renville 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_full[1].pdf · 10. mbak...

115
104 RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Disusun oleh YUHAN CAHYANTARA NIM : 024314007 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

Upload: lehanh

Post on 20-Jul-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

104

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA

SISI GELAP PERUNDINGAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Disusun oleh

YUHAN CAHYANTARA NIM : 024314007

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2007

Page 2: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda
Page 3: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda
Page 4: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

107

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya orang lain, baik itu sebagian maupun seluruhnya, kecuali yang

telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya suatu karya

ilmiah.

Yogyakarta, 7 Agustus 2007

Penulis

Yuhan Cahyantara

iv

Page 5: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

108

MottoMottoMottoMotto

Jalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalanJalanmu bukanlah jalan----Ku….Ku….Ku….Ku….

(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)(Yesaya 55 : 8)

Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi Segala perbedaan bukanlah suatu hal yang harus dirisaukan, tetapi

harus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaanharus dibanggakan karena ia adalah kekayaan

“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,“Engkau yang memberi,

Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”Engkau yang mengambilnya kembali”

(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)(Ayub 1 : 21)

Page 6: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

109

PersembahanPersembahanPersembahanPersembahan

Dengan kerendahan hatiDengan kerendahan hatiDengan kerendahan hatiDengan kerendahan hati

Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :Kupersembahkan karya ini kepada :

Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi Bapak dan ibuku, F.X. Sugiyono, Bsc. dan Serafica Listi

SulaxmiSulaxmiSulaxmiSulaxmi

Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian Terima kasih atas kasih sayang dan segalanya yang telah kalian

berikan padaku. berikan padaku. berikan padaku. berikan padaku. Sungguh, kaliaSungguh, kaliaSungguh, kaliaSungguh, kalian adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh n adalah benteng yang tangguh

bagiku.bagiku.bagiku.bagiku.

v

vi

Page 7: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

110

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala

kasih dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu

menyelesaikan karya ini. Sungguh, Dia yang menjadi sandaran segala harapan

penulis karena Dia adalah kehidupan abadi.

Selain itu, karya ini juga terwujud atas bantuan dan perhatian dari berbagai

pihak yang sungguh berarti bagi penulis. Untuk itulah dalam kesempatan yang indah

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H.

Sebagai Dosen Pembimbing Tunggal yang telah membimbing, memberikan

saran, kebebasan dalam menulis, dan mengoreksi karya ini. Berkat bimbingan

Bapak penulis merasa tenang dan optimis dalam menyusun karya ini.

2. Drs. H. Purwanta, M.A.

Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selalu peduli pada perkembangan

akademis penulis. Terima kasih atas koreksi, perbaikan awal, dan penjelasannya,

sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum.

Sebagai Kaprodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan dorongan bagi penulis

untuk segera menyelesaikan penelitian ini.

4. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah

Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R.L.

Aji Sampurno, M.Hum, dan Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. yang telah memberikan

banyak bekal pengetahuan kepada penulis.

vii

Page 8: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

111

5. Bapak F.X. Sugiyono, Bsc. dan Ibu Serafica Listi Sulaxmi, Mas Koko dan Ester.

Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian bagi padaku.

6. Reni, yang telah membuat abstrak untukku. Bersamamu aku merasakan kasih dan

sayangmu.

7. Qeqe, yang selalu bisa membuatku tertawa dan bahagia. Terima kasih juga atas

hari-hari yang menyenangkan bersamamu, bercerita, tertawa, berantem adalah

kita. Bersamamu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Mengenalmu, rasanya

seperti mempunyai adik yang bisa diajak berbagi.

8. Ada dan Iren, senang mengenal kalian. Banyak juga kebahagiaan yang kudapat

dari kalian.

9. Teman-temanku di 2002 :

Ida, Mamik, Gusti, Vila, Ela, Nana, Feny, Yosi, Hananto, Markus, Eko, Daniel,

Roger, Vianney, Devi, Yuda, Halim, Ekarama, Opet, Elang, Soekarno. Senang

bisa sekelas dengan kalian semua. Terus berjuanglah.

10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah skripsi ini. Terima kasih juga atas

koreksinya.

11. Musik-musik yang selalu menjadi teman dan pengiringku selama ini :

Dewa-Dewi, Ungu – Bayang Semu, Linkin Park – Numb, Evo – Terlalu Lelah,

Pinkan Mambo – Kasmaran, Siti Nurhaliza – Betapa Ku Cinta Padamu.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.

Yogyakarta, 7 Agustus 2007

Penulis

viii

Page 9: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

112

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv

MOTTO ........................................................................................................... v

PERSEMBAHAN............................................................................................ vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

ABSTRAK....................................................................................................... ix

ABSTRACT..................................................................................................... x

DAFTAR ISI.................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah ....................................... 6

C. Pokok Permasalahan .................................................................. 8

D. Tujuan Penelitian ....................................................................... 9

E. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9

F. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 10

G. Kerangka Konseptual ................................................................ 14

H. Hipotesis .................................................................................... 15

I. Metodologi Penelitian ............................................................... 20

xi

Page 10: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

113

J. Sistematika Penulisan ................................................................ 21

BAB II. JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN .............................. 23

BAB III. DIPLOMASI DAN INTERVENSI .................................................. 36

A. Diplomasi Belum Berakhir ........................................................ 36

B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville .................................... 52

BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN ...................... 62

A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan .................................................. 62

B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran ................................................. 69

C. Mencari Jalan Tengah ............................................................... 77

D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara .................... 81

BAB V. PENUTUP......................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95

LAMPIRAN

xii

Page 11: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

114

ABSTRAK

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN

Suatu Usaha Memahami Perundingan Renville Dalam Konteks

Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

Oleh : Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan hubungan bilateral

antara Indonesia – Belanda pada periode 1947 – 1948 terkait dengan dilaksanakannya Perundingan Renville untuk mengatasi konflik keduanya pasca Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Ada tiga permasalahan utama yang ditampilkan dalam penelitian ini, yaitu : Pertama, apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville? Kedua, mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan? Ketiga, bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Melalui metode tersebut penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolahnya melalui suatu analisis untuk kemudian ditarik suatu pemahaman yang komprehensif atas topik yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik, sehingga menghasilkan pemahaman dari perspektif politik.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah : Pertama, yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville secara garis besar terdiri dari dua bidang, yaitu bidang militer dan bidang politik. Di bidang militer, penghentian permusuhan dan penentuan garis demarkasi menjadi substansi utama yang menjadi perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan gencatan senjata. Di bidang politik, substansi utamanya adalah mengenai distribusi kekuasaan dan peninjauan kembali bentuk hubungan politik antara Indonesia – Belanda.

Kedua, tidak adanya bentuk kesepakatan konkret antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville membuat proses perundingan terhambat dan bahkan adanya pelanggaran-pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang terus terjadi antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda membuat hubungan Indonesia – Belanda semakin memanas.

Ketiga, hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ternyata tidak semakin membaik, tetapi justru semakin menjauh. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kesepakatan konkret dalam membuat rancangan-rancangan teknis pelaksanaan hasil-hasil perjanjian yang bisa untuk segera dilaksanakan. Tidak adanya kesepakatan tersebut membuat hasil-hasil Perjanjian Renville tidak bisa dilaksanakan secara efektif dalam mengatasi konflik antara Indonesia – Belanda.

ix

Page 12: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

115

ABSTRACT

RENVILLE 1947 : FINDING THE GOOD POINT BETWEEN THE DARK SIDE OF NEGOTIATION

An Exertion to Understand Renville Negotiation in Bilateral Relation Contex

Between Indonesia and Dutch

By Linus Yuhan Cahyantara NIM : 024314007

This research is purposed to find out the development of bilateral relation

between Indonesia and Dutch at 1947 – 1948, after Renville negotiation that used contend the conflict between Indonesia and Dutch after military aggression that did by Dutch on 21st July 1947. There are three problems; first, what is the main conflict in Renville negotiation? Second, why the relation between Indonesia and Dutch is become suspense when the negotiation is going on? Third, how is the bilateral relation between Indonesia – Dutch after the negotiation was signed?

The method that used in this research is descriptive analysis method. The writer describes the relevant fact with the problem which is researched then analyze it to find out a comprehensive conclusion on it. The approach that is use is politic approach then produce the understanding from politic perspective.

The finding of the research are; first, the main conflict on Renville negotiation can be divided into two main conflicts, military and politic. In military, the stopping of hostility and the act of determining demarcation lines are the main conflict which become the subject of debate between Indonesia and Dutch in implementation of cease fired. In politic, distribution of power and review of the form politic relation between Indonesia – Dutch are the main conflict.

Second, there is no concrete agreement between Indonesia and Dutch to realize the result of Renville negotiation made the process of negotiation is obstructed. In fact that there are some violating in cease fired negotiation that always happened between Indonesia military and Dutch military.

Third, the bilateral relation between Indonesia – Dutch after Renville negotiation was signed in fact its not make the situation better, but worse. It caused of there is no concrete agreement to realize the result of the negotiation. It made the result of Renville negotiation can’t be realize effectively to content the conflict between Indonesia and Dutch.

x

Page 13: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjuangan melawan penjajahan tidak selalu harus dilakukan dengan

mengangkat senjata dan berkonfrontasi secara fisik di medan tempur, tetapi ada

bentuk perjuangan lain yang bisa dilakukan dalam menghadapi penjajah. Strategi

perjuangan bersenjata memang merupakan salah satu bentuk perjuangan yang

bersifat radikal revolusioner, tetapi ada juga strategi lain yang bersifat politis

untuk mengimbangi strategi perjuangan bersenjata tersebut. Strategi tersebut

adalah strategi diplomasi yang sungguh diperlukan untuk menghadapi penjajah

secara politis. Hal tersebut mewarnai perjalanan sejarah perjuangan bangsa

Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama pada masa 1946 – 1949

ketika bangsa Indonesia berusaha untuk mengalahkan Belanda, baik dengan cara

berperang maupun dengan cara melakukan perundingan dengan Belanda. Dapat

dikatakan bahwa pada masa 1946 – 1949 merupakan masa-masa pasang surut

perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda karena peperangan dan

perundingan datang silih berganti.

Tahun-tahun antara 1946 – 1949 merupakan masa dimana hubungan

antara Indonesia – Belanda semakin memanas karena adanya sejumlah bentuk

pengkhianatan terhadap usaha menciptakan perdamaian di Indonesia. Agresi

Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 adalah suatu peristiwa yang cukup

fenomenal pasca kemerdekaan Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan

Page 14: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

2

suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Linggajati yang telah

disepakatinya dengan Indonesia pada tanggal 15 November 1946.1 Agresi Militer

Belanda I merupakan suatu usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia,

meskipun dalam Perjanjian Linggajati Belanda telah mengakui kedaulatan

Indonesia sebatas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Jelas bahwa Agresi Militer

Belanda I telah melanggar salah satu pasal dalam Perjanjian Linggajati, terutama

menyangkut masalah kedaulatan negara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I ternyata cukup banyak mendapat sorotan dari

dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara tegas

mengecam agresi tersebut dan membela negara Indonesia karena alasan rasa

solidaritas mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Desakan dari berbagai

negara terhadap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar ikut terlibat dalam

proses peredaan konflik antara Indonesia – Belanda pun akhirnya membuat DK

PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang intinya

memerintahkan Indonesia dan Belanda agar segera menghentikan segala bentuk

permusuhan dan menganjurkan agar konflik diselesaikan dengan melibatkan

pihak ketiga sebagai mediatornya.2 Dengan adanya resolusi ini maka setidaknya

konflik antara Indonesia – Belanda bisa sedikit mereda karena kini mulai banyak

negara yang mengamati manuver-manuver Belanda terhadap Indonesia, sehingga

Belanda tidak bisa bertindak sembarangan terhadap Indonesia. Konflik antara

Indonesia – Belanda kini bukan lagi hanya merupakan masalah bilateral saja,

tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional, terlebih lagi adanya resolusi

1 K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 2.

2 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid II , Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16.

Page 15: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

3

dari DK PBB jelas merupakan suatu bentuk nyata perhatian dunia internasional

terhadap konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda.

Setelah melalui sejumlah persidangan, maka akhirnya DK PBB pun

mengeluarkan resolusi baru yang secara khusus menyangkut tentang

pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga

Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator dalam perundingan antara

Indonesia – Belanda. KTN ini nantinya terdiri dari tiga negara, yaitu : satu negara

yang ditunjuk oleh Indonesia, satu negara yang ditunjuk oleh Belanda, dan satu

negara lagi yang merupakan hasil pilihan dua negara yang ditunjuk oleh

Indonesia dan Belanda tersebut. Akhirnya Indonesia menunjuk Australia,

Belanda menunjuk Belgia, sedangkan Australia dan Belgia menunjuk Amerika

Serikat (AS) sebagai anggota KTN yang ketiga, dengan demikian lengkaplah

sudah komposisi KTN.3 Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN telah tiba di Jakarta

bersama dengan sejumlah peninjau militer yang akan melakukan survei lapangan

untuk membantu KTN dalam mengetahui secara konkret konflik yang terjadi

antara Indonesia – Belanda, sehingga akan mempermudah pekerjaan KTN dalam

merumuskan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sementara itu permasalahan

lain pun muncul menyangkut masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau

berunding di daerah kekuasaan Belanda, begitu pula sebaliknya, sehingga KTN

pun berusaha mencari tempat perundingan yang dapat dianggap netral dan tentu

saja bisa disetujui oleh kedua negara tersebut. Setelah melalui lobi-lobi politiknya

akhirnya KTN pun bisa menentukan tempat perundingannya, yaitu di sebuah

3 Lihat dalam Terminologi Sejarah Indonesia 1945-1950 dan 1950 – 1959, 1996, Depdikbud,

Jakarta, hlm. 91.

Page 16: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

4

kapal pengangkut milik AS yang rencananya akan segera berlabuh di Tanjung

Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville, sehingga nantinya perundingan ini

akan lebih dikenal dengan nama Perundingan Renville.

Bagi Indonesia perjuangan menuju Perundingan Renville bukan hanya

untuk menahan manuver-manuver militer Belanda saja, tetapi juga untuk

mempertahankan status kedaulatannya yang telah diakui oleh Belanda di dalam

Perjanjian Linggajati yang kemudian dilanggar oleh Belanda dengan Agresi

Militer I. Untuk itulah kemudian delegasi pun dibentuk, delegasi Indonesia yang

berjumlah delapan orang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi

Belanda yang berjumlah tiga belas orang dipimpin oleh Abdoelkadir

Widjojoatmodjo.4

Alasan penulis memilih judul ini karena selama ini wacana mengenai

Perundingan Renville hanya berkutat pada hasil-hasil perjanjiannya yang lebih

bersifat pragmatis tanpa menampilkan peranan penting perundingan tersebut bagi

hubungan Indonesia – Belanda pasca penandatanganan perundingan tersebut.

Disamping itu Menurut Hans J. Morgenthau - seorang ahli ilmu politik dari

Jerman - ada sembilan faktor yang menjadi unsur kekuatan nasional suatu negara,

salah satunya adalah faktor kualitas diplomasi.

“Dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting bagaimanapun tidak stabilnya, ialah kualitas diplomasi. ……………………………………………………………………………………… Kualitas diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor yang berlainan itu membangkitkan kemampuan yang tidak aktif dengan memberi napas kekuatan yang sesungguhnya. Cara melaksanakan hubungan luar negeri suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat, dan

4 Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 57 – 59.

Page 17: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

5

taktik militer oleh para pemimpin militernya untuk kekuatan dalam masa perang.”5

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya diplomasi

mempunyai arti penting sebagai salah satu kekuatan nasional dalam membina

hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam keadaan damai maupun

perang. Hal ini pun tak luput juga terjadi pada bangsa Indonesia bila merujuk

pada peristiwa Perundingan Renville yang dimulai pada tanggal 8 Desember

1947. Berbagai hal yang berhubungan dengan sisi-sisi diplomasi antara Indonesia

– Belanda dalam Perundingan Renville pantas untuk diketahui agar dinamika

strategi perjuangan bangsa Indonesia bisa dipahami secara lebih optimal,

tentunya dengan perspektif yang semakin berkembang. Penelitian tentang

Perundingan Renville tentu akan mampu memperluas perspektif dalam penulisan

sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena adanya sisi-sisi penonjolan dinamika

perjuangan diplomasi yang akan bermanfaat dalam rangka memahami pola-pola

perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dengan demikian

penulis akan mencoba untuk mengambil esensi dari Perundingan Renville untuk

mendeskripsikan dan menganalisis peranan pentingnya bagi hubungan bilateral

antara Indonesia – Belanda, karena tak jarang peperangan maupun perdamaian

bisa terjadi dan bisa ditentukan di dalam suatu perundingan. Pembahasan

mengenai Renville tidak cukup berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya,

tetapi juga harus ditampilkan implikasi-implikasi yang timbul dari hasil

perundingan tersebut bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda.

5 Hans J. Morgenthau, 1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,

hlm. 213.

Page 18: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

6

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Perundingan Renville merupakan suatu bentuk tindak lanjut sekaligus

merupakan bentuk kepedulian dunia internasional – melalui DK PBB – terhadap

Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 ke Indonesia. Banyak negara yang

mengecam agresi tersebut karena telah melanggar prinsip-prinsip perdamaian

dunia. Perundingan Renville juga merupakan suatu bentuk pemastian terhadap

keberadaan Perjanjian Linggajati antara Indonesia – Belanda tentang upaya

penghentian konflik yang telah dilanggar oleh Belanda. Melalui KTN yang

merupakan komisi yang dibentuk oleh DK PBB, Indonesia dan Belanda harus

menempuh perundingan untuk menyelesaikan konfliknya selama ini.

Perundingan Renville memuat masalah-masalah yang selama ini diperdebatkan

oleh Indonesia maupun Belanda, antara lain adalah menyangkut tentang wilayah

kedaulatan masing-masing negara dan status hubungan kedua negara.6 Dalam hal

wilayah kedaulatan, Indonesia mempermasalahkan Agresi Militer Belanda yang

telah menduduki wilayah-wilayah Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh

Belanda dalam Perjanjian Linggajati. Sedangkan dalam hal status hubungan

kedua negara, Indonesia berharap agar kedaulatan negara Indonesia tetap

dihormati dan tidak diganggu oleh Belanda.

Dinamika Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan proses

tuntutan, negosiasi, dan kesepakatan menjadi suatu hal yang perlu untuk

dicermati dalam memahami peranan perundingan tersebut bagi hubungan

Indonesia – Belanda. Adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam hal prinsip-

6 G. Moedjanto, op.cit., hlm. 17-21.

Page 19: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

7

prinsip dan kepentingan politis di antara Indonesia – Belanda membuat sejumlah

substansi persengketaan menjadi semakin rumit dan sulit untuk dijembatani.

Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh Perundingan Renville terhadap

hubungan Indonesia Belanda waktu itu, diperlukan beberapa pertanyaan

menyangkut Perundingan Renville itu sendiri, yaitu :

1. Apa yang sebenarnya menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan

Renville ?

2. Bagaimana proses Perundingan Renville berjalan ?

3. Mengapa di antara Indonesia Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam

dalam mengajukan tuntutan di dalam Perundingan Renville ?

4. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi masing-masing negara ?

5. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi hubungan bilateral antara

Indonesia – Belanda ?

Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis sengaja akan

membatasi permasalahan tersebut dengan hanya akan menampilkan tiga

permasalahan saja, yaitu :

1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika

perundingan sedang berjalan ?

3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca

penandatanganan Perjanjian Renville ?

Selain memberikan pembatasan dalam hal permasalahan, penulis juga

akan memberikan batasan waktu menyangkut topik Perundingan Renville

Page 20: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

8

tersebut, yaitu dari tahun 1947 – 1948. Secara lebih khusus, penulis hanya akan

membahas Perundingan Renville sebatas pada dinamika prosesnya dan

pengaruhnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda sampai dengan

tahun 1948.

C. Pokok Permasalahan

Perundingan Renville bukanlah hanya suatu usaha dalam menindaklanjuti

peristiwa Agresi Militer Belanda I saja, tetapi juga merupakan suatu perundingan

yang di dalamnya memuat masalah-masalah krusial lainnya yang perlu

diklarifikasi dan dipecahkan bersama antara Indonesia – Belanda. Perundingan

Renville juga diperlukan dalam rangka memperjelas status hubungan kedua

negara selama ini agar diketahui posisi dan kapasitas masing-masing negara

dalam konteks hubungan bilateralnya. Arti penting Perundingan Renville tidak

berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi yang lebih penting

adalah peran penting yang dapat diambil dari proses perundingan tersebut bagi

hubungan kedua negara yang saling bertikai tersebut. Untuk lebih memfokuskan

pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis akan menguraikan tiga

permasalahan yang berkaitan dengan Perundingan Renville, yaitu :

1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika

perundingan sedang berjalan ?

3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca

penandatanganan Perjanjian Renville ?

Page 21: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

9

D. Tujuan Penelitian

Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk menampilkan sisi-sisi

penting dari proses Perundingan Renville yang berpengaruh terhadap hubungan

bilateral antara Indonesia – Belanda periode 1947 – 1948. Dengan menggunakan

perspektif politik penulis akan mencoba untuk menganalisis pertentangan yang

terjadi antara Indonesia – Belanda di dalam Perundingan Renville dan

pengaruhnya terhadap proses penyelesaian konflik kedua belah pihak.

Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah suatu wawasan

kepada masyarakat tentang arti penting suatu proses diplomasi di dalam

kehidupan bernegara. Secara implisit penulis ingin agar penelitian ini mampu

menjadi suatu pembelajaran kepada masyarakat bahwa proses diplomasi

mempunyai peran dan pengaruh yang penting terhadap penyelesaian setiap

masalah yang ada di dalam masyarakat maupun dalam kerangka kehidupan

bernegara secara bilateral.

E. Manfaat Penelitian

Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan

betapa pentingnya strategi diplomasi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan kepada

masyarakat bahwa ada hubungan antara penulisan sejarah dengan kehidupan di

masa kini dan yang akan datang, yaitu aspek pembelajaran sejarah. Penelitian ini

diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat umum bahwa

perdamaian itu membutuhkan pengorbanan.

Page 22: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

10

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang

beberapa buku yang memuat masalah Perundingan Renville untuk digunakan

sebagai dasar bagi penulis untuk semakin melengkapi wacana tentang

Perundingan Renville.

Buku yang pertama adalah Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville,

terj., Sinar Harapan, Jakarta. Buku ini berisi tentang pandangan dan gagasan

penulisnya tentang dinamika yang terjadi pada hubungan Indonesia – Belanda

selama Perundingan Renville berlangsung, maupun sesudahnya. Secara lebih

khusus, penulisnya mencermati jalannya Perundingan Renville dengan mengkaji

setiap perkembangannya secara teliti dan mendalam. Berbagai masalah yang

terjadi selama perundingan berlangsung pun turut dikaji, antara lain mencakup

tentang perbedaan pemahaman dalam setiap tuntutan, perbedaan penafsiran

terhadap hasil-hasil perjanjiannya, sampai dengan kesulitan-kesulitan yang

dihadapi oleh Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil perjanjian.

Perundingan Renville tidak hanya ditampilkan dalam konteks hubungan

Indonesia – Belanda saja, tetapi juga dilengkapi dengan tinjauan-tinjauan politik

luar negerinya, kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, dan juga

pandangan dari dunia internasional terhadap konflik antara Indonesia – Belanda.

Buku yang kedua adalah tulisan Mohammad Roem, 1989, Diplomasi :

Ujung Tombak Perjuangan RI, Gramedia, Jakarta. Dalam bukunya, ia menulis

tentang sekelumit kisahnya sewaktu masih aktif sebagai diplomat dari Perjanjian

Linggajati sampai dengan Konferensi Asia Afrika. Sisi penting buku ini adalah

Page 23: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

11

dalam buku ini penulisnya mampu memberikan argumentasi yang jelas terhadap

pentingnya suatu diplomasi di kancah internasional. Buku ini juga menampilkan

gagasan-gagasan penulisnya bahwa diplomasi mempunyai arti penting bagi suatu

negara sebagai kekuatan politik dalam hubungannya dengan negara lain.

Keunggulan dari buku ini adalah penulisnya mampu untuk memberikan

perspektif yang positif terhadap diplomasi yang selama ini dilaksanakan oleh

pemerintah RI. Selain itu sisi-sisi diplomasi tidak hanya dipandang dari sisi

pragmatisnya saja, tetapi juga ditampilkan relevansinya dengan masalah-masalah

di dunia internasional, sehingga wacana yang dihasilkan berupa suatu analisa

yang menyeluruh tentang keberadaan suatu negara dan kehidupan diplomasinya

dengan negara lain.

Buku yang ketiga adalah tulisan Basuki Suwarno yang berjudul

Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I. Buku ini diterbitkan

oleh Upakara atas disposisi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tahun

1999 di Jakarta. Buku ini berisi tentang petikan-petikan dokumen kenegaraan,

baik yang berasal dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda pada periode 1945

– 1950. Sebagian besar petikan-petikan dokumen tersebut memuat tentang

masalah-masalah politik antara Indonesia – Belanda, termasuk tentang peristiwa

yang terjadi di seputar Perjanjian Renville. Buku ini membantu penulis dalam

mengetahui lebih banyak tentang sudut pandang politik kedua negara, yaitu dari

Indonesia dan Belanda dalam menyikapi Perundingan Renville melalui

pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh elit-elit politik kedua negara

tersebut.

Page 24: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

12

Buku yang keempat adalah karya K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan

Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta. Buku ini berisi

tentang pembahasan tentang proses Perundingan Renville, dari tahap persiapan

sampai dengan rencana-rencana pelaksanaan hasil-hasil perjanjiannya. Buku ini

secara khusus memfokuskan pembahasannya pada situasi selama perundingan

berlangsung dan lobi-lobi politik yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam

memperjuangkan tuntutannya. Keunggulan buku ini adalah aspek

kronologisasinya yang jelas dan runtut, sehingga memudahkan penulis dalam

menyimak alur perkembangan dari Perundingan Renville. Selain itu

keunggulannya terletak pada penyajian setiap peristiwanya yang mengutamakan

segi kausalitas, sehingga setiap bagiannya mempunyai penjelasan yang jelas dan

berkesinambungan. Buku ini juga memuat beberapa pandangan dari penulisnya

dalam menanggapi beberapa petikan pernyataan dari pemerintah Indonesia

maupun Belanda terhadap keberadaan Perundingan Renville, sehingga memberi

tambahan penting bagi penulis dalam mencari akar permasalahan yang terjadi

antara Indonesia – Belanda.

Buku yang kelima adalah tulisan Alastair M. Taylor yang berjudul

Indonesia Independence and the United Nations. Buku ini diterbitkan oleh

Stevens and Sons Limited pada tahun 1960 di London. Buku ini banyak memuat

tentang peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam membantu usaha

perdamaian yang ditempuh oleh Indonesia dan Belanda pada periode 1946 –

1950. Secara spesifik buku ini banyak mengulas tentang perundingan-

perundingan antara Indonesia – Belanda dari Perundingan Linggajati sampai

Page 25: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

13

dengan Konferensi Meja Bundar. Buku ini banyak membantu penulis dalam

mengetahuai secara lebih jauh mengenai substansi-substansi yang disengketakan

oleh Indonesia dan Belanda di dalam Perundingan Renville dan mengetahui

peranan PBB dalam membantu Indonesia dan Belanda dalam menyelesaikan

konflik.

Selain itu penulis juga menggunakan beberapa buku lain sebagai referensi

dalam penelitian ini. Ada buku yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi tulisan

Soekarno, khususnya Jilid II, yang memuat tentang pandangan-pandangan politik

Soekarno sebagai presiden dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Buku karya

Ide Anak Agung Gde Agung yang berjudul Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei

1949 juga digunakan karena buku tersebut berisi tentang perubahan-perubahan

politik yang terjadi di negeri Belanda pada periode 1948 yang pada dasarnya

sangat berpengaruh pada hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Sebagai

penyeimbangnya penulis juga menggunakan karya Hersri Setiawan yang berjudul

Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan untuk mengamati

perubahan-perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Perundingan

Renville.

Setelah mencermati sejumlah buku yang telah disebutkan di atas, maka

terdapat perbedaan dengan penelitian ini dalam hal isinya. Di dalam buku-buku

tersebut proses Perundingan Renville hanya dideskripsikan tanpa menampilkan

hubungan antara proses tersebut dengan pengaruhnya terhadap proses

penyelesaian konflik antara Indonesia – Belanda selanjutnya. Sedangkan

penelitian ini menampilkan analisis mengenai perbedaan pendapat antara

Page 26: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

14

Indonesia – Belanda selama proses Perundingan Renville dan pengaruhnya

terhadap penyelesaian konflik kedua belah pihak selanjutnya, sehingga penelitian

ini lebih komprehensif dalam melihat Perundingan Renville sebagai suatu proses

perundingan yang belum berhasil dalam mewujudkan perdamaian antara

Indonesia – Belanda.

G. Kerangka Konseptual

Baik secara eksplisit maupun implisit penelitian tentang Perundingan

Renville ini akan memuat suatu hal yang berhubungan dengan konflik yang

terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga diperlukan adanya suatu pemahaman

yang jelas tentang pengertian konflik itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini

juga digunakan beberapa istilah seperti perundingan, perjanjian, diplomasi, dan

bilateral yang juga akan diberi pengertian sesuai dengan konteks dalam penelitian

ini. Konflik adalah perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat atau ide,

walaupun dalam kadar yang rendah.7 Dalam konteks ini konflik diartikan sebagai

suatu keadaan dimana terjadi perbedaan dan benturan kepentingan dalam

hubungan antara satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ini perundingan

diartikan sebagai pembicaraan terhadap sesuatu hal.8 Dalam konteks ini

perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak

masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.9

Dalam konteks ini diplomasi diartikan sebagai pengalaman dan kecakapan dalam

7 Menurut Alfian dalam Prisma, edisi 3 Maret 1977, hlm. 89. 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Depdikbud, Jakarta, hlm. 759. 9 Ibid., hlm. 351.

Page 27: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

15

hal perhubungan antara negara dan negara.10 Dalam konteks ini bilateral diartikan

sebagai hubungan antara dua pihak.11

Setelah diketahui pengertian dari masing-masing istilah tersebut, maka di

dalam penelitian ini penulis akan menampilkan tiga pernyataan yang menjadi

garis besar dari penelitian ini, yaitu :

1. Konflik bisa terjadi di antara dua negara karena adanya perbedaan

kepentingan ekonomi maupun politik.

2. Masing-masing negara mempunyai strategi yang berbeda dalam

menyelesaikan konflik di dalam suatu perundingan yang tentu saja sangat

dipengaruhi oleh pandangan maupun kepentingannya masing-masing.

3. Konsistensi suatu negara dalam melaksanakan hasil perjanjian internasional

sangat dipengaruhi oleh adanya faktor keuntungan yang diperoleh dari hasil

perjanjian tersebut.

H. Hipotesis

Perundingan Renville merupakan suatu proses perundingan yang harus

ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN

pasca Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Di dalam perundingan itu

perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena

terdapat banyak perbedaan antara Indonesia – Belanda dalam menyoroti beberapa

substansi yang ada. Perbedaan tidak hanya menyangkut tentang prioritas

substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu

10 Ibid., hlm. 207. 11 Ibid., hlm. 117.

Page 28: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

16

sendiri. Proses Perundingan Renville diwarnai dengan perbedaan argumen dan

tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar

perdamaian diwujudkan sesuai dengan pendirian masing-masing pihak.

Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang

secara efektif bisa digunakan untuk mengakhiri konflik selama ini.

Hipotesis I :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam

menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan

yang cukup serius di dalam Perundingan Renville.

Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 1947 merupakan suatu

bentuk pelanggaran Belanda terhadap pasal 1 Perjanjian Linggajati. Agresi

tersebut melanggar pernyataan Belanda sendiri yang telah mengakui kedaulatan

Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya

tersebut Belanda telah melakukan pendudukan secara sepihak di beberapa

wilayah Indonesia tersebut, antara lain di Jakarta, Karawang, Cirebon, dan

Malang.12 Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah

untuk melaksanakan gencatan senjata antara Indonesia – Belanda untuk

sementara memang telah berhasil meredakan ketegangan, namun perintah

tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi Belanda. Dengan alasan

pemeliharaan keamanan Belanda sering memperluas daerah pendudukannya ke

dalam wilayah Indonesia meskipun hal tersebut jelas bertentangan dengan

12 Robert Bridson Cribb, 1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara

Otonomi dan Hegemoni, terj., Grafiti, Jakarta, hlm. 150-152.

Page 29: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

17

resolusi DK PBB tersebut. Setelah konflik antara Indonesia – Belanda tersebut

dibahas di dalam suatu perundingan, Belanda menuntut agar sebelum

perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing-

masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing negara. Secara

sepihak Belanda menuntut bahwa garis terdepan kedudukan tentara Belanda

sebelum tanggal 4 Agustus 1947 dijadikan batas wilayah antara Indonesia –

Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook.13 Indonesia tentu saja

keberatan dengan tuntutan Belanda tersebut karena Indonesia menganggap bahwa

batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1

Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus

1947 karena garis tersebut didapatkan Belanda dengan cara melakukan

pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut

tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah

kedaulatan negara. Di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan yang cukup

tajam dalam mengajukan argumentasi untuk mengklaim wilayah kedaulatan

masing-masing pihak pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I, sehingga terjadi

persengketaan yang cukup serius di dalam perundingan.

Hipotesis II :

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan

dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk

dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan

akan memanas.

13 Ibid., hlm. 166.

Page 30: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

18

Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di

tengah perundingan. Masalah itu adalah menyangkut tentang status hubungan

masing-masing negara. Ketika ada suatu wacana tentang pembentukan

pemerintahan sementara dan negara serikat, Belanda terus-menerus memojokkan

Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik

diselesaikan dengan cara membentuk terlebih dahulu suatu Pemerintah Federal

Sementara yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan bersama antara

Indonesia – Belanda untuk sementara selama masa peralihan menuju

pembentukan Negara Indonesia Serikat.14 Tuntutan Belanda yang lain adalah

agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu

dengan segala konsekuensinya, yaitu kedaulatan dipegang oleh Belanda,

sehingga Indonesia harus menyerahkan sebagian hak-haknya sebagai negara

bagian kepada Belanda. Belanda juga menuntut agar hak-hak atas

penyelenggaraan hubungan luar negeri dan penyelenggaraan angkatan perang

Indonesia diambil alih olehnya.15 Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana

tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia

sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena

hal itu jelas merupakan suatu pengurangan terhadap kedaulatannya. Perbedaan

pandangan inilah yang menyebabkan perundingan memasuki tahap yang sulit.

Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian di dalam

pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Belanda, sedangkan Indonesia tetap

menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Terlebih lagi adanya

14 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 86-87. 15 Ibid., hlm. 80-87.

Page 31: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

19

sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi

lagi tentang tuntutan tersebut mengakibatkan situasi perundingan menjadi

tegang.16 Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.

Hipotesis III :

Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam

melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara

Indonesia – Belanda tidak akan membaik.

Meskipun secara teknis Perjanjian Renville sudah ditandatangani pada

tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut

bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam

Perjanjian Renville dapat dikatakan hanyalah sebagai pokok-pokok persetujuan

saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari

sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan

sensitif bagi Indonesia adalah tetap menyangkut tentang pembentukan

Pemerintah Federal Sementara. Bagi Indonesia tidak mudah untuk

melaksanakannya karena masih ada perbedaan pandangan dengan Belanda. Pada

intinya Indonesia setuju tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara itu,

namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis

pembentukannya karena usulan Belanda tentang pemerintahan sementara tersebut

terkesan memandang rendah kedaulatan Indonesia. Belanda menuntut agar

Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan tersebut, sedangkan

16 Ibid., hlm. 120.

Page 32: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

20

Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda.17 Dengan

adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan

Perjanjian Renville terlihat mengambang dan tanpa kepastian karena adanya

perbedaan penafsiran dalam memahami hasil perjanjian antara Indonesia –

Belanda. Dengan demikian hubungan keduanya tidak semakin membaik, tapi

justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam

melaksanakan hasil-hasil Perundingan Renville.

I. Metodologi Penelitian

Selama melakukan penelitian ini penulis telah melalui berbagai tahapan

untuk menghasilkan penelitian yang akurat, komperehensif, dan berimbang

dengan cara :

1. Heuristik

Penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang

berhubungan dengan topik Perundingan Renville yang sebagian besar berupa

buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Kritik Sumber

Secara khusus penulis mengutamakan segi kritik internnya. Pada

tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya

apakah terdapat suatu kesesuaian mengenai datanya, sehingga dapat

dipastikan kevalidannya.

17 Ibid., hlm. 88-89.

Page 33: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

21

3. Analisis

Setelah mendapatkan sumber-sumber yang cukup lengkap dan valid,

maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap

mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman

pada pokok permasalahan, sehingga nantinya semua permasalahan akan

dapat terjawab secara runtut dan jelas.

4. Penulisan

Setelah proses analisis disaring beberapa kali, maka selanjutnya

adalah tahap penulisan. Dalam penulisan ini penulis juga terus melakukan

editing, baik dari segi materi maupun tata bahasanya, sehingga tulisan yang

dihasilkan nantinya bisa lebih mudah dipahami.

J. Sistematika Penulisan

Penulis akan menyajikan tulisan ke dalam lima bab, yaitu :

Bab I berisi tentang latar belakang masalah, pokok permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, dan metode

penelitian.

Bab II berisi tentang penguraian masalah yang pertama, yaitu : substansi

permasalahan yang ada dalam Perundingan Renville.

Bab III berisi tentang penguraian masalah yang kedua, yaitu : dinamika

pertentangan antara Indonesia – Belanda dalam Perundingan Renville.

Page 34: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

22

Bab IV berisi tentang penguraian masalah yang ketiga, yaitu : pengaruh

Perundingan Renville dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia –

Belanda 1947 – 1948.

Bab V berisi penutup.

Page 35: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

23

BAB II

JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN

Sebelum membahas secara lebih jauh tentang substansi-substansi

persengketaan antara Indonesia – Belanda yang akan dibahas dalam Perundingan

Renville, kiranya perlu untuk sedikit mengulas kaitan antara Agresi Militer Belanda I

pada tanggal 21 Juli 1947 dengan Perjanjian Linggajati yang akan sangat berpengaruh

pada akar substansi dalam Perundingan Renville. Secara pragmatis Agresi Militer

Belanda I tersebut jelas bertentangan dengan Perjanjian Linggajati, khususnya pasal I

yang menyatakan bahwa : “Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de

facto Pemerintah Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatera”.1 Jelas bertentangan,

karena dengan agresinya tersebut Belanda telah menduduki daerah-daerah kekuasaan

Indonesia, antara lain di Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan,

dan Madura.2

Menurut Belanda aksi tersebut bukanlah suatu bentuk agresi, tetapi hanya

suatu bentuk aksi polisionil saja yang bertujuan untuk memelihara keamanan di

daerah-daerah yang dianggap masih rawan tingkat keamanannya. Selain itu alasan

Belanda mengadakan aksi tersebut karena mereka menilai bahwa Indonesia tidak

mampu menjaga keamanan dan ketertiban di daerah pendudukannya sendiri dan

bahkan menolak pesan usulan Belanda tanggal 27 Mei 1947 tentang pembentukan

pasukan bersama (gendarmerie) di daerah pendudukan, khususnya di daerah

1 Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 431. 2 Ibid., hlm. 234-295.

23

Page 36: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

24

pendudukan Indonesia.3 Belanda menganggap bahwa dirinya mempunyai tanggung

jawab atas apa yang terjadi di seluruh Hindia Belanda, meskipun pada kenyataannya

kini pihaknya telah berbagi kedaulatan dengan Indonesia.

Sampai di sini dapat diketahui bahwa salah satu motif awal Belanda

melancarkan agresinya adalah adanya pertentangan antara pihaknya dengan Indonesia

dalam hal pemeliharaan keamanan dan ketertiban di Indonesia. Indonesia memang

tidak pernah menyetujui usul Belanda tentang pembentukan pasukan bersama

tersebut karena pada akhirnya hal itu hanya akan memperkeruh keadaan saja. Dengan

adanya pasukan bersama berarti sama saja dengan mengijinkan pasukan Belanda

untuk masuk ke dalam daerah pendudukan Indonesia secara bebas karena hal itulah

yang menjadi maksud Belanda. Jelas tidak mungkin bagi Indonesia untuk menerima

hal tersebut karena Indonesia menilai bahwa masalah keamanan adalah urusan

internal negara yang secara otomatis menjadi wewenang negara itu sendiri yang tidak

perlu melibatkan pihak asing. Pembentukan pasukan bersama bisa juga dilihat

sebagai suatu taktik Belanda saja agar mereka bisa menempatkan pasukannya dengan

bebas ke dalam daerah pendudukan Indonesia untuk selanjutnya tetap melancarkan

motif-motif tertentu, seperti misalnya pengintaian ataupun pendudukan terhadap

daerah pendudukan Indonesia.

Jauh sebelum Perundingan Renville dimulai, di antara Indonesia Belanda

sebenarnya sudah sering memperdebatkan aksi 21 Juli 1947 tersebut di dalam sidang

DK PBB. Hal tersebut tak lepas dari adanya perhatian dan peranan sejumlah negara

anggota DK PBB seperti India dan Australia yang telah berhasil mendesak DK PBB

3 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 186.

Page 37: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

25

untuk membahas masalah Indonesia di dalam sidang DK PBB. Pada awalnya Belanda

merasa keberatan bila masalah tersebut dibahas di dalam forum internasional karena

mereka menganggap bahwa hal tersebut adalah urusan internal Belanda sendiri,

apalagi dengan adanya keputusan DK PBB untuk menghadirkan pihak Indonesia

untuk didengar keterangannya membuat Belanda semakin gusar.

Belanda menganggap hal tersebut tidak perlu karena Indonesia tidak

mempunyai kompetensi untuk menjelaskan konflik yang terjadi. Namun hal tersebut

ternyata tidak banyak berpengaruh, negara-negara anggota DK PBB seperti Australia,

India, dan Polandia ternyata telah berhasil membujuk dewan untuk menghadirkan

pihak Indonesia dalam sidang DK PBB karena masalah Indonesia adalah konfilk

yang melibatkan dua negara yang bertikai yang jika tidak segera diatasi bisa

mengancam perdamaian dunia. Masalah Indonesia – Belanda mulai dibahas dalam

sidang DK PBB pada tanggal 4 Agustus 1947.4 Pada sidang-sidang selanjutnya di

bulan Agustus pada dasarnya masih membahas tentang gencatan senjata antara

Indonesia – Belanda.

Pada tanggal 14 Agustus 1947 Syahrir yang menjadi ketua delegasi Indonesia

menyampaikan pidato dalam sidang DK PBB yang berisi tuntutan agar DK PBB

bersedia mendesak Belanda untuk menarik kembali pasukannya dari wilayah

Republik Indonesia pada posisi seperti sebelum agresi.5 Pada intinya Syahrir sebagai

wakil Indonesia sangat mengharapkan bahwa posisi Indonesia, baik secara teritorial

maupun politis harus dipulihkan terlebih dahulu seperti sebelum terjadinya agresi,

sehingga Indonesia mendapatkan hak-haknya sebagai negara yang berdaulat secara

4 Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 243. 5 George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press,

Jakarta, hlm. 272.

Page 38: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

26

proporsional di dalam perundingan yang akan ditempuh selanjutnya. Tuntutan

tersebut ternyata hanya ditanggapi dengan sikap dingin saja oleh Belanda. Tanpa

menghiraukan perintah gencatan senjata, Belanda masih tetap saja melakukan

pendudukan-pendudukan secara sepihak terhadap daerah pendudukan Indonesia.6

Perundingan Renville adalah suatu pembukaan kembali pintu dialog antara

Indonesia – Belanda untuk kesekian kalinya. Selain bertumpu pada peristiwa Agresi

Militer Belanda I, Perundingan Renville juga bertujuan untuk memperjelas posisi dan

status masing-masing pihak dalam rangka menyelesaikan konflik yang kini semakin

kompleks. Substansi persengketaan yang akan dibahas di dalam tahap awal

Perundingan Renville sebenarnya masih berkutat pada masalah pelaksanaan gencatan

senjata, hanya saja substansinya semakin kompleks ketika harus membahas tentang

rekapitulasi daerah-daerah kekuasaan dan penarikan pasukan. Selain itu ada juga

substansi lain yang tidak kalah penting, yaitu tentang rencana pembentukan suatu

Pemerintahan Federal Sementara dan suatu persemakmuran yang bernama Negara

Indonesia Serikat (NIS).

Bila dicermati lebih dalam substansi-substansi tersebut sebenarnya bukanlah

hal yang baru, substansi-substansi tersebut sudah diperdebatkan antara Indonesia –

Belanda sejak tahun 1945, yaitu ketika pasukan-pasukan Inggris datang ke Indonesia

untuk membebaskan tahanan perang dan melucuti pasukan Jepang.7 Hanya saja

substansi-substansi tersebut tak kunjung terpecahkan karena masih adanya sejumlah

perbedaan pandangan antara kedua belah pihak dalam pelaksanaannya, sehingga

substansi-substansi tersebut berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian yang

6 M.C. Ricklefs, 2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, terj., Serambi, Jakarta, hlm. 454.

7 Ibid., hlm. 435.

Page 39: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

27

tuntas. Dapat dikatakan bahwa Perundingan Renville ini memuat substansi-substansi

lama dalam hubungan Indonesia – Belanda semasa konflik yang belum terpecahkan.

Kini setidaknya ada tiga substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville yang

harus dibahas lagi oleh Indonesia dan Belanda. Substansi-substansi tersebut, yaitu :

1. Persetujuan gencatan senjata

2. Rekapitulasi daerah-daerah pendudukan

3. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS

Substansi-substansi tersebut saling berhubungan erat, tiap pembahasan substansi akan

sangat berpengaruh pada proses pembahasan substansi selanjutnya.

Substansi pertama adalah mengenai pelaksanaan gencatan senjata pasca

terjadinya Agresi Militer Belanda I. Dalam hal ini yang diperdebatkan antara

Indonesia – Belanda adalah masih mengenai dampak dari agresi dan tindakan-

tindakan pendudukan pasukan Belanda setelah perintah gencatan senjata dikeluarkan

oleh DK PBB. Bila dalam agresinya Belanda telah berhasil menduduki kota-kota

yang cukup strategis milik Indonesia, seperti Bandung, Bogor, Cirebon, Semarang,

Surabaya, Palembang, dan Medan, maka hal itu pun terus berlanjut di daerah-daerah

Indonesia yang lain meskipun DK PBB sudah mengeluarkan perintah untuk

menghentikan peperangan. Pasukan Belanda tetap saja menyerang daerah-daerah

pendudukan Indonesia di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Madura, dan sebagian

Sumatera.8 Akibatnya wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena Belanda

telah menduduki sebagian Jawa, Sumatera, dan Madura.

Pada dasarnya Indonesia memprotes tindakan-tindakan Belanda di beberapa

daerah kekuasaan Indonesia yang secara jelas telah melakukan kekerasan militer

8 Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 299-327.

Page 40: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

28

dengan alasan pemeliharaan keamanan dan menuntut agar Belanda menghentikan

aksinya tersebut. Belanda masih sependapat dengan Indonesia bahwa gencatan

senjata adalah substansi dasar yang harus segera dilaksanakan terlebih dahulu agar

perundingan bisa berjalan secara kondusif, tetapi pada kenyataannya Belanda masih

saja terus melakukan pendudukan dengan alasan pemeliharaan keamanan.

Substansi mengenai pelaksanaan gencatan senjata mulai menemukan jalan

buntu ketika kedua belah pihak membahas tentang batas-batas daerah pendudukan

yang akan dijadikan pedoman dalam pelaksanaan gencatan senjata. Seperti yang telah

dinyatakan sebelumnya, Indonesia menuntut agar pasukan Belanda ditarik mundur

sampai pada posisi sebelum agresi, yang berarti bahwa Indonesia tetap berpegang

pada posisinya yang diakui dalam Perjanjian Linggajati sebagai batas wilayah

kedaulatannya. Belanda tidak mau menyetujui tuntutan Indonesia, bahkan Belanda

membuat rancangan sendiri dengan mengajukan tuntutan bahwa garis demarkasi yang

dipakai adalah garis pendudukan pasukannya pada saat gencatan senjata, yaitu

tanggal 4 Agustus 1947.9 Garis itu dinamakan garis Van Mook karena dinyatakan

oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda H.J. Van Mook. Sebagai gambaran garis Van

Mook itu meliputi Jawa Barat kecuali Banten, sebagian Jawa Tengah meliputi

Pekalongan dan Semarang, sebagian Jawa Timur meliputi Malang, Surabaya,

Banyuwangi, dan Pulau Madura, itu pun belum termasuk di Pulau Sumatera.10

9 Garis demarkasi, daerah kosong, atau daerah yang tidak bertuan, pada umumnya sesuai

dengan garis status quo. Garis status quo itu merupakan batas daerah yang diduduki oleh tentara Belanda sesuai dengan proklamasi Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947. Ada di dalam Slametmulyana, 1986, Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta, hlm. 99.

10 Berdasarkan peta dalam George McTurnan Kahin, op. cit., hlm. 294.

Page 41: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

29

Indonesia menolak tuntutan Belanda tersebut karena dinilai terlalu sepihak

dan tidak memiliki dasar yang legal. Indonesia menilai bahwa garis Van Mook adalah

suatu hal yang dipaksakan karena didapat Belanda dengan cara menyerang daerah-

daerah yang secara efektif masih dikuasai oleh pasukan Indonesia, dan terlebih lagi

hal tersebut dilakukan tanpa mematuhi adanya perintah gencatan senjata dari DK

PBB.

Sebagai syarat awal suatu perundingan, substansi tentang gencatan senjata

memang menjadi substansi yang cukup alot dalam pembahasannya. Baik Indonesia

maupun Belanda lebih cenderung mempermasalahkan status daerah-daerah

pendudukan sebagai akibat dari pembahasan mengenai pelaksanaan gencatan senjata

dan penentuan batas-batas wilayah kedaulatan. Di antara kedua belah pihak belum

terdapat suatu persamaan pandangan dalam menentukan kembali daerah

pendudukannya masing-masing pasca agresi 21 Juli 1947.

Substansi yang kedua adalah mengenai rekapitulasi daerah-daerah

pendudukan masing-masing pihak yang menjadi bahan perdebatan pasca agresi.

Agresi Belanda yang kemudian diikuti dengan adanya tuntutan Belanda atas garis

Van Mook membuat daerah kekuasaan Indonesia menjadi semakin sempit. Bila

dalam substansi gencatan senjata Indonesia dan Belanda saling memperdebatkan

tentang batas-batas wilayah kedaulatan yang akan digunakan dalam penarikan

pasukan untuk melaksanakan gencatan senjata, maka dalam hal ini Indonesia –

Belanda memperdebatkan tentang status daerah-daerah yang telah diduduki Belanda,

yaitu : di Jawa Barat kecuali Banten, sebagian kecil Jawa Tengah, Jawa Timur, Pulau

Madura, dan Pulau Sumatera. Status yang diperdebatkan di sini tidak hanya

Page 42: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

30

menyangkut tentang penguasaan atas daerah-daerah tersebut, tetapi juga menyangkut

tentang status sementara daerah-daerah tersebut selama perundingan berjalan,

jaminan keamanan, penarikan pasukan yang masih ada di sana, dan proses penentuan

status daerah-daerah tersebut selanjutnya, baik dalam hubungannya dengan

Pemerintah Federal Sementara maupun NIS.

Substansi yang ketiga adalah mengenai rencana pembentukan Pemerintahan

Federal Sementara dan NIS. Dari beberapa substansi perundingan yang telah

disebutkan sebelumnya, substansi inilah yang merupakan substansi paling krusial dan

sangat menentukan bagi kelanjutan hubungan antara Indonesia – Belanda karena di

dalamnya termuat beberapa masalah yang menyangkut tentang posisi dan status

masing-masing pihak di masa yang akan datang. Substansi tentang pembentukan NIS

ini merupakan suatu rencana jangka panjang yang cukup rumit dalam proses

perencanaannya, karena selain harus membahas tentang tata cara teknis

pembentukannya, substansi ini juga menyangkut tentang pengakuan kedaulatan

masing-masing pihak yang harus terlebih dahulu dinyatakan sebagai salah satu bagian

terpentingnya.11

Negara Indonesia Serikat adalah substansi yang dimunculkan oleh Belanda di

dalam Perundingan Renville yang menurut Belanda adalah sebagai suatu bentuk

hubungan kerja sama antarnegara yang berdasarkan atas persamaan status. Secara

lebih lanjut Belanda menjelaskan bahwa pada dasarnya NIS adalah suatu bentuk

persemakmuran (commonwealth) yang di dalamnya melibatkan banyak negara bagian

lain yang akan tergabung dalam persemakmuran itu, termasuk juga Indonesia dan

11 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan

Pustaka Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta, hlm. 47.

Page 43: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

31

Belanda.12 Belanda menambahkan bahwa selama masa peralihan menuju

pembentukan NIS tersebut, kedaulatan Belanda atas Indonesia tetap berlaku dan akan

diserahkan kepada NIS setelah NIS itu terbentuk. Masing-masing negara bagian akan

diberi status merdeka di bawah NIS yang akan dikepalai oleh Belanda.13 Tetapi

substansi tersebut baru merupakan wacana besar saja karena pembahasan lebih lanjut

mengenai tata cara teknis pembentukannya masih memerlukan persetujuan dengan

Indonesia.

Pada dasarnya pihak Indonesia sendiri masih bingung dengan substansi

tersebut karena ada banyak hal yang terkesan kurang jelas dan terkesan tidak adil.

Substansi pembentukan NIS belum menyentuh tentang hal-hal teknis yang

berhubungan dengan posisi dan status Indonesia dalam persemakmuran tersebut.

Banyak masalah yang belum dibahas oleh Indonesia maupun Belanda menyangkut

tentang prinsip-prinsip dasar keberadaan negara-negara bagian tersebut di dalam

persemakmuran, yaitu menyangkut tentang hak dan kewajiban negara bagian

tersebut : bagaimana statusnya, bentuk hubungannya, undang-undangnya, sistem

pemerintahannya, dan hubungan dengan luar negeri. Masalah-masalah tersebut harus

dijernihkan terlebih dahulu agar Indonesia dapat mengambil keputusan yang tepat

dalam proses pembentukannya. Indonesia sendiri tampaknya enggan untuk

membicarakan tentang NIS sebelum dicapainya kesepakatan untuk hal-hal teknis

tersebut karena hal-hal tersebut berpengaruh terhadap hak dan kedaulatannya sebagai

suatu negara.

12 Ibid., hlm. 49 dan Pramoedya Ananta Toer dkk., op. cit., hlm. 432. 13 Ibid.

Page 44: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

32

Bila ditelusuri secara lebih jauh ide awal tentang adanya rencana

pembentukan NIS tersebut sebenarnya sudah ada jauh sebelum adanya Perundingan

Renville, bahkan sebelum adanya Perjanjian Linggajati, hanya saja hal tersebut tidak

secara cepat dapat dilaksanakan karena masih adanya perbedaan pandangan antara

Indonesia – Belanda dalam tata cara teknis pembentukannya. Ide tersebut datang dari

hasil kompromi antara Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dengan Syahrir pada

awal bulan Desember 1945 yang kemudian disampaikan oleh Van Mook kepada

Menteri Urusan Tanah Seberang Belanda, Logemann.14 Dapat diketahui bahwa ide

tersebut sebenarnya sudah ada sejak pasukan Inggris datang ke Indonesia untuk

membebaskan tahanan perang, melucuti dan memulangkan pasukan Jepang ke

negerinya sehubungan dengan kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II (PD II). Jadi

sebenarnya ada kaitan antara kedatangan Inggris dan proses perundingan antara

Indonesia – Belanda yang sudah ada pada saat itu.

Kedatangan Inggris pada bulan September 1945 di bawah pimpinan Jenderal

Philips Christisons mengubah beberapa pola pandangan Belanda terhadap

Indonesia.15 Pada awalnya Belanda menaruh harapan besar pada Inggris yang datang

untuk merekapitulasi kemenangan Sekutu atas Jepang untuk bisa membantunya

memulihkan kekuasaannya di Indonesia seperti sebelum tahun 1942. Pada saat itu

Belanda ingin memanfaatkan kesempatan tersebut untuk datang ke Indonesia dan

kembali memulihkan kekuasaannya meskipun Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 – karena pada saat itu terjadi kekosongan

kekuasaan di Indonesia karena pemerintahan Jepang di Indonesia secara otomatis

14 Ibid., hlm. 45-50. 15 M.C. Ricklefs, op. cit., hlm. 435.

Page 45: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

33

berakhir setelah kemenangan Sekutu pada PD II dan berharap Inggris akan

membantunya. Tetapi dugaan Belanda tersebut meleset, dalam beberapa pernyataan

yang disampaikan oleh pimpinan pasukan Inggris mereka menyatakan bahwa

kedatangannya ke Indonesia hanya untuk membebaskan tahanan perang, melucuti,

dan memulangkan pasukan Jepang ke negerinya dan sama sekali tidak untuk

membantu memulihkan kekuasaan Belanda di Indonesia. Mereka menegaskan lagi

bahwa mereka tidak mempunyai kepentingan-kepentingan politik dalam negeri

Indonesia dan mendesak Belanda untuk segera melakukan perundingan dengan

Indonesia agar proses pembebasan tahanan perang dapat berjalan dengan lancar.16

Kejelasan sikap Inggris inilah yang membuat Van Mook mulai sadar bahwa

sudah tidak mungkin lagi bagi Belanda untuk menguasai kembali Indonesia dan

mulai berpikir ulang dalam menerapkan garis-garis politiknya terhadap Indonesia

karena jelas bahwa sikap Inggris adalah tidak setuju dengan maksud pemerintahnya

tersebut. Terlebih lagi adanya pengamatan-pengamatan dari para asistennya yang

menyatakan bahwa keadaan di Indonesia kini sudah berubah, dimana gerakan rakyat

untuk menuntut kemerdekaan semakin kuat dan meluas membuat Van Mook pun

menyadari bahwa Belanda sudah tidak mempunyai posisi yang cukup kuat di

Indonesia. Atas dasar itulah kemudian Van Mook menyampaikan rekomendasi

kepada pemerintahnya di Belanda bahwa dengan situasi yang seperti saat ini tidaklah

mungkin bagi Belanda berkuasa kembali di Indonesia seperti sebelum tahun 1942 dan

16 Osman Raliby, 1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 43.

Page 46: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

34

menyarankan pemerintah pusat agar mulai menempuh jalur diplomasi dengan

Indonesia untuk memperlancar tugas Sekutu di Indonesia.17

Awalnya, Pemerintah Belanda yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri

Urusan Tanah Seberang Logemann menentang sikap Van Mook tersebut dan

memaksa agar Van Mook dapat melaksanakan kebijakan pemerintahnya dengan

memanfaatkan situasi yang ada. Tetapi setelah diyakinkan oleh Van Mook,

Pemerintah Belanda baru bisa sedikit melunak dan mulai membicarakan rekomendasi

Van Mook tersebut. Hasil pembicaraan antara Van Mook dan Syahrir pada awal

bulan Desember 1945 itulah yang akhirnya dijadikan dasar pemikiran bagi Logemann

untuk mengeluarkan beberapa garis-garis politiknya terhadap Indonesia, yang antara

lain menyatakan :

1. Di masa depan akan diadakan suatu persemakmuran (commonwealth) yang mencakup Indonesia dan Kerajaan Belanda.

2. Di dalam persemakmuran itu Indonesia akan menjadi mitra (Deelgenoot) dari Kerajaan Belanda.

3. Persemakmuran (gemenebest) Indonesia dipimpin oleh seorang gubernur yang diangkat oleh Pemerintah Belanda.18

Ide untuk membentuk NIS itu lebih tampak sebagai suatu langkah alternatif

Belanda dalam menghadapi situasi politik di Indonesia yang cukup dilematis. Di satu

sisi Belanda tetap ingin menanamkan pengaruhnya di Indonesia, tetapi di sisi lain

keberadaan Inggris yang tetap tegas pada misi utamanya jelas merupakan situasi yang

tidak menguntungkan bagi tujuannya tersebut. Membuka perundingan dengan

Indonesia untuk membahas kemungkinan adanya kerja sama dalam suatu

persemakmuran adalah suatu jalan tengah yang ditempuh oleh Belanda untuk

17 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 31-50. 18 Ibid., hlm. 49.

Page 47: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

35

mengakomodasikan antara tuntutan Inggris dan kepentingan Belanda sendiri.

Rencana pembentukan NIS adalah suatu bentuk konsesi politik yang ditawarkan oleh

Belanda dan diharapkan agar dengan cara tersebut pihaknya masih tetap bisa

mengikat Indonesia dalam suatu hubungan kerja sama, meskipun bentuknya masih

samar-samar.

Page 48: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

36

BAB III

DIPLOMASI DAN INTERVENSI

A. Diplomasi Belum Berakhir

Pelaksanaan Perundingan Renville dibayang-bayangi oleh adanya

sejumlah perbedaan prinsip dan pandangan yang sangat mendasar di antara

Indonesia – Belanda dalam menyikapi beberapa substansi yang disengketakan.

Belanda berpandangan bahwa substansi di bidang militer harus diselesaikan

terlebih dahulu agar gencatan senjata bisa dilaksanakan secara efektif. Proses

demiliterisasi dan penentuan batas-batas daerah pendudukan merupakan substansi

yang menurut Belanda harus segera dibahas oleh kedua belah pihak dalam

melaksanakan gencatan senjata. Belanda berprinsip bahwa selama substansi di

bidang militer belum dituntaskan, maka akan sulit bagi pihaknya untuk

mempertimbangkan substansi di bidang politik karena lancar tidaknya proses

pemulihan keamanan dan ketertiban di bidang militer akan berpengaruh terhadap

proses pembahasan substansi politiknya.

Sedangkan Indonesia berpandangan bahwa substansi di bidang militer,

khususnya mengenai gencatan senjata akan bisa dilaksanakan secara efektif jika

Belanda juga mematuhi resolusi DK PBB secara penuh. Menurut Indonesia

proses penentuan batas-batas daerah pendudukan tidak akan berjalan mudah

karena pada dasarnya masih terdapat persengketaan di antara kedua belah pihak

mengenai kepastian status daerah-derah tersebut, baik ketika sebelum terjadinya

agresi maupun setelah dikeluarkannya resolusi DK PBB. Indonesia lebih memilih

36

Page 49: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

37

untuk memprioritaskan penyelesaian substansi di bidang politik karena substansi-

substansi yang ada di dalamnya, seperti misalnya mengenai rencana

pembentukan pemerintahan sementara NIS, dan peninjauan kembali hubungan

politik antara Indonesia – Belanda merupakan substansi yang lebih penting dan

mendesak untuk segera diselesaikan.

Berdasarkan hasil pembicaraan yang diadakan sebelumnya terlihat jelas

bahwa di antara kedua belah pihak ternyata masih belum menemukan suatu

bentuk kesepakatan yang secara konkret bisa segera dilaksanakan terhadap

substansi-substansi yang ada. Meskipun dalam hal ini keberadaan KTN sebagai

mediator perundingan setidaknya telah bisa mendekatkan keduanya di dalam

suatu perundingan, tetapi masing-masing pihak ternyata masih sering terbentur

pada perhitungan-perhitungan politis dalam memahami substansi yang ada,

sehingga masih sulit bagi keduanya untuk menempatkan substansi yang dihadapi

secara obyektif dan proporsional. Obyektif dalam hal ini adalah perlunya

membahas suatu substansi berdasarkan pada kenyataan yang ada, sedangkan

proporsional berarti menuntut hak-haknya sesuai dengan kesepakatannya dengan

pihak lain.

Adanya usaha yang dilakukan oleh KTN dengan cara melakukan lobi-lobi

politik di antara kedua belah pihak sering terganjal oleh sikap Belanda yang

cenderung kaku dan sulit untuk diajak memahami substansi yang ada dari sudut

pandang kedua belah pihak. Selain itu hambatan terhadap jalannya perundingan

juga sering berasal dari dalam DK PBB sendiri. Adanya perbedaan pandangan

negara-negara anggota DK PBB dalam menyikapi konflik yang sedang terjadi di

Page 50: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

38

Indonesia menyebabkan DK PBB beberapa kali menemukan kegagalan dalam

membuat suatu resolusi baru yang secara teknis diperlukan untuk

menindaklanjuti perintah gencatan senjata yang telah ada. Dapat disebutkan

bahwa adanya kecenderungan dari negara-negara seperti Inggris, Belgia, dan

Perancis untuk memihak Belanda membuat peranan DK PBB justru melemah

karena negara-negara tersebut cenderung menentang setiap rancangan resolusi

yang akan merugikan posisi Belanda, baik secara militer maupun politik.1 Posisi

Belanda yang lebih kuat secara militer membuat Belanda mempunyai daya tawar

yang lebih tinggi dalam menghadapi setiap tuntutan Indonesia, sehingga dasar

perundingan lebih terlihat sebagai suatu perundingan yang berada di bawah

tekanan, bukan sebagai suatu perundingan yang bebas.

Sementara itu situasi menjelang perundingan terasa kurang kondusif

karena selain masih adanya sejumlah pertempuran di lapangan, hal tersebut juga

disebabkan oleh adanya perang urat saraf yang terus dilakukan oleh Indonesia

maupun Belanda. Masing-masing pihak dengan sengaja melancarkan berbagai

bentuk sentimen politisnya kepada pihak lain untuk menunjukkan eksistensi dan

kekuatannya. Ada berbagai bentuk manuver politik yang dilancarkan oleh

masing-masing pihak yang tentu saja bertujuan untuk menghimpun dukungan

dari dunia internasional dan untuk menciptakan situasi-situasi yang mungkin bisa

dimanfaatkan. Indonesia sendiri yang sejak penandatanganan Perjanjian

Linggajati telah mendapatkan pengakuan kedaulatan dari berbagai negara, baik

secara de facto maupun de jure seperti dari Inggris, AS, Mesir, Libanon, Suria,

1 Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and

Sons Limited, London, hlm. 54, 57, dan 62.

Page 51: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

39

Afganistan, Burma, Arab Saudi, Yaman, Rusia, dan India tetap berpandangan

bahwa jalur diplomasi akan lebih menjamin posisinya, meskipun secara

substansial pihaknya harus menghadapi tuntutan-tuntutan Belanda yang cukup

memberatkan.2 Keyakinan Indonesia terhadap jalur diplomasi tidak lepas dari

adanya faktor simpati dan dukungan dari dunia internasional dan keterlibatan DK

PBB melalui KTN yang secara teoritis bisa diharapkan membantu menyelesaikan

konfliknya dengan Belanda selama ini. Bagi Belanda sendiri perundingan ini

mungkin menjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan sejak Van Kleffens gagal

menolak keterlibatan DK PBB dalam menengahi konflik negaranya dengan

Indonesia.3 Masuknya konflik Indonesia – Belanda ke dalam agenda pembahasan

DK PBB membuat Belanda harus menghentikan segala bentuk kesewenang-

wenangannya terhadap Indonesia.

Sikap Indonesia dalam menghadapi Perundingan Renville secara jelas

dinyatakan oleh PM Amir Syarifuddin dalam pidato politiknya di depan sidang

Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada tanggal 2

Oktober 1947. Dalam pidatonya tersebut PM Amir Syarifuddin menyatakan

bahwa:

“Segala akibat agresi Belanda mesti kita hilangkan. Selekas mungkin stelsel keuangan kita, stelsel perhubungan kita, perdagangan kita, perekonomian kita meski dikembalikan di seluruh daerah Republik. Ini berarti bahwa pertama kali kita akan menuntut pengunduran tentara Belanda ke garis demarkasi tanggal 14 Oktober 1946, atau sekurang-kurangnya pada keadaan tanggal 20 Juli 1947. Sudah barang tentu, tujuan ini tidak lengkap dan tidak sempurna, tetapi mesti ditambah dengan tujuan satu lagi, yaitu menuntut pengunduran tentara Belanda

2 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 138. 3 Charles Wolf Jr., 1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York, hlm.

138.

Page 52: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

40

dari seluruh daerah Republik dan kemudian dari seluruh Kepulauan Indonesia.”4

Cukup singkat memang inti dari pidato PM Amir Syarifuddin tersebut, tetapi

secara jelas telah bisa menggambarkan posisi Indonesia dalam menempuh

perundingannya dengan Belanda. Pernyataan tersebut setidaknya

menggambarkan bahwa posisi Indonesia adalah tetap sebagai negara yang

berdaulat dan tetap akan mempertahankan eksistensinya terhadap Belanda di

dalam Perundingan Renville.

Sementara itu di dalam negeri Indonesia sendiri telah terjadi perubahan

politik yang cukup mengejutkan berbagai pihak. Partai Majelis Syura Muslimin

Indonesia (Masyumi) yang sejak Perjanjian Linggajati telah menarik

dukungannya terhadap pemerintah pada bulan November 1947 menyatakan ikut

mendukung Kabinet Amir Syarifuddin.5 Secara lebih jauh Masyumi mendukung

langkah-langkah PM Amir Syarifuddin dalam usahanya menghadapi Belanda

secara diplomatis. Kemudian PM Amir Syarifuddin pun segera merombak

kabinetnya dengan memasukkan sejumlah nama baru yang berasal dari Masyumi

ke dalam kabinetnya.6

Secara politis momentum ini jelas merupakan suatu keuntungan bagi

perjuangan Indonesia dalam menghadapi Belanda karena kini dukungan politik

terhadap kabinet Amir Syarifuddin semakin kuat. Masuknya Masyumi telah

4 A.H. Nasution, 1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semesta I,

Angkasa, Bandung, hlm. 5-6. 5 Pramoedya Ananta Toer dkk., 2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947),

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, hlm. 400. 6 Masyumi mendapat enam kursi di dalam Kabinet Amir Syarifuddin yang telah dirombak

pada tanggal 11 November 1947. Lihat Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Indonesia Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York, hlm. 12-14.

Page 53: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

41

berhasil menciptakan suatu konstelasi politik yang solid bagi pemerintahan PM

Amir Syarifuddin karena kini dapat dikatakan bahwa sebagian besar partai politik

telah meleburkan diri dalam kabinetnya. Dapat ditambahkan juga bahwa

masuknya Masyumi telah melengkapi kekuatan politik Kabinet Amir Syarifuddin

yang didukung oleh partai-partai dari Sayap Kiri maupun Nasional. Dari Sayap

Kiri terdapat Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Buruh

Indonesia (PBI). Dari golongan nasional terdapat Partai Nasional Indonesia

(PNI), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Masyumi.7 Langkah PM Amir

Syarifuddin untuk merombak kabinetnya dengan menggandeng Masyumi ke

dalamnya merupakan suatu bentuk usaha penghimpunan kekuatan politik dalam

negeri untuk menghadapi Belanda di dalam perundingan.

Belanda pun tak henti-hentinya melakukan propaganda-propaganda

politiknya yang bertujuan untuk memojokkan posisi Indonesia di dunia

internasional. Propaganda-propaganda politik tersebut sengaja dilakukannya

untuk memberikan alasan pembenaran terhadap aksinya pada tanggal 21 Juli

1947 dan dalam rangka mencari dukungan internasional atas kebijakan

pemerintahnya dalam menghadapi Indonesia. Propaganda Belanda yang

cenderung meremehkan eksistensi Indonesia sebagai suatu negara secara jelas

tercermin dalam pidato politik para pemimpinnya. Salah satu pidato politik

Belanda adalah pidato yang diucapkan Van Mook di dalam suatu siaran radio

Belanda pada tanggal 4 September 1947 yang menyatakan bahwa :

7 Ibid.

Page 54: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

42

…………………………………………………………………………… “Mungkin kami salah, karena terlalu sabar, sehingga elemen-elemen jahat dalam Republik semakin merajalela melakukan penculikan, pembunuhan, perusakan dan pembakaran di daerah-daerah yang mereka tidak dapat pertahankan dengan membawa serta sandera-sandera Belanda yang berhasil mereka tangkap. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan kejahatan mereka. Pemerintah Republik tidak mampu membangun suatu pemerintahan, sekalipun hanya yang menyerupai suatu sistem pemerintahan yang mempunyai peraturan keuangan, ekonomi, dan sosial. Pendeknya, jika Republik dibiarkan menyelesaikan urusannya sendiri, mereka tidak akan mampu mencapai sesuatu yang dapat diandalkan untuk memperoleh kemerdekaan yang berdaulat.”8

Jelas bahwa dengan pidatonya tersebut secara implisit Van Mook

meragukan kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Van Mook

menuduh bahwa pemerintah Indonesia saat ini tidak mampu menjalankan roda

pemerintahan dengan baik, terutama di bidang keamanan dan ketertiban dimana

masih sering terjadi aksi-aksi penculikan, pembunuhan, perusakan, dan

pembakaran terhadap orang-orang asing, khususnya orang Belanda.9 Pidato Van

Mook tersebut penuh dengan nuansa sentimen politis terhadap Indonesia yang

secara sekilas apa yang dikatakannya seolah-olah benar, tetapi tanpa disertai

dengan akar permasalahan yang ada sebenarnya.

Selain melontarkan propaganda-propaganda politiknya, Belanda juga

melakukan manuver-manuver politik lainnya untuk menekan Indonesia, yaitu

dengan cara mendisintegrasi beberapa daerah yang sebenarnya masih termasuk

dalam wilayah kedaulatan Indonesia untuk kemudian dibentuk pemerintahan

sendiri yang berada di bawah pengaruh kekuasaan politiknya. Pemerintahan

8 K.M.L Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung,

Jakarta, hlm. 170-171. 9 Ibid.

Page 55: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

43

sendiri itulah yang oleh Belanda disebut sebagai negara federal, sedangkan

Indonesia menyebutnya sebagai negara boneka karena dibentuk tanpa

mempunyai kapabilitas politik yang jelas. Pembentukan negara-negara federal

tersebut dilakukan Belanda dengan cara memfasilitasi orang-orang tertentu yang

merasa tidak puas dengan pemerintahan Indonesia saat ini dan lebih

menginginkan untuk membentuk pemerintahan sendiri di daerahnya.10

Selanjutnya Belanda pun membantu membentuk alat-alat kelengkapannya seperti

layaknya suatu negara yang kemudian diberinya status otonom sebagai suatu

pemerintahan. Menurut Belanda pembentukan negara-negara federal merupakan

persiapan untuk menuju pembentukan NIS yang sudah direncanakan sejak

adanya Perjanjian Linggajati.11

Pembentukan negara-negara federal oleh Belanda sebenarnya sudah

dilakukan sejak bulan Desember 1946 dengan membentuk Negara Indonesia

Timur (NIT).12 Kemudian diikuti dengan adanya gerakan Partai Rakyat Pasundan

di Jawa Barat pada bulan Mei 1947, dimana dalam kasus ini ada indikasi bahwa

Belanda terlibat dalam gerakan tersebut. Gerakan tersebut diindikasikan

merupakan percobaan dari Belanda untuk mempersiapkan pembentukan Negara

Jawa Barat. Selain itu Belanda juga membentuk Negara Kalimantan Barat dan

kemudian memberikan status daerah otonom atas Kalimantan Timur pada bulan

Agustus 1947, setelah itu Belanda juga membentuk Negara Sumatera Timur pada

10 Audrey Kahin, 1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from

Diversity, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 220-221. 11 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 58-59. 12 Audrey Kahin, op. cit., hlm. 218.

Page 56: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

44

bulan Desember 1947.13 Dari keterangan tersebut hal yang dapat dikatakan

adalah Belanda berusaha mencaplok wilayah Indonesia dengan cara memecah-

mecahnya menjadi negara-negara federal untuk melemahkan kekuatan Indonesia.

Menurut Indonesia tindakan Belanda tersebut telah merugikan pihaknya

karena tindakan tersebut dapat dianggap sebagai suatu perampasan terhadap

wilayahnya. Indonesia memprotes tindakan Belanda tersebut karena telah

melecehkan kedaulatannya. Keberatan Indonesia didasarkan pada tindakan

Belanda yang telah mempengaruhi bahkan memfasilitasi aksi-aksi separatisme di

Indonesia. Tindakan Belanda tersebut merupakan salah satu strateginya untuk

memecah-mecah wilayah Indonesia, sehingga diharapkan kekuatan Indonesia

akan semakin melemah. Negara-negara federal tersebut sengaja diciptakan oleh

Belanda untuk mengepung posisi Indonesia secara politis dengan cara

menciptakan gerakan-gerakan yang pada intinya menentang keberadaan

pemerintahan Indonesia.

Dalam mempersiapkan tuntutan-tuntutannya, baik Indonesia maupun

Belanda ternyata masih terhambat oleh adanya perbedaan prinsip dalam memulai

suatu persiapan perundingan. Belanda menyatakan bahwa pembahasan substansi

militer harus didahulukan, sedangkan Indonesia justru berpendapat sebaliknya,

substansi politiklah yang harus didahulukan. Selain itu masing-masing pihak pun

masih mempunyai perbedaan yang cukup tajam dalam menafsirkan substansi-

substansi yang ada. Pada substansi gencatan senjata misalnya, kedua belah pihak

ternyata belum menemukan definisi yang sama dalam menyikapinya, sehingga

13 Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 106 dan 108. Lihat juga dalam Anthony Reid, 1974,

Indonesian National Revolution 1945-1950, Longman, Australia, hlm, 116.

Page 57: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

45

gencatan senjata tidak berjalan efektif. Indonesia menafsirkan bahwa gencatan

senjata berarti perintah bagi pasukannya untuk tetap tinggal di tempat dan

menghentikan segala bentuk permusuhan, sedangkan Belanda menafsirkannya

sebagai suatu perintah untuk memulihkan keamanan dan ketertiban di daerah-

daerah yang telah didudukinya, yaitu dengan cara melakukan gerakan

pembersihan terhadap pasukan Indonesia yang masih berada di dalam garis Van

Mook.14 Oleh karena adanya perbedaan penafsiran itulah kedua belah pihak

sering terlibat dalam perdebatan karena Indonesia menuduh Belanda tidak mau

mematuhi resolusi DK PBB karena secara sepihak pasukan Belanda masih saja

memperluas daerah pendudukannya dengan alasan gerakan pembersihan.

Pihak Indonesia sendiri pun mempunyai argumen yang kuat bahwa

pasukannya secara otomatis tentu akan memberikan perlawanan jika diserang

oleh pasukan Belanda. Hal itulah yang membuat pertempuran antara pasukan

Indonesia dan pasukan Belanda tak kunjung berhenti karena masing-masing

pihak merasa posisinya terancam oleh pihak lain. Masalah-masalah tersebut

secara sistematis diuraikan oleh Komisi Konsuler dalam laporannya kepada KTN

pada bulan Oktober 1947 yang juga menyatakan bahwa gencatan senjata tidak

berjalan efektif karena masing-masing pihak mempunyai penafsiran yang

berbeda atas perintah tersebut.15

Perbedaan penafsiran juga terjadi dalam substansi daerah-daerah

pendudukan yang akan direkapitulasi setelah terlebih dahulu dibuat garis

14 Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold War : The United States and the

Strunggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London, hlm. 190. 15 Basuki Suwarno, 1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I ,

Upakara, Jakarta, hlm. 262.

Page 58: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

46

demarkasi. Menurut Indonesia garis demarkasi harus mengacu pada posisi

masing-masing pihak pada saat perintah gencatan senjata mulai diberlakukan,

yaitu pada tanggal 4 Agustus 1947, sedangkan Belanda berpendapat bahwa garis

demarkasi ditentukan berdasarkan pada posisi terakhir di daerah-daerah yang

telah diduduki, dalam hal ini Belanda menuntut agar garis Van Mook dijadikan

garis demarkasi.16 Demikianlah sejumlah perbedaan yang terjadi di antara

Indonesia – Belanda dalam menyikapi substansi militer. Perbedaan pendapat

yang berlarut-larut tersebut membuat sejumlah agenda pembahasan substansi

politik menjadi terbengkalai karena kedua belah pihak terus cenderung untuk

memperdebatkan substansi militer.

Sebenarnya sudah ada sejumlah rancangan resolusi yang sering dibahas di

dalam sidang DK PBB untuk mengatasi perbedaan pendapat antara Indonesia –

Belanda, tetapi rancangan tersebut sering menemukan kegagalan karena di dalam

DK PBB pun sering terjadi perbedaan pendapat. Dalam hal ini dapat

ditambahkan juga bahwa kecenderungan Inggris, Perancis, dan Belgia untuk

memihak Belanda membuat setiap mekanisme pembahasan rancangan resolusi

berjalan alot, karena negara-negara tersebut sering menolak rancangan resolusi

yang cenderung akan merugikan Belanda. Dalam sidang DK PBB sendiri terjadi

beberapa kali penolakan rancangan resolusi yang pada intinya berisi tentang

perintah untuk menarik mundur pasukan Belanda pada posisi semula, yaitu

sebelum tanggal 21 Juli 1947. Salah satunya adalah ketika pada tanggal 11

Oktober 1947 Rusia mengajukan rancangannya untuk menarik mundur pasukan

16 George McTurnan Kahin, 1995, Nasionalimse dan Revolusi di Indonesia, terj., UNS Press,

Jakarta, hlm. 274.

Page 59: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

47

Belanda ke daerah yang mereka duduki sebelum terjadinya agresi 21 Juli 1947.17

Rancangan tersebut juga didukung oleh Australia, Kolombia, dan Polandia, tetapi

tentangan datang dari AS. Warren Austin yang menjadi wakil AS menyatakan

bahwa DK tidak mempunyai data dan informasi yang cukup untuk menilai posisi

kedua belah pihak dan ia menyarankan agar DK memerintahkan KTN untuk

meninjau langsung ke Indonesia dan membantu kedua belah pihak untuk

melaksanakan gencatan senjata.18 Hasilnya, DK justru menerima rancangan

resolusi yang diajukan AS tersebut dan menolak rancangan Rusia karena hanya

didukung oleh tiga suara, sedangkan Belgia, Perancis, dan Inggris menolaknya.19

Adanya sejumlah suara penolakan dari negara-negara seperti Inggris,

Perancis, dan Belgia untuk merumuskan resolusi yang berisi tentang penarikan

pasukan Belanda membuat DK PBB tidak berhasil menemukan cara yang efektif

untuk menghentikan permusuhan antara Indonesia – Belanda. Demikianlah

situasi perundingan awal yang penuh dengan perbedaan pendapat, sehingga

sampai bulan Oktober pun belum tercapai suatu kesepakatan yang secara konkret

bisa dilaksanakan.

Selanjutnya, meskipun substansi gencatan senjata belum bisa diselesaikan

perundingan tetap dilanjutkan untuk membahas tentang rekapitulasi daerah-

daerah pendudukan masing-masing pihak pasca agresi 21 Juli 1947. Pada tanggal

15 November 1947, Glenn Abbey (AS) yang bertindak sebagai Ketua Komite

Khusus Perundingan mengajukan beberapa pasal di dalam rancangannya yang

bisa dipakai dalam membahas substansi militer yang isinya :

17 Alastair M. Taylor, op.cit., hlm. 61. 18 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 191. 19 Alastair M. Taylor, op. cit, hlm. 191.

Page 60: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

48

1. Rencana penetapan status quo posisi militer 2. Pelarangan perluasan daerah pendudukan dari posisi saat ini 3. Pelarangan propaganda yang bersifat menghasut 4. Penghentian penerbitan laporan-laporan militer (komunike) dan

informasi lain yang berhubungan dengan kegiatan militer. 20

Berdasarkan rancangan tersebut yang perlu untuk segera dibahas adalah

mengenai penetapan status quo di bidang militer. Berdasarkan prinsip dari

rancangan tersebut, KTN menjelaskan bahwa kini semua kegiatan patroli militer

harus dibatasi sejauh 1 km dari posisi pasukan pihak lain dan melarang

pergerakan pasukan tanpa izin KTN. Adanya penjelasan dari KTN tersebut

membuat Indonesia bisa menerima, tetapi lagi-lagi Belanda menyatakan

keberatannya. Belanda menjelaskan bahwa sebagai hasil dari aksi polisionilnya

pada tanggal 21 Juli 1947 beberapa kesatuan pasukan Indonesia sudah tidak lagi

terorganisasi dengan baik dan posisi mereka terpecah-pecah, bahkan sebagian

dari mereka masih berada di dalam daerah pendudukannya. Mereka dengan

sengaja terus berusaha mengganggu pasukan Belanda dengan membuat kantong-

kantong perlawanan yang dipakai untuk melakukan perlawanan secara gerilya.21

Belanda kemudian justru menyarankan agar dilakukan penarikan pasukan

Indonesia yang masih berada di dalam daerah pendudukannya dan membatasi

kegiatan patroli di daerah-daerah pendudukan terdepan masing-masing pihak.

Indonesia menolak argumentasi Belanda karena menurutnya pasukan Indonesia

tersebut masih berada di daerahnya sendiri, bukan di daerah pendudukan

Belanda, sehingga tidak masuk akal jika Belanda menuntut agar pasukan

Indonesia tersebut ditarik mundur.

20 Ibid., hlm. 69. 21 Basuki Suwarno, op. cit., hlm. 276-277.

Page 61: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

49

Sampai dengan minggu pertama di bulan Desember tidak ada kesepakatan

yang cukup berarti antara Indonesia – Belanda, baik di bidang militer maupun

politik. Penarikan pasukan dan rekapitulasi daerah-daerah pendudukan

merupakan dua substansi yang sulit untuk diselesaikan karena masih adanya

perbedaan penafsiran terhadap dua substansi tersebut.

Sebenarnya kemacetan di awal perundingan tersebut terjadi karena di

antara Indonesia – Belanda cenderung berkutat pada substansi yang bersifat

pragmatis saja, yaitu gencatan senjata. Pelaksanaan gencatan senjata dibutuhkan

untuk merekapitulasi daerah-daerah pendudukan yang penentuannya dilakukan

dengan cara membuat garis demarkasi yang kemudian diikuti dengan penarikan

pasukan kedua belah pihak. Adanya alasan Belanda yang menyatakan bahwa

penarikan pasukan hanya akan menyebabkan kekacauan di daerah yang

ditinggalkan membuat pihaknya mempunyai dasar yang kuat untuk

mempertahankan posisi pasukannya dengan alasan untuk menjaga keamanan dan

ketertiban. Alasan tersebut semakin menguat ketika Belanda mulai menuduh

Indonesia telah menggerakkan pasukannya untuk melakukan perlawanan secara

gerilya di daerah pendudukan Belanda.22 Untuk itulah Belanda kemudian

melakukan gerakan pembersihan untuk menghadapi gerakan gerilya tersebut.

Pergerakan pasukan masing-masing pihak itulah yang selama ini selalu

diperdebatkan oleh keduanya, sehingga permusuhan pun tak kunjung berhenti.

Pemicu awalnya adalah bermula ketika Belanda sering melakukan perluasan

daerah pendudukan meskipun gencatan senjata sudah diberlakukan, secara

otomatis pasukan Indonesia tentu akan melakukan perlawanan juga karena

22 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 75-76.

Page 62: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

50

mereka diserang terlebih dahulu oleh pasukan Belanda. Dengan situasi demikian

Belanda menyatakan tidak akan menarik pasukannya selama pasukan Indonesia

masih melakukan aksi-aksi yang mengganggu keamanan dan ketertiban,

sedangkan Indonesia pun menyatakan bahwa aksi-aksi tersebut disebabkan

karena adanya pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Belanda.

Memang pada masa-masa perundingan tersebut perlawanan dari pasukan

Indonesia yang dilakukan secara gerilya semakin banyak terjadi di daerah-daerah,

baik di daerah pendudukannya sendiri maupun di daerah pendudukan Belanda.

Meskipun secara politis konflik antara Indonesia – Belanda sedang berada di

dalam proses perundingan untuk mencapai perdamaian tetapi secara militer kedua

belah pihak masih tetap saja saling bermusuhan karena masih adanya tekanan-

tekanan politik dan militer yang dirasakan oleh masing-masing pihak. Strategi

perlawanan gerilya dilakukan oleh Indonesia karena selain kalah dalam hal

teknologi persenjataan, hal tersebut juga dikarenakan posisinya yang semakin

terjepit oleh pasukan Belanda. Dalam kenyataannya gerakan gerilya ini tidak

hanya dilakukan oleh pasukan reguler Indonesia saja, tetapi juga dilakukan oleh

sekelompok orang dari kalangan sipil yang tergabung dalam suatu wadah yang

sering disebut laskar rakyat. Terdapat beberapa nama laskar gerilya yang

beroperasi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Karawang, Jakarta,

Cirebon, dan berbagai daerah lainnya, yang secara aktif terus berusaha untuk

mengganggu pasukan Belanda, baik dengan cara melakukan teror, penyerangan

maupun perusakan. 23

23 Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Peoples Militia

and the Indonesian Revolution 1945-1949, University of Hawai Press, Honolulu, hlm. 158-163.

Page 63: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

51

Perlawanan secara gerilya dilakukan dengan cara membuat basis-basis

perlawanan, atau yang lebih dikenal dengan istilah kantong-kantong perlawanan

yang berpindah-pindah di dalam daerah pendudukan, khususnya di daerah

pendudukan Belanda. Kemudian mereka menyerang pos-pos pasukan Belanda

atau juga menyergap konvoi pasukan Belanda dan mereka mulai mengundurkan

diri jika merasa terancam oleh pasukan Belanda. Selain itu strategi perlawanan

juga dilakukan dengan cara bumi hangus, yaitu merusak dan membakar hasil-

hasil bumi atau instalasi-instalasi yang menurut mereka sudah tidak dapat

dipertahankan lagi agar tidak bisa dimanfaatkan oleh Belanda.24 Strategi bumi

hangus merupakan pilihan terakhir yang dilakukan untuk menahan laju

perkembangan pergerakan pasukan Belanda.

Meskipun gerakan gerilya tersebut bisa dikatakan hanya dilakukan dalam

skala kecil yang dapat diatasi oleh Belanda, tetapi hal tersebut tampaknya cukup

merepotkan Belanda juga. Dalam beberapa pernyataannya Pemerintah Belanda

mengeluhkan dan bahkan menyatakan kekesalannya terhadap aksi-aksi yang

dilakukan oleh gerakan tersebut karena dianggap telah menimbulkan kekacauan

di daerah pendudukannya.25 Perdebatan mengenai hal itulah yang membuat

permusuhan antara Indonesia – Belanda tak kunjung berhenti karena masing-

masing pihak memang mempunyai alasan untuk tetap melakukan perlawanan

sebelum perundingan mencapai kesepakatan yang memuaskan.

Demikianlah dua hal yang selalu menjadi hambatan bagi Indonesia –

Belanda dalam menghentikan permusuhan. Dua hal tersebut seolah-olah menjadi

24 Yong Mun Cheong, 2003, The Indonesian Revolution and the Singapore Connector, KITLV Press, Leiden, hlm. 21 dan Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 134.

25 K.M.L. Tobing, op. cit., hlm. 144, 170-122 dan 183.

Page 64: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

52

suatu lingkaran masalah yang cukup rumit bagi KTN untuk menengahinya karena

kedua belah pihak tidak mau membuat suatu prioritas dalam menyelesaikannya.

B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville

Pembahasan substansi militer secara perlahan bergeser ke substansi

politik ketika Perundingan Renville secara resmi dibuka pada tanggal 8

Desember 1947 di atas kapal USS Renville yang bersandar di Tanjung Priok,

Jakarta. Dalam pidato pembukaannya, Frank Graham mengharapkan agar kedua

belah pihak hendaknya tetap berpedoman pada asas-asas dalam Perjanjian

Linggajati sebagai dasar pembahasan dalam perundingan.26 Dalam perundingan

tersebut Belanda mendapat kesempatan pertama untuk menyatakan pandangan-

pandangan pemerintahnya terkait dengan konflik yang terjadi dengan Indonesia.

Dalam pidatonya, Abdulkadir Wijoyoatmojo menyatakan bahwa jika di antara

Indonesia – Belanda masih saja terjadi aksi-aksi permusuhan, maka hal tersebut

akan menimbulkan adanya kesulitan-kesulitan dalam membahas substansi-

substansi yang ada. Menurutnya pembahasan mengenai gencatan senjata harus

segera diselesaikan terlebih dahulu sebelum membahas tentang substansi

politik.27

Perdana Menteri Amir Syarifuddin kemudian menanggapi pidato tersebut

dengan menyatakan bahwa sejak dahulu pemerintah Belanda selalu memakai

cara-cara kekerasan dalam menghadapi pemerintah Indonesia. PM Syarifuddin

juga menyatakan bahwa pembentukan negara-negara federal oleh Belanda di

26 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 196-197. 27 Hilman Adil, 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962, Djambatan, Jakarta,

hlm. 68.

Page 65: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

53

daerah kekuasaan Indonesia adalah suatu bukti bahwa pemerintah Belanda ingin

menghancurkan keberadaan Republik Indonesia dengan menggunakan

kekuasaannya. Mengenai gencantan senjata, PM Amir Syarifuddin yakin bahwa

yang terpenting untuk saat ini adalah bagaimana caranya untuk membuat

kesepakatan dalam substansi politik karena tanpa hal tersebut pelaksanaan

gencatan senjata tidak akan berjalan efektif.28

Berdasarkan pernyataan kedua pimpinan delegasi tersebut jelas bahwa

masih terdapat perbedaan pandangan di antara kedua belah pihak dalam

menentukan alur perundingan. Sementara itu hubungan keduanya justru semakin

memanas ketika suatu insiden terjadi di Rawahgede pada tanggal 9 – 12

Desember 1947. Indonesia menuduh Belanda telah melakukan gerakan

pembersihan di daerah tersebut yang mengakibatkan 300 orang lebih tewas dan

200 orang luka-luka.29 Belanda pun menangkisnya dengan menyatakan bahwa

insiden tersebut bukanlah suatu gerakan pembersihan, tetapi hanya patroli rutin

saja dan penyebabnya pun adalah karena pasukan Indonesia di daerah tersebut

telah melakukan aksi-aksi perusakan, intimidasi, dan pembalasan, sehingga

dengan terpaksa Belanda pun mengambil tindakan dengan cara kekerasan. Wakil

delegasi Belanda Van Vrederburch juga menambahkan bahwa dia telah mendapat

perintah dari pemerintahnya untuk tidak melakukan penarikan pasukan dari

daerah pendudukan. Anggota delegasi Indonesia, J. Leimena menanggapinya

dengan menyatakan bahwa adanya kekacauan di daerah-daerah pendudukan tetap

28 Ibid. 29 A.H. Nasution, op. cit., hlm. 339.

Page 66: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

54

tidak bisa dijadikan alasan oleh Belanda untuk tidak menarik pasukannya karena

hal tersebut hanya berdasarkan pertimbangan satu pihak saja.30

Berdasarkan perdebatan yang terjadi tersebut ada indikasi bahwa selama

perundingan berlangsung, Belanda dengan sengaja telah berusaha untuk

menciptakan situasi perundingan yang tidak kondusif. Selain tidak mau menarik

pasukannya, Belanda juga semakin meningkatkan gerakan pembersihannya, baik

terhadap pasukan reguler Indonesia maupun terhadap para gerilyawan. Situasi

demikian membuat Belanda pun mulai merasa jenuh karena tidak ada keputusan

yang menurutnya memuaskan. Secara perlahan Belanda pun mulai menekan

Indonesia dengan suatu pernyataan yang diucapkan oleh PM Beel yang disiarkan

melalui radio, yang menyatakan bahwa perundingan kini tidak bisa ditunda-tunda

lagi karena memuat substansi yang sangat penting dan harus segera diselesaikan.

Secara implisit PM Beel juga memberikan suatu ancaman bagi Indonesia dengan

menyatakan bahwa perundingan tersebut mungkin saja bisa menjadi perundingan

yang terakhir jika tidak ada keputusan yang memuaskan.31

Melihat situasi yang demikian KTN pun segera tanggap dan menyarankan

agar Komite segera menyusun suatu rancangan baru yang bisa segera dibahas.

Paul Van Zeeland menyatakan bahwa sebenarnya substansi gerakan senjata bisa

dicapai melalui dua langkah, yaitu : menghentikan gerakan gerilya pasukan

Indonesia dan segera menentukan garis demarkasi.32 Sebagai langkah awal, dia

menyarankan agar garis demarkasi ditetapkan terlebih dahulu sebagai batas posisi

sementara kedua belah pihak untuk selanjutnya dilakukan penarikan pasukan.

30 Basuki Suwarno, op. cit., hlm. 287-288. 31 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 198. 32 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 81.

Page 67: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

55

Setelah dibahas terlebih dahulu di kalangan anggota KTN, maka KTN

pun kemudian mengirimkan suatu pesan kepada masing-masing pihak yang berisi

tentang alternatif rancangan kesepakatan yang mungkin bisa dijadikan dasar

untuk melanjutkan perundingan. Pesan itu dikirim pada tanggal 25 Desember

1947 dan dikenal dengan nama Pesan Natal yang berisi tentang pokok-pokok

gencatan senjata dan penyelesaian substansi politik.

Pokok-pokok gencatan senjata berisi :

1. Meminta Indonesia untuk menerima posisi militer pasukan Belanda sesuai dengan garis Van Mook.

2. Penentuan daerah-daerah pendudukan yang harus dikosongkan (demiliterized zone).

3. Tanggung jawab atas keamanan akan diserahkan kepada Kepolisian dari kedua belah pihak dimana penasehat militer KTN bersedia membantu.

4. Hubungan dan perdagangan antardaerah harus dipulihkan seperti biasa.

5. Pembantu militer KTN akan menyelidiki adanya dugaan bahwa masih ada pasukan Indonesia yang tinggal di belakang daerah pendudukan Belanda.

6. Semua pasukan dari kedua belah pihak akan ditarik mundur di bawah pengawasan KTN.33

Sedangkan pokok-pokok dasar penyelesaian substansi politik berisi :

1. Bantuan KTN akan dilanjutkan untuk menyelesaikan substansi politik di daerah Jawa, Sumatra, dan Madura.

2. Penghentian segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan pembentukan negara di Jawa, Sumatra, dan Madura.

3. Pemulihan pemerintahan sipil di daerah pendudukan dalam waktu tiga bulan dihitung sejak penandatanganan persetujuan politik dan diikuti dengan penarikan pasukan Belanda ke posisi semula tanggal 20 Juli 1947.

4. Pengurangan pasukan kedua belah pihak secara bertahap. 5. Pemulihan ekonomi, perdagangan, transportasi, dan komunikasi. 6. Akan diadakan pembicaraan yang bersifat bebas sebelum

diadakannya pemilihan umum mengenai substansi-substansi pokok hasil perjanjian.

33 Ibid, hlm. 83-84.

Page 68: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

56

7. Pemberian perwakilan yang adil di dalam konvensi untuk membentuk konstitusi NIS.

8. Pengawasan dari suatu badan PBB selama pemerintahan sementara sampai pada terbentuknya NIS.

Menanggapi pesan dari KTN tersebut Indonesia lebih bersikap dingin.

Salah satu isi dari pesan tersebut yang cukup memberatkan bagi Indonesia adalah

tentang usulan untuk menerima garis Van Mook sebagai garis demarkasi. Bagi

Indonesia tidak ada alasan yang kuat untuk menerimanya karena hal tersebut

semata-mata hanya berdasarkan argumen Belanda saja. Adanya usulan dari KTN

mengenai garis Van Mook merupakan suatu ancaman tersendiri atas posisi

pasukan dan gerilyawan Indonesia yang masih ada di posisinya masing-masing

karena penerimaan garis Van Mook akan mengabaikan posisi pasukan Indonesia

pada saat gencatan senjata. Hanya saja Indonesia pun mempunyai pertimbangan

lain yang membuatnya tidak bisa dengan mudah menolak usulan KTN tersebut.

Pertimbangan tersebut adalah adanya kenyataan bahwa kekuatan

pasukannya tidak sebanding dengan Belanda dan dilaporkan juga bahwa mereka

mulai melemah karena kekurangan amunisi, selain itu adanya jaminan untuk

melaksanakan pemilihan umum di daerah-daerah pendudukan Belanda

merupakan harapan bagi Indonesia untuk mendapatkan kembali daerah

kekuasaannya dari tangan Belanda.34 Pada dasarnya Indonesia memberikan sikap

yang setuju atas pesan dari KTN, hanya saja ada beberapa pasal dalam pesan

tersebut yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dari KTN.

34 Abu Hanifah, 1972, Tales of A Revolution, John Sound PT Y LTD, Australia, hlm. 262.

Page 69: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

57

Sikap Belanda justru sebaliknya, mereka masih keberatan dengan

beberapa pasal dalam pesan tersebut, khususnya mengenai pasal yang menyebut

Indonesia. Dalam pesan balasannya pada tanggal 2 Januari 1948, Belanda justru

mengajukan 12 pasal rancangan yang dibuat berdasarkan pendiriannya.

Rancangan Belanda tersebut menggabungkan antara pesan dari KTN yang

disetujuinya dengan rancangannya sendiri yang berisi penolakannya terhadap

beberapa pasal dari KTN yang pada intinya berisi :

1. Tidak akan melakukan penarikan pasukan karena mereka diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

2. Tidak akan memulihkan pemerintahan sipil Indonesia di daerah-daerah yang telah diduduki.

3. Pemilihan umum seperti yang dimaksud oleh KTN sebatas hanya untuk menentukan hubungan penduduk dengan NIS.

4. Pengawasan dari PBB tidak mutlak dilakukan selama masa pemerintahan sementara.

5. Menghapus perwakilan Indonesia di dalam pemerintahan sementara.35

Belanda memberi batas waktu 48 jam bagi Indonesia untuk membahas pesannya

tersebut dengan KTN dan jika dilanggar maka Belanda akan bebas bertindak.

Adanya pesan yang ultimatif tersebut membuat perundingan semakin

rumit karena salah satu pihak kini mulai melakukan ancaman. Untuk mengatasi

kemacetan tersebut maka KTN kembali mendekati Indonesia dengan

menciptakan enam prinsip politik tambahan untuk menjamin eksistensi Indonesia

selama pelaksanaan hasil-hasil perjanjian nantinya. Pada dasarnya 6 prinsip

politik tambahan tersebut berisi tentang sejumlah pasal jaminan KTN terhadap

eksistensi Indonesia selama pelaksanaan hasil perundingan yang akan tetap

35 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 201.

Page 70: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

58

dipertahankan dalam hubungannya dengan Belanda. 6 prinsip politik tambahan

yang diajukan pada tanggal 11 Januari 1948 tersebut berisi :

1. Kedaulatan di seluruh Hindia Belanda tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai NIS terbentuk. NIS akan menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat dengan kedudukan yang sejajar dengan Belanda di dalam sebuah uni yang dikepalai oleh Raja Belanda. Status Indonesia adalah negara bagian di dalam NIS.

2. Dalam pemerintahan sementara semua negara bagian akan diberi perwakilan yang adil.

3. Bantuan KTN bisa diminta untuk mengatasi kesulitan-kesulitan selama masa peralihan.

4. Tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun akan diadakan pemilihan umum untuk menentukan status penduduk, apakah akan bergabung dengan Indonesia atau dengan negara lain di dalam NIS.

5. Semua negara bagian akan diberi perwakilan sesuai dengan jumlah penduduknya di dalam konvensi untuk membuat konstitusi.

6. Jika ada negara bagian yang tidak mau menandatangani konstitusi NIS tersebut, maka kedua belah pihak tidak boleh menyatakan keberatannya. Terhadap negara tersebut akan diadakan suatu hubungan khusus dengan NIS. 36

Setelah diajukan kepada Belanda, ternyata Belanda menerima rancangan tersebut

karena menurutnya dekat dengan pandangannya dan asalkan Indonesia juga

menerima 12 pasal rancangannya yang terdahulu.

Indonesia kemudian meminta penjelasan dari KTN mengenai pasal

rancangannya agar pihaknya bisa secara jelas mengetahui maksud dari rancangan

tersebut. Untuk itulah kemudian Indonesia bertemu dengan KTN pada tanggal 13

Januari 1948 di Kaliurang untuk membahas rancangan tersebut. Dalam

kesempatan tersebut PM Amir Syariffudin meminta penjelasan pada KTN

mengenai penyerahan kedaulatan, dia bertanya apakah mungkin Belanda

menyerahkan kedudukannya kepada pemerintah federal sementara dan apakah

36 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 88-89.

Page 71: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

59

penyerahan kedaulatan itu tidak akan mempengaruhi kedaulatan itu secara utuh.

Lalu Richard Kirby menjawab bahwa pernyataan tersebut adalah suatu kebenaran

yang bisa dipercaya, dengan menyerahkan sebagian kedaulatannya, maka

Belanda akan mengurangi kedaulatannya sampai tercapai suatu posisi yang

seimbang.37

Perdana Menteri Amir Syariffudin juga menanyakan bagaimana status

Indonesia selama masa pembentukan NIS. Richard Kirby kemudian menjelaskan

bahwa Indonesia bisa ikut menandatangani konsitusi NIS meskipun secara resmi

belum masuk ke dalamnya sebagai negara bagian. Hanya saja ketika NIS sudah

terbentuk status Indonesia akan menjadi sejajar dengan negara bagian lainnya.38

Paul Van Zeeland menambahkan bahwa penerimaan Indonesia atas pasal I

rancangan KTN tersebut tidak akan mempengaruhi posisinya di dalam

pemerintahan sementara.

Anggota delegasi Indonesia lainnya, Mohammad Roem juga menanyakan

apakah bertentangan dengan rancangan KTN jika selama masa pemerintahan

sementara Indonesia tetap melaksanakan hubungan dengan luar negeri. Paul Van

Zeeland dan Frank Graham hanya menjawabnya dengan menyatakan bahwa hal

tersebut tidak diatur dalam rancangan.39

Mengenai perwakilan Indonesia di dalam pemerintahan sementara,

anggota delegasi Indonesia, Setiadjit, menanyakan apa definisi dari kata-kata

“perwakilan yang adil” dan apakah negara-negara federal yang dibentuk oleh

Belanda juga akan diberi perwakilan yang adil. Jika demikian bagaimana dengan

37 Ibid., hlm. 91. 38 Ibid., hlm. 91-92. 39 Ibid.

Page 72: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

60

suara penduduk di daerah tersebut dalam menentukan sikapnya, apakah akan ikut

Indonesia atau ikut negara lain. Frank Graham menjelaskan bahwa pada tanggal

11 Januari 1947 yang lalu KTN telah menyatakan akan memberikan perwakilan

yang adil untuk semua negara, maka hal tersebut tentu juga berlaku pada negara-

negara federal bentukan Belanda tersebut.40 Maksud dari kata “adil” adalah hal

tersebut masih dapat dibahas lagi oleh kedua belah pihak.

Mengenai negara-negara yang akan duduk dalam pemerintahan

sementara, Frank Graham menyatakan bahwa sebenarnya hal tersebut sudah

pernah dibahas dalam Pesan Natal, khususnya pada bagian dasar-dasar

penyelesaian politik yang membatasi segala bentuk kegiatan yang berhubungan

dengan pembentukan negara-negara baru. Karena bagian tersebut ditolak oleh

Belanda, maka kini KTN akan berusaha untuk menjajaki kembali suara penduduk

di daerah-daerah yang telah dijadikan negara oleh Belanda tersebut untuk

menentukan apakah akan bergabung ke dalam Indonesia atau ingin membentuk

negara baru di dalam NIS.41 Jadi pemilihan umum tersebut akan menjadi dasar

dalam menentukan negara-negara mana saja yang akan duduk di dalam

pemerintahan sementara.

Demikianlah jalannya diskusi antara delegasi Indonesia dengan KTN

dalam membahas pokok-pokok rancangan yang akan ditandatangani menjadi

suatu perjanjian. Pada intinya adanya sejumlah jaminan dari KTN seperti yang

termuat di dalam rancangannya membuat Indonesia percaya bahwa untuk saat ini

menerima tuntutan Belanda akan lebih menguntungkan daripada menolaknya

40 Ibid., hlm. 92-93. 41 Charles Wolf Jr., op. cit., hlm. 149.

Page 73: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

61

karena Indonesia menaruh kepercayaan pada penjelasan KTN. Adanya penjelasan

KTN mengenai status Indonesia, baik di dalam pemerintahan sementara maupun

NIS, membuat kekhawatiran tentang eksistensinya berkurang. Sedangkan

mengenai garis Van Mook, keberadaan garis tersebut akan dipulihkan lagi

dengan adanya pemilihan umum di daerah tersebut untuk menentukan suara

penduduk setempat, sehingga Indonesia yakin bahwa daerah-daerah tersebut akan

kembali ke tangannya.42 Akhirnya Indonesia pun menyatakan menerima semua

rancangan tersebut.

Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 kedua belah pihak

menandatangani naskah persetujuan perdamaian yang terdiri dari sepuluh pasal

gencatan senjata dan 12 pasal persetujuan politik, sedangkan naskah yang berisi

enam prinsip politik tambahan baru hanya diajukan saja dan akan ditandatangani

dua hari kemudian. Secara utuh Perjanjian Renville terdiri dari :

1. 10 Perjanjian Gencatan Senjata

2. 12 Persetujuan Politik

3. Enam Prinsip Tambahan dan KTN43

42 Bernard Dahm, 1971, History of Indonesia in the Twentieth Century, Praeger Publishers,

New York, hlm. 130. 43 Lihat lampiran hlm. 102. K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia :

Renville, Gunung Agung, Jakarta, hlm. 36-43.

Page 74: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

62

BAB IV

MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN

A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan

Perjanjian Renville yang telah ditandatangani pada tanggal 17 dan 19

Januari 1948 secara formal telah menjadi suatu dasar kesepakatan yang penting

bagi usaha Indonesia dan Belanda dalam rangka menyelesaikan konflik yang

terjadi melalui jalur perdamaian. Pasal-pasal yang termuat di dalam Perjanjian

Renville merupakan pokok-pokok kesepakatan antara Indonesia – Belanda, baik

dalam bidang militer maupun politik, yang oleh kedua belah pihak diharapkan

bisa digunakan sebagai pedoman dalam melanjutkan perundingan yang

diperlukan untuk melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tersebut secara konkret.

Tercapainya Perjanjian Renville dapat dikatakan sebagai suatu tahapan baru yang

lebih krusial dalam rangkaian perundingan antara Indonesia – Belanda karena

selain telah merumuskan pokok-pokok kesepakatan untuk menyelesaikan konflik

bilateral, perjanjian tersebut juga memuat beberapa kesepakatan penting lainnya

yang berkaitan dengan pembahasan hubungan bilateral kedua belah pihak di

masa yang akan datang. Secara substansial Perjanjian Renville memuat dua

substansi pokok yang selama ini menjadi sumber konflik di dalam hubungan

Indonesia – Belanda, yaitu : proses penghentian permusuhan dan peninjauan

kembali hubungan bilateral kedua belah pihak selanjutnya. Di dalam kerangka

yang lebih luas Perjanjian Renville adalah suatu usaha Pemerintah Indonesia dan

62

Page 75: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

63

Pemerintah Belanda dalam mengakomodasikan posisi dan haknya nasing-masing

dalam peta kekuasaan politik di wilayah Indonesia.

Jika diamati secara lebih mendetail Perjanjian Renville belumlah

merupakan suatu bentuk perjanjian yang secara langsung bisa segera

dilaksanakan, tetapi memerlukan perundingan lebih lanjut untuk membuat

keputusan-keputusan yang bersifat definitif dan secara konkret bisa dilaksanakan

oleh kedua belah pihak berdasarkan prinsip-prinsip yang termuat di dalamnya.

Secara teknis Perjanjian Renville masih berbentuk garis-garis besarnya saja dan

memerlukan perundingan lanjutan untuk mempersiapkan tata cara teknis

pelaksanaannya. Setidaknya ada tiga substansi utama di dalam Perjanjian

Renville yang sangat berpengaruh di dalam proses penyelesaian konflik antara

Indonesia – Belanda, yaitu :

1. Pelaksanaan gencatan senjata

2. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS

3. Kedaulatan atas Indonesia

Ketiga substansi tersebut masih menggantung sebagai pertanyaan besar yang

masih belum juga berhasil dipecahkan oleh Indonesia dan Belanda dalam proses

perdamaian yang tengah diusahakannya.

Meskipun masih berbentuk garis-garis besarnya saja, Perjanjian Renville

cukup dapat dikatakan sebagai suatu langkah yang progressif dalam usaha

penyelesaian konflik bilateral antara Indonesia – Belanda. Progressif karena

proses perundingannya tidak hanya telah berhasil menciptakan beberapa

formulasi kesepakatan yang bersifat pragmatis saja, tetapi juga berhasil

Page 76: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

64

merumuskan kesepakatan dasar yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Hal

ini terlihat pada bagian enam Prinsip Tambahan yang memuat substansi tentang

rencana pembentukan NIS dan Uni yang secara eksplisit menjadi bukti bahwa

Perjanjian Renville juga membahas tentang adanya perencanaan kembali

hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda di masa yang akan datang, setelah

di dalam Perjanjian Linggajati Indonesia dan Belanda gagal melaksanakan

kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat. Hanya saja pelaksanaan hasil-hasil

Perjanjian Renville tampaknya masih memerlukan waktu yang lebih lama karena

masih adanya sejumlah perbedaan pandangan di antara Indonesia – Belanda yang

belum bisa diatasi. Meskipun dapat dikatakan sebagai langkah yang progressif, di

sisi lain hasil-hasil Perjanjian Renville ternyata juga menimbulkan adanya

beberapa hal yang melemahkan posisi Indonesia karena di dalam perjanjian

tersebut ada beberapa pasal yang cenderung merugikan Indonesia. Ada beberapa

pasal di dalam Perjanjian Renville yang merugikan Indonesia, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Akibat yang secara langsung terjadi di pihak Indonesia adalah Indonesia

harus kehilangan beberapa wilayah kekuasaannya, antara lain atas sebagian Jawa

Barat, Jawa Timur, dan Madura karena adanya penerimaan pasal 1 dan 8 pada

bagian Perjajian Gencatan Senjata.1 Pasal 1 menetapkan bahwa Indonesia harus

menerima Garis Van Mook Belanda sebagai batas daerah pendudukan kedua

belah pihak pasca Agresi Militer 21 Juli 1947. Penerimaan atas Garis Van Mook

jelas merugikan Indonesia karena garis tersebut dibuat oleh Belanda dengan cara

1 Robert J. McMahon, 1981, Colonialism and Cold Ward : The United States and the Struggle

for Indonesian Independence 1945 – 1949, Correll University Press, London, hlm. 207.

Page 77: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

65

melakukan pendudukan secara sepihak tanpa mematuhi adanya perintah gencatan

senjata dari DK PBB. Kerugian Indonesia menjadi semakin jelas jika melihat

pada pasal 8 yang menyatakan bahwa pasukan Indonesia yang masih berada di

belakang kedudukan pasukan Belanda harus ditarik mundur meninggalkan daerah

yang dimaksud menuju daerahnya sendiri. Dengan adanya pasal tersebut, maka

pasukan Indonesia yang sebenarnya masih berposisi di daerah pendudukannya

sendiri dengan terpaksa harus meninggalkan posisinya karena diterimanya Garis

Van Mook. Secara otomatis hal tersebut membuat daerah kekuasaan Indonesia

menjadi semakin sempit karena sudah termakan oleh Garis Van Mook Belanda.

Yang lebih tragis lagi adalah sekitar 35.000 pasukan Indonesia harus mengungsi

ke daerah yang telah ditetapkan sebagai akibat dari pasal 8 tersebut yang dalam

hal ini telah menimbulkan permasalahan tersendiri bagi Indonesia.2

Akibat lain dari diterimanya Perjanjian Renville oleh Indonesia secara

tidak langsung adalah jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin pada tanggal 23

Januari 1948, hanya beberapa hari setelah Perjanjian Renville ditandatangani.

Jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin disebabkan karena Masyumi dan PNI

menarik dukungannya terhadap kabinet, sehingga secara otomatis tanpa adanya

dukungan lagi dari dua partai politik terbesar tersebut Kabinet Amir Syarifuddin

tidak bisa menjalankan tugasnya. Penarikan dukungan oleh Masyumi dan PNI

tersebut dilakukan karena kedua partai tersebut merasa kecewa terhadap hasil-

hasil Perjanjian Renville yang dianggap terlalu banyak memberi keuntungan

2 Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 –

1950, 2004, Deplu, Jakarta, hlm. 658.

Page 78: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

66

kepada Belanda.3 Meskipun secara kelembagaan mayoritas suara di dalam

kabinet mendukung kinerja PM Amir Syarifuddin, tetapi secara garis kepartaian

Masyumi dan PNI tetap merasa kecewa, sehingga memutuskan untuk menarik

dukungan terhadap kabinetnya.

Setelah Kabinet Amir Syarifuddin jatuh, kemudian Presiden Soekarno

menunjuk Mohammad Hatta untuk segera membentuk kabinet baru yang

diharapkan bisa dibentuk dalam waktu yang singkat untuk melanjutkan

perundingan politik dengan Belanda dan untuk melaksanakan hasil-hasil

Perjanjian Renville. Hasilnya, kabinet baru yang terbentuk berbentuk presidensiil

dan ternyata didukung oleh mayoritas partai politik yang ada, bahkan partai-

partai dari golongan sayap kiri pun mendukungnya.4 Dalam kabinet ini

Mohammad Hatta yang menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri

Pertahanan. Program Kabinet Hatta adalah :

1. Melaksanakan ketentuan-ketentuan Persetujuan Renville dan melanjutkan perundingan dengan Belanda dengan perantaraan KTN.

2. Mempercepat pembentukan NIS 3. Rasionalisasi tentara dan ekonomi RI 4. Pembangunan5

Satu hal yang cukup menarik adalah masuknya kembali dukungan dari Masyumi

dan PNI dalam Kabinet Hatta yang secara jelas mendukung Perjanjian Renville

dan bahkan pelaksanaan hasil-hasil Perjanjian Renville menjadi salah satu

3 Deliar Noer, 1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta, hlm.

175. 4 Susan Finch and Daniel S. Lev, 1965, Republic of Cabinets 1945-1965, Interim Departs

Series, New Yogyakarta , hlm. 14-15. 5 Hersri Setiawan, 2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan,

FuSPAD, Jakarta, hlm. 7.

Page 79: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

67

programnya, padahal sebelumnya mereka telah menyatakan keberatannya

terhadap perjanjian tersebut.

Perjanjian Renville juga menyisakan adanya sejumlah ketidakjelasan

mengenai maksud dari beberapa pasal di dalamnya yang cenderung bisa

menimbulkan permasalahan baru di antara Indonesia – Belanda. Dalam pasal 1

pada bagian Enam Prinsip Tambahan, disebutkan bahwa “Kedaulatan atas

Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan

Belanda sampai waktu yang ditetapkan”.6 Secara substansial hal tersebut

cenderung lebih menguntungkan posisi politik Belanda karena dengan pasal

tersebut akan mudah bagi Belanda untuk menciptakan suatu wacana politik baru

bahwa pemerintahnya mempunyai legalitas atas seluruh wilayah di Indonesia

dengan segala haknya sebagai pemegang kekuasaan yang secara otomatis

melekat padanya. Yang menjadi sumber ketidakjelasan adalah bagaimana posisi

Indonesia berdasarkan pasal tersebut? Bukankah Indonesia juga layak

memperhitungkan posisinya karena sebagai suatu negara Indonesia juga

mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Yang tidak dijelaskan lebih lanjut

adalah sampai sejauh mana kedaulatan tersebut akan dijalankan oleh Belanda?

Pada dasarnya pasal tersebut cenderung meminggirkan posisi Pemerintah

Indonesia dalam bidang politik karena Pemerintah Indonesia kurang mendapat

hak dan tanggung jawabnya sebagai suatu pemerintahan di dalam wilayahnya

sendiri.

6 Hindia Belanda adalah sebutan yang digunakan oleh orang-orang Belanda untuk menyebut

Indonesia.

Page 80: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

68

Terdapat satu pasal lagi di dalam Perjanjian Renville yang keberadaannya

masih menimbulkan ketidakjelasan dan mudah untuk disalahtafsirkan. Pasal

tersebut adalah pasal 2 pada bagian Pokok-pokok Persetujuan Politik yang

menyatakan bahwa masing-masing pihak, yaitu Indonesia dan Belanda tidak akan

menghalangi adanya pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan

leluasa dan merdeka sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Masalahnya adalah

kebebasan seperti apa yang dimaksud di dalam pasal tersebut dan bagaimana

mengatur bentuk kebebasan tersebut? Hal tersebut menjadi begitu penting ketika

menyoroti tentang adanya kegiatan Belanda dalam membentuk negara-negara

federal yang secara de facto berada di wilayah Indonesia.7 Menurut Belanda

pembentukan negara-negara tersebut jelas merupakan salah satu bentuk

kebebasan seperti yang dimaksud dalam pasal 2 tersebut. Akibat yang lebih jauh

lagi adalah secara sepihak Belanda dengan bebasnya semakin giat dalam

membentuk negara-negara baru karena menurutnya pembentukan negara-negara

tersebut dilatarbelakangi adanya aspirasi dari penduduk untuk membentuk suatu

pemerintahan sendiri yang dalam hal ini aspirasi tersebut tak lain adalah seperti

yang dimaksud di dalam pasal 2 tersebut.8

Indonesia jelas saja menolak pendapat Belanda tersebut karena telah

merugikannya. Dengan adanya pembentukan negara-negara tersebut ada

beberapa daerah Indonesia yang menjadi korban dari kegiatan Belanda tersebut.

Ada beberapa negara dibentuk oleh Belanda di daerah-daerah yang secara de

facto masih berada di wilayah Indonesia, antara lain : di Sumatera Selatan, Jawa

7 G. Moedjanto, 1989, Indonesia Abad Ke-20 Jilid II, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 66-67. 8 Alastair M. Taylor, 1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevers and

Sons Limited, London, hlm. 110-112.

Page 81: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

69

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, dan Sumatra Timur.9 Jelas bahwa

dengan tindakan tersebut wilayah Indonesia menjadi semakin sempit karena telah

dicaplok oleh Belanda dengan adanya proyek negara-negara federalnya tersebut.

B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran

Perjanjian Renville yang telah disepakati oleh Indonesia dan Belanda

merupakan suatu langkah dasar yang masih memerlukan tindak lanjut untuk

mencapai hasil-hasil yang konkret dalam penyelesaian konflik kedua belah pihak.

Sejumlah substansi yang ada di dalam Perjanjian Renville tampaknya memang

masih sulit untuk bisa segera dilaksanakan karena masih adanya perbedaan

pandangan dari kedua belah pihak dalam membuat rancangan-rancangan teknis

pelaksanaannya. Perdebatan demi perdebatan sering muncul kembali ketika

masing-masing pihak memulai pembahasan mengenai hak-hak pemerintahnya di

dalam setiap bagian substansi yang sedang dibahas. Setidaknya masih tersisa dua

substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih menjadi perdebatan oleh

Indonesia dan Belanda. Masih besarnya kepentingan-kepentingan politis yang

mencakup posisi dan kekuasaan politik dari masing-masing pihak terhadap

Perjanjian Renville membuat pembahasan substansi yang ada menjadi semakin

rumit dan tidak menentu. Dua substansi di dalam Perjanjian Renville yang masih

memerlukan pembahasan lebih lanjut adalah :

1. Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS.

2. Status hubungan politik kedua negara di dalam bentuk pemerintahan tersebut.

9 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 68.

Page 82: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

70

Mengenai substansi tentang rencana pembentukan Pemerintah Federal

Sementara dan NIS yang perlu dibahas adalah mengenai bagaimana membuat

rancangan-rancangan teknis pembentukannya yang mencakup susunan alat-alat

kekuasaannya, proses pembentukannya, cakupan kekuasaannya, dan yang

terpenting adalah mengenai posisi masing-masing pihak di dalam pemerintahan

tersebut. Sedangkan di dalam substansi tentang status hubungan politik kedua

negara, yang masih belum jelas adalah bagaimana sebenarnya bentuk hubungan

politik kedua negara tersebut, baik selama di dalam Pemerintah Federal

Sementara maupun di dalam NIS. Meskipun secara eksplisit kedua substansi

tersebut tidak muncul sebagai substansi yang secara langsung dibahas tetapi

kedua substansi itulah yang sebenarnya menjadi esensi dari perundingan-

perundingan lanjutan antara Indonesia – Belanda.

Rencana pembentukan Pemerintah Federal Sementara dan NIS tidak

dapat dipisahkan dari adanya keharusan juga untuk membahas tentang pandangan

masing-masing pihak mengenai kejelasan hubungan politik kedua belah pihak di

dalamnya. Jadi, dapat dikatakan bahwa kedua substansi tersebut mempunyai nilai

yang strategis bagi Indonesia dan Belanda dalam menentukan hubungan bilateral

ke depannya. Kedekatan kerangka pemikiran keduanya dalam memandang

kedaulatan negara akan sangat berpengaruh pada usaha penyelesaian konflik

yang terjadi.

Sebelum lebih jauh membahas tentang masalah tersebut perlu untuk

diketahui bahwa setelah Perjanjian Renville ditandatangani terjadi pergantian

keanggotaan di dalam KTN. Anggota dari Australia, Richard Kirby digantikan

Page 83: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

71

oleh Thomas Critchley. Anggota dari AS, Frank Graham digantikan oleh Coert

Dubois. Sedangkan anggota dari Belgia, Paul Van Zeeland digantikan oleh

Raymond Herremans.10

Seiring dengan dimulainya kembali perundingan lanjutan antara Indonesia

– Belanda muncul permasalahan baru, yaitu adanya perbedaan penafsiran di

antara kedua belah pihak dalam memahami sejumlah pasal yang ada di dalam

Perjanjian Renville. Perbedaan penafsiran ini tak jarang menimbulkan perdebatan

baru di antara Indonesia – Belanda selama perundingan berlangsung, sehingga

perundingan seringkali mengalami kemacetan seperti pada tahap awal.

Setidaknya ada empat perbedaan penafsiran yang terjadi antara Indonesia –

Belanda dalam memahami Perjanjian Renville.

Perbedaan penafsiran yang pertama terjadi pada pasal 1 bagian Enam

Prinsip Tambahan yang menyatakan bahwa, “Kedaulatan atas Hindia Belanda

seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai

waktu yang ditetapkan.” Berdasarkan adanya pasal tersebut ternyata Belanda

secara sepihak telah merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara

pada 13 Januari 1948 tanpa membicarakannya dengan Indonesia.11 Pemerintahan

tersebut rencananya akan dibentuk Belanda dengan mengkonsolidasikan negara-

negara federal ciptaannya tanpa mengikutsertakan Indonesia di dalamnya. Jika

dilihat secara sisi kronologis, maka jelas bahwa Belanda memang telah

merencanakan pembentukan Pemerintah Federal Sementara mendahului

Persetujuan Renville. Belanda menyatakan bahwa berdasarkan pasal 1 tersebut

10 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 81-82. 11 Ada di dalam Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945 –

1950, op. cit., hlm. 748.

Page 84: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

72

pihaknya mempunyai kedaulatan atas seluruh Hindia Belanda dengan segala hak

dan tanggung jawabnya yang salah satunya adalah mengenai pembentukan

pemerintahan sementara.12 Belanda ingin kedaulatannya harus diterima sebagai

suatu hal yang mutlak dan tanpa syarat. Belanda menafsirkan pasal tersebut

sebagai suatu dasar bahwa kedaulatannya atas Hindia Belanda mencakup juga

kewenangannya untuk membentuk Pemerintah Federal Sementara, dimana

Letnan Gubernur Jendralnya akan menjadi kepala pemerintahannya.13

Indonesia tidak setuju dengan penafsiran Belanda tersebut. Hal mendasar

yang memberatkan bagi Indonesia adalah Belanda tidak melibatkan pihaknya di

dalam pembentukan Pemerintahan Federal Sementara, sehingga Indonesia

merasa tidak dihargai oleh Belanda. Menurut Indonesia pembentukan

Pemerintahan Federal Sementara seperti itu jelas menyalahi aturan dan tidak sah

karena dibentuk dengan cara-cara yang tidak demokratis.14 Indonesia

mendasarkan argumennya pada pasal 2 bagian Enam Prinsip Tambahan yang

menyatakan bahwa, “Dalam Pemerintahan Federal Sementara sebelum diadakan

perubahan dalam Undang-Undang NIS, kepada negara-negara bagian akan

diberikan perwakilan yang adil.” Pasal tersebut dengan jelas mengatur bahwa

pembentukan Pemerintahan Federal Sementara dilakukan dengan sistem

perwakilan yang adil, bukan secara sepihak seperti yang dilakukan oleh Belanda.

Selain itu Indonesia juga menolak penafsiran Belanda bahwa kedaulatan yang

dimiliki oleh pemerintahnya atas Hindia Belanda bersifat mutlak dan final karena

12 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 34. 13 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 35. 14 A. Arthur Schiller, 1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague,

Bandung, hlm. 46.

Page 85: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

73

menurut Indonesia kedaulatan Belanda tersebut hanya berlaku selama masa

peralihan menuju pembentukan NIS.15 Indonesia hanya bersedia mengakui

kedaulatan Belanda tersebut secara de jure saja dan itu pun harus dilakukan

pembatasan sejauh apa kedaulatan tersebut dijalankan. Pengakuan kedaulatan

Belanda oleh Indonesia menuntut syarat bahwa kedaulatan tersebut tidak

merampas hak dan kedaulatannya sebagai suatu negara yang telah merdeka. Jadi,

dalam substansi Pemerintahan Federal Sementara ini Indonesia tidak mau

mengakui keberadaan Pemerintahan Federal Sementara yang dibentuk oleh

Belanda karena bertentangan dengan Perjanjian Renville.

Perbedaan penafsiran yang kedua terjadi pada pasal 2 bagian Persetujuan

Politik yang menyatakan bahwa, “Telah sewajarnya bahwa kedua belah pihak

tidak berhak menghalang-halangi pergerakan rakyat untuk mengemukakan

suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian

Linggajati”. Belanda memanfaatkan pasal tersebut sebagai pembenaran bagi

pihaknya untuk semakin menggiatkan pembentukan negara-negara federal di

Indonesia. Sebenarnya hal tersebut sudah dilakukan Belanda sejak tahun 1946,

yaitu ketika membentuk Negara Indonesia Timur (NIT), dimana pada saat itu

Belanda menggunakan Perjanjian Linggajati sebagai dasarnya.16 Kini dengan

adanya pasal 2 tersebut Belanda dengan leluasa telah memperbanyak

pembentukan negara-negara federal yang dibentuk melalui campur tangan

politiknya, sehingga hasilnya adalah munculnya negara-negara federal baru yang

dipengaruhi oleh politik pemerintahnya. Negara-negara federal tersebut antara

15 Soekarno, 1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta, hlm. 62. 16 G. Moedjanto, op. cit., hlm. 60.

Page 86: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

74

lain : Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur,

Negara Madura, dan Negara Pasundan (Jawa Barat).17 Belanda menyatakan

bahwa pasal tersebut telah memberikan kebebasan bagi pihaknya untuk

membentuk negara-negara federal karena pada dasarnya pembentukan negara-

negara tersebut merupakan salah satu bentuk kebebasan seperti yang dimaksud

dalam pasal 2 tersebut.18 Belanda menyerukan kepada Indonesia bahwa tidak ada

larangan bagi setiap rakyat di daerah untuk menyuarakan aspirasinya, khususnya

dalam hal keinginan untuk membentuk pemerintahan sendiri. Dalam hal ini

Belanda menambahkan bahwa kegiatannya dalam membentuk negara-negara

tersebut lebih bertujuan untuk mempersiapkan pembentukan NIS.19

Indonesia menolak pemahaman Belanda atas pasal 2 tersebut karena

menurutnya pemahaman Belanda tersebut hanya digunakan demi kepentingan

politiknya di dalam NIS saja, tanpa mempertimbangkan pihaknya. Indonesia

tidak setuju jika Belanda menafsirkan isi pasal 2 tersebut sebagai lampu hijau

untuk membentuk negara-negara federal tanpa membicarakannya terlebih dahulu

dengan pihaknya. Indonesia berpandangan bahwa pembentukan negara-negara

tersebut memang sengaja dilakukan Belanda untuk mengasingkan Indonesia dari

bagian-bagian wilayahnya yang lain.20 Selain itu keberatan Indonesia juga

didasarkan pada prosedur dan tujuan pembentukannya. Dalam hal prosedur,

Indonesia keberatan karena ada beberapa negara federal yang dibentuk dari

daerah-daerah yang sebenarnya masih dalam sengketa pasca terjadinya agresi 21

17 Ibid., hlm. 61-65. 18 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 112. 19 A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 147. 20 Hilman Adil, 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm. 72.

Page 87: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

75

Juli 1947. Sedangkan dalam hal tujuan, Indonesia tidak melihat suatu alasan

apapun untuk membentuk negara-negara federal tersebut, jika hal itu dikaitkan

dengan rencana pembentukan NIS karena NIS dibentuk dengan cara yang

berbeda.

Pasal 2 bagian Persetujuan Politik tersebut secara tidak langsung dan

bersama dengan pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan juga menjadi perdebatan

baru antara Indonesia – Belanda ketika keduanya membahas tentang rencana

pembentukan NIS. Menurut Belanda NIS dibentuk dengan cara memasukkan

negara-negara federal yang telah dibentuknya tersebut ke dalam NIS yang

wewenang demikian tersebut dimiliki oleh Belanda melalui Letnan Gubernur

Jenderal sebagai pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia seperti yang

dinyatakan di dalam pasal 1 bagian Enam Prinsip Tambahan.21 Dengan demikian,

maka menurut Belanda nantinya setiap negara bagian akan menyerahkan semua

wewenang federalnya kepada NIS yang akan dikepalai oleh Letnan Gubernur

Jenderal, sehingga nantinya Letnan Gubernur Jenderal akan mempunyai

kekuasaan di bidang politik, ekonomi, dan militer yang diperolehnya dari negara-

negara bagian tersebut.

Indonesia menolak pemahaman Belanda tersebut karena berdasarkan

pasal 6 bagian Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan

yang menyatakan bahwa, “Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak

lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-

daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara

21 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 96.

Page 88: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

76

(plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daerah-daerah tersebut akan turut

dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan

Negara Indonesia Serikat.” NIS dibentuk dengan cara yang demokratis, yaitu

melalui suatu pemilihan umum untuk menentukan suara penduduk terhadap NIS,

apakah akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau memisahkan diri. Jadi,

menurut Indonesia pembentukan NIS harus didasarkan pada aspirasi penduduk

yang akan menjadi bagian dari NIS, bukan dengan cara memasukkannya secara

sepihak tanpa membicarakan dengan pihaknya.22 Perdebatan tidak berhenti

sampai di situ saja karena kedua belah pihak masih belum bisa merumuskan

formulasi yang bisa disepakati dalam menyusun struktur dan kekuasaan NIS yang

akan dibentuk.

Perbedaan penafsiran juga terjadi menyangkut tentang rencana

diadakannya pemilihan umum seperti yang termuat di dalam pasal 6 bagian

Persetujuan Politik dan pasal 4 bagian Enam Prinsip Tambahan tersebut.

Perdebatan yang muncul adalah di daerah mana saja pemilihan umum tersebut

harus diadakan? Meskipun pasal 4 telah menyatakan bahwa pemilihan umum

akan diadakan di Jawa, Sumatera, dan Madura, tetapi yang masih tidak jelas

adalah apakah diadakan di seluruh daerah tersebut atau hanya di daerah-daerah

tertentu saja mengingat daerah-daerah yang disebut di atas masih menjadi

sengketa antara Indonesia – Belanda. Belanda menuntut agar pemilihan umum

diadakan di seluruh Indonesia agar tercapai prinsip keadilan untuk seluruh daerah

22 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 111-112.

Page 89: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

77

di Indonesia.23 Sebaliknya, Indonesia menuntut agar pemilihan umum diadakan

hanya di daerah-daerah pendudukan Belanda saja karena sudah menjadi hal yang

wajar jika penentuan suara penduduk hanya dilakukan di daerah-daerah yang

diduduki Belanda, bukan di daerah Indonesia sendiri.24 Indonesia berpendapat

bahwa sejak Belanda membentuk negara-negara baru di wilayahnya, kebebasan

rakyat untuk menyuarakan aspirasinya praktis terbungkam karena negara-negara

tersebut dibentuk hanya melalui elit-elit lokal tertentu saja, sehingga perlu untuk

dijajaki kembali aspirasi penduduk di daerah tersebut melalui suatu pemilihan

umum untuk mengetahui keinginan penduduk yang sebenarnya.

C. Mencari Jalan Tengah

Karena di antara Indonesia – Belanda masih belum bisa menemukan

kesepakatan mengenai rencana pembentukan NIS, maka secara inisiatif dua

anggota KTN, yaitu Critchley dan Dubois mengajukan suatu rancangan kepada

kedua belah pihak sebagai alternatif untuk menjajaki kemungkinan pembentukan

NIS dengan cara lain. Rancangan tersebut diajukan pada 10 Juni 1948 dan berisi

tentang beberapa hal yang secara prinsipiil mengarah kepada skema pembentukan

NIS. Rancangan Critchley – Dubois tersebut antara lain berisi :

1. Pemilihan umum di seluruh Indonesia untuk memilih anggota Majelis Konstituante.

2. Majelis tersebut akan bertindak sebagai parlemen sementara dan pembuat undang-undang.

3. Majelis tersebut juga akan membentuk pemerintahan sementara yang bertanggung jawab kepada parlemen.

23 Soekarno, op. cit., hlm. 63-64. 24 Ibid.

Page 90: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

78

4. Majelis tersebut mempunyai wewenang untuk menentukan batas-batas negaranya yang akan masuk ke dalam NIS.

5. Majelis tersebut akan menerima kekuasaan atas angkatan perang, hubungan luar negeri, perdagangan mata uang, dan kedaulatan dari tangan Belanda.25

Rencana Critchley – Dubois tersebut pada dasarnya merencanakan adanya

Pemerintahan Federal Sementara selama masa peralihan yang pembentukannya

dilakukan melalui pemilihan umum. Di dalam pemerintahan itu Indonesia dan

Belanda secara bersama-sama akan menyerahkan sebagian hak dan tanggung

jawab politiknya kepada Pemerintah Federal Sementara sebagai langkah untuk

mengaktifkan kekuasaannya selama masa peralihan. Pemerintah Federal

Sementara ini mempunyai wewenang atas urusan pemerintahan dalam negeri,

angkatan perang, dan hubungan luar negeri kedua belah pihak seperti yang telah

dilimpahkan kepadanya.

Belanda menyatakan keberadaannya terhadap rencana tersebut karena di

dalam rencana tersebut posisi Majelis Konstituante sangat mendominasi,

terutama dalam hal penentuan batas-batas negara.26 Rencana tersebut berbenturan

dengan kepentingan politiknya yang dalam hal ini jelas bahwa posisi Letnan

Gubernur Jenderal tidak diperhitungkan. Belanda juga tidak setuju jika

pembentukan NIS dilakukan dengan cara pemilihan umum karena sebelum

keamanan dan ketertiban dipulihkan dan hak-hak penduduk untuk

mengemukakan suaranya dijamin maka pemilihan umum seperti yang dimaksud

akan sulit untuk dilaksanakan.27 Pada dasarnya Belanda menolak rancangan

25 Alastair M. Taylor, op. cit., hlm. 126-127. 26 Ibid., hlm. 133. 27 A. Arthur Schiller, op. cit., hlm. 51.

Page 91: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

79

tersebut karena dinilai telah mengaburkan kedaulatannya. Rencana Critchley –

Dubois hendak menempatkan Pemerintah Federal Sementara sebagai pemegang

kedaulatan secara de facto, yang berarti bahwa kedaulatan Belanda melalui

Letnan Gubernur Jenderalnya akan digeser dan hanya diakui sebatas de jure saja,

sedangkan Belanda menuntut pengakuan kedaulatan secara penuh.

Menyoroti bidang militer, Rencana Critchley – Dubois mengatur bahwa

wewenang Letnan Gubernur jenderal harus dibatasi. Letnan Gubernur Jenderal

hanya bisa menggerakkan angkatan perang di seluruh negara bagian dengan

seijin Pemerintah Federal Sementara. Di sisi lain tuntutan Belanda justru lebih

radikal, pihaknya menuntut agar TNI – sebagai angkatan perang negara bagian –

dibubarkan dan dilebur di bawah komando Letnan Gubernur Jenderal, sehingga

nantinya negara-negara bagian NIS tidak mempunyai angkatan perang sendiri-

sendiri tetapi dipusatkan di bawah komandonya.28

Indonesia tidak setuju jika seluruh angkatan perang berada di bawah satu

komando Letnan Gubernur Jenderal, apalagi mengenai ide untuk melebur TNI

karena TNI adalah aparat negara yang keberadaannya sudah melekat di dalam

kedaulatan Indonesia. Menurut Indonesia hal yang paling mungkin adalah

membentuk dua komando angkatan perang, yaitu : komando atas angkatan

perang federal yang berada di tangan Pemerintah Federal Sementara dan

komando atas angkatan perang Belanda yang berada di tangan Letnan Gubernur

Jenderal sendiri.29 Jadi, mengenai angkatan perang ini ada dua komando terpisah

agar kewenangan untuk menggerakkannya dapat dikontrol. Indonesia

28 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 152-153. 29 Ibid., hlm. 142.

Page 92: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

80

menambahkan bahwa pihaknya bersedia jika TNI akan ditampung di dalam

angkatan perang federal dengan pengertian bahwa hal tersebut bukan berarti

peleburan TNI menjadi angkatan perang federal, tetapi unsur-unsur yang ada di

dalamnya bisa digunakan sebagai angkatan perang federal.

Mengenai hubungan luar negeri selama masa peralihan, Belanda

menuntut agar urusan hubungan luar negeri Indonesia diserahkan saja padanya.

Indonesia menolaknya dan tetap mempertahankan sikapnya bahwa hubungan luar

negeri merupakan hak otonom pemerintahnya yang tidak bisa diwakilkan kepada

pihak lain. Setelah itu Belanda tidak mau lagi membahas Rencana Critchley –

Dubois karena tidak sesuai dengan pendiriannya. Dalam kenyataannya di antara

Indonesia – Belanda masih saja diwarnai perbedaan pandangan mengenai

bagaimana merancang suatu Pemerintah Federal Sementara dengan

mengakomodasi kedaulatan masing-masing pihak secara berimbang, baik dalam

hal kekuasaan maupun tanggung jawabnya.

Tidak berselang lama setelah Rencana Critchley – Dubois diajukan terjadi

kegemparan di pihak Belanda, rencana yang semula bersifat rahasia itu bocor.

Belanda menuduh bahwa KTN-lah yang membocorkannya kepada pers. Tuduhan

tersebut dibantah oleh Dubois karena sama sekali tidak berdasar.30 Kejadian itu

membuat Belanda semakin mengabaikan perundingan, sehingga selama bulan

Juni sampai September perundingan belum bisa menghasilkan suatu keputusan

yang pasti. Sementara itu sebuah rancangan kembali diajukan oleh Merle

Cochran, anggota KTN dari AS pengganti Dubois, yang isinya antara lain :

30 Robert J. McMahon, op. cit., hlm. 223-224.

Page 93: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

81

1. Pemilihan umum akan diadakan untuk memilih anggota-anggota Pemerintah Federal Sementara.

2. Pembentukan Majelis Pemerintah Federal Sementara yang akan berfungsi sebagai pembuat undang-undang.

3. Majelis tersebut juga mempunyai wewenang untuk menentukan batas-batas negara bagian.

4. Majelis akan memilih Presiden, Presiden mengangkat PM, PM akan membentuk kabinet yang bertanggung jawab kepada Majelis.

5. Pembentukan Dewan Federal yang mempunyai wewenang dalam menentukan jumlah angkatan perang di setiap negara bagian yang akan ditampung di dalam angkatan perang Pemerintah Federal Sementara.31

Substansi pembentukan Pemerintah Federal Sementara Rencana Cochran

mirip dengan Rencana Critchley – Dubois, yaitu lebih menganjurkan

diadakannya pemilihan umum. Di sisi lain Rencana Cochran jauh lebih tegas

dalam hal mengatur dan membatasi porsi kekuasaan Belanda melalui Wakil

Tinggi Mahkotanya. Pada dasarnya Rencana Cochran hendak menerapkan pola

pembagian kekuasaan (desentralisasi) kepada sejumlah lembaga negara yang

akan dibentuk seperti Majelis, Presiden, PM, dan Dewan Federal. Kekuasaan

yang terpusat di tangan Belanda adalah suatu hal yang sangat ingin dihindari oleh

Cochran.

D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara

Memahami Perundingan Renville sebagai suatu titik di dalam dinamika

konflik antara Indonesia – Belanda tidak hanya bisa diamati dari tajamnya

perbedaan penafsiran terhadap Perjanjian Renville, tetapi juga bisa diamati dari

sisi lain yang juga berpengaruh. Kini pemahaman atas Perundingan Renville

31 Ide Anak Agung Gde Agung, op. cit., hlm. 112-115.

Page 94: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

82

dalam konteks hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda akan dilihat dari

sisi lain, yaitu dari kerangka garis-garis kebijakan politik masing-masing negara.

Perundingan Renville sebagai satu bentuk interaksi politik dua negara yang

sedang berkonflik dalam rangka mencari penyelesaian konflik merupakan suatu

gambaran umum yang di dalamnya termuat wacana-wacana politik masing-

masing pihak sebagai pihak yang mempunyai kepentingan politis satu sama lain.

Pertentangan substansial yang terjadi di dalam Perundingan Renville

mencerminkan adanya pertentangan kepentingan politis dan perbedaan garis-

garis kebijakan politik dalam menyikapi konflik yang ada. Adanya perubahan-

perubahan politik yang terjadi, baik di Indonesia maupun Belanda, menjadi faktor

yang berpengaruh dalam hubungan kedua negara tersebut pasca Perundingan

Renville.

Setelah Perundingan Renville berlaku hubungan antara Indonesia –

Belanda semakin tidak menentu karena tidak ada kesepakatan konkret yang bisa

untuk segera dilaksanakan di dalamnya. Memburuknya hubungan antara

Indonesia – Belanda bisa diamati dari adanya sejumlah perubahan politik di

dalam negeri masing-masing pihak yang lebih tampak sebagai pergolakan politik.

Pergolakan-pergolakan politik dalam negeri yang terjadi di Indonesia maupun

Belanda disebabkan oleh adanya respon politik yang berbeda-beda dari berbagai

kalangan di dalam negeri kedua belah pihak dalam menyikapi Perjanjian

Renville. Pergolakan-pergolakan politik tersebut menunjukkan bahwa mulai

memanasnya kembali suhu politik di dalam hubungan kedua negara. Tidak

terelakkan lagi bahwa situasi yang demikian tersebut secara akumulatif telah

Page 95: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

83

menimbulkan adanya ketidakstabilan hubungan bilateral antara Indonesia –

Belanda.

Perjanjian Renville telah memakan banyak korban politis di dalam negeri

Indonesia. Perjanjian Renville telah berimbas pada terjadinya pergolakan di

berbagai kalangan elit-elit politik dalam negeri. Mulai dari Amir Syarifuddin

yang merasa dikhianati, Masyumi dan PNI yang bersikap mendua, laskar rakyat

yang semakin tidak terkendali, sampai dengan TNI yang kecewa. Selain itu bisa

disebutkan juga tekanan-tekanan yang dilakukan oleh Front Demokrasi Rakyat

(FDR) terhadap Kabinet Hatta telah menyebabkan munculnya suara-suara yang

menyatakan penentangannya terhadap pemerintahan pada saat itu.

Amir Syarifuddin menjadi korban pertama dari permainan politik yang

dilakukan oleh partainya sendiri, Partai Sosialis, Masyumi, dan PNI. Partai

Sosialis ternyata menentang Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh

ketuanya sendiri.32 Masyumi dan PNI pun bersikap mendua dalam menyikapi

Perjanjian Renville. Kedua partai tersebut yang semula mendukung Perundingan

Renville berbalik menolaknya dan menarik dukungannya terhadap Amir

Syarifuddin, sehingga kabinetnya bubar. Ironisnya, Masyumi dan PNI justru ikut

duduk kembali dalam Kabinet Hatta yang jelas-jelas mendukung hasil-hasil

Perundingan Renville. Amir Syarifuddin yang merasa dikhianati kemudian

membentuk FDR dan memulai beroposisi terhadap pemerintah. Selain karena

masalah posisinya di dalam pemerintahan, ada beberapa masalah lain yang secara

akumulatif telah membuat FDR kecewa dan bahkan menyatakan penentangannya

32 Hersri Setiawan, op. cit., hlm. 4.

Page 96: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

84

terhadap pemerintah. Masalah-masalah itu antara lain adalah rasionalisasi,

justifikasi, dan provokasi yang telah menyudutkan pihaknya.33

Pergolakan politik kemudian juga menjalar di kalangan laskar rakyat.

Situasi politik yang sedang bergejolak ternyata justru dimanfaatkan oleh beberapa

kesatuan laskar rakyat untuk meningkatkan gerakan gerilyanya terhadap Belanda.

Di Jawa Barat beberapa nama kesatuan laskar rakyat seperti Bambu Runcing,

Hizbullah, dan Satuan Pemberontakan 88 tetap beraksi tanpa mempedulikan

gejolak politik yang sedang terjadi.34 Momentum hijrahnya Divisi Siliwangi dari

Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Jawa Timur membuat laskar rakyat menjadi

badan perjuangan rakyat yang masih eksis beraksi di sejumlah daerah di Jawa

Barat. Kebenciannya terhadap Belanda dilampiaskannya dengan melakukan aksi-

aksi pembunuhan, pembakaran, dan pembersihan terhadap orang-orang yang

dianggap bekerja sama dengan Belanda.35 Hanya saja dalam aksi-aksinya laskar

rakyat sering berbenturan dengan TNI, laskar rakyat sering dituduh sebagai

gerombolan pengacau keamanan yang suka berbuat onar.

Tentara Nasional Indonesia, khususnya Divisi Siliwangi adalah korban

telak dari Perundingan Renville yang tidak bisa berbuat banyak. Diusirnya Divisi

Siliwangi dari Jawa Barat telah memperlemah posisinya secara defensif terhadap

pasukan Belanda. Masalah baru menghampirinya ketika harus berada di daerah

pengungsian, dimana pihaknya terlibat konflik dengan Divisi Senopati dari Jawa

Tengah. Isu rasionalisasi Kabinet Hatta yang bertujuan untuk mengurangi jumlah

33 Ibid., hlm. 1-15. 34 Robert Bridson Cribb, 1991, Gangsters and Revolutions : The Jakarta Militia and the

Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press, Honolulu, hlm. 171. 35 Ibid., hlm. 173.

Page 97: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

85

angkatan perang ternyata membuat Divisi Senopati merasa terancam karena

pihaknya termasuk salah satu kesatuan yang akan terkena program dari Kabinet

Hatta tersebut.36 Divisi Senopati menolak rencana tersebut dan melakukan

perlawanan di Solo, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena Divisi Siliwangi

diperintahkan untuk meredam perlawanan dari Divisi Senopati. Konflik meluas

karena terdapat isu-isu lain yang mewarnai perlawanan tersebut. Adanya

provokasi dari komunis dan benturan kewenangan militer menjadi pemicu

penting peristiwa tersebut.

Perubahan politik di negeri Belanda sudah terjadi sejak bulan Juli 1948,

ketika hasil pemilu telah mengubah arah kebijakan politik Pemerintah Belanda

terhadap Indonesia. Selain karena lebih sebagai hasil dari proses pemilu,

perubahan politik yang terjadi di negeri Belanda sebenarnya juga berkaitan

dengan adanya pertarungan politik dalam negeri di antara elit-elit politiknya

dalam menyikapi masalah Indonesia. Kaitan antara situasi politik dalam negeri

Belanda dengan hubungan Indonesia – Belanda pasca Perundingan Renville

adalah perkembangan hubungan Indonesia – Belanda dipengaruhi juga oleh

perubahan-perubahan politik yang terjadi di dalam negeri Belanda, dimana arah

kebijakan partai politik yang sedang berkuasa akan berpengaruh terhadap

masalah Indonesia. Dalam hal ini Partai Rakyat Katolik (Katholieken

Volkpartij/KVP) dan Partai Buruh (Partij van der Arbeid (PvdA) adalah dua

partai politik terbesar yang pada saat itu berkuasa di negeri Belanda.37 Keduanya

36 Yahya A. Muhaimin, 1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 53. 37 Ide Anak Agung Gde Agung, 1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei 1949, terj.,

Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, hlm. 3-8.

Page 98: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

86

mempunyai pandangan politik yang berbeda dalam menyikapi masalah

Indonesia. Partai Rakyat Katolik berpandangan bahwa kemerdekaan Indonesia

adalah suatu hal yang tidak dapat diberikan begitu saja dan harus dilakukan

secara bertahap, sedangkan Partai Buruh berpandangan bahwa kemerdekaan

Indonesia harus segera diwujudkan. Partai Rakyat Katolik lebih bersifat

konservatif, sedangkan Partai Buruh lebih moderat.38

Unsur karakteristik partai-partai politik yang berpengaruh dalam

menentukan garis kebijakan Pemerintah Belanda terhadap Indonesia akan lebih

mudah dipahami dengan menampilkan tokoh-tokoh yang pada saat itu duduk di

dalam birokrasi Pemerintahan Belanda. Dapat disebutkan bahwa Beel, Van

Mook, dan Jenderal Spoor adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan pada

saat itu. Tiga orang tersebut setidaknya bisa mencerminkan perbedaan

karakteristik pandangan politiknya masing-masing, terutama antara Beel dan Van

Mook, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kelompoknya. Sebelum pemilu di

bulan Juli 1948, Beel menjabat sebagai PM, Van Mook masih sebagai Letnan

Gubernur Jenderal, dan Jenderal Spoor adalah Panglima Tertinggi pasukan

Belanda di Indonesia. Sebagai Letnan Gubernur Jenderal Van Mook mempunyai

kekuasaan tertinggi Pemerintahan Belanda di Indonesia, tetapi bagaimanapun

juga ia harus tetap tunduk pada kekuasaan politik pemerintah pusat di Belanda

yang dalam hal ini dipegang oleh Beel sebagai PM. Beel adalah tokoh yang

berasal dari Partai Rakyat Katolik yang mempunyai pandangan konservatif

terhadap Indonesia, sedangkan Van Mook lebih moderat. Perbedaan inilah yang

38 Ibid., hlm. 8-9.

Page 99: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

87

membuat pelaksanaan Pemerintahan Belanda di Indonesia tidak begitu harmonis

karena di antara Beel – Van Mook sering terjadi perbedaan pendapat dalam

menentukan sikap terhadap Indonesia. Dalam menghadapi Indonesia Van Mook

kadang membuat keputusan politik sendiri yang menurut berbagai pihak justru

bertentangan dengan kebijakan pemerintahnya.39 Hal itulah yang membuat Van

Mook kurang disukai oleh atasannya di Belanda.

Pemilu bulan Juli 1948 di Belanda telah menghantarkan Partai Rakyat

Katolik kembali berkuasa. Dalam pembentukan kabinet, partai tersebut berkoalisi

dengan Partai Buruh dan dimulailah perubahan politik yang cukup signifikan.

Partai Rakyat Katolik mendapat posisi Menteri Urusan Tanah Seberang dengan

penempatan E.M.J.A. Sassen. Partai Buruh mendapat posisi PM dengan

penempatan W. Dress. Posisi Menteri Luar Negeri diberikan pada Partai Liberal

(Volkspartij Voor Vrijheid en Democratie/VVD) yang dalam hal ini diisi oleh

D.V. Stikker.40 Mengenai jabatan Letnan Gubernur Jenderal, Partai Rakyat

Katolik, dan Partai Buruh masih mempertahankan Van Mook, meskipun kedua

partai tersebut kurang menyukai Van Mook.

Perubahan politik di negeri Belanda terus bergulir ketika Pemerintah

Belanda memberhentikan Van Mook dan mengangkat Beel sebagai

penggantinya, tetapi dengan gelar baru sebagai Wakil Tinggi Mahkota. Secara

otomatis arah kebijakan politik Pemerintahan Belanda pun sepenuhnya telah

berhasil dikuasai oleh Partai Katolik yang konservatif, sehingga sikap politiknya

terhadap Indonesia pun lebih keras. Karakteristik pemerintahan Beel adalah

39 Ibid., hlm. 3-4. 40 Ibid., hlm. 3-5.

Page 100: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

88

cenderung dekat dengan cara-cara militer dalam menyelesaikan persoalan-

persoalan politik di Indonesia, apalagi ia dekat dengan Jenderal Spoor. Perubahan

itulah yang membuat hubungan Indonesia – Belanda memburuk pasca

Perundingan Renville karena Belanda bersikap lebih radikal dalam menghadapi

Indonesia.

Hubungan Indonesia – Belanda di tahun 1948 mengalami masa-masa

yang krisis, selain karena situasi politik dalam negeri kedua negara yang

bergejolak hal tersebut, juga disebabkan oleh tidak berhasilnya kedua belah pihak

dalam mencari jalan tengah dalam melaksanakan Perundingan Renville.

Perundingan Renville seolah-olah justru menjadi bahan perdebatan baru yang

terus bergulir tanpa adanya kepastian mengenai pelaksanaannya.

Page 101: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

89

BAB V

PENUTUP

Perundingan Renville yang telah dirintis oleh DK PBB melalui KTN sejak

bulan Desember 1947 mempertemukan Indonesia dan Belanda untuk berunding

kesekian kalinya sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik yang sudah lama

berkecamuk, terutama sekali pasca Agresi Militer I. Secara garis besar substansi yang

ada di dalamnya merupakan substansi yang sebenarnya masih berkaitan dengan

substansi yang dulu pernah dibahas dalam Perjanjian Linggajati pada tahun 1946

yang belum sepenuhnya bisa dilaksanakan. Hanya saja kini situasinya bertambah

rumit karena adanya Agresi Militer Belanda I tersebut telah mengaburkan

kesepakatan damai yang pernah dibuat sebelumnya dan kini kedua belah pihak harus

merumuskan kembali pokok-pokok kesepakatan dalam mencapai penyelesaian

konflik yang terjadi. Secara lebih spesifik Perundingan Renville memuat dua bidang

substansi, yaitu : substansi di bidang militer dan substansi di bidang politik. Dalam

bidang militer, substansi yang dibahas adalah mengenai usaha untuk menghentikan

peperangan dan selanjutnya melaksanakan rekapitulasi atas daerah-daerah

pendudukan sebagai langkah untuk menciptakan perdamaian. Dalam bidang politik,

substansi yang dibahas adalah mengenai peninjauan kembali eksistensi kekuasaan

Belanda di Indonesia dan penataan kembali hubungan politik antara Indonesia –

Belanda.

Memahami Perundingan Renville dalam konteks hubungan bilateral antara

Indonesia – Belanda bisa diperoleh secara lebih utuh dari adanya perubahan-

89

Page 102: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

90

perubahan politk yang terjadi di dalam negeri kedua negara tersebut pasca

perundingan. Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan perdebatan dan

pertentangan politis mencerminkan adanya kepentingan politik dua negara yang

sedang bertikai. Pertentangan tersebut ternyata berpengaruh juga pada situasi politik

dalam negeri masing-masing pihak yang selanjutnya bisa dilihat sebagai suatu

gambaran besar hubungan politik kedua negara pasca Perundingan Renville. Pasca

perundingan, di negeri Belanda terjadi perubahan politik yang cukup signifikan.

Partai Rakyat Katolik yang sangat konservatif berkuasa dan mulai melaksanakan

garis kebijakan politiknya yang lebih radikal dari masa pemerintahan sebelumnya.

Pada periode ini Pemerintah Belanda mulai mendesak Indonesia agar menerima

pandangan-pandangan politik pemerintahnya terkait dengan hasil-hasil Perjanjian

Renville.

Perjanjian Renville ternyata menimbulkan gejolak politik di dalam negeri,

banyak kalangan yang pada intinya mengecam Perjanjian Renville karena dinilai

telah banyak merugikan. Munculnya FDR – yang kemudian berubah menjadi PKI –

yang merupakan oposan pemerintahan Hatta secara tidak langsung membuat atmosfer

pertentangan politik terhadap Belanda semakin menguat. FDR mengecam pemerintah

karena ada beberapa akibat dari Perjanjian Renville yang secara tidak langsung

menimpa pihaknya. Rasionalisasi adalah salah satu bagian dari rangkaian akibat

Perjanjian Renville yang dirasakan oleh FDR, dimana banyak anggotanya yang

menjadi sasaran rasionalisasi. Pengaruh Perjanjian Renville terhadap situasi politik di

Indonesia dipenuhi dengan intrik politik, provokasi, dan konflik segitiga yang terjadi

Page 103: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

91

antara pemerintah, kelompok yang pro pemerintah, yaitu TNI dan pihak oposisi yang

dalam hal ini diwakili oleh FDR.

Berlarut-larutnya situasi pasca Perundingan Renville yang tanpa adanya

kesepakatan konkret untuk melaksanakannya seolah-olah menjadi titik akumulasi dari

hubungan Indonesia – Belanda yang selama ini terus menggantung dan penuh dengan

konflik yang belum terselesaikan. Bila perubahan politik yang terjadi di dalam negeri

Belanda telah membawanya untuk bersikap lebih radikal terhadap Indonesia, yang

terjadi di Indonesia adalah semakin menguatnya penentangan terhadap pemerintah

yang dilakukan oleh golongan sayap kiri terkait dengan hasil-hasil Perjanjian

Renville. Perundingan Renville menjadi suatu usaha antara Indonesia – Belanda

untuk menyelesaikan konfliknya selama ini, dimana memuat substansi-substansi lama

yang sepenuhnya belum bisa dilaksanakan. Hanya saja perbedaan penafsiran

substansi yang ada di dalamnya ternyata justru membuat hubungan keduanya tidak

mengalami perbaikan, tetapi semakin menjauh. Perundingan Renville menjadi suatu

moment perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melihat substansi konfliknya

selama ini, dimana yang ada hanyalah kesepakatan-kesepakatan formal saja karena

belum ada langkah-langkah yang konkret untuk melaksanakan hasil-hasilnya secara

optimal.

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam

menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan yang

cukup serius di dalam Perundingan Renville.

Hipotesis tersebut terbukti benar ketika di antara Indonesia – Belanda tidak

bisa melaksanakan gencatan senjata secara efektif karena masih terdapat perbedaan

Page 104: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

92

pandangan dari keduanya dalam menentukan batas wilayahnya masing-masing.

Proses gencatan senjata tidak berjalan lancar karena di antara Indonesia – Belanda

masih belum menemukan kesepakatan mengenai daerah-daerah mana saja yang harus

dikosongkan untuk dibuat suatu garis demarkasi. Lebih jauh lagi bahwa adanya

kecenderungan dari Belanda yang menuntut Garis Van Mook sebagai syarat dalam

melanjutkan pembahasan substansi-substansi politik membuat perundingan berjalan

alot, karena Belanda tidak mau membahas substansi politik sebelum dicapainya

kesepakatan dalam substansi militer.

Terdapat perbedaan yang cukup tajam antara Indonesia – Belanda dalam

menyoroti tentang kedaulatan Belanda di Indonesia. Belanda ingin agar kedaulatan

atas Indonesia tetap berada di tangannya, baik secara de facto maupun de jure,

sedangkan Indonesia lebih menginginkan adanya bentuk Pemerintah Federal

Sementara sebagai pemegang kedaulatan sementara selama proses penyelesaian

konflik. Secara politis Belanda ingin agar kedaulatannya atas Indonesia diterima

secara utuh dan final, sedangkan Indonesia tetap ingin mengartikan kedaulatan

Belanda tersebut hanya sebatas simbol, dimana pelaksanaan kekuasaan yang nyata

harus berada di tangan suatu bentuk pemerintahan bersama yang lahirnya melalui

cara-cara yang demokratis di antara Indonesia – Belanda.

Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan

dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk

dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan akan

memanas.

Page 105: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

93

Hipotesis tersebut tidak benar karena memanasnya hubungan antara Indonesia

– Belanda lebih disebabkan karena adanya insiden-insiden militer yang sering terjadi

di lapangan antara pasukan Belanda dengan pasukan Indonesia. Masih seringnya

kegiatan pendudukan yang dilakukan oleh pasukan Belanda ke daerah pendudukan

Indonesia membuat pertempuran menjadi tidak terhindarkan lagi. Hubungan

Indonesia – Belanda memanas karena Belanda menuduh pasukan Indonesia terus

mengganggu kedudukan pasukannya secara bergerilya, sedangkan Indonesia

beralasan bahwa pasukan Belandalah yang terlebih dahulu memulai aksi-aksi militer

yang provokatif terhadap pasukan Indonesia.

Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam

melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara

Indonesia – Belanda tidak akan membaik.

Hipotesis tersebut terbukti benar ketika muncul kembali perdebatan mengenai

kedaulatan masing-masing pihak dengan segala hak dan tanggung jawabnya di antara

Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville. Belanda

menafsirkan bahwa kedaulatannya harus diterima oleh Indonesia secara mutlak,

sedangkan Indonesia menafsirkan bahwa kedaulatan Indonesia harus juga diterima

oleh Belanda di dalam kerangka hubungan politik kedua negara. Perbedaan yang

cukup mendasar tersebut menyebabkan tidak adanya tindakan konkret di antara kedua

belah pihak untuk melaksanakan hasil-hasil perjanjian, karena masih adanya

perbedaan substansi yang cukup krusial. Situasi hubungan antara Indonesia – Belanda

pasca Perundingan Renville yang terus mengambang membuat tidak adanya lagi

harapan dari kedua belah pihak untuk membuat suatu pendekatan dalam

Page 106: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

94

melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville. Hal tersebut pada akhirnya

menyebabkan hubungan keduanya tidak mengalami kemajuan yang berarti dan

bahkan justru semakin menjauh.

Page 107: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

95

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abu Hanifah. 1962, Tales of A Revolution, John Sound PTY LTD, Australia.

Basuki Suwarno.

1999, Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I, terj., Upakara, Jakarta.

Cribb, Robert Bridson.

1990, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945 – 1949 : Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Grafiti, Jakarta.

___________________

1991, Gangsters and Revolutioners : The Jakarta Militia and the Indonesian Revolution 1945 – 1949, University of Hawaii Press, Honolulu.

Dahm, Bernard.

1971, History of Indonesia in Twentieth Century, Praeger Publishers, New York.

Deliar Noer.

1987, Partai Islam di Pentas Nasional 1945 – 1965, Grafitipers, Jakarta. Depdikbud.

1996, Terminologi Sejarah Indonesia 1945 – 1950 dan 1950 – 1959, Jakarta.

Deplu.

2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke masa Periode 1945 – 1950, Jakarta.

Finch, Susan and Daniel S. Lev.

1965, Republik of Indonesia Cabinets 1945 – 1965, Interim Reports Series, New York.

Hersri Setiawan.

2002, Negara Madiun? : Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan, FuSPAD, Jakarta.

95

Page 108: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

96

Hilman Adil. 1993, Hubungan Australia dengan Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Ide Anak Agung Gde Agung.

1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta.

___________________. 1995, Pernyataan Rum-Van Roijen 1 Mei 1949, terj., Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.

___________________.

1995, Persetujuan Linggajati : Prolog dan Epilog, Yayasan Pustaka Nusatama – Sebelas Maret University Press, Yogyakarta.

Kahin, Audrey.

1985, Regional Dynamics of the Indonesia Revolution : Unity from Diversity, University of Hawaii Press, Honolulu.

Kahin, George McTurnan.

1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, UNS Press, Jakarta. McMahon, Robert J.

1981, Colonialism and Cold War : The United States and the Struggle for Indonesian Independence 1945 – 1949, Cornell University Press, London.

Moedjanto, G.

1989, Indonesia Abad ke-20 Jilid I, Kanisius, Yogyakarta. ___________________, Indonesia Abad ke-20 Jilid II , Kanisius, Yogyakarta. Mohammad Roem.

1989, Diplomasi : Ujung Tombak Perjuangan RI. Gramedia, Jakarta. Morgenthau, Hans J.

1990, Politik Antarbangsa, terj., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Nasution, Abdul Haris

1978, Sekitar Perang Kemerdekaan I Jilid 6 : Perang Gerilya Semester I, Angkasa, Bandung.

Osman Raliby.

1953, Documenta Historica, Bulan Bintang, Jakarta. Pramoedya Ananta Toer, dkk.

2001, Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947), Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

Page 109: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

97

Reid, Anthony. 1974, Indonesian National Revolution 1945 – 1950, Longman, Sydney.

Ricklefs, M.C.

2004, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Serambi, Jakarta. Schiller, A. Arthur.

1955, The Formation of Federal Indonesia 1945 – 1949, The Hague, Bandung.

Slamet Mulyana.

1986, Kesadaran Nasional : Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan Jilid 3, Inti Idayu Press, Jakarta.

Soekarno.

1965, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid II, Panitia Penerbit, Jakarta. Taylor, Alastair, M.

1960, Indonesian Independence and the United Nations, Stevens and Sons Limited, London.

Tobing, K.M.L.

1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Linggajati, Gunung Agung, Jakarta.

___________________.

1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, Jakarta.

Yahya A. Muhaimin.

1982, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945 – 1966, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Yong Mun Cheong.

2003, The Indonesia Revolution and the Singapore Connector, KITLV Press, Leiden.

Wolf Jr., Charles.

1948, The Indonesian Story, The John Day Company, New York.

2. Majalah

Prisma, edisi 3 Maret 1977.

3. Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud, 1990.

Page 110: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

98

Lampiran

NASKAH PERJANJIAN RENVILLE

Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia dan

seterusnya dinamai pihak-pihak, telah mengadakan persetujuan sebagai berikut :

1. Dengan segera, setelah perjanjian ini ditandatangani, kedua belah pihak akan mengeluarkan perintah menghentikan tembak-menembak dalam tempo 48 jam. Perintah ini akan berlaku atas pasukan-pasukan kedua belah pihak, pada sebelah tempat masing-masing yang telah diterangkan dalam pengumuman dari Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947; garis-garis tersebut dinamakan garis statusquo dan di daerah-daerah termaktub dalam ayat yang berikut;

2. Dalam instansi (tingkatan) pertama dan untuk sementara akan diadakan daerah-daerah (zones) sesuai dengan garis statusquo; sebagai kebiasaan daerah-daerah ini melingkungi garis-garis statusquo pada sebelah pihak, garis dari pihak Belanda yang terkemuka dan pada pihak lain, garis dari pihak Republik yang paling depan, sedang lebarnya sesuatu daerah (zone) harus sama;

3. Mengadakan daerah-daerah yang tidak diduduki oleh militer (gedemilitairiseerd) sekali-kali tidak menyangkut hak dari kedua belah pihak menurut resolusi dari Dewan Keamanan pada tanggal 1, 25 dan 26 Agustus dan tanggal 1 Nopember 1947;

4. Setelah yang tertulis di atas diterima oleh kedua belah pihak, maka Komisi akan menyerahkan pembantu-pembantu militernya kepada kedua belah pihak, sedang pembantu-pembantu tersebut akan menerima petunjuk-petunjuk (instructies) dan menerima pertanggungjawaban untuk menentukan, apakah penyelidikan atas sesuatu insiden diperlukan oleh pembesar-pembesar dari satu atau kedua pihak;

5. Sambil menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib-tenteram dan keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah-daerah yang dikosongkan (gedemilitairiseerd) akan dipegang oleh polisi sipil dari kedua belah pihak. Polisi untuk sementara waktu, memakai tenaga personil militer sebagai polisi sipil dengan perjanjian, bahwa kekuasaan polisi di bawah kontrol sipil. Pembantu-pembantu militer dari Komisi setiap waktu bersedia memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menyerahkan tenaganya, bila dianggap perlu. Di antaranya mereka itu mesti: a. mendapat bantuan dari opsir-opsir polisi, yang ditempatkan oleh salah satu

pihak dalam tempat-tempat yang tidak diduduki lagi oleh militer untuk menemani mereka itu dalam menyelenggarakan kewajiban mereka. Opsir-opsir polisi dari satu pihak tidak dibenarkan berada di daerah pihak lainnya, kecuali bersama-sama dengan pembantu militer Komisi dan opsir polisi dari pihak lain;

Page 111: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

99

b. menambah kerja sama antara kedua belah pihak polisi; 6. Perdagangan dan lalu lintas antara daerah-daerah diusahakan supaya lebih maju

dan meningkat pada hal-hal yang perlu, maka kedua belah pihak akan mengadakan perjanjian di bawah pengawasan Komisi dan wakil-wakilnya, bilamana hal ini dirasa perlu;

7. Perjanjian ini juga memuat hal-hal sebagai tertulis di bawah ini, yang mana dasar-dasarnya telah disetujui oleh kedua belah pihak: a. Dilarang mengadakan sabotase, menakut-nakuti (intimidasi), pembalasan

dendam dan lain-lain tindakan yang serupa terhadap orang-orang dan harta benda, baikpun perusahaan atau barang-barang dari apa saja dan dari tiap-tiap orang dan memakai alat-alat apa saja, supaya mencapai maksud tersebut;

b. Tidak akan mengadakan siaran-siaran radio atau propaganda-propaganda yang lain untuk menentang atau mengacaukan tentara rakyat;

c. Siaran-siaran radio dan lain-lain untuk maksud memberi tahu kepada tentara dan rakyat tentang kesukaran-kesukaran dan untuk menepati pasal-pasal yang tersebut dalam sub a dan b;

d. Memberikan segala kesempatan untuk penyelidikan oleh pembantu-pembantu militer dan sipil, yang diperbantukan pada Komisi Tiga Negara;

e. Penghentian dengan segera penyiaran-penyiaran pengumuman harian tentang gerakan-gerakan atau macam pemberitahuan tentang gerakan-gerakan ketentaraan, kecuali jika sebelumnya telah disetujui dengan tulisan oleh kedua pihak, tidak termasuk penyiaran-penyiaran minggu dari daftar orang-orang (dengan menyebutkan nama, nomor, kenyataan dan alamat rumah), yang tewas atau meninggal karena luka-luka yang didapatnya dalam menjalankan kewajiban;

f. Penerimaan atas pembebasan tawanan-tawanan dari kedua pihak dan pemulaian perundingan tentang sesuatu pengwujudan yang secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya, pembebasan mana dalam asasnya akan berlaku dengan tidak mengingat pada jumlah tawanan kedua pihak;

8. Bahwa, setelah menerima hal tersebut tadi, pembantu-pembantu militer Komisi itu akan segera mengadakan penyelidikan untuk menentukan apakah atau di mana, terutama di Jawa Barat, kesatuan-kesatuan tentara Republik mengadakan perlawanan di belakang kedudukan terdepan dari Tentara Belanda yang sekarang. Jika penyelidikan itu membuktikan adanya kesatuan-kesatuan yang semacam itu, maka kesatuan-kesatuan itu secepat mungkin, tapi bagaimanapun juga dalam waktu 21 hari, akan mengundurkan diri secara yang disebutkan dalam pasal berikut;

9. Bahwa seluruh kekuatan tentara dari kedua pihak masing-masing dalam sesuatu daerah, yang diterima sebagai daerah yang didemiliterisasi, atau dalam sesuatu daerah di sebelah daerah yang didemiliterisasi dari pihak yang lain, akan mengundurkan diri, di bawah pengawasan pembantu militer Komisi itu dan dengan membawa senjatanya dan keperluan bertempur, dengan tenang menuju daerah yang didemiliterisasi. Kedua pihak berjanji akan melancarkan pengungsian kekuatan tentaranya masing-masing dengan cepat dan tenang;

10. Persetujuan ini dipandang masih mengikat selama waktu empat belas (14) hari dan selalu dengan sendirinya diperpanjang dengan empat belas (14) hari, kecuali

Page 112: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

100

jika salah satu pihak memberitahukan pada KTN dan pada pihak yang lain, yang berpendapat, bahwa peraturan-peraturan gencatan senjata tidak ditaati oleh pihak yang lain dan oleh karenanya persetujuan itu hendaknya diakhiri pada akhir waktu empat belas hari yang berlangsung

Renville, 17 Januari 1948 12 Dasar Persetujuan Politik Renville

Pokok-pokok yang merupakan dasar-dasar yang sudah disetujui delegasi pemerintah

Belanda dengan delegasi pemerintah Republik Indonesia untuk perundingan-

perundingan politik pada sidang keempat yang diadakan Komisi Tiga Negara pada

tanggal 17 Januari 1948.

Komisi Tiga Negara telah diberitahukan oleh kedua delegasi, bahwa

pemerintah masing-masing telah menerima pokok-pokok perjanjian penghentian

permusuhan yang sudah ditandatangani dan merupakan daerah untuk perundingan

politik buat selanjutnya, ialah sebagai berikut :

1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksanakan dan melaksanakan perjanjian untuk menyelesaiakan pertikaian politik di pulau-pulau Jawa, Sumatera dan Madura, berdasarkan prinsip naskah perjanjian “Linggajati”;

2. Telah sewajarnya, bahwa kedua pihak tidak berhak menghalang-halangi pergerakan-pergerakan rakyat untuk mengemukakan suaranya dengan leluasa dan merdeka, yang sesuai dengan Perjanjian Linggajati. Juga telah disetujui, bahwa kedua pihak akan memberi jaminan tentang adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatnya dan kemerdekaan dalam penyiaran (publikasi), asal jaminan ini tidak dianggap meliputi juga propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pembalasan (repressailles);

3. Telah sewajarnya, bahwa keputusan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sepenuhnya dan sukarela dari penduduk di daerah-daerah itu pada suatu saat, setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanya lagi paksaan kepada rakyat;

4. Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjian politik dilakukan pula persiapan-persiapan untuk lambat-laun mengurangi jumlah kekuatan tentaranya masing-masing.

5. Bahwa, setelah dilakukan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan dan sebaik dapat dilaksanakan perjanjian itu, maka kegiatan dalam lapangan ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki dengan

Page 113: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

101

segera, dengan bekerja bersama-sama di mana harus diperhatikan kepentingan-kepentingan semua bagian lain di Indonesia;

6. Bahwa akan diadakan plebisit sesudah waktu yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditandatangani perjanjian, dalam waktu mana dapat terjadi tukar-menukar pikiran, dan pertimbangan tentang soal-soal yang penting secara merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum secara merdeka, agar rakyat Indonesia dapat menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik dalam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat;

7. Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan undang-undang dasar (konstitusi) akan dipilih secara demokratis untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat Negara Indonesia Serikat;

8. Telah didapat persetujuan, bahwa setelah ditandatanganinya perjanjian, sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, jika salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengadakan suatu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannya kedaulatan pemerintah Belanda kepada pemerintah Negara Indonesia Serikat, maka pihak yang kedua akan menimbangnya dengan sungguh-sungguh. Dasar-dasar seperti di bawah ini diambil dari naskah perjanjian “Linggajati”;

9. Kemerdekaan bebas buat bangsa Indonesia seluruhnya; 10. Bekerja bersama antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia; 11. Satu negara berdasarkan federasi yang berdaulat, dan dengan suatu undang-

undang dasar yang timbulnya melalui jalan-jalan demokrasi; 12. Suatu Uni (persatuan) dari Negara Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda

dan bagian-bagiannya yang lain, di bawah turunan Raja Belanda. Renville, 17 Januari 1948

Enam Dasar Tambahan dari Komisi Tiga Negara untuk Pembukaan Perundingan

Politik antara delegasi Republik Indonesia dengan delegasi Kerajaan Belanda, tanggal

17 Januari 1948 dan disetujui tanggal 19 Januari 1948.

Komisi Tiga negara berpendapat, bahwa keterangan dasar di bawah ini antara

lain akan dipergunakan sebagai dasar perundingan untuk penyelesaian politik, yaitu

sebagai berikut:

1. Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan. Kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan ini kepada Negara Indonesia Serikat. Sebelum masa peralihan demikian itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah federal sementara yang dibentuk dari daerah-daerah yang nantinya akan merupakan Negara Indonesia Serikat. Jika sudah terbentuk, Negara Indonesia Serikat akan

Page 114: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

102

merupakan negara yang berdaulat dan merdeka berkedudukan sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Belanda Indonesia, dikepalai oleh Turunan Raja Belanda. Hal status Republik Indonesia adalah sebagai negara yang bergabung dalam Negara Indonesia Serikat;

2. Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perubahan dalam undang-undang Negara Indonesia Serikat, kepada negara-negara bagian akan diberikan perwakilan yang adil;

3. Sebelum Komisi Tiga Negara dibubarkan, tiap-tiap pihak boleh meminta supaya pekerjaan komisi diteruskan yaitu guna membantu menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan penyelesaian politik, yang mungkin terbit selama masa peralihan. Pihak yang lainnya tidak boleh berkeberatan atas permintaan demikian itu; permintaan tersebut harus dimajukan oleh pemerintah Belanda kepada Dewan Keamanan;

4. Dalam waktu tidak kurang dari enam bulan tapi tidak lebih dari satu tahun sesudah persetujuan ini ditandatangani, maka di daerah-daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadakan pemungutan suara (plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daerah-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat. Plebisit ini diadakan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara, jika kedua pihak dapat persetujuan dalam artikel 3 yang menentukan, supaya Komisi Tiga Negara memberikan bantuan dalam soal tersebut. Kemungkinan tetap terbuka jika kedua pihak dapat persetujuan akan menggunakan cara lain dari pemungutan suara untuk menyatakan kehendak rakyat di daerah-daerah itu;

5. Sesudah ditetapkan batas-batas negara-negara bagian yang dimaksud itu, maka akan diadakan rapat pembentukan undang-undang dasar menurut cara demokrasi, untuk menetapkan konstitusi buat Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari negara-negara bagian akan mewakili seluruh rakyat;

6. Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan turut serta menandatangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4 dalam persetujuan Linggajati, kedua pihak tidak akan keberatan diadakan perundingan untuk menetapkan perhubungan istimewa dengan Negara Indonesia Serikat.

Renville, 19 Januari 1948

Semua dokumen persetujuan ditandatangani: Untuk Pemerintah Kerajaan

Belanda, Abdulkadir Wijoyoatmojo

Ketua Delegasi

Untuk Pemerintah Republik Indonesia,

Amir Syarifuddin Ketua Delegasi

Wakil-wakil Komisi Tiga Negara dari

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa:

Page 115: RENVILLE 1947 - repository.usd.ac.idrepository.usd.ac.id/27314/2/024314007_Full[1].pdf · 10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah ... Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

103

Ketua: Mr. Justice Richard C. Kirby (Australia)

Wakil-wakil: Mr. Paul van Zeeland (Belgia)

Dr. Frank P. Graham (Amerika Serikat) Sekretaris: Mr. T.G. Narayanan