repo.apmd.ac.idrepo.apmd.ac.id/591/1/skripsi fransiskus hendrik... · 2019. 2. 1. · kekurangan...
TRANSCRIPT
iv
MOTTO
“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab
TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan
engkau dan tidak akan meninggalkan engkau.”
(Ulangan 31:6)
"Buatlah keputusan. Percaya pada dirimu sendiri atau percaya padaku dan pasukan pengintai
lainnya. Aku pun tidak tahu jawabannya. Selalu tidak tahu. Meski aku percaya pada diriku,
meski aku percaya pada keputusan rekan-rekanku, hasilnya tidak akan ada yang tahu. Karena
itu, berusahalah untuk memilih keputusan yang tidak akan kau sesali nantinya."
(Levi Ackerman, Shingeki no Kyojin ep 19)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Ayah saya Alm. Ignatius Deky Irwanto dan Ibu saya Irma Topiana Bonay yang selalu
membimbing dan memberikan doa serta semangat buat saya dengan tak pernah lelah
mendidik saya untuk selalu mencari ilmu, belajar, ibadah, dan selalu menjadi orang yang
lebih baik dari apa yang saya inginkan. Tidak lupa juga adik saya Cicilia Yana Irfanti,
dan Novianti, serta Om Nelson.
2. Keluarga besar Ismono-Bonay, Tante Wati, Tante Maria, Tante Yuni, Tante Abri, Om
Ari, Tante Rosa, dan Om Hans.
3. Sahabat-sahabat saya
4. Kawan-kawan Almamater STPMD “APMD” Yogyakarta IP1B Angkatan 2014, dan
kawan-kawan almamater lainnya.
vi
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkatNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Evaluasi Kebijakan
Penyelesaian Konflik Antara Pekerja Rumah Tangga Dan Majikan Dengan Cara
Kekeluargaan Di Kota Yogyakarta. Dalam penyusunan, penulis menyadari masih banyak
kekurangan baik dalam penyusunan kata-kata, penggunaan bahasa, namun atas tanggung
jawab dan segala keterbatasan, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik.
Dalam penyusunan Skripsi ini penyusun telah mendapatkan bantuan dari berbagai
macam pihak, baik langsung maupun tidak langsung.
Maka pada kesempatan ini saya sebagai penyusun mengucapkan limapah terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. Habib Mushin,S.Sos. M. Si selaku Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan
Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta dan Bapak/Ibu karyawan yang tidak bisa saya
sebut satu-persatu yang telah memberikan layanan terbaik dalam proses penyusunan tugas
akhir.
2. Ibu Leslie Retno Angeningsih, Ph.D. selaku dosen pembimbing yang selalu sabar
menghadapi kesulitan mahasiswa serta bimbingan untuk memberi pengetahuan tanpa
pamrih kepada mahasiswa.
3. Sahabat seperjuangan di STPMD “APMD” Yogyakarta.
4. Semua pihak yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi.
vii
Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas bantuan dukungan serta doa yang
mulia hingga dapat menyelesaikan tugas akhir untuk mendapat Gelar Sarjana Strata 1.
Yogyakarta 16 Oktober 2018
Penulis
Fransiskus Hendrik Marselino
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... v
KATA PENGANTAR................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
ABSTRAK.................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 9
E. Kerangka Teori ....................................................................... 10
1. Evaluasi Kebijakan ............................................................ 10
1.1.Implementasi Kebijakan........................................... .... 10
1.2.Evaluasi Kebijakan ................................................... ... 19
ix
2. Pekerja Rumah Tangga....................................................... 26
3. Nilai Kekeluargaan dalam Hubungan Kerja....................... 33
4. Penyelesaian Masalah (Resolusi Konflik) ........................... 39
F. Ruang Lingkup Penelitian ....................................................... 46
G. Metode Penelitian ................................................................... 47
1. Jenis Penelitian .................................................................. 47
2. Unit Analisis ...................................................................... 48
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 50
4. Teknik Analisis Data ......................................................... 52
BAB II DESKRIPSI KOTA YOGYAKARTA ........................................... 54
A. Gambaran Wilayah Kota Yogyakarta ....................................... 54
1. Sejarah Kota Yogyakarta .................................................... 54
2. Batas Wilayah ................................................................... 55
3. Keadaan Alam .................................................................... 56
4. Luas Wilayah ..................................................................... 57
5. Demografi .......................................................................... 58
BAB III ANALISIS DATA ......................................................................... 62
A. Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan
Majikan dengan Cara Musyawarah Mufakat......................... 62
B. Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan
Majikan dengan Cara Mediasi............................................... 67
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 72
A. Kesimpulan .............................................................................. 72
B. Saran ....................................................................................... 74
x
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Data Informan............................................................................ ... 49
Tabel 2.1 Luas wilayah, Jumlah RW dan RT menurut Kecamatan dan
keluruhan di kota Yogyakarta 2017 ............................................ 57
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di
Kota Yogyakarta 2017 ............................................................... 59
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
di Kota Yogyakarta 2017 ........................................................... 60
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja
Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan
Utama dan Jenis Kelamin di Kota Yogyakarta 2017 ................... 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik Data Kekerasan Tahun 2012-2017............................... 16
xiii
INTISARI
Selain kasus kekerasan, pelanggaran lain yang dialami PRT juga berupa pelanggaran
jam kerja, dikarenakan jam kerja yang tidak jelas diatur, hingga persoalan upah yang
diterima. Sebagai pekerja, PRT masih dikecualikan dalam peraturan perundangan mengenai
jaminan sosial. Undang-undang (UU) No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-
undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Peraturan
Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No.2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga, tidak mampu memberikan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-hak PRT.
Kota Yogyakarta melalui Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 48 tahun 2011 tentang
Pekerja Rumah Tangga mengakui status PRT sebagai pekerja & berhak mendapatkan upah
yang jelas, jam kerja, fasilitas yang layak, hingga jaminan kesehatan dan sosial. Namun
dalam implementasinya Perwal ini banyak bertabrakan dengan Peraturan di atasnya sehingga
dalam implementasinya perlu evaluasi, khususnya dalam hal penyelesaian konflik.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskripstif kualitatif. Teknik penelitian
yang dilakukan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan implementasi Kebijakan Penyelesaian Konflik Antara Pekerja Rumah Tangga
Dan Majikan Dengan Cara Kekeluargaan Di Kota Yogyakarta adalah tidak efektif, sebab
pertama dalam isi kebijakan, kebijakan ini tidak didukung dengan sumberdaya yang
memadai, terutama dalam keterlibatan pemerintah melalui Kelurahan. Kedua, dalam konteks
implementasi, kebijakan ini tidak didukung dengan petunjuk pelaksanaan lebih lanjut
sehingga hanya merupakan gambaran umum.
Kata Kunci : Pekerja Rumah Tangga, Kekeluargaan, Penyelesaian Konflik.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pahlawan Devisa, begitulah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang
sebagian besar berprofesi sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) disebut.
Namun, julukan yang disematkan tersebut berbanding terbalik dengan
perlakuan yang diterima. Indonesia sering kali dihebohkan dengan kasus-kasus
kekerasan yang terjadi pada TKI, bukan hanya terjadi di luar negeri, tetapi
juga di dalam negeri. Sebagai contoh, dikutip dari Kompas.com, pada tahun
2001 kasus kekerasan yang dialami oleh Sumarsih (14), seorang perempuan
asal Pasuruan, Jawa Timur, yang menjadi PRT di rumah Nyonya Ita di kota
Surabaya. Perempuan berusia 14 tahun itu bekerja bersama empat orang
temannya. Selama enam bulan bekerja, Sumarsih bersama keempat temannya
kerap dipelakukan sebagai budak, tidak dibayar, hanya diberi makan sekali
sehari, tidak boleh keluar rumah, bersosialisasi, dan tidurnya di lantai jemuran.
Hingga, terjadi peristiwa Sumarsih dituduh mengambil makanan majikannya,
yang mengakibatkan Nyonya Ita marah dan kemudian menganiaya Sumarsih.
Sumarsih lalu dipukuli hingga memar, luka, bahkan dipaksa memakan
kotorannya sendiri. Pada akhirnya Sumarsih tewas dalam kondisi terikat
dengan tubuh penuh luka dan memar. Kasus tersebut kemudian menjadi cikal
bakal lahirnya hari nasional PRT di Indonesia yang diperingati setiap tanggal
15 Februari.
2
Selain kasus kekerasan, pelanggaran lain yang dialami PRT juga berupa
pelanggaran jam kerja, dikarenakan jam kerja yang tidak jelas diatur, hingga
persoalan upah yang diterima. Sebagai pekerja, PRT masih dikecualikan dalam
peraturan perundangan mengenai jaminan sosial. Sehingga PRT tidak
mendapatkan hak Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan dari
majikan dan pemerintah. Dikutip dari Suara.com, menurut Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA
PRT), sampai dengan Desember 2017, dari data yang dihimpun berdasarkan
pengaduan di lapangan pengorganisasian, terdapat 249 kasus PRT, mencakup
kekerasan, pengaduan pembayaran upah, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
menjelang Hari Raya, dan Tunjangan Hari Raya (THR) yang tidak dibayar.
Sedangkan dari survei Jaminan Sosial JALA PRT terhadap 4296 PRT yang
diorganisir di 6 kota (Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta,
dan Makassar), 3823 (89%) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan, dan
4253 (99%) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan. Mayoritas
PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit dengan cara berutang,
termasuk berutang kepada majikan, dan kemudian dibayar dengan cara
dipotong gajinya. Selain itu, bedasarkan catatan pengaduan ketenagakerjaan
yang didata LBH Jakarta, sepanjang tahun 2016 terdapat 18 pengaduan kasus
PRT, diantaranya kasus upah tidak dibayar berbulan-bulan, PHK sepihak, PHK
menjelang hari raya, THR tidak dibayar. Dalam hal upah, PRT masih jauh
sekali dari perlindungan dengan upah dari berbagai wilayah kota besar: Medan,
Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar berkisar 20-30% dari
3
UMR. Artinya mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak
bisa mengakses perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar
ketenagakerjaan.
Pada tahun 2007, Serikat Pekerja Tunas Mulia Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta mendokumentasikan upah PRT di Yogyakarta berkisar antara Rp.
200.000,00 - Rp. 500.000,00 perbulan, bahkan ada penelitian yang menemukan
ada upah yang dibawah dari angka tersebut, yaitu Rp. 150.000,00/perbulan
(Hidayah, 2012). Dari observasi yang dilakukan peneliti dari iklan/lowongan
PRT, upah yang ditawarkan adalah apabila melalui agen PRT berkisar antara
Rp.1.200.000–1.500.000, sedangkan dari pencari tenaga PRT menawarkan
upah antara Rp.700.000-1.200.000. upah tersebut apabila dibandingkan dengan
Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY tahun 2018 sebesar Rp. 1.454.154,15,
dan Upah Minimum Kota (UMK) Kota Yogyakarta Rp 1.709.150, tentunya
masih kurang dan dalam upah yang ditawarkan tersebut juga belum disebutkan
mengenai rincian pekerjaan, fasilitas yang diterima, jam kerja, dan jaminan
kesehatan yang diberikan oleh pengguna jasa PRT.
Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dianggap
tidak mampu untuk memberikan perlindungan hukum bagi PRT, bahkan status
PRT sebagai pekerja pun tidak ditegaskan dengan jelas. sehingga lahirlah
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga. Namun UU tersebut hanya dapat diterapkan sebatas pada
kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT saja, tidak mencakup aspek-
aspek ketenagakerjaan PRT, antara lain pengaturan akan jam kerja, upah,
4
batasan kerja, dan lain halnya, yang sangat sering dialami oleh PRT dan dalam
beberapa kasus merupakan cikal bakal terjadinya pelanggaran terhadap hak-
hak PRT.
Pada daerah Provinsi D. I. Yogyakarta sendiri, upaya untuk melindungi
hak-hak PRT dan Pengguna jasa, sangat gencar dilakukan oleh kelompok
masyarakat dan Serikat PRT. Berawal dari Surat Edaran Gubernur DIY Nomor
568/0807 tanggal 5 Maret 2003, yang mengatur antara lain tentang hak dan
kewajiban antara PRT dengan pengguna jasa, hubungan kerja, upah, jaminan
keselamatan dan kesehatan PRT, hingga larangan PRT di bawah umur.
Masalah-masalah yang diterima PRT telah menjadi perhatian
internasional, ILO (International Labour Organization) kemudian
menyelenggarakan konferensi internasional pada tahun 2011 dan kemudian
menghasilkan konvensi ILO Nomor 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi
Pekerja Rumah Tangga. Konvensi ini juga secara khusus memberikan
perlindungan kepada PRT dengan menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip
dasar bagi PRT.
Baru pada tahun 2015, Pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja
merespon dengan menerbitkan Permenaker No.2 Tahun 2015 tentang
Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Permenaker tersebut
menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar bagi PRT, serta mengharuskan
negara dan stakeholders mengambil langkah-langkah khusus agar perlindungan
bagi PRT dapat berjalan secara efektif. Namun dikutip dari Hukumonline.com,
aturan itu dinilai tidak memiliki payung hukum yang jelas, sebagaimana
5
amanat Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Hal itu disampaikan Anggota Komisi IX DPR Okky
Asokawati di Gedung DPR,
“Penerbitan Permenaker No.2 Tahun 2015 tampak sekilas memiliki
semangat keberpihakan kepada Pekerja Rumah Tangga (PRT). Namun
bila ditelusuri, Permenaker tersebut tidak memiliki payung hukum yang
jelas.”
Menurutnya, Permenaker tersebut berpijak pada klausul „dibentuk berdasarkan
kewenangan menteri‟. Namun ia berpandangan Manaker Muhammad Hanif
Dhakiri menerjemahkan klausul „kewenangan menteri‟ dengan membentuk
peraturan yang mengatur dan mengikat berbagai individu warga negara (PRT,
pengguna jasa PRT dan lainnya). Padahal, kewenangan tersebut terbatas pada
urusan pemerintahan tertentu sebagai pengejawantahan dari kekuasaan
presiden.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di daerah Provinsi D. I.
Yogyakarta sendiri, upaya untuk melindungi hak-hak PRT dan Pengguna jasa
PRT sangat gencar dilakukan oleh kelompok masyarakat dan Serikat PRT.
Berawal dari Surat Edaran Gubernur DIY Nomor 568/0807 tanggal 5 Maret
2003, kemudian diturunkan/dijabarkan ke dalam Peraturan Gubernur DIY
nomor 31 tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga. Tujuan pembentukan
Peraturan Gubernur No 31 Tahun 2010 Tentang Pekerja Rumah Tangga
dijelaskan dalam Pasal 3, yaitu :
a. Memberikan pengakuan secara hukum terhadap jenis pekerjaan
kerumahtanggaan.
6
b. Memberikan pengakuan bahwa pekerjaan kerumahtanggaan mempunyai
nilai ekonomis dan nilai sosiologis.
c. Mengatur hubungan kerja yang harmonis, produktif serta menjunjung
nilai-nilai moral, kemanusiaan dan kekeluargaan.
d. Mewujudkan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja di bidang
kerumahtanggaan.
e. Memberikan perlindungan kepada Pekerja Rumah Tangga dan Pemberi
Kerja.
Melalui Peraturan Gubernur DIY nomor 31 tahun 2010, pemerintah
provinsi DIY mengakui status PRT sebagai pekerja, bukan pembantu, artinya
PRT berhak mendapatkan upah yang jelas, jam kerja, fasilitas yang layak,
hingga jaminan kesehatan dan sosial, yang tidak dapat dilingkupi oleh UU 13
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Selebihnya pergub ini juga mengatur
mengenai Hubungan kerja antara PRT dengan pemberi kerja, klasifikasi dan
jenis pekerjaan kerumahtanggaan yang dilakukan PRT, Perjanjian kerja yang
tertulis ke dalam kontrak kerja, hak & kewajiban PRT serta pemberi kerja,
perlindungan dan pengawasan PRT, dan terakhir penyelesaian konflik antara
PRT dan pemberi kerja.
Peraturan Gubernur DIY nomor 31 tahun 2010, kemudian direspon
Pemerintah Kota Yogyakarta dengan menerbitkan Peraturan Walikota 48
tahun 2011 tentang Pekerja Rumah Tangga. Isi perwal ini kurang lebih sama
dengan Pergub di atasnya, namun yang menjadi perbedaan adalah
dilegalkannya PRT di bawah umur yang mana, aturan ini tentu saja bertolak
7
belakang dengan Undang-undang Ketenagakerjaan, pasal 68 menegaskan
bahwa Pengusaha dilarang memperkerjakan anak dibawah umur, yang
berdasarkan ketentuan adalah anak yang usianya dibawah 18 tahun.
Pada Perwal Kota Yogya No. 48 Tahun 2011 tentang PRT, pada Pasal 3
(b), bahwa status hubungan kerja antara PRT dan majikan adalah berasaskan
hubungan kekeluargaan. Oleh karena tidak ada penjelasan Perwal Kota
Yogyakarta 48 Tahun 2011, maka peneliti mengambil penjelasan dari
Penjelasan Pasal 3 Pergub DIY no 31 Tahun 2010 tentang PRT, yang
dimaksud dengan "asas kekeluargaan" adalah bahwa hubungan kerja antara
pemberi kerja dan penerima kerja harus mencerminkan musyawarah untuk
mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Namun dalam
hubungan kekeluargaan tidak memiliki batas karena lebih menekankan
emosi/perasaan, sehingga adanya nilai kekeluargaan tidak sesuai apabila
diterapkan pada konteks tenaga kerja yang kaku dan terpaku pada aturan.
Apabila dilihat dari unsur-unsur yang diatur dalam kontrak kerja, penting
untuk mengatur jenis dan klarifikasi kerja, karena pekerjaan kerumahtanggan
dalam keluarga tidak pernah selesai dikerjakan oleh PRT dalam waktu sehari
semalam, mengingat aktifitas dalam lingkup keluarga berlangsung terus
menerus dari pagi hingga pagi hari berikutnya, apalagi jika PRT memiliki
tugas ganda yaitu untuk mengurus pekerjaan kerumahtanggan sekaligus
mengurusi anak majikannya (babysitter). Berbeda dengan babysitter yang
memiliki jam kerja dan jenis rincian kerja yang jelas tertulis dalam kontrak
8
kerja serta mendapatkan jaminan kesehatan, babysitter akan mendapatkan
upah tambahan untuk jenis pekerjaan dan jam kerja diluar kontrak kerja yang
telah disepakati, sedangkan PRT tidak mendapat perlakuan yang sama
menjadikan upah yang diterima PRT tidak sebanding dengan pekerjaan yang
dilakukannya.
Perlu adanya aturan-aturan lain yang mengikat dan dengan jelas mengatur,
khususnya dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara PRT dengan
majikan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, dari data yang dikumpulkan
LBH JALA PRT pada tahun 2017, dari 249 kasus yang terjadi di lapangan,
hanya 18 kasus yang berlanjut ke ranah hukum. Bagaimana dengan kasus-
kasus lain yang tidak berlanjut ke ranah hukum, apakah kebijakan
penyelesaian konflik dengan menjunjung nilai kekeluargaan, seperti
terkandung dalam dalam Perwal No.48 tahun 2011 tentang PRT telah mampu
mengatasi konflik antara PRT dan majikan. Berangkat dari masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
keefektifan implementasi kebijakan penyelesaian konflik antara pekerja rumah
tangga dan majikan dengan cara kekeluargaan di kota yogyakarta menurut
Perwal Kota Yogyakarta No.48 tahun 2011 tentang PRT.
9
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi kebijakan penyelesaian konflik antara
Pekerja Rumah Tangga dan Majikan dengan cara kekeluargaan di Kota
Yogyakarta?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala implementasi kebijakan
penyelesaian konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan
dengan cara kekeluargaan di Kota Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan
penyelesaian konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan dengan cara
kekeluargaan di Kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi
perkembangan ilmu Pemerintahan, dalam hal kebijakan yang menyangkut
Pekerja Rumah Tangga.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi Pemerintah, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta, sehubungan
dengan Peraturan Walikota Kota Yogyakarta No. 48 Tahun 2011 tentang
10
Pekerja Rumah Tangga. Dan memberikan referensi bagi para peneliti
dalam melakukan penelitian serupa.
E. Kerangka Teori
1. Evaluasi Kebijakan
1.1. Implementasi Kebijakan
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Implementasi
adalah pelaksanaan atau penerapan. Implementasi merupakan salah
satu tahap dalam proses kebijakan publik. Biasanya implementasi
dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan tujuan
yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam
rangka menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga
kebijakan tersebut dapat membawa hasil sebagaimana yang
diharapkan (Afan Gaffar, 2009: 295).
Ripley dan Franklin, dalam Winarno (2014), menyatakan bahwa
implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang
ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan
(benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output).
Implementasi mencakup tindakan-tindakan oleh sebagai aktor,
khususnya para birokrat yang dimaksudkan untuk membuat program
berjalan. Implementasi dianggap sebagai wujud utama dan tahap yang
sangat menentukan dalam proses kebijakan. Pandangan tersebut
dikuatkan dengan pernyataan Edwards III bahwa tanpa implementasi
11
yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil
dilaksanakan.
Menurut Agustino (2008:139), “implementasi merupakan suatu proses
yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas
atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri”.
Thomas R. Dye, dalam Agustino (2008:7), mendefenisikan kebijakan
publik merupakan upaya yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan
atau tidak dilakukan yang berupa sasaran atau tujuan program-program
pemerintah. Sedangkan menurut Carl Friedrick, dalam Agustino,
(2008:7), kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu,
dengan ancaman dan
peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu.
Syukur, dalam Surmayadi (2005:79), mengemukakan ada tiga unsur
penting dalam proses implementasi yaitu:
Adanya program atau kebijakan yang dilaksanakan
Target group, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi
sasaran dan ditetapkan akan menerima manfaat dari program,
perubahan atau peningkatan
Unsur pelaksana (Implementor) baik organisasi atau
perorangan untuk bertanggung jawab dalam memperoleh
12
pelaksanaan dan pengawasan dari proses implementasi
tersebut.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk
mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan
langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam
bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivate
atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk
undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang
memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai
peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung
dioperasionalkan antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala
Dinas, dll (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2004: 158-160).
Berjalannya implementasi suatu kebijakan, dipengaruhi oleh beberapa
faktor/variabel. Berikut ini adalah faktor yang memengaruhi
berjalannya suatu kebijakan menurut teori Donald S. Van Meter dan
Carl E. Van Horn, dan teori George C. Edward.
13
Menurut Meter dan Horn, dalam Subarsono (2011), ada lima variabel
yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni :
a) Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-
tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, hendaknya
dirumuskan dengan jelas agar tujuan dapat tercapai, dimana
kejelasan rumusan standar dan tujuan kebijakan sangat
menentukan kinerja kebijakan dari isi rumusan kebijakan tersebut.
Dengan adanya petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang ada dapat
menjadi pegangan bagi pelaksana kebijakan sehingga tidak
menyimpang dari tujuan yang sebenarnya
b) Sumberdaya
Sumber-sumber kebijakan atau sumber daya diperlukan untuk
mendukung kelancaran implementasi kebijakan secara efektif yang
meliputi sumber daya manusia misalnya keahlian, dedikasi,
kreatifitas, keaktifan dan sumber daya dana, sarana maupun
prasarana.
c) Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan
menyangkut kejelasan, ketepatan, konsistensi, dalam
mengkomunikasikan ukuran-ukuran dan tujuan tersebut sehingga
akan memudahkan pelaksana dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Dengan demikian keberhasilan implementasi memerlukan jalinan
14
komunikasi yang baik. Komunikasi tersebut mencakup baik intern
maupun ekstern, yakni hubungan didalam lingkungan sistem
politik dengan kelompok sasaran maupun antar organisasi.
d) Karakteristik agen pelaksana
Karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana menyangkut
norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang
dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik
potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan
menjalankan kebijakan, yang terdiri dari ciri-ciri struktur formal
dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari
personil mereka
e) Kondisi sosial, ekonomi dan politik
Kondisi sosial, ekonomi, dan politik, adalah tersedianya sumber
daya ekonomi yang dapat mendukung kelancaran implementasi
kebijakan dan menyangkut lingkungan sosial dan politik
(dukungan elit) yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi
dimana implementasi dilaksanakan. Kecenderungan pelaksana
(implementor) menyangkut persepsi-persepsi pelaksana untuk
mendukung atau menentang kebijakan. Tanpa adanya persepsi
yang sama antara pelaksana dan pembuat keputusan akan
menghambat bagi kelancaran implementasi kebijakan.
15
Edward III (dalam Subarsono, 2011: 90-92) berpandangan bahwa
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
a) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan
mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan
harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran (target group),
sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.
Proses komunikasi kebijakan dipengaruhi tiga hal penting, yaitu:
Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi
kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat
mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari
bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk
pelaksanaannya telah dikeluarkan.
Faktor kedua adalah kejelasan, jika kebijakan-kebijakan
diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka
petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima
oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi
kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-intruksi
yang diteruskan kepada pelaksana kabur dan tidak
menetapkan kapan dan bagaimana suatu program
dilaksanakan.
Faktor ketiga adalah konsistensi, jika implementasi kebijakan
ingin berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksaan
16
harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang
disampaikan kepada pelaksana kebijakan jelas, tetapi bila
perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak
akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan
tugasnya dengan baik.
b) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara
jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan
sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak akan
berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya
manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya
finansial.
sumber-sumber yang penting meliputi, staff yang memadai serta
keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan tugas-tugas
mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk
menerjemahkan usul-usul di atas kertas guna melaksanakan
pelayanan-pelayanan publik.
c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka
implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika
implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan
17
pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga
menjadi tidak efektif.
d) Struktur Birokrasi, Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek dari struktur
organisasi adalah Standard Operating Procedure (SOP) dan
fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan
cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,
yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang
menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.
Struktur Birokrasi memiliki dua karakteristik utama, yakni
Standard Operating Procedures (SOP) dan Fragmentasi:
SOP atau prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar
berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu
yang terbatas dan sumber-sumber dari para pelaksana serta
keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi-
organisasi yang kompleks dan tersebar luas.
Sedangkan fragmentasi berasal dari tekanan-tekanan diluar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif,
kelompok-kelompok kepentingan pejabat-pejabat eksekutif,
konstitusi negara dan sifat kebijakan yang mempengaruhi
organisasi birokrasi pemerintah.
18
Keberhasilan implementasi menurut Merilee S. Grindle (dalam
Subarsono, 2011) dipengaruhi oleh dua variabel besar, yakni isi
kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of
implementation). Variabel tersebut mencakup: sejauhmana
kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi
kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauhmana
perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak
sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah
menyebutkan implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah
program didukung oleh sumberdaya yang memadai. Sedangkan
Wibawa (dalam Samodra Wibawa dkk, 1994: 22-23) mengemukakan
model Grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks
implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan
ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari
kebijakan tersebut. Isi kebijakan tersebut mencakup hal-hal berikut:
Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan.
a) Jenis manfaat yang akan dihasilkan.
b) Derajat perubahan yang diinginkan.
c) Kedudukan pembuat kebijakan.
d) (Siapa) pelaksana program.
e) Sumber daya yang dihasilkan
19
Sementara itu, konteks implementasinya adalah:
a) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat.
b) Karakteristik lembaga dan penguasa.
c) Kepatuhan dan daya tanggap.
Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang
komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut
dengan implementor, penerima implementasi, dan arena konflik
yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi, serta
kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.
1.2. Evaluasi Kebijakan
Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan
kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada konstituennya.
Sejauh mana tujuan dicapai serta untuk melihat sejauhmana
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Menurut Anderson,
dalam Winarno (2008), secara umum evaluasi kebijakan dapat
dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian
kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak
pelaksanaan kebijakan tersebut.
Menurut Lester dan Stewart, dalam Winarno (2008), evaluasi
kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tugas yang berbeda, tugas
pertama adalah untuk menentukan konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan cara menggambarkan
20
dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah untuk menilai
keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar
atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi kebijakan
merupakan persoalan fakta yang berupa pengukuran serta penilaian
baik terhadap tahap implementasi kebijakannya maupun terhadap
hasil (outcome) atau dampak (impact) dari bekerjanya suatu kebijakan
atau program tertentu, sehingga menentukan langkah yang dapat
diambil dimasa yang akan datang.
Menurut Briant & White, dalam Samudra Wibawa (1994), evaluasi
kebijakan pada dasarnya harus bisa menjelaskan sejauh mana
kebijakan publik dan implementasinya mendekati tujuan. Pengertian
evaluasi kebijakan yang dikemukakan oleh Briant & White di atas,
mengarahkan penilaian evaluasi kebijakan implementasi pada sejauh
mana dampak dan konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan
kebijakan tersebut. Menurut Samodra Wibawa (1994), evaluasi
bertujuan untuk memberikan informasi kepada pembuat kebijakan
tentang bagaimana program-program mereka berlangsung. Serta
menunjukkan faktor-faktor apa saja yang dapat dimanipulasi agar
diperoleh pencapaian hasil yang lebih baik, untuk kemudian
memberikan alternatif kebijakan baru atau sekedar cara implementasi
lain.
James Anderson dalam Winarno (2008) membagi evaluasi kebijakan
dalam tiga tipe, masing-masing tipe evaluasi yang diperkenalkan ini
21
didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi, sebagai
berikut:
a. Tipe pertama
Evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional. Bila
evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, evaluasi
kebijakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya
dengan kebijakan itu sendiri.
b. Tipe kedua
Merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya
kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi ini lebih
membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam
melaksanakan program.
c. Tipe ketiga
Tipe evaluasi kebijakan sistematis, tipe kebijakan ini melihat
secara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan
untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat
sejauhmana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai.
Menurut Winarno (2002), pada dasarnya ketika seseorang hendak
melakukan evaluasi dampak kebijakan, ada tiga hal yang perlu
diperhatikan yaitu:
a. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberikan informasi yang
valid tentang kinerja kebijakan. Evaluasi dalam hal ini berfungsi
22
untuk menilai aspek instrumen (cara pelaksanaan) kebijakan dan
menilai hasil dari penggunaan instrumen tersebut.
b. Evaluasi kebijakan berusaha untuk menilai kepastian tujuan atau
target dengan masalah dihadapi. Pada fungsi ini evaluasi kebijakan
memfokuskan diri pada substansi dari kebijakan publik yang ada.
Dasar asumsi yang digunakan adalah bahwa kebijakan publik
dibuat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Hal yang
seringkali terjadi adalah tujuan tercapai tapi masalah tidak
terselesaikan.
c. Evaluasi kebijakan berusaha untuk memberi sumbangan pada
evaluasi kebijakan lain terutama dari segi metodologi. Artinya,
evaluasi kebijakan diupayakan untuk menghasilkan rekomendasi
dari penilaian-penilaian yang dilakukan atas kebijakan yang
dievaluasi.
Evaluasi kebijakan secara sederhana menurut William Dunn, dalam
Agustino (2008), berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai-
nilai atau manfaat-manfaat kebijakan hasil kebijakan. Ketika ia bernilai
bermanfaat bagi penilaian atas penyelesaian masalah, maka hasil
tersebut member sumbangan pada tujuan dan sasaran bagi evaluator,
secara khusus, dan pengguna lainnya secara umum. Hal ini dikatakan
bermanfaat apabila fungsi evaluasi kebijakan memang terpenuhi
dengan baik. Salah satu fungsi evaluasi kebijakan adalah harus
memberi informasi yang valid dan dipercaya mengenai kinerja
23
kebijakan. Dampak kebijakan dalam hal ini melingkupi komponen
sebagai berikut:
a. Kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan masyatrakat, untuk
mengukur seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah
dapat dicapai melalui tindakan kebijakan/program. Dalam hal ini
evaluasi kebijakan mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan
tertentu telah dicapai.
b. Pelaksanaan kebijakan, yaitu untuk mengetahui apakah tindakan
yang ditempuh oleh implementing agencies sudah benar-benar
efektif, responsif, akuntabel, dan adil. Dalam bagian ini evaluasi
kebijakan juga harus memperhatikan persoalan-persoalan hak asasi
manusia ketika kebijakan itu dilaksanakan. Hal ini diperlukan oleh
para evaluator kebijakan karena jangan sampai tujuan dan sasaran
dalam kebijakan publik terlaksana, tetepai ketika itu
diimplementasikan banyak melanggar hak asasi warga. Selain itu
untuk mengetahu bagaimana dampak kebijakan itu sendiri. Dalam
bagian ini, evaluator kebijakan harus dapat memberdayakan output
dan outcome yang dihasilkan dalam suatu implementasi kebijakan.
Dalam evaluasi suatu kebijakan diperlukan suatu kriteria untuk
mengukur keberhasilan suatu kebijakan, menurut William Dunn (1999)
ada 6 kriteria, sebagai berikut
24
a. Efektifitas
Berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat)
yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan.
Efektifitas yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas
teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai
moneternya. Menurut Winarno (2002), Efektifitas berasal dari kata
efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektifitas disebut
juga hasil guna. Efektifitas selalu terkait dengan hubungan antara
hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.
Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan,
semakin besar kontribusi (sumbangan) output terhadap pencapaian
tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan
b. Efisiensi
Menurut Winarno (2002), efisiensi berkenaan dengan jumlah usaha
yang diperlukan untuk meningkatkan tingkat efektifitas tertentu.
Efisiensi yang merupakan sinonim dengan rasionalitas ekonomi,
adalah merupakan hubungan antara efektifitas dan usaha yang
terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya
ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan.
Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya
terkecil dinamakan efisien
25
c. Kecukupan
Berkenaan dengan seberapa jauh suati tingkat efektifitas
memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan yang menumbuhkan
adanya masalah. Kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya
hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan.
Menurut Winarno (2002), kecukupan dalam kebijakan publik dapat
dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi
dalam berbagai hal. Kecukupan masih berhubungan dengan
efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh
alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau
kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi.
d. Pemerataan/Kesamaan
Indikator ini erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial
dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam masyarakat. Kebijakan yang
berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya
(misalnya, unit pelayanan atau manfaat moneter) atau usaha
(misalnya biaya moneter) secara adil didistribusikan. Kebijakan
yang dirancang untuk mendistibusikan pendapatan, kesempatan
pendidikan atau pelayanan publik kadang-kadang
direkomendasikan atas dasar criteria kesamaan. Kriteria kesamaan
erat kaitannya dengan konsepsi yang saling bersaing, yaitu
26
keadilan atau kewajaran dan terhadap konflik etis sekitar dasar
yang memadai untuk mendistribusikan risorsis dalam masyarakat.
e. Responsivitas
Berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat
memuaskan kebutuhan, prefensi, atau nilai kelompok- kelompok
masyarakat tertentu. Kriteria responsivitas adalah penting karena
analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya – efektifitas,
efisensi, kecukupan, kesamaan – masih gagal jika belum
menanggapi kebutuhan actual dari kelompok yang semestinya
diuntungkan dari adanya suatu kebijakan.
f. Ketepatan
Adalah kriteria ketepatan secara dekat yang berhubungan dengan
rasionalitas substantif, karena pertanyaan tentang ketepatan
kebijakan tidak berkenaan dengan satuan kriteria individu tetapi
dua atau lebih criteria secara bersama-sama. Ketepatan merujuk
pada nilai atau harga dari tujuan-tujuan program dan kepada
kuatnya asumsi yang melandasi tujuan tersebut.
2. Pekerja Rumah Tangga
Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebelumnya disebut dengan
Pembantu, Asisten Rumah Tangga (ART), Buruh, atau Budak. Kata
“pembantu” sebelumnya digunakan dikarenakan PRT melalui UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan digolongkan ke dalam sektor kerja
27
informal, sehingga UU ini tidak dapat digunakan untuk menjamin hak-
hak PRT dan secara hukum melindungi PRT, hal ini menjadikan
pekerjaan PRT menjadi rentan untuk terjadinya kekerasan. Padahal
pengertian pekerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
dan imbalan dalam bentuk lain. Barulah pada 2010 melalui Peraturan
Gubernur Provinsi D. I. Yogyakarta No 31 tahun 2010, orang yang
bekerja pada rumah tangga untuk melakukan pekerjaan kerumahtanggan
untuk mendapatkan upah diakui statusnya sebagai seorang pekerja, yaitu
Pekerja Rumah Tangga, berikut dengan hak & kewajibannya juga
perlindungan hukum. Namun tentunya Pergub saja tidak cukup, butuh
Peraturan yang mengikat secara nasional yang mengikat untuk menjamin
dan melindungi PRT. PRT pada umumnya adalah perempuan, baik anak-
anak maupun dewasa sedikit saja yang laki-laki. PRT mayoritas
perempuan, sehingga mengakibatkan perhatian terhadap kelompok PRT
tidak dapat dilepaskan dari agenda gerakan perempuan di Indonesia,
karena masalah ini tidak terlepas dari cara pandang gender yang bias,
misalnya menempatkan pekerjaan rumah tangga yang sering diberlakukan
pada PRT sebagai pekerjaan yang tidak produktif, tidak memiliki nilai
sosial, ekonomi dan politik. Pandangan streotip tentang pekerjaan ini dan
pekerjanya menjadi salah satu sumber munculnya kompleksitas persoalan
yang menyelimuti pekerjaan PRT. Pada masyarakat kita sendiri, hanya
sebagian kecil, bahkan sangat kecil yang menganggap pekerjaan rumah
28
tangga sebagai pekerjaan dan pekerjanya adalah pekerja. Masyarakat kita,
termasuk yang terdidik sekalipun, juga para pembuat kebijakan sekalipun,
lebih suka menyebut mereka dengan nama-nama streotipikal yang
cenderung merendahkan, yang paling popular adalah pembantu.
Menurut Perwal Kota Yogyakarta No. 48 Tahun 2011, Pekerja
Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PRT adalah orang yang
bekerja pada Rumah Tangga untuk melakukan pekerjaan
kerumahtanggaan dengan menerima upah. Selanjutnya, pekerjaan
kerumahtanggaan adalah pekerjaan yang dilakukan dalam lingkup rumah
tangga.
Klasifikasi pekerjaan dan Jenis pekerjaan kerumahtanggaan dalam pasal 5
Perwal Kota Yogyakarta No. 48 Tahun 2011, adalah sebagaui berikut :
i. Klasifikasi Pekerjaan Kerumahtanggaan berdasarkan waktu/jam
kerja serta akomodasi terdiri atas bekerja:
1) penuh waktu;
2) atau paruh waktu.
ii. Jenis pekerjaan kerumahtanggaan terdiri atas pekerjaan pokok dan
pekerjaan tambahan.
Hubungan Kerja antara PRT dan Pemberi Kerja dalam Perwal Kota
Yogyakarta No. 48 Tahun 2011 pasal 6 :
(1) Hubungan Kerja antara PRT dan Pemberi Kerja berupa kesepakatan
yang diwujudkan dalam Perjanjian Kerja dengan mengedepankan
hubungan yang bersifat kekeluargaan.
29
(2) Perjanjian Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dituangkan secara tertulis maupun tidak tertulis atas kesepakatan kedua
belah pihak.
(3) isi Perjanjian Kerja sekurang-kurangnya memuat :
a. identitas pihak pertama dan pihak kedua;
b. jenis dan uraian pekerjaan kerumahtanggaan;
c. hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja; dan/atau
d. mekanisme penyelesaian perselisihan.
(4) Hak dan kewajiban seperti disebutkan di atas meliputi :
a. Hak, yang terdiri dari:
a. hari libur;
b. upah;
c. tunjangan hari raya keagamaan sesuai dengan agama yang
dianutnya;
d. kerja yang layak tanpa kekerasan;
e. beban kerja dan jenis kerja yang jelas;
f. waktu istirahat yang cukup;
g. cuti; dan
h. ijin tidak masuk kerja yang disepakati.
b. PRT wajib melaksanakan semua isi Perjanjian Kerja antara
Pemberi Kerja dengan PRT sebagaimana telah disepakati dalam
perjanjian kerja.
30
Pasal 7, PRT dan Pemberi Kerja berhak mendapatkan perlindungan yang
sama dan terbebas dari intervensi pihak manapun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam pengawasan hubungan kerja, yang bertanggung jawab adalah
kelurahan bersama dengan pengurus RT setempat, seperti yang tertuang
dalam Pasal 8 Perwal Kota Yogyakarta No. 48 Tahun 2011:
(1) Pengawasan terhadap hubungan kerja PRT dengan Pemberi Kerja
dapat dilakukan oleh Aparatur Kelurahan setempat.
(2) Pemberi Kerja wajib melaporkan kepada Pengurus RT setempat bahwa
telah mempekerjakan PRT dengan menyertakan identitas PRT.
Terkait PRT dibawah umur, dalam pasal 9, Pemerintah Kota Yogyakarta
memperbolehkan dengan syarat anak terpaksa bekerja sebagai PRT.
Pemerintah Kota Yogyakarta juga mewajibkan kesempatan PRT dibawah
umur untuk mengikuti wajib belajar. Kemudian PRT dibawah umur dapat
dipekerjakan dengan ketentuan:
a. Mendapat ijin dari orang tua/wali;
b. Mendapat pelatihan dan pengenalan terhadap hal-hal yang
membahayakan;
c. Jam kerja dengan memperhatikan hak-hak anak;
d. Tetap menjalin komunikasi dengan orang tua/wali; dan
e. Berhak atas santunan kesehatan, perlindungan dari kekerasan, hak
bersosialisasi dan berpartisipasi.
31
Perjanjian Pemberi Kerja dengan PRT dibawah umur dilakukan oleh
Orang Tua/Wali dari PRT tersebut.
Penyelesaian masalah/perselisihan antara PRT dengan pemberi kerja,
diatur dalam pasal 14 sebagai berikut:
(1) Dalam hal terjadi perselisihan antara PRT dengan Pemberi Kerja
dapat dilakukan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditempuh melalui jalur mediasi dengan mediator Aparatur
Kelurahan setempat dan atau didampingi oleh Serikat PRT.
(3) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak terjadi
kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan proses hukum lebih
lanjut.
(4) Dalam hal terjadi perselisihan antara Agen Penyalur PRT dengan
PRT maupun Pemberi Kerja, maka penyelesaian perselisihan
tersebut merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Terjadinya pelanggaran dan kekerasan yang diterima PRT bukan lagi hal
yang baru bagi Indonesia, dikutip dari Rappler.com, kasus-kasus tersebut
beragam macamnya, antara lain :
a. Kekerasan Ekonomi
Upah tidak dibayar
Upah dipotong karena berbagai anggapan kesalahan
32
b. Kekerasan Seksual
Diraba, Perkosaan
Diminta melihat alat kelamin
Pelecehan secara verbal
c. Kekerasan Psikis
Perendahan dan Penghinaan
Pengekangan(Dilarang menggunakan handphone/Keluar
Rumah/Bersosialisasi)
Dipermalukan di depan umum
Tuduhan Sepihak
d. Kekerasan Fisik
Pemukulan, Dilempar barang, Disetrika
Kepala dibenturkan
Dipaksa melakukan hal-hal yang menyebabkan rasa sakit
secara fisik
Kekerasan tersebut terus terjadi setiap tahunnya seperti yang dapat dilihat
pada grafik berikut ini :
33
Gambar 1.1
Grafik Data Kekerasan Tahun 2012-2017
Sumber : JALA-PRT
Banyaknya kasus tersebut berdasarkan laporan yang diterima, dan
belum termasuk kasus yang terjadi tanpa sepengathuan JALA-PRT.
Namun dari kasus-kasus tersebut, seperti dikutip dari Kbr.id, kasus-kasus
yang berlanjut hingga ke ranah hukum pun tidak semua diselesaikan
dengan cepat, sebagai contoh pada tahun 2015, 80% kasus berhenti di
tingkat kepolisian.
3. Nilai Kekeluargaan dalam Hubungan Kerja
Hubungan kerja yang terjalin antara PRT dengan majikan sejatinya
didasarkan pada kebutuhan antar masing-masing pihak, PRT yang
membutuhkan upah dari hasil menjual jasanya, dan majikan yang
membutuhkan skill/kemampuan dari PRT untuk membantu atau
0 100 200 300 400 500
2012
2013
2014
2015
2016
2017
KASUS KEKERASAN YANG MENIMPA PRT
KASUS KEKERASAN YANGMENIMPA PRT
34
mengerjakan pekerjaan kerumahtanggan. Pola hubungan kerja yang
bersifat kekeluargaan ini membentuk sebuah relasi yang disebut oleh
James Scott (1981) dengan ikatan pelindung (patron) dan klien, Patron
(pelindung) merupakan orang yang berada pada posisi mampu dan
berlebih untuk membantu klien-klien. Patron mempunyai sumber daya
melimpah yang diandalkan oleh klien untuk bertahan hidup. Begitu
bernilainya seorang patron terhadap kliennya, ada yang mengartikan peran
sebagai patron adalah sebagai suri tauladan, sedangkan klien adalah
pengikut yang berada pada posisi lemah terhadap sumberdaya patron dan
berusaha mendapatkannya, dengan menjalin hubungan dengan patron.
Dalam hubungan patron dan klien terdapat unsur kerja sama ketika
hubungan kedua pihak berlangsung. Kerja sama (Ibrahim, 2003: 15)
adalah suatu interaksi orang-orang atau kelompok manusia untuk
mencapai tujuan yang sama atau bersama. Kerja sama timbul karena
adanya tujuan yang sama, juga karena adanya faktor-faktor pembatas pada
masing-masing pihak yang bekerjasama seperti waktu, energi,
pengetahuan, kemampuan, dan lain-lain. Biasanya kerja sama melibatkan
pembagian tugas, di mana setiap orang mengerjakan setiap pekerjaan yang
merupakan tanggung jawabnya demi tercapainya tujuan bersama. Jika
ditinjau dari ikatan yang melibatkan persahabatan instrumental akan
memunculkan suatu posisi dimana seorang individu dengan status sosio-
ekonominya yang lebih tinggi (patron) sebagai majikan menggunakan
pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta
35
keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang
dianggapnyanya lebih rendah (klien) yakni pembantu rumah tangga. Klien
atau pembantu rumah tangga kemudian membalasnya dengan menawarkan
dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patronnya
(majikan). Sebagai pola pertukaran yang tersebar, jasa dan barang yang
dipertukarkan oleh patron (majikan) dan klien (pembantu rumah tangga)
mencerminkan kebutuhan yang timbul dan sumber daya yang dimiliki oleh
masing-masing pihak.
Blau dalam Philipus dan Aini (2004:42-43) mengatakan hubungan patron
klien lebih merupakan hubungan pertukaran (exchange relationship) yaitu
bahwa:
a. Pertukaran hanya terjadi di antara pelaku yang mengharapkan
imbalan dari pelaku lain dalam hubungan mereka.
b. Dalam mengejar imbalan ini, para pelaku dikonseptualisasikan
sebagai seseorang yang mengejar profit.
c. Pertukaran antara dua macam, yang langsung (dalam jaringan
interaksi yang relatif kecil) dan kurang langsung (dalam sistem sosial
yang lebih besar).
Ada empat macam imbalan dengan derajat berbeda, yaitu uang,
persetujuan sosial, penghormatan/ penghargaan dan kepatuhan. Agar
hubungan ini (patron klien) dapat berjalan dengan mulus, diperlukan
adanya unsur-unsur tertentu di dalamnya. Unsur pertama adalah bahwa apa
yang diberikan oleh satu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak
36
yang lain, entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa, dan bisa
berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian ini pihak penerima merasa
mempunyai kewajiban untuk membalasn Dalam hubungan patron klien
tentunya terdapat proses interaksi sosial yang berlangsung, karena dari
interaksi sosial tersebut kedua belah pihak saling mengharapkan hubungan
yang bersifat timbal balik.
Tujuan dasar dari hubungan patron klien bagi klien yang
sebenarnya adalah penyediaan jaminan sosial dasar bagi subsistensi dan
keamanan. Apabila hubungan dagang/pertukaran yang menjadi dasar pola
hubungan patron klien ini dalam hal ini posisi tawar pembantu rumah
tangga selaku klien melemah karena tidak lagi memberikan jaminan sosial
dasar bagi subsistensi dan keamanan maka klien akan mempertimbangkan
hubungannya dengan patron menjadi tidak adil dan eksploitatif. Yang
terjadi kemudian legitimasi bukanlah berfungsi linear dari neraca
pertukaran itu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika ada tuntutan dari
pihak klien selaku pembantu rumah tangga terhadap patronnnya (majikan)
untuk memenuhi janji-janji atau kebutuhan dasarnya sesuai dengan peran
dan fungsinya. Hubungan tersebut sifatnya akan langgeng dan permanen
jika masing-masing pihak menemukan kesesuaiannya dan manfaatnya.
Dalam konteks hubungan antar kelompok atau suku bangsa, hubungan
patron klien ini lambat laun menjadi hubungan yang sifatnya struktural
dan dominatif dan diterima sebagai suatu kebenaran yang diwariskan
secara turun-temurun
37
Namun hubungan patron klien ini juga mempunyai akhir atau bisa
diakhiri. Bagi Scott, ada ambang batas yang menyebabkan seorang klien
berpikir bahwa hubungan patron klien ini telah berubah menjadi hubungan
yang tidak adil dan eksploitatif yaitu ambang batas yang berdimensi
kultural dan dimensi obyektif. Dimensi kultural disini oleh Scott diartikan
sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan minimum secara kultural para
klien. Pemenuhan kebutuhan minimum kultural itu misalnya acara ritual,
kebutuhan sosial kolektif/ kelompok dll. Sedangkan dimensi obyektif lebih
cenderung kepada pemenuhan kebutuhan dasar/ minimun yang
mendasarkan pada kepuasan diri. Seperti lahan yang cukup untuk memberi
makan, memberi bantuan untuk orang sakit dan lain- lain. Hubungan
ketergantungan yang memasok jaminan-jaminan minimal ini akan
mempertahankan legitimasi hubungan antara patron- kliennya. Jika para
patron tidak sanggup memenuhi 2 dimensi kebutuhan tersebut dalam
konteks kepuasan para klien, maka menurut Scott, klien akan berpikir
hubungan patron klien ini menjadi hubungan yang sifatnya dominatif dan
eksploitatif.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hubungan kerja
antara Pekerja Rumah Tangga dengan Pemberi Kerja tidak murni
merupakan hubungan hukum tetapi juga hubungan sosial, sehingga perlu
dibangun agar terbentuk keterikatan kerja yang saling menghargai,
membutuhkan dan melindungi antar kedua belah pihak. Maka Hubungan
Kerja antara PRT dan Pemberi Kerja, sesuai Perwal Kota Yogyakarta No.
38
48 Tahun 2011 pasal 6 ayat 1, berupa kesepakatan yang diwujudkan dalam
Perjanjian Kerja dengan mengedepankan hubungan yang bersifat kekeluar
gaan. Yang dimaksud dengan "asas kekeluargaan", sepeti yang dijelaskan
dalam penejelasan Peraturan Gubernur Provinsi D.I. Yogyakarta No. 31
Tahun 2010 tentang Pekerja Rumah Tangga, adalah bahwa hubungan kerja
antara pemberi kerja dan penerima kerja harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Tetapi
seperti yang dijelaskan di atas, proses musyawarah dalam hubungan
kekeluargaan ini sering kali tidak berlangsung dengan efektif, sebab dalam
relasi patron-klien, patron atau majikan seringkali diuntungkan dengan
status sosio-ekonomi yang lebih tinggi, sehingga tidak menguntungkan
bagi klien atau PRT dalam proses tawar-menawar.
39
4. Penyelesaian Masalah (Resolusi Konflik)
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere
yang berarti saling memukul. Sementara menurut KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau
pertentangan. Menurut Antonius, dkk. (2002:175) konflik adalah suatu
tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau
mengganggu pihak lain yang mana hal ini dapat terjadi antar kelompok
masyarakat atau dalam hubunagn antar individu. Benyamin Maftuh (2005)
mendefinisikan konflik sebagai interaksi sosial antar individu atau
kelompok yang lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.
Koentjaraningrat (1981) mengatakan bahwa konflik merupakan suatu
proses atau keadaan di mana dua pihak atau lebih berusaha untuk saling
menggagalkan tujuan masing-masing, karena adanya perbedaan pendapat,
nilai-nilai ataupun tuntunan dari masing-masing kelompok. Konflik juga
bisa diartikan sebagai suatu ekspresi pertentangan antara dua pihak yang
saling bergantung yang memiliki tujuan berbeda dan berusaha untuk
menggagalkan tujuan dari pihak lain.
Susan (2010:99) menuliskan bahwa konflik terdiri dari dua jenis yaitu
pertama dimensi vertikal atau “konflik atas”, yang dimaksud adalah
konflik antara elite dan massa. Konflik ini melibatkan para pengambil
kebijakan di tingkat pusat, ataupun majikan sebagai elite, dengan PRT.
Kedua konflik horizontal, yakni konflik yang terjadi dikalangan massa
sendiri, atau isu-isu yang dibahas di antara para PRT itu sendiri.
40
Menurut Wiyono (1993: 37) ciri-ciri konflik adalah:
a. Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perorangan maupun kelompok
yang terlibat dalam suatu interaki yang saling bertentangan. 4 Andri
Wahyudi, Konflik, Konsep Teori dan Permasalahan
b. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perorangan
maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan
ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
c. Munculnya interaksi yang sering ditandai oleh gejala-gejala perilaku
yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi dan
menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan
seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam
kebutuhan fisik: sandang-pangan, materi dan kesejahteraan atau
tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan
kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri,
kasih, penghargaan dan aktualisasi diri
d. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat
pertentangan yang berlarut-larut.
e. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing
pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat,
golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, pretise dan sebagainya.
41
Kemudian tahapan-tahapan perkembangan kearah terjadinya konflik
(Wijono, 1993, 38-41), adalah sebagai berikut:
a. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang
biasa dan tidak dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
b. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang
belum mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara
keseluruhan, seperti timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda,
perbedaan peran dan sebagainya.
c. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts)
Munculnya akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
d. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat
yang ditimbulkannya, individu, kelompok atau organisasi cenderung
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
e. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu
konflik, yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau
sebaliknya malah ditekan.
f. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat
maka dapat memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua
42
pihak. Sebaliknya bila tidak, maka bisa berdampak negative terhadap
kedua belah pihak sehingga mempengaruhi produktivitas kerja.
Sementara itu tejadinya konflik ketenagakerjaan di Indonesia, seperti
dikutip dari Kompas.com, menurut Kepala Lembaga Demografi FE UI,
Sonny Harry Harmadi, antara lain adalah prospek kerja yang tidak jelas,
jam kerja yang tidak jelas, upah rendah, stabilitas pekerjaan yang tidak
pasti, kondisi kerja yang buruk dengan resiko yang tinggi, serta tidak
lancaranya komunikasi antara pemberi kerja dengan bawahannya (PRT).
Dalam penyelesaian konflik, ada beberapa cara yang dapat dilakukan.
Berikut ini adalah beberapa jenis metode penyelesaian konflik.
a. Pencegahan konflik (conflict prevention)
b. Penanganan konflik (conflict settlement), upaya mengakhiri tingkah
laku kekerasan dengan mencapai kesepakatan perdamaian.
c. Manajemen konflik (conflict management), bertujuan untuk
membatasi dan menghindari kekerasan yang mungkin terjadi di waktu
yang akan datang dengan cara mendukung perubahan tingkah laku
yang positif pada pihak-pihak yang terlibat.
d. Resolusi konflik (conflict resolution), yaitumembahas berbagai
penyebab konflik dan mencoba untuk membangun hubungan baru dan
abadi di antara kelompok-kelompok yang saling bertikai.
e. Transformasi konflik (conflict transformation), membahas sumber
politik dan sosial yang lebih luas dari suau konflik dan mencoba untuk
43
mentransformasikan energi negatif peperangan menjadi perubahan
sosial dan politik yang bersifat positif.
Lebih lanjut tentang Resolusi Konflik, Rahmadi (2011:12-20) menuliskan
beberapa macam penyelesaian konflik antara lain :
a. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian konflik melaluli perundingan langsung
antara dua pihak atau lebih yang terlibat dalam konflik tanpa bantuan
pihak lain. Tujannya adalah menghasilkan keputusan yang diterima
dan dipatuhi secara sukarela.
Friedrich-Ebert-Stiftung, dalam Negosiasi Efektif : Sebuah Panduan
Praktis (1998). International Labour Organization, menjelaskan dalam
negosiasi tidak ada agenda yang baku atau sama; tiap-tiap pihak
memperjuangkan kepentingannya masing-masing. Negosiasi
melibatkan proses pembicaran, mendengarkan dan pengamatan,
dengan tujuan untuk mencapai suatu kesepakatan yang dapat diterima
oleh kedua belah pihak. Proses negosiasi adalah milik pihak-pihak
yang terkait: tidak dihadiri oelh pihak ketiga yang independen, kecuali
jika negosiasi macet atau mencapai deadlock dan kemudian ditunjuk
seorang konsiliator atau penengah untuk membantu dalam proses
perundingan. Negosiasi tidak selalu berakhir dengan kesepakatan;
kedua belah pihak mungkin saja dapat menyetujui ketidaksepakatan
yang terjadi. Di akhir negosiasi akan menghasilkan posisi antar pihak
Menang-Kalah; Kalah-Menang; Menang-Menang; atau Kalah-Kalah.
44
Ada empat tahap yang biasanya terjadi dalam negosiasi:
1) Persiapan
Persiapan mencakup penentuan sasaran dan prioritas,
mengumpulkan informasi, dan menentukan strategi yang akan
digunakan.
2) Diskusi
Diskusi menandakan dimulainya proses negosiasi.
3) Perundingan (Tawar – Menawar)
Perundingan mencakup ajuan proposal atau usulan penawaran
konsesi dan mengarah kepada suatu kesepakatan.
4) Penutup dan Kesepakatan
Di sini kedua belah pihak secara aktif mencari posisi Menang –
Menang dan mencapai suatu ke sepakatan yang dapat diterima
bersama.
b. Mediasi
Mediasi adalah suatu penyelesaian sengketa atau konflik antara dua
pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan
meminta bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan. Mediator hanya berfungsi memfasilitasi perundingan,
penyelesaian perselisihan dalam perkara yang terjadi antara majikan
dengan PRT juga dapat dilakukan melalui proses mediasi apabila
dalam proses musyawarah tidak menemukan titik terang, proses
mediasi ditemani dengan mediator untuk memberikan pilihan solusi
45
penyelesaian perselisihan yang akan diputuskan para pihak yang
bersangkutan secara bersama-sama dan membantu merumuskan
persoalan.
c. Arbitrasi
Arbitrasi adalah cara penyelesaian konflik oleh para pihak yang
terlibat dalam konflik dengan meminta bantuan kepada pihak netral
yang memiliki kewenangan memutuskan. Hasil keputusan dalam
arbitrasi dapat bersifat mengikat maupun tidak mengikat. Dalam
arbitrasi, pemilihan arbitrator adalah berdasarkan pilihan oleh pihak
yang berkonflik.
d. Ligitasi
Litigasi diartikan sebagai proses penyelesaian konflik melalui
pengadilan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan mengadukan gugatan
ke pengadilan terhadap pihak lain yang menyebabkan timbulnya
kerugian. Keputusan dalam ligitasi adalah bersifat mengikat.
Sedangkan pihak berkonflik tidak memiliki wewenang memilih hakim
yang akan memimpin sidang dan memutuskan perkara.
Dalam hal penyelesaian perselisihan antara PRT dengan majikan, seperti
yang termuat dalam Perwal Kota Yogyakarta No. 48 Tahun 2011 tentang PRT,
Pasal 14 adalah sebagai berikut :
(1) Dalam hal terjadi perselisihan antara PRT dengan Pemberi Kerja dapat
dilakukan penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat.
46
(2) Apabila tidak tercapai mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditempuh melalui jalur mediasi dengan mediator Aparatur
Kelurahan setempat dan atau didampingi oleh Serikat PRT.
(3) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak terjadi
kesepakatan, maka para pihak dapat mengajukan proses hukum lebih
lanjut.
(4) Dalam hal terjadi perselisihan antara Agen Penyalur PRT dengan PRT
maupun Pemberi Kerja, maka penyelesaian perselisihan tersebut
merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari keempat langkah penyelesaian konflik (perselisihan) tersebut, hanya
2 langkah yang mencerminkan cara kekeluargaan yaitu ayat satu (1) dan dua
(2), sebab dalam cara-cara kekeluargaan adalah mengedepankan mufakat
dalam cara penyelesaian konflik yang non-formal (hukum).
F. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian merupakan batasan penelitian yang digunakan
agar peneliti dapat terfokus pada informasi data yang dibutuhkan sehingga
tidak keluar atau melenceng dari tujuan penelitian.
47
Ruang lingkup peneliti terfokus hanya pada Evaluasi Kebijakan
Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan dengan Cara
Kekeluargaan di Kota Yogyakarta menurut Peraturan Walikota Nomor 48
Tahun 2011 Tentang Pekerja Rumah Tangga, berikut adalah ruang lingkup
yang peneliti gunakan:
1. Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan
dengan Cara Musyawarah Mufakat.
2. Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan
dengan Cara Mediasi.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian pada skripsi ini adalah penelitian Deskriptif
Kualitatif. Bogdan dan Taylor (Moleong 2009), mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati atau dari bentuk tindakan kebijakan. Menurut Moleong, dalam
pendekatan kualitatif deskriptif data yang dikumpulkan adalah data yang
berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Data tersebut dapat
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, video tape,
dokumentasi pribadi, catatan atau memo dan dokumentasi lainnya. Hasil
penelitian berupa kutipan dari transkrip hasil wawancara yang telah diolah
dan kemudian disajikan secara deskriptif.
48
Hadari Nawawi dan H. Mimi Martini (1996: 73) menyatakan penelitian
deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki, dengan
menggambarkan atau melukiskan objek penelitian pada saat sekarang,
berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.
Adapun alasan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah
karena dalam penelitian ini data yang dihasilkan berupa data deskriptif
yang diperoleh dari data-data berupa tulisan, kata-kata dan dokumen yang
berasal dari sumber atau informan yang diteliti dan dapat dipercaya.
Metode kualitatif digunakan karena beberapa pertimbangan,
pertama menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyaataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung
hakekat hubungan antara peneliti dan responden; ketiga, metode ini lebih
peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan penajaman pengaruh
bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
2. Unit Analisis
Penelitian “Evaluasi Kebijakan Penyelesaian Konflik antara Pekerja
Rumah Tangga dan Majikan dengan Cara Kekeluargaan di Kota
Yogyakarta menurut Peraturan Walikota Nomor 48 Tahun 2011 Tentang
Pekerja Rumah Tangga” ini dilaksanakan di wilayah pemerintahan Kota
Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Obyek yang menjadi
sasaran dalam penelitian ini adalah Evaluasi Kebijakan Penyelesaian
Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan Majikan dengan Cara
49
Kekeluargaan di Kota Yogyakarta menurut Peraturan Walikota Nomor 48
Tahun 2011 Tentang Pekerja Rumah Tangga.
Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini berjumlah 12 orang,
dengan rincian sebagai berikut :
a. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta (1 orang)
b. Pejabat Kelurahan (1 orang)
c. Ketua RT/RW (1 orang)
d. Serikat PRT Tunas Mulia Yogyakarta (1 orang)
e. Agen Penyalur PRT (2 orang)
f. Pengguna Jasa PRT/Majikan (1 orang)
g. Pekerja Rumah Tangga (PRT) (3 orang)
Sumber informasi dalam penelitian ini adalah 10 orang yang telah ditentukan
sebelumnya oleh peneliti, dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 1.1.
Data Informan
Informan Usia Pendidikan Nama Keterangan
1 42 S2 Dwiyono
Dinas Tenaga Kerja
Kota Yogyakarta
2 33 S1 Jumiyah
Serikat PRT Tunas
Mulia
3 32 SMP Taufik PRT
4 45 SD Tri PRT
5 48 SD Rahmi PRT
50
6 38 S2 Deddi Majikan
7 29 S1 Ratna
Agen PRT Edi Daya
Group
8 28 S1
Ayu
Mutoharo
Agen PRT PT.Srikandi
Mandiri Duta Mulia
9 22 SMA Aris Masyarakat
10 22 SMA Paul Osok Masyarakat
Sepuluh orang di atas adalah informan yang berasal dari beberapa
kelompok yang berkaitan dengan Pekerja Rumah Tangga serta perwakilan
masyarakat yang dipandang mengetahui serta memahami tentang Evaluasi
Kebijakan Penyelesaian Konflik antara Pekerja Rumah Tangga dan
Majikan dengan Cara Kekeluargaan di Kota Yogyakarta menurut
Peraturan Walikota Nomor 48 Tahun 2011 Tentang Pekerja Rumah
Tangga Terkait dengan hal tersebut, maka para informan tersebut
dijadikan sebagai sumber data primer melalui wawancara secara langsung.
3. Teknik Pengumpulan Data
a) Observasi
Data penelitian didapatkan langsung dari subyek penelitian yang
diambil langsung oleh peneliti kepada sumber secara langsung melalui
responden. Kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai merupakan sumber data utama. Sumber data utama
dicatat melalui catatan tertulis atau melalui perekaman video/audio
51
tapes, pengambilan foto dan film (Moleong 2009). Data diperoleh
melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan. Sumber data
yang didapatkan langsung pada penelitian ini adalah wawancara dan
pengamatan langsung para pekerja rumah tangga.
Sumber data penelitian ini juga dapat didapatkan dengan cara tidak
langsung, dalam artian didapatkan melalui hasil rekaman yang sudah
dire¬kam pada waktu yang lalu terlebih yang sudah tersimpan sebagai
koleksi pustaka yang meliputi kumpulan buku dan/atau non buku.
Sumber tersebut mampu memberikan tambahan serta penguatan
terhadap data penelitian.
b) Wawancara
Menurut Moleong (2009) wawancara adalah percakapan dengan
maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Teknik wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan petunjuk
umum. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara membuat
kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu
ditanyakan secara berurutan (semi struktur). Penggunaan teknik
wawancara dengan menggunakan petunjuk umum wawancara
dikarenakan agar garis besar hal-hal yang akan ditanyakan kepada
narasumber terkait dengan strategi Museum Perjuangan kota
Yogyakarta dalam menarik minat pengunjung Museum dapat tercakup
52
dan dapat semua terjawab. Wawancara dilakukan dengan membawa
pedoman wawancara (interview guide) dengan tujuan agar wawancara
tidak menyimpang dari permasalahan.
c) Dokumentasi
Menurut Arikunto (2006:158), Dokumentasi adalah mencari dan
mengumpulkan data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, notulen, rapot, agenda dan sebagainya.
Dimana dokumen-dokumen yang dianggap menunjang dan relevan
dengan permasalahan yang akan diteliti baik berupa literatur, laporan
tahunan, majalah, jurnal, tabel, karya tulis ilmiah dokumen peraturan
pemerintah dan Undang-Undang yang telah tersedia pada lembaga yang
terkait dipelajari, dikaji dan disusun/dikategorikan sedemikian rupa
sehingga dapat diperoleh data guna memberikan informasi berkenaan
dengan penelitian yang akan dilakukan.
4. Teknik Analisis Data
Sutopo (2003: 8) menjelaskan bahwa analisis data terdiri dari tiga
hal utama yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
(verifikasi), dengan penjelasannya:
1) Reduksi data
Reduksi data merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi
data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan.
Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi
53
selanjutnya (membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema,
membuat gugus-gugus, membuat partisi, membuat memo).
2) Penyajian data
Data sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian-penyajian yang baik merupakan suatu cara
yang utama bagi analisis kualitatif yang valid meliputi: berbagai
jenis matrik, grafik, jaringan dan bagan
3) Penarikan kesimpulan
Tahap terakhir yang berisikan proses penganbilan keputusan yang
menjurus pada jawaban dari pertanyaan penelitian yang diajukan
dan mengungkap “what” dan “how” dari temuan penelitian
tersebut.
54
BAB II
DESKRIPSI KOTA YOGYAKARTA
A. Gambaran Wilayah Kota Yogyakarta
1. Sejarah Kota Yogyakarta
Nama Yogyakarta terambil dari dua kata,yaitu Ayogya atau Ayodhya yang
berarti "kedamaian" (atau tanpa perang, a "tidak", yogya merujuk pada yo
dya atau yudha, yang berarti "perang"), dan Karta yang berarti "baik".
Ayodhya merupakan kota yang bersejarah di India di mana wiracarita Ram
ayana terjadi. Tapak keraton Yogyakarta sendiri menurut babad (misalnya
Babad Giyanti) dan leluri (riwayat oral) telah berupa sebuah dalem yang
bernama Dalem Gerjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Sunan Pakubuwana
II sebagai Dalem Ayogya.
Kota Yogyakarta didirikan pada tahun 1755, bersamaan dengan
dibangunnya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan
Hamengku Buwono I di Bekas Hutan Bering, suatu kawasan diantara
Sungai Winongo dan Sungai Code dimana lokasi tersebut Nampak
strategis menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Pemerintah
Kota madya Yogyakarta baru dibentuk sejak tanggal 7 Juni 1947 dimana
saat berdirinya disebut sebagai Kota Praja. Berbeda dengan kota lainnya,
dijaman penjajahan Belanda kota Yogyakarta memang belum pernah
menjadi kota otonom. Jadi kota Yogyakarta belum pernah memiliki
pemerintahan tersendiri. Kota Praja Yogyakarta lahir dengan
ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 1947 yang membentuk
55
kota Yogyakarta sebagai Haminte Kota atau Kota Otonom. Undang-
undang tersebut merupakan produk perundang-undangan di jaman
kemerdekaan tertanggal 7
Juni 1947. Kotamadya Yogyakarta yang dikenal sebagai kota perjuangan
itu, bukan dilahirkan oleh penjajahan, melainkan dilahirkan pada masa
kemerdekaan, bahkan lahir pada saat perjuangan nasional, ketika bangsa
Indonesia sedang menegakkan kedaulatan negara setelah Proklamasi 17
Agustus 1945.
2. Batas Wilayah
Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dan
45 kelurahan dengan batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Sleman
Sebelah Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman
Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman.
Sebelah Selatan : Kabupaten Bantul
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan
merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping
4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten.
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110o 24
I 19
II sampai
110o 28
I 53
II Bujur Timur dan 7
o 15
I 24
IIsampai 7
o 49
I 26
II Lintang
Selatan dengan ketinggian rata-rata 114m diatas permukaan laut.
56
3. Keadaan Alam
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah
dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki
kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota
Yogyakarta, yaitu :
Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
Bagian tengah adalah Sungai Code
Sebelah barat adalah Sungai Winongo
Kota Yogyakarta yang terletak di daerah dataran lereng aliran
Gunung Merapi memiliki kemiringan lahan yang relatif datar antara 0 - 2
% dan berada pada ketinggian rata-rata 114 meter dari permukaan air laut
(dpl). Sebagian wilayah dengan luas 1.657 hektar terletak pada
ketinggian kurang dari 100 meter dan sisanya (1.593 hektar) pada
ketinggian antara 100–199 meter dpa. Sebagian besar jenis tanahnya
adalah regosol.
57
4. Luas Wilayah
Kota Yogyakarta memiliki luas sekitar 32,5 Km2 atau 1,02 % dari
luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak terjauh dari
Utara ke Selatan kurang lebih 7,5 Km dan dari Barat ke Timur kurang
lebih 5,6 Km.
Tabel 2.1
Luas wilayah, Jumlah RW dan RT menurut Kecamatan dan
keluruhan dikota Yogyakarta 2017
No Kecamatan Kelurahan Luas
(Km2)
RW RT
1 Tegalrejo Kricak
Karangwaru
Tegalrejo
Bener
0.82
0.70
0.82
0.57
2.91
13
14
12
7
46
61
56
46
25
188
2 Jetis Bumijo
Gowongan
Cokrodiningratan
0.58
0.46
0.66
1.70
13
13
11
37
56
52
60
168
3 Gondokusuman Demangan
Kotabaru
Klitren
Baciro
Terban
0.74
0.71
0.68
1.03
0.80
3.97
12
4
16
21
12
65
44
20
63
87
59
273
4 Danurejan Suryatmajan
Tegalpanggung
Bausasran
0.28
0.35
0.47
1.10
15
16
12
43
45
66
49
160
5 Gedongtengen Sosromenduran
Pringgokusuman
0.50
0.46
0.96
14
23
37
54
89
143
6 Ngampilan Ngampilan
Notoprajan
0.45
0.37
0.82
13
8
21
70
50
120
7 Pakualaman Purwokinanti
Gunungketur
0.33
0.30
0.63
10
9
19
47
36
83
8 Wirobrajan Pakuncen 0.65 12 56
58
Wirobrajan
Patangpuluhan
0.67
0.44
1.76
12
10
34
58
51
165
9 Mantrijeron Gedongkiwo
Suryodiningratan
Mantijeron
0.90
0.85
0.86
2.61
18
17
20
55
86
69
75
230
10 Kraton Patihan
Panembahan
Kadipaten
0.40
0.66
0.34
1.40
10
18
15
43
44
78
53
175
11 Gondokusuman Ngapusan
Prawirodirjan
0.45
0.67
1.12
13
18
31
49
61
110
12 Mergangsan Keparakan
Wirogunan
Brotokusuman
0.53
0.85
0.93
2.21
13
24
23
60
57
76
83
216
13 Umbulharjo Semaki
Muja-muja
Tahunan
Warungboto
Pandeyan
Sorosutan
Giwangan
0.66
1.53
0.78
0.83
1.38
1.68
1.26
8.12
10
12
11
9
12
16
13
83
34
55
48
38
49
63
42
329
14 Kotagede Rejowinangun
Prenggan
Purayan
1.25
0.99
0.83
3.07
13
13
14
40
49
57
58
164
Kota Yogyakarta 45 32.50 614 2.524
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2018
5. Demografi
a. Jumlah Penduduk
Kondisi demografi Kota Yogayakarta mendasarkan pada dua data
kependudukan yaitu data yang berasal dari Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil untuk melihat jumlah penduduk secara ‘de jure’ dan dari
Badan Pusat Statistik Kota Yogayakarta (BPS) secara ‘de facto’.
59
Jumlah penduduk suatu wilayah dipengaruhi oleh 59actor kelahiran,
kematian dan migrasi/perpindahan penduduk.
Perkembangan jumlah penduduk Kota Yogyakarta mengalami
perubahan setiap tahunnya. Berikut jumlah penduduk yang terdapat di
setiap Kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta.
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota
Yogyakarta, 2017
SumberKota Yogyakarta Dalam Angka 2018
Mayoritas penduduk di Kota Yogyakarta adalah Perempuan sebanyak
216.311 Jiwa dengan persentase 51.16% dari Jumlah Penduduk yang ada
di Kota Yogyakarta
No Kecamatan Jenis Kelamin (Ribu)
Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Mantrijeron 16.281 17.125 33.406
2 Kraton 8.406 9.169 17.575
3 Mergangsan 15.097 15.569 30.666
4 Umbulharjo 44.040 46.735 90.775
5 Kotagede 18.513 18.542 37.055
6 Gondokusuman 23.038 24.423 47.641
7 Danurejan 9.436 9.692 19.128
8 Pakualaman 4.543 4.798 9.341
9 Gondomanan 6.428 7.269 13.697
10 Ngampilan 7.957 9.074 17.031
11 Wirobrajan 13.196 12.796 25.992
12 Gedongtengen 8.778 9.610 18.388
13 Jetis 11.746 12.237 23.983
14 Tegalrejo 18.962 19.272 38.234
15 Kota Yogyakarta 206.421 216.311 422.732
60
b. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Usia
Tabel 2.3
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kota
Yogyakarta, 2017
Kelompok Umur Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
0‒4 14 139 13 432 27 571
5‒9 14 200 13 468 27 668
10‒14 13 745 12 931 26 676
15‒19 17 680 19 452 37 132
20‒24 24 702 26 352 51 054
25‒29 21 844 19 664 41 508
30‒34 16 375 15 770 32 145
35‒39 14 327 14 652 28 979
40‒44 13 279 14 277 27 556
45‒49 13 662 14 987 28 649
50‒54 12 818 14 255 27 073
55‒59 10 803 12 492 23 295
60‒64 7 418 7 806 15 224
65‒69 4 421 5 627 10 048
70‒74 3 085 4 429 7 514
75+ 3 923 6 717 10 640
Jumlah 206 421 216 311 422 732
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2018
61
Tabel 2.4
Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Selama
Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Pekerjaan Utama dan Jenis
Kelamin di Kota Yogyakarta, 2017
Lapangan Pekerjaan Utama
Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Jumlah
Pertanian, Kehutanan,
Perburuan, dan Perikanan 399 0 399
Pertambangan dan Penggalian 929 0 929
Industri Pengolahan 13.409 13 455 26.864
Listrik, Gas, dan Air 792 0 792
Bangunan 5.846 1 085 6.931
Perdagangan Besar, Eceran,
Rumah Makan, dan Hotel 42.576 50 210 92.786
Angkutan, Pergudangan, dan
Komunikasi 10.194 2 395 12.589
Keuangan, Asuransi, Usaha
Persewaan Bangunan, Tanah,
dan Jasa Perusahaan
8.126 4 509 12.635
Jasa Kemasyarakatan, Sosial,
dan Perorangan 29.124 30 542 59.666
Jumlah 111.395 102.196 213.591
` Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2018