rematoid artritis.docx
TRANSCRIPT
BAB I
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : Ny. E / perempuan / 48 tahun
b. Pekerjaan/Pendidikan : IRT / SMA
c. Alamat : Jln teluk permai, RT. 30. Kec. Telanaipura
II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga
a. Status Perkawinan : Menikah
b. Jumlah anak/saudara : anak 2 orang
c. Status ekonomi keluarga
1) Mampu : +
2) Miskin : -
d. KB : -
e. Kondisi Rumah : Tidak mencerminkan rumah sehat (tempat
tinggal bersih, tidak terdapat ventilasi disetiap ruangan dan penerangan
rumah siang hari tidak baik)
f. Kondisi Lingkungan Keluarga : baik
III. Aspek Psikologis di Keluarga : baik
IV. Riwayat Penyakit Dahulu/keluarga :
1
- Riwayat darah tinggi disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat keluarga dengan gejala yang sama disangkal
V. Keluhan Utama :
Nyeri pada kedua sendi lutut sejak ± 1 bulan yang lalu
VI. Keluhan Tambahan :
Nyeri dan kaku juga dirasakan terutama pada pagi hari dan saat merubah
posisi dari jongkok ke berdiri.
VII.Riwayat Penyakit Sekarang : (autoanamnesa)
Pasien datang ke Puskesmas Simpang IV Sipin dengan keluhan nyeri pada
kedua lutut sejak ± 1 bulan yang lalu. Pasien mengaku nyeri dirasakan saat
sedang beraktivitas dan berjalan. Nyeri juga dirasakan pada saat pasien
perubahan posisi, misalnya dari jongkok ke berdiri dan saat melakukan sholat
pada waktu rukuk dan bersujud. Pasien mengaku makanan tidak
mempengaruhi nyeri pada kedua lutut dan siku.
Nyeri dan kaku pada sendi lutut juga dirasakan pasien pada pagi hari
saat bangun tidur, tetapi nyeri bisa hilang dalam beberapa menit (±10 menit),
tidak mencapai waktu 1 jam. Pasien menyangkal adanya nyeri pada jari-jari
tangan dan jari-jari kaki.
2
Demam, batuk, pilek dan nyeri ulu hati tidak ada. BAK dan BAB
normal. Pasien belum pernah berobat ke Puskesmas sebelumnya, akhirnya
pasien memutuskan berobat ke Puskesmas Simpang IV Sipin.
VIII. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
1. Keadaan sakit : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Suhu : 36°C
4. Nadi : 88x/menit
5. Tekanan Darah : 110/70mmHg
6. Pernafasan
- Frekuensi : 20x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : thorakoabdominal
7. Tinggi badan : 160 cm
8. Berat badan : 68 Kg
9. Kulit
- Turgor : baik
- Lembab / kering : lembab
- Lapisan lemak : ada
3
Pemeriksaan Organ
1. Kepala Bentuk : normocephal
Ekspresi : tampak kesakitan
Simetri : simetris
2. Mata Exopthalmus/enophtal : (-)
Kelopak : normal
Conjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Kornea : normal
Pupil : bulat, isokor, RC +/+
Lensa : normal, keruh (-)
3. Hidung : tak ada kelainan
4. Telinga : tak ada kelainan
5. Mulut Bibir : basah, tidak pucat
Bau pernafasan : normal
Gigi geligi : lengkap
Palatum : deviasi (-)
Gusi : warna merah muda,
perdarahan (-)
Selaput Lendir : normal
Lidah : putih kotor (-), ulkus (-)
4
6. Leher KGB : tak ada pembengkakan
Kel.tiroid : tak ada pembesaran
JVP : 5 - 2 mmHg
7. Thorax Bentuk : simetris
Pergerakan dinding dada : tidak ada yang
tertinggal
Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor
Batas paru-hepar :ICS
VI kanan
Sonor
Auskultasi Wheezing (-), Ronkhi
(-)
Wheezing (-), Ronkhi
(-)
Jantung
InspeksiIctus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula
kiri
PalpasiIctus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
kiri
Perkusi Batas-batas jantung :
Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS VI linea midclavicula kiri
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
5
Abdomen
Inspeksi Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-)
Palpasi Hepar dan lien tak teraba
Perkusi Timpani
Auskultasi Bising usus (+) normal
8. Ekstremitas Atas
Warna : sawo matang Jari tabuh : (-)
Edema : (-) Tremor : (-)
Sendi : nyeri (-) / (-) Deformitas : (-) / (-)
Suhu raba : N / N Jari-jari : Nodus heberden (-)
9. Ekstremitas bawah
Varises : (-) / (-) Suhu Raba : N /N
Gerakan : luas / luas Edema : (-) / (-)
Kekuatan: 5 / 5 Deformitas : (-) / (-)
10. Status Lokalisata
Regio Patella Dextra et Sinistra
Warna : tidak kemerahan
Suhu raba : (N) / (N)
Nyeri : (+) / (+) => nyeri saat gerakan fleksi,extensi
Deformitas : (-) / (-)
Pembengkakan : (-) / (-)
IX. Pemeriksaan Penunjang :
Uric acid = 4,1 mg/dl (3,0-6,0 mg/dl)
X. Diagnosis Kerja :
6
Osteoarthritis
XI. Diagnosis Banding :
- Reumatoid Artritis
- Gout
XII. Pemeriksaan Anjuran :
- Pemeriksaan Radiologi
- Laboratorium : pemeriksaan darah rutin, LED, rheumatoid
factor, kolesterol
XIII.Manajemen
1. Preventif :
1. Menyarankan pasien agar berobat secara teratur
2. Mengontrol asupan makanannya
3. Menyarankan latihan untuk memperluas gerak sendi, dan beristirahat
secara teratur
4. Menjaga kesehatan tubuh dan istirahat yang teratur
2. Promotif :
1. Mensosialisasikan kepada pasien tentang apa itu osteoarthritis dan
bahayanya.
2. Mengurangi berat badan / kontrol berat badan
3. Minum obat yang teratur
4. Evaluasi / kontrol ulang kepada dokter
5. Terapi fisik dengan fisioterapi
7
6. Berolahraga yang ringan seperti jalan pagi hari dan olahraga renang
3. Kuratif :
Medikamentosa :
- OAINS : Ibuprofen 3 x 1 tablet/hr
- Kalk 3 x 1 tablet/hr
- Vitamin C 3 x 1 tablet/hr
Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas : Puskesmas Simpang IV Sipin
Jalan : Kelurahan Sei.Putri Telanaipura Kota Jambi
Dokter : Pardia Handayani
Tanggal : 20 November 2013
R/ Ibuprofen tab mg 200 no. IX
s 3 d d tab 1
R/ kalk tab no. IX
s 3 d d tab 1
R/ Vit.C tab no. IX
s 3 d d tab 1
Pro : Ny. E Umur : 48 tahun
Alamat : RT.18 Sei.Putri Telanaipura
Non Medikamentosa
Pengobatan Tradisional :
8
1. Cara Pertama
Bahan-bahan :
30 gram jahe merah 25 gram kunyit tua 90 gram daun lidah buaya 1 jari kayu manis 5 gram adas
Cara Pemakaian :
Semua bahan di cuci bersih Lalu daun lidah buaya di kupas kulitnya Semua bahan direbus dengan 600 cc air Diamkan hingga mendidih dan air tersisa 250 cc, lalu saring minum selagi
hangat
2. Cara Kedua
Bahan-bahan :
30 gram temulawak 15 gram sambiloto 30 gram daun dewa 2 batang serai Gula aren secukupnya
Cara Pemakaian :
Cuci bersih semua bahan Lalu rebus dengan 800 cc air hingga tersisa 400 cc Saring dan dinginkan Minum 2 kali sehari
4. Rehabilitatif
- Menyarankan agar pasien melakukan latihan gerak
9
- Mengurangi berat badan
- Makan obat secara teratur
- Istirahat yang cukup
- Kontrol secara rutin dan disarankan untuk melakukan fisioterapi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
II.1 Pendahuluan
Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas
serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan
suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya. 1
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang
timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan
persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas
bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur
telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit
ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.1
II. 2 Definisi
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) secara Artritis rematoid juga bisa menyebabkan
sejumlah gejala di seluruh tubuh.2
Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah penduduk, dan wanita 2-3
kali lebih sering dibandingkan Biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50
tahun, tetapi bisa terjadi pada usia berapapun.2
II.3 Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi berbagai faktor (termasuk
kecenderungan genetik) bisa mempengaruhi reaksi autoimun.3
II.4 Gejala Klinis
11
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama
mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris.
Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan
tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi
dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan
diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya
berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan
diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama
beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang
seringkali memberi-kan gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan
bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh
seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis
AR yang dideritanya. 4,5
II.5 Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite
khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena
kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam
klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi
AR tersebut pada tahun 1958. 4,5
Dengan kriteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR
klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5
kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2
kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30
tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat
mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut
banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain
seperti spondyloarthro-pathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat
deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus sistemik,
12
polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai
AR. 4,5
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara
klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek
sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic dari AR
definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita AR
probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat
diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok
penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid
seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukan nya
dapat ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARD). Selain itu
spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula
dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti
analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif
sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada
262 penderita AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan
revisi susunan kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang
baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut: 4,5
1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis pada persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
7. Perubahan gambaran radiologis
13
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1
sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu. 4,5
Tabel 1. Kriteria American Rheumatism Association untuk Artritis Reumatoid 5
No Kriteria Definisi1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kaku pagi hari
Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
Artritis pada persendian tangan
Artritis simetris
Nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum positif
Perubahan gambar radiologis
Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurang-kurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu persendian tangan seperti tertera diatas
Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP atau MPT bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservasi oleh seorang dokter
Terdapatnya titer abnormal faktor reumatoid serum yang diperiksa dengan cara memberikan hasil positif kurang dari 5% kelompok koktrol yang diperiksa.
Pada pemeriksaan sinar-X tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memenuhi persyaratan)
14
II.6 Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan
pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan
untuk: 4,5
1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar
tetap dalam keadaan baik.
4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar
sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan
multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli
fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli
psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan
penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan
penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya
dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan
penderita menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita
untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus
dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara
penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya.
Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara
ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup
lama. 4,5
II.7 Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat
alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang
15
amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai
penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan
emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini
pada penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan
Kanada adalah adalah The Arthritis Self Management Program, yang
diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan
penderita tentang penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya
untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri
yang dialaminya.4,5
II.8 Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara
para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional
yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan
untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan
kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk
kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat
terkontrol. 4,5
Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif
hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
II.9 Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada
penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri
sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi
sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga
memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase
sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan
16
enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa
OAINS berkerja dengan cara: 4,5
o Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
o Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin,
serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o Menghambat proliferasi seluler
o Menetralisasi radikal oksigen
o Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam
pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang
dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS
tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses
destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan
obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD. 4,5
II.10 Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas
OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus
gastrointestinalis terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain,
alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan
suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat
OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang
berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic.
Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap
jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur
17
COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan
dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS
antara lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta
pe-nekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih
suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter
umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti: 4,5
o Khasiat anti inflamasi
o Efek samping obat
o Kenyamanan / kepatuhan penderita
o Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek
samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh
berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak
bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam
menggunakan OAINS.
II. 11 Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian
DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian
DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini
didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini
penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90%
penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun
pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk
18
pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan
baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui. 4,5
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih
DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan
imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk
menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak dekade
yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi beranggapan bahwa
terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak berhasil mencegah
terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita
harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum
terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau
destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk
menggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan sepenuhnya bergantung
pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. Umumnya pada penderita yang
diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan
segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan
respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD
dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah: 4,5
II.11.1 Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan
biaya yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia
dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak
diantara para ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin
agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun
19
toksisitasnya juga lebih rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari
pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui bahwa sebagian
penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena
merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik
selama penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada
mata, sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and
Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin
pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis
kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah
klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini
jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping
lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis
makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang
dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.
II.11.2 Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk
pertama kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada
mulanya obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga
disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu,
perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya laporan Sinclair
dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini di
Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya
laporan McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti kembali khasiat SASP
pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet
digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500
mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai
dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari
20
untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika
sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat
ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan
dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena
mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat
seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis
dan pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita
yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5%
dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang
reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya
pening-katan abnormalitas foetus.
II.3 D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun
tujuhpuluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini
DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya
diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai
keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi
sebagian besar penderita AR .
Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg)
digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan
setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai
dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau
morbilformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat
menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP
dapat menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada
suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus
21
like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap,
nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
II.11.4 Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai
suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini
tidak diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek
samping dari yang ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular
yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan
dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1
minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika
respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat
dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu
sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam
dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan
dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria,
trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi
lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan,
dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek
samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis
yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah
dikenal sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang
berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam
pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang
ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin
tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
22
Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek
samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek
samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari
penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang
mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan
yang digunakan.
II.11.5 Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam
folat yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah
digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif
lebih pendek (3 - 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam
pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis
thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi
selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai
DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang
tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar
penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah
pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX
harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam
pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa
kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi
gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek
samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan
pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX
pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau penderita yang
sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
23
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX,
pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping
yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas
permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX
yang dapat membahayakan penderita.
Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam
pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX
sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di
kontrol dengan DMARD standard lainnya.
II.11.5 Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi
dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah,
CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR.
Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan
kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik
yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi.
Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva,
hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5
mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat
ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4
mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150
ng/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai
basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis
tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang
diukur.
II.12 Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
24
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah
(setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi
hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan
perubahan yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone,
pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk mengurangi
keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja. 4,5
II.13 Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang
dapat dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan
uji klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara
pengobatan tersebut masih bersifat eksperimental dan belum digunakan secara
luas dalam pengobatan AR. Pengobatan eksperimental AR ini antara lain meliputi
penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi
monoclonal. 4,5
II.14 Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu
penyakit metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang
terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat
pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu
meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi
dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah
penyakit ini. 4,5
II.15 Prognosis
Pada umumnya pasien artritis reumatoid akan mengalami manifestasi
penyakit yang bersifat monosiklik (hanya mengalami satu episode artritis
25
reumatoid dan selanjutnya akan mengalami remisi sempurna). Tapi sebagian besar
penyakit ini telah terkena artritis reumatoid akan menderita penyakit ini selama
sisa hidupnya dan hanya diselingi oleh beberapa masa remisi yang singkat (jenis
polisiklik). Sebagian kecil lainnya akan menderita artritis reumatoid yang
progresif yang disertai dengan penurunan kapasitas fungsional yang menetap pada
setiap eksaserbasi. 6
26
BAB III
ANALISA KASUS
Studi kasus, Ny. H usia 60 tahun datang dengan keluhan Nyeri pada kedua
tangan dan kedua kaki ± 9 bulan terakhir. Diagnosis rematoid artritis pada pasien
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri pada kedua tangan dan kedua
kaki. Pasien mengeluh nyeri pada kedua tangan, pada jari-jari tangan kanan dan
kiri hingga pergelangan tangan, serta kedua kaki dari ujung jari hingga ke tumit
sejak ± 9 bulan terakhir. Nyeri dirasakan pasien terutama pada pagi hari setelah
bangun tidur. Setelah bangun tidur pagi hari pasien membutuhkan waktu ± 30
menit untuk merelakskan jari-jari kedua tangan dan jari-jari kedua kaki hingga ke
tumit. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan pembengkakan ataupun bentuk
deformitas.
Penegakkan diagnosis rematoid artritis dilakukan atas dasar 1987 Revised
A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis 1987 : Kaku pagi hari, artritis pada 3
daerah persendian atau lebih, artritis pada persendian tangan, artritis simetris,
nodul reumatoid, faktor reumatoid serum positif, perubahan gambaran radiologis.
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1
sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu. Pada pasien ini ditemukan
kriteria 1 sampai 4 yaitu :
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis pada persendian tangan
27
4. Artritis simetris
Diagnosis banding pada kasus ini adalah gout dan osteoatrhititis.
Diagnosis banding gout dapat disingkirkan karena pada anamnesis pasien
mengaku mengkonsumsi makanan apapun tidak mempengaruhi nyeri pada sendi-
sendinya dan pada pemeriksaan penunjang uric acid normal dengan kadar 5,0
mg/dl.
Pada pasien ini disarankan untuk dilakukan pemeriksaan radiologi dan
pemeriksaan faktor reumatoid serum sebagai diagnosis pastinya.
Tindakan preventif pada pasien ini : menjaga kesehatan tubuh,
mengkonsumsi diet yang kaya buah serta sayuran dan kurang mengandung
produk daging serta lemak.
Tindakan Promotif pada pasien ini : monitor berat badan, minum obat
yang teratur, evaluasi / kontrol ulang kepada dokter, terapi fisik dengan fisioterapi
Tindakan Kuratif : OAINS : Ibuprofen 3 x 1 tablet/hr, Prednison 1 x 1
tablet/hr, diazepam 1 x 1 tablet/hr, kalk 3 x 1 tablet/hr, Vitamin Bcomp.1 x 1
tablet/hr.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Rematoid artritis. Diunduh dari : http://cpddokter.com/home/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=151 (16 April 2012).
2. Arthritis Reumatoid. Diunduh dari :
http://www.pharosindonesia.com/component/content/article/53-
beritakesehatan/313-rematoid.pdf (16 April 2012)
3. Artitis rematoid. Diunduh dari : http://www.naturindonesia.com/artikel-
berbagai-penyakit-degeneratif/449-artritis-reumatoid-.html (16 April
2012)
4. Artritis rematoid. Diunduh dari :
http://ripanimusyaffalab.blogspot.com/2010/05/biomarker-
rheumatoid.html (16 April 2012)
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II. Jilid IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2006.
6. Reumatoid arthritis. Diunduh dari :
http://albadroe.multiply.com/journal/item/16/Atritis_Reumatoid_patofisiol
ogi_Pemeriksaan_Penunjang_Prognosis?&show_interstitial=1&u=
%2Fjournal%2Fitem (17 April 2012)
29