rangkuman eksekutif rabies

51
RANGKUMAN EKSEKUTIF Penanggulangan rabies di Bali masih dipandang perlu lebih diperkuat dan dipercepat (reinforced and accellerated) dengan target yang lebih tepat sasaran. Pelaksanaannya harus cepat dan serentak. Dengan pertimbangan bukti ilmiah terbaik serta mengkaji pelajaran dari pelaksanaan program penanggulangan wabah rabies di Bali sampai Januari 2009, kami merekomendasikan hal-hal mendasar sebagai berikut. Pertama, Tim Penanggulangan Rabies Bali sebaiknya dipimpin langsung oleh Gubernur atau Wakil Gubernur Bali dengan tim pengarah dan sekretariat eksekutif yang professional yang mempunyai otoritas penuh, sumber daya manusia, dan pendanaan yang memadai. Mempertimbangkan sumber daya yang tersedia, kami mengusulkan agar tugas sekretariat eksekutif didelegasikan kepada FKH Universitas Udayana dengan otoritas dari

Upload: bakta-made

Post on 05-Aug-2015

71 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rangkuman Eksekutif Rabies

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Penanggulangan rabies di Bali masih dipandang perlu lebih diperkuat

dan dipercepat (reinforced and accellerated) dengan target yang lebih

tepat sasaran. Pelaksanaannya harus cepat dan serentak. Dengan

pertimbangan bukti ilmiah terbaik serta mengkaji pelajaran dari

pelaksanaan program penanggulangan wabah rabies di Bali sampai Januari

2009, kami merekomendasikan hal-hal mendasar sebagai berikut. Pertama,

Tim Penanggulangan Rabies Bali sebaiknya dipimpin langsung oleh

Gubernur atau Wakil Gubernur Bali dengan tim pengarah dan sekretariat

eksekutif yang professional yang mempunyai otoritas penuh, sumber daya

manusia, dan pendanaan yang memadai. Mempertimbangkan sumber daya yang

tersedia, kami mengusulkan agar tugas sekretariat eksekutif

didelegasikan kepada FKH Universitas Udayana dengan otoritas dari

pemerintah daerah. Tugas sekretariat eksekutif antara lain: (a)

merencanakan program penanggulangan yang dievaluasi setiap hari sesuai

dengan perkembangan (open document); (b) mengkoordinasikan dan

melaksanakan gerakan dinas dan stakeholder teknis, baik dalam lingkup

lokal, nasional, bahkan internasional, termasuk mengikut-sertakan

kalangan wartawan media cetak maupun elektronik; dan (c) menjalin

kerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat. Prinsip kerja tim

adalah berbasis bukti ilmiah terbaik, kolaborasi lokal, nasional, dan

internasional, dukungan teknologi modern, transparansi otoritas

kesehatan, dan akurasi dan kecepatan media massa. Kedua, alternatif

vaksin rabies hewan yang hanya memerlukan injeksi tunggal perlu

dipertimbangkan untuk program penanggulangan rabies di Bali. Jika

rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali, lebih-lebih jika

satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies yang diberikan bersama

umpan makanan perlu disiapkan. Ketiga, standar internasional penanganan

rabies pada manusia, yaitu pemberian VAR dan SAR secara bersamaan,

harus diupayakan. Persediaan VAR dan SAR harus cukup. Keempat,

Page 2: Rangkuman Eksekutif Rabies

Pemerintah Bali harus segera meminta dukungan nasional dan

internasional untuk dukungan sumber daya manusia, vaksin untuk hewan

yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR.

1. Pendahuluan

Wabah rabies sedang berjangkit di Bali. Provinsi Bali telah dinyatakan

sebagai daerah tertular rabies, secara lokal, nasional, dan bahkan

internasional. Hal ini dinyatakan melalui Peraturan Gubernur No.

88/2008 dan Peraturan Bupati Badung No. 53/2008, Keputusan Menteri

Pertanian No.1637.1/2008 tertanggal 1 Desember 2008, serta OIE sejak 18

Desember 2008 (http://www.oie.int/wahis/public.php?

page=single_report&pop=1&reportid=7621).

Respon pemerintah Bali untuk mengendalikan wabah tersebut sudah

dilakukan dengan cukup cepat dan sesuai prosedur baku nasional. Respon

itu didukung penuh oleh berbagai lembaga yang ada di Bali dan pusat

Jakarta. Dukungan internasional juga telah diperoleh. Prosedur baku

dimaksud adalah Kiatvetindo Rabies yang diterbitkan oleh Direktorat

Jenderal Peternakan, Deptan. Lembaga seperti Balai Besar Veteriner

Denpasar, Balai Karantina Pertanian Klas I Denpasar, Yayasan Yudisthira

Suwarga, Bali Animal Welfare Association (BAWA), Persatuan Dokter Hewan

Indonesia (PDHI) Cabang Bali dan FKH Universitas Udayana telah

memberikan dukungan pemikiran, diagnostik, tenaga vaksinasi,

penyuluhan, eliminasi, serta kegiatan operasional lainnya. Wartawan,

media elektronik dan cetak yang bertugas di Bali juga telah memberikan

kontribusi penting dengan pemberitaan yang cepat dan akurat. Dirjen

Peternakan juga telah memberikan dukungan tenaga untuk membantu proses

pengambilan keputusan dan vaksin rabies untuk anjing, kucing, dan

monyet. Lebih lanjut, Pengurus Besar PDHI juga selalu memberikan

masukan untuk memperbaiki respon lokal serta mengusahakan Vaksin Anti

Rabies (VAR) untuk petugas lapangan pada saat awal penanganan wabah.

Page 3: Rangkuman Eksekutif Rabies

Dukungan internasional telah diberikan oleh FAO Roma dengan penugasan

staf untuk monitoring wabah dan masukan berharga untuk respon yang

sesuai. Lembaga ACIAR melalui Project ACIAR AH 2006-166-AusAID juga

telah membantu logistik vaksinasi dan sosialisasi serta piranti

diagnostik rabies yang baku untuk dugaan kasus pada hewan. Bantuan

ACIAR tersebut disalurkan melalui Yayasan INIRADEF.

Walaupun sudah dilakukan dengan cepat, penanggulangan rabies di Bali

masih dipandang perlu lebih diperkuat dan dipercepat (reinforced and

accellerated) dengan target yang lebih tepat sasaran.

Ancaman rabies bagi Bali tidak hanya kematian hewan kesayangan,

kematian orang, tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya rasa aman

penduduk. Wabah rabies telah menyebabkan kematian ribuan ekor anjing,

karena positif rabies, dicurigai membawa rabies karena menunjukkan

gejala rabies atau telah kontak dekat dengan anjing yang positif rabies

(data yang tepat dipresentasikan oleh Dinas Peternakan Bali).

Pada orang, penyakit rabies telah dikonfirmasi pada setidak-tidaknya

dua orang. Lima orang yang lain tercatat secara resmi sebagai kasus

terduga (suspect) rabies berdasarkan diagnosis klinis dan

epidemiologis. Informasi yang dapat kami kumpulkan, setidak-tidaknya

masih ada tiga kasus kematian yang tidak tercatat sebagai terduga

(suspect) rabies. Data ini dikumpulkan dari sejawat dokter dan dokter

hewan yang berada di daerah Paninsula Bukit. (Data resmi

dipresentasikan dari Dinas Kesehatan Bali).

Dari kasus pada anjing dan orang itu jelas bahwa semua kasus rabies

berakhir dengan kematian. Jumlah kasus gigitan anjing ke manusia

memperlihatkan trend yang terus meningkat, terhitung sejak bulan

November 2008. Sampai saat tulisan ini disusun (1 Februari 2009),

jumlah kasus gigitan dan permintaan VAR pada Rabies Center telah

Page 4: Rangkuman Eksekutif Rabies

mendekati 500 orang (Data resmi dipresentasikan dari Dinas Kesehatan

Bali). Data ini dapat sebagai refleksi keberhasilan kegiatan

sosialisasi dan komunikasi, informasi, serta edukasi publik. Di

samping itu, meningkatnya jumlah kasus gigitan dapat juga merefleksikan

meningkatnya insidens rabies. Meningkatnya kekhawatiran masyarakat

dapat dipantau dari meningkatnya konsultasi kesehatan setelah mereka

digigit anjing, pada hal banyak dari mereka yang digigit anjing berasal

dari daerah yang masih berstatus bebas rabies. Dengan demikian,

tingginya permintaan VAR dapat juga dipandang sebagai indikator

hilangnya rasa aman masyarakat. Jumlah tersebut diprediksi masih akan

meningkat, setidak-tidaknya sampai dengan akhir bulan Februari 2009.

Insidens rabies, yang pada akhirnya berujung pada gigitan manusia,

sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya cakupan (coverage) vaksinasi di

daerah tertular dan kecepatan untuk mengeliminasi anjing yang telah

terpapar dengan anjing tertular rabies.

Sebagai daerah tujuan wisata nasional dan internasional, dampak rabies

dapat sangat luas, ditinjau dari aspek kesehatan, sosial, dan budaya,

sampai pada keamanan dan ketertiban masyarakat. Hal ini dapat terjadi

karena ancaman menurunnya pendapatan penduduk Provinsi Bali akibat

menurunnya jumlah kunjungan wisatawan. Dampak ikutannya bahkan dapat

lebih luas, karena industri pariwisata Bali disokong oleh pasokan

produk-produk dari daerah lain di Indonesia. Pariwisata Bali diyakini

menyumbang pendapatan devisa negara sampai pilihan milyar dolar (data

resmi yang mutakhir tidak diperoleh). Yang pasti, ‘industri tanpa

cerobong asap’ ini menyokong hampir 50% penduduk propinsi Bali.

Pekerja-pekerja pariwisata tidak seluruhnya asli Bali. Sebagian

berasal dari daerah lain di Indonesia, sebagian kecil lagi

berkewarganegaraan asing. Industri pariwisata Bali juga ditunjang oleh

pasokan produk-produk dari daerah lain di Indonesia.

Page 5: Rangkuman Eksekutif Rabies

Berbeda dengan ancaman rabies di daerah lain di Indonesia, dan bahkan

dunia, ancaman rabies di Bali sangat spesifik. Hal ini karena kekhasan

sosio-kultural dan bio-geografi Bali. Sebagai daerah padat penduduk,

Bali juga padat hewan pembawa rabies (HPR), anjing, kucing, monyet, dan

bahkan kelelawar. Jika ditelusuri, daerah atau pulau dengan interaksi

yang sangat dekat antara orang-anjing-kucing-monyet-kelelawar seperti

Bali mungkin tidak ada. Beberapa koloni monyet dan kelelawar bahkan

menjadi obyek wisata yang selalu ramai pengunjung.

Populasi anjing di Bali sangat padat. Data akurat tentang populasi

anjing – spesies pembawa rabies utama - memang tidak tersedia. Estimasi

populasi yang tersedia tampaknya kurang tepat diterapkan di Bali. Jika

ratio anjing dan penduduk di Bali yang digunakan berdasarkan pedoman

WHO, yaitu 1 : 16, maka populasi anjing di Bali adalah sekitar 230.000

saja. Dengan ratio tersebut, jumlah anjing per kilometer persegi hanya

sekitar 40 ekor. Sedangkan ratio yang ditemukan oleh Yayasan

Yudistira, LSM yang bergerak dalam pengendalian populasi anjing secara

manusiawi (humane) di Bali, 1 : 6,5 (antara 5 – 8). Dengan demikian

populasi anjing di Bali sekitar 540.000 ekor atau 96 ekor/km2. Jumlah

tersebut termasuk anjing yang dirumahkan (dirantai, dikandangkan, atau

dilepas dalam pagar rumah), anjing dengan pemilik yang dirumahkan dan

dilepas, anjing dengan pemilik yang dilepaskan, dan anjing tanpa

pemilik (mirip feral dog). Proporsi anjing yang benar-benar dirumahkan

tampaknya hanya sekitar 30% saja, atau bahkan kurang. Sisanya

merupakan anjing geladag (stray dog) yang berkeliaran di jalan-jalan,

tempat-tempat umum, tempat upacara adat, tempat sampah, dan semak-

semak.

Dengan kondisi seperti itu, pengendalian rabies merupakan tantangan

yang berat. Akan tetapi, memperhatikan perhatian nasional dan

internasional, serta modal komitmen, kapasitas, dan kerjasama antar

Page 6: Rangkuman Eksekutif Rabies

stakeholder yang telah ditunjukkan, pengendalian rabies di Bali

memberikan peluang yang amat besar, sebagai Percontohan Pengendalian

Ancaman Penyakit Menular Bersumber Hewan (Zoonosis) modern bagi daerah

lain di Indonesia serta bagi negara-negara berkembang di dunia.

Dalam keterlibatan kami sebagai pakar dalam Tim Teknis Penanggulangan

Rabies Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, kami mengidentifikasi

beberapa masalah yang sangat kritis bagi keberhasilan penanggulangan

dan pemberantasan rabies di Bali. Masalah-masalah yang hendak disoroti

dalam kertas kerja ini akan diuraikan secara ringkas berikut ini.

2. Identifikasi Masalah

1. Sistem pengendalian insiden rabies yang terintegrasi lintas

sektoral/instansi/ agensi belum berjalan dengan baik.

a. Berbagai stakeholders yang memiliki kepentingan tinggi dalam

pemberantasan rabies di Bali belum terlibat, misalnya kalangan

pariwisata, pedagang/peternak anjing, dan lain-lain.

b. Kalangan wartawan masih menyampaikan berita secara parsial.

c. Mekanisme untuk penyaluran bantuan sumber daya, peralatan, dan dana

dari luar sumber-sumber resmi belum tersedia.

d. Penanggulangan rabies masih dianggap tugas pemerintah saja,

sehingga peran serta masyarakat desa masih dirasakan kurang, serta

inisiatif selalu berasal dari dinas terkait saja.

e. Vaksinasi massal lewat pos vaksinasi di Balai Banjar di daerah

Bukit kurang memberi hasil optimal karena informasi tidak sampai kepada

sebagian masyarakat. Hal ini berdampak pada rendahnya cakupan vaksinasi

dan siklus penularan rabies antar anjing masih dapat berlangsung.

f. Dana yang tersedia relatif kurang memadai serta pencairannya

lambat, sehingga tidak dapat diperuntukkan untuk status krisis.

g. Fase emergensi penyakit rabies berbeda dengan bencana alam pada

umumnya. Fase ini diperkirakan akan berlangsung 6 – 12 bulan. Dengan

rentang waktu yang panjang tersebut, ‘kerelaan’ relawan sulit

Page 7: Rangkuman Eksekutif Rabies

dipertahankan.

2. Eliminasi anjing di Bukit tidak mudah dilakukan karena hambatan

geografis serta protes dari kalangan penggiat kesejahteraan hewan

(kesrawan). Protes keras penggunaan racun strychnine, sebagai satu-

satunya pilihan yang ada untuk eliminasi massal. Eliminasi yang sesuai

dengan azas kesrawan (humane killing) dengan menjaring, bius umum dan

etanasi hanya bagus di atas kertas tapi di lapangan sulit dilaksanakan,

sangat lambat.

3. Penggunaan vaksin rabies yang harus dibooster setelah 3 bulan

(rabivet) sangat melelahkan, sedangkan pilihan lain tersedia di pasar

yang menimbulkan durasi kekebalan 1 - 3 tahun.

4. Kesiapsiagaan rabies pada orang dengan hanya pemberian VAR tanpa

Serum Anti Rabies (SAR) atau rabies immunoglobulin (RIG), serta

berdasarkan informasi jumlah VAR yang tersedia masih sangat terbatas.

5. Mekanisme pengendalian rabies melalui penutupan wilayah dan

pengawasan check-points belum berjalan sebagaimana mestinya

6. Sosialisasi penanggulangan rabies masih bersifat insidental dan

responsif dan tidak dilakukan secara sistematis dan direncanakan dengan

baik

7. Secara geografis, kami menduga bahwa siklus rabies masih tetap

berlangsung di daerah Semenanjung Bukit (8 desa, terutama di Unggasan),

diduga karena rendahnya cakupan vaksinasi dan segera perlu diambil

langkah-langkah pengendalian yang lebih intensif.

3. Pembahasan

3.1 Virus dan Epidemiologi Rabies

Penyakit rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh Rhabdovirus yang

menular terutama melalui gigitan hewan pembawa dan dapat menyerang

semua hewan berdarah panas dan manusia, serta menyebabkan kerusakan

system syaraf pusat yang selalu fatal. Rabies masih merupakan salah

satu penyakit zoonosis yang tetap menghantui ketentraman masyarakat di

Page 8: Rangkuman Eksekutif Rabies

Indonesia. Informasi dari Direktoral Jendral Peternakan yang dikutip

oleh Susetya et al. (2008) rabies sangat sulit dikendalikan dan

sekarang telah bersifat endemis di beberapa wilayah di Indonesia

seperti Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Hal

tersebut terjadi sebagai akibat dari sulitnya mengimplementasikan

program penanggulangan rabies, beberapa diantaranya berkaitan dengan

kondisi geografi dan faktor sosial budaya.

Anjing tampaknya menjadi vektor utama virus rabies di Bali. Sekalipun

peluang sebagai pembawa dan penyebar rabies jauh lebih kecil, vektor

yang lain seperti kucing, monyet, dan kelelawar harus dimasukkan

sebagai factor risiko. Anjing merupakan host dan vektor utama virus

rabies di seluruh dunia (Wandeler et al. 1993). Hal ini terutama di

wilayah ekuatorial di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Rabies memang

pernah dilaporkan ditularkan oleh kucing, tetapi hewan ini tampaknya

kurang dominan sebagai karier rabies, karena bio-ekologi yang tidak

seluas anjing, serta hewan ini memperolah rabies dari anjing.

Sedangkan monyet, meskipun mungkin saja terjadi, tetapi laporan rabies

pada kera yang hidup alami tidak ada sama sekali. Karnivora lain yang

dilaporkan sebagai pembawa rabies (sylvatic rabies) adalah srigala,

rakun, koyot, jakal, dan mongus di Benoa Antartika, Amerika Utara,

Eropa, serta beberapa Negara di Afrika, dan Asia relatif jarang di

Bali. Peran kelelawar di Bali juga perlu dimonitor. Sepanjang data

yang tersedia, kelelawar yang ada di Bali termasuk pemakan buah.

Kelelawar pemakan insekta dan pengisap darah yang dilaporkan sebagai

pembawa rabies di Amerika Utara dan Selatan, serta di Australia tidak

ada di sini.

Berdasarkan data sementara, virus rabies diduga masuk ke Kecamatan

Kuta Selatan awal 2008. Saat ini sedang dilakukan penelusuran (tracing)

proses pemasukan virus rabies tersebut. Sampai saat ini, penyebaran

rabies terlokalisir di Desa Unggasan, Jimbaran dan Kedonganan, akan

Page 9: Rangkuman Eksekutif Rabies

tetapi kasus positif yang diduga disebarkan oleh anjing penderita yang

berkelana telah ditemukan di Kuta Utara dan Denpasar Selatan.

Pendekatan molekuler akan dapat mengetahui jenis virus rabies yang

mewabah di Bali. Virus rabies termasuk dalam keluarga Rhaddoviridae,

yaitu virus-virus yang mempunyai genom RNA berpolaritas negative serta

tidak bersegmen dalam orde Mononegavirales (Rose dan Whitt 2001).

Bersama-sama dengan virus Lagos bat, European bat, Australian bat,

Mokola, Duvenhage, Obodhaing, dan Kotonkan, virus Rabies (RABV)

dikelompokkan dalam Genus Lyssavirus (Mattos et al. 2001). Penggolongan

ini didasarkan pada reaksi serologi uji netralisasi silang antar virus.

Teknik serologi memperlukan fasilitas dengan faktor keamanan tinggi.

Akhir-akhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, klasifikasi virus

didasarkan pada sekuens cDNA suatu isolat (Bourhy et al. 1993; Sugiyama

dan Ito 2007; Susetya et al. 2008).

Kemungkinan sumber virus rabies di Bali adalah dari wilayah-wilayah

endemik rabies di Indonesia. Penyakit rabies telah dilaporkan sejak

abad 19 di Indonesia. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.

1096/1999 (Balai Karantina Pertanian Denpasar, 2008), daerah yang

termasuk bebas di Indonesia adalah Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur (Kecuali Pulau Flores), Maluku, Irian Jaya, Kalimantan

Barat, Pulau Madura, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Status

bebas dengan vaksinasi dilakukan di tiga daerah yang disebut terakhir

itu. Dari data tersebut, daerah-daerah endemik rabies di Indonesia

adalah Pulau Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores.

Filogeografis virus rabies di Indonesia dan Asia merupakan data dasar

yang penting untuk pendugaan asal virus yang mewabah di Bali. Susetya

et al. (2008) memetakan hubungan genetik virus rabies di Indonesia dan

menyimpulkan bahwa tiga kelompok genetik besar, yaitu ID1, ID2, dan

Page 10: Rangkuman Eksekutif Rabies

ID3. ID1 adalah virus-virus yang bersirkulasi di Sumatra, ID2 di Jawa,

dan ID3 di Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Peneliti-peneliti tersebut

juga membuktikan dengan jelas bahwa asal virus rabies yang mewabah di

Flores adalah Sulawesi (Susetya et al. 2008). Temuan ini sejalan

dengan data epidemiologi bahwa wabah di Flores terjadi akibat pemasukan

anjing dari Pulau Buton, Sulawesi. Dalam wilayah geografis yang lebih

luas, Susetya et al. (2008) dan Sugiyama dan Ito (2007) menunjukkan

bahwa virus rabies Indonesia berkerabat dekat dengan virus yang

ditemukan di Filipina dan China. Klaster itu berada terpisah dengan

virus yang ditemukan di Malaysia, Cina Selatan, Asia Tengah, Timur

Tengah, Eropa, dan Afrika. Informasi genetik isolat-isolat virus

rabies dapat diunduh dari jaringan internet, dan sangat bermanfaat

untuk mengetahui asal virus yang mewabah di Bali. Informasi ini pada

akhirnya sangat berharga dalam mengguting penyebaran di masa yang akan

datang.

3.2 Patogenesis Rabies

Virus rabies menginfeksi hewan dan manusia melalui gigitan hewan

pembawa. Virus tidak dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit yang

sehat. Dari data yang tersedia, 99.8% rabies pada manusia berasal dari

gigitan hewan. Penularan yang tanpa melalui gigitan dilaporkan pernah

terjadi akibat inhalasi udara yang kaya virus rabies, cakaran hewan,

penjilatan hewan, transplantasi kornea dari donor terinfeksi (de Mattos

et al. 2001). Perkembangan penyakit tergantung pada lokasi dan

kehebatan luka gigitan, konsentrasi virus dalam gigitan, spesies hewan

pembawa, dan galur virus. Mortalitas tertinggi cenderung terjadi pada

orang yang tergigit di daerah kepala atau muka (40%-80%), mortalitas

menengah pada mereka yang digigit di tangan (15%-40%), dan terkecil

jika digigit pada kaki (5%-10%).

Page 11: Rangkuman Eksekutif Rabies

Masa inkubasi rabies pada hewan dan manusia sangat bervariasi. Masa

itu umumnya antara 1 – 2 bulan. Akan tetapi, variasinya sangat lebar,

dari sangat cepat (1 minggu) sampai beberapa tahun. Masa inkubasi

tergantung pada jarak relatif gigitan dengan system syaraf pusat,

kehebatan luka dan dalamnya gigitan, strain dan dosis virus, umur, dan

status kekebalan.

Patogenesis virus rabies merupakan pengetahuan penting untuk

penanganan dan pencegahan kasus pada hewan dan orang. Untuk maksud

tersebut, anatomi serabut dan sel syaraf ditampilkam pada Gambar 1.

Gambar tersebut menunjukkan bahwa sel neuron berhubungan dengan organ

atau jaringan melalui akson sebagai serabut syaraf yang terbungkus

myelin. Serabut-serabut syaraf bergabung membentuk bundel serabut

syaraf. Selubung myelin dibentuk oleh sel-sel Schwan sepanjang serabut

syaraf yang bertindak sebagai ‘insulator’ rangsangan. Diantara sel-sel

Schwan terdapat nodus-nodus Ranvier.

Gambar 1. (Dihilangkan)

Anatomi Neuron dengan akson (atas kiri), serabut syaraf (atas kanan),

dan selubung myelin yang dibentuk oleh sel-sel Schwan dengan Ranvier

Nodus (bawah).

Sumber: www.southalabama.

edu/alliedhealth/biomedical/311Anatomy/Chapter12.ppt

Dari semua literatur, para peneliti satu kata, bahwa jaringan target

virus rabies adalah jaringan syaraf di system syaraf pusat. Tropisme

Page 12: Rangkuman Eksekutif Rabies

pada neuron merupakan gambaran utama pada infeksi alami, dengan

replikasi virus sangat eksklusif di neuron (Mattos et al. 2001). Akan

tetapi, mekanisme virus dari tempat gigitan sampai di otak terdapat

berbagai pandangan yang masing-masing didukung oleh bukti ilmiah yang

kuat. Virus tersebut mencapai jaringan otak secara neurogenik, yaitu

malalui serabut syaraf. Bukti virus menyebar secara hematogenik tidak

ada sama sekali. Dengan asumsi bahwa semua publikasi tentang

patogenesis rabies didukung bukti ilmiah yang kuat, dapat disimpulkan

bahwa setelah gigitan hewan pembawa virus dapat langsung menuju serabut

syaraf (Baer 1975 dikutip oleh de Mattos et al. 2001), dapat juga

menginfeksi myosit, dan bertahan di tempat gigitan selama beberapa jam

atau bahkan minggu. Di samping myosit, virus dapat juga bertahan pada

tempat gigitan pada sel yang lain. Virus rabies dilaporkan persisten

pada monosit.

Produk replikasi lokal atau kontaminan langsung dari air liur hewan

pembawa memasuki serabut syaraf pada ujung serabut syaraf yang tidak

bermyelin. Tentang mekanisme transport pada serabut syaraf juga tidak

ada kesamaan pendapat. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa transport

pada serabut syaraf dalam bentuk RNP, sementara yang lain dalam bentuk

partikel virus yang utuh. Keduanya dapat saja terjadi. Akan tetapi,

memperhatikan bukti bahwa partikel virus yang ‘menyembul’ (budding)

pada Nodus Ranvier, teori yang lebih akurat tampaknya adalah infeksi

dan penularan antar sel-sel Schwan. Hal ini lebih mudah dapat

diterangkan berdasarkan landasan teori bahwa virus menular antar sel

melalui reseptor permukaan. Ini hanya dapat terjadi pada partikel

virus yang lengkap. Fakta bahwa virus rabies menjalar ke system syaraf

pusat dengan kecepatan 3 mm/jam juga mendukung teori tersebut.

Sedangkan penyebaran di sumsum tulang belakang dan susunan syaraf pusat

dapat saja terjadi bersama cairan serebrospinal.

Setelah memperbanyak diri di otak, virus selanjutnya menjalar secara

Page 13: Rangkuman Eksekutif Rabies

sentrifugal menuju berbagai organ. Penjalaran juga melalui serabut

syaraf. Penjalaran ke kelenjar ludah sebenarnya merupakan stadium akhir

infeksi, akan tetapi stadium ini menjadi sangat kritis karena sangat

penting dalam penularan antar hewan dan dari hewan ke manusia. Di

kelenjar ludah, virus memperbanyak diri pada sel-sel acinar dan

dikeluarkan bersama aliran ludah. Disamping kelenjar dan air ludah,

virus dapat juga ditemukan di selaput lendir mulut dan hidung, lidah,

kulit, folikel rambut, retina, dan kornea (Murphy 1985; Murphy et al.

1973).

3.3 Penanganan rabies pada hewan

Standar internasional penanganan rabies yang ditularkan oleh anjing

dan kucing dilakukan oleh lembaga yang professional dan didukung public

dengan cara (1) eliminasi dan pengendalian anjing dan kucing jalanan

(stray animal), (2) pengawasan lalu lintas hewan kesayangan, (3)

tindakan penutupan wilayah dan karantina, (4) vaksinasi anjing dan

kucing, (5) diagnosis dan surveilans yang sensitive dan akurat, (6)

monitoring program penanggulangan, dan (7) edukasi publik (Fenner et

al. 2003). Khusus untuk Bali, proteksi satwa liar yang bernilai

religious seperti monyet dan kelelawar harus juga diprioritaskan.

Vaksin rabies hewan yang diproduksi dengan teknologi biakan sel dalam

bentuk inaktif maupun virus yang diatenuasikan telah terbukti berdaya-

guna baik dan aman (Fenner et al. 2003). Akan tetapi, sesuai dengan

rekomendasi produsen vaksin rabies di Indonesia, yaitu Pusat

Veterinaria Farma (PUSVETMA), vaksin yang digunakan saat ini harus

diulang setelah tiga bulan dan selanjutnya setiap tahun untuk

memperoleh kekebalan yang berlangsung lama. Dari pengalaman melakukan

vaksinsi massal di Badung dan Denpasar, prosedur seperti itu

Page 14: Rangkuman Eksekutif Rabies

menyebabkan program vaksinasi ini menjadi boros waktu dan tenaga. Dari

berbagai informasi yang tersedia, vaksin rabies hewan yang hanya

memerlukan injeksi tunggal untuk menghasilkan kekebalan yang lama

sebenarnya tersedia di pasar. Alternatif ini perlu dipertimbangkan

untuk program penanggulangan rabies di Bali.

Di samping vaksin yang harus diberikan melalui suntikan, vaksin yang

dapat diberikan melalui umpan makanan juga sudah tersedia dan dicobakan

dengan hasil baik. Vaksin jenis ini telah dicobakan pada satwa liar di

Swiss dan Jerman (WHOCCFSR 1991), Kanada, dan Amerika Serikat (Aubert

et al. 1994; Lawson et al. 1992; Rosatte et al. 1993) Vaksin itu semula

mengandung virus yang dilemahkan. Belakangan ini telah dikembangkan

vaksin rekombinan dengan virus cacar (Brochier et al. 1991) dan telah

terbukti dapat dipakai pada satwa liar (Fearneyhough et al. 1998).

Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali, lebih-lebih jika

satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies modern itu perlu

disiapkan.

3.3 Penanganan Rabies pada Orang

Rabies pada orang hampir 100% dapat dicegah baik pada orang yang belum

tergigit (pre-eksposur) maupun pada orang yang telah tergigit (post-

eksposur). Sekalipun demikian, rabies masih menjadi penyakit global

yang selalu berakhir dengan kematian, dengan hanya beberapa

perkecualian (Alvarez et al. 1994). Lebih dari 4 juta orang diberikan

profilaksis antirabies setiap tahun. Walaupun dapat dicegah, lebih dari

50.000 orang meninggal karena rabies, terutama gigitan anjing tertular

(Meslin et al. 1994).

Pencegahan sebelum terpapar (pre-eksposur) diberikan pada mereka yang

berisiko terpapar virus rabies. Kelompok orang yang termasuk memerlukan

Page 15: Rangkuman Eksekutif Rabies

vaksinasi rabies sebelum terpapar antara lain peneliti rabies di

laborarotium, pekerja pabrik bahan biologi anti-rabies, pekerja

diagnostik rabies di lab, pengendali populasi hewan di daerah tertular,

dan pekerja yang sering menangani monyet dan kelelawar (Manning et al.

2008). Pencegahan rabies pada semua penduduk suatu daerah tertular

berat secara teoritis dapat dilakukan, tetapi secara ekonomis tidak

bisa dilakukan. Vaksin rabies masal untuk orang tidak pernah dilakukan.

Penanganan pre-eksposur meliputi dua tahap yaitu tahap primer dan

booster. Tahap primer dilakukan dengan penyuntikan vaksin secara intra-

muskuler dengan banyak ulangan sesuai dengan rekomendasi produsen

vaksin dan kebijakan suatu negara. Di Amerika Serikat dilakukan

sebanyak 3 kali, yaitu hari 0, yaitu saat vaksinasi pertama dan diulang

7 dan 21 atau 28 hari berikutnya. Tahap booster dilakukan dengan satu

kali vaksinasi dalam waktu dua tahun (Manning et al. 2008).

Untuk orang yang terpapar dan belum pernah divaksinasi sebelumnya,

standar internasional merekomendasikan pemberian rabies immunoglobulin

(RIG) atau serum anti rabies (SAR) secara bersamaan dengan pemberian

vaksin anti-rabies (VAR). Sedangkan bagi mereka yang telah pernah

divaksin, rekomendasinya adalah pemberian VAR saja (Manning et al.

2008). Perlakuan pasca tergigit atau terpapat (post-eksposure) meliputi

pembersihan dan eksplorasi luka gigitan dengan sabun dan air yang

berlebihan serta irigasi luka dengan yodium. Pemberian SAR atau RIG

dilakukan dengan infiltrasi disekeliling luka gigitan dengan dosis 20

IU/kg berat badan. Pada mereka yang belum pernah divaksinasi, VAR

diberikan pada bagian tubuh yang berjauhan dengan tempat pemberian SAR

atau RIG. Di Amerika Serikat, rekomendasi VAR pada orang yang belum

pernah divaksinasi adalah lima kali, yaitu hari ke-0, 3, 7, 14, dan

28. Sedangkan VAR untuk orang yang pernah divaksin hanya dua kali

yaitu hari ke-0 dan 3 (Manning et al. 2008).

Page 16: Rangkuman Eksekutif Rabies

Vaksin untuk rabies orang yang direkomendasikan diseluruh dunia saat

ini adalah vaksin yang diproduksi dari biakan sel. Vaksin tersebut

terbukti lebih baik dengan efek samping yang minimum (Strady et al.

1998).

4. Rekomendasi Penanggulangan Rabies di Bali

4.1 Sistem Penanggulangan Rabies

Dengan dasar ilmiah seperti itu, pengendalian rabies pada anjing harus

dilakukan dengan cepat dan serentak. Semakin lama waktu yang

dibutuhkan, semakin besar peluang virus rabies akan bersirkulasi pada

hewan-hewan pembawa liar seperti monyet dan kelelawar. Dengan kondisi

bio-geografis Bali, yaitu mudahnya interaksi orang-anjing-kucing-monyet-

kelelawar, hewan-hewan liar seperti monyet dan kelelawar dapat saja

tertular. Jika hal itu sampai terjadi, ancaman pada orang dan

pariwisata akan semakin besar.

Dengan pertimbangan itu juga, berbagai stakeholders mempunyai

kepentingan yang tinggi untuk penanggulangan dan pembebasan Bali dari

rabies. Stakehoder tersebut meliputi instansi dan perusahanaan

peternakan, kesehatan ternak, kesehatan hewan kesayangan, pariwisata,

karantina, sosial, dan bahkan adat-budaya. Yang disebut terakhir juga

dimasukkan karena pembunuhan anjing akan dianggap sebagai bertentangan

dengan tata-nilai, penggunaan anjing untuk sarana upakara tertentu,

serta lokasi-lokasi dimana terdapat koloni monyet dan kelelawar

merupakan tempat-tempat suci penting bagi orang Hindu Bali seperti

Uluwatu, Sangeh, Goa Lawah, dan lain-lain.

Bahwa faktor kecepatan dan keserantakan merupakan kunci utama

penanggulangan rabies, dan dengan kepentingan stakeholder yang luas,

organisasi penanggulangan rabies harus mempunyai otoritas yang tinggi,

Page 17: Rangkuman Eksekutif Rabies

dilakukan oleh personil yang professional, dan didukung pendanaan yang

kuat. Karena lingkup penaggulangan rabies di Bali juga menjadi

kepentingan nasional dan internasional, kerjasama nasional dan

internasional harus operasional. Tim Koordinasi yang digariskan secara

nasional diyakini tidak akan optimal. Dari pengetahuan kami, Surat

Keputusan Tim Kordinasi Propinsi Bali bahkan belum ditanda-tangani.

Untuk pelibatan masyarakat desa, suatu tim terlatih di tingkat desa

harus juga dibentuk. Tim itu menjadi simpul-simpul penanggulangan

rabies. Pelibatan semua stakeholder sampai masyarakat desa akan

mendorong proses dukungan semua pihak (buy-in) pada program

penanggulangan. Dengan demikian, upaya penanggulangan rabies dilakukan

secara cepat dan serentak.

Mencermati lingkup penanggulangan rabies seperti itu, Tim

Penanggulangan Rabies Bali diusulkan dipimpin langsung oleh Gubernur

atau Wakil Gubernur Bali. Didalamnya terdapat tim pengarah (steering

group) yang terdiri dari dinas-dinas dan stakeholder terkait.

Operasional tim dilakukan sekretariat eksekutif. Tim eksekutif terdiri

dari orang professional dari masing-masing lembaga terkait dan/atau

pihak luar (outsourcing) yang ditugaskan merencanakan program

penanggulangan yang dievaluasi setiap hari sesuai dengan perkembangan

(open document), mengkoordinasikan, serta melaksanakan gerakan dinas

dan stakeholder teknis, baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan

internasional. Tim teknis tersebut diberikan tugas dan wewenang untuk

bekerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat. Dalam menyalurkan

bantuan-bantuan luar, tim dapat bekerjasama dengan lembaga lain yang

berbadan hukum dan mempunyai mekanisme akuntabilitas public yang baik.

Dengan pertimbangan, bahwa pemberantasan rabies harus dilakukan dengan

dasar ilmiah yang kuat, tidak ada kepentingan lain selain keamanan

masyarakat, serta melibatkan sumber daya manusia yang banyak,

Page 18: Rangkuman Eksekutif Rabies

Universitas Udayana dengan FKH sebagai ujung tombak dapat mengambil

peran sebagai tim teknis tersebut dengan mengikut-sertakan tenaga ahli

yang ada di Bali. Tim tersebut harus diberikan otoritas yang penuh

dari Gubernur Bali. Jika otoritas dan dana tidak menjadi kendala, 1000

orang dapat digerakkan serentak untuk pendataan, pemantauan, dan

pembasmian anjing liar yang kemungkinan besar membawa virus rabies di

Bukit Jimbaran-Pecatu. Melihat perkembangan kasus, virus rabies masih

menunjukkan aktivitas paling tinggi di daerah itu.

Harus diakui bahwa wartawan media cetak dan elektronik telah

berkontribusi besar dalam capaian penanggulangan rabies di Bali selama

ini. Hanya saja, liputan media sering dikeluhkan oleh beberapa sumber

pers sebagai parsial. Di masa yang akan datang, wartawan media harus

secara terencana diajak bergabung dalam tim penanggulangan. Data yang

mutakhir dan akurat harus disediakan dan terbuka untuk disampaikan

kepada publik. Dengan demikian, tim bekerja secara transparan,

akuntabel, akurat, dan tepat sasaran. Keterbukaan yang dilandasi

program penanggulangan yang dilakukan dengan dasar ilmiah yang kuat

serta dilakukan oleh tim yang professional diyakini akan dapat

memenangkan ‘rasa aman’ publik lokal, nasional dan internasional.

Dengan demikian, industri pariwisata akan tetap berjalan seperti

biasanya.

4.2 Eliminasi

Penertiban anjing liar dan anjing yang kontak dengan pembawa rabies

harus dilakukan. Dasar ilmiahnya kuat dan sederhana. Jika ada anjing

yang positif rabies, ia mungkin telah sempat menggigit puluhan anjing

yang lain yang kontak dengannya. Masing-masing anjing yang tergigit

itu dapat menggigit masing-masing puluhan anjing yang lain lagi.

Demikian seterusnya, sehingga sebagian besar anjing liar atau yang

Page 19: Rangkuman Eksekutif Rabies

diliarkan di desa tertular kemungkinan telah membawa virus. Letupan

kasus gigitan tinggal menunggu waktu. Bahwa anjing-anjing itu masih

tampak sehat, karena masa inkubasi penyakit dari sejak digigit sampai

keluar tanda-tanda rabies dapat beragam, dari cepat, sekitar 1-2

minggu, sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ludah anjing yang

belum sakit itu bahkan sudah penuh virus yang siap ditularkan, beberapa

hari menjelang munculnya tanda klinis.

Untuk daerah bebas, penertiban anjing liar juga harus dilakukan. Ini

untuk antisipasi penyebaran rabies dari daerah tertular. Anjing asing

yang tiba-tiba ada di sekitar kita, apalagi yang menunjukkan beberapa

gejala yang disebut dimuka, harus dicurigai sebagai anjing rabies. Ia

mungkin merupakan limpahan (spill-over) dari daerah tertular yang dapat

berkelana jauh. Jika populasi anjing liar sudah sehat, rantai

penyebaran rabies putus dengan sendirinya.

Untuk pengaturan pemeliharaan anjing sudah saatnya perlu disediakan

perangkat hukum berupa Peraturan Gubernur atau Peraturan Daerah.

4.3 Vaksinasi

Seperti telah dipaparkan diatas, prosedur vaksinasi yang dilakukan

sekarang ini menyebabkan program vaksinasi ini menjadi boros waktu dan

tenaga. Dari berbagai informasi yang tersedia, vaksin rabies hewan

yang hanya memerlukan injeksi tunggal untuk menghasilkan kekebalan yang

lama sebenarnya tersedia di pasar. Altenatif ini perlu dipertimbangkan

untuk program penanggulangan rabies di Bali.

Disamping vaksin yang harus diberikan melalui suntikan, vaksin yang

dapat diberikan melalui umpan makanan juga sudah tersedia dan dicobakan

dengan hasil baik. Vaksin jenis ini telah di cobakan pad satwa liar di

Swiss dan Jerman (WHOCCFSR 1991), Kanada, dan Amerika Serikat (Aubert

Page 20: Rangkuman Eksekutif Rabies

et al. 1994; Lawson et al. 1992; Rosatte et al. 1993) Vaksin itu semula

mengandung virus yang dilemahkan. Belakangan ini telah dikembangkan

vaksin rekombinan dengan virus cacar (Brochier et al. 1991) dan telah

terbukti dapat dipakai pada satwa liar (Fearneyhough et al. 1998).

Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali karena kesulitan

untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi karena kesulitan untuk

memvaksinasi anjing-anjing yang sulit dipegang, lebih-lebih jika satwa

liar sudah tertular, ragam vaksin rabies modern itu perlu disiapkan.

4.4 Kesiapsiagaan Rabies Pada Manusia

Standar internasional penanganan orang yang terpapar virus rabies atau

tergigit anjing tersangka adalah pemberian vaksin anti-rabies (VAR)

bersamaan dengan pemberian serum anti rabies (SAR) atau disebut juga

rabies immunoglobulin (RIG). VAR akan memicu produksi antibodi atau

zat kebal dalam tubuh pasien. Jika virus masih berkembang di tempat

gigitan, antibodi itu akan membunuh virus sebelum berangkat ke otak.

Karena itu, VAR sebaiknya diberikan sesegera mungkin, 1-2 hari setelah

gigitan. Kalaupun agak telat, misalnya 1-2 minggu setelah gigitan, VAR

mungkin akan menolong, sehingga harus dilakukan juga. Jika pernah

tergigit selama tahun 2008 sampai 2009, walaupun terlambat, penanganan

dapat masih membantu. Ini terutama berlaku jika virus masih berada di

sekitar tempat gigitan dan belum menjalar menuju otak.

SAR mengandung antibodi yang sudah siap pakai. Jika segera diberikan

di sekitar luka bekas gigitan, serum itu langsung bekerja mencegah

virus rabies berkembang lebih lanjut. SAR dapat mencegah pasien yang

terlambat ditangani. Pemberian gabungan VAR dan SAR akan menyempurnakan

pencegahan rabies. SAR langsung membunuh virus, sedangkan VAR akan

menginduksi zat kebal dan akan bekerja jika masih ada virus yang

berkembang dalam tubuh pasien. Pasien tergigit yang sudah pernah

divaksin cukup diberi VAR saja. Vaksin akan memicu produksi zat kebal

Page 21: Rangkuman Eksekutif Rabies

yang cukup dalam waktu yang singkat.

Sepanjang pengetahuan kami, standar nasional penanganan rabies di

Indonesia hanya VAR saja. Sedangkan SAR diberikan secara selektif,

misalnya untuk luka gigitan di atas bahu (leher, muka, kepala). Sebagai

daerah tujuan wisata internasional, standar internasional hendaknya

diterapkan di Bali, yaitu SAR dan VAR. Biaya harus diusahakan. Jika hal

itu dilakukan, keselamatan korban gigitan lebih terjamin. Dari

literatur disebutkan bahwa kegagalan penanganan gigitan dengan SAR dan

VAR adalah 1/250 orang, atau 0,4%. Artinya dari 250 orang yang

tergigit anjing penderita rabies, setelah diberikan SAR dan VAR yang

lengkap, hanya 1 orang yang menjadi sakit rabies. Yang lain selamat.

Dengan pertimbangan itu, pemberian VAR dan SAR harus diupayakan di

Bali. Sebagai daerah yang menjadi perhatian internasional, standar

baku internasional harus diterapkan. Disamping itu, VAR dan SAR harus

tersedia cukup.

4.5 Kerjasama Nasional dan Internasional

Dalam penanganan penyakit modern, kerjasama nasional dan internasional

adalah hal yang jamak dan bahkan harus didorong. Pengalaman berharga

dari wabah penyakit Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) di Hong

Kong, Singapura, dan Kanada, wabah hebat dapat ditanggulangi dengan

segera. Strategi yang disebut-sebut sebagai ‘maha-karya’ pengendalian

wabah modern itu mempunyai cirri-ciri 1) kolaborasi lokal, nasional,

dan internasional; (2) dukungan teknologi modern; 3) transparansi

otoritas kesehatan; dan 4) akurasi dan kecepatan media massa (Klempner

dan Shapiro 2004; Weinstein 2004).

Terkait dengan hal tersebut, jika keadaan wabah rabies sudah di luar

batas kemampuan daerah, disarankan pemerintah Bali harus segera meminta

dukungan nasional dan internasional. Dukungan sumber daya manusia,

vaksin untuk hewan yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR untuk

Page 22: Rangkuman Eksekutif Rabies

manusia sebaiknya diusahakan tersedia dalam jumlah yang mencukupi.

Berita bahwa persediaan VAR habis dan SAR tidak tersedia, sebagai

contoh, akan sangat mempengaruhi rasa aman masyarakat. Sebagai bagian

dari komunitas internasional, keadaan seperti itu secara langsung dan

tidak langsung dapat mempengaruhi keinginan calon wisatawan berkunjung

ke Bali, yang diawali dengan travel advisory, travel warning dan

berlanjut menjadi travel ban.

5. Penutup

Penanggulangan rabies di Bali masih dipandang perlu lebih diperkuat

dan dipercepat (reinforced and accelerated) dengan target yang lebih

tepat sasaran. Dengan pertimbangan bukti ilmiah terbaik serta mengkaji

pelajaran dari pelaksanaan program penanggulangan wabah rabies di Bali

sampai Januari 2009, kami merekomendasikan hal-hal mendasar sebagai

berikut:

1. Tim Penanggulangan Rabies Bali diusulkan dipimpin langsung oleh

Gubernur atau Wakil Gubernur Bali dengan tim pengarah dan secretariat

eksekutif yang professional yang diberi otoritas penuh, sumber daya

manusia, dan pendanaan yang memadai. Tugas secretariat eksekutif antara

lain:

a. merencanakan program penanggulangan yang dievaluasi setiap hari

sesuai dengan perkembangan (open document)

b. mengkoordinasikan dan melaksanakan gerakan dinas dan stakeholder

teknis, baik dalam lingkup lokal, nasional, bahkan internasional,

termasuk mengikut-sertakan kalangan wartawan media cetak maupun

elektronik

c. Menjalin kerjasama dengan pihak luar yang tidak mengikat

2. Prinsip kerja tim adalah

a. Berbasis bukti ilmiah terbaik

b. kolaborasi lokal, nasional, dan internasional

Page 23: Rangkuman Eksekutif Rabies

c. dukungan teknologi modern

d. transparansi otoritas kesehatan

e. akurasi dan kecepatan media massa

3. Alternatif vaksin rabies hewan yang hanya memerlukan injeksi

tunggal perlu dipertimbangkan untuk program penanggulangan rabies di

Bali. Jika rabies terlanjur tidak bisa dikendalikan di Bali karena

kesulitan untuk mencapai cakupan vaksinasi yang tinggi, lebih-lebih

jika satwa liar sudah tertular, ragam vaksin rabies yang diberikan

bersama umpan makanan perlu disiapkan.

4. Standar internasional penanganan rabies pada manusia, yaitu

pemberian VAR dan SAR secara bersamaan, harus diupayakan. Persediaan

VAR dan SAR harus cukup.

5. Pemerintah Bali harus segera meminta dukungan nasional dan

internasional untuk dukungan sumber daya manusia, vaksin untuk hewan

yang lebih berdaya-guna dan VAR serta SAR.

Kiranya pemikiran ini dapat dipertimbangkan secara bijak oleh para

pengambil kebijakan di Bali, selagi rabies belum menyebar secara luas

di Bali yang akan membutuhkan biaya sangat besar untuk

mengendalikannya. Mudah-mudahan tidak terjadi “takut meketel payu

mekebyos”

Daftar Acuan (akan dilengkapi)

1. Dirjen Peternakan, 2006. Kiatvetindo Rabies. Jakarta.

2. De Mattos CA, de Mattos CC, dan Rupprecht CE. 2001. Rhabdovirus.

Dalam Dalam Knipe DMK et al. Editor. Field Virology. Lippincott,

Philadelphia. Hal: 1245-77.

3. Keputusan Menteri Pertanian No.1637.1/2008

4. Peraturan Gubernur Bali No.88/2008

5. Peraturan Bupati Badung No. 53/2008

Page 24: Rangkuman Eksekutif Rabies

6. OIE (2008). OIE Rabies, Indonesia. (http://www.oie.int/wahis/public.

php?page=single_report&pop= 1&reportid=7621).

7. Rose, JK dan Whitt, MA. 2001. Rhabdoviridae: The Viruses and Their

Replication. Dalam Knipe DMK et al. Editor. Field Virology. Lippincott,

Philadelphia. Hal: 1221-44.

8. Sugiyama M, Ito N, 2007. Control of rabies: Epidemiology of rabies

in Asia and development of new generation vaccines for rabies.

Comparative Immunology Microbiology & Infectious Diseases 30: 273-286.

9. Susetya H, Sugiyama M, Inagaki A, Ito N, Mudiarto G, dan Minamoto

N, 2008. Molecular epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Research

135: 144-9.