica Pablo Picasso

Page 9: Report Sosen

Bergabung di sanggar adalah penting tidak penting. Harus ada sanggar seni agar

kesenian tidak timpang, karena disanggar akan mendapat pengakuan atau credibility.

Kedudukan seni bagi seseorang akan terlihat pada kehidupan di masyrakatnya. Seniman tidak

akan mendapat pengakuan apabila tidak didampingi oleh seorangkurator/kritikus seni. Kritikus

seni disini dimaksudkan untuk menjadi jembatan komunikasi antara karya dan masyarakat.

- Tanpa kesenian hidup manusia akan timpang. Manusia menggambari

kehidupannya sendiri.

- Kesenian itu akan mengisi jaman sesuai dengan kehidupan masyarakat.

- Kesenian dalam masyarakat akan muncul sebagai symbol ekspresi.

- Mereka (masyarakat) yang mengekspresikan kesengsaraan atau kesusahan itu

mewakili dirinya. Kita dapat mempelajari sjarah deri kesenian misalnya dongeng:

mitos roh-roh nenek moyang, dongeng nyi roro kidul

Kesenian dalam masyarkat:

- Agama

- Seni

Agama dan seni sebenarnya menyatu dan tidak berpisah karena telah menyatu dan

menjadi perekat antara keduanya.

Kesimpulan

Manusia sebagai mahkluk social

1. Akan melakukan interaksi dan interelasi (rasio)

2. Sebagai mahkluk social menjunjung kemanusiaan (etis dan estetis) kodrat manusia

yang logis, etis dan estetis.

3. Sebagai mahkluk social yang agamis/Illahiah. Contohnya ketika seorang bayi lahir,

warga desa/keluarga membuat syukuran.

Page 10: Report Sosen

Itu di kongkritisasi dengan symbol atau bentuk. Misalnya tumpeng, memiliki bagian

kerucut ke atas, itu merupakan system structural symbol ekspresi. Chairil Anwar

menyimbolkan metafora dalam puisinya. Symbol agama terlihat sekali pada lukisan Guernica

karya Pablo Picasso.

- Seniman sering berbicara tentang moral.

- Agama serimg berbicara tentang akhlak.

- Moral hanya membicarakan hokum antara manusia.

- Ahklak membicarakan manusia dalam 3 dimensi nilai (aku, masyarakat, dan

Tuhan).

1. Manusia dan manusia.

2. Manusia dan masyarakat

3. Manusia dan Tuhannya

Kesenian adalah ficton/fiksi dan bukan sesungguhnya.

Kesimpulan:

Dengan demikian puisi Chairil Anwar dll. Sadar bahwa seni bukan hanya menjadi

miliknya, karena milik Nur Illahi. Oleh karena itu seniman dalam masyarakat dapat bercermin

banwa senuman itu atau pemuka agama atau ahli sufi. Karena dalam berkesenian bukan

menjadi miliknya. Agama adalah identitas manusia dalam berkesenian.

Kesimpulan:

Tidak perlu dengan dokma sempit dan agamis, seni itu tumbuh dengan penghayatan

yang manusiawi (independensi personal)

Study Mandiri:

Page 11: Report Sosen

1. Lukisan Guernica dan riwayat Pablo Picasso

2. Seni islam

3. Seni Kristen

4. Puisi chairil Anwar

5. Tumpeng

6. Kembar mayang

7. Paying panganten

Page 12: Report Sosen

Lukisan Guernica

Guernica adalah sebuah lukisan karya Pablo Picasso, sebagai tanggapan

terhadap pengeboman Guernica, Basque Country,oleh pesawat

tempur Jerman dan Italia di atas perintah pasukanNasionalis Spanyol, pada tanggal 26

April 1937, selama Perang Saudara

Spanyol. Pemerintah Republik Spanyol menugaskanPablo Picasso untuk menciptakan mural b

esar untuk tampilanSpanyol di Pameran Internationale des Arts et Techniques dansla Vie Mod

erne (1937) Paris Pameran Internasional di 1937World Fair di Paris.

Guernica menunjukkan tragedi perang dan penderitaan

yangditimbulkan pada individu, terutama warga sipil tak berdosa.Karya

ini telah memperoleh status monumental, menjadipengingat abadi tragedi perang, simbol anti-

perang, danperwujudan perdamaian. Setelah menyelesaikan Guernicadipajang di seluruh

dunia dalam tur singkat, menjadi terkenaldan diakui secara

luas. Wisata ini membantu membawa Perang Saudara Spanyol ke perhatian dunia.

Sumber: http://itpin.orangenexus.com/2010/11/26/ketika-bumi-andalusia-melahirkan-seorang-pelukis-jenius/

Page 13: Report Sosen

98 PABLO PICASSO 1881-1973

Pelukis senantiasa bergumul dengan pertanyaan umum apa sebetulnya maksud serta tujuan seni itu. Buat apa sih? Apa tanpa seni orang lantas jadi bangkai? Atau ompong? Tetapi sejak penemuan fotografi, masalahnya jadi lebih jelas dan lebih urgen. Jelasnya, tujuan pelukis bukan sekedar menjiplak pemandangan alam. Sepintar-pintar pelukis seperti apa pun tidak bakalan bisa menandingi potret, baik bagusnya maupun murahnya. Karena itu, lebih dari seabad serentetan percobaan sudah dirintis orang untuk menegaskan fungsi dan daya jangkau sesuatu lukisan. Dalam gerakan ini, orang yang paling berani, paling inovatif, yang melepaskan diri jauh-jauh dari semata-mata seni yang biasa-biasa itu, dan yang dengan sendirinya paling berpengaruh, adalah Pablo Picasso.

Gaya seni Picasso dikagumi karena imaginasinya, vitalitasnya dan kepekaannya terhadap dunia luar. Picasso merupakan tokoh sentral dalam perkembangan "Kubisme," dan dia juga ternama karena kebrilianan otak serta kemampuan tekniknya. Umumnya dia diakui selaku tokoh utama dalam seni modern dan salah seorang yang paling suka kepada hal-hal baru dari semua seniman di sepanjang jaman.

Picasso punya kemampuan sempuma dalam hal lukisan gambar realistis. bila dia merasa perlu seperti itu; tetapi, lebih kerap lagi dia memilih mengacak-acak serta mengubah-ubah wajah sesuatu obyek. Pernah suatu waktu dia berkata. "Bila kumau melukis cangkir, akan kutunjukkan padamu bahwa bentuknya bundar; tetapi itu sesuatu irama umum dan konstruksi lukisan memaksa aku menunjukkan bawa yang namanya bundar itu sebagai suatu yang persegi."

Pablo Ruiz Y Picasso dilahirkan tahun 1881 di kota Malaga, Spanyol. Ayahnya seniman dan guru kesenian. Bakat Pablo muncul dalam usia muda sekali dan dia sudah jadi pelukis jempolan pada umur belasan tahun. Tahun 1904 dia menetap di Paris dan untuk selanjutnya tinggal di Perancis.

Page 14: Report Sosen

Lukisan Picasso "Gadis di Depan Cermin" merevolusionerkan perspektip penanganan seni modern. (Ukuran 64 x 51 1/4) cat minyak; koleksi Museum Seni,

New York, hadiah Ny. Simon Guggenheim.

Picasso betul-betul seorang seniman yang teramat produktif. Selama kehidupannya selaku seniman yang luar biasa panjang itu --sekitar masa waktu tiga perempat abad-- dia sudah mencipta lebih dari 20.000 hasil seni yang terpisah-pisah satu sama lain, rata-rata lebih dari 5 karya dalam seminggu yang berlangsung selama 75 tahun! Sebagian terbesar dari waktu itu, karyanya selalu berdiri paling depan dalam hal harga tinggi, karena itu Picasso menjadi orang yang amat kaya raya. Dia meninggal dunia di kota Mougins, Perancis, tahun 1973.

Pokoknya, Picasso tak syak lagi seorang seniman serba bisa yang jarang tolok bandingnya. Kendati sebutan utamanya seorang pelukis, dia juga banyak melakukan karya pahat. Tambahan lagi, dia perancang panggung ballet; dia bergumul dengan seni bikin pot, meninggalkan sejumlah besar karya lithografi, lukisan melalui garis-garis dengan menggunakan pensil atau kapur tulis dari banyak cabang seni lainnya.

Tetapi seperti sementara seniman-seniman, Picasso juga tertarik dengan sungguh-sungguh pada masalah politik. Nyatanya, lukisan masyhurnya "Guernica" (1937), diilhami oleh kejadian-kejadian dalam perang saudara Spanyol. Beberapa hasil karya lainnya pun punya arti penting politis.

Banyak seniman-seniman masyhur ditandai oleh satu macam gaya dasar. Tidaklah demikian Picasso. Dia menampilkan ruang luas dari pelbagai gaya yang mencengangkan. Kritikus-kritikus seni memberi julukan seperti "periode biru," "periode merah muda," "periode neo-klasik" dan sebagainya. Dia merupakan salah satu dari cikal bakal "Kubisme," Dia kadang ikut serta, kadang menentang

Page 15: Report Sosen

perkembangan-perkembangan baru dalam dunia lukis-melukis modern. Mungkin tak ada pelukis dalam sejarah yang sanggup melakukan karya dengan kualitas begitu tinggi dengan lewat begitu banyak gaya dan cara.

Tidak semua aliran seni punya pengaruh berjangka panjang. Meskipun Picasso disanjung-sanjung di abad ke-20, layak dipertanyakan apakah di abad-abad depan kelak penyanjungan itu masih bisa terjadi, ataukah pengaruhnya akan segera musnah dalam waktu tak lama lagi. Sudah jelas, tak ada jaminan yang meyakinkan untuk menjawab pertanyaan macam itu. Tetapi, kata sepakat dari para kritikus seni kontemporer mengatakan bahwa pengaruh Picasso akan tetap punya bobot penting di masa-masa mendatang. Walaupun jelas, kita tidak bisa memastikan kelanjutan dari bobot penting Pablo Picasso seperti bisa kita lakukan terhadap seniman-seniman yang sudah teruji oleh sang waktu.

Sumber: http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/iptek/100/Picasso.html

Page 16: Report Sosen

Seni Islam

Islam dan Seni   Rupa Posted on 12 Februari 2008 by durian19

Seberapa besarkah pengaruh Islam terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan, kedatangan Islam di kepulauan Nusantara tak banyak mempengaruhi aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini, kecuali kaligrafi dan arsitektur mesjid.Pada zaman Islam, saat mayoritas penduduk Indonesia telah memeluk Islam, negeri kepulauan ini seolah-olah tak punya hasil-hasil seni yang mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana terdapat kebudayaan batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara dari perunggu. Kesenian juga mencapai reputasi yang mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika penduduk di Jawa dan Bali membangun candi-candi dengan arsitektur yang mengagumkan, yang salah satunya merupakan monumen dunia dan salah satu keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa kolonialisme Eropa, orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga kini tetap dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih populer, yaitu cat minyak di atas kanvas. Semua itu masih ditambah hambatan yang dialami para seniman Islam sendiri, yang membatasi diri untuk tidak menciptakan karya-karya yang “tak Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi kebebasan yang dianut kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami justru membatasi diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh melukiskan figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad. Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa. Mereka mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang, membuat patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak melihat adanya kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi arab dan arsitektur mesjid. Tapi, apakah yang dimaksud dengan kesenian Islam? Apakah Islam itu mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati dalam Hinduisme, Buddhisme, atau Katolik Roma? Mari kita berupaya untuk memahami hubungan antara agama dan seni, dan mencoba mencairkan ketegangan yang ada di antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah yang dimaksud dengan seni rupa Islam? Seni rupa dan Islam adalah dua kategori yang berbeda. Seni rupa, sejauh cakupan makna yang membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah yang lebih besar daripada budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan manusia. Seni rupa adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan manusia untuk berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari Allah yang diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di dunia dan akhirat. Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut “kesenian Islam” tentunya tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu yang bersifat lokal atau etnik, seperti kesenian Bali (contohnya, lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah (semisal orkes gambus). Yang dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang setidaknya tidak mengandung nilai-

Page 17: Report Sosen

nilai yang bertentangan dengan akidah maupun akhlak Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks geokultural tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya (tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal seperti lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni perguruan tinggi seni. Karena Islam bukanlah entitas budaya tertentu, akan lebih tepat bila menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal yaitu sebagai “kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung –atau setidaknya tak menyalahi– nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari etnik atau komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut, meski berasal dari daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah kesenian yang islami karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak Islam. Sebaliknya, ketika kita melihat karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir 1955), seorang pastur yang selain menulis juga mulai menggeluti bidang seni rupa, mereka justru tampak islami sesuai penafsiran tertentu mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga akhir Januari 2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di Galeri Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari Universitas Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan bangunan-bangunan gereja dan lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa menghadirkan figur manusia apalagi figur telanjang yang biasanya banyak menghiasi bangunan-bangunan ibadah bersejarah di Eropa. Dalam pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan bahwa meskipun pada masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M) masih ada sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat umum lainnya. Selain itu, seperti termuat dalam buku Estetika, Filsafat Keindahan karya Dr Fx Mudji Sutrisno dan Prof Dr Christ Verhaak (Yogyakarta 1993), ada rasa curiga di kalangan tertentu dalam umat Kristen sendiri terhadap penghormatan ikon dan patung Kristus seakan-akan “keilahian-Nya kurang diakui”. Kelompok yang melawan ikon-ikon suatu saat didukung oleh kaisar, lalu terjadilah ikonoklasme atau penghancuran ikon besar-besaran. Sejarah Kristen mengenaliconoclasm, ‘penghancuran ikon’ yaitu suatu doktrin tertentu pada abad ke-8 dan ke-9 yang melarang segala bentuk penggambaran material dalam agama Kristen. Asal mula gerakan yang menentang pemujaan terhadap imaji (images) disebut-sebut sebagai akibat pengaruh dari agama Islam yang pada masa itu memang melarang semua gambar maupun patung berbentuk manusia. Namun, sesungguhnya di kalangan Kristen sendiri telah muncul ketidaksukaan terhadap imaji orang-orang suci yang ditakutkan bakal dipuja sebagai berhala. Sekte Paulicians dalam doktrinnya mengatakan bahwa bentuk-bentuk agama secara eksternal, sakramen, ritus, benda keramat, harus dimusnahkan. Mereka juga melarang penghormatan kepada salib, karena (sebagaimana dipercaya umat Islam), Yesus tak pernah disalib (Lihat situs Catholic Encyclopedia di www. newadvent. org). Tapi, benarkah Islam melarang penggambaran manusia? Pertanyaan ini mengantarkan kita kepada tinjauan seni berdasarkan syariat (hukum Islam). Kontroversi tentang larangan membuat gambar, patung, atau fotografi yang melanda hampir di seluruh dunia muslim, sebetulnya berpangkal dari penafsiran terhadap larangan yang dimaksud. Jika para ulama dan penulis muslim tampak sependapat dalam satu hal, yaitu tentang adanya beberapa hadis yang melarang penciptaan sesuatu (gambar atau patung), mereka tidak menyebutkan adanya larangan yang sama yang berasal dari ayat Al-Quran –kitab suci yang wajib diimani sebagi pegangan sekaligus pelajaran bagi orang beriman. Hadith atau hadis adalah catatan para sahabat mengenaisunnah atau prilaku Nabi

Page 18: Report Sosen

Muhammad Rasulullah –sebagai figur terbaik yang mencontohkan bagaimana keislaman itu sebaiknya dipraktikkan. Tapi, hadis sendiri bukan sunnah. Hadis adalah data-data tertulis yang perlu diperlakukan secara kritis sebagaimana kita memperlakukan data-data tekstual dalam buku-buku sejarah, yang berguna untuk mengetahui sunnah Nabi yang sesungguhnya. Bahkan, di kalangan ulama banyak yang berpendapat tentang tidak kafirnya seseorang yang mengingkari hadis (lihat Ezzedin Ibrahim, 2005, 40 Hadits Qudsi Pilihan, Diterjemahkan oleh M Quraish Shihab). Hadis dapat diterima sejauh itu sahih dan memiliki basisnya dalam Quran. Di sini Quran, yang mengklaim kitab ini sebagai “batu ujian” atau koreksi bagi ajaran-ajaran wahyu sebelumnya dari penyimpangan akibat tangan-tangan tak bertanggung jawab, memang tak menyebut larangan mengenai penciptaan imaji makhluk hidup berupa potret atau karya lainnya. Kitab ini malah menuturkan bahwa Nabi Sulaiman, salah seorang pembawa risalah monoteistik, mencipta banyak patung dengan perantaraan pasukan jin di bawah kepemimpinannya (Quran Surah 34: 13). Pandangan bahwa Islam melarang seni rupa adalah tafsiran sebagian orang Islam. Dan pandangan ini, menurut penulis Pakistan Sehzad Saleem justru tidak konsisten dengan Islam sendiri. Saleem mengingatkan, hanya kitab suci Al-Quran yang melarang segala sesuatu dalam Islam. Menurutnya, kebanyakan hadis mengenai larangan membuat patung atau gambar memiliki redaksi sebagai berikut, “Barang siapa membuat gambar seperti ini …, ” yang berarti mengacu kepada bentuk tertentu secara spesifik, dan tak menyebut semua jenis imaji (lihat Agung Puspito, 2005. “Nuditas, Seni Rupa, dan Agama, ” dalam Buletin Citta YSRI Edisi IX). Sayangnya, di antara kebanyakan kitab hadis, seperti yang ada di Indonesia, kita tak punya catatan mengenai gambar atau imaji seperti apa yang dimaksud. Kebanyakan hadis tidak membedakan antara gambar yang dua dimensional dan patung yang tiga dimensi. Keduanya disebut shūroĥ(plural, shuwar). Bacalah hadis yang disahihkan oleh Bukhari di bawah ini, yang diriwayatkan oleh ‘Aiŝah istri Nabi, Dari ‘Aiŝah ra, “Saya membeli sebuah bantal yang bergambar-gambar. Nabi saw berdiri saja di pintu, tidak mau masuk ke dalam. Lalu kata saya, ‘Saya bertobat kepada Allah seandainya saya salah. ’Nabi berkata, ‘Untuk apa bantal itu?’Jawab saya, ‘Supaya Anda duduk dan bersandar di situ. ’Sabda beliau, ‘Sesungguhnya orang yang membuat gambar semacam ini akan disiksa pada hari kiamat, dikatakan kepadanya, hidupkanlah apa yang kau buat itu! Sesungguhnya malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di situ ada gambar (shūroĥ). ’” Dalam hadis ini sebetulnya penerjemah (H Zainuddin Hamidy dkk,Terjemah Hadis Shahih Bukhari Jilid IV, Jakarta, 1982) mengartikan shūroĥ sebagai ‘gambar hewan’, tapi penulis Art-ysri menggunakan arti yang lebih umum, ‘gambar’ saja. Pasalnya, pencatat hadis tak mencandra secara detil gambar apa yang terdapat pada bantal ‘Aiŝah. Beberapa hadis memang tak menyertakan unsur penting berupa deskripsi menyangkut gambar yang dimaksud. Adapun shūroĥ dalam bahasa arab modern tampaknya memiliki makna yang luas, sehingga mencakup patung dan fotografi. Istilah ini sepadan dengan bahasa Inggris image, yang salah satu artinya adalah ‘imitasi dari bentuk eksternal suatu objek, misalnya, objek pemujaan’ (lihatedisi paperback The Pocket Oxford Dictionary, 1984). Maka, menurut Sehzad Saleem, dengan mengumpulkan hadis-hadis mengenai pencitraan makhluk hidup didapatkan gambaran bahwa larangan itu mengacu kepada pencitraan dalam kategori tertentu yang memperoleh status berhala (idols) dan dipuja sebagai berhala. Praktik pemujaan seperti ini merajalela pada awal berkembangnya Islam. Bahkan, interior kaabah pada zaman Nabi pernah diisi berbagai patung yang disembah penduduk di Semenanjung Arabia. Di antaranya, terdapat gambar para

Page 19: Report Sosen

nabi dan orang suci seperti Ibrahim, Isa, dan ibunda Isa Maria. Saleem menyimpulkan, larangan pembuatan imaji yang dimaksud bukan lantaran kejahatan intrinsik yang ada padanya, melainkan karena sumbangsihnya terhadap praktik politeistik (muŝrik) masyarakat pada awal kehadiran Islam, dan karena hal itu bisa membangkitkan sentimen-sentimen dasar (termasuk nafsu syahwat) dalam diri seseorang. Senada dengan Saleem, penulis Sejarah Kesenian Islam C Israr (Jakarta, 1978) menyebutkan terjadinya kontroversi dalam soal seni rupa juga disebabkan oleh tiadanya batasan yang tegas tentang boleh tidaknya kesenian itu. Ia berpendapat bahwa boleh tidaknya melukis dan mematung perlu dilihat dari semangat larangan tersebut. Menurutnya, larangan melukiskan bentuk makhluk bernyawa, pada awal lahirnya agama Islam, memang perlu jika dipandang dari segi tauhid. Sebab, ketika Nabi masih hidup, di Mekah masih bertaburan puing-puing bekas reruntuhan arca sesembahan nenek moyang bangsa Arab. Jika semua berhala itu tidak dihancurkan, jika seni patung itu dibiarkan berkembang, akan tumbuh tunas baru dari kepercayaan lama yang akan menggoyahkan sendi-sendi tauhid mereka yang baru memeluk Islam. Tapi, lanjut Israr, “Ketika hakikat tauhid telah mendarah daging dalam tubuh umat Islam dan mereka tahu patung-patung itu tak sanggup berbuat apa pun, maka tidak ada alasan bahwa kepercayaan yang telah terkubur itu akan hidup kembali di tengah-tengah keyakinan umat Islam yang telah maju. ” Sebetulnya kontroversi seputar masalah itu telah dituntaskan di Indonesia, setidaknya sejak periode ketika Buya Hamka menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia. Seperti disebutkan cendekiawan (alm) Nurcholish Madjid, dalam ceramahnya mengenai Estetika di Yayasan Paramadina (1996), Hamka telah mengeluarkan fatwa tentang dibolehkannya pembuatan patung. “Kecuali, di Yogyakarta, ” tambah Nurcholish, menyebutkan bahwa suatu saat Hamka melihat orang melakukan praktik pemujaan berhala terhadap patung Jenderal Sudirman di Yogyakarta. Rupanya, patung pahlawan nasional yang juga seorang mujahid itu masih dikultuskan orang dengan memberi sesajen dan rangkaian bunga di tubuhnya. Di sinilah kita menemukan divergensi antara seni dan berhala. Penulis akan terlebih dulu memusatkan perhatian pada persoalan berhala. Idols atau berhala adalah sosok ciptaan manusia yang dipuja sebagaimana manusia memuja Tuhan. Para penyembah berhala (dalam bahasa Inggris disebut pagan) membuat patung berhala yang mereka puja secara rutin, sambil memberinya persembahan berupa sesajian atau pun korban. Praktik inilah yang dilarang agama, yang di dalam Quran disebut al-anshob, Hai orang-orang beriman, sesungguhnya (minum) khamar (minuman keras), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji di antara amal-amal syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu supaya kamu memperoleh keberuntungan {QS 5: 90}. Berhala pada masa awal kehadiran Islam di Tanah Arab mengacu pada patung-patung (kebanyakan berujud wanita) dengan nama-nama seperti Latta, Manna, Uza, dan lain-lain. Orang Arab jahiliyah memuja mereka dan menyisihkan sebagian rezeki hasil usaha mereka untuk berhala-berhala ini. Mereka dapat dikenali lewat penampilan fisik mereka yang ciri-cirinya (ikonografinya) tidak kita ketahui sejauh tak ada hadis atau data sejarah yang mendeskripsikannya. Yang jelas, imaji berupa patung maupun gambar berhala-berhala itu telah popular di kalangan Arab jahiliyah, sehingga penulis Sehzad Saleem menyebutkan larangan pembuatan imaji yang dimaksud seperti yang terdapat dalam beberapa hadis adalah yang terkait dengan wujud fisik berhala-berhala ini. Persoalannya, ayat-ayat Quran tak berlaku hanya untuk masa lalu. Quran diturunkan untuk menjawab semua persoalan dan mengabarkan hal-hal penting semasa Nabi hidup, pada zaman sekarang ketika Nabi telah wafat, dan untuk masa yang akan datang yang belum tentu kita masih hidup. Yang dimaksud dengan berhala (al-anshob) tentunya bukanlah

Page 20: Report Sosen

imaji atau patung yang memiliki karakteristik fisik seperti dimiliki Latta, Uza, dan lain-lain, melainkan pada hakikatnya sesuatu (atau seseorang) yang dipuja manusia sebagaimana ia memuja Tuhan. Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang berpotensi membuat Anda memuja atau menyembahnya sebagaimana orang beriman menyembah Tuhan (misalnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu). Berhala adalah sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mengorbankan sebagian atau seluruh hidup Anda demi dia, sesuatu atau seseorang yang membuat Anda rela mati demi dia; termasuk, berperang demi dia. Adapun praktik pemujaan atau pengorbanan yang dimaksud menjadi bermakna ŝirk (menduakan Tuhan) apabila dilakukan oleh seseorang yang telah beriman kepada Tuhan; suatu dosa yang tak terampuni kecuali kita bertobat sebelum maut menjemput. Padahal, Allah adalah Pribadi yang posesif dan kepemilikan-Nya itu mutlak. Di tangan-Nya tergenggam hidup dan mati setiapcreatures (padanan Inggris untuk makhluk, ciptaan) di alam semesta. Karenanya, jika orang melakukan sesuatu tidak demi Dia, ia telah berbuat sia-sia. Dan, jika perbuatan demi berhala itu dilakukan oleh orang yang beriman, Allah jelas akan murka kepadanya. Adapun pandangan Islam terhadap seni sama seperti pandangannya terhadap aktivitas kebudayaan manusia lainnya. Setiap muslim menerima ajaran bahwa manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah (QS 51: 56). Namun, ilmu fiqh (kodifikasi hukum Islam hasil ijtihad manusia) mengenal upaya penafsiran terhadap hal-hal yang tidak dirinci dalam Al-Quran. Para fuqoha (ahli fikih), misalnya, telah berijtihad untuk membedakan antara ibadah ‘ubudiyah dan ibadah muamalah. Yang pertama, ibadah ubudiyah, mengacu pada ibadah yang telah pasti dalilnya dalam Quran, sehingga tidak memerlukan penyesuaian atau perubahan sesuai kondisi zaman. Ibadah ubudiyah contohnya berupa kewajiban ritual seperti salat, zakat, puasa, berkurban pada hari ‘Idul Adha, dan pergi haji; dalam bentuk larangan, ubudiyah mencakup larangan mengabdi berhala, membunuh orang tanpa alasan yang haq(benar), berjudi, mengundi nasib dengan panah, makan babi dan lain-lain. Bobot aktivitas ibadah ini adalah wajib, yang berarti semua hal di luar aturan ibadah adalah haram atau terlarang, kecuali bila ada dalil atau nash (aturan tekstual) yang menghalalkannya. Salat, puasa bukanlah aktivitas kebudayaan yang berasal dari kebebasan berkreasi manusia. Karenanya, ibadah-ibadah itu tak memerlukan pembaruan atau modifikasi. Setiap usaha modifikasi dinilai sebagai bid-ah, dan hal itu terlarang. Adapun ibadah muamalah merujuk pada nash yang termaktub secara garis besar dalam Al-Quran yang tidak dirinci lebih jauh, sehingga membuka peluang penafsiran yang luas bagi para fuqoha. Di sini berlakulah prinsip umum bahwa segala bentuk muamalah dibolehkan (halal), sepanjang tidak dijumpai dalil yang mengharamkannya. Umumnya, muamalah mencakup hubungan antara sesama manusia sehingga cenderung bersifat sosial-kemasyarakatan. Di sinilah ibadah kepada Allah berkonvergensi dengan kebudayaan manusia yang berbeda-beda sesuai wilayah kultural. Perdagangan, misalnya, merupakan muamalah yang halal dan bernilai ibadah sesuai motivasi pelakunya. Artinya, pelaku perdagangan dengan motif lillahi ta’ala (demi Allah semata-mata) dijanjikan menerima reward berupa pahala. Allah hanya melarang praktik riba yang merupakan suatu dalil yang mengharamkan praktik jual-beli tersebut. Jadi, bagaimana dengan praktik seni? Seni, tak terkecuali, merupakan bagian dari aktivitas muamalah, dengan segala konsekuensi hukum yang menyertainya (seni itu boleh sepanjang tak ada dalil yang melarang). Ia bukan ibadah ubudiyah yang dirumuskan dalam dalil, semua haram kecuali bila ada nash yang membolehkannya. Seni bukanlah semacam ritual seperti salat dengan aturan-aturan yang telah pasti. Hal ini diakui pula oleh Zaenuddin Ramli, akademisi seni rupa asal Bandung, saat menyampaikan makalahnya dalam sebuah acara seminar yang digelar Galeri

Page 21: Report Sosen

Nasional Indonesia, 11—12 Juli lalu. Baginya, seni dalam Islam itu “muamalah, dan (dengan demikian) berubah, transformatif. ” Zaenuddin mengangkat makalahnya mengenai Festival Istiqlal I (1991) dan Festival Istiqlal II (1995) yang mencoba mengingatkan orang tentang adanya gagasan baru mengenai “seni Islam” yang bukan cuma berupa arabesk(dekorasi dan kaligrafi arab) atau lukisan abstrak, tapi pun karya-karya bermuatan sosial-politik.Beberapa tahun terakhir ini muncul pula arus pemikiran seni di Indonesia yang berupaya untuk mendobrak dominasi pemikiran Eropa dan Amerika (Barat). Alih-alih mengakui kemajemukan yang menjiwai semangat zaman abad ini, Barat dinilai hanya mengakui satu penafsiran tentang seni (yaitu seni menurut kaca mata Barat). Salah seorang tokoh yang menonjol dalam pemikiran ini adalah kritikus seni Jim Supangkat, yang juga menyebut dirinya “kurator independen”. Jim berpendapat, penyusunan sejarah seni rupa di Asia, yaitu gejala yang muncul pada awal dekade 1990, merupakan kelanjutan arus besar pemikiran yang bertumpu pada pluralisme dan kesadaran tentang kebedaan. Arus besar ini, yang menjadi dasar berkembangnya seni rupa kontemporer, menentang ketunggalan sejarah seni rupa modern –sebuah sejarah yang didominasi susunan sejarah Eropa dan Amerika. Menurut Jim, penyusunan sejarah seni rupa lebih mengandalkan pencatatan peristiwa-peristiwa terutama yang terjadi pada abad ke-20. Kecenderungan ini membuat persoalan seni rupa, pada sejarah seni rupa yang disusun, menjadi berjarak dari nilai-nilai budaya. “Pendekatan sejarah ini tidak (belum) mengikutkan pendekatan lain. Setelah pendekatan sejarah berlangsung selama 10 tahun lebih, belum ada tanda-tanda upaya untuk mengangkat pertanyaan ‘apakah seni rupa’ melalui sejarah seni rupa yang disusun berdasarkan tanda-tanda lokal, ” demikian Jim memaparkan dalam “Pertanyaan Apakah Seni Rupa, ” Visual Arts, # 11, Februari/Maret 2006. Betapa pun, kita tak dapat menghilangkan unsur agama, sesuatu yang dipercaya sebagai hal yang universal, ketika mempelajari aspek-aspek kebudayaan lokal. Ini sebagaimana disitir Quran mengenai universalitas manusia, antara lain melalui seruan-seruannya, “Wahai anak-anak Adam” (manusia). Bahkan antropologi, seperti yang diperkenalkan antropolog (juga politisi) S Budhisantoso, mengenal “tujuh unsur budaya universal”, yaitu bahasa, organisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan religi. Contoh mengenai tak terpisahkannya aspek-aspek lokal sebagai bagian dari keseluruhan yang bersifat universal dapat dilihat lewat profil Hanafi (lahir 1960). Ia adalah seorang perupa Indonesia yang, seperti diungkapkan kurator Jim Supangkat, mempertegas perbedaan antara lukisan abstrak Barat (Eropa dan Amerika) dan abstrakisme khas Indonesia. Hanafi punya kecenderungan untuk menampilkan gambaran pada lukisan-lukisannya, sesuatu yang coba dihilangkan dalam lukisan-lukisan abstrak Barat. Ciri abstrakisme Hanafi, yang tak berbeda dengan abstrak Barat, adalah spontanitasnya dalam berkarya. Tapi, perupa kelahiran Purworejo ini merupakan salah satu dari sedikit perupa Indonesia yang melukis menggunakan perangkat ketaksadarannya. “Kalau dihitung-hitung, saat melukis lebih banyak menggunakan ketaksadaran daripada kesadaran, ” tutur Hanafi menjelaskan proses kreasinya. “Tentu saja saya dengan sadar mengambil cat. Tapi, kebanyakan karya saya boleh dibilang berasal dari alam bawah sadar. Sebab, melukis bagi saya tak ada tujuan. ” Apa sebetulnya yang ia maksud dengan “ketaksadaran”? Tampaknya kita memang memerlukan pendekatan psikologis untuk membaca Hanafi. Jim Supangkat menunjukkan bahwa Hanafi lebih mengandalkan energi yang muncul tiba-tiba saat ia menghadapi kanvas. Menurutnya, cara kerja Hanafi muncul dari ketaksadaran yang lebih mencerminkan sifat kerja id dalam konsep Sigmund Freud mengenai karakteristik metode berpikir proses primer dan sekunder. Jim melihat id sebagai bagian dari psike yang memiliki kemampuan untuk melahirkan tingkah laku kreatif. “Id yang produktif ini

Page 22: Report Sosen

merupakan hasil proses kreatif, proses yang memunculkan orde tersembunyi dari bawah sadar manusia, ” papar Jim selaku kurator Pameran Tunggal Hanafi bertajuk Id yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (2006). “Saya lebih percaya kepada apa yang terjadi dengan sendirinya ketimbang apa yang dijadikan oleh seorang arsitek atau seniman. Kesenian tak mengenal hukum-hukum konstruksi, ” kata Hanafi sambil menunjuk ke lukisan air brush-nya berjudul Neon Yang Tak Bisa Tidur (2006). “Dalam lukisan saya bisa menempatkan neon tanpa alat bantu konstruksi, ini karena saya lebih didominasi alam bawah sadar. ” Bagaimana menjelaskan hal ini lewat pendekatan Freudian? Id menurut Freud merupakan salah satu dari tiga sistem dalam hidup psikis, bersama-sama ego, dan superego. Dr K Bertens dalam Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud mengulas id sebagai lapisan psikis paling mendasar, tempat bersemayamnya naluri-naluri seksual, agresivitas, dan keinginan-keinginan yang direpresi. Disebutkan bahwa id tak terpengaruh oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id tak mengenal waktu maupun hukum-hukum logika. Tapi, kreasi seni di tangan Hanafi tampaknya bukanlah sekadar pengalihan naluri-naluri profan dalam bentuk –menurut istilah Freud– sublimasi. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia ini punya keinginan kuat akan kejelasan makna, tepatnya, makna yang positif, yang ditunjukkan antara lain lewat kecenderungannya menampilkan angka-angka dan tanda baca tertentu dalam lukisannya. “Saya sedang berusaha mencari ketepatan dalam sebuah komposisi yang sangat matematik karena angka bukan sesuatu yang asing. Angka ada di mana-mana, di meteran tarif taksi, di ponsel, ” kata Hanafi yang pernah mengadakan pameran tunggal di Barcelona, Spanyol (2003). “Sedangkan tanda (+) berarti positive thinking. Ia merupakan harapan, suatu energi positif yang dibangun dari prasangka baik kepada setiap apa yang tejadi pada kita. Membuat kita tak gamang, tak mencurigai segala sesuatu, ” lanjutnya menerangkan tanda-tanda (+) yang banyak dijumpai pada karya lukisnya. Seperti diuraikan Jim, Hanafi berusaha menyelesaikan masalah secara struktural. Ia mengatasi persoalan secara keseluruhan bukan secara parsial. “Ada usaha untuk memunculkan sebuah tatanan baru, walaupun ia tidak merasa mengarahkan karyanya untuk membentuk sebuah tatanan yang pre-ordained (bertujuan), ” Jim menambahkan. Sebuah tatanan (orde) niscaya menunjukkan prinsip keseimbangan, yang secara sadar atau tak sadar sesungguhnya diidamkan oleh manusia. Menurut kosmologi yang islami, yang menyertakan campur tangan Tuhan, alam semesta dicipta menurut prinsip keseimbangan, meski untuk menjaga hal itu ia perlu melalui proses penghancuran (kematian) dan pemulihan. Bintang dan planet-planet beredar menurut orbitnya dan tak pernah saling menabrak, tapi sebagian benda alam itu harus menemui ajalnya, hancur menjadi debu kosmik. Alam dicipta menurut hukum keseimbangan tertentu sehingga manusia mungkin untuk mempelajarinya. Manusia mengandung unsur-unsur bumi yang menjadikannya bagian dari alam dan tak kebal terhadap hukum-hukum alam. Psikolog analitis asal Swiss yang pernah belajar kepada (tapi kemudian berseberangan dengan) Freud, Karl Gustav Jung (1875–1961), mengajukan ketunggalan seluruh umat manusia, bahwa mereka adalah genus yang satu dan mewarisi apa yang ia sebut sebagai “alam tak sadar kolektif”. Seperti diungkapkan dalam Memperkenalkan Psikologi Analitis, pendekatan terhadap Ketaksadaran (Jakarta, Gramedia, 1986), Jung menunjukkan adanya suatu alam tak-sadar yang lebih dalam dari ketaksadaran pribadi, yang bersifat kolektif, sebab dimiliki oleh seluruh bangsa manusia dan terdapat pada segala kebudayaan di dunia ini. Jung mengajukan arketipe sebagai inti atom psikis dari alam tak sadar. Arketipe merupakan pola-pola apriori yang memberi ketentuan terhadap isi material yang bersifat instinktif atau genetik. Arketipe bersifat universal dan selalu terdapat pada manusia secara potensial. Tapi, para perupa tidak akan menjelaskan hal

Page 23: Report Sosen

ini lewat kata-kata. Untuk menunjukkan universalitas manusia, mereka cenderung melukis figur berkepala gundul yang tak berasosiasi dengan kebudayaan mana pun. Perupa kontemporer asal Cina yang pernah berpameran di Indonesia, Xue Jiye, melukiskan orang-orang berkepala plontos terlibat dalam perkelahian massal. Menjuduli karya itu Bodyfight, Xue seakan mengamini konsep arketipe Jung, yaitu tentang keberadaan potensi-potensi bawah sadar yang dapat disamakan dengan naluri-naluri purba yang dimiliki manusia secara kolektif. Salah satunya, naluri untuk berkelahi atau berperang. “Yang namanya perang itu kan bisa terjadi kapan pun dan di mana pun, ” ujar Xue suatu ketika. Hanafi, tak terkecuali, punya kecenderungan untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keseluruhan, sedangkan keseluruhan itu tunggal (universal). Meskipun berkarya “tanpa tujuan”, ia berusaha mencipta tatanan baru, bergerak ke arah keseimbangan yang khas alam semesta dan telah mewarnai ketaksadarannya. Hanafi tak membiarkan id-nya bergerak liar tanpa menyertakan kerja ego-nya. Justru di bawah ego –atau psike yang sadar menurut definisi Jung– seorang individu menemukan ketaksadaran yang sebenarnya, yang telah melalui pertemuan atau dialog dengan realitas spiritual. Ketaksadaran ini lebih lengkap ketimbang sekadar naluri-naluri seksual yang mendasari id Freudian. Dalam kasus Hanafi, ketaksadaran ini mencakup kebutuhan akan makna, akurasi angka dan data, penghormatan kepada orang tua (terutama ibu), optimisme, kerinduan akan harmoni dan perbaikan (sebagai lawan dari kerusakan), dan sikap pasrah terhadap ketentuan ilahiah. Mungkin Jung benar ketika menyebutkan tubuh manusia merupakan museum ogan-organ tubuh dengan sejarah evolusi yang panjang, dengan psike (jiwa) masih erat dengan psike binatang. Namun, manusia tak melulu terdiri dari sekumpulan bahan asal planet biru ini. Kitab suci –salah satu rujukan penting yang patut dijadikan hipotesis seperti klaim-klaim ilmiah lainnya– menyebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari tanah liat, lalu meniupkan ruh-Nya ke dalam diri manusia (Quran Surah 15: 28-29). Demikianlah, psikologi yang islami akan membedakan manusia dengan makhluk lain di dunia dalam segi ruhani. Hanya manusia yang memiliki unsur ruh yang bersifat kekal. Jasad manusia boleh hancur bersama tanah, tapi ruhnya akan tetap abadi dan berkelanjutan di kehidupan akhirat. Di sini, hanya individu yang telah mengalami pencerahan belaka yang mampu mengarahkan naluri-naluri purba sejalan dengan nilai-nilai spiritual yang menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Sebagai seorang muslim, Hanafi akan menyebut pencerahan sebagai hidayah, suatu petunjuk untuk mengaktifkan unsur spiritual yang telah menyertai kehadirannya di dunia agar sesuai dengan kehendak Tuhan. Unsur spirituallah yang berkembang bersama intelijensia seseorang, suatu bentuk kesadaran yang bahkan dipergunakan dalam proses kreasi seorang perupa ketika mencipta karya abstrak sekalipun. Diakui atau tidak, intelijensialah yang menundukkan naluri-naluri purba Hanafi sehingga ia mampu menghadirkan kejelasan makna dalam karya-karyanya. Sementara itu, perkembangan seni rupa kontemporer semakin memperlihatkan adanya keberagaman tema maupun media. Keberagaman karya itu dinilai menggembirakan, sehinga kurator Galeri Lontar Asikin Hasan pun memujinya. “Cakupan seni rupa makin melebar, bukan cuma lukisan, tapi ada instalasi, video, dan lain-lain, ” ujar kurator yang banyak mengkurasi seni rupa kontemporer ini. Asikin bicara soal New Media Art (Seni Media Baru), sebuah diskursus sosial di Barat yang kemudian populer menjadi gerakan seni dengan karakternya yaitu menggabungkan elemen-elemen teknologi dan unsur-unsur seni. Di sini teknologi media, termasuk teknologi informasi, merupakan lahan subur tempat berseminya benih-benih gerakan ini. Munculnya televisi, video, komputer, internet, games, dan telepon seluler beserta fasilitas teks dan image-nya membawa perubahan sosiokultural masyarakat. Betapa tidak. Teve semula dianggap sebagai

Page 24: Report Sosen

alat propaganda di mana para penguasa berbicara satu arah. Ketika muncul teve-teve swasta, giliran pengusaha mencekoki konsumen dengan produk-produknya (yang juga menentukan eksistensi siaran edukatif-intelektualnya). Lalu, penyanyi dangdut berjoget erotis ditonton para pemuda tanggung. Teknologi informasi juga membawa perubahan yang tidak kecil. Internet, misalnya, memudahkan orang mengakses berbagai informasi pengetahuan ketimbang mencarinya di perpustakaan pusat kota dengan waktu berkunjung yang terbatas (ditambah dengan kemacetan di jalan). Tapi, sisi negatifnya, media yang sama menyediakan jutaan images yang seakan tak menyisakan ruang lagi bagi fantasi seseorang (termasuk fantasi seksual), yang bisa membuatnya ketagihan mengarungi jagat maya (surfing). Demikianlah, seni media baru mengemuka dengan ciri-cirinya seperti terbuka, interaktif, permisif, dan terkadang tampak main-main sebagai suatu diversi atau hobi. Perupa Krisna Murti menyebutkan, karena teknologi mutakhir dimanfaatkan oleh siapa pun, pekerja media baru ini datang dari wilayah yang beragam: seni rupa, sinematografi, ilmu komunikasi, antropologi, arsitektur, seni pertunjukan, teknologi, multimedia, hingga otodidak. Kelihatannya, mereka merasa berhak menciptakan karya seni sesuai pengenalan mereka terhadap medium yang mereka akrabi sehari-hari. Sebagaimana layaknya studi wilayah yang merupakan kajian antardisiplin ilmu (sejarah, sosial, budaya, bahasa, sastra, dan lain-lain yang terdapat di wilayah atau negara tertentu), cakupan seni rupa kini mencakup bidang-bidang beragam seperti multimedia (termasuk video dan internet),crafts (kriya), fotografi, arsitektur, billboards iklan di jalan-jalan, grafiti di dinding-dinding ruang kota, daur ulang barang-barang bekas, display dan interior di pusat-pusat perbelanjaan, serta –seperti ditambahkan dosen seni rupa ITB Mamannoor– seni rupa fiber dan hologram. Toh, bidang-bidang (atau disiplin ilmu) yang partikular itu tak dapat dipisahkan dari yang universal. Di sini, para praktisi seni media baru Indonesia terbukti mampu menunjukkan prestasi yang prestisius, setidaknya di tingkat regional dalam Asean New Media Art Competition (Februari 2007). Seperti diumumkan ketua Dewan Juri Prof Edward Cabagnot dari Filipina, dari enam Pemenang Pertama Kompetisi Seni Media Baru Asean, tiga orang berasal dari Indonesia. Mereka adalah Maulana Muhammad Pasha, dengan karyanya berjudul,Endless Road; Ari Satria Darma, dengan karya film pendeknya berjudul Iqra’ (2005); dan Muhammad Akbar, dengan karyanya Young Tourist from the Near Countries(2006), juga dalam kategori Moving Image. Karya Maulana yang alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) dalam kategori Moving Image ini menampilkan film berdurasi enam menit 10 detik tentang penelusuran gang-gang sempit di ibu kota untuk mencari sebuah taman kanak-kanak. Film pendek ini terbukti pantas menyandang gelar juara dalam kompetisi seni media baru tingkat Asean yang diikuti para seniman, praktisi media, pelajar dan mahasiswa, peneliti muda teknologi, dan komunitas seni dari seluruh kawasan Asia Tenggara. Sedangkan Ari Satria Darma melontarkan ide menggelitik dalam karyanya Iqra’, bagaimana seandainya huruf-huruf menghilang dari peradaban manusia? Dengan cermat alumnus Institut Kesenian Jakarta ini melenyapkan secara berangsur huruf-huruf yang semula tedapat di tempat-tempat umum, marka-marka jalan, dan toko-toko. Adapun Muhammad Akbar, alumnus IISIP, menampilkan ekspresi para remaja –tampaknya remaja Indonesia– yang secara bergantian diberi label “negara asal” mereka masing-masing, yaitu negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Akbar tampak ingin menyampaikan pentingnya komunikasi dan mekanisme saling mengenal. Lihat saja, profil wajah penduduk di negara-negara di kawasan Asia Tenggara nyaris tak ada bedanya satu sama lain. Hanya dengan saling menyapa –berbicara satu sama lain– kita dapat mengetahui identitas masing-masing. Dan bukankah manusia diciptakan bersuku-suku dan

Page 25: Report Sosen

berbangsa-bangsa supaya saling mengenal (Quran S 49: 13)? Maka, jika ketunggalan sejarah seni yang didominasi Barat itu sulit diterima, kesamaan makna hakiki seni seperti yang dipersepsi seluruh manusia dari berbagai wilayah budaya akan lebih masuk akal. Pada hakikatnya, seni mengaktualisasikan potensi seni yang secara universal dimiliki seluruh manusia. Potensi yang dimaksud cenderung akan keindahan, yaitu hal-hal yang bila dipersepsi secara indrawi dapat memberikan kenikmatan psikis maupun spiritual. Di sini, penulis menilai bahwa keindahan adalah salah satu aspek penting dari akhlak (moral). Wilayah akhlak tak hanya berbicara soal baik dan buruk. Akhlak bahkan dicanderakan mengandung semua nilai yang diperlukan manusia untuk keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (lihat Rachmat Taufiq Hidayat 1990, Khazanah Istilah Al-Quran, Bandung, 1990). Akhlak mencakup unsur-unsur seperti keberanian, ketekunan, ketelitian, kedisiplinan, kesabaran, ketegasan, kehalusan (subtlety), kelembutan, semangat dan gairah, empati, kasih sayang, kecenderungan akan perubahan yang lebih baik, Kecenderungan akan keindahan, kecenderungan akan keseimbangan, kecenderungan akan kejelasan makna, kecenderungan akan perdamaian; pendeknya, hal-hal yang amat berharga dalam suatu pencapaian karya seni. Akhlak memperkuat landasan seni, bagaikan fondasi mengokohkan bangunan. Akhlak adalah acuan bagi seluruh aktivitas manusia, termasuk aktivitas seni. Candi Borobudur tak akan berdiri dengan megah dan menjadi salah satu ikon kebudayaan dunia jika para senimannya tak punya moral yang kuat buat menyelesaikan proyek religius tersebut. Lalu, Taj Mahal di India menjadi tanda akan salah satu ungkapan kasih teragung pada masanya (1631 M), ketika penguasa muslim Sultan Syeh Yehan membangun karya yang megah itu dilambari suatu energi cinta yang tak pernah pudar terhadap permaisurinya yang amat ia kasihi, yang telah meninggal dunia lebih dahulu, Mumtaz Mahal.Salah satu unsur akhlak yang penting dalam seni adalah, bersih. Kebersihan adalah sebagian dari iman, demikian hadis Nabi yang popular. Kebersihan bahkan merupakan syarat minimal dari keindahan, karenanya, bersih itu indah. Kritikus Agus Dermawan T, misalnya, tak setuju adanya penggunaan barang najis untuk karya seni, apalagi untuk membuat patung orang suci (yang bahkan dapat digolongkan sebagai tindakan penistaan agama). Dalam bukunya, Bukit Bukit Perhatian (Jakarta 2004), alumnus ASRI (kini ISI) Yogyakarta ini berpendapat bahwa kegundahan publik atas perkembangan moral seni juga terjadi di Inggris sekalipun, yang jauh lebih liberal ketimbang Indonesia. Di sini, masyarakat mengecam pemilihan hasil kompetisi Turner Prize yang diadakan Tate Gallery’s Patrons of New Art. Pasalnya, pada 1999 kompetisi yang kontroversial ini memenangkan karya Chris Ofili, The Holy Virgin Mary, yaitu patung Bunda Maria yang dibuat dan diseraki kotoran gajah, dengan disertai cuplikan foto-foto yang diambil dari majalah porno. Akhirnya, sebagaimana kita saksikan dalam perkembangan mutakhir yang melanda jagat seni, seni rupa tidak dapat berdiri sendiri. Seni juga bersifat fungsional, dan menjadi komoditi perdagangan. Mengapa tidak? Yang penting halal, melibatkan interaksi (dan transaksi) yang suka sama suka serta tak mengandung unsur penipuan. Seni menjadi bagian dari aktivitas muamalat. Di sini, selain publik penikmat seni, ada pula pengayom, penguasa, dan pemodal yang ikut berperan dalam menentukan eksistensi seni rupa. Produksi karya kriya sebagai komoditas ekonomi bukanlah sesuatu yang tabu. Bahkan, hal yang sama berlaku bagi karya-karya “murni” seni rupa lainnya. Almarhum Prof Dr Sudjoko yang guru besar ITB (meninggal tahun 2006) menyebutkan, citra bahwa seniman harus membuat lukisan untuk ekspresi pribadi melulu tanpa ambil pusing kemauan orang lain, sebetulnya adalah citra baru. Sudjoko menyebutkan hal ini saat mengantar katalog pameran koleksi Dewan Kesenian Jakartan (DKJ), Seni: Pesanan (Jakarta, Komite DKJ, 2006). Seperti

Page 26: Report Sosen

diketahui, DKJ pernah menggelar pameran “pesanan” tersebut pada 1974 yang disponsori perusahaan negara Pertamina. Menurutnya, sesungguhnya sangat banyak seniman besar yang bekerja untuk macam-macam “Pertamina”, baik itu yang namanya Rembrandt, Raden Saleh, atau Picasso. Bahkan, “sang Pertamina” ini bisa juga rakyat jelata, asal berduit banyak. Pada 1641 seorang pelancong Inggris, John Evelyn, melaporkan bahwa pelukis-pelukis Belanda disokong oleh petani, penjagal, tukang sepatu, pandai besi, dan pembakar roti. Para petani lebih berani beli satu lukisan dengan harga 2000 sampai 3000 florin (100 florin setara dengan 100 ribu rupiah). K ata Evelyn, lukisan-lukisan ini bergantungan di bengkel besi dan di kandang sapi. Para pelukis besar seperti Renoir, Monet, Gauguin juga punya pemodal tersendiri, yang sering menanggung hidup mereka, sungguh pun karya-karya mereka tidak laku. Mereka adalah pedagang-pedagang seni. Sudjoko akhirnya mengajak kita untuk menarik pelajaran, bahwa, mutu seni tidak ditentukan oleh siapa yang memulai kerja seni. Begitu pun kreativitas, bisa mulai dari seniman sendiri, bisa pemesan –yang mengatur bentuk dan isi seni, “Bisa masyarakat, bisa adat, bisa ideologi, bisa politik, bisa agama”. Bicara soal pemilahan antara seni dan kerajinan (craft), Sudjoko mengingatkan bahwa jagat seni rupa punya pabrik lukisan raksasa yang dimiliki oleh Peter Paul Rubens (1577–1640), seorang seniman besar. Pegawainya banyak sekali, di antaranya terdapat pelukis-pelukis seperti Anthonie van Dyck dan Jacob Jordaens. “Kerjaan Rubens adalah cari order, lantas ia membuat sketsa-sketsa kecil, lalu sketsa-sketsa ini diberikan kepada para pegawainya, yang kemudian membesarkan sketsa Rubens pada kanvas-kanvas besar dan memulasnya dengan warna-warna. Sementara itu Rubens duduk di kursi dan memberi macam-macam komando (instruksi), lantas ia pergi berdiplomasi (dia itu duta besar!) dan cari pesanan, dan sekembalinya di pabriknya ia masih sempat ambil kuas, membubuhi finishing touches kepada barang 10 lukisan, dan tentunya plus tanda tangannya. ” Sudjoko juga menyebut contoh dari dunia Timur. Di Jepang, sejak 728 terdapat pabrik-pabrik lukisan yang semula bernama Edakumi-ryo (di Nara) dan kelak terkenal dengan nama Edokoro. Bisa diinterpretasikan sebagai ‘biro pelukis’, setiap lukisan di sana dikerjakan sejumlah orang: ahli desain, ahli pewarnaan, ahli tinta, “dan macam-macam kacung ikut campur. ” “Tahukah Anda, ” ujar Sudjoko, “Leonardo da Vinci pernah jadi kacungnya Andrea Verrochio? Kerjaan dia misalnya mencampur-campur cat, mencuci kuas, dan beli makanan. ” Akhirnya, Sudjoko menyimpulkan, “buat apa malu mengaku sebagai industri dan sebagaibisnis? Sampai di sini setidaknya kita bisa menyimpulkan, yang disebut seni bukan hanya ekspresi invidual tentang keindahan, melainkan juga dapat menjadi bagian dari karya kolaboratif yang bersifat fungsional. Seni melengkapi hasil budaya lainnya, seperti bangunan, kerajinan, perabotan, dan buku ilmiah (misalnya berupa ilustrasi). Seni selamanya begitu, dari zaman Mesir sampai sekarang. ” Lalu, Islam bukanlah aliran atau genre kesenian tertentu. Yang disebut kesenian Islam adalah istilah yang tak punya batasan ketat tentangnya. Seni dapat digolongkan ke dalam ibadah muamalat dengan “aturan main” bahwa semua boleh kecuali bila ada nash yang melarangnya. Bahkan, semua karya seni, sepanjang tak melanggar akhlak yang islami, adalah seni Islam. Sebuah definisi yang longgar, yang justru memberi peluang yang luas bagi para seniman untuk berkarya. (agung puspito)

Sumber: http://durian19.wordpress.com/2008/02/12/islam-dan-seni-rupa/

Page 27: Report Sosen

KESENIAN AKSI MUDA

  Sebagian orang menyebut kesenian ini sebagai “peksi muda” yang artinya “burung muda” yang lincah. Dimaksudkan untuk menggambarkan dinamisnya para pemuda dalam olah gerakan silat dan tarian. Kesenian ini sudah hampir punah karena perubahan jaman. Di Banyumas, kelompok kesenian ini hanya tinggal satu kelompok tua yaitu di kecamatan Tambak, Banyumas  timur.  Kelompok ini menamakan dirinya kelompok aksi muda “setia muda”. Meskipun  banyak menggunakan kata muda, namun pada kenyataannya mereka sudah tua-tua, dan hanya beberapa yang masih terlihat muda (generasi penerus). Kesenian ini dipimpin seorang pendekar yang menguasai betul tentang gerakan pencak silat, tenaga dalam, magic, tarian, ketukan musik dan keselarasannya. Selain sebagai hiburan yang atraktif, kesenian ini mengandung berbagai makna dalam setiap lagu dan gerakannya. Menurut sejarahnya, kesenian ini muncul pada jaman colonial belanda, pada masa penjajahan. Pada jaman dulu kesenian ini merupakan modifikasi dari latihan beladiri pencak silat, karena beladiri waktu itu dilarang oleh Belanda. Jadi dengan kearifan local dan kecerdasan para pendekar, maka dibuatlah sebuah kesenian yang menggabungkan unsure musik, tari, nyanyian (sholawat dan syiir) dan pencak silat. Meskipun berkesenian, mereka tidak meninggalkan unsure pencak silat sebagai bela diri.Kesenian ini diawali oleh pembacaan sholawat bersama sambil diiringi oleh rebana dan kendang. Kemudian di sambung rodat atau tarian sambil duduk dan berdiri. Lalu dilanjutkan dengan gerakan-gerakan dasar silat untuk pemanasan dengan masih diiringi musik sholawatan. Lantas disambung dengan tarung silat bergantian yang masing-masing orang. Setelah itu dilanjutkan dengan adu tenaga dalam dengan berbagai gaya. Sebagai puncak acara diperlihatkan aksi-aksi debus yang menegangkan serta aksi-aksi kesurupan sampai selesai.

Page 28: Report Sosen

SHOLAWAT MONTRO

Sholawat Montro di temukan di daerah Kauman, Pleret, KabupatenBantul, DIY. Kesenian ini pencipta kesenian ini ialah Kanjeng PangeranYudhanegara, salah satu menantu Sultan Hamengkubuwono VIII yangkebetulan juga menjadi panglima laut Hindia Belanda. Kesenian ini padamulanya hanya berkembang di lingkungan kraton untuk memperingatiMaulid Nabi. Namun, seiring dengan perkembangannya, kesenian iniakhirnya berkembang menjadi kesenian rakyat. Kesenian ini diawalidengan pembacaan kandha, yaitu semacam salam pembuka kepadapemirsa yang disampaikan oleh seorang dalang. Prosesi kemudiandilanjutkan dengan pembacaan lagu shalawatan dalam bahasa Arab yangdilafalkan seperti bahasa Jawa dan juga bahasa jawa. Pembacaan syairshalawatan ini dinyanyikan dengan diiringi musik dan tarian. Alat musikyang digunakan ialah beberapa rebana dalam berbagai ukuran denganfungsi nada masing-masing (ada yang berfungsi sebagai kendang, gong,kempul, dan lain-lain). Sementara itu, tarian yang mengiringi dilakukandengan duduk dan berdiri, sambil sedikit jalan. Pertunjukan kesenian inidipimpin seorang dalang (Mbah H. Suratijan berusia 73 tahun), diiringi paravocal dan penabuh yang duduk disekitar dalang. Para penari ( biasanyadilakukan 8-10 orang) melakukan tarian dan terkadang juga melakukansautan secara serempak.

Sampai saat ini kesenian ini masih ada dan berkembang di daerahKauman, Pleret Bantul. Ada 2 generasi montro yaitu generasi tua (orang-orang dewasa/tua) dan generasi mudah (anak-anak). Kesenian ini seringditampilkan setiap ada event kebudayaan di DIY sebagai icon kabupatenBantul. Dan dengan kepemimpinan seorang Maestro kesenian Montro (H.Suratijan) kesenian ini masih bertahan sampai sekarang dan berkembangmenjadi 2 versi ( lama dan kreasi baru.

Page 29: Report Sosen

SHOLAWAT RODAT

Kesenian ini salah satunya ditemukan di daerah “kota santri” yaitu daerahJejeran, Wonokromo, Bantul. Kelompok kesenian Sholawat Rodat inimenamakan dirinya Kelompok “Lintang Songo”.Kesenian Rodat merupakan salah satu kesenian tradisi di kalanganummat Islam. Kesenian ini berkembang seiring dengan tradisimemperingati Maulid Nabi di kalangan ummat Islam. Kesenian inimenggunakan syair atau syiiran berbahasa arab yang bersumber dariKitab Al-Berzanji, sebuah kitab sastra yang masykur di kalangan ummatIslam. Isi dari sholawat rodat adalah bacaan sholawat yang merupakanpuji-pujian terhadap Nabi Muhammad SAW.Sesuatu yang khas dari kesenian ini ialah tarian yang mengiringi syair(yang dilagukan) dan musik rebana yang dinyanyikan secara bersama-sama (berjamaah). Tarian inilah yang disebut dengan “rodat”. Tarian iniditarikan dengan leyek (menari sambil duduk).

Sumber: http://islamkuno.com/category/seni/

Page 30: Report Sosen

Puisi Chairil Anwar

Aku (Chairil Anwar)Kalau sampai waktuku‘Ku mau tak seorang ‘kan merayuTidak juga kauTak perlu sedu sedan ituAku ini binatang jalangDari kumpulannya terbuangBiar peluru menembus kulitkuAku tetap meradang menerjangLuka dan bisa kubawa berlariBerlariHingga hilang pedih periDan aku akan lebih tidak perduliAku mau hidup seribu tahun lagi

Sumber: http://tunas63.wordpress.com/2008/08/10/aku/

Page 31: Report Sosen

Filosofi Tumpeng

Tumpeng amat erat hubungannya dengan kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Hampir dalam setiap upacara, baik yang sifatnya kebahagiaan maupun kesedihan, tumpeng

selalu hadir. Kehadiran nasi yang ditumpuk berbentuk kerucut ini umumnya diikuti aneka

hidangan yang sarat akan perlambang, makna, dan harapan. Namun seiring dengan

perkembangan zaman, lauk-pauk tersebut mulai dimodifikasi. Beberapa hidangan mulai

diganti atau dihilangkan. Toh, beberapa syaratnya masih dipenuhi, terutama yang ada

perlambangnya. Nah, mari kita lihat hal-ihwal tumpeng lebih dalam lagi. 

Tumpeng adalah tumpukan nasi yang berbentuk kerucut, menjulang ke atas. Bentuk ini

menyimpan harapan agar kehidupan kita pun semakin "naik" dan "tinggi". Karena itulah

bentuk kerucut tetap harus dipertahankan dan tidak diubah dalam bentuk lain sekalipun

mungkin menjadi indah dipandang dalam bentuk baru.

Awalnya tumpeng selalu hadir dalam warna putih. Tetapi untuk keindahan, orang mulai

memberi warna kuning pada tumpeng. Seiring dengan itu, tumpeng kuning pun mendapat

tempat dalam upacara-upacara khusus. Padahal dulunya kalaupun nasi kuning harus hadir

dalam sebuah upacara, tidak pernah dibuat tumpeng.

Nasi berbentuk kerucut ini kemudian ditata dalam wadah beralas daun yang dihias cantik. Di

sekeliling nasi ditaruh aneka lauk yang jenisnya sebetulnya sudah tertentu. Tetapi sekarang

tidak semua lauk-pauk lengkap hadir. Kalaupun lengkap, hanya bahan utamanya saja yang

ada, masakannya sudah disesuaikan dengan selera si penyelenggara upacara. Misalnya, ikan

lele sudah diganti jenis ikan lain, seperti bandeng isi. Meskipun begitu, ada baiknya setiap kali

menyediakan tumpeng, Anda tidak menghilangkan bahan-bahan bermakna. Bukankah

tumpeng hadir bukan sekadar suguhan masakan, tetapi seremonial sifatnya.

Berikut adalah masakan/bahan masakan yang sebaiknya ada dalam tumpeng karena begitu

bermakna.

1. AYAM

Ayam biasanya merupakan korban yang mewakili hewan darat.

Biasanya dalam tumpeng kuning, ayam dibuat ayam goreng kuning. Sementara dalam

Page 32: Report Sosen

tumpeng putih, dibuat ayam ingkung (ayam utuh yang dibakar). Kini ayam bisa dibuat lebih

bervariasi. Misalnya, ayam gorengnya bisa diganti ayam isi, rolade ayam, atau rendang ayam.

Bisa juga hanya hati ayamnya yang diambil lantas dibuat sambal goreng hati. Kadang hewan

darat tidak diambil dari ayam, tetapi sapi. Misalnya dibuat sambal goreng kreni.

2. IKAN

Ikan sudah bisa dipastikan mewakili hewan air. Sebetulnya

yang harus menyertai tumpeng adalah ikan lele. Karena hewan ini melambangkan kerendahan

hati sesuai dengan kebiasaan hidup ikan lele yang selalu berenang di dasar sungai. Kebiasaan

hidup lele juga diharapkan akan diterapkan dalam kehidupan karier kita, yakni agar tidak

sungkan meniti karier dari bawah. Ikan lele sering kali diganti orang dengan jenis ikan

lainnya. Misalnya, bandeng. Melalui hidangan ini orang berharap rezekinya selalu bertambah

seperti duri ikan bandeng yang jumlahnya tak terbatas itu.

3. IKAN TERI/PETEK

Kadang hewan air hanya diwakili oleh ikan teri dalam bentuk

rempeyek atau ikan petek yang digoreng dalam balutan tepung. Keduanya melambangkan

kerukunan. Ingatlah jenis ikan ini yang hidupnya selalu bergerombol.

4. TELUR

Page 33: Report Sosen

Telur biasanya dibuat dadar atau pindang. Sebetulnya telur dalam

tumpeng harus hadir utuh bersama kulitnya karena kulit telur, putih telur, dan kuning telur

melambangkan tindakan yang harus kita lakukan dalam kehidupan yakni menyusun rencana

dengan baik, bekerja sesuai rencana, dan mengevaluasi hasilnya demi kesempurnaan. Namun

demi kepraktisan, kalaupun telur hadir utuh (bukan didadar), selalu sudah terkupas dan

dipotong dua.

5. URAP

Urap sayuran mewakili tumbuhan darat. Jenis sayurnya tidak

dipilih begitu saja karena tiap sayur juga mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang

harus ada adalah:

o Kangkung

Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat. Begitu juga yang diharapkan pada manusia yang

harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi apa pun.

o Bayam

Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman dan damai).

o Taoge

Di dalam sayur kecil ini terkandung makna kreativitas tinggi. Hanya seseorang yang

kreativitasnya tinggi, bisa berhasil dalam hidupnya.

o Kacang Panjang

Kacang panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia pun selalu

berpikir panjang sebelum bertindak, selain sebagai perlambang umur panjang. Kacang

panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir sebagai hiasan yang mengeliling

tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.

Page 34: Report Sosen

o Kluwih/timbul

Biasanya dibuat semacam lodeh. Harapannya agar rezeki kita selalu berlebih. Juga

kepandaian, dan perilaku kita. Lambang lainnya adalah kita bisa timbul di mana-mana,

lebih tinggi dari orang lainnya. Kluwih sudah mulai ditinggalkan orang. Konon karena

maknanya sudah termaktub dalam sayuran dan hidangan lain.

6. Lauk Lain

Karena tumpeng yang bermakna tadi biasanya juga untuk disuguhkan, maka lauk-lauk di atas

masih dilengkapi dengan hidangan lain. Misalnya, perkedel, tahu dan tempe bacem, dan

keringan (seperti kering tempe, kering kentang, atau kering dendeng). Urapan pun dibuat lebih

komplet. Tentu saja penambahan ini sah-sah saja. Yang penting perlambang di atas sudah

dipenuhi.

JENIS TUMPENG

Ada beberapa jenis tumpeng yang selama ini digunakan dalam upacara khusus. Satu jenis

tumpeng bisa digunakan dalam berbagai upacara. Jenis-jenis tumpeng tersebut antara lain:

o Tumpeng Nasi Kuning

Isinya tak beda jauh dengan ketentuan tumpeng pada umumnya, tetapi biasanya

ditambahkan perkedel, kering-keringan, abon, irisan ketimun, dan dadar rawis. Tumpeng

ini biasa digunakan untuk kelahiran, ualng tahun, khitanan, pertunangan, perkawinan,

syukuran dan upacara tolak bala.

o Tumpeng Putih

Tumpeng putih juga tidak berbeda jauh dengan tumpeng kuning sebab sebetulnya tumpeng

kuning merupakan modifikasi dari tumpeng putih. Cuma saja, biasanya tumpeng putih

tidak memakai ayam goreng, tetapi ayam ingkung yang kadang disertai bumbu areh.

Tumpeng putih juga memakai tahu dan tempe bacem, dan gereh petek.

Page 35: Report Sosen

o Tumpeng Nasi Uduk

Ini adalah tumpeng nasi gurih yang disertai ayam ingkung bumbu areh, lalapan, rambak

goreng, dan gorengan kedele hitam. Biasanya digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.

Disebut juga

Tumpeng Tasyakuran.

o Tumpeng Pungkur

Tumpeng ini hadir dalam upacara kematian, saat jenasah akan diberangkatkan. Isinya

hanya nasi putih yang dihias sayuran di sekeliling tubuh tumpeng. Tumpeng kemudian

dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.

o Tumpeng Robyong

Tumpeng ini biasanya diletakkan dalam bakul lalu dirobyong dengan aneka sayuran.

Bagian puncak diberi telur ayam, bawang merah, terasi, dan cabai. Di dalam bakul, selain

nasi terdapat juga urap, gereh petek, dan telur ayam rebus.

BAGI REZEKI

Saat upacara atau peringatan tertentu, tumpeng biasanya kemudian dipotong bagian atasnya

oleh penyelenggara acara, orang yang berulang tahun, atau orang yang dihormati. Potongan itu

biasanya diberikan kepada orang yang dianggap penting, dituakan, atau dihormati saat itu.

Setelah dipotong, tumpeng boleh disantap oleh mereka yang hadir sebagai perlambang

membagi rezeki.sdp

Sumber: http://kbmih.blogspot.com/2006/07/filosofi-tumpeng.html

Page 36: Report Sosen

Kembar Mayang dan Pernikahan Adat Jawa

Kembar Mayang memiliki arti kiasan yang mengandung harapan dan dan cita-cita masa depan. RangkaianKembar Mayang umumnya dibuat melengkapi upacara pernikahan adat Jawa. Dibuat sebagai persyaratan dan sarana calon pengantin perempuan berumah tangga. Dalam kepercayaan Jawa, kembar mayang hanya dipinjam dari dewa, sehingga apabila sudah selesai prosesi pernikahannya akan dikembalikan lagi ke bumi dengan cara dibuang diperempatan jalan atau dilabuh melalui air.Dua kembar mayang tersebut dinamakan Dewandaru dan Kalpandaru. Dewandaru mempunyai arti wahyu pengayoman. Maknanya adalah agar pengantin pria dapat memberikan pengayoman lahir dan batin kepada keluarganya. Sedangkan Kalpandaru, berasal dari kata Kalpa yang artinya langgeng dan Daru yang berarti wahyu. Maksudnya adalah wahyu kelanggengan, yaitu agar kehidupan rumah tangga dapat abadi selamanya.

Page 37: Report Sosen

Kelengkapan Kembar Mayang umumnya terdiri atas:

Daun Janur dan 4 unsur anyaman :keris, belalang, payung dan burung

Sepasang kelapa hijau muda + bentuk clorot dari janur

Paidon kuningan 2 buah (tempat meludah)

Buah nanas muda 2 buah

Daun kemuning, nering, alang-alang dan daun croton

Bunga  melati, kantil dan bunga pudak

Bunga Patra Menggala/bunga merak

kain sindur ( berwarna merah dan putih ).

Arti dan Makna Kembar Mayang Tiap unsur pada rangkaian kembar mayang memiliki arti tersendiri:Daun janur melambangkan cahaya, dimaksudkan agar pengantin memilki sinar yang mempesonaLipatan-lipatan janur :

Keris-kerisan : Melindungi dari bahaya dan berhati-hati dalam kehidupan

Belalang         : Agar tidak ada halangan di kemudian hari

Payung          :  Pengayoman atau perlindungan

Burung           : Hidup rukun dan bahagia seperti burung.

Sumber: http://www.anadisya.com/2010/11/kembar-mayang-dan-pernikahan-adat-jawa.html

Page 38: Report Sosen

Payung Pernikahan

Page 39: Report Sosen

Kamis, 9 Desember 2010

Pertemuan Ke 3

Sosiologi Seni

Masyrakat Timur dan Masyarakat Barat Dalam Kesenian

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Budaya – masyarakat Barat: corak dan dasarnya.

Budaya – masyarakat Timur: corak dan dasarnya.

Budaya masyarakat sejak jaman primitive menjadi milik bersama. berbeda dengan

jaman sekarang yang menjadi milik hak seseorang oleh karena itu ada:

Seni dan masyarakat tujuannya baik. Contoh: seni dalam kepentingan revolusi industri

hubungan antara sains dan teknologi.

Seni dan Masyarakat

Kepentingan ekonomi: revolusi industri.

Kepentingan bermasyarakat sendiri (berkomunitas)humanisme

Kepentingan politik (protensius kelompok)

Desain

Sains Teknologi

Page 40: Report Sosen

Terjadinya revolusi industri ditandai dengan jaman Renaissance atau jaman

pencerahan. Seni dan ekonomi saling mengisi sehingga muncul yang desebut kapitalisme.

Contohnya: music keroncong Gesang, jika kita ingin mendengarkan lagunya melalui

rekamannya.

Munculah istilah design atau seni rupa yang dibuat secara perancangannya. Dalam

design ada yang disebut mass produk/produksi missal, karena masyarakat tidak sedikit.

Berbeda dengan kepentingan komunitas karena berhubungan dengan humanism, maka dari itu

ada yang disebut Desain Komunikasi Visual, untuk masyarakat berkomunikasi. Mengutuhkan/

menjamin/menjaga keutuhan masyarakat. Kaitannya dengan ekonomi, kelompok, dan koloni.

Kepentingan politik (pretensius kelompok) = seni digunakan sebagai alat. Adanya

penemuan Theophile Goutier: L’art pour L’art. Seni digunaka sebagai alat provokasi. Politik

nasakom= menjadi pemecah belah. Semua itu merupakan pengaruh dari Negara barat.

Komunis dari Itali: Maxis= sama rata sama rasa. Masing-masing ,empunyai dokma yang

berbeda. Maka munculah Manikebu= manifesto kebudayaan. Kemunculannya diolok-olok dan

ditolak.

Corak dan dasar masyarakat barat berfikir rasionalis. Rnaissance, Re= lahir kembali

dari masyarakat yang berkebudayaan tinggi yaitu Romawi dan Yunani. Contohnya: huruf yang

kita gunakan. Tradisi ini berkembang di masyarakat barat yang batas baratnya yaitu Yunani

dan Romawi, kebagian timur disebut timur. Dasarnya selalu rasional dan real/nyata dalam

DKV

Ekonomi = iklan dan promosi perusahaan

Kelompok= warna, seragam,dan lambang.

Koloni= lambang di sebuah bangsa.

Page 41: Report Sosen

logika. Akhirnya barat membangun Common sens (berakal sehat). Sumbangan tradisi

Yunaniterhadap masyarakat barat sangat besar.

Masyarakat Timur

Pada mulanya berasal dari daerah Asia dan dikebanyakan kepulauan yang kecil-kecil

dan didominasi oleh laut. Asia letaknya disebelah timur semenanjung sepatu. Terdapat benua

yang luas yaitu Cina dan India/Jasirah. Kedua bangsa tersebut senang berkelana ke pulau-

pulau, maka bercampurlah menjadi melayu, campuran india dan cina. Corak dan dasarnya

sangat berbeda dengan barat yang bersumber di Eropa. Sedangkan timur bersumber di cina.

Masyarakat timur menghasilkan budaya timur :

1. Citra manusia timur adalah : manusia Indonesia masyarakat Indonesia memiliki

kebudayaan timur. Manusia Indonesia berasal dari pithecanthropus homo

mojokertensis dan pithercantropus homo javanicus di trinil.

Corak dan dasar.

1. Intuitif, emosional, ekspresif, mitis, magis, dan simbolis. Manusia timur cenderung

dekat dengan ‘alam’ atau cosmos. Cosmos selalu berhalangan denagn ‘cheos’.

Masyarakat dalam kebudayaanyadekay dengan alam, namun dapat merusak alam oleh

dirinya sendiri. Contoh: hujan deras mengakibatkan banjir.

Cosmos

Alam

Cheos

System

Mikro Makro

Kepercayaan

Keilmuan

Filsafat

Estetik

Page 42: Report Sosen

Manusia Indonesia berfikir bahwa alam menguasai manusia.

Ada 4 sistem:

1. System kepercayaan

2. System keilmuan

3. System Filsafat

4. System Estetik

Manusia berlindung di alam. Contohnya gunungan wayang, tumpeng selametan, dan

payung pengantin. Berfikir secara intuitif, emosional, ekspresif. Berfikir menurut perasaan dan

angan-angan. Membuka cakrawala baru, diantaranya ekspresi magis dan mitis.. contoh:

sinjang batik sidomukti dalam pernikahan dan sidoluhur. Manusia Indonesia secara mitis,

magis, emosional, artinya memproyeksikan alam pada dirinya sendiri. Motif sidoluhur di

ambil dari alam flora dan fauna(burung dan bunga). Manusian magios menguasai alam dengan

sihir dan tenung.

2. Harapan-harapan masyarakat timur. Relasi antar individu terasa sangat kuat. Hal ini

Nampak pada adat istiadatnya/Budaya keseniannya. Contoh: tradisi nyiramkeun di

Majalengka, gerebek sekaten di Jogjakarta.

Page 43: Report Sosen

Tugas study mandiri:

1. Motif batik sidoluhur dan sidomukti.

2. Tradisi Nyiramkeun Majalengka

3. Tradisi Sekaten

4. Tradisi Sintren

5. Tradisi kuda lumping

6. Tradisi seren taun kuningan

7. Upacara turun tanah/ tedak siti

Page 44: Report Sosen

Motif Batik

BATIK SIDO MUKTI [Batik Tulis]  

Zat Warna      : Soga Alam

Kegunaan       : Sebagai kain dalam upacara perkawinan

Unsur Motif    : Gurda

Filosofi            : Diharapkan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan.  

Sumber: http://www.heritageofjava.com/portal/article.php?story=20090327020245748

Page 45: Report Sosen

MITOS DIBALIK MOTIF BATIK SOLO

batik sidoluhur

Mitos di seputar cerita tentang keris atau wayang sering kita dengar. Tetapi mitos di seputar pembuatan batik, barangkali hanya sedikit yang pernah beredar.Misalnya saja mitos penciptaan motif batik sidoluhur yang menuntut pencipta awalnya untuk menahan nafas berlama-lama. Atau tentang batik parang yang tercipta karena kekaguman seorang Panembahan Senopati kepada alam sekitarnya, atau juga tentang truntum yang konon tercipta karena dorongan sebuah pengharapan seorang garwa ampil kepada rajanya dan sebagainya.Ya, sebagaimana keris, batik juga mempunyai mitos-mitos yang melingkupinya. Motif sidoluhur yang diciptakan Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati pendiri Mataram Jawa, serta cucu dari Ki Selo adalah contohnya. Konon motif sidoluhur dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk anak keturunannya. Harapannya agar si pemakai dapat berhati serta berpikir luhur sehingga dapat berguna bagi masyarakat banyak.

batik truntum garuda

Menurut seorang pengamat budaya Jawa, Winarso Kalinggo, motif itu kemudian dimanifestasikan ke selembar kain (dicanting) oleh Nyi Ageng Henis. Nyi Ageng sendiri

Page 46: Report Sosen

adalah seorang yang mempunyai kesaktian. Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya lilin dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik tersebut.Sampai sekarang pun, secara umum, proses penciptaan batik masih sama seperti jaman dulu. Laki-laki membuat motif, yang wanita mencanting. Pada proses parang juga seperti itu. Panembahan Senopati (bertahta 1540–1553 J) dikenal sebagai pencipta motif parang. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) di goa pinggir Laut Selatan. Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun menyuruh para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.Tetapi ada pengecualian dalam proses penciptaan motif truntum. Menurut Winarso Kalinggo, motif itu diciptakan oleh Kanjeng Ratu Beruk. Anak dari seorang abdi dalem bernama Mbok Wirareja ini adalah isteri dari Paku Buwono III (bertahta dari 1749–1788 M) tetapi berstatus garwa ampil, bukan permaisuri kerajaan.Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati dan dipuja orang sejagad keraton. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati sendirian.Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng (hitam). “Ini refleksi dari sebuah harapan. Walaupun langit malam tiada bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan disetiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama kesempatan,” begitu ujar Winarso Kalinggo melukiskan harapan Ratu pembuat truntum.

batik truntum parang

Cerita lain menyebutkan, Paku Buwono III juga seorang kreator motif batik. Dia memerintah pada masa penuh guncangan pasca perjanjian Giyanti (1755). Seluruh pusaka dan batik kraton telah dibawa ke Jogja oleh Pangeran Mangkubumi. Dimulailah perang dingin itu. Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif krambil sesungkil dan slobok

Page 47: Report Sosen

yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik Jogja motif kawung yang dipakai untuk melayat, di Solo dipakai oleh para punakawan. Benar-benar ejekan yang sangat menghina pada waktu itu.“Antara lain, hal seperti itulah yang membuat Paku Buwono III terguncang,” kata Winarso Kalinggo. Untuk meredam guncangan tersebut ia mencari ilham. Ia melakukan teteki dengan cara kungkum (berendam) Kali Kabanaran. Lokasi ini persis di dekat makam Ki Ageng Henis. itu dia lakukan pada malam hari dan hanya ditemani oleh penerangan dari teplok. Waktu dini hari, hujan gerimis mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Profil hujan gerimis yang tertangkap oleh cahaya teplok itulah yang kemudian hari menjadi motif udan riris.Periode Paku Buwono IV (bertahta 1788–1820 M) adalah periode kebebasan berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Sebelum PB IV, batik dijadikan alat untuk menjalankan kekuasaan maka pada masa PB IV banyak motif batik yang lahir dari rakyat biasa. Mitos pun bermunculan. Antara lain adalah kisah batik yang digunakan sebagai pembungkus atau popok bayi (kopohan).Kopohan adalah batik yang digunakan oleh satu keluarga batih secara turun-temurun. Kopohan digunakan sesekali saja, sebagai pembungkus bayi saat bayi baru lahir. Kemudian dicuci hanya oleh pihak keluarga. Setelah itu lalu disimpan di lemari dengan wewangian dari akar lara setu. Kain tersebut baru boleh dikeluarkan dari lemari sebagai suwuk (terapi magis) bagi si bayi di saat sakit.Mitos akan motif batik yang terbaru adalah mitos motif kembang bangah. Kembang bangah diciptakan oleh Go Tik Swan yang bergelar Panembahan Hardjonagoro (Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro, Orang Jawa Sejati, penulis Roestopo).Batik kembang bangah adalah ungkapan protes terhadap keadaan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat jelata, melainkan pada kapitalisme. Kembang bangah adalah bunga bangkai yang berkelopak indah tapi baunya sangat busuk. Persis seperti gambaran saat itu. Bagi kebanyakan orang, kembang bangah adalah ramalan tentang ontran-ontran (kerusuhan) yang terjadi di tahun 1992. Mulai dari rusuh sebelum Pemilu sampai pada aksi para buruh di Tyfountex Solo.

Sumber: http://bosbatik.wordpress.com/2010/07/09/mitos-dibalik-batik-solo/

Page 48: Report Sosen

Tradisi Nyiramkeun Mendapat Perhatian

Tradisi nyiramkeun (me-mandikan benda purbakala peninggalan Kerajaan Talaga) yang

digelar Yayasan Talaga Manggung di halaman Museum Talaga Manggung mendapat

perhatian banyak pengunjung, Senin (1/2).Hal itu dibuktikan dari membeludaknya jumlah

pengunjung bila dibandingkan dengan acara yang digelar pada tahun-tahun sebelumnya.

Acara nyiramkeun yang digelar secara rutin setiap tahun pada bulan Sapar tersebut, diisi

dengan aktivitas memandikan seluruh pusaka Kerajaan Talaga yang masih tersisa. Pasalnya,

sebagian di antaranya dikabarkan telah raib dicuri.Benda pusaka yang masih tampak, antara

lain patung Raden Simbar Kancana dan Raden Panglurah anak dari Raja Talaga Manggung,

meriam, tombak, pedang, dan keris.

Benda-benda tersebut dicuci dengan air kembang setaman yang dicampur dengan air yang

diambil dari tujuh mata air. Yakni, masing-masing dari mata air Gunung Bitung, mata air

Sangiang, Lemah Abang, Cibu-ruy, mata air Legasari, Cigo-wong, serta mata air

Cikiray.Menurut keterangan Ketua Panitia Penyelenggaraan Jajat Sudrajat, acara siraman itu

digelar setiap tahun sejak zaman dulu ketika moyangnya masih ada.

"Kini, kita terus berupaya melestarikan tradisi seperti ini, sekaligus memperkenalkan kepada

anak-anak muda yang belum mengenal bahwa di Talaga ini dulunya terdapat kerajaan besar

dan peninggalan-nya masih ada," ujar Jajat.Kepala Dinas Pemuda, Olah Raga, dan Pariwisata

Kab. Majalengka H. Sanwasi mengungkapkan rasa bahagianya karena tradisi siraman masih

tetap ada dan terpelihara sehingga tidak tergerus zaman.

"Warga Talaga masih tetap menjaga kearifan lokal. Kegiatan budaya seperti ini menjadi

wisata bagi banyak orang. Untuk ke depan diharapkan bisa menjadi daya tarik wisata bagi

wisatawan dari luar kota," tutur H. Sanwasi.Dengan terus terpeliharanya kegiatan siraman ini,

benda-benda purbakala peninggalan Kerajaan Talaga pun diharapkan bisa tetap terpelihara

secara baik.Hadir pada acara siraman tersebut, di antaranya Wakil Ketua DPRD Majalengka

Jack Zakaria, pejabat tingkat kecamatan, dan warga keturunan Talaga Manggung. (C-29).

Sumber: http://bataviase.co.id/detailberita-10585655.html

Page 49: Report Sosen

Tradisi Sekaten

Page 50: Report Sosen

Makna Tradisi Sekaten

Menyingkap Makna Tradisi Sekaten Dari Masa Ke Masa

SEKATEN: “TONTONAN DAN TUNTUNAN”

POSMO-Rabu, 19 Maret, malam nanti, Gamelan Sekaten yang sudah seminggu berada di pagongan lor (utara) dan kidhul (selatan) Masjid Agung Yogyakarta, akan kembali diarak masuk ke peraduannya. Pada siang selanjutnya, puncak acara sekaten, Grebeg Mulud, akan dilangsungkan. Perburuan berkah pun bakal kembali terjadi.

Perihal berkah mistis yang bisa diperoleh dari sebuah laku, dalam khasanah budaya spiritual Jawa sudah mentradisi sejak zaman pra-Hindhu. Laku ini semakin menemukan bentuknya, ketika raja-raja Hindhu berkuasa di jagat ini. Berbagai laku menyatu dan mengkristal dengan adat tradisi Hindhu, sebagaimana tampak pada penggunaan sejumlah sesaji. Dalam hal sesaji, sekiranya agama Hindhu adalah masternya.

Bila kita hendak menyebut angka tahun, permulaan zaman itu menurut DR Franz Magnis Susesno, Jr, terjadi pada sekitar abad VIII. Sanjaya adalah raja Hindhu pertama yang berkuasa di Mataram-Jawa Tengah. Ini didasarkan pada bukti sejarah berupa peninggalan candi-candi Siwais di dataran tinggi Dieng. Namun terkait perburuan berkah dalam tradisi sekaten, cikal-bakalnya baru tampak pada abad-abad sesudahnya, yakni pada zaman Majapahit di Jawa Timur. Cikal-bakal tradisi sekaten itu adalah Upacara Srada.

Penelitian sejarah sekaten yang dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1991-1992, menyebutkan, Upacara Srada merupakan ritus keagamaan umat Hindhu yang diadakan oleh raja, untuk mengenang dan memuja arwah leluhur atau raja-raja Hindhu yang telah wafat. Ritual itu diadakan di candi-candi. Namun, sejak pemerintahan Prabu Hayam Wuruk di tahun 1350-1389 M, Upacara Srada diadakan di tengah kota. Diawali sejak peringatan wafat Ibu Suri Baginda Sri Wisnu Wardhani.

Ritual Srada terdiri dari dua tahap, Aswameda dan Asmaradana. Tahap Aswameda diadakan selama 6 hari, berupa ritual doa-doa serta nyanyian pujian disertai tetabuhan, yang mengandung arti memuja arwah leluhur, permohonan berkat dan perlindungan. Tahap Asmaradana diselenggarakan pada hari ke-7 sebagai penutup. Pada tahap kedua ini, dilakukan semedi atau mengheningkan cipta.

Srada Di Zaman Brawijaya V

Page 51: Report Sosen

Upacara Srada yang berintikan pada ritus religius umat Hindhu, pada zaman pemerintahan Prabu Brawijaya V, dimeriahkan dengan keramaian yang lebih besar. Seluruh kerajaan bawahan diwajibkan menyumbangkan tontonan atau pertunjukan. Maka, Upacara Srada itu semakin heboh dan menjadi tradisi besar yang mengundang banyak pengunjung. Tradisi itu lalu populer dengan sebutan Pasadran Agung.

Prabu Brawijaya V memiliki sebuah perangkat gamelan berupa Gong yang sangat terkenal karena tuah dan kekeramatannya, bergelar Kiai Sekar Delima. Pada setiap hajatan Pasadran Agung, Gong itu dibunyikan. Dipercaya, Gong Kiai Sekar Delima mampu memberikan berkah kententraman bagi siapa pun yang mendengarkan alunannya dengan khidmat. Gong tersebut merupakan maskawin puteri Cempa.

Pakar sejarah dan kebudayaan kuno, DR Purwadi MHum menyebut puteri Cempa menikah dengan Prabu Brawijaya V ketika raja pamungkas di Majapahit itu masih menjadi putra mahkota. Sebagai maskawinnya, puteri Cempa yang berasal dari negeri Cempa di daratan China, memberikan maskawin berupa Gong Kiai Sekar Delima dan Kereta Kuda tertutup yang diberi nama Kiai Bale Lumur, serta Pedati Sapi yang diberi nama Kiai Jebat Betri.

Sementara di abad-abad terakhir kejayaan Majapahit itu, kadipaten Demak Bintoro membuat tradisi keramaian yang serupa, namun dengan inti peringatan yang berbeda, yakni peringatan kelahiran (Maulud) Nabi Besar Muhammad SAW. Sunan Kalijaga yang dikenal lihai dan waskita dalam segala ilmu, sengaja tidak menggunakan rebana, melainkan gamelan. Ini dilakukan demi kepentingan syiar atau dakwah agamanya. Gamelan yang dibuat oleh Sunan Bonang itu diberi nama Kiai Sekati. Konon, nama ini merupakan hasil evolusi panjang dari kata syahadat atau syahadatain, yang kini kemudian menjadi kata sekaten.

Sekaten Di Masa Peralihan Majapahit-Demak

Keramaian jelang Maulud Nabi Muhammad SAW di Demak Bintoro, bermula dari pertemuan rutin para Wali pada setiap tanggal 6-12 bulan Rabiullawal atau selama 7 hari. Pada hari terakhir pertemuan, diadakan keramaian untuk memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Lama pertemuan para Wali inilah yang hingga kini diuri-uri dengan tetap mengadakan sekaten selama 7 hari, terhitung sejak keluar hingga masuknya kembali Gamelan Sekaten dari dan ke Kraton (Jogja dan Solo). Adapun pasar malam sekaten yang diadakan selama satu bulan lebih, adalah keramaian yang diadakakan guna memeriahkan ritus religius itu.

Karena perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW di zaman itu diadakan di masjid Demak, para pengunjung yang datang diwajibkan membaca kalimat Syahadat. Maka, keramian itu kemudian terkenal dengan syahadatan atau syahadatein, yang kini lalu menjadi kata sekaten.

Page 52: Report Sosen

Sementara itu, keramaian dan dominasi Demak Bintoro yang didukung oleh para Wali sakti dan waskita, membuat Prabu Brawijaya V bersedih. Selama 12 hari Brawijaya V bersemedi, memohon kepada para Dewa agar diberi keselamatan. Para ahli gendhing kraton Majapahit menciptakan tembang baru untuk menghibur Prabu Brawijaya V. Namun, tembang baru itu terdengar seperti suara Kinjeng Tangis. Sang Prabu pun justru semakin sedih. Tetabuhan gamalen yang membuat Sang Prabu kian sesek ati atau sesak hati, kemudian juga diartikan sebagai asal kata sekaten.

Ketika Kerajaan Majapahit akhirnya benar-benar runtuh, seluruh harta kekayaan termasuk Gong Kiai Sekar Delima menjadi milik Demak Bintoro. Dengan demikian gamelan menjadi dua, Kiai Sekati dan Kiai Sekar Delima. Oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, Gong Kiai Sekar Delima diubah namanya menjadi Nyai Sekati. Dua gamelan ini kemudian dikenal sebagai Gamelan Sekaten yang harus selalu sepasang.

Sekaten Era Sekarang

Kini, setelah ratusan abad berlalu, tradisi sekaten masih tetap diuri-uri oleh kedua kerajaan pewaris kejayaan Islam di masa lalu: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta. Sentuhan zaman modern merubah wajah penampilan tradisi sekaten, meski tak sampai merombak inti perayaannya. Namun seperti disayangkan oleh banyak pihak, sekaten di Jogjakarta pada tahun tahun lalu lebih dominan aspek bisnisnya. Ini diakui oleh Herry Zudianto, Walikota Jogjakarta.

Karena itu, menurutnya, sekaten tahun ini dikembalikan pada fungsinya semula, yakni dengan menekankan fungsi dakwah. Ini disampaikan kepada wartawan, usai upacara Wilujengan Ageng Pemancangan Pathok Pertama Perayaan Pasar Malam Sekaten, 10 Januari, lalu. Sedangkan secara resmi, sekaten dibuka pada 8 Februari dan akan berakhir pada 20 Maret ini.

Benarkah tradisi sekaten tahun ini telah dikembalikan pada fungsinya semula sebagai media dakwah agama Islam, sebagaimana dulu dilakukan oleh para Wali? Drs. H.M. Basis, MBA, spiritualis di Jogjakarta mengatakan, dari tahun ke tahun, sekaten hanya untuk tontonan, bukan tuntunan. Sekaten belum berfungsi sebagai forum yang mengutamakan aspek dakwah (Islam), melainkan hanya perayaan, hiburan dan pasar malam. “Kita bisa mengatakan, kadar dakwahnya tak lebih dari 15% saja”, ujarnya kepada Posmo, belum lama ini.

Oleh karena itu, lanjut HM Basis, berbagai pihak, antara lain pemkot Jogjakarta, Dinas Pariwisata, Depag, lembaga-lembaga dakwah, pekerja-pekerja seni-budaya dan berbagai pihak terkait lain, harus memikirkan solusi untuk menempatkan sekaten pada fungsi historisnya secara proporsional sebagai media dakwah (Islam).

Page 53: Report Sosen

“Untuk itu, ke depan, porsi yang dihidangkan dalam sekaten harus direstrukturisasi dan direvitalisasi. Menu hiburan pasar malam atau bisnis dan sebagainya jangan dihilangkan. Hanya porsi atau menu dakwah yang harus dibuat lebih variatif. Ini mudah dilakukan, bila pemkot Jogjakarta dan pemda DIY memang memiliki good will”,pungkasnya. KOKO T.

Sumber: http://derapkaki.multiply.com/journal/item/38/Makna_Tradisi_Sekaten

Page 54: Report Sosen

Tradisi Sintren

SINTREN

Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar.

Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang luhur.

Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama kebudayaan, yang banyak dicari orang

Page 55: Report Sosen

untuk sekedar dijadikan obyek penelitian dan maksud maksud tertentu lainnya yang tentu saja

akan beraneka ragam.

Salah satu tradisi lama rakyat pesisiran Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, tepatnya di Cirebon, adalah Sintren. Kesenian ini kini menjadi sebuah pertunjukan langka bahkan di daerah kelahiran Sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, paling-paling hanya dapat dinikmati setiap tahun sekali pada upacara-upacara kelautan selain nadran, atau pada hajatan-hajatan orang gedean.

Berdasarkan keterangan dari berbagai sumber kalangan seniman tradisi cirebon, Sintren mulai

dikenal pada awal tahun 1940-an, nama sintren sendiri tidak jelas berasal dari mana, namun katanya sintren adalah nama penari yang masih gadis yang menjadi staring dalam pertunjukan ini.

Menurut Ny. Juju, seorang pimpinan Grup Sintren Sinar Harapan Cirebon, asal mula lahinrya sintren adalah kebiasaan kaum ibu dan putra-putrinya yang tengah menunggu suami/ayah mereka pulang dari mencari ikan di laut. ”Ketimbang sore-sore tidur, kaum nelayan yang ndak pergi nangkap ikan, ya mendingan bikin permainan yang menarik,” ujar Juju.

Permainan sintren itu terus dilakukan hampir tiap sore dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka, maka lama-kelamaan Sintren berubah menjadi sebuah permainan sakral menunggu para nelayan pulang. Hingga kini malah Sintren menjadi sebuah warisan budaya yang luhur yang perlu dilestarikan.

Pada perkembangan selanjutnya, sintren dimainkan oleh para nelayan keliling kampung untuk manggung dimana saja, dan ternyata dari hasil keliling tersebut mereka mendapatkan uang

Page 56: Report Sosen

saweran yang cukup lumayan. Dari semula hanya untuk menambah uang dapur, Sintren menjadi obyek mencari nafkah hidup

Harus gadis.

Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru kawih/sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung, sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.

Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :

Tambak tambak pawonIsie dandang kukusanAri kebul-kebul wong nontone pada kumpul.

Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya,

Kembang trateDituku disebrang kanaKartini diranteKang rante aran mang rana

Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda belia. Konon menurut Ny. Juju. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa. ”Pokoknya harus yang masih perawan,” katanya menegaskan.

Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki, sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan (kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca do?dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih terus berulang-ulang nembang :

Gulung gulung kasaAna sintren masih turuWong nontone buru-buruAna sintren masih baru

Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah berganti dengan pakaian yang serba

Page 57: Report Sosen

bagus layaknya pakaian yang biasa digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata hitam.

Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesak-desakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar kenbali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.

Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun beruhasa melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan. Disinilah salah satu inti seni Sintren ”Ndak tahu ya, pokoknya kalau ada yang ngelempar dengan uang logam dan kena tubuh Sintren pasti pingsan, sudah dari sononya sih pak, mengkonon yang mengkonon,” ujar seorang pawang, Mamang Rana pada penulis.

Ketika hal ini ditanyakan pada Sintrennya, Kartini (20), usai pertunjukan, mengaku tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan benda kecil.

Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan yang jarang tersebut. Seorang mantan Sintren yang enggan disebut namanya mengatakan, ia pernah jadi Sintren dan benar-benar sadar apa yang dia lakukan di atas panggung, namun lantaran tuntutan pertunjukan maka adegan pingsan harus ia lakukan.

Pada Festival Budaya Pantura Jabar yang berlangsung di lapangan terbuka Kejaksan, Cirebon tahun 2002, pertunjukan benar-benar menjadi perhatian masyarakat setempat, publik seni dan para pengamat seni. Sintren dipentaskan sepanjang Festival berlangsung hingga bulan September 2002, di Subang, Indramayu, Sumedang, Bekasi dan Karawang.

Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari apakah pengaruh majis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.

Sayang sekali, di Cirebon hanya ada dua grup Sintren yang masih eksis dan produktif, masing masing pimpinan Ny. Nani dan Ny. Juju, yang beralamat di Jl. Yos Sudarso, Desa Cingkul Tengah, Gang Deli Raya, Cirebon, Jawa Barat. Kedua kelompok ini sering diundang pentas di berbagai kota di indonesia, bahkan menurut Ny. Juju sampai ke luar negeri.

Di sisi lain tentu hal ini merupakan perkembangan yang bagus, namun di sisi lain juga hal ini tantangan berat bagi pewaris Sintren untuk tetap menjaga orsinilitasnya.

Sumber : pikiran-rakyat.com

Sumber: http://ethnic-unique.blogspot.com/2009/07/sintren.html

Page 58: Report Sosen

Tradisi Kuda Lumping

Kuda lumping

Page 59: Report Sosen

Tarian kuda lumping saat festival di Yogyakarta.

Atraksi memakan kaca di beberapa pertunjukan kuda lumping.

Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian

tradisionalJawa menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian ini

menggunakan kuda yang terbuat dari bambu yang di anyam dan dipotong menyerupai bentuk

kuda. Anyaman kuda ini dihias dengan cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping

biasanya hanya menampilkan adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda

lumping juga menyuguhkan atraksikesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi

memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. Jaran Kepang merupakan bagian

dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga

diwariskan oleh kaum Jawa yang menetap di Malaysia dan Singapura.

Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang

terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan

asal mula tarian ini, hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi

berikutnya.

Sejarah

Konon, tari kuda lumping merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap

pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Ada pula versi

yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah,

yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Versi lain menyebutkan bahwa,

Page 60: Report Sosen

tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan

Hamengku Buwono I, Raja Mataram, untuk menghadapi pasukan Belanda.

Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda lumping merefleksikan semangat

heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari

gerakan-gerakan ritmis, dinamis, dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan

gerakan layaknya seekor kuda di tengah peperangan.

Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga menampilkan atraksi yang

mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis, seperti atraksi mengunyah kaca,

menyayat lengan dengan golok, membakar diri, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain.

Mungkin, atraksi ini merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu

berkembang di lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang

dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.

Variasi Lokal

Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di beberapa daerah, seperti Malang,

Nganjuk, Tulungagung, dan daerah-daerah lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada event-

event tertentu, seperti menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat

yang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.

Dalam pementasanya, tidak diperlukan suatu koreografi khusus, serta perlengkapan peralatan

gamelan seperti halnya Karawitan. Gamelan untuk mengiringi tari kuda lumping cukup

sederhana, hanya terdiri dari Kendang, Kenong, Gong, dan Slompret, yaitu seruling dengan

bunyi melengking. Sajak-sajak yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan

himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang

Pencipta.

Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional kuda lumping ini seringkali

juga mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang

hujan akan melakukan ritual, untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat

pertunjukan biasanya dilakukan di lapangan terbuka.

Pagelaran Tari Kuda Lumping

Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali

tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan tari Begon Putri.

Page 61: Report Sosen

Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari 4 sampai 6

orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu dan menari

mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas dapat mengalami

kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak luput dari fenomena kerasukan

ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari

bersama para penari. Dalam keadaan tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik

dan terlihat kompak dengan para penari lainnya.

Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap

pagelaran selalu hadir para datuk, yaitu orang yang memiliki kemampuan supranatural yang

kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam yang dikenakannya. Para datuk ini akan

memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.

Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita bergabung membawakan tari senterewe.

Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih santai, enam orang wanita

membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian penutup dari seluruh rangkaian atraksi

tari kuda lumping.

Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping

Page 62: Report Sosen

Tradisi Seren Taun Kuningan

Page 63: Report Sosen

Selain di daerah-daerah sunda lain nya,di kabupaten Kuningan juga terdapat suatu tradisi tahunan yaitu upacara adat seren taun,tepat nya di kecamatan cigugur-kuningan.tradisis ini biasa dirayakan setiap tanggal 22 Rayagung,dan perayaan di gelar selama 6 hari,Mengapa digelar setiap bulan Rayagung?Rayagung secara simbolis berarti merayakan ke-Agungan Tuhan. Dimulai dengan upacara ngajayak padi pada tanggal 18 Rayagung yang kemudian dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi sebagai puncak acara pada 22 Rayagung dengan upacara penumbukan padi oleh ratusan petani

Tanggal 22 Rayagung bukan dipilih tanpa makna. Angka 22 terdiri dari 20 dan 2. Angka dua puluh menggambarkan badan jasmani yang secara anatomis dianggap menyatukan organ-organ dan sel-sel dengan fungsi yang beraneka ragam. Bilangan dua mengacu pada sikap dasar kesatuan yang sudah menjadi hukum adikodrati, sebagai adanya siang malam, suka duka, susah bahagia, dan pria wanita.

Bagi masyarakat adat Karuhun Urang Cigugur, Seren Taun merupakan Gelar Budaya Tradisional Masyarakat Agraris Sunda sebagai wujud luapan rasa syukur kepada Tuhan. Itu diartikan juga sebagai upacara penyerahan hasil panen yang baru diraih dan memohon kebaikan untuk tahun selanjutnya.

Puncak upacara Seren Taun serupa festival. Arak-arakan masyarakat terdiri dari 4 formasi barisan muda-mudi, ibu-ibu, bapak-bapak, dan rombongan atraksi kesenian yang membawa hasil panen dari empat penjuru Cigugur. Barisan terdepan, dua orang pemudi membawa padi, buah-buahan, dan umbi-umbian yang diikuti oleh seorang pemuda membawa payung janur bersusun tiga.Di belakangnya, ada 11 orang pemudi membawa padi bibit dengan dipayungi para jejaka. Jumlah sebelas melambangkan simbol saling mengasihi (welas asih). Baris ketiga, terdapat rombongan ibu-ibu yang membawa padi di atas kepala (nyuhun); sedangkan baris keempat, rombongan bapak-bapak memikul padi dengan rengkong dan pikulan biasa.

Empat penjuru tersebut sebagai simbol yang melambangkan cinta kasih Tuhan terhadap umatnya di 4 penjuru. Melihat berbagai bentuk dan aksesori arak-arakan yang cukup kreatif, menggambarkan antusiasme masyarakat mempersiapkan diri untuk mengikuti ritual ini. Mereka membuat berbagai bentuk kotak kayu yang digunakan untuk membawa hasil bumi. Ada yang menghiasinya dengan patung ikan Kancra yang menjadi hewan khas Cigugur dan Harimau, serta menghiasi nampan dengan janur sehingga terlihat indah.Suka cita dan kekhidmatan Seren Taun tak hanya dirasakan oleh masyarakat asli Cigugur, namun juga dirasa memberikan makna bagi yang menyaksikannya.jadi jangan lupa untuk datang tahun ini untuk menyaksikan nya

Page 64: Report Sosen

Sumber: http://matchz21.multiply.com/journal/item/12

Tradisi Turun Tanah

SELAMATAN BAYIUpacara selamatan bayi berlanjut sejak bayi dalam kandungan sampai sesudah

dilahirkan. Pada orang Sunda, selamatan bayi itu ada selamatan puput puseur (lepas tali pusat), nurunkeung anak (turun tanah), pemberian nama dancukuran (mencukur rambut).

Keempat macam upacara itu ada yang dilaksanakan sekaligus setelah bayi berusia 40 hari, ada juga yang terpisah-pisah.

(a)  Sawer pada upacara turun tanah

Page 65: Report Sosen

Pada orang Sunda, upacara turun tanah itu ada yang dilaksanakan setelah lepas tali pusat, setelah empatpuluh hari, atau setelah anak mulai bisa berdiri. Bagi masyarakat berada upacara turun tanah memakai keramaian secara besar-besaran. Jalannya upacara sebagai berikut:

Malam harinya bayi dijaga oleh orang tua-tua. Pagi-pagi dimandikan dan didandani, lalu digendong oleh dukun bayi/paraji sambil menjinjing kanjut kundang, yakni kantung dari yang berisi berbagai rempah-rempah kelengkapan obat bayi, membawa pisau dan lempuyang, lalu turun ke halaman sambil dipayungi, lalu mengelilingi rumah, halaman dan kebon alas, yaitu bangunan terbuka di tengah halaman yang digantungi dengan berbagai umbi-umbian, buah-buahan dan makanan.Dukun Beranak kemudian berjongkok di tanah, membuat tanda silang di tanah, dicungkilnya tanah sedikit, lalu dimasukkannya ke dalam kanjut kundang. Bayi diinjakkan ke tanah.

Menurut beberapa orang yang mengetahui upacara turun tanah ini, ada pula bayi yang dibiarkan merangkak untuk memegangi kelengkapan kebon alas. Apa yang dipegangnya dianggap sebagai simbol kehidupan kelak.

Upacara nyawer dilaksanakan di cucuran atap (panayweran), sebelum bayi dibawa masuk lagi ke dalam rumah. Bayi digendong dan dipayungi. Beras, kunyit, bunga dan uang recehan, ditaburkan di atas bayi menyeling tuturan sawer. Tuturan itu bisa bersifat prosa biasa, prosa liris, syair atau pupuh sawer itu biasanya dilaksanakan oleh dukun bayi. Bila dukun bayi yang menggendong anak, sawerdituturkan oleh orang lain yang menguasainya.

Selain disawer, bayi juga biasa disembur dengan lempuyang yang dikunyah, dan dimanterakan, demikian pula ibu bayi dan lingkungan sekelilingnya.

Sumber: http://kandagasawer.blogspot.com/2010/06/selamatan-bayi.html

Page 66: Report Sosen

Kamis, 16 Desember 2010

Pertemuan Ke 4

Sosiologi Seni

Karya Seni Rupa dan Prilaku Masyarakat

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Masyarakat Plural

Urban

Rural

Anekaragam

Ras/ Suku

Lokalitas

Adat istiadatSub Urban

Transformasi budaya

Koloni Budaya Difusi

Asimilasi

Akulturasi

Inkulturasi

Karya seni

Fenomena

Kredibilitas

Kepribadian Jati diri

Masyarakat

(personal)

Modernisme

Akar dari primitif

Prima

Seniman

Desainer Pengrajin

Seni Murni

Seni Tarapan

Page 67: Report Sosen

Karya seni itu harus bisa cair/netral diterima dari keberadaanya. Dapat dipengaruhi

karena adanya koloni budaya. Masyarakat menerima sendiri dan kemudian

mengembangkannya. Masyarakat dengan prilakunya dapat dipelajari dengan kesenian.

Suburnya difusi justru di masyarakat urban.

Penutup:

Karya seni baik seni murni/terapan harus dapat diterima masyarakat. Karya seni yang

dibuat oleh siapapun menjadi fenomena dan pengakuan, dan memiliki konsep isi, visi dan

misi. Harus memiliki kepribadian, karena itu prilaku masyarakat urban sangat komplek

bahkan bertentangan dengan norma-norma kewajaran.

Norma-norma Kewajaran:

- Terjadinya transformasi budaya

- Moderenisasi artinya akar budaya terjaga. Maksudnya akar budaya yang masih

prima.

Kesimpulan:

1. Pentingnya kepribadian/jati diri

2. Kesadaran medernisme

Asimilasi= pencampuran yang tidak menghilangkan jatidiri.

Study mandiri:

1. Paksinagaliman

Pembahasan asimilasi.

2. Tarling

Page 68: Report Sosen

Kereta Paksinagaliman

Konsep raja atau sultan sebagai penguasa dan pengayom bagi semesta alam di Cirebon

diwujudkan dalam Kereta Paksi Naga Liman. Sebuah kereta yang sangat indah menyerupai

kembarannya Kereta Singa Barong.

Karya agung Panembahan Losari atau Pangeran Manis yang dikerjakan oleh Ki

Natagana alias Ki Gede Kaliwulu ini merupakan gabungan tiga hewan, paksi, naga dan liman.

Paksi atau burung melambangkan alam atas atau langit. Naga menjadi lambang kekuatan alam

bawah atau air. Sedangakan Liman atau gajah melambangkan alam tengah atau bumi. Belalai

gajah yang erat melibat trisula membawa pesan bahwa raja/sultan harus memiliki cipta, rasa

dan karsa setajam bilah trisula.

Jadi jelas jika gabungan ketiganya pertanda bahwa si penunggang (Raja/Sultan) adalah

tokoh sentral penyeimbang yang mampu mengendalikan setiap unsur kehidupan apa pun,

dimana pun.

Sebagian berpendapat jika Paksi Naga Liman adalah gambaran keeratan hubungan

dengan Mesir sebagai daerah asal usul Syarif Hidayatullah yang dilambangkan dengan Paksi,

Cina sebagai daerah yang pernah mengisi sejarah kehidupan Syarif Hidayatullah yang

Page 69: Report Sosen

dilambangkan dengan Naga, dan India sebagai daerah yang banyak memberikan budaya dan

agama yang dilambangkan dengan Liman. Ketiga Negara ini sangat erat hungannya dalam

niaga dan pertukaran budaya. Syarif Hidayatullah sendiri memperlakukan sama antara pribumi

dan pendatang, bahkan pendatang banyak mengambil andil dalam perkembangan budaya

Cirebon. Terbukti hingga sekarang Cirebon adalah surga bagi komunitas Tionghoa, Arab dan

India.

http://wongtrusmi.blogspot.com/2010/01/kereta-paksi-naga-liman.html

Page 70: Report Sosen

Tarling

Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah pesisir timur laut Jawa

Barat (Jatibarang, Indramayu-Cirebon dan sekitarnya). Bentuk kesenian ini pada dasarnya

adalah pertunjukan musik, namun disertai dengan drama pendek. Nama "tarling" diambil dari

singkatan dua alat musik dominan:gitar akuistik dan suling. Selain kedua instrumen ini,

terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul, dan gong.

Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an musik

serupa tarling telah disiarkan oleh RRI Cirebon dalam acara "Irama Kota Udang", dan

menjadikannya popular. Pada tahun 1960-an pertunjukan ini sudah dinamakan "tarling" dan

mulai masuk unsur-unsur drama.

Semenjak meluasnya popularitas dangdut pada tahun 1980-an,

kesenian tarling terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur

dangdut dalam pertunjukan mereka, dan hasil percampuran ini dijuluki tarling-dangdut (atau

tarlingdut). Selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling di campur

dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup organ tunggal tarling organ.

Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukkan dan tidak lagi

populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut Cirebon.

Sunber: http://id.wikipedia.org/wiki/Tarling

Seniman Tarling Cirebon Riwayatmu   Sekarang

“TARLING dangdut yang ada sekarang ini adalah proses destruksi,” tegas

Ahmad Syubhanuddin Alwy. Ketua Yayasan Dewan Kesenian Cirebon itu

menyayangkan seni tarling yang saat ini sudah banyak terkontaminasi dengan

musik dangdut. Kelompok-kelompok musik yang ada, menurut Alwy, bahkan

lebih suka menyandang predikat sebagai kelompok seni tarling dangdut

ketimbang tarling murni.

TAK bisa dimungkiri, seni tarling yang asli saat ini memang sudah tidak begitu

diminati kelompok-kelompok kesenian. Sebab, dengan memasukkan unsur

Page 71: Report Sosen

dangdut, pertunjukan mereka dapat menarik lebih banyak penonton terutama di

desa-desa yang memang lebih gandrung dengan jenis musik itu.

“Seni tarling secara tegas harus dibedakan dengan dangdut,” ujar Alwy.

Bila dua kesenian tersebut dicampur, maka akan merusak keaslian tarling itu

sendiri.

Padahal, pertunjukan tarling digunakan para seniman untuk mencurahkan

kesedihan tentang penderitaan, percintaan, atau penindasan.

Secara filosofis, tarling bahkan dapat mewakili gambaran sosial antarkelas

masyarakat elite dengan alit (kecil). Sedangkan tarling dangdut, sebagian besar

hanya menampilkan musik dari negara India yang durasi pertunjukannya lebih

banyak diisi dengan musik dangdut.

Hal ini mengakibatkan pesan yang ingin disampaikan tidak tercapai. “Karena

waktu yang diberikan untuk pertunjukan tarling sedikit, ceritanya sering tidak

selesai,” kata Alwy.

>small 2small 0< tarling yang baru dikenal sekitar tahun 1950-an, pada awalnya

merupakan musik hiburan anak muda yang dimainkan secara spontan sambil

menikmati indahnya rembulan di malam hari. Pada saat itu instrumen gitar

dimainkan dengan cara menirukan tabuhan melodi saron pada gamelan dan

diiringi dengan alunan nada suling.

Dari dua alat musik yang sering dimainkan itu, tidak heran bila tarling

merupakan sebuah akronim yang berasal dari kata gitar dan suling. Pada awal

tahun 1960-an, pementasan tarling di panggung-panggung mulai dipelopori oleh

seorang seniman yang bernama Jayana. Saat itu para pemain tarling tidak hanya

melengkapi dirinya dengan gitar dan suling, tetapi juga instrumen lainnya,

seperti kendang, gong, tutukan, dan kecrek.

Pertunjukan tarling itu sendiri berupa musik dengan membawakan lagu-lagu

gamelan Cirebon, seperti kiser, bendrong, waledan, dan lain-lain. Dengan

kreativitas para pelakunya, tarling kemudian berubah bentuk dari seni musik

menjadi teater. Pertunjukan tersebut menyerupai pentas opera, yang sebagian

besar tokoh-tokohnya melantunkan dialog dalam bentuk nyanyian.

Kesenian tarling lebih populer di daerah Indramayu dan Cirebon sebab

masyarakat di daerah pesisir seperti di kedua daerah tersebut lebih suka

mengungkapkan perasaannya langsung secara verbal. “Bisa dibilang, dalam

berbicara mereka belak-belakan dan spontan,” kata Alwy. menyebut dua

seniman yang masih memegang teguh nilai-nilai asli budaya tarling, yaitu Narto

Marta Atmadja dan Abdul Adjib. Narto Marta Atmadja saat ini memimpin

kelompok Nada Budaya dan Abdul Adjib memimpin kelompok Putra Sangkala.

Page 72: Report Sosen

Sebenarnya tarling yang dipentaskan Narto dan Adjib merupakan

pengembangan dari apa yang dilakukan Jayana. Namun, transformasi seni dari

Narto atau Adjib tidak mengubah substansi tarling itu sendiri, karena masih ada

pesan-pesan sosial yang disampaikan.

Hal yang berubah adalah proses modernisasi dalam pertunjukannya saja. Dalam

hal teknologi misalnya, perbedaan pertunjukan tarling oleh Adjib atau Narto

dengan Jayana yang beraliran klasik hanya pada penggunaan perangkat

pengeras suara serta instrumen musik elektronik.

Dari segi pemaparan cerita, Jayana mengisahkan kesedihan tokoh-

tokohnya dengan nyanyian dari mulutnya sendiri. Oleh karena itu, dalam

pertunjukannya, Jayana paling banyak hanya diiringi oleh empat pemain musik.

Sedangkan kelompok tarling yang dikelola Narto atau Adjib, anggotanya bisa

mencapai hingga 30 orang karena sudah berupa pertunjukan teater musikal.

Saat ini belum tentu sebulan sekali para kelompok kesenian tarling mendapat

panggilan pentas. “Di TMII (Taman Mini Indonesia Indah) mungkin hanya satu

sampai dua kali dalam satu tahun,” kata Alwy menambahkan.

Bahkan, ada dari para seniman tersebut yang bergabung ke partai politik hanya

untuk mendapat penghasilan ataupun mempertahankan kesenian tarling itu

sendiri. Dari kegiatan partai itu, biasanya para seniman mendapat kesempatan

untuk menunjukkan kebolehannya sekaligus mendapat penghasilan seadanya.

“Dengan honor satu kali pertunjukan sekitar Rp 30 juta pun, kalau dalam

sebulan cuma manggung sekali, seniman itu tidak akan jadi kaya,” ujar Alwy

menjelaskan.

Dia mengenang masa kejayaan seni tarling pada tahun 1970 sampai awal tahun

1980-an. Ketika itu seniman tarling bisa mendapat panggilan setiap hari, bahkan

hingga dua kali dalam sehari.

Walaupun begitu, Alwy sangat kagum dengan para seniman tarling, yang

menurutnya sangat setia dan tidak cengeng dalam menghadapi perubahan

zaman.

Para seniman tersebut, saat ini menjalani berbagai macam pekerjaan, seperti

guru, petani, bahkan tukang ojek. Hebatnya, ketika mendapat panggilan pentas,

mereka tidak memerlukan latihan sama sekali.

Selanjutnya, cukup dengan petunjuk lisan dari ketua kelompok, para seniman

tarling sudah bisa melakukan improvisasi dengan baik sesuai dengan perannya

masing-masing. Meski demikian, pemerintah tidak terlalu peduli dengan

kesenian tarling ini. (J15)

Tulisan iki, isun jukut sing http://www2.kompas.com matur kesuwun ya Kang 

Page 74: Report Sosen

Kamis, 23 Desember 2010

Pertemuan Ke 5

Sosiologi Seni

Seminar Seni Budaya

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Kepribadian anak dari sisi persiapan ke masyarakat. Remaja lupa pada kepribadian

orang lain. Anak-anak adalah mahluk social budaya yang harus diperhatikan.

Memberdayakannya untuk calon penerus budya bangsa. Anak-anak adalah pengganti kita

untuk masa depan. Melanjutkan factor regenerasi. Membina pengetahuan, sikap, dan sifat

anak-anak. Anak harus diajari tentang konservasi dan preservasi budaya bangsa. Budaya

Indonesia sangat banyak, maka harus dikonservasi dan dipreservasi oleh anak-anak sehingga

mereka sebagai generasi penerus siap untuk membangkitakan budaya tersebut. Cara yang

paling mudah yaitu melalui seni seperti menggambar. Corat-coret adalah komunikasi untuk

menyatakan “aku ada/aku hadir” atau tanda menyatakan. Manusia membuat lukisan sebagai

tanda aku hadir.

Kegiatan kesenian sebagai sarana kesenian. Seni dibina dalam pendiaikan, segala

macam tatacara melukis diajarkan. Akan membentuk suatu kepribadian yang harus mendapat

perhatian untuk menyiapkan anak untuk bermasyarakat. Dibutuhkan pembinaan social yang

membangun bangsa. Jangan mengecam tetapi harus diberi motivasi agar mereka tidak rendah

diri. Apapun yang mereka inginkan harus dipenuhi. Guru harus bersikap menjadi motivator

dan menjadi seorang yang pertisifatif/keterlibatan langsung antara anak dan orang tua, dan

juga harus persuasive (melakukan pendekatan secara tidak dipaksakan). Puncak citra manusia

adalah intuisi/bisikan kalbu.

Kesimpulan: menjadi inventaris dalam historiografi seni budaya bangsa.

Page 75: Report Sosen

Kamis, 30 Desember 2010

Pertemuan Ke 6

Sosiologi Seni

Interelasi Seni dan Masyarakat

Oleh. Drs. Bambang Sapto M.Sn

Kesenian Produk

Produk

Masyarakat Anggota masyarakat

(seniman)

(desainer)

(kriyawan)

Bendawi (bingibel)

Non bendawi (inbingibel)

Value Ekonomi

Politis

Edukasi

Estetis

Superstruktur Latar Sosial :

Ideology

Adat

Infrastruktur

Wayang beber

Tari

Sastra

Karsa Karya Cipta Benda seni

Kredibilitas

Lanjutan di bawah

Value

Pendidikan

Formal Non Formal InFormal

Batik cirebonan

China

Mataram

Sunya ragi

Page 76: Report Sosen

Kesenian dari patron/pola. System kerajaan. Seni jaman dahulu sangat didominasi

patron masyarakat kerajaan. Sekarang muncul adanya pola pemerintahan. Muncul masyarakat

dengan pola demokrasi, artinya pertumbuhan kesenian ditentukan dirinya sendiri.

Dulu kesenian berkembang dengan titah raja. Seni klasik, wayang, tontonan dan

tuntunan. Seni yang berkembang sekarang karena keinginan capital, mencari keuntungan.

Jaman dulu seni di kerajaan itu terikat dan berselera terbatas.

Masyarakat dengan seni itu erat. Contohnya: pada tontonan wayang, awalnya ada

gunungan. Dalam gunungan terdapat non bendawi. Ada gapura, samping kiri, kanan adaarca.

Dalang membuka dengan ketukan, dengan bahasa sunda/jawa. Ucapan dalang itu non

bendawi. Disitulah tontonan menjadi menarik. Muncul seni liberal/kapitalis akhirnya bukan

mencari tuntunan tetapi mencari keuntungan.

Ideology tidak ada yang sama. Ideology dari batik Cirebon. Itu ada yang disebut mega

mendung.

Pendidikan ada 2:

1. Pendidikan formal : di sekolah

2. Non formal : sanggar/kursus

3. Informal

Seni itu cenderung membicarakan dasolen. Beda dengan membicarakan ilmu (sosiologi).

Membaca sifat masyarakatnya dan keterkaitannya dengan masyarakatnya.

Kesimpulan:

Kesenian sebagai produk masyarakat. Masyarakat sebagai produk kesenian tidak bias

di tahan karena sifat manusia itu koloni budaya. Bahkan nanti ada kemerosotan manusia.

Infrastruktur harus diiringi oleh superstruktur, melalui cara membangun lembaga-lembaga

kebudayaan.

Page 77: Report Sosen

Study Mandiri:

1. Gambar rereng

2. Barangbang semplak

3. Rumah tagog anjing

4. Ikat kepala Jogja dan Surakarta (blangkon yang ada telornya)

Page 78: Report Sosen

Motif Batik Rereng

Sumber:

http://bosbatik.wordpress.com/2010/07/09/mitos-dibalik-batik-solo/

Page 79: Report Sosen

Iket Barangbang Semplak

Iket: Sebuah Identitas Urang Sunda

Oleh Cornelius Helmy dan Rony Ariyanto Nugroho

“Saya pernah disangka penjual batu ali dan orang Baduy karena memakai iket,” kata Agus Bebeng (30), pewarta foto lembaga kantor berita nasional Antara. Bebeng adalah salah seorang yang memilih identitas Sunda dalam penampilan sehari-hari.

“Memakai iket juga seperti menebus dosa budaya dan tanda cinta saya pada budaya Sunda. Dulu saya lebih memilih menggunakan mode Barat. Untuk penutup kepala, contohnya, saya memilih menggunakan slayer corak modern,” kata Bebeng.

Bebeng mulai menggunakan iket dari kain tahun 1997. Saat itu, ia terinspirasi masyarakat salah satu kampung adat. Keinginan memakai iket semakin besar ketika salah seorang tetua adat memberikannya selembar iket.

Hal serupa dialami Fachrul Rozi (27), fotografer lepas, yang sempat dianggap aneh ketika ada seorang ibu meminta foto bareng. Ibu itu menyangka ia adalah masyarakat desa adat.

Ia mempelajari lima teknik pemasangan iket. Teknik iket barangbang semplak lazim digunakan kusir dan jawara; koncer digunakan abdi dalem dan juragan; lohen digunakan pasangan pengantin; parekos digunakan pedagang dan petani; dan kuda mencar digunakan anak-anak.

Page 80: Report Sosen

“Tidak sekadar aksesori, iket ternyata juga menjadi lambang status sosial,” kata Rozi. Gaya dan “nyunda”

Ria Ellysa Mifelsa (29), penggiat komunitas teater Laskar Panggung, Bandung, mengaku, pertama kali menggunakan iket sepuluh tahun lalu hanya sekadar bergaya. Namun, lama kelamaan, itu justru menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan, khususnya ketika menghadiri acara tradisi Sunda.

Ia juga mempelajari bentuk iket berbagai macam daerah, filosofi, dan perkembangannya. Iket, disebutnya, multifungsi antara lain sebagai pelindung kepala, pembawa barang, dan status sosial. “Sama sekali tidak salah bila sebagian pengguna tidak tahu filosofinya. Saya sendiri tidak terlalu paham. Setidaknya kami menjadi bagian orang yang mencintai budaya Sunda,” katanya.

Menurut seniman Herry Dim, tidak dapat dimungkiri, khususnya di kota, iket menjadi sebuah gaya hidup. Seseorang ingin terlihat nyunda sehingga ia berpakaian Sunda. Namun, pandangan ini tidak bisa disalahkan. Menurut dia, semakin banyak orang menggunakannya, itu akan sangat berguna untuk melestarikan budaya Sunda.

Menurut dosen antroplogi Universitas Padjadjaran, Ira Indrawardhana, bagi masyarakat Sunda, iket bisa menjadi identitas. Dalam iket terkandung pesan antara lain menghormati orang tua dan selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas keinginan sendiri.

Namun, meski sudah menjadi mode, iket kerap dilupakan masyarakat Sunda. Penggunaannya kerap dikatakan kuno, ketinggalan zaman. Menurut Ira, itu merupakan pandangan keliru. Alasannya, masalah cocok atau tidak hanya berputar pada sering atau tidaknya suatu hal digunakan banyak orang. Ia mencontohkan peci yang dipopulerkan Soekarno atau kafiyeh yang dipopulerkan Yasser Arafat. Semakin banyak orang menggunakannya, masyarakat akan semakin mengenal dan menggunakannya.

Ira tidak mempermasalahkan iket digunakan sekadar mengikuti mode. Alasannya, selama iket digunakan dan dilihat banyak orang, itu tentunya menjadi promosi kuat bagi budaya Sunda.

“Saya pribadi memilih menggunakan iket cetak dengan gaya yang paling banyak digunakan, yaitu barangbang semplak. Penggunanya tidak perlu mengikat sendiri, tetapi disiapkan bentuk jadi sehingga tidak rumit,” katanya.

Sumber: http://menjawabdenganhati.wordpress.com/2010/07/27/iket-sebuah-identitas-urang-sunda/

Page 81: Report Sosen

Sensasi Iket ala Pakaian Adat Suku Sunda

Pakaian adat suku Sunda tidak bisa lepas dari ikat kepala, disebut dengan Iket. Pakaian tradisional orang Sunda, terdiri atas tiga bagian dalam satu set pakaian untuk laki-laki. Pertama, ikat kepala. Kedua, kain baju. Ketiga, sarung.

Sedangkan untuk perempuan, biasanya terdiri pada selendang atau kemben untuk pekaian bagian atas. Dan kain lunas untuk pakaian bagian bawah. Cara berpakaian ini masih bisa ditemukan di masyarakat Sunda Kanékés. Karena mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang Sunda sampai sekarang.

Ikat Kepala

Bahan kain ikat kepala terbuat dari kain polos atau kain batik. Ukuran lebar kain sekitar 1m2 . Sedangkan untuk kain iket yang memiliki ukuran setengah meter dan bentuk kain terbelah tengah secara diagonal, dikenal dengan satengah iket.

Ikat kepala berbahan batik, biasanya memiliki motif batik khusus. Adapun beberapa motif batik yang dikenal sering digunakan untuk bahan iket, di antaranya adalah batik kangkung, batik kumeli, batik sida mukti, batik kawung écé, batik seumat sahurun, batik giringsing, batik manyingnyong, batik katuncar mawur, batik kalangkang ayakan, dan batik porod eurih.

Bentuk Iket

Ikat kepala merupakan bagian tak terpisahkan dari pakaian sehari-hari urang Sunda. Malah pada saat ini, banyak orang Sunda yang menggunakan iket sebagai salah satu identitas kesundaannya. Iket sendiri terdiri atas berbagai bentuk:

Perengkos Nangka. Bentuk sederhana dan sangat mudah digunakan. Biasanya dipakai oleh orang tua yang sedang tergesa-gesa, dan perengkos nangka menjadi pilihan ikat kepala yang tepat dan cepat. Penggunaanya cukup dibelitkan di kepala saja.

Barangbang Semplak. Bentuk ikat kepala yang hanya digunakan oleh kalangan jawara, atau jagoan, tempo dulu. Sekarang iket barangbang semplak bisa digunakan oleh siapapun. Kecuali bagi sebagian masyarakat Sunda yang tetap memelihara ketat tradisinya.

Julang Ngapak. Bentuk ikat kepala yang didesign khusus untuk kalangan orang tua.

Porténg. Bentuk ikat kepala yang sering digunakan untuk kalangan anak muda.

Talingkup. Bentuk ikat kepala yang dikhususkan untuk orang yang telah lanjut usia.

Udeng. Bentuk ikat kepala yang biasa digunakan khusus untuk acara-acara resmi. Orang tua sering menggunakan bentuk iket ini.

Page 82: Report Sosen

Kuda Ngencar. Bentuk ikat kepala yang biasanya dipakai oleh kalangan jawara muda.

Borongbong Kéong. Bentuk ikat kepala untuk digunakan oleh anak-anak muda.

Bungkus Peuyeum. Bentuk ikat kepala yang sering digunakan oleh petani, tukang macul, tukang kebun, dan sejenisnya.

Babalian. Bentuk ikat kepala khusus kalangan anak muda.

Mamakasaran. Bentuk ikat kepala khusus anak-anak di usia remaja.

Kuda Nyicir. Bentuk ikat kepala khusus anak muda.

Iket Raja, atau Satria. Bentuk ikat kepala yang dibuat khusus untuk kepentingan acara-acara sandiwara.

Totopong. Bentuk ikat kepala untuk orang tua, tetapi lebih kasar daripada iket udeng.

 

Zaman sekarang, orang Sunda sangat jarang menggunakan pakaian adat suku Sunda. Layaknya orang kebanyakan, pakaian orang sunda sehari-hari lebih menyesuaikan dengan trend dan style yang sedang booming di khalayak publik. Pakaian adat suku Sunda banyak digunakan dalam acara-acara resmi. Demikian pula iket, sangat jarang digunakan oleh kebanyakan orang Sunda. Sering terlihat dipakai dalam kegiatan-kegiatan resmi saja.

Kita bisa menemukan masyarakat yang memakai pakaian khas Sunda di perkampungan. Tentunya bisa ditemukan juga di kabuyutan-kabuyutan Sunda, seperti Kampung Dukuh, Kampung Naga, dan Kampung Baduy Kanékés.

Semoga pakaian adat daerah di Indonesia tetap bertahan sebagai khazanah kebudayaan Nusantara. Lalu, apakah Anda tertantang untuk memakai iket dan menemukan sensasi gaya pakaian Anda? 

Sumber: http://www.anneahira.com/pakaian-adat-suku-sunda.htm

Page 83: Report Sosen

Rumah Tagog Anjing

Rumah Tradisional Adat Suku Sunda

Rumah adat suku Sunda, umumnya berbentuk panggung. Memiliki ketinggian antara 40 cm - 1,5 cm. Ruang diantara tanah dengan lantai rumah tradisional Sunda, disebut kolong imah. Rumah panggung sangat berguna menghindari binatang buas dan banjir. Serta memperlancar sirkulasi udara segar.

Rangkay Imah.

Disebut juga dengan kerangka rumah dan terbagi pada tiga bagian. Bagian atas sebagai atap yang disebut dengan istilah hateup, dan susuhunan atau bubungan. Hateup pada rumah tradisional terbuat dari bahan ijuk atau daun kawung (enau). Pada umumnya rumah Sunda sekarang diganti dengan bahan genteng dibagian atap rumah.

Susuhunan memiliki jenis dan bentuk berbeda. Terdapat istilah jenis susuhunan yang panjang, susuhunan yang pendek atau susuhunan juré, dan lisung nangkub atau lesung tertelungkup. Bentuk khas dari susuhunan rumah adat Sunda adalah berbentuk Julang Ngapak. Di lingkungan Kanékés, dikenal dengan Sulah Nyanda. Terdapat pula bentuk susuhunan Tagog Anjing, Limasan, dan lainnya.

Page 84: Report Sosen

Ruangan Rumah.

Ruangan rumah adat suku Sunda terbagi tiga. Bagian luar, bagian dalam rumah, dan bagian belakang. Ruangan bagian luar disebut dengan tepas, émpér, atau beranda. Berfungsi untuk bersantai di luar dan ruangan untuk menerima tamu.

Bagi masyarakat Sunda Kanékés,  tepas disebut juga dengan sosoro. Sedangkan bagian depan rumah Jaro, dikenal dengan sebutan sosompang. Bagi yang memiliki luas tanah memadai, biasanya dibangun kamar khusus tamu yang didesign sejajar dengan beranda.

Bagian rumah dibatasi dengan dinding yang dibuat dari olahan batangan bambu. Dinding atau bilik rumah terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan giribig. Istilah bilik sendiri sering merujuk pada giribig setelah menjadi dinding rumah.

Tengah Imah.

Sebutan bagian tengah rumah. Pada bagian ini, umumnya terdapat pangkéng yang berdinding bilik. Istilah lain dari pangkéng adalah enggon, atau ruangan tempat tidur pemilik rumah. Kamar tidur dibuat sesuai jumlah anggota keluarga dan sesuai dengan luas rumah.

Ruang antara anak laki-laki dan perempuan terpisah. Ruang tidur orang tua terpisah pula dari ruang tidur anak. Terdapat pula ruangan tempat berkumpul keluarga, sebagai living room.

Tukang Imah.

Bagian belakang, atau tukang. Terdiri atas  dapur dan ruang goah. Dapur berfungsi sebagai ruangan memasak. Bagian belakang dibangun sumur sebagai sumber air. Tersedia pula tempat jemuran dan pancuran air.

Goah adalah ruangan dalam rumah yang terletak di bagian belakang. Dibangun dekat dengan dapur. Ruang goah berfungsi untuk menyimpan bahan makanan, bumbu-bumbu masak, beras, perabot-perabot dapur dan padaringan.

Padaringan adalah tempat penyimpanan beras yang menjadi bagian adat Sunda. Beras disimpan dalam wadah atau gentong kecil, lalu diletakkan di goah. Kebiasaan yang menarik adalah hanya perempuan yang boleh memasuki padaringan. Bahkan diyakini sebagai inti dari eksistensi sebuah rumah. Pada masa sekarang, jarang sekali rumah orang Sunda yang memiliki padaringan. Biasanya hanya memiliki pabéasan saja, sebagai tempat menyimpan beras semata.

Tradisi Sunda Buhun memandang bahwa laki-laki tabu untuk masuk ke dapur, dan itu tidak baik. Ruangan belakang suka menjadi tempat menerima tamu perempuan. Sedangkan bagian beranda rumah, dikhususkan untuk menerima tamu laki-laki.

Leuit.

Leuit adalah bangunan tempat menyimpan hasil bumi. Biasanya digunakan sebagai lumbung padi. Dibangun terpisah dari rumah penduduk.

Page 85: Report Sosen

Saung Lisung.

Berupa bangunan yang disediakan oleh masyarakat. Berfungsi sebagai tempat warga menumbuk padi yang dilakukan secara gotong royang dan penuh kebersamaan. Kegiatan menumbuk padi ini, di sebagian masyarakat Sunda disertai dengan nyanyian dan iringan ketukan lisung dan halu saling bersahutan.

Rumah adat suku Sunda sudah semakin jarang terlihat di perkampungan Sunda. Orang Sunda banyak beralih ke rumah tembok berdinding bata. Untuk Kanékés dan kampung kabuyutan Sunda, masih mempertahankan rumah tradisional Sunda mereka.

Maukah Anda mencoba untuk membuat rumah bergaya etnik Sunda yang terlihat indah nan sederhana? Sepertinya ide ini menarik.

Sumber: http://www.anneahira.com/rumah-adat-suku-sunda.htm

Page 86: Report Sosen

Blangkon Yogyakarta

Menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti Onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.

Sumber: http://wonojoyo.com/blangkon-jawa/

Page 87: Report Sosen

Blangkon Surakarta

Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon.

Sumber: http://wonojoyo.com/blangkon-jawa/

Page 88: Report Sosen

REPORT PAPER

PERKULIAHAN SOSIOLOGI SENI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Ujian Akhir Semester V (Lima)

Mata Kuliah Sosiologi Seni

Oleh

Febby Medianie

NIM. 0844147

JURUSAN SENI RUPA

SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA (STSI)

BANDUNG

2011