rencana strategis direktorat kesehatan …sakip.pertanian.go.id/admin/file/renstra ditkeswan...

72
1 RENCANA STRATEGIS DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN 2015– 2019

Upload: trinhkhue

Post on 29-May-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

RENCANA STRATEGIS

DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN

2015– 2019

2

KATA PENGANTAR

Kebijakan dan Program Kesehatan Hewan tidak hanya mendukung program Swasembada

Daging melalui Program PSDSK dengan pendekatan penyakit (animal diseases approach)

terkait dengan kesehatan Sapi dan Kerbau semata akan tetapi lebih luas lagi yaitu

pendekatan kesehatan hewan secara menyeluruh (animal health approach).

Pendekatan kesehatan hewan tidak bisa hanya ditinjau dari aspek produksi atau ekonomi

semata, akan tetapi perlu orientasi yang lebih bertumpu kepada aspek kesehatan dan

kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir.

Dengan memperhatikan kedua hal diatas, serta adanya tantangan yang lebih besar dimasa

mendatang khususnya bidang kesehatan hewan maka perlu disusun Rencana Strategis

Direktorat Kesehatan Hewan tahun 2015-2019 sebagai acuan dalam melaksanakan tugas

Direktorat Kesehatan Hewan yaitu mengendalikan penyakit hewan menular strategis dan

penyakit zoonosis.

Didalam Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan tahun 2015-2019 berisi struktur

kegiatan dan capaian kinerja Direktorat Kesehatan Heewan yang diharapkan dapat tercapai

pada tahun mendatang.

Jakarta, Maret 2012

3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Keadaan Umum

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Demikian bunyi pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945.pernyataan ini senada dengan diktum politik hukum universal yang disuarakan Cicero (106-43 SM) dalam De Legibus (Tentang Hukum), bahwa “Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi’ (Solus populi suprema lex est). Pemenuhan diktum ini akan mengukuhkan keberadaan dan hakiki negara dan pemerintahan apapun di mata rakyatnya.

Indonesia adalah salah satu Negara yang sedang mengejar target pemenuhan kualitas hidup sesuai standar MDGs, dimana salah satunya menyangkut ketercukupan gizi. Oleh karena itu maka untuk memenuhi target pemenuhan kecukupan gizi dari protein hewan menjadi tanggung jawab negara dengan dukungan kemitraan dari stakeholder yang lain. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengemban misi tersebut yang tentunya dengan seperangkat aturan baik dalam skala nasional (untuk menunjang kedaulatan pangan) maupun internasional (untuk menunjang perdagangan bebas yang adil).

Aspek lain yang turut mempengaruhi kondisi ketercukupan pangan di Indonesia adalah fenomena perubahan iklim yang dalam satu dekade terakhir ini tampak ekstrim. Bencana alam di suatu daerah termasuk akibat penyakit hewan menular khususnya zoonosis di wilayah ring of fires sewaktu-waktu dapat terjadi.

Lebih jauh lagi, sejak pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan Marrakesh mengenai ketentuan-ketentuan dalam perdagangan bebas (free trade), maka sebagai negara berkembang, Indonesia bersama dengan negara-negara maju lainnya turut menaati larangan menggunakan hambatan teknis dalam perdagangan (technical barrier trade).

Berdasarkan hal tersebut, urusan kesehatan hewan menjadi strategis dalam pemeliharaan, pengangkutan, pemotongan, pemerahan susu dan penyebaran hewan/ternak dan bahan asal hewan/ternak.

Dalam rangka penerapan kebijakan Sanitary and Phytosanitary (SPS) disepakati bahwa diperlukan harmonisasi, equalisasi atau perlakuan yang sama. Oleh karena itu setiap negara wajib membuat persyaratan hewan/ternak dan produk/bahan asal hewan/ternak yang diperdagangkan melalui harmonisasi

Urusan kesehatan hewan menurut undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan meliputi pengamatan dan penyidikan, pengobatan, pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan, pelayanan kesehatan hewan, sarana dan prasarana kesehatan hewan serta penelitian dan pendidikan tenaga kesehatan hewan, dan urusan yang berkaitan dengan kesehatan manusia (penyakit zoonotik) dan lingkungan.

Dalam rangka menyediakan produk daging, susu dan telur yang aman (safe), sehat (sound), dan utuh (wholesomeness), kesehatan hewan mempunyai peranan yang strategis sejak di peternakan (pemeliharaan), pengangkutan, pemotongan/pemerahan susu dan pengangkutan/distribusi sampai di meja konsumen (from farm to table concept). Oleh karena

4

itu, pemberantasan penyakit hewan menular khususnya penyakit zoonosa merupakan urusan wajib bagi pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Sampai saat ini Indonesia telah berhasil membebaskan wilayah Indonesia dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Rinderpest, dan membebaskan sebagian wilayah dari penyakit Rabies (Jawa), penyakit ngorok (SE), penyakit keguguran (Brucellosis).

Hingga saat ini urusan kesehatan hewan sebagian besar masih ditangani oleh pemerintah pusat dan respon yang belum optimal dari pemerintah provinsi, Kabupaten/Kota karena urusan kesehatan hewan tidak merupakan urusan wajib, maka masuknya, berkembangnya, penyebaran penyakit hewan dan zoonosis tidak terbendung lagi.

Dalam rangka menyusun Dokumen Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan, berikut ini disajikan dari isu isu strategis hasil evaluasi kondisi umum kesehatan hewan di Indonesia dan aspirasi masyarakat tentang pelayanan publik kesehatan hewan.

1. Evaluasi Kebijakan dan Program Kesehatan Hewan

Dalam rangka melindungi wilayah Indonesia dari masuknya, berkembangnya, menyebarnya penyakit hewan menular ke wilayah yang masih bebas maka diterapkan kebijakan karantina hewan, upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan strategis, pelarangan impor hewan/hasil/produk hewan/ternak dari luar negeri diterapkan kebijakan perlindungan hewan dan kesiagaan darurat untuk peningkatan kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan serta pengawasan obat hewan yang diimpor/diproduksi/di gunakan di Indonesia.

Upaya yang dilakukan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota telah memberikan hasil, namun karena berbagai sebab diantaranya hambatan karena penerapan otonomi yang masih belum menunjang urusan kesehatan hewan baik di pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota. Kurangnya dukungan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dalam urusan kesehatan hewan diantaranya kurangnya tenaga kesehatan hewan (Dokter Hewan dan, Paramedik), sarana operasional kesehatan hewan dan penyediaan dana APBD yang belum memadai karena urusan kesehatan hewan belum menjadi urusan wajib bagi provinsi/ kabupaten/kota.

Berdasarkan hal tersebut, rencana strategis Direktorat Kesehatan Hewan disusun berdasarkan azas efisiensi, efektifitas dan eksternalitas secara prioritas. Untuk penyakit hewan yang tidak bersifat lintas batas kabupaten/kota dimasukkan dalam urusan kesehatan hewan kabupaten/kota karena akan lebih efisien dan efektif. Untuk menanggulangi penyakit hewan yang menyebar dan berkembang lebih dari satu di kabupaten/kota akan lebih efektif dan efisien kalau ditanggulangi oleh provinsi. Adapun untuk penyakit hewan menular dan menyebar lebih dari satu provinsi ditangani oleh pemerintah pusat.

Urusan mencegah masuknya penyakit hewan baru (New emerging disease) atau penyakit hewan yang sudah berhasil dibebaskan di seluruh wilayah Indonesia serta kesiagaan darurat menghadapi kemungkinan mewabahnya penyakit baru tersebut tetap menjadi urusan pusat. Oleh karena itu pemerintah pusat wajib meningkatkan kelembagaan dan sumber daya kesehatan hewan pusat termasuk balai-balai besar penyidikan penyakit

5

hewan/veteriner, balai pengujian mutu obat hewan masih menjadi urusan pusat u.p. Direktorat Kesehatan Hewan sebagai otoritas veteriner tingkat pusat.

2. Aspirasi masyarakat terhadap Kesehatan Hewan

Kesadaran masyarakat atas pentingnya protein hewani untuk kecukupan gizi dan pentingnya kesediaan dan keamanan pangan asal hewan juga cukup tinggi terbukti dengan disahkan Undang-Undang Kesehatan Nomor 18 Tahun 2009 dan Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996.

Kejadian wabah penyakit hewan menular strategis merupakan hal penting sebagai urusan kesehatan hewan ditangani oleh pemerintah pusat bersama-sama pemerintah propinsi/kabupaten/kota maupun antar Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian lainnya.

Dengan semakin tingginya aspirasi masyarakat terhadap impor maka Kementerian Pertanian mengeluarkan suatu program prioritas yaitu program swasembada sapi kerbau, dan Direktorat Kesehatan Hewan mendapat mandat status kesehatan hewan yang kondusif untuk pengembangan

Dalam rangka penyusunan rencana strategi kesehatan hewan aspirasi masyarakat yang telah dituangkan dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Nomor, UU Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dan UU terkait lainnya wajib dipertimbangkan dalam penyusunannya.

A. Potensi dan Permasalahan

1. Potensi Internal

a. Kekuatan

1. Landasan hukum untuk pembangunan Kesehatan Hewan, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan memiliki kewenangan merumuskan norma, standar, pedoman, dan kriteria di bidang kesehatan hewan.

2. Rencana Stategis Pengendalian Zoonosis, yang secara substansial aspek kesehatan hewan menjadi bagian dalam nota kerjasama antara Kementerian Pertanian c.q. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Kementerian Kesehatan untuk penanggulangan Zoonosis.

3. Tersedianya Pedoman Pelayanan Pusat Kesehatan Hewan yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 64/Permentan/OT.140/9/2007.

4. Tersedianya Pedoman pelayanan Jasa Medik Vetriner yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Permentan/OT.140/1/2010

5. Peraturan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Veteriner untuk penyelenggaraan pelayanan veteriner.

b. Kelemahan

6

1. Pada aspek pengawasan, kualitas, kuantitas dan transparansi kinerja unit operasional yang dapat menunjang tercapainya tujuan rencana strategis serta good governance masih lemah.

2. Pada aspek teknis, salah satu faktor yang menghambat adalah kesehatan hewan pada tatanan sektor pertanian tidak bersifat mandatory dan di tingkat nasional struktur lembaga veteriner menjadi bagian dari Kementerian Pertanian yang cakupannya sangat luas, sehingga menyebabkan keterbatasan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan penganggarannya.

3. Kualitas sumberdaya manusia khususnya di bidang kesehatan hewan dan struktur organisasi dinas di daerah yang bervariasi menjadi masalah sarana dan prasarana kesehatan hewan yang belum terakreditasi seluruhnya.

4. Budaya politik pimpinan daerah yang belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan penanggulangan kejadian/wabah penyakit hewan, penyediaan dan akses data penyakit hewan yang masih sangat terbatas,

5. Pemberantasan penyakit hewan masih menemui hambatan, terutama penyakit-penyakit yang bersifat sporadis dan belum dapat dibebaskan.

6. Belum tuntasnya penyusunan peraturan pemerintah sebagai mandat dari UU No. 18 Tahun 2009 merupakan permasalahan yang serius.

2. Potensi Eksternal

a. Peluang

1. Perubahan lingkungan strategis global dan regional ternyata sangat berpengaruh dan menjadi peluang terhadap peningkatan akses pembangunan kesehatan hewan.

2. Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan, sehingga sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai batas alam yang jelas dan sekaligus dapat berperan sebagai barrier penyebaran penyakit hewan.

3. Sanitary and Phytosanitary (SPS), Harmonisasi Sistem dan Standar serta manajemen resiko merupakan pengalaman penting yang dapat dipetik dan diperhatikan di masa datang.

4. Dukungan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 yang terkait dengan otoritas veteriner, dapat menjadi peluang tetapi harus didahului dengan penguatan institusi secara internal.

5. UU No. 6 Tahun 1962 tentang Wabah, UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi dan Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis merupakan dukungan legislasi dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit hewan.

6. Pembentukan Komisi Nasional Zoonosis, memberikan peluang untuk dapat tertanggulanginya zoonosis secara maksimal.

7. Perkembangan industri peternakan akan memacu Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) untuk mengembangkan dan memproduksi berbagai sediaan biologik (vaksin, sera dan bahan diagnostika) dan Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan (BBPMSOH) yang telah terakreditasi di tingkat ASEAN mengembangkan fungsinya sebagai pusat pengujian mutu obat hewan di Indonesia dan ASEAN.

b. Ancaman

7

1. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang belum berjalan secara optimal menyebabkan kelembagaan veteriner di daerah tidak terstruktur dengan baik, sehingga pelayanan veteriner tidak terselenggara dalam satu garis komando, yang menimbulkan lemahnya koordinasi dalam rangka penanggulangan penyakit hewan.

2. Belum efektinya kerjasama dan koordinasi lintas sektor ataupun antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

3. Kondisi budaya politik yang kurang mendukung pelaksanaan penanggulangan penyakit hewan, misalnya pada saat terjadinya wabah penyakit hewan dimana kepala daerah merasa malu jika daerahnya dinyatakan tertular/terjadi wabah penyakit hewan.

4. Perkembangan global khususnya di bidang perdagangan internasional komoditas ternak, pada kondisi saat ini dapat menimbulkan ancaman bagi Indonesia terkait dengan persaingan bebas.

5. Masuknya penyakit eksotik ke Indonesia merupakan suatu ancaman tersendiri yang memerlukan antisipasi yang maksimal dengan penerapan kajian analisa risiko.

6. Muncul dan menyebarnya penyakit hewan menular di negara lain dan tidak mengenal batas negara (transboundary disesases) memerlukan tindakan pengendalian dan pengamanan. Pengendalian penyakit hewan “transboundary” bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga merupakan tantangan manajemen sumberdaya, tantangan hubungan masyarakat dan tantangan manajemen informasi serta yang lebih penting lagi adalah tantangan dan rencana menghadapi kesiagaan darurat (Emergency Preparedness dan Emergency Plan).

7. Meningkatnya arus wisatawan dari manca negara yang belum ditunjang dengan peningkatan jumlah maupun mutu sumberdaya manusia yang mengawasi serta sarana pengawasan khususnya di garis terdepan (karantina hewan) akan menjadi ancaman masuknya penyakit hewan.

B. Isu-Isu Strategis

1. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Upaya Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

a. Mempertahankan daerah bebas PHM

Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Kesehatan Hewan telah berhasil membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Rinderpest. Selain itu, pada sebagian wilayah, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan DKI Jakarta juga telah terbebas dari penyakit Rabies. Demikian pula, penyakit Ngorok (SE), penyakit Influenza (H1N1), dan penyakit Keguguran (Brucellosis) yang tertangani dengan baik menjadi sebuah prestasi Direktorat Keswan yang perlu dipertahankan bahkan ditingkatkan.

Mempertahankan dan meningkatkan keamanan hewan dari penyakit—termasuk penyakit eksotik dari luar negeri, menjadi tindakan nyata Ditkeswan demi menghindari timbulnya keresahan masyarakat atas apa yang mereka makan dan apa yang menjadi penopang ekonomi rumah tangga. Sebagai contoh, PMK merupakan penyakit endemik di kawasan ASEAN. Untuk itu upaya pengamatan (surveillance) di

8

daerah yang beresiko tinggi pergerakan virusnya seperti di wilayah perbatasan perlu digencarkan.

b. Pembebasan wilayah dari penyakit hewan menular

Direktorat Kesehatan Hewan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan secara bertahap dan berdasarkan prioritas penyakit terutama penyakit yang berdampak pada kerugian ekonomi, eksternalitas tinggi, dan mengancam kesehatan masyarakat. Kegiatan pengamatan atau surveilans baik aktif maupun pasif sangat diperlukan untuk mendukung program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan.

Informasi berdasarkan pengamatan terkait dengan prevalensi penyakit di setiap daerah akan menggambarkan tingkat intensitas penyakit tersebut. Ketentuan pengamatan dan pengawasan ini menggunakan standar Teresterial Animal Health Code—OIE. Di Indonesia beberapa pengamatan telah dilakukan seperti, monitoring pasca vaksinasi untuk penyakit Anthrax dan Rabies; Deteksi dini, penentuan subtipe, monitoring pasca vaksinasi, epidemiologi molekuler, sentinel dan kompartemen/zona bebas untuk pengawasan penyakit Avian Influenza; Penentuan prevalensi atau zonasi, pemotongan reaktor, monitoring vaksinasi untuk pengamatan penyakit Brucellosis; Pengambilan sampel otak dari rumah potong hewan atau hewan yang menunjukkan gejala syaraf untuk pengamatan penyakit BSE; Pengambilan sampel darah untuk pengamatan penyakit PMK; dan sebagainya

c. Pencegahan masuknya penyakit eksotik

Kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan eksotik, dilaksanakan melalui; penolakan penyakit hewan eksotik; penerapan standar baku importasi hewan; penerapan analisis resiko; kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO); dan peningkatan kepedulian masyarakat (public awareness).

Prinsip pencegahan masuknya penyakit hewan eksotik menjadi tanggung jawab pemerintah pusat untuk menentukan kebijakan yang mampu menangkal setiap ancaman penularan dari luar negeri terkait dengan penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria.

Untuk kewaspadaan terhadap potensi masuknya penyakit eksotik dan penyakit hewan menular lainnya dari negara lain, diperlukan kerjasama bilateral sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara tetangga melalui kerjasama bilateral dan multilateral mengenai kesehatan hewan dan terhadap beberapa negara pengekspor lainnya

2. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Perdagangan

a. Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT)

Kesadaran akan manfaat pola perdagangan internasional bagi kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara membentuk organisasi ekonomi di tingkat regional dan internasional. Untuk kelancaran perdagangan tersebut telah

9

disusun perjanjian perdagangan hewan dan produknya yang disepakati antar negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)—sebagai penerima mandat dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE)—dalam bentuk perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS).

Konteks perdagangan bebas maupun SPS diarahkan menuju pengurangan hingga penghapusan hambatan-hambatan perdagangan (Technical Barrier to Trade). Namun di satu sisi, dari aspek kesehatan hewan, meningkatnya lalu lintas hewan (animal mevement) dan produknya akan membawa risiko masuknya penyakit hewan ke wilayah Indonesia.

Indonesia harus dapat memanfaatkan sebanyak mungkin perjanjian SPS untuk meningkatkan ekspor dan mengendalikan arus impor serta berhak untuk melakukan verifikasi terhadap seluruh data/informasi terkait berbagai hal yang berhubungan dengan kesehatan hewan dari negara pengimpor.

Pada dasarnya perdagangan internasional tidak mungkin dilakukan dengan “risiko nol” (zero risk) sehingga apabila Indonesia ingin memasukkan komoditi tertentu dari negara lain tetap harus melakukan prosedur yang ditetapkan oleh OIE dan perjanjian SPS tentang analisa risiko. Selanjutnya analisa risiko menjadi alat bagi pemerintah untuk menyetujui atau menolak usulan importasi. Dalam hal ini pemerintah harus menetapkan tingkat risiko yang dapat diterima (acceptable level of risk) atau tingkat proteksi sanitary yang masih dapat diterima (appropriate level of sanitary protection) sebagai acuan dalam penerimaan perdagangan.

b. Harmonisasi system number dan equalisasi kebijakan kesehatan hewan untuk persyaratan kesehatan hewan yang diperdagangkan

Selain penerapan analisa risiko, perjanjian SPS juga mengatur mengenai pentingnya harmonisasi, ekuivalensi, transparansi dan adanya perlakuan yang sama terhadap produk dalam negeri.

Kebijakan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan eksotik, dilaksanakan oleh pemerintah pusat melalui penolakan penyakit hewan eksotik, penerapan standar baku importasi hewan, penerapan analisis resiko, kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO) dan peningkalan kesadaran dan kepedulian masyarakat (public awareness).

Untuk kewaspadaan terhadap potensi masuknya penyakit eksotik dan penyakit hewan menular lainnya dari negara lain, diperlukan kerjasama bilateral sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia dengan beberapa negara tetangga melalui kerjasama bilateral dan multilateral mengenai kesehatan hewan juga telah dilakukan dengan beberapa negara pengekspor yang lain.

10

c. Tersedianya obat hewan yang aman dan kualitas, serta peningkatan potensi ekspor

Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan yang dikelola secara intensif khususnya untuk keperluan ekspor, menuntut tersedianya obat hewan yang berkualitas prima. Obat semacam ini proses produksinya menerapakan sistem standarisasi akreditasi dan sertifikasi mutu. Aspek khasiat (efficacy) dan keamanan (safety) menjadi pertimbangan utama dalam penyediaan dan penggunaan obat hewan, baik bagi hewan/ternaknya sendiri maupun bagi masyarakat yang mengkonsumsi produk ternak.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, di tahun mendatang perlu reorientasi penciptaan iklim standarisasi di bidang industri obat hewan. Standarisasi akan memberikan jaminan mutu (quality assurance) bagi produk obat hewan yang dihasilkan. Dengan pola ini persiapan kelengkapan perangkat lunak (software) maupun perangkat keras (hardware) dapat mendukung Indonesia memasuki era perdagangan bebas.

Salah satu rambu pengaman dan sebagai salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas obat hewan secara dini adalah melalui metode Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB). Dengan menerapkan CPOHB maka mutu obat hewan dalam negeri memiliki daya saing yang baik dan terjamin. Hal yang sama berlaku bagi obat impor, karena diharapkan dapat membatasi membanjirnya pasar produk impor di Indonesia dalam era pasar global. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah Produsen Obat Hewan di Indonesia mencapai sekitar 60 perusahaan. Sebanyak 25 perusahaan telah mendapat sertifikat CPOHB.

Penilaian dokumen penerapan CPOHB akan dilaksanakan oleh Panitia Penilai CPOHB yang merupakan tim ahli yang independen. Pembentukannya didasarkan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 298/Kpts/OT.160/5/2007. Anggota Panitia Penilai CPOHB tersebut berasal dari unsur Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Perguruan Tinggi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan para pakar dibidang CPOHB.

3. Kelembagaan dan Sumber Daya Direktorat Kesehatan Hewan

Dalam rangka memenuhi kekurangan jumlah sumber daya manusia di bidang kesehatan hewan, telah dilakukan rekruitmen tenaga harian lepas (THL) medik dan paramedik (sejak tahun 2006) untuk ditempatkan di Puskeswan ataupun instansi pemerintah di bidang kesehatan hewan lainnya. Selain itu, dalam rangka peningkatan kompetensi petugas kesehatan hewan dalam melakukan pelayanan kesehatan hewan di lapangan khususnya untuk mendukung pencapaian target swasembada daging, telah dilakukan Bimbingan Teknis Penanggulangan Gangguan Reproduksi sejak tahun 2009.

Isu aktual SDM meliputi jumlah dan kompetensi petugas teknis kurang, sebaran SDM belum sesuai kebutuhan/merata, standarisasi kompetensi petugas teknis belum ada, pejabat fungsional belum maksimal terkait tugas dan fungsinya. Isu Kelembagaan meliputi Struktur organisasi di daerah semakin melemah, Peran dan fungsi kelembagaa keswan kurang optimal, Jumlah dan penyebaran puskeswan masih sangat kurang dan Sarana dan prasarana kelembagaan, system kinerja terintegrasi belum optimal.

11

Untuk itu, sekurang-kurangnya terdapat tiga hal yang menjadi fokus ‘kelembagaan dan sunberdaya Direktorat Kesehatan Hewan, meliputi:

a. Penguatan dan Pengembangan kelembagaan Otoritas veteriner. b. Kurangnya sumber daya manusia bidang kesehatan hewan. c. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan.

4. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Zoonosis

a. Penerapan prinsip One Health

One Health adalah upaya kerjasama dari berbagai disiplin ilmu, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global untuk mencapai kesehatan yang optimal baik bagi manusia, hewan, dan lingkungan kita. Penerapan konsep one health mengarah pada zoonosis, dimana aspek kesehatan hewan menjadi sektor terdepan (leading sector). Contohnya, upaya penanggulangan penyakit rabies di propinsi Bali, penanganan HPR, vaksinasi HPR, eliminasi tertarget, dan sterilisasi dengan memperhatikan aspek-aspek kesejahteraan hewan (kesrawan) oleh sektor kesehatan hewan dan penanganan korban gigitan HPR pada manusia oleh sektor kesehatan manusia dengan membangun Rabies Center.

b. Pengamanan dan antisipasi bahan biologik yang berbahaya

Sebagai tindak lanjut diterbitkannya Undang-undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan maka saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Pertanian mengenai (1) Distribusi sediaan premiks; (2) Larangan menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia; (3) Pembuatan sediaan biologik yang penyakit dan/atau biang isolatnya tidak ada di Indonesia wajib memenuhi persyaratan keamanan hayati yang tinggi; (4) Pemasukan dan pengeluaran obat hewan dari dan ke luar negeri; dan (5) Peraturan Tata Cara Pendaftaran Produk Rekayasa Genetik (PRG) Untuk Vaksin Hewan Tahun 2010 (Draf Peraturan Tata Cara Pendaftaran Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Vaksin Hewan sudah disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan sejak bulan November 2010)

Adapun peraturan bidang obat hewan yang telah diterbitkan sebagai upaya pengamanan atau antisipasi terhadap bahan biologik yang berbahaya adalah :

1. Diterbitkannya Surat Edaran Menteri Pertanian No. 3345/kpts/LB450/7/2011, tentang Ketentuan Peredaran Vaksin Avian Influenza (AI) di Indonesia dan Surat Edaran Menteri Pertanian No. 660/LB.450/M/12/2011, tentang Revisi Ketentuan Peredaran Vaksin Avian Influenza (AI) di Indonesia.

2. Diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan No.30059/HK.340/F/11/11 tentang Pelarangan Peredaran dan Penggunaan Obat-Obat Kelompok Beta Agonist 2 dan Turunannya di Indonesia.

c. New Emerging dan re-emerging zoonosis

Pertumbuhan populasi manusia dan hewan semakin cepat. Hal ini ditengarai dengan arus urbanisasi yang meningkat, ekosistem berubah. dan arus globalisasi

12

perdagangan hewan dan produk-produk hewan juga meningkat. Konsekuensinya, penyebaran lintas batas negara penyakit menular yang baru muncul (new emerging diseases) dan/atau timbul kembali (re-emerging diseases) diyakini terjadi. Diperkirakan 75% penyakit baru ini adalah penyakit zoonosis. Dampak dari globalisasi dan perubahan iklim (Climate change) juga menjadi faktor munculnya penyakit-penyakit re-emerging zoonosis.

Untuk menghadapi situasi yang krusial ini maka penguatan sistem pengamatan dan pengawasan (surveillance) yang terstruktur dan berkelanjutan sebagai tindakan kewaspadaan dini perlu diupayakan maksimal.

5. Direktorat Kesehatan Hewan Dalam Konteks Peraturan

Kerugian ekonomi yang tinggi dan keresahan batin masyarakat sebagai dampak serangan penyakit hewan menular dan zoonosis menimbulkan instabilitas dalam perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan akibat langsung atau tidak langsung dari kurangnya peran dan fungsi veteriner—khususnya dalam pelayanan kesehatan hewan yang tidak optimal.

Kondisi tersebut terjadi karena belum adanya sistem kelembagaan veteriner yang kuat, lemahnya pengembangan sumber daya kesehatan hewan, belum efektifnya tatanan kerja yang terstruktur antar lembaga/unit pelayanan teknis kesehatan hewan mulai dari pusat sampai ke daerah. Bahkan sampai dengan pelayanan tingkat lapangan yang menyentuh masyarakat (Pusat Kesehatan Hewan) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan hewan belum berfungsi secara efektif.

Di sisi lain, kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat yang merupakan faktor kunci untuk mewujudkan penjaminan status kesehatan hewan belum digerakkan secara optimal. Hal ini menunjukkan kinerja koordinasi, sosialisasi, dan advokasi terkait aspek pelayanan veteriner belum secara intensif dilaksanakan.

Dalam konteks permasalahan di atas, ada tiga hal penting yang perlu menjadi landasan berpikir, yakni pertama, menjadikan sumberdaya hewan bernilai strategis dalam upaya mencerdaskan bangsa, meningkatkan pendapatan dan peluang kerja, serta memperkuat ekonomi bangsa. Kedua, dalam pemanfaatan sumberdaya hewan beserta seluruh aspek pendukungnya secara berkesinambungan perlu pengaturan dengan mempertimbangkan berbagai faktor internal dan eksternal yang bersifat strategis. Ketiga, pengaturan melalui undang-undang dan turunannya dapat melindungi para pemangku kepentingan di bidang peternakan dan kesehatan hewan; masyarakat luas; lingkungan dan bangsa Indonesia baik secara nasional maupun internasional.

13

BAB II

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN KESEHATAN HEWAN

A. Visi

Mewujudkan Direktorat Kesehatan Hewan yang profesional, modern, maju, efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan hewan menuju status kesehatan hewan yang ideal.

B. Misi

1. Melindungi manusia/masyarakat dari resiko yang berkaitan dengan hewan dan produknya (aspek kesehatan dan kesejahteraan manusia sebagai sasaran akhir) dan memberikan sumbangan baru bagi ilmu pengetahuan biologik dan medik.

2. Melindungi hewan dari penyakit yang mengancam kelestarian sumberdaya hewan dan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Melindungi ekosistem serta mempertahankan kelestarian sumberdaya genetik. 4. Memberikan jaminan kesehatan hewan untuk mendukung kestabilan usaha bidang

peternakan dan kesehatan hewan yang berdaya saing dan berkelanjutan dengan menggunakan sumberdaya lokal.

5. Meningkatkan sistem pelayanan kesehatan hewan yang maju dan terarah bertumpu pada teknologi modern

6. Meningkatkan profesionalisme, kesisteman, penganggaran, kelembagaan, sarana dan prasarana.

C. Tujuan

1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan hewan. 2. Meningkatkan kepedulian dan partisipasi aktif masyarakat terhadap kesehatan hewan

dan biosekuriti. 3. Meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kredibilitass monitoring, surveilans,

penyidikan dan pengujian serta diagnosa penyakit hewan. 4. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam pengendalian dan pemberantasan

penyakit hewan menular. 5. Meningkatkan kapabilitas kesiagaan darurat terhadap penyakit hewan menular dan

eksotik. 6. Meningkatkan jaminan mutu dan ketersediaan komoditas hewan dan obat hewan. 7. Meningkatkan status kesehatan hewan nasional.

D. Sasaran

1. Indonesia tetap bebas PMK dan bebas penyakit eksotik lainnya, 2. Bagian wilayah Indonesia bebas penyakit strategis, 3. Pengamanan dan Penanganan Penyakit Hewan Baru (New Emerging Animal Disease) dan

Muncunya lagi Penyakit Hewan dan (Re-Emerging Animal Disease), 4. Penguatan Sistem Pengamatan dan Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional, 5. Pemantapan Kelembagaan dan Sumber Daya Lembaga, 6. Peningkatan Jaminan Mutu dan Kapasitas Produksi Obat Hewan Indonesia, 7. Pemantapan regulasi.

14

BAB III

ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI

A. Arah Kebijakan dan Strategi Kementerian Pertanian

1. Arah Kebijakan Kementerian Pertanian

Arah kebijakan pembangunan pertanian, antara lain yaitu: a. Melanjutkan dan memperkuat kegiatan yang berorientasi pemberdayaan masyarakat

dan rekruetmen tenaga pendamping lapang guna mempercepat pertumbuhan industri pertanian di perdesaan.

b. Pemantapan swasembada beras, jagung, daging ayam, telur, dan gula melalui peningkatan produksi yang berkelanjutan.

c. Pencapaian swasembada kedelai, daging sapi dan industri gula. d. Peningkatan produksi susu segar, buah lokal, dan produk-produk substitusi

komoditas impor. e. Penguatan kelembagaan perbenihan dan perbibitan nasional. f. Pemberdayaan masyarakat petani miskin melalui bantuan sarana, pelatihan dan

pendampingan. g. Pembangunan kawasan komonitas terpadu secara vertikal dan/atau horizontal

dengan konsolidasi usaha tani produktif berbasis lembaga ekonomi masyarakat yang berdaya saing tinggi di pasar lokal dan internasional.

h. Peningkatan perlindungan dan pendayagunaan plasma nutfah nasional.

2. Strategi Kementerian Pertanian

Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian berfokus pada 4 pilar utama:

a. Swasembada dan swasembada berkelanjutan, b. Peningkatan Diversifkasi Pangan, c. Peningkatan Nilai Tambah, Daya Saing, dan Ekspor, d. Peningkatan kesejahteraan petani/peternak.

Untuk melaksanakan tugas tersebut selama periode 2015-2019, strategi yang akan ditempuh Kementerian Pertanian dilakukan melalui penerapan tujuh Gema Revitalisasi, yaitu : (i) Revitalisasi Lahan; (ii) Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan ; (iii) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana; (iv) Revitalisasi Sumber Daya Manusia; (v) Revitalisasi Pembiayaan Petani; (vi) Revitalisasi Kelembagaan Petani, serta (vii) Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir.

Ketujuh Gema Revitalisasi pembangunan tersebut, menjadi acuan pada kebijakan dan strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam memfasilitasi program dan kegiatan Pembangunan Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015-2019

15

B. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Sebagai bagian dari 12 program yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mengemban satu program yaitu Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal.

1. Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Pembangunan peternakan dan kesehatan hewan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan nasional seperti yang telah dituangkan dalam RPJMN 2015-2019, yang menyatakan bahwa pembangunan Ketahanan Pangan menjadi prioritas yang kelima. Sesuai dengan hasil KTT Pangan 2009, yang antara lain menyepakati untuk menjamin pelaksanaan langkah-langkah mendesak pada tingkat nasional, regional, dan global untuk merealisasikan secara penuh komitmen Millenium Development Goals (MDGs), yaitu komitmen: pro poor, pro growth, pro job; dan pelestarian lingkungan hidup.

Dengan mengacu pada RPJMN, arah kebijakan umum pembangunan peternakan dan kesehatan hewan 2015-2019adalah untuk : (i) menjamin ketersediaan dan mutu benih dan bibit ternak; (ii) meningkatkan populasi dan produktifitas ternak; (iii) meningkatkan produksi pakan ternak; (iv) meningkatkan status kesehatan hewan; (v) menjamin keamanan produk hewan; dan (vi) meningkatkan pelayanan prima kepada masyarakat.

Pada aspek status kesehatan hewan diarahkan untuk : (i) meningkatkan perlindungan hewan, pengamatan penyakit hewan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan; (ii) peningkatan pelayanan kesehatan hewan; (iii) meningkatkan kualitas dan kuantitas obat hewan; (iv) meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga dokter hewan dan paramedik veteriner.

2. Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

Strategi Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam melaksanakan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan tahun 2015-2019 diarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam pembangunan peternakan sesuai dengan target empat sukses Kementerian Pertanian yaitu Pencapaian Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan. Selain itu, dalam mencapai target tersebut, juga diacu kesepakatan dalam General Agreement on Tarif and Target (GATT) yang diwadahi oleh WTO, dengan salah satu kesepakatannya memuat Agreement on Agriculture, termasuk didalamnya terkait perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barrier to Trade (TBT) seperti yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2004. Prinsipnya dalam perjanjian tersebut, maka produk dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan sub sektor peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan keamanan (safety), standard mutu (quality), kesejahteraan hewan (animal walfare), ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Memperhatikan target empat sukses Kementerian Pertanian, yaitu Pencapaian Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau dan perjanjian GATT tersebut diatas, strategi

16

yang akan ditempuh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015-2019, yaitu :

a. Memperlancar arus produk peternakan melalui peningkatan efisiensi distribusi. b. Meningkatkan daya saing produk peternakan dengan pemanfaatan sumber daya

lokal. c. Memperkuat regulasi untuk melindungi peternak dalam negeri. d. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar sektor terkait serta networking antar

daerah. e. Meningkatkan promosi produk peternakan untuk ekspor. f. Memperkuat kelembagaan yang membidangi fungsi kesehatan hewan di daerah dan

otoritas veteriner.

C. Arah Kebijakan dan Strategi Direktorat Kesehatan Hewan

1. Arah Kebijakan dan Strategi Umum

Strategi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan ditempuh melalui kegiatan perlindungan hewan, pengamatan penyakit hewan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular strategis termasuk zoonosis, penguatan kelembagaan kesehatan hewan serta peningkatan kompetensi dokter hewan dan paramedik veteriner, dan pengobatan dan pengawasan obat hewan.

Perlindungan hewan dilaksanakan dalam rangka melindungi/mengamankan hewan, manusia dan lingkungan terhadap penyakit hewan menular dan eksotik yang dilakukan melalui penetapan dan penerapan persyaratan kesehatan hewan bagi hewan yang akan masuk ke dalam dan/atau keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pengamatan penyakit hewan dilaksanakan dengan tindakan pemantauan (surveilans) terhadap ada tidaknya penyakit hewan tertentu di suatu wilayah (pulau atau kawasan pengamanan hayati hewan) sebagai langkah awal dalam rangka kewaspadaan dini dan penyusunan pemetaan penyakit hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) .

Pemberantasan penyakit hewan diarahkan untuk membebaskan suatu wilayah dan/atau kawasan pengamanan hayati dan/atau pulau dari penyakit hewan menular yang meliputi usaha penutupan daerah tertentu terhadap keluar-masuk dan lalu-lintas hewan dan produk hewan, penanganan hewan tertular dan bangkai, serta tindakan penanganan wabah yang meliputi eradikasi penyakit hewan dan depopulasi hewan.

Sedangkan pengobatan penyakit hewan merupakan perlakuan untuk menghilangkan rasa sakit, penyebab sakit, mengoptimalkan kebugaran dan ketahanan hewan melalui usaha perbaikan gizi, tindakan transaksi terapetik, penyediaan dan pemakaian obat hewan, penyediaan sarana dan prasarana, pengawasan dan pemeriksaan, serta pemantauan dan evaluasi pasca pengobatan.

Peningkatan kuantitas meliputi pemberian iklim yang kondusif kepada para pengusaha dan calon pengusaha untuk bergerak dalam usaha produksi, distribusi obat hewan.

17

Sedangkan peningkatan kualitas dimaksudkan untuk dapat bersaing di pasar internasional dan strategi dilakukan dengan mendorong perusahaan produsen obat hewan menerapkan Cara Pembuatan Obat Hewan yang Baik (CPOHB).

Adapun untuk meningkatkan pengawasan terhadap peredaran obat hewan ilegal strategi operasional adalah melakukan koordinasi dengan instansi terkait dari unsur badan karantina pertanian, direktorat bea dan cukai, kepolisian, badan POM, dan Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di seluruh Indonesia.

Pendayagunaan peran dan fungsi kelembagaan serta SDM kesehatan hewan untuk kebijakan dan pengambilan keputusan sehinga perumusan kebijakan maupun pengambilan keputusan menjadi lebih tepat. Oleh karena itu kelembagaan akan dilengkapi disertai dengan ketatalaksanaan, pengelolaaan SDM dalam rangka melaksanakan misi untuk mencapai visi yang telah ditetapkan. Strategi yang akan ditempuh akan dilakukan melalui pendayagunaan peran dan fungsi yang dilakukan oleh SDM kesehatan hewan pusat untuk proses pengambilan keputusan melalui fungsi-fungsi perencanaan, evaluasi, kepegawaian dan keuangan serta perlengkapan. Pendayagunaan ini diarahkan agar SDM yang ada untuk melayani masyarakat terkait dengan teknis kesehatan hewan dalam rangka pembangunan secara menyeluruh.

Agar supaya pembangunan kesehatan hewan dapat dicapai, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategi secara menyeluruh sebagai berikut :

a. Menyusun perencanaan program pembangunan kesehatan hewan nasional yang sifatnya top-down policy berdasarkan periode pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang yang implementasi pembangunannya mengakomodir kepentingan dan situasi kondisi status kesehatan hewan daerah sehingga model pembangunan kesehatan hewannya bersifat buttom-up planning.

b. Penataan ulang dan atau penegasan kembali kewenangan urusan kesehatan hewan antara pusat dan daerah.

c. Pendegelasian sebagian kewenangan veteriner (veterinary authority) kepada dokter hewan swasta (praktisi, mandiri dan technical service) dengan akreditasi.

d. Membangun sistem kompetensi profesi medik dan paramedik veteriner. e. Mengembangkan jejaring laboratorium veteriner. f. Mengembangkan sistem akreditasi laboratorium veteriner. g. Mengembangkan program surveilans yang mempunyai target peluang pasar

(market requirement). h. Meningkatkan kepedulian dan kesadaran masyarakat (public awareness) dan proposi

secara berkelanjutan. i. Menyusun rencana dan kewajiban bersama antara pusat dan propinsi dalam

program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dan urusan kesehatan hewan lainnya.

j. Mengembangkan program biosekuriti berdasarkan resiko (riks based). k. Mengembangkan integrasi sektor swasta dalam pembiayaan dan penyediaan sarana

untuk kesiagaan darurat dan pemberantasan penyakit hewan menular.Mengembangkan sistem sertifikasi penerapan Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB).

18

l. Mengembangkan sistem akreditasi penerapan manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti di peternakan berdasarkan kompartemen (compartment based).

m. Mengembangkan jejaring dan sistem informasi kesehatan hewan.

2. Arah Kebijakan dan Strategi Khusus

a. Pengamatan Penyakit Hewan

Kebijakan operasional pengamatan penyakit hewan mencakup:

(1) Laboratorium Kesehatan Hewan

Kebijakan ini dilakukan dengan peningkatan pembinaan laboratorium kesehatan hewan (Balai Besar Veteriner/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional, Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Type B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Type C) dalam pengamatan penyakit hewan antara lain sebagai diagnosis dan pengamatan penyakit, pusat informasi kesehatan hewan regional, pemetaan penyebaran penyakit dan analisis veteriner terapan, pusat pengembangan kewaspadaan penyakit, lembaga rujukan standarisasi metoda dan sertifikasi pengujian veteriner untuk ekspor dan impor hewan dan produk hewan serta pelayanan teknis laboratorium kesehatan hewan dan laboratorium kesehatan masyarakat veteriner.

Peningkatan kapasitas laboratorium dalam hal ini Balai Besar Veteriner atau Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional (BBVet/BPPV), Laboratorium Kesehatan Hewan Propinsi/Tipe B dan Laboratorium Kesehatan Hewan Kabupaten/Tipe C yang berada di Puskeswan antara lain melalui penambahan jumlah laboratorium, peningkatan kuantitas dan kualitas SDM laboratorium yang kompeten dan profesional, standardisasi metode pengujian, penyedian bahan diagnosa dan pengujian.

(2) Program System Quality Assurance

Untuk peningkatan manajemen dan penerapan sistem jaminan mutu, diperlukan upaya-upaya untuk menerapkan secara berkesinambungan program quality assurance yang meliputi uji profisiensi dan penunjukan laboratorium rujukan disamping penataan dan peningkatan koordinasi yang berupa jaringan kerja laboratorium kesehatan hewan (laboratorium network) yang baku perlu disusun agar dapat diperoleh sistem diagnosa yang memenuhi prosedur operasional standar antar laboratorium kesehatan hewan (pemerintah dan swasta) sehingga dapat dirancang dan diciptakan laboratorium unggulan bagi setiap laboratorium kesehatan hewan di masing-masing wilayah serta program standarisasi dan akreditasi laboratorium dan pelayanan kesehatan hewan.

19

(3) Surveilans dan Monitoring

Kebijakan surveilans ini dilakukan agar kegiatan surveilans (aktif dan pasif) dapat dilakukan secara baik, benar dan teratur yang melibatkan semua stakeholder bersama masyarakat untuk mengetahui status kesehatan hewan. Hal ini diperlukan untuk dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk sistem peringatan dini (early warning system) dan mencegah peningkatan intensitas kasus dan penyebaran serta meluasnya penyakit di suatu wilayah yang berpedoman kepada suatu pedoman surveilans penyakit hewan yang baku. Adapun monitoring yang merupakan rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mendeteksi perubahan penyakit dengan menggunakan parameter epidemiologi perlu lebih diprogramkan secara sistematis dan terencana. Tujuan spesifik dari surveilans dan monitoring antara lain adalah untuk memperkirakan aras dan intensitas penyakit (prevalensi/insidensi), mendeteksi penyakit yang baru muncul, mendeteksi letupan (wabah) penyakit dan untuk meyakinkan keberadaan penyakit dalam populasi.

(4) Sistem Informasi Kesehatan Hewan

(a) Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (SIKHNAS)

Penyediaan data dan informasi penyakit hewan sangat penting terutama dalam memfasilitasi penentuan kebijakan pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan serta perdagangan hewan/produk hewan. Kebijakan yang dilaksanakan adalah mengembangkan dan menyempurnakan secara terus menerus sistem informasi sesuai perkembangan IPTEK agar informasi penyakit hewan dapat dilaporkan dari lapangan sampai di pusat secara on-line system dengan transfer data elektronik (Electronic Data Transfer). Dengan demikian maka analisis terhadap data dapat segera dilakukan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan.

(b) Sistem Informasi Laboratorium (INFOLAB)

Hasil pengamatan dan diagnosa dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesehatan Hewan diinformasikan melalui INFOLAB yang diperbarui datanya setiap bulan. Informasi data penyakit hewan ditingkat propinsi dan kabupaten/kota melalui SIKHNAS yang juga diperbarui setiap bulan. Pelaporan kejadian penyakit melalui sistem SMS gateway oleh PDSR diperbarui setiap hari. Dalam rangka memberikan informasi yang meliputi berita terbaru kejadian penyakit, kegiatan kesehatan hewan, tata cara dan persyaratan pemasukan dan pengeluaran hewan dan produk asal hewan, regulasi dibidang kesehatan hewan, media interaktif, dll kepada pihak terkait dan masyarakat maka dikembangkan website Direktorat Kesehatan Hewan.

(5) Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner

Untuk mengetahui dampak penyakit hewan diperlukan perhitungan secara ekonomi (ekonomi veteriner). Hal ini sangat diperlukan untuk

20

mengetahui kerugian ekonomi akibat penyakit hewan langsung (kematian ternak, penurunan produktifitas, bahaya zoonosis) maupun tidak langsung (kehilangan pekerjaan, pendapatan menurun, dampak psikis, dampak pariwisata). Berdasarkan hasil analisa tersebut, dapat dijadikan bahan perencanaan atau penyusunan kegiatan dan anggaran mendatang.

b. Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan

(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pencegahan, pemberantasan dan/atau pengobatan penyakit hewan. Pengendalian dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisir di daerah atau di pusat untuk mengurangi kejadian (incidence) atau kerugian suatu penyakit sampai pada tingkat terkendali atau tidak mempunyai dampak yang serius terhadap kestabilan kesehatan hewan dan masyarakat. Sedangkan pemberantasan dimaksudkan sebagai suatu usaha yang terorganisirr untuk menghilangkan atau mengeliminasi suatu penyakit pada suatu daerah tertentu sampai tidak terjadi lagi.

(2) Kebijakan yang dilaksanakan dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular adalah dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai penyakit hewan menular strategis, yaitu penyakit hewan yang berdampak kerugian ekonomi luas/tinggi oleh karena bersifat menular, menyebar cepat serta berakibat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (memiliki eksternalitas tinggi) atau berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.

(3) Kebijakan operasional yang dilaksanakan dalam penanggulangan wabah penyakit hewan menular yang merupakan penyakit dadakan (emergency) dari semua jenis penyakit hewan menular (infeksius) eksotis maupun endemis yang dapat terjadi kapan dan dimana saja yang dampaknya secara luas berskala nasional, regional atau lintas propinsi adalah pemerintah bersama pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kebupaten/kota mengalokasikan dana yang memadai untuk pengamanan, pemberantasan dan pengobatan hewan..

Oleh karena itu dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis terdapat 5 (lima) jenis penyakit yang perlu mendapatkan prioritas yakni 1). Penyakit keluron menular (Brucellosis) pada sapi potong dan sapi perah dan 2).Penyakit radang limpa (Anthrax) pada ruminansia, 3). Penyakit kolera pada babi (Hog Cholera/Clasical Swine Fever), 4).Penyakit influensa pada unggas (Avian Influenza), dan 5). Penyakit anjing gila (Rabies). Penyakit-penyakit tersebut sering berubah sifat dari situasi yang endemik di suatu daerah menjadi mewabah dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.

(4) Penanganan penyakit-penyakit strategis mendapatkan prioritas baik yang sifatnya endemis maupun sporadis menjadi tugas pemerintah Propinsi bersama pemerintah kabupaten/kota untuk pengendaliannya, termasuk epidemi lintas kabupaten/kota atau lokal dalam kabupaten/kota.

21

Pemberantasan penyakit hewan skala nasional ditujukan untuk mengamankan kepentingan usaha budidaya peternakan yang dampaknya bukan hanya dirasakan oleh daerah, akan tetapi lebih luas lagi yang akan mempengaruhi pembangunan peternakan nasional atau kesehatan masyarakat.

c. Perlindungan Hewan

Kebijaksanaan operasional perlindungan hewan meliputi pengamanan Negara Indonesia terhadap penyakit hewan eksotik, pengamanan pengeluaran hewan dari Negara Indonesia dan peningkatan kesiagaan terhadap penyakit hewan eksotik dengan strategi mencakup:

(1) Pengamanan terhadap Penyakit Hewan Eksotik dan Penyakit Hewan Menular dari Luar Negeri

(a) Penyakit eksotik yaitu penyakit hewan yang belum pernah ditemukan di Indonesia atau penyakit yang pernah ada, tetapi telah lama tidak ditemukan kembali. Penyakit eksotik yang perlu diwaspadai adalah yang memiliki kriteria: berbahaya secara luas (internasional), misalnya Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), penyakit yang telah menyerang/ada di Negara tetangga misalnya penyakit Nipah, penyakit Hendra, Japanese Encephalitis dan Ebola; penyakit yang mampu menimbulkan kerugian ekonomi yang besar dan diperkirakan mampu menimbulkan dampak politik, sosial, dan budaya misalnya PMK; Pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik perlu lebih ditingkatkan tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap penyakit hewan yang baru muncul yang disebut Emerging Animal Disease atau re- Emerging Animal Disease.

(b) Pengamanan penyakit hewan menular yang berasal dari luar negeri merupakan tanggung jawab pemerintah pusat yang dilaksanakan melalui penerapan kebijakan yang mampu mencegah dan menangkal setiap ancaman pemasukan penyakit hewan dari luar negeri, yang dilakukan secara tegas dan konsisten dengan menerapkan standar kesehatan hewan yang ketat dalam pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan tanpa mengesampingkan kepada ketentuan yang tercantum di dalam Terrestrial Animal Health Code-OIE.

(c) Langkah-langkah pengamanan terhadap penyakit hewan eksotik dan penyakit hewan menular dari luar negeri, dilakukan melalui kebijakan pengamanan pemasukan hewan dan produk hewan dengan berpedoman kepada status kesehatan hewan dan perkembangan situasi epidemiologi penyakit hewan dari suatu negara yang dinyatakan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), persyaratan pemasukan hewan dan produk hewan serta kajian analisa risiko berdasarkan tingkat perlindungan yang tepat terhadap tindakan Sanitary dan Phytosanitary (SPS) dalam rangka melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan di wilayahnya (Appropriate Level Of Protection/ALOP).

(d) Pengamanan penyakit hewan dari luar negeri, juga dilakukan melalui kerjasama bilateral dan/atau multilateral dalam bidang kesehatan hewan

22

antara lain harmonisasi SPS, peningkatan capacity building, working group meeting dan lain-lain.

(2) Pengamanan Pengeluaran/eksportasi Hewan dan bahan biologis

Dalam upaya ikut mewujudkan kesehatan dunia (one health) diperlukan langkah-langkah kebijakan pengamanan terhadap pengeluaran hewan dan bahan biologis ke luar negeri dengan berpedoman kepada persyaratan pengeluaran hewan dan bahan biologis serta mempertimbangkan kelestarian sumberdaya genetik hewan. Prosedur baku dan tatacara untuk pengeluaran hewan dan bahan biologis mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku.

(3) Meningkatkan Kesiagaan Darurat Penyakit Eksotik

Peningkatan kewaspadaan terhadap potensi ancaman penyakit dan tindakan antisipatif dalam menghadapi wabah penyakit eksotik melalui program kesiagaan darurat veteriner Indonesia (KIATVETINDO).

d. Pengawasan Obat Hewan

(1) Pada prinsipnya pembinaan terhadap usaha dan pengawasan obat hewan dilaksanakan oleh pemerintah pusat oleh karena jangkauan operasional pelayanan yang sifatnya nasional dan internasional, perlunya pola pembinaan yang seragam secara nasional serta terkait erat dengan bahaya yang timbul dan mengancam keselamatan masyarakat umum akibat efek samping dari pemakaian obat hewan.

(2) Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pengawasan obat hewan dan menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatur dan mengawasinya mencakup pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan pembuatan, penyediaan, peredaran serta pemakaian obat hewan.

(3) Dengan semakin berkembangnya usaha peternakan yang dikelola secara intensif khususnya untuk keperluan ekspor, menuntut tersedianya obat hewan yang berkualitas prima yang dalam proses produksinya telah menerapakan sistem standarisasi akreditasi dan sertifikasi mutu.

e. Pelayanan Kesehatan Hewan

(1) Di bidang pelayanan kesehatan hewan yang sifatnya lebih merupakan public goods seperti surveilans, pelayanan laboratorium dan unit pelayanan teknis pelayanan kesehatan dilakukan pemberdayaan sarana, prasarana serta sumberdaya manusia yang tersedia dengan masih mempertimbangkan campur tangan pemerintah (public intervention).

Oleh karena itu rasionalisasi harus terus dilaksanakan terutama yang diarahkan untuk memberdayakan sarana, prasarana pelayanan kesehatan hewan dan sumberdaya manusia yang dimiliki pemerintah baik itu Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) maupun laboratorium kesehatan hewan

23

(labkeswan). Untuk pelayanan kesehatan hewan yang memiliki nilai private goods diarahkan menuju kepada swastanisasi/privatisasi dengan mengoptimalkan swadaya masyarakat.

(2) Untuk itu pemerintah perlu melakukan langkah-langkah kegiatan yang mendorong pengelola prasarana tersebut untuk mampu mengatur diri sendiri, mandiri dan mendapatkan pengakuan terhadap keberadaannya di tengah masyarakat yang memerlukan. Prinsip untuk mendorong kearah kemandirian dilakukan dengan menerapkan prinsip manajemen yang mampu menjadikan unit pelayanan kesehatan hewan profesional..

(3) Pemberdayaan prasarana pelayanan kesehatan hewan tersebut dalam jangka panjang diarahkan kepada swastanisasi (privatisasi) yang dalam pelaksanaannya swastanisasi/privatisasi pelayanan kesehatan hewan lebih bersifat sebagai evolusi daripada revolusi yang harus dilaksanakan secara bertahap, sistematis dan terencana.

Proses menuju swastanisasi tersebut harus memperhatikan beberapa faktor yang akan mempengaruhi besarnya keuntungan yang diperoleh dari jasa pelayanan seperti skala usaha peternakan di wilayah yang dilayani, potensi atau kejadian penyakit yang sebenarnya dan jenis hewan yang dipelihara dalam sistem produksi.

(4) Pemberdayaan jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner dilaksanakan melalui langkah-langkah operasional antara lain dengan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan fungsional medik dan paramedik veteriner secara berjenjang dan berkelanjutan yang pelaksanaanya bekerjasama dengan pemerintah daerah, pengoptimalan pengangkatan tenaga fungsional sesuai kebutuhan dan formasi di masing-masing daerah, pembentukan tim penilai pejabat fungsional di daerah serta kebijakan operasional lainnya.

(5) Mengingat di era globalisasi ini informasi sangat vital dan dibutuhkan oleh masyarakat serta kinerja pemerintah di masa mendatang menjadi sorotan publik, maka terus diupayakan pengembangan media informasi di bidang kesehatan hewan melalui pengembangan website yang dapat diakses (on-line) oleh seluruh stake holder dan jenis-jenis media informasi lainnya.

f. Analisis Kesenjangan/Gap Analysis PVS (Performance of Veterinary Service)

Tujuh kesenjangan utama dan strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan layanan veteriner Indonesia mencakup :

(1) Kemampuan Koordinasi Veteriner

Isu-isu kelembagaan menciptakan kesenjangan dalam koordinasi horizontal sehingga terjadi fragmentasi dalam Kementerian Pertanian serta tidak adannya jalur kewenangan vertikal yang memadai karena adanya otonomi daerah sehingga rantai komando berbentuk garis putus-putus dalam layanan

24

veteriner. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi yang lebih baik untuk memastikan bahwa sistem veteriner secara konsisten dan sistematis berjalan sesuai yang diharapkan.

(2) Implementasi Peraturan Veteriner

Fokus utama dalam mengembangkan peraturan baru di bidang veteriner pada beberapa tahun belakangan telah berujung pada dirampungkannya Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang memberikan landasan hukum yang kokoh untuk memperkuat layanan veteriner. Kini fokus tersebut perlu dialihkan pada penyusunan peraturan pendukung dan peraturan pelaksana seperti peraturan tentang sistem kesehatan hewan, peraturan yang mewajibkan pembentukan otoritas veteriner dan diterapkannya aspek-aspek peraturan kesehatan hewan nasional di tingkat provinsi dan kabupaten.

(3) Manajemen dan Perencanaan Strategis

Rencana strategis yang luas dan holistik serta konsultatif yang mengkaji dan mengkoordinasikan instansi dan fungsi terkait dapat menjadi pedoman bagi penyusunan dan implementasi peraturan baru. Implementasi layanan veteriner secara nasional melalui rencana “induk” seperti ini seharusnya mendapat masukan luas dari berbagai tingkat pemerintah dan pemangku kepentingan, dan sebisa mungkin ditandatangani oleh pejabat pada posisi tertinggi guna memastikan adanya dukungan kelembagaan yang terintegrasi yang akan dapat membantu menyelesaikan kesulitan yang telah diidentifikasi.

(4) Koordinasi Nasional Layanan Laboratorium Kesehatan Hewan

Banyaknya jumlah layanan laboratorium dengan tata kelola yang terkotak-kotakkan serta kurangnya kejelasan peran dan tanggungjawab mengakibatkan munculnya risiko terhadap efektifitas dan efisiensi. Terlalu banyaknya laboratorium dengan peran kesehatan hewan, karantina, kesehatan masyarakat veteriner dan obat-obatan hewan yang semuanya berada pada tingkat yang berbeda-beda dan peningkatan efisiensi seharusnya dapat dilakukan melalui rasionalisasi fungsi.

(5) Pendekatan Berbasis Analisa Risiko

Saat ini terdapat kesenjangan dan inkonsistensi dalam kebijakan dan prosedur layanan veteriner akibat tidak memadainya penerapan pendekatan berbasis risiko secara ilmiah dalam pengambilan keputusan terkait impor, pengendalian penyakit. Prosedur kajian analisa risiko, teknis pengendalian penyakit dan kebijakan karantina serta program dan perencanaan perlu dikaji secara menyeluruh oleh ahli untuk melihat apakah hal-hal tersebut telah didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang mantap.

25

(6) Isu Kebijakan Publik/Swasta

Pemerintah selayaknya mempertimbangkan bagaimana pemerintah dapat memainkan peran dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan sektor paraprofesional veteriner dan dokter hewan swasta untuk memperluas cakupan praktek swasta yang saat ini umumnya terbatas hanya untuk menangani hewan kecil, koperasi susu dan sektor peternakan unggas intensif.

(7) Pendidikan dan Pelatihan Teknis

Pendidikan membutuhkan adanya penguatan melalui penyelarasan kurikulum dan standar pelatihan veteriner dan paraprofesional veteriner yang lebih baik di kesepuluh fakultas kedokteran hewan dan berbagai tempat pelatihan paraprofesional veteriner. Pelatihan teknis terapan yang direncanakan dengan seksama dan dilaksanakan secara nasional menjadi persyaratan yang harus terus dipenuhi.

D. Arah Kebijakan dan Strategi Pengembangan Unit Satuan Kerja/UPT lingkup Direktorat Kesehatan Hewan

1. Penyidikan dan Pengujian Veteriner

Pada saat ini jumlah Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) yang tersebar di Indonesia sebanyak 5 (lima) buah dan Balai Besar Veteriner (BBVet) sebanyak 3 (tiga) buah dengan wilayah kerja setiap BPPV dan BBVet mencakup 3-6 propinsi. Untuk BPPV/BBVet dengan wilayah lebih dari 3 propinsi, tugas ini dirasakan cukup berat karena menyangkut medan yang luas, variasi status kesehatan hewan yang berbeda dan permasalahan yang kompleks. Untuk mengurangi beban kerja yang berat dan efektifitas pelayanan, dipandang perlu pembangunan 2 (dua) unit BPPV baru.

Utuk wilayah timur Indonesia, diperlukan penambahan BPPV baru karena terjadi pemekaran propinsi di Irian Jaya, sehingga wilayah kerja BBVet Maros diarahkan mencakup pulau Sulawesi saja dan wilayah kerja BPPV baru mencakup Papua dan Maluku. Dengan demikian jumlah BPPV di Indonesia diharapkan akan bertambah dari 5 unit menjadi 7 unit. Sedangkan BBVet dijadikan sebagai laboratorium rujukan.

Dalam rangka itu perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Penerbitan peraturan Menteri Pertanian tentang ruang lingkup dan wilayah kerja BPPV/BBVet.

b. Memfasilitasi pembangunan BPPV. c. Meningkatkan peran BPPV/BBVet dalam Pelayanan Veteriner Nasional.

2. Penyediaan vaksin dan antigen di Indonesia

Pembinaan PUSVETMA sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas untuk penyediaan sediaan biologik perlu terus ditingkatkan dalam rangka menghadapi tantangan di era pasar global. Upaya pengembangan PUSVETMA yang merupakan asset nasional diarahkan menuju industri obat hewan modern yang berdaya saing dipasar global.

26

Dalam rangka pembinaan telah dilakukan evaluasi teknis terhadap kinerja UPT tersebut pada saat ini dan beberapa hal yang perlu ditindak lanjuti dalam upaya pengembangan PUSVETMA kedepan sebagai berikut:

a. Produksi Vaksin Avian Influenza (Afluvet). Peningkatan kualitas produksi vaksin Afluvet sesuai dengan standar internasional terutama formulasi bentuk sediaan emulsi air dalam minyak yang stabil (tidak pecah emulsinya) dalam proses produksi vaksin AI.

b. Peningkatan peran pada Bidang Peningkatan Mutu dan Pengembangan Produksi (PMPP) antara lain berupa upaya perbaikan seed virus/bakteri untuk produksi vaksin melalui penelitian perbaikan kualitas vaksin yang telah beredar. Bidang PMPP ini kedepan dalam era pasar global diharapkan dapat mempunyai akses informasi IPTEK di bidang produksi vaksin.

c. Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pelatihan dalam dan luar negeri terutama metoda diagnosa penyakit eksotik. Disamping itu diperlukan penambahan jumlah SDM khususnya dokter hewan yang sesuai dengan kebutuhan.

d. Mendorong produksi vaksin Jembrana secara massal dengan teknologi produksi yang mutakhir.

e. Peningkatan kemampuan peralatan dalam melakukan diagnosa dan identifikasi terhadap agen suatu penyakit antara lain Polymerase Chain Reaction/PCR.

f. Peneltian lanjutan terhadap efek samping post vaksinasi Anthrax berupa “shock anaphylactic” pada kambing dan domba .

g. Pembinaan PUSVETMA sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bertugas untuk penyediaan sediaan biologik perlu terus ditingkatkan dalam rangka menghadapi tantangan di era pasar global.

3. Penjaminan Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan

Peningkatan kinerja BBPMSOH ditindaklanjuti dengan upaya untuk mendorong UPT tersebut secara bertahap baik infrastruktur, teknologi maupun SDM seiring dengan pengakuan BBPMSOH sebagai laboratorium acuan pengujian vaksin hewan di tingkat ASEAN. Dimasa mendatang BBPMSOH harus mampu menjawab permintaan pasar global dalam penyediaan jasa pengujan mutu obat hewan antara lain pengujian mutu terhadap sediaan biologik termasuk sediaan vaksin rekombinan.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

a. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) melalui training baik di dalam maupun luar negeri di bidang pengujian mutu.

b. Meningkatkan kemampuan teknologi peralatan yang digunakan untuk pengujian mutu.

c. Mempromosikan BBPMSOH di pertemuan internasional baik di lingkup regional ASEAN maupun internasional lain.

d. Membuat brosur, vademikum berupa company profile dalam bahasa Indonesia dan Inggris.

e. Mempertahankan sebagai laboratorium terakreditasi baik tingkat nasional maupun internasional.

27

BAB IV

PROGRAM DAN KEGIATAN

A. Landasan Umum Program

Era reformasi membutuhkan keterbukaan dalam melaksanakan pembangunan yang didukung oleh pemerintahan yang bersih dan berkinerja baik (good governance and clean government). Fungsi pemerintah saat ini dalam program pembangunan nasional secara umum diposisikan sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator, bukan hanya sebagai penentu pembangunan seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya.

Perubahan paradigma pembangunan nasional ini, menuntut pemerintah untuk menyadari dan merubah perannya bukan sebagai satu-satunya penentu kebijakan pembangunan, namun hanya sebagai salah satu stake holder pembangunan. Perencanaan program pembangunan mengacu kepada aspirasi masyarakat dalam arti luas sehingga bersifat buttom-up planning, kemudian pemerintah memfasilitasi dan memberlakukan peraturan-peraturan yang tepat untuk menunjang pembangunan kesehatan hewan dari suatu wilayah tertentu.

B. Pendekatan Program

1. Sejalan dengan semangat otonomi yang tercermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menempatkan pemerintah daerah (kabupaten/kota) sebagai pelaksana pembangunan di wilayahnya dan propinsi melakukan koordinasi berbagai kegiatan pembangunan lintas kabupaten/kota, maka proses perencanaan program dekonsentrasi pembangunan peternakan umumnya dan kesehatan hewan khususnya dilakukan dengan pendekatan buttom-up planning, namun tetap terkontrol mengacu kepada strategi program pembangunan nasional yang bersifat top-down policy.

2. Untuk dapat mewujudkan sasaran program pembangunan kesehatan hewan nasional yang dilaksanakan melalui program pembangunan kesehatan hewan di daerah, maka perencanaan kegiatan di daerah harus disusun dengan mengacu pada sasaran yang jelas dan terukur terutama yang mencakup lokasi, waktu, kelompok sasaran dan manfaat bagi kelompok sasaran.

3. Pengawasan pembangunan dari dominasi pemerintah kearah peran kontrol masyarakat yang mengikat, yang menuntut transparansi, keterbukaan dan kejujuran dengan mengacu pada rencana yang disertai indikator masukan, output dan dampak yang jelas sehingga dapat diukur dan dipertanggung jawabkan secara publik.

4. Fungsi pelayanan pemerintah dilaksanakan secara terpadu oleh semua pihak terkait, baik lintas unit kerja maupun sub sektor. Setiap institusi yang berperan memfungsikan berbagai subsistem kesehatan hewan, termasuk subsistem penunjangnya secara proporsional, sehingga memberikan kontribusi dan membangun sinergi bagi berfungsinya sistem kesehatan hewan nasional secara utuh.

28

C. Pelaksanaan Program

1. Dengan mempelajari pengalaman masa lalu, berberapa perencanaan yang sudah menjadi program kesehatan hewan nasional maupun daerah sering tidak dapat dilaksanakan dengan konsekuen, oleh karena itu implementasi setiap program perlu memperoleh kajian lebih mendalam agar program-program pembangunan kesehatan hewan yang sudah ditetapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan pembangunan. Lemahnya pelaksanaan terhadap kebijaksanaan dan peraturan atau perundang-undangan (law enforcement) dalam kegiatan peternakan di masa lalu menjadi faktor penghambat utama dalam kegiatan peternakan nasional.

2. Program kesehatan hewan dirancang dengan mencermati posisinya yang sangat strategis, oleh karena fungsinya yang sangat erat sebagai pendukung dalam mewujudkan masyarakat sehat yang berwawasan lingkungan. Penetapan strateginya disesuaikan dan dengan memperhatikan perubahan kondisi lingkungan strategis baik internasional (global), nasional maupun regional yaitu : a. Pengaruh berbagai masalah kesehatan hewan yang terjadi di luar negeri akhir-akhir

ini seperti wabah Avian Influenza di kawasan benua Asia, wabah Nipah beberapa tahun lalu di Malaysia, masih belum bebasnya Malaysia dan Philipina terhadap PMK telah memberikan isyarat bagi jajaran kesehatan hewan di Indonesia bahwa strategi penolakan/pelarangan atau pemberian syarat-syarat khusus perlu dilakukan terhadap importasi hewan, bahan asal hewan dan hasil bahan asal hewan dari negara-negara tersebut.

b. Semakin banyaknya tawaran untuk melakukan importasi daging dari negara-negara seperti India, Argentina, Brazilia atau negara lain menyebabkan Indonesia perlu melakukan strategi peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit eksotik.

c. Timbulnya berbagai letupan kejadian penyakit hewan menular yang sering mewabah seperti Rabies, Anthrax, Septichaemia Epizootica dan yang terakhir Avian Influenza di Indonesia sebagai akibat dari perubahan alam seperti pengaruh iklim/cuaca, bencana banjir dan bencana lainnya.

d. Derasnya lalu lintas niaga dan transportasi terutama jalan darat dan laut antar daerah di Indonesia memberikan dampak kepada terbukanya kemungkinan yang lebih besar penyebaran penyakit hewan menular dari satu daerah/pulau ke daerah/pulau lain.

D. Jenis Program

Esensi Program pembangunan kesehatan hewan adalah pengembangan kesehatan hewan sebagai bagian dari pembangunan pertanian melalui pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat, bagian dari kesehatan masyarakat melalui pencegahan penyakit zoonosis dan bagian dari kesehatan lingkungan melalui kelestarian hewan dan lingkungannya.

Sebagai bagian dari program utama pembangunan peternakan yaitu Program Swasembada Daging Sapi/Kerbau Tahun 2014, maka Subprogram Pembangunan Kesehatan Hewan Tahun 2015-2019 adalah :

1. Perlindungan Hewan terhadap Ancaman Penyakit Hewan Eksotik dan Penyakit Hewan Menular dari Luar Negeri

29

a. Perlindungan terhadap Penyakit Hewan Eksotik dan Penyakit Hewan Menular dari Luar Negeri

Dalam rangka melindungi hewan dan sumberdaya hewan di Indonesia, diperlukan adanya program pengaturan pemasukan dan pengeluaran hewan, bahan biologis, dan bahan pakan asal hewan dari dan ke luar negeri melalui kegiatan :

(1) Penguatan perundang-undangan

(a) Penyusunan Permentan Importasi Hewan (b) Penyusunan Permentan Pemasukan Bahan Pakan (c) Penyusunan Permentan Pemasukan Hewan Penular Rabies (d) Penyusunan Permentan Pemasukan Hewan dan produk hewan terkait

PMK dan penyakit hewan menular lainnya.

(2) Analisa Risiko Importasi

(a) Analisa Risiko pemasukan hewan dan bahan pakan asal hewan dari luar negeri.

(b) Peningkatan sumber daya manusia di bidang analisa risiko. (c) Sosialisasi hasil kajian analisa risiko kepada stakeholder (risk communication). (d) Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Importasi Hewan. (e) Penilaian Persetujuan Pemasukan Hewan dan Bahan Pakan Asal Hewan

b. Harmonisasi persyaratan kesehatan hewan (Sanitary and Phytosanitary/SPS)

(1) Onsite Review Peternakan dan Perusahaan Produksi Bahan Pakan Asal Hewan

Untuk mencegah pemasukan penyakit eksotik dan penyakit hewan menular melalui pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan maka diperlukan penilaian status kesehatan hewan negara pengekspor yang dilakukan melalui document review, onsite review, analisa risiko dan harmonisasi health protocol, sebelum kebijakan pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan, diputuskan.

Prinsip onsite review adalah membuktikan kesesuaian antara informasi yang diberikan oleh negara pengekspor berkaitan dengan sistem kesehatan hewan yang tertuang di dalam aplication form/questioner dengan keadaan yang sesungguhnya di negara asal serta untuk menggali lebih dalam tentang identifikasi risiko, jalur-jalur risiko (risk pathway) yang diperlukan di dalam pelaksanaan kajian analisa risiko, mengidentifikasi manajemen risiko hingga terwujud perlindungan hewan terhadap penyakit hewan eksotik, perlindungan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.

Dari hasil analisa risiko ini selanjutnya disusun rekomendasi terkait kebijakan pemasukan/importasi hewan dan bahan pakan asal hewan. Apabila terdapat ketidaksesuaian antara hasil onsite review dengan questioner yang telah diisi negara asal serta persyaratan negara Indonesia maka keadaan tersebut perlu disampaikan untuk diperbaiki oleh negara asal, yang dilanjutkan dengan tindakan harmonisasi health protocol.

30

(2) Kaji ulang Health Protocol

Perundingan “Putaran Uruguay” berakhir dengan Perjanjian Umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko. Prinsipnya, setiap negara tidak diperkenankan memberikan perlakuan diskriminatif terhadap produk impor yang berasal dari negara lain.

Selain itu, terdapat pula perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dengan prinsip yang disepakati bahwa dalam pelaksanaan tindak SPS suatu negara, harus mengacu pada standar, pedoman dan rekomendasi internasional. Untuk itu, Health Protocol kemudian menjadi salah satu sarana untuk memproteksi suatu negara terhadap masuknya penyakit hewan menular dan atau penyakit eksotik dalam menghadapi era perdagangan bebas.

Berkaitan dengan hal tersebut maka Health Protocol secara periodik perlu dikaji ulang, disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan hewan, perkembangan kebijakan/aturan perdagangan internasional, dengan tetap mengacu kepada kajian analisa risiko.

(3) Pertemuan bilateral harmonisasi persyaratan kesehatan hewan dengan berbagai negara dilakukan dengan membentuk forum pertemuan khusus antara lain kerjasama Indonesia-Australia melalui Working Group Agricultural Forestry Commitee (WGAFFC), kerjasama Indonesia-Thailand melalui Joint Agriculture Working Group (JAWG) dan kerjasama dengan Malaysia, Singapura, Belanda, New Zealand, Mesir dll.

(4) Pertemuan regional harmonisasi persyaratan kesehatan hewan tingkat ASEAN melalui ASEAN Working Group Livestock (ASWGL) dan South East Asia and China for FMD (SEACFMD); Quadripartite : Indonesia, Australia, Papua New Guinea, Timor Leste; dan Tripartite : Indonesia, Singapura, USA.

(5) Pertemuan-pertemuan yang lain diantaranya Good Animal Husbandry Practise/GAHP yaitu pelaksanaan cara berternak yang baik tingkat ASEAN, Pertemuan SPS-WTO dan OIE serta

(6) Koordinasi Penerapan Health Protocol

Kegiatan ini dilakukan melalui koordinasi dengan Pusat Karantina Hewan dan UPT Karantina Pertanian atas kesesuaian antara Health Protocol dengan sertifikat kesehatan hewan yang diterbitkan oleh negara asal dan pelaksanaan tindak karantina di pintu masuk/daerah tujuan.

c. Monitoring penggunaan bahan baku pakan asal hewan Kegiatan monitoring penggunaan bahan baku pakan asal hewan terutama asal ruminansia dilakukan dengan tujuan: (1) agar bahan pakan tidak masuk ke dalam rantai pakan ruminansia;

31

(2) mengetahui kesesuaian surat persetujuan pemasukan dengan realisasi pemasukan dan penggunaannya sebagai bahan baku pakan asal hewan pada pabrik pakan.

d. Pengamanan terhadap Penyakit Eksotik

Fokus pengamanan terhadap penyakit eksotik dilaksanakan bagi penyakit yang tidak ditemukan di Indonesia serta penyakit yang telah ada di Indonesia tetapi memiliki subtipe berbeda serta penyakit yang pernah ada tetapi sekarang tidak ditemui lagi (re-emerging disease). Dalam program pengamanan terhadap penyakit eksotik kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Mengadakan Pertemuan Emergency Center

Pertemuan ini diselenggarakan untuk menetapkan kebijakan terkait permasalahan pemasukan hewan, bahan biologis dan bahan pakan asal hewan, berdasarkan pada status kesehatan hewan negara asal yang tercantum dalam database OIE (World Animal Health Information Database/WAHID). Pertemuan ini merupakan pertemuan lintas Direktorat terkait dan Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani. Apabila kebijakan tidak dapat diputuskan di dalam pertemuan ini maka selanjutnya permasalahan akan di bawa ke Rapat Komisi Ahli Kesehatan Hewan.

(1) Pemantauan situasi penyakit hewan menular di dunia dilakukan dengan

memanfaatkan sumber informasi yang tersedia meliputi situs resmi OIE, FAO (EMPRES), WHO, situs resmi veterinary authority negara asing dan menjalin komunikasi dengan veterinary authority dan perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri.

(2) Penyusunan dan pencetakan materi public awareness penyakit eksotik dalam bentuk audiovisual, audio dan visual.

(3) Partisipasi pada OIE SEACFMD dan organisasi internasional lain dalam pengendalian penyakit hewan lintas batas negara.

(4) Pertemuan stake holder secara berkala untuk pembentukan dan pembinaan Masyarakat Kesehatan Hewan Indonesia dan cost sharing dalam rangka integrasi sektor swasta dalam rangka kewaspadaan terhadap penyakit eksotik.

e. Pengamanan Pengeluaran Hewan dari Indonesia

Program ini dilaksanakan untuk memfasilitasi perdagangan hewan dan produk hewan dari Indonesia ke luar negeri sesuai dengan ketentuan dalam perdagangan internasional.

Kegiatan yang dilakukan meliputi :

(1) Penilaian Biosekuriti Peternakan Orientasi Ekspor

Dalam mendukung ekspor komoditi peternakan maka perlu dilakukan pembinaan teknis yang menyangkut persyaratan biosekuriti dan manajemen kesehatan hewan sebagai upaya pemenuhan persyaratan teknis kesehatan hewan dalam perdagangan internasional, yang menganut azas layak telusur (traceability). Pemenuhan persyaratan teknis sesuai dengan ketentuan yang

32

berlaku ditetapkan dengan pemberian nomor kode (Establishment Number) pada perusahaan peternakan ekspor dan nomor kode kesehatan farm (Export Farm Establishment Number).

(2) Penyusunan pedoman manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti peternakan (Good Animal Husbandry Practises) yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembinaan kepada perusahaan peternakan.

(3) Joint border Inspection

Merupakan pengawasan bersama terhadap kesehatan hewan yang akan diekspor sebagai penjaminan atas keamanan produk yang diekspor atas penyakit hewan menular atau zoonosis atau terhadap kesehatan hewan di wilayah perbatasan.

2. Kesiagaan terhadap pemasukan penyakit eksotik

a. Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (KIATVETINDO)

Untuk kewaspadaan terhadap potensi ancaman penyakit dari luar negeri diperlukan upaya antisipatif dalam menghadapi timbulnya wabah penyakit hewan yang sebelumnya merupakan penyakit eksotik. Hal tersebut memerlukan kegiatan sebagai berikut:

(1) Penyusunan Pedoman Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia (KIATVETINDO)

Secara bertahap diprogramkan kegiatan penyusunan pedoman kesiagaan darurat Veteriner Indonesia terhadap penyakit eksotik disamping penyempurnaan KIATVETINDO yang telah tersedia.

(2) Simulasi Kesiagaan Darurat Veteriner Indonesia

Sosialisasi Kesiagaan Darurat Veteriner dilaksanakan melalui kegiatan Simulasi terhadap penyakit eksotik yang paling beresiko dan mempunyai peluang yang paling besar masuk ke wilayah negara Republik Indonesia. Target sosialisasi adalah seluruh pengambil kebijakan di bidang kesehatan hewan pada pemerintah pusat dan daerah hingga petugas kesehatan hewan di tingkat lapang serta stakeholder dan institusi yang terkait.

(3) Sosialisasi Kesiagaan Darurat Veteriner.

Sosialisasi dilakukan dengan melibatkan otoritas kesehatan hewan pusat dan daerah serta stake holder.

(4) Pertemuan Koordinasi Pengawasan Penyakit Eksotik

Pertemuan ini selain bertujuan untuk mengkoordinasikan kegiatan pengawasan terhadap penyakit eksotik, juga merupakan salah satu bentuk sosialisasi otoritas kesehatan hewan pusat kepada otoritas kesehatan hewan daerah serta

33

penentuan kegiatan dan langkah-langkah yang diperlukan di dalam pengawasan penyakit eksotik dengan laboratorium-laboratorium diagnostik Regional dan Balai Besar Penelitian Veteriner serta Universitas.

b. Surveilans Penyakit Eksotik

(1) Surveilans PMK di daerah perbatasan dan bekas kantong penyakit oleh BBVet/BPPV dan Pusvetma setiap tahun.

(2) Surveilans BSE di RPH dan peternakan sapi perah oleh seluruh BBV/BPPV Regional.

(3) Surveilans Penyakit Nipah pada perusahaan peternakan babi dan rakyat oleh seluruh BBVet dan BPPV Regional khususnya di daerah perbatasan dengan semenanjung Malaysia.

(4) Surveilans Penyakit Johne’s Disease (Paratubercullosis) pada perusahaan peternakan dan perbibitan Sapi dan peternakan rakyat oleh seluruh BBVet dan BPPV Regional.

(5) Surveilans Penyakit Hendra oleh seluruh BBVet dan BPPV Regional.

2. Program Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan

Program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan dilakukan secara bertahap berdasarkan prioritas yang dikenal sebagai penyakit strategis yaitu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, memiliki eksternalitas tinggi dan berpotensi mengancam kesehatan masyarakat.

Program pengamatan-epidemiologis sangat diperlukan untuk mendukung program pengendalian atau pemberantasan melalui pelaksanaan surveilans aktif maupun pasif. Pengamatan ini untuk mengetahui tingkat kekebalan hewan sebagai hasil vaksinasi maupun pengujian sampel untuk peneguhan diagnosa, surveilans epidemiologis untuk kewaspadaan dini terhadap penyakit hewan menular eksotik seperti PMK, BSE, Nipah dan Hendra serta kajian ekonomi veteriner terhadap kerugian akibat penyakit hewan.

Oleh karena itu dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dari 13 (tigabelas) jenis penyakit strategis terdapat 5 (lima) jenis penyakit yang mendapatkan prioritas dan perhatian khusus di tingkat nasional karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yang ditimbulkan. Ke-lima jenis penyakit yang mendapatkan prioritas dan perhatian khusus tersebut adalah :

a. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis)

Program pengendalian dan pemberantasan untuk pembebasan secara bertahap dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :

(1) Mengamankan dan terus dilakukan pengamatan di wilayah BPPV Regional III Bandar Lampung untuk mempertahan tetap bebas Brucellosis.

(2) Pengamatan (surveilans) yang dilakukan oleh Balai Besar Veteriner (BBVet)/Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional II Bukittinggi, dan BPPV Regional V Banjarbaru (untuk sapi potong) dan BBVet Wates (untuk sapi perah) untuk mengetahui prevalensi penyakit di

34

setiap daerah dengan basis kabupaten/kota sehingga diperoleh gambaran tingkat intensitas penyakit tersebut dan surveilans dalam rangka pembebasan. Kajian ekonomi akan dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data penyakit di lapangan dan untuk mengetahui dampak ekonomi sehingga dapat ditetapkan alternatif metoda pengendalian dan pemberantasan berdasarkan hasil analisa keuntungan dan kerugian.

(3) Perlu dikaji kemungkinan pemberatansan Brucellosis di Pulau Jawa pada sapi

perah khususnya dan sapi potong umumnya dengan model kompartemen.

(4) Pelaksanaan pemberantasan melalui kegiatan pemotongan bersyarat (Test and Slaughter) terhadap ternak sapi potong yang menunjukkan positif dengan Complement Fixation Test (CFT). Pemerintah pusat akan terus mendorong agar pemerintah daerah dapat merencanakan dan menyediakan/menganggarkan biaya kompensasi melalui anggaran pusat (dana dekonsentrasi) dan dana daerah secara maksimal sesuai dengan jumlah ternak yang dipotong bersyarat.

(5) Memproduksi/menyediakan reagensia (MRT/RBT) untuk uji tapis

(screening test) yang diperlukan oleh Pusvetma melalui anggaran dekonsentrasi untuk mensubsidi kebutuhan daerah, sedangkan kebutuhan vaksin RB.51 untuk sapi perah akan diarahkan secara swadaya oleh koperasi sapi perah bersama peternak.

(6) Penelitian dan pengembangan dalam produksi vaksin RB.51 oleh Pusvetma

untuk mendorong Pusvetma agar dapat memproduksi vaksin Brucella RB.51 yang diperlukan untuk program pengendalian.

(7) Pelaksanaan pertemuan koordinasi pusat dan masing-masing

wilayah/daerah setiap tahun untuk melakukan konsolidasi dan akselerasi serta mengevaluasi kegiatan yang dilakukan setiap tahun

(8) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan

pengendalian dan pemberantasan Brucellosis.

b. Penyakit anjing gila (Rabies)

Dengan memperhatikan hasil-hasil yang dicapai selama kurun waktu 5 (lima) tahun yang lalu, maka program yang dilaksanakan untuk meningkatkan kegiatan pemberantasan adalah melalui kegiatan-kegiatan :

(1) Pertemuan koordinasi dalam rangka pengkajian kembali program pemberantasan rabies dengan berbasis pulau yang dilaksanakan di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi menjadi berbasis propinsi berdasarkan kajian data yang sahih dengan tanpa menunggu pembebasan per pulau. Data tersebut antara lain tentang cakupan vaksinasi dan eliminasi serta trend penurunan kasus positip rabies.

35

(2) Pelaksanaan pengawasan dalam rangka monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan pengawasan lalu lintas HPR di instalasi karantina sebagai tempat pemasukan dan pengeluaran untuk mempertahankan dan pemantapan daerah bebas (historis dan yang dibebaskan)

(3) Pelaksanaan sosialisasi/public awareness untuk meningkatkan kepedulian dan peranserta masyarakat melalui pencetakan, pengiriman leaflet, brosur, poster dan pelaksanaan sosialisasi melalui berbagai media (cetak dan elektronik).

(4) Pertemuan Tim Koordinasi (TIKOR) Rabies dan monitoring ke propinsi/kabupaten tertular untuk meningkatkan koordinasi antar instansi terkait dan mengevaluasi perkembangan pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan rabies. Pertemuan koordinasi akan dilaksanakan di semua tingkat (pusat, per pulau, propinsi, kabupaten/kota sampai kecamatan) serta peningkatan kegiatan pemantauan/monitoring dan evaluasi.

(5) Pelaksanaan gerakan vaksinasi massal untuk meningkatkan cakupan vaksinasi HPR dan eliminasi anjing liar serta penelitian sebagai upaya untuk mengganti Strychnin sebagai bahan untuk eliminasi serta menyempitkan wilayah tertular secara berjenjang mulai dari kabupaten, kecamatan dan desa sampai dicapai status nol kasus.

(6) Pelaksanaan produksi ELISA Kit untuk uji antibodi rabies oleh Pusvetma. ELISA Kit tersebut diperlukan oleh BPPV serta produksi vaksin rabies sebagai stock pusat melalui anggaran proyek Pusat Veterinaria Farma.

(7) Pelaksanaan surveilans epidemiologi rabies dan pengujian sampel terhadap dugaan rabies oleh seluruh BBVet/BPPV Regional untuk peneguhan diagnosa dan mengevaluasi tingkat kekebalan sebagai hasil kegiatan vaksinasi (pre dan post vaksinasi) serta surveilans dalam rangka program pembebasan.

c. Penyakit Kolera Babi (Hog Cholera)

Kebijaksanaan operasional dalam pelaksanaan pemberantasan penyakit ini untuk membebaskan secara bertahap adalah diutamakan pada daerah-daerah sumber bibit babi baik untuk kebutuhan daerah sendiri maupun untuk kebutuhan daerah lain di dalam negeri serta mempunyai potensi untuk ekspor sebagai babi potong

Dalam rangka pemberantasan Hog Cholera ini kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan adalah :

(a) Memproduksi vaksin di Pusvetma melalui anggaran proyek sebanyak 300 ribu dosis per tahun untuk memberikan subsidi vaksin bagi daerah yang melaksanakan program pemberantasan.

(b) Melaksanakan pengawasan di lokasi-lokasi instalasi karantina hewan khususnya daerah pengeluaran ternak babi potong dan bibit serta meningkatkan koordinasi dengan karantina hewan untuk mencegah penyebaran penyakit melalui lalu lintas hewan antar area dan mempertahankan daerah-daerah yang masih bebas.

(c) Pertemuan koordinasi antara pusat dan daerah yang bertujuan untuk koordinasi pelaksanaan pemberantasan serta meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan anggaran bagi pengadaan vaksin

36

maupun obat-obatan yang diperlukan untuk babi rakyat beserta operasionalnya dan tindakan-tindakan lainnya dalam rangka kewaspadaan maupun pengamanan terhadap penyakit ini

(d) Pelaksanaan surveilans epidemiologi dan monitoring oleh BPPV Regional I Medan, BPPV Regional V Banjarbaru, BBVet Maros dan BPPV Regional VI Denpasar ke daerah endemis serta pembinaan aspek kesehatan hewan dalam lingkungan peternakan.

d. Penyakit Influensa Unggas (Avian Influenza)

Sebagaimana diketahui bahwa dalam rangka pengendalian dan pemberantasan wabah penyakit Avian Influenza (AI)/Flu Burung di Indonesia, strategi utama yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan vaksinasi.

Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :

(1) Melaksanakan vaksinasi massal unggas rakyat pada tahun 2005 dan tahun 2006 mendatang dengan dukungan oleh pemerintah pusat melalui anggaran pusat sebanyak 60 juta dosis beserta biaya operasionalnya serta anggaran dekonsentrasi dan anggaran daerah.

(2) Penambahan peralatan laboratorium Pusvetma untuk produksi vaksin, kegiatan penelitian dan pengembangan untuk menghasilkan vaksin yang memenuhi persyaratan OIE dan peningkatan sumberdaya manusia (SDM) khususnya di bidang produksi vaksin AI.

(3) Pelaksanaan surveilans dan monitoring oleh seluruh Balai Besar Veteriner dan Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner khususnya untuk melakukan evaluasi pelaksanaan sentinel, identifikasi isolat dan karakterisasi virus yang akan digunakan sebagai masterseed isolat virus AI disamping pelaksanaan aktif surveilans di daerah tertular maupun di daerah yang masih bebas sebagai salah satu ketentuan untuk menuju pembebasan kembali tahun 2007.

(4) Peningkatan koordinasi antara pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota), karantina hewan, lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta seluruh organisasi perunggasan khususnya dalam rangka akselerasi/konsolidasi serta evaluasi terhadap langkah-langkah strategis penanggulangan penyakit mulai dari peningkatan biosekuriti, vaksinasi, depopulasi, pengawasan lalu lintas unggas/produknya, surveilans serta tindakan strategis lainnya.

(5) Pengawasan lalu lintas khususnya terhadap unggas dan produk unggas pada instalasi-instalasi karantina hewan untuk mengadakan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan tindak karantina hewan.

e. Penyakit Radang Limpa (Anthrax)

Dengan ditetapkannya penyakit radang limpa (Anthrax) ini dari penyakit yang mendapatkan prioritas di daerah menjadi penyakit yang mendapatkan prioritas secara nasional, maka langkah-langkah kegiatan operasional strategis yang ditempuh adalah :

37

(1) Pelaksanaan pengamatan untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dini terhadap kemungkinan munculnya kasus pada ternak khususnya di daerah endemis yang setiap tahun ada kecenderungan muncul kasus.serta terus memantau intensif daerah dan lokasi endemis yang ada.

(2) Pelaksanaan vaksinasi massal untuk mengoptimalkan cakupan vaksinasi setiap tahun pada ternak sapi, kerbau, kambing dan domba di lokasi-lokasi endemis anthrax.

(3) Penelitian untuk dapat menghasilkan vaksin yang lebih baik yaitu mempunyai potensi atau tingkat kekebalan yang cukup lama, aman terhadap semua jenis ternak dan murah.

(4) Memproduksi vaksin dalam jumlah cukup untuk kesiap-siagaan apabila terjadi wabah sebesar minimal sebesar 600 juta dosis dan untuk memberikan subsidi bagi daerah yang masih kekurangan vaksin

(5) Pelaksanaan pengawasan lalu-lintas ternak yang keluar dan masuk lokasi endemis bekerjasama dengan aparat karantina hewan. dan instansi lain terkait.

(6) Pelaksanaan pemeriksaan ternak sebelum maupun setelah ternak dipotong (ante/post mortum) di Rumah Pemotongan Hewan.

(7) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya anthrax serta upaya penanggulangannya dengan bekerjasama seluruh instansi dan pihak lain terkait termasuk pemuka masyarakat/agama, LSM, kader desa melalui berbagai cara seperti pencetakan brosur, leaflet, spanduk, sosialisasi melalui berbagai media (elektronik dan cetak) serta pertemuan-pertemuan informal.

(8) Pertemuan Koordinasi untuk meningkatkan koordinasi dengan seluruh instansi terkait khususnya dengan Departemen Kesehatan beserta jajarannya sampai ke tingkat kecamatan/Puskesmas khususnya apabila dicurigai adanya kasus penularan pada manusia.

(9) Program pemberantasan SE khususnya yang telah dilaksanakan di Pulau Nusa Penida, Pulau Sumba dan Pulau.

f. Penyakit Septichaemia Epizootica (SE)

Program pemberantasan SE khususnya yang telah dilaksanakan di Pulau Nusa Penida, Pulau Sumba dan Pulau Sumbawa oleh pemerintah propinsi maupun kabupaten setempat dengan dukungan pemerintah pusat khususnya dalam subsidi pengadaan vaksin, sedang dan akan terus dilakukan program pemberantasan melalui pelaksanaan kegiatan vaksinasi secara massal dan intensif terhadap seluruh populasi terancam untuk menuju bebas. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan adalah :

(1) Penerbitan Keputusan Menteri Pertanian untuk menyatakan bahwa Pulau Nusa Penida pada tahun 2005 bebas SE setelah dilaksanakan surveilans selama 2 tahun berturut-turut oleh BPPV Regional VI Denpasar.

(2) Pelaksanaan vaksinasi SE secara massal dan intensif di Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba selama 2 (dua) tahun yaitu 2005 dan 2006

(3) Memproduksi vaksin SE di Pusvetma setiap tahun sebesar minimal 600.000 ribu dosis per tahun untuk memberikan subsidi vaksin sebesar

38

35.000 dosis untuk Pulau Sumbawa dan 100.000 dosis untuk Pulau Sumba serta subsidi bagi daerah endemis lainnya.

(4) Pelaksanaan surveilans secara aktif oleh BBVet/BPPV Regional khususnya di daerah-daerah yang melaksanakan program pemberantasan untuk mengetahui tingkat kekebalan vaksinasi dan epidemiologi penyakit.

(5) Pembuatan pedoman teknis surveilans dan pemberantasan SE dalam rangka pembebasan khususnya bagi propinsi yang merupakan bagian dari pulau seperti yang akan dilaksanakan oleh Propinsi Lampung dan Propinsi Banten.

g. Penyakit Jembrana

Kegiatan operasionalnya dalam melaksanakan program pengendalian penyakit jembrana agar penyebaran penyakit maupun kasus klinis dapat ditekan serendah mungkin adalah :

(1) Pelaksanaan peningkatan pengawasan dan pengaturan persyaratan lalu lintas sapi Bali antar wilayah/daerah melalui pembuatan peraturan lalu lintas ternak bibit.

(2) Penelitian dan pengembangan pembuatan vaksin rekombinan oleh BPPV Regional VI Denpasar sehingga mampu memproteksi ternak sapi Bali dari ancaman penyakit Jembrana

(3) Pelaksanaan kegiatan surveilans epidemiologis oleh BBVet/BPPV Regional di daerah penyebaran sapi Bali.

(4) Meningkatkan peran Pusvetma dalam mempersiapkan produksi vaksin Jembrana rekombinan skala usaha dengan peningkatan kualitas SDM dalam produksi vaksin serta perlengkapan peralatan produksi vaksin.

h. Penyakit Infectious Bovine Rhinothracheitis (IBR)

Program yang dilaksanakan dalam pengendalian dan pemberantasan IBR dilakukan melalui kegiatan :

(1) Peningkatan kegiatan surveilans oleh BBVet/BPPV Regional khususnya pada lokasi-lokasi sumber bibit dan institusi pusat-pusat pembibitan (Balai Inseminasi Buatan dan Balai Embrio Transfer) di daerah untuk melakukan pengujian terhadap serum ternak pejantan secara teratur dan menyeluruh. Diharapkan melalui pengujian dan penyingkiran ternak bibit yang positif IBR tersebut pusat-pusat pembibitan ternak tersebut bersih dari reaktor IBR.

(2) Pembuatan Pedoman Teknis Surveilans dan Pengendalian IBR yang didahului dengan pengkajian bersama dengan lembaga penelitian dan perguruan tinggi mengenai IBR yang akan digunakan sebagai dasar kebijakan. Dukungan Legislasi

Dalam melaksanakan program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan ini diperlukan dukungan legislasi antara lain:

39

(a) Penyusunan pedoman, norma dan prosedur teknis pengendalian dan pemberantasan PHM

(b) Penyusunan Peraturan penyempurnaan SKB Tiga Menteri tentang Zoonosis

(c) Penyusunan Peraturan tentang Penanggulangan Wabah PHM Penyusunan Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman sertifikasi kontrol manajemen kesehatan hewan unit usaha peternakan.

3. Program Penguatan Kelembagaan Kesehatan Hewan

a. Penguatan Laboratorium Kesehatan Hewan

(1) Akreditasi Laboratorium

Untuk menjawab era pasar bebas dimana persyaratan teknis merupakan hal yang mendapatkan perhatian utama dalam perdagangan internasional, maka hasil uji laboratorium merupakan salah satu hal yang perlu dijamin mutunya. Oleh karenanya laboratorium didorong untuk memperoleh status akreditasi melalui langkah-langkah sebagai berikut:

(a) Laboratorium yang telah terakreditasi agar dapat membantu laboratorium yang belum dan yang sedang dalam proses akreditasi, sehingga proses akreditasi berjalan lancar.

(b) Memfasilitasi pelaksanaan uji profisiensi. Untuk itu perlu diterbitkan pedoman uji profisiensi berdasarkan jenis penyakitnya

(c) Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan yang sudah dicetak dan memperoleh nomor ISBN diproses untuk memperoleh pengesahan SNI.

(2) Jaringan Laboratorium Kesehatan Hewan

Untuk memperkuat daya saing laboratorium kesehatan hewan perlu dibentuk jaringan laboratorium kesehatan hewan yang beranggotakan laboratorium kesehatan hewan pemerintah dan swasta. Untuk itu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Menginventarisasi kemampuan uji laboratorium kesehatan hewan (b) Menginventarisir sumber daya laboratorium kesehatan hewan, (c) Pertemuan rutin, (d) Menerbitkan pedoman pelaporan.

(3) Revitalisasi BBVet/BPPV dan Laboratorium Kesehatan Hewan lainnya.

(a) Pemutakhiran sarana dan prasarana laboratorium. (b) Pengkajian ulang penetapan klasifikasi laboratorium kesehatan hewan

(4) Peningkatan Status BPPV

40

Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Tahun 2003, eselonering BPPV adalah III A. Dengan pertimbangan tantangan kerja yang semakin kompleks dan semangat otonomi daerah, perlu difasilitasi dengan instansi terkait agar BPPV dinaikkan eseloneringnya menjadi eselon II B.

(5) Dukungan Legislasi

(a) Penyusunan Peraturan menteri Pertanian tentang tata Hubungan Kerja BBVet/BPPV dan UPT Lainnya

(b) Penyusunan Pedoman Standar Minimal Laboratorium Kesehatan Hewan

(c) Penerbitan Pedoman Surveilans dan Monitoring (d) Penerbitan Pedoman Kesehatan Hewan Ternak Bibit (e) Penerbitan Pedoman Sistem Pelaporan (f) Penerbitan Pedoman Pengujian Salmonella Pullorum dan Enteritidis. (g) Penerbitan Pedoman Uji Profisiensi PHM. (h) Penyusunan SNI Manual Standar Metoda Diagnosa (i) Penerbitan peraturan tentang Wilayah Kerja BBVet/BPPV Regional

b. Pemberdayaan Pelayanan Kesehatan Hewan

(1) Pemberdayaan Puskeswan

Revitalisasi puskeswan telah dimulai sejak tahun 1998/1999. Tahun 2010 telah di data kembali dan terdapat sebanyak 889 unit puskeswan yang tersebar di seluruh Propinsi dengan ketersediaan tenaga medik veteriner (dokter hewan) sebanyak 558 orang dan tenaga mantri hewan (paramedik veteriner) sebanyak 1591 orang.

Untuk mengisi kekurangan tenaga medik dan paramedik veteriner diharapkan pemerintah daerah dapat mengadakan sarana dan prasarana serta SDM yang memadai secara bertahap. Pedomannya adalah PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah, dimana formasi dan kebutuhan ditentukan oleh masing-masing wilayah berdasarkan petunjuk teknis Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 690/Kpts/Tn.510/10/93 dan Nomor 88 Tahun 1993.

Secara rinci jumlah puskeswan dan SDM yang tersedia serta jumlah PKH dan tenaga SDM yang dibutuhkan berdasarkan administrasi pemerintahan dan animal unit dapat dilihat pada lampiran.

Agar pusat kesehatan hewan dapat diberdayakan secara optimal maka perlu ditempuh langkah-langkah pemberdayaan sebagai berikut :

(a) Mengoptimalkan fungsi dan peran PKH secara prima berkelanjutan mandiri dan professional. Optimalisasi meliputi pengamatan penyakit hewan menular di wilayah kerjanya beserta aspek-aspek epidemiologinya. Pencegahan/vaksinasi dan pengobatan penyakit hewan; perawatan hewan sakit; pengambilan dan pengumpulan specimen untuk dikirim ke laboratorium diagnosa; penanganan

41

penyakit reproduksi, seterility control dan inseminasi buatan; serta konsultasi masalah kesehatan hewan, sanitasi higienis, pakan dan kesejahteraan hewan.

(b) Lomba/kompetisi secara profesional untuk mewujudkan dokter hewan puskeswan berprestasi.

(c) Bantuan/subsidi pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan pada masyarakat.

(d) Studi banding/magang lapangan di dalam negeri dan luar negeri. (e) Pendidikan dan pelatihan teknis meliputi pelatihan pelayanan keswan

bagi petugas medik veteriner dan paramedik veteriner, pelatihan pemberantasan penyakit hewan menular, pelatihan pengawasan obat hewan, pelatihan gangguan reproduksi dan sterilitas, pelatihan penyakit parasiter dan penyakit non menular lainnya, pelatihan penyakit zoonosa.

(f) Pembentukan forum komunikasi antara pusat dan daerah untuk menampung aspirasi dan pengembangan iptek melalui media cetak, elektronik, maupun dalam bentuk pertemuan-pertemuan seperti koordinasi, seminar, simposium, dan lokakarya.

(g) Tujuan pemberdayaan pusat kesehatan hewan adalah menjadi pusat kesehatan hewan yang mampu mengelola dan menggerakkan kegiatannya dalam memberikan pelayanan yang berkualitas secara profesional, mewujudkan kesehatan hewan yang stabil dalam rangka meningkatkan produktivitas dan reproduktifitas, memantapkan status puskeswan melalui SK Bupati/Walikota menjadi unit pelayanan yang bersifat struktural melalui unit pelaksana teknis daerah atau pemberdayaan secara fungsional.

(h) Dalam upaya revitalisasi Puskeswan mandiri maka beberapa puskeswan yang telah mampu memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat khususnya di Pulau Jawa, Propinsi NTB dan Bali dapat menerapkan metoda “user pay system” yakni penerapan pembayaran jasa pelayanan terhadap pengguna jasa pelayanan) sehingga diharapkan upaya revitalisasi puskeswan ini secara bertahap dan selektif dapat terwujud.

(i) Dalam rangka pemanfaatan fasilitas poskeswan yang dibangun pemerintah, khususnya di wilayah/daerah terdapat fasilitas puskeswan namun tidak ada dokter hewannya maka kepada dokter hewan praktisi, dokter hewan swasta dapat memanfaatkan puskeswan tersebut serta pengelolaannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.

(j) Pengaturan, penempatan dan pembinaan tenaga praktisi oleh Pemerintah dan organisasi profesi (PDHI) dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Kegiatannya adalah melakukan inventarisasi data dokter hewan dan dokter hewan praktek berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan pada masyarakat, laporan secara berkala dan menangani kasus yang ada kaitannya dengan penyakit hewan menular di wilayah kerjanya secara profesional, sesuai peraturan perundangan yang berlaku serta melaporkan pelaksanaan kegiatan praktek secara berkala.

(k) Melakukan advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta lingkungan dan menegakan animal welfare sesuai kode etik dokter hewan.

42

(l) Pemberdayaan Dokter Hewan Praktisi dan Meningkatkan Peran Dokter Hewan Swasta dalam Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular

(m) Melakukan inventarisasi dan klasifikasi data dokter hewan praktek dan dokter hewan swasta berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan pada masyarakat.

(n) Membuat peraturan dan pola kerjasama pemerintah dengan dokter hewan praktisi dan dokter hewan swasta dalam dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular.

(o) Laporan secara berkala dan profesional pelaksanaan kegiatan praktek terutama dalam menangani kasus yang ada kaitannya dengan penyakit hewan menular dan pengobatan dan penyembuhan hewan sakit di wilayah kerjanya, sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

(p) Melakukan advokasi dan sosialisasi mengenai kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner serta lingkungan dan menegakan animal welfare sesuai kode etik dokter hewan

(q) Pemberdayaan Pejabat Fungsional Medik dan Paramedik Veteriner

Agar pemberdayaan pejabat fungsional medik dan paramedik veteriner dapat optimal dilaksanakan, maka perlu mengambil langkah-langkah operasional sebagai berikut:

(1) Pelaksanaan Pendidikan dan pelatihan (Diklat) fungsional medik dan paramedic veteriner berjenjang dan berkelanjutan mulai dari: diklat fungsional dasar, diklat fungsional trampil dan diklat fungsional ahli. Secara rinci pelaksanaan diklat jabatan fungsional dan perkembangannya dapat dilihat pada lampiran.

(2) Untuk memacu percepatan diklat jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner maka pelaksanaan pelatihan dapat bekerjasama dengan daerah dan unit pelaksana teknis dengan kurikulum dan pelatih yang disusun bersamaan dengan Sumber Daya Manusia Departemen Pertanian sesuai ketentuan yang telah ditetapkan, dengan tetap mengoptimalkan pelatihan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Peternakan dan Kesehatan Hewan Cinagara Bogor dan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Batu, Malang, Jawa Timur.

(3) Mengoptimalkan pengangkatan tenaga medik dan paramedik veteriner sesuai kebutuhan dan formasi di masing-masing Propinsi/Kabupaten/Kota dan UPT Daerah maupun pusat.

(4) Bagi Pemerintah Daerah propinsi/Kabupaten/Kota yang telah ada dan berfungsinya tenaga fungsional Medik dan Paramedik Veteriner segera dapat dikukuhkan sebagai pejabat fungsional melalui Surat Keputusan Gubernur/ Bupati/Walikota setempat.

(5) Pembentukan Tim Penilai pejabat fungsional di masing-masing propinsi sesuai kebutuhan

(6) Penyempurnaan / revisi butir-butir kegiatan dan angka kredit Medik dan Paramedik Veteriner.

(7) Inventarisasi lembaga penghasil program Diploma D2/D3 serta program SPP Snakma dan penyempurnaan kurikulum untuk

43

dapat menyediakan tenaga paramedik veteriner yang handal sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan kebutuhan masyarakat.

(8) Mengingat kelangkaan dan kebutuhan tenaga medik (dokter hewan) dan paramedik veteriner maka ketetapan Batas Usia Pensiun bagi petugas medik veteriner dapat diberlakukan mencapai 60 tahun sesuai PP 32 tahun 1979.

(9) Apresiasi dan sosialisasi jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner terus ditingkatkan mulai dari tingkat Kabupaten/Kota, Propinsi dan UPT daerah/pusat terutama bagi pejabat yang strategis dan pengambil keputusan.

c. Pemberdayaan pengawas obat hewan dan peningkatan pelayanan pendaftaran obat hewan dalam rangka mendapatkan menyediakan obat hewan yang bermutu baik yang beredar di Indonesia.

(1) Penataan kembali Pengawas Obat Hewan (POH)

Setelah berlakunya peraturan perundangan tentang otonomi daerah (OTODA), menimbulkan banyak permasalahan dilapangan dalam pelaksanaan pengawasan obat hewan. Di beberapa daerah ada yang sama sekali tidak ada otoritas kesehatan hewan yang langsung bertanggung jawab di bidang kesehatan hewan. Di samping itu juga telah banyak aparat Pengawas Obat Hewan yang telah mengalami purna tugas, mutasi dan hal-hal lain yang dari segi keberadaan dan tanggung jawabnya tidak memungkinkan menjalankan tugasnya.

Untuk itu, diperlukan penataan kembali tentang Pengawas Obat Hewan. Langkah awal telah dilaksanakan berupa Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 885/KP.020/F/11/04 Tanggal 9 Nopember 2004 yang disampaikan kepada Gubernur di seluruh Indonesia. Prinsipnya adalah mengharapkan kepada pejabat terkait agar menyampaikan data terakhir tentang keberadaan para Pengawas Obat Hewan di wilayahnya masing-masing. Langkah-langkah kegiatan yang dilakukan adalah :

(a) Mengevaluasi tanggapan terhadap Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 885/KP.020/F/11/04 Tanggal 9 Nopember 2004 yang disampaikan kepada Gubernur di seluruh Indonesia

(b) Merekap data POH secara periodik (c) Memberikan penghargaan terhadap POH yang kinerjanya baik sesuai

dengan parameter yang ditentukan (d) Mengevaluasi terhadap POH yang kinerjanya tidak maksimal.

(2) Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengawasan Obat Hewan

Rakornas Pengawasan Obat Hewan dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali dan dipergunakan sebagai forum koordinasi dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengawasan obat hewan serta untuk mencari formulasi langkah kongkrit dalam rangka meminimalkan penyelundupan/peredaran

44

obat hewan illegal. Direncanakan forum rakornas tersebut diikuti oleh unsur Direktorat Jenderal Peternakan, Biro Hukum Departemen Pertanian, Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota, Badan Karantina Pertanian, Dit.Jen. Bea dan Cukai, Badan Reskrim Polri, Jampidum Kejaksaan Agung, Tenaga Fungsional Kesehatan Hewan dan ASOHI/ stakeholder. Langkah yang dilakukan adalah:

(a) Penyelenggaraan pertemuan koordinasi dengan otoritas Kesehatan Hewan dari Propinsi/Kabupaten/Kota untuk menginventarisasi permasalahan yang ada di lapangan berkaitan dengan peredaran obat hewan dan memformulasikan kebijakan untuk menanggulangi adanya penyelundupan/peredaran obat hewan illegal.

(b) Koordinasi dengan stakeholder yang terkait dengan kegiatan rakornas tersebut untuk lebih mempertajam langkah dan tindak lanjut hasil rakornas baik yang telah dan yang akan dilaksanakan.

(3) Pelayanan permohonan pendaftaran Obat Hewan

Obat hewan yang beredar di dalam wilayah Republik Indonesia wajib didaftarkan dan memiliki nomor pendaftaran/registrasi dari Departemen Pertanian. Prosedur Tetap (Protap) Permohonan Pendaftaran Obat Hewan di atur berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan No. 13/TN.240/Kpts/DJBPP/ DEPTAN/2003. Namun demikian Protap tersebut akan ditinjau kembali secara periodik bilamana diperlukan sesuai dengan perkembangan IPTEK termasuk didalamnya kemungkinan perlunya uji lapang bagi pendaftaran ulang obat hewan. Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah:

(a) Mengevaluasi secara periodik peraturan yang berkaitan dengan pendaftaran dan pengujian mutu untuk memaksimalkan pelayanan di bidang obat hewan.

(b) Berkoordinasi dengan BBPMSOH dan ASOHI untuk mendapatkan masukan dalam penentuan kebijakan di bidang pendaftaran dan pengujian mutu obat hewan.

(c) Melaksanakan secara periodik pelatihan cara pengisian formulir pendaftaran obat hewan yang diikuti oleh para penanggung jawab teknis obat hewan.

(d) Melaksanakan pelatihan pengujian mutu untuk sediaan obat hewan tertentu yang diikuti oleh para penanggung jawab teknis di bidang pengujian mutu obat hewan.

(e) Meningkatkan sarana dan prasarana di bidang pelayanan obat hewan.

(4) Data Base Obat Hewan

Data Base merupakan sistem komputerisasi yang antara lain memuat data obat hewan yang telah terdaftar (jumlah dan jenis), pemilik nomor pendaftaran dan kegunaan obat hewan (khasiat).

45

Dari sistem database tersebut dipergunakan untuk mendukung program pengawasan obat hewan dilapangan, penentuan kebijakan obat hewan yang akan didaftarkan, keberhasilan koordinasi antara instansi yang terkait (Direktorat Jenderal Peternakan, Badan Karantina Pertanian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan ASOHI). Langkah yang akan dilakukan adalah:

(a) Koodinasi dengan ASOHI dalam rangka pengumpulan data dan perusahaan obat hewan yang sudah terdaftar.

(b) Mengefektifkan pengumpulan data dan perusahaan obat hewan yang telah terdaftar yang akan ditampilkan pada data base obat hewan.

(c) Mempersiapkan SDM yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan entry data obat hewan.

(d) Pembuatan sistem dan jaringan database obat hewan yang dapat diakses oleh instansi terkait.

(e) Penyusunan Indeks Obat Hewan Indonesia setiap 2 (dua) tahun.

(5) Sosialisasi peraturan dibidang obat hewan pada semua stakeholder.

Sosialisasi perlu dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan agar terdapat persamaan persepsi antara Pemerintah cq Direktorat Jenderal Peternakan sebagai pihak regulator dengan para stake holder sehingga diharapkan tertib usaha melalui langkah menuju tercapainya tertib hukum (good corporate governance) dan tertib administrasi (well administered) dibidang usaha obat hewan. Langkah-langkah yang akan dilakukan adalah :

Mengadakan pertemuan regional dibidang kesehatan hewan yang dilaksanakan secara periodik serta pertemuan lainnya dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan sosialisasi peraturan obat hewan antara lain kepada para aparat Pengawas Obat Hewan Propinsi/Kabupaten/Kota, ASOHI, ASOHI Daerah serta instansi terkait setempat.

(6) Koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka mewaspadai masuknya dan beredarnya obat hewan ilegal

Peningkatan pengawasan terhadap peredaran obat hewan ilegal khususnya asal impor akan terus dilakukan secara berkesinambungan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

Mengintensifkan koordinasi dengan instansi terkait yaitu dari unsur Badan Karantina Pertanian, Bea dan Cukai, Kepolisian, Badan POM, Dinas Peternakan dan Pengurus Asosiasi Obat Hewan Indonesia, terutama instansi terkait di wilayah perbatasan dengan negara tetangga.

(7) Monitoring Efek Samping Obat Hewan (MESOH)

Monitoring dan evaluasi efek samping obat hewan secara konsisten tetap dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kondisi obat hewan yang telah terdaftar yang ada di lapangan dalam hal efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan produk tersebut di klinik hewan/dokter

46

hewan praktisi, pos keswan/pusat pelayannan keswan, Dinas Peternakan Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(a) Melakukan koordinasi dengan BBPMSOH/BPPV/BBV untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi efek samping obat hewan secara konsisten.

(b) Membahas temuan yang berkaitan dengan hasil evaluasi monitoring efek samping obat hewan di lapangan yang berupa data dan informasi dalam rapat PPOH.

(c) Melaksanakan konsultasi teknis dengan instansi yang berpengalaman dengan pelaksanaan monitoring efek samping obat (Badan POM).

(8) Kerjasama dengan Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI)

Pemerintah akan terus mendorong pembinaan yang dilakukan oleh ASOHI terhadap anggota-anggotanya untuk tercapainya tertib hukum dan tertib administrasi dibidang obat hewan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(a) Meningkatan kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dengan ASOHI melalui Program Temu Anggota ASOHI (PROTAS) yang pelaksanaannya secara periodik.

(b) Pihak Pemerintah lebih melibatkan ASOHI dalam menyusun peraturan dibidang obat hewan dengan tujuan agar ketentuan tersebut dapat berjalan dengan baik dilapangan.

(9) Pembatasan Penggunaan Obat Hewan klasifikasi Obat Keras

Sesuai dengan perkembangan Iptek di bidang obat hewan serta memperhatikan rekomendasi dari FAO tentang perlunya evaluasi terhadap penggunaan antibiotik golongan Quinolon seperti Ciprofloxasin yang sekarang sebagai produk unggulan untuk mengatasi kasus-kasus penyakit infeksi pada manusia, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Menginventarisir daftar antibiotik yang digunakan sebagai obat hewan,

(b) Merekap obat hewan yang mengandung antibiotik golongan quinolon,

(c) Menyusun peraturan untuk pembatasan penggunaan obat hewan klasifikasi obat keras.

(10) Pengaturan terhadap residu obat hewan

Dalam rangka upaya untuk melindungi kesehatan masyarakat terhadap penggunaan obat hewan yang tidak sesuai ketentuan sehingga berakibat antara lain adanya residu obat hewan pada produk-produk peternakan yang tidak diharapkan, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

47

(a) Merekap data waktu henti obat (withdrawal time) yang ada di publikasi internasional

(b) Mendorong BBPMSOH untuk melakukan penelitian withdrawal time obat hewan yang ada persyaratan withdrawal time nya dengan kondisi Indonesia.

(c) Menyiapkan peraturan yang memuat sanksi hukum terhadap pelanggaran ketentuan withdrawal time dalam penggunaan obat hewan tertentu.

(d) Sosialisasi terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang residu obat hewan

(11) Dukungan Legislasi

Penyempurnaan peraturan perundangan obat hewan yang disesuaikan dengan perkembangan dan dinamika otonomi daerah dan era pasar global yang meliputi:

(a) Revisi Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang Pengawasan Obat Hewan dan Izin usaha Obat Hewan serta Syarat dan Tata cara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan ,

(b) Penyiapan konsep Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang penggunaan hormon pemacu pertumbuhan pada hewan produksi.

(c) Penyiapan konsep Keputusan Menteri Pertanian yang mengatur tentang penggunaan kloramfenikol pada hewan produksi.

(d) Revisi Keputusan Menteri Pertanian tentang Klasifikasi Obat Hewan. Sesuai dengan perkembangan di bidang obat hewan telah dilakukan pengkajian kembali terhadap Keputusan Menteri Pertanian No. 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang Klasifikasi Obat Hewan terutama yang menyangkut penggunaan antibiotika sebagai imbuhan pakan (feed additive) serta evaluasi penggunaan antibiotika golongan quinolon dalam obat hewan, seperti ciprofloxacin dan derivatnya untuk tujuan pengobatan.

(e) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan tentang Identifikasi Pelanggaran di bidang usaha obat hewan

(f) Keputusan Direktur Jenderal Peternakan tentang Petunjuk Teknis Pengawasan Obat Hewan

(g) Penerapan sanksi terhadap pelanggaran dibidang obat hewan

d. Pengembangan Sistem Data dan Informasi Kesehatan Hewan di Indonesia.

Peran informasi di era sekarang ini sangat vital dan dibutuhkan masyarakat. Kinerja pemerintah menjadi sorotan publik, sehingga perlu diperlukan media informasi yang dapat diakses publik, sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Disamping itu informasi kesehatan hewan sangat diperlukan masyarakat terutama jika muncul penyakit yang menular dan zoonosis. Sub Direktorat Medik Veteriner yang memiliki tugas Informasi Kesehatan melaksanakan fungsi tersebut melalui:

(1) Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (SIKHNAS)

48

Upaya pengembangan SIKHNAS dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Restrukturisasi dan deformatisasi pelaporan untuk kepentingan standardisasi dan harmonisasi.

(b) Pengembangan data base yang sudah ada untuk pengolahan datadengan program INFOLAB.

(c) Pengembangan pilot proyek manajemen data base jalur pengiriman laporan dari BPPV/BBVet ke pusat data base (Dit. Keswan) dengan penggunaan jaringan elektronik/modern.

(2) Pengembangan media cetak informasi kesehatan hewan

Untuk memperluas cakupan informasi kesehatan hewn kepada stakeholder dan masyarakat luas perlu diterbitkan media cetak informasi kesehatan hewan dan didistribusikan secara luas. Untuk itu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

(a) Pengembangan Informasi Perlindungan Hewan (b) Penyusunan dan pencetakan Buletin perlindungan hewan. (c) Penyusunan dan pencetakan Newsletter Penyakit Eksotik. (d) Penyusunan dan pencetakan Newsletter Situasi AI di Mancanegara. (e) Pencetakan buku persyaratan kesehatan hewan dan bahan baku

pakan asal hewan. (f) Pengembangan Informasi Pengendalian dan Pemberantasan

Penyakit Hewan. (g) Penyusunan dan Pencetakan Buletin PHM Monitor 3 kali setiap

tahun. (h) Penyusunan dan Pencetakan Pedoman teknis Pengendalian dan

Pemberantasan PHM yaitu Jembrana, IBR , Trypanosomiasis dan Avian Influenza serta PHM lainnya.

(i) Penerbitan media informasi kesehatan hewan. (j) Majalah Warta Kesehatan Hewan. (k) Bulletin Pelayanan Kesehatan Hewan. (l) Bulettin Jabatan Fungsional.

(3) Pengembangan website Direktorat Kesehatan Hewan (http://www.keswan.ditjennak.go.id), yang mencakup :

(a) Pengembangan design dan program website keswan.ditjennak.go.id, sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan.

(b) Updating isi website dengan laporan dan berita terbaru sebagai layanan kepada publik sehingga masyarakat mendapatkan perkembangan informasi yang berkembang seputar masalah kesehatan hewan.

(c) Mengembangkan koordinasi dan komunikasi website Direktorat Kesehatan Hewan dengan website Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan dan website Departemen Pertanian.

(d) Pengembangan jaringan informasi antar instansi Kesehatan Hewan terkait baik UPT maupun Dinas yang Membidangi Kesehatan Hewan di daerah sebagai upaya mempercepat pelaporan yang masuk.

49

4. Program Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) Kesehatan Hewan

a. Pengadaan Pegawai yang Profesional

(1) Rekruitmen SDM sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan (2) Kaderisasi SDM berdasarkan jenis keahlian yang dibutuhkan.

b. Peningkatan Mutu SDM melalui :

(1) Peninggkatan Kualitas SDM Laboratorium Kesehatan Hewan, dilaksanakan dengan cara:

(a) Magang pada berbagai UPT yang lebih maju. (b) Training non gelar (3-6 bulan). (c) Pendidikan S2/S3 tenaga potensial. (d) Program ini dilaksanakan melalui kerjasama formal dan indormal

baik di dalam negeri maupun dengan luar negeri.

(2) Peningkatan Mutu SDM Direktorat Kesehatan Hewan, melalui:

(a) Pelatihan Analisa Resiko Kualitatif dan Kuantitatif untuk staf Direktorat Kesehatan Hewan

(b) Apresiasi Analisa Resiko untuk staf Dinas Peternakan Daerah dan BPPV.

(c) Peningkatan kualitas staf Direktorat Kesehatan Hewan dengan pendidikan pascasarjana di bidang penyakit eksotik

(d) Pelatihan pengenalan penyakit eksotik untuk dokter hewan kantor pusat, laboratorium dan lapangan

(e) Peningkatan staf Direktorat Kesehatan Hewan di bidang manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti studi banding pada perusahaan peternakan unggas, babi dan sapi perah

(f) Pelatihan auditor untuk akreditasi manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti pada unit usaha peternakan.

(3) Peningkatan Kualitas SDM Pengawas Obat Hewan

(a) Pelatihan Pengawas Obat Hewan (POH) Nasional

Pelatihan POH diselenggarakan setiap tahun untuk membekali petugas yangakan ditetapkan sebagai pengawas obat hewan dengan pengetahuan dan informasi dalam memecahkan permasalahan obat hewan di lapangan, meningkatkan keterampilan dalam sistem administarasi (pemahaman ketentuan registrasi, distribusi dan pengawasan) serta teknik teknik pengenalan fisik obat hewan, dan penyegaran pengetahuan pengujian di laboratorium

(b) Pendidikan dan Pelatihan (DIKLAT) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pengawas Obat Hewan .

50

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, telah diatur ketentuan bahwa dalam melaksanakan fungsi kepolisian yang bersifat penyidikan dalam penegakan hukum, Petugas Pengawas Obat Hewan harus mempunyai kompetensi hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku diantaranya sudah mengikuti Diklat PPNS dan mempunyai Surat Keputusan sebagai Penyidik untuk melakukan tindakan hukum bagi pelanggaran obat hewan di lapangan.

Langkah ke depan yang akan dilakukan adalah:

(1) Koordinasi dengan Gubernur/Bupati/ Walikota agar staf otoritas kesehatan hewan yang telah berstatus sebagai Pengawas Obat Hewan di wilayah kerjanya mendapatkan fasilitasi untuk mengikuti Pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Pelatihan ini akan dilaksanakan secara bertahap dan diharapkan agar dalam 5 (lima) tahun mendatang 50% dari kebutuhan PPNS dapat terpenuhi.

(2) Koordinasi dengan Mabes POLRI untuk pelaksanaan Diklat PPNS dimaksud.

(3) Koordinasi dengan Departemen Kehakiman dan Hukum untuk penerbitan Surat Keputusan Penunjukkan Sebagai PPNS.

5. Program Fasilitasi Perdagangan Ternak dan Obat Hewan

a. Pembinaan Manajemen Kesehatan Hewan dan Biosekuriti pada perusahaan peternakan

Program ini bertujuan meningkatkan daya saing dan akses pasar komoditi ternak dan produk ternak Indonesia di pasar domestik dan internasional pada aspek SPS. Untuk mencapai tujuan itu, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk :

(1) Penyusunan Pedoman manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti pada perusahaan peternakan unggas, babi dan sapi perah.

(2) Sosialisasi Pedoman manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti pada perusahaan peternakan unggas, babi dan sapi perah.

(3) Pembinaan manajemen kesehatan hewan dan biosekuriti pada perusahaan peternakan unggas, babi dan sapi perah. Akreditasi perusahaan peternakan melalui penerapan Nomor Kontrol Manajemen Kesehatan Hewan/ NKKH (Establishment Number).

b. Sertifikasi peternakan unggas ekspor

Dalam rangka mendorong kualitas kesehatan hewan peternakan unggas ekspor yang mensyaratkan bebas Salmonella pullorum dan S. Enteritidis perlu diterbitkan Pedoman Pengujian Salmonella pullorum dan S.enteritidis.

Pelaksanaan sertifikasi kompartementalisasi bebas AI pada peternakan unggas khususnya dalam rangka memenuhi persyaratan ekspor.

51

c. Sertifikasi CPOHB

Telah ditetapkan ketentuan pengunduran batas waktu sampai dengan tahun 2010 untuk penerapan CPOHB baik produsen dalam negeri maupun luar negeri yang produknya diedarkan di Indonesia. Ketentuan tersebut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 536/Kpts/PD. 650/9/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Pertanian No. 466/Kpts/TN. 260/V/199 tentang Pedoman CPOHB tanggal 15 September 2004.

Dalam rangka penerbitan sertifikat CPOHB, untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:

(1) Mengefektifkan penyelenggaraan rapat Panitia Penilai CPOHB yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 302/Kpts/KP.150/6/2003 yang terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Perguruan Tinggi, Badan POM dan para pakar di bidang CPOHB.

(2) Merevisi Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 324/Kpts/TN.120/4/94 tentang Syarat dan Tatacara Pemberian Izin Usaha Obat Hewan, khususnya terhadap substansi pasal 7 nomor 1 huruf a SK Mentan, yang menyatakan bahwa produsen obat hewan mempunyai pabrik obat hewan, yang memenuhi syarat CPOHB. Perubahan substansi yang akan diusulkan menjadi “produsen obat hewan mempunyai pabrik obat hewan, yang telah melaksanakan langkah-langkah dalam pemenuhan persyaratan CPOHB.”

(3) Menyiapkan kelembagaan Biro Konsultasi CPOHB (4) Melaksanakan evaluasi kelayakan CPOHB setiap 3 tahun (5) Sosialisasi peraturan CPOHB

d. Penerbitan sertifikat CPOHB khusus produsen obat hewan kategori “home industry”. Untuk itu diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :

(1) Menyusun persyaratan minimal CPOHB untuk produsen obat hewan katagori “home industry”. Langkah ini perlu dipertimbangkan karena peraturan CPOHB yang telah diterbitkan tersebut belum mengakomodir produsen obat hewan kategori “home industry”.

(2) Sosialisasi ketentuan penerbitan sertifikasi CPOHB katagori home industry (3) Melaksanakan pelatihan secara periodik tentang ketentuan penerapan CPOHB

yang diikuti oleh penanggung jawab teknis produsen obat hewan.

e. Peningkatan realisasi Ekspor

Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(1) Mendorong peningkatan kualitas obat hewan yang diproduksi oleh produsen dalam negeri untuk dapat lebih meningkatkan daya saing di pasaran internasional.

(2) Memanfaatkan pertemuan internasional untuk mengharmonisasi peraturan pendaftaran obat hewan di tingkat regional ASEAN.

(3) Melaksanakan pertemuan secara periodik untuk mengevaluasi perkembangan ekspor obat hewan yang diikuti oleh produsen obat hewan dalam negeri yang merangkap sebagai eksportir obat hewan.

52

(4) Menyusun peraturan serta menyiapkan kelengkapan dokumen dalam upaya meningkatkan ekspor obat hewan.

(5) Mempromosikan kegiatan ekspor obat hewan melalui event nasional maupun internasional.

f. Harmonisasi ASEAN di bidang obat hewan

Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(1) Menghadiri forum internasional guna tukar menukar informasi teknis serta memperkuat kerjasama antara negara ASEAN terutama dalam pelaksanaan harmonisasi peraturan ekspor/impor.

(2) Penyediaan informasi kapasitas produksi obat hewan dalam negeri. Sampai saat ini produsen obat hewan dalam negeri baik yang produknya berupa sediaan biologik, farmasetik maupun premiks masih memiliki kapasitas terpasang yang belum dimanfaatkan (idle capacity). Data yang berkaitan dengan informasi tersebut sangat diperlukan dan dapat ditawarkan pada pihak investor yang berminat terutama dalam rangka “:toll manufacturing” Dengan kebijakan ini diharapkan disatu sisi dapat memaksimalkan kapasitas produksi terpasang dari masing-masing produsen dalam negeri yang bersangkutan dan disisi lain diharapkan pula dapat menekan peredaran obat hewan asal impor di Indonesia

Langkah-langkah yang dilakukan adalah:

(a) Melaksanakan pertemuan untuk mengevaluasi perkembangan kapasitas terpasang produsen obat hewan dalam negeri.

(b) Menginformasikan tentang data idle capacity dari masing-masing produsen obat hewan dalam negeri kepada para investor melalui mekanisme toll manufacturing.

(c) Mendorong peningkatan kualitas obat hewan produksi dalam negeri dengan mekanisme toll manufacturing.

(d) Menyusun persyaratan minimal toll manufacturing. (e) Melaksanakan evaluasi penilaian kelayakan toll manufacturing setiap 2 (dua)

tahun.

53

BAB V

PENDANAAN

Dalam rangka melaksanakan program yang telah ditetapkan, melalui tugas pokok dan fungsi yang dimiliki maka diperlukan sejumlah dana untuk dapat meraih misi, visi, tujuan dan sasaran organisasi Direktorat Kesehatan Hewan. Dana tersebut sebagian besar diperoleh dari DIPA Direktorat Kesehatan Hewan. Rencana Pendanaan selama lima tahun terdapat pada Lampiran 1.

Dana ini terutama untuk melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar prosedur, kriteria dan bimbingan teknis serta evauasi sesuai dengan fungsi Sub Direktorat Pengamatan Penyakit Hewan (P2H), Sub Direktorat Pengendalian Pemberantasan Penyakit Hewan (P3H), Sub Direktorat Perlindungan Hewan (PH), Sub Direktorat Pengawasan Obat Hewan (POH) dan Sub Direktorat Kelembagaan dan Sumberdaya Kesehatan Hewan (KSKH), serta Subbagian Tata Usaha (TU) dan Unit Pengendalian Penyakit Avian Influenza (UPP-AI). Selain itu dana juga diperlukan untuk melancarkan fungsi-fungsi perencanaan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan monitoring evaluasi sebagai fungsi-fungsi manajemen pembangunan.

Sesuai dengan tupoksinya maka dana tersebut diharapkan dapat menjadi faktor pengungkit dari berbagai kegiatan yang ada di masyarakat dan aset yang dimiliki masyarakat, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Direktorat Kesehatan Hewan.

54

BAB V

INDIKATOR KINERJA

Indikator ditetapkan secara spesifik untuk mengukur pencapaian kinerja berkaitan dengan informasi kinerja yang dapat berupa output, outcome, dan impact. Untuk Direktorat Kesehatan Hewan pengukuran indikator kinerja dibatasi sampai indikator kinerja kegiatan, output dan outcome. Output merupakan keluaran berupa barang atau jasa yang dihasilkan oleh kegiatan yang dilaksanakan untuk mendukung pencapaian outcome program.

Dalam struktur manajemen kinerja, output merupakan sasaran kinerja kegiatan yang secara akuntabilitas berkaitan dengan unit organisasi setingkat eselon III yaitu Subdit Teknis dan Sub Bagian Tata Usaha lingkup Direktorat Kesehatan Hewan. Sehingga rumusan output kegiatan memakai kriteria-kriteria yang mencerminkan sasaran kinerja unit eselon III sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Output tersebut harus dapat mendukung pencapain outcome program dan dapat dievaluasi berdasarkan periode waktu tertentu.

Outcome merupakan manfaat yang diperoleh dalam jangka menengah untuk beneficiaries tertentu yang mencerminkan berfungsinya keluaran dari kegiatan-kegiatan dalam satu program. Outcome dalam struktur manajemen kinerja merupakan sasaran kinerja program yang secara akuntabilitas berkaitan dengan unit organisasi setingkat eselon II, sehingga kriteria rumusan outcome dapat mencerminkan sasaran kinerja unit organisasi eselon II sesuai dengan visi, misi dan tugas pokok dan fungsinya. Outcome program harus dapat mendukung pencapaian kinerja Direktorat Kesehatan Hewan dan dapat dievaluasi berdasarkan periode waktu tertentu.

Indikator kinerja utama program dan kegiatan pembangunan pada Direktorat Kesehatan Hewan periode 2015-2019 ditunjukkan secara garis besar pada Lampiran 2.

Program/kegiatan prioritas meliputi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular strategis dan penyakit zoonosis, dengan sasaran:

1. Meningkatnya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan PHM selama 5 (lima) tahun, dengan target jumlah dosis obat hewan untuk tahun 2015 sebanyak 100.000.000 dosis (177,13 milyar rupiah), tahun 2016 sebanyak 1.450.000 dosis (87,58 milyar rupiah), tahun 2017 sebanyak 1.740.000 dosis (100,28 milyar rupiah), tahun 2018 sebanyak 2.088.000 dosis (115,02 milyar rupiah) dan tahun 2019 sebanyak 2.505.600 dosis (132,19 milyar rupiah).

2. Meningkatnya pelayanan kesehatan hewan melalui output pembinaan dan koordinasi peningkatan pelayanan kesehatan hewan dengan target untuk tahun 2015 sebanyak 33 laporan (9,97 milyar rupiah), tahun 2016 sebanyak 33 laporan (142,91 milyar rupiah), tahun 2017 sebanyak 33 laporan (157,20 milyar rupiah), tahun 2018 sebanyak 33 laporan (172,92 milyar rupiah) dan tahun 2019 sebanyak 33 laporan (190,21 milyar rupiah).

Target pembangunan dan kebutuhan pendanaan pembangunan tahun 2015-2019. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (struktur organisasi baru) terdapat pada Lampiran 3.

55

BAB VI

PENUTUP

Rencana Strategis Direktorat Kesehatan Hewan 2015-2019 adalah dokumen yang memuat visi, misi, strategi, kebijakan, program dan kegiatan prioritas perencanaan untuk waktu 5 (lima) tahun yang merupakan penjabaran dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015-2019.

Dengan disusunnya dokumen Rencana Strategis tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan atau panduan bagi pemimpin dalam penyusunan strandar rencana kerja atau kegiatan yang konsisten dengan sasaran yang telah ditetapkan, sehingga penjabaran rencana kerja setiap tahunnya akan lebih mudah dilaksanakan.

Dalam implementasinya, masih dimungkinkan mengalami penyesuaian berdasarkan kebutuhan, mengikuti perubahan kebijakan, permasalahan dan hasil evaluasi pelaksanaan program pembangunan peternakan dan kesehatan hewan.

Integritas lingkup Direktorat Kesehatan Hewan disertai dengan intensitas koordinasi dengan instansi terkait sangatlah dibutuhkan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan hewa

56

Lampiran 1. Indikator Kinerja Utama Program dan Kegiatan Pembangunan Kesehatan Hewan 2015-2019

NO OUTCOME

INTERMEDIETE OUTCOME

KEGIATAN/SUB KEGIATAN

OUTPUT KEBUTUHAN ANGGARAN DAN TARGET KINERJA

2015 2016 2017 2018 2019

vol anggaran

vol anggaran

vol anggaran

vol anggaran

vol anggaran

Populasi, Produksi,Protein hewani

Kelahiran, Produktifitas

III PENGENDALIAN DAN PENCEGAHAN PENYAKIT HEWAN

1.Pengendalian,pencagahan dan pemberantasan Penyakit Hewan Menular Strategis Zoonosis (PHMSZ), Viral, Bakterial, parasit dan gangguan reproduksi

Kesiagaan Wabah PHM

KP 300.000

6.600.000.000

300.000

6.666.000.000

300.000 6.732.660.000

300.000

6.799.986.600

300.000

6.867.986.466

Pengendalian dan Penanggulangan Rabies

KP/DK 1.732.900

77.980.800.000

2.079.480

93.576.600.000

2.495.376

112.291.920.000

2.994.451

134.750.304.000

3.593.340

161.700.364.800

57

Pengendalian dan Penanggulangan AI

KP/DK 15.000.000

22.500.000.000

20.000.000

30.000.000.000

20.000.000

30.000.000.000

20.000.000

30.000.000.000

15.000.000

22.500.000.000

Biosecurity Perunggasan

KP/DK 60.000

6.000.000.000

72.000

7.200.000.000

86.400 8.640.000.000

103.680

10.369.000.000

124.416

12.441.600.000

Pengendalian dan Penanggulangan Brucellosis

KP/DK 132.466

10.862.212.000

158.959

13.034.654.400

190.751 15.641.585.280

228.901

18.769.902.336

274.681

22.523.882.803

Pengendalian dan Penanggulangan Antrax

KP/DK 680.000

22.440.000.000

816.000

26.928.000.000

979.200 32.313.600.000

1.175.040

38.776.320.000

1.410.048

46.531.584.000

Pengendalian dan Penanggulangan Hog Cholera

KP/DK 633.000

23.421.000.000

759.600

28.105.200.000

911.520 33.726.240.000

1.093.824

40.471.484.000

1.312.589

48.565.785.600

Pengendalian dan Penanggulangan Jembrana

KP/DK 75.000

4.875.000.000

90.000

5.850.000.000

108.000 7.020.000.000

129.600

8.424.000.000

155.520

10.108.800.000

58

Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada Sapi / Kerbau

KP/DK 300.000

39.000.000.000

360.000

46.800.000.000

432.000 56.160.000.000

518.400

67.392.000.000

622.080

80.870.400.000

Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Parasiter

KP/DK 550.000

35.750.000.000

660.000

42.900.000.000

792.000 51.480.000.000

950.400

61.776.000.000

1.140.480

74.131.500.000

Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Bakterial lainnya

KP/DK 150.000

9.750.000.000

180.000

11.700.000.000

216.000 14.040.000.000

259.200

16.848.000.000

311.040

20.217.60.000

Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Viral Lainnya

KP/DK 160.000

12.000.000.000

192.000

14.400.000.000

230.400 17.280.000.000

276.480

20.736.000.000

331.776

24.883.200.000

59

Kewaspadaan Penyakit Eksotik Lintas Perbatasan

KP/DK 34 6.800.000.000

34 6.800.000.000

34 6.800.000.000

34 6.800.000.000

34 6.800.000.000

2.Pengujian Penyakit Hewan dan sertifikasi obat hewan (sampel)

Penguatan, pengujian dan penyidikan veteriner

KD 130.000

138.726.750.000

143.000

154.125.419.250

157.300 171.233.340.787

173.030

190.240.241.614

190.333

211.356.908.433

Pengujian dan Sertifikasi Obat Hewan di BBPMSOH

KD 1.600 21.293.300.000

1.600 21.719.166.000

1.600 22.163.549.320

1.600 22.596.620.306

1.600 23.048.552.713

3.Penguatan Kelembagaan Otoritas Veteriner

Pembinaan dan koordinasi Kesehatan Hewan

KP/DK/KD

34 3.400.000.000

34 3.434.000.000

34 3.468.340.000

34 3.503.023.400

34 3.538.053.634

Penguatan puskeswan

KP/DK/KD

850 59.500.000.000

860 60.200.000.000

870 60.900.000.000

880 61.600.000.000

890 62.300.000.000

60

Penguatan Kelembagaan dan Sumberdaya Kesehatan Hewan

KP/DK/KD

45 6.750.000.000

45 6.817.500.000

45 6.885.675.000

45 45.6.954.531.750

45 7.024.077.068

Penguatan Lab B/C

KP/DK/KD

15 1.125.000.000

20 1.500.000.000

25 1.875.000.000

30 2.250.000.000

35 2.625.000.000

SDM Kesehatan Hewan (THL)

KP 1.000 32.000.000.000

1.100 35.200.000.000

1.200 38.400.000.000

1.300 41.600.000.000

1.400 44.800.000.000

4.Produksi vaksin dan bahan biologik (dosis)

Peningkatan Produksi Vaksin, Obat hewan dan bahan biologik

KD 4.040.000

22.066.100.000

4.080.400

22.286.761.000

4.121.204

22.509.628.610

4.162.416

22.734.724.896

4.204.040

22.962.072.145

Peningkatan Produksi Vaksin, Obat hewan dan bahan biologik (BLU)

KD 4.337.775

6.546.085.000

4.381.153

6.611.545.850

4.424.964

6.677.661.309

4.469.214

6.744.437.922

4.513.906

6.811.882.301

61

5.Penguatan Sistem Kesehatan Hewan Nasional (SISKESWANNAS)

Sistim Kesehatan Hewwan Nasional (SISKESWANNAS)

KP 1 2.300.000.000

1 2.323.000.000

1 2.346.230.000

1 2.369.692.300

1. 2.393.389.223

Pengawasan obat Hewan

KP 16 1.760.000.000

16 1.777.600.000

16 1.795.376.000

16 1.813.329.760

16 1.831.463.058

Perlindungan Hewan

KP 12 1.630.000.000

12 1.646.300.000

12 1.662.763.000

12 1.679.390.630

12 1.696.184.536

Pengamatan Penyakit Hewan

KP 8 1.835.000.000

8 1.853.350.000

8 1.871.883.500

8 1.890.602.335

8 1.909.508.358

28.284.756

576.910.947.000

34.276.322

653.455.096.500

35.498.960

733.905.452.805

36.838.596

827.888.595.849

33.488.326

930.439.495.138

62

Lampiran 2. TARGET PEMBANGUNAN DAN KEBUTUHAN PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2015-2019, DIREKTORAT KESEHATAN HEWAN, DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN, KEMENTERIAN PERTANIAN (STRUKTUR ORGANISASI BARU)

KEGIATAN

OPERASIONAL

TARGET ANGGARAN (Milyar)

2016 2017 2018 2019 2016 2017 2018 2019

A. Wilayah bebas PHMSZ (provinsi/kabupaten/pulau)

500.521

540.625

588.750

646.500

58,742

63,880 69,646 76,325

a. Pengendalian dan Penanggulangan PHMSZ

55.057

66.069

79.282

95.139

0,826

0,991 1,189 1,427

b. Pemberantasan dan Pengendalian PHMSZ

16.058

19.270

23.124

27.749

0,161

0,193 0,231 0,277

c. Kesiagaan Wabah

300.000

300.000

300.000

300.000

300.000

4,500 4,500 4,500 4,500

63

d. Pengamatan dan surveilans Penyakit Hewan

129.405

155.28

6

186.343

223.612

9,705

11,646 13,976 16,771

e. Penguatan Kelembagaan Keswan

34

34

34

34 34

3,400 3,400 3,400 3,400

f. Penguatan Tenaga Kerja Harian Lepas (THL) Keswan

1.000

1.100

1.200

1.300 1.400

33,000

36,000 39,000 42,000

g. Penguatan sarana dan prasarana UPT Pengujian

h. Penguatan sistem informasi

10

15

15

17 23

1,500 1,500 1,700 2,300

i. Sistem Kesehatan Hewan Nasional

45

45

45

45 45

2,250

2,250 2,250 2,250

64

(SISKESWANNAS)

j. Pengawasaan Obat Hewan

34

34

34

34

34 34

1,700 1,700 1,700 1,700

k. Analisis Resiko dan Kewaspadaan

34

34

34

34

34 34

1,700

1,700 1,700 1,700

B. Wilayah Pengendalian Anthrax (provinsi/kabupaten/pulau)

320.723

336.528

352.354

368.972

16,120 16,645 16,925 17,471

a. Pengendalian dan Penanggulangan PHMSZ

287.100

301.455

316.528

332.354

7,752 8,139 8,546 8,974

b. Kesiagaan Wabah

18.000

18.000

20.000

20.000

20.000

20.000

0,540 0,540 0,540 0,540

c. Pengamatan dan surveilans

13.623

15.073

15.826

16.618

2,043 2,261 2,374 2,493

65

Penyakit Hewan

d. Penguatan Kelembagaan Keswan

8

8

11

11

11 11

0,275 0,275 0,275 0,275

e. Penguatan Tenaga Kerja Harian Lepas (THL) Keswan

420

420

420

420 420

2,520 2,520 2,520 2,520

f. Penguatan sarana dan prasarana UPT Pengujian

16

14

8 8

0,640 0,560 0,320 0,320

g. Penguatan sistem informasi

15

20

20

20 20

1,000 1,000 1,000 1,000

h. Sistem Kesehatan Hewan Nasional (SISKESWANNAS)

5

5

6

6

6 6

0,300 0,300 0,300 0,300

i. 6 6 0,300 0,300 0,300 0,300

66

Pengawasaan Obat Hewan

5 5 6 6

j. Analisis Resiko dan Kewaspadaan

5

6

15

15

15 15

0,750 0,750 0,750 0,750

C. Menurunnya angka kasus PHMSZ (kasus)

229.405

275.286

330.343

396.412

11,929 14,315 17,178 20,613

a. Pengendalian dan Penanggulangan PHMSZ

b. Surveilans dan pemetaan wilayah pengendalian pemberantasan penyakit

229.405

275.28

6

330.343

396.412

11,929 14,315 17,178 20,613

D. Menurunnya

7.999.

12.089.

12.677.569

13.381.137

404,773 589,416 616,486 648,746

67

angka kematian (%)

502 348

a. Pengobatan dan vaksinasi

7.999.502

12.089.348

12.677.569

13.381.137

359,978 544,021 570,491 602,151

b. Surveilans dan pemetaan wilayah pengendalian pemberantasan penyakit

40

40

40

40

40 40

16,000 16,000 16,000 16,000

c. Pelaporan penyakit

34

320

415

415

415 415 2,075 2,075 2,075 2,075

d. Penguatan sarana dan prasarana UPT produksi vaksin dan bahan biologik

68

f. Penguatan SDM

1.020

1.020

1.020

1.020 1.020 6,120 6,120 6,120 6,120

g. Penguatan THL Keswan

1.000

1.100

1.200

1.300 1.400 6,600 7,200 7,800 8,400

h. Respon Cepat Pengenda PHMS

35

35

35

35 35

14,000 14,000 14,000 14,000

E. Peningkatan kesehatan hewan pemasukan dan pengeluaran (%)

7 7 7 7

15,940 15,740 15,740 15,740

a. Koordinasi nasional dan internasional

5

5

7

7

7 7

0,700 0,700 0,700 0,700

b. Konsistensi keanggotaan internasional

5

5

5

5 5

0,500 0,500 0,500 0,500

c. 7 7 0,140 0,140 0,140 0,140

69

Penilaian kelayakan perusahaan dan produk

6 7 7

d. Analisa resiko

34

34

34

34 34 1,700 1,700 1,700 1,700

e. Sistem informasi

320

415

415

415 415 8,300 8,300 8,300 8,300

f. Penyusunan Regulasi dan pedoman

3

5

4

4 4

1,000 0,800 0,800 0,800

g. Peningkatan Kapasitas SDM

90

120

120

120 120

3,600 3,600 3,600 3,600

F. Peningkatan mutu vaksin dan obat hewan (%)

16

56

34

34

53,800 46,300 51,300 56,300

a. Penguatan infrastruktur

2

2

6

4 4

50,000 33,500 43,500 48,500

b. Penguatantan alat produksi

4

6

30

20 20

1,500 7,500 5,000 5,000

70

c. Penguatan alat pengujian

7

8

20

10 10

2,000 5,000 2,500 2,500

d. Peningkatan Kapasitas SDM

4

6

6

6 6

0,300 0,300 0,300 0,300

G. Peningkatan mutu dan kemanan bahan pakan asal hewan (%)

7 7 7 7

6,950 6,950 6,950 6,950

a. Konsistensi keanggotaan internasional

5

5

5

5 5

0,250 0,250 0,250 0,250

b. Penilaian kelayakan perusahaan dan produk

c. Analisa resiko

9

9

9

9 9 1,350 1,350 1,350 1,350

d. Sistem

45

45

45

45 45 2,250 2,250 2,250 2,250

71

informasi

e. Penyusunan Regulasi dan pedoman

2

2

2

2 2

0,300 0,300 0,300 0,300

f. Peningkatan Kapasitas

8

8

8

8 8 2,800 2,800 2,800 2,800

H. Peningkatan Volume ekspor obat hewan (ton)

3,520 3,696 5,280 5,280

a. Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB)

18

20

21

30 30

3,520 3,696 5,280 5,280

72