refrh 2 tb

78
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Besar dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan TB. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun ekonomi. Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap TB berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan akibat TB. Di Indonesia TB merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria dalam jumlah penderita TB di dunia (WHO 2009). Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TB paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TB di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TB serta luasnya masalah semoga laporan refreshing ini dapat bermanfaat. I.2 Tujuan 1

Upload: rio-oktabyantoro

Post on 11-Dec-2015

20 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fdddf

TRANSCRIPT

Page 1: refrh 2 tb

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Besar dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada semua pihak untuk

dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan penanggulangan TB. Kerugian

yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga

dari aspek sosial maupun ekonomi. Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap

cita-cita pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Karenanya perang terhadap TB berarti pula perang terhadap kemiskinan,

ketidakproduktifan, dan kelemahan akibat TB.

Di Indonesia TB merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan

urutan teratas setelah ISPA. Indonesia menduduki urutan kelima setelah India, China,

Afrika Selatan dan Nigeria dalam jumlah penderita TB di dunia (WHO 2009). Jumlah

penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit

muncul satu penderita baru TB paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru

TB paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat

TB di Indonesia. Mengingat besarnya masalah TB serta luasnya masalah semoga laporan

refreshing ini dapat bermanfaat.

I.2 Tujuan

Laporan refreshing ini disusun dalam rangka meningkatkan pengetahuan sekaligus

memenuhi tugas kepaniteraan klinik Stase Interna Rumah Sakit Sekarwangi

I.3 Rumusan Masalah

a. Apa definisi, epidemiologi, etiologi dan patomekanisme dari penyakit Tuberkulosis.

b. Bagaimana rencana diagnostik, rencana terapi medikamentosa dan non medikamentosa

yang diberikan pada kasus ini berdasarkan refrensi yang ada

I.4 Batasan Masalah

Dalam laporan tinjauan pustaka ini penyusun membahas tentang Tuberkulosis Paru dan

Tuberkulosis Ekstra Paru.

1

Page 2: refrh 2 tb

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat

juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011)

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

TB (Mycobacterium tuberculosis) yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Sebagian besar kuman TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2011).

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit granulomatosa kronis menular dimana

biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis perkijuan (Kumar,

2007).

2.2 Epidemiologi

Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia

(2 triliyun manusia) terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis. Angka infeksi

tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Tuberculosis terutama

menonjol di populasi yang mengalami stress, nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan

kesehatan yang kurang dan perpindahan penduduk. Diperkirakan 95% kasus TB dan

98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.

Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena

kehamilan, persalinan dan nifas.

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

2

Page 3: refrh 2 tb

Data terbaru yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009 dalam Global TB Control

Report 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2008, prevalensi TB dunia adalah 5-7 juta

kasus, baik kasus baru maupun kasus relaps. Dari prevalensi ini, 2,7 juta diantaranya adalah

kasus basil tahan asam (BTA) positif baru, dan 2,1 juta kasus BTA (-) baru.

Tuberkulosis di Indonesia menduduki urutan kelima setelah India, China, Afrika Selatan

dan Nigeria dalam jumlah penderita TB di dunia (WHO 2009). Menurut WHO dalam Global

TB Control Report (2009), prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2008 adalah 296.514 ribu

kasus baru maupun relaps. Angka insidensi kasus baru BTA positif TB di Indonesia

berdasarkan hasil survei Depkes RI tahun 2007 pada 33 propinsi adalah 104 per 100.000

penduduk (Depkes RI, 2011).

Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di

dunia. Menurut laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2007 dalam

Depkes RI (2011), menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor

dua setelah penyakit kardiovaskuler (stroke) pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari

golongan penyakit infeksi. Pada tahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection

Rate/CDR) di Indonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita baru dengan BTA

positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%. Hal ini melampaui target global,

yaitu CDR 70% dan SR 85% (Depkes RI, 2011).

Penyebab paling penting peningkatan TB adalah kemiskinan, ketidakpatuhan terhadap

program, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat, migrasi, endemic Human

Immunodefisiency Virus (HIV), dan resistensi ganda (Multi Drug Resistance/MDR) (WHO,

2009). Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat.

Menurut data yang dikeluarkan WHO pada bulan Maret 2009, menunjukkan bahwa pada

tahun 2008 angka kematian penderita TB adalah 1,1-1,7 juta pada penderita TB dengan

HIV(-) dan 0,45-0,62 juta pada penderita TB dengan HIV(+). Pada tahun 2007 diestimasikan

terdapat setengah juta kasus MDR (multi drug ressistance).

Di Indonesia sendiri pada tahun 2007 terdapat 446 kasus yang terbukti MDR TB (7,5%)

(WHO, 2009; USAID/Indonesia 2009). Resistensi obat terjadi karena buruknya kontrol TB

dan adanya beberapa penyakit penyerta yang lain seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus

(PDPI, 2006).

II.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk batang dengan

ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan

terhadap asam pada pewarnaan 2. Mycobacterium tuberculosis memiliki dinding yang

3

Page 4: refrh 2 tb

sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomannan (seperti

yang tampak pada gambar 2). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan ia

juga lebih tahan terhadap gangguan\ kimia dan fisis. Kuman dapat hidup dalam udara

kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es )

dimana kuman dalam keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan

menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.

Gambar Mycobacterium tuberculosis

Kuman hidup sebagai parasit intraselular (obligat) yakni dalam sitoplasma makrofag

di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian disenanginya karena

banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan

bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal

ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian

apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberculosis.

Cara Penularan

Sumber penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah pasien TB dengan BTA

positif. Penularan ini terjadi secara inhalasi, yaitu bila pasien tersebut batuk atau bersin,

pasien akan menyebarkan kuman udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).

Sekali penderita TB BTA (+) batuk, akan dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan

dahak (Depkes RI, 2011).

Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu

yang lama. Percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan ruangan yang

gelap dan lembab. Sedangkan ventilasi yang baik, akan dapat mengurangi jumlah percikan,

dan sinar matahari langsung dapat membunuh kuman TB (Depkes RI, 2011).

4

Page 5: refrh 2 tb

Risiko Penularan

Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru

dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB

paru dengan BTA negatif.

Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis

Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun.

ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi

tuberkulin negatif menjadi positif.

Faktor Yang Memengaruhi Kejadian Penyakit TB

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan factor toksis untuk lebih jelasnya

dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :

1. Umur

Insidensi tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai pada usia dewasa muda, pada

usia produktif, yaitu umur 15 – 44 tahun (Crofton, 2002). Berdasarkan penelitian kohort

Gustafon, et all (2004) terdapat suatu efek dosis respon, yaitu semakin tua umur akan

meningkatkan risiko menderita tuberculosis dengan odds rasio pada usia 25-34 tahun

adalah 1, 36 dan odds rasio pada kelompok umur > 55 tahun adalah 4,08. Di Indonesia

sendiri diperkirakan 75% penderita TB paru adalah kelompok usia produktif (Depkes,

2011). Usia yang lebih tua, melebihi 60 tahun, memiliki 4-5 kali risiko terinfeksi

tuberculosis karena adanya defisit imun seiring dengan bertambahnya umur (Rao, 2009).

Namun, berdasarkan penelitian meta analisis Guzman (1999) tidak ada perbedaan gejala

klinis dan evaluasi diagnostik pada penderita TB dengan usia tua (> 60 tahun) dan

penderita TB dengan usia muda.

2. Jenis Kelamin

Hampir tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan sampai pada umur

pubertas. Namun, menurut penelitian Gustafon P., et al (2004) menunjukkan bahwa laki-

laki mempunyai risiko 2,58 kali untuk menderita tuberkulosis dibandingkan dengan

wanita. Mungkin hal ini berhubungan interaksi sosial. Walaupun insisden tuberkulosis

paru pada wanita lebih rendah dari pada pria, perkembangan infeksi TB paru menjadi

penyakit TB paru pada wanita lebih cepat dibandingkan dengan pria (WHO, 2005).

3. Gizi

5

Page 6: refrh 2 tb

Terdapat bukti yang jelas bahwa gizi buruk mengurangi daya tahan tubuh terhadap

penyakit tuberkulosis. Faktor ini sangat penting, baik pada orang dewasa maupun pada

anak (Crofton, 2002). Menurut Hernilla, et all. (2006) dalam Desmon (2006), orang yang

menkonsumsi vitamin C lebih dari 90 mg/hari dan mengkonsumsi lebih dari rata-rata

jumlah sayuran, buah-buahan, dan berry, secara signifikan dapat menurunkan risiko

terjadinya penyakit tuberkulosis.

4. Kondisi Lingkungan Rumah

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi lingkungan rumah dalam risiko kejadian

infeksi tuberkulosis adalah kepadatan rumah, intensitas cahaya yang masuk, dan

kelembapan udara (Crofton, 2002). Persentase rumah tangga di Indonesia yang masih

tinggal di rumah yang padat pada tahun 2004 adalah sebesar 20% (Desmon, 2006).

Menurut Dahlan (2001) dalam Desmon (2006), orang yang tinggal dengan tingkat

kepadatan yang tidak memenuhi syarat kesehatan mempunyai risiko 3,8 kali untuk

menderita tuberkulosis dibandingkan dengan orang yang tinggal dengan kepadatan hunian

yang memenuhi syarat kesehatan. Menurut Supriyanto (1997) dalam Desmon (2006), luas

lantai yang dibutuhkan oleh 1 orang adalah 8,3 m2.

Intensitas cahaya yang alami, yaitu sinar matahari, sangat berperan dalam penularan

kuman TB karena kuman TB relatif tidak tahan terhadap terhadap sinar

matahari (Depkes, 2006). Menurut Musadad (2006) dalam Desmon (2006), rumah yang

tidak masuk sinar matahari mempunyai risiko 3,7 kali untuk menularka tuberkulosis

dibandingkan dengan rumah yang tidak dimasuki sinar matahari Kelembapan udara

mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Menurut Desmo (2006) kelembapan udara

dipengaruhi oleh ventilasi yang baik, yaitu minima 10% dari luas lantai. Menurut Mulyadi

(2003) dalam Desmon (2006), rumah yan memiliki kelembapan lebih dari 60% memiliki

risiko terkena infeksi tuberkulosi 10,7 kali dibandingkan dengan rumah yang

kelembapannya lebih kecil dari 60%.

5. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perilaku kesehatan individu atau

masyarakat dan perilaku terhadap penggunaan/sarana pelayanan kesehatan yang tersedia.

Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang lebih

tinggi (Notoatmojo, 1993). Proporsi kejadian TB lebih banyak terjadi pada kelompok yang

mempunyai pendidikan yang rendah, dimana kelompok ini lebih banyak mencari

pengobatan tradisional dibandingkan pelayanan medis (Desmon, 2006).

6. Pendapatan Keluarga

6

Page 7: refrh 2 tb

Pendapatan keluarga merupakan hal yang sangat penting dalam upaya pencegahan

penyakit, karena dengan pendapatan yang cukup maka akan ada kemampuan menyediakan

biaya kesehatan serta mampu menciptakan lingkungan rumah yang sehat dan makanan

yang bergizi (Desmon, 2006).

Kemiskinan memudahkan infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit

tuberkulosis. Sembilan puluh persen penderita TB terjadi pada penduduk dengan status

ekonomi rendah dan umumnya terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia

(Crofton, 2002). Menurut Ibu Pertiwi (2004) dalam Desmon (2006), orang yang memiliki

penghasilan yang rendah memilki risiko 2,4 kali untuk menderita penyakit TB

dibandingkan dengan orang yang memiliki penghasilan yang tinggi.

7. Riwayat Penyakit Penyerta

Beberapa penyakit penyerta tertentu rentan tertular penyakit tuberculosis seperti

penderita penyakit HIV/AIDS, hepatitis akut, kelainan hati kronik, gangguan ginjal,

diabetes melitus, dan penderita pengguna kortikosteroid (Depkes, 2006; Zevitz. 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Tanjung (1998) mendapatkan bahwa dari 733 penderita TB

paru, penderita juga menderita diabetes melitus 11,7 %, hipertensi 9,28%, kelainan hati

2,7%, kelainan jantung 1,9%, kelainan ginjal 0,9% dan struma 0,4%.

Penderita diabetes melitus memiliki risiko 2-3 kali lebih sering untuk terkena penyakit

tuberkulosis paru. Efek hiperglikemi pada penderita diabetes mellitus sangat berperan

terhadap mudahnya pasien diabetes mellitus terkena infeksi (Crofton, 2002). Pada

penderita TB paru dengan diabetes mellitus, kepekaan terhadap kuman TB meningkat,

reaktifitas fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak kavitas dan pada hapusan serta

kultur sputum lebih banyak positif (Utami, 2005). Selain itu, pasien dengan TB dengan

diabetes melitus memiliki respon yang rendah terhadap pengobatan OAT dan sering terjadi

multi-drug resistant (Rao, 2009).

Meningkatnya prevalensi HIV/AIDS di Indonesia membawa dampak peningkatan

insidens TB serta masalah TB lainnya, seperti TB milier, TB ekstraparu, serta MDR-TB.

Adanya imunokompromais pada penderita HIV/AIDS menyebabkan mudahnya penderita

tersebut terinfeksi kuman TB dan cepatnya perkembangan infeksi TB menjadi penyakit

TB (Rahajoe & Setyanto, 2008).

Risiko Menjadi Sakit TB Paru

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan ARTI 1%,

diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10%

7

Page 8: refrh 2 tb

diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya

adalah pasien TB BTA positif.

Faktor yang memengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien adalah daya tahan

tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV

merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas system daya tahan tubuh seluler (cellular

immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti TB, maka yang

bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah

orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan

demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.

II.6 Patomekanisme

a. Tuberkulosis Primer (Childhood Tuberculosis)

Tuberkulosis primer merupakan bentuk penyakit yang terjadi pada orang yang

belum pernah terpajan kuman TB, dengan sumber organisme adalah eksogen (Kumar,

2007). Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+)

yang sedang batuk dan berbicara selama 5 menit. Droplet nuclei ini dapat terinhalasi

oleh orang-orang yang ada disekitar penderita ini, sampai kejauhan sekitar 3m. Satu

droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis (Todar, 2009).

Ukuran basil tuberkulosis yang kecil (<5μm), kuman TB yang ada dalam

droplet nuclei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas

sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli. Oleh karena itu, paru

merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB (Todar 2009).

Infeksi tuberkulosis dimulai saat kuman TB sudah memasuki alveolus. Pertama

kali, kuman akan menghadapi neutrofil yang mengontrol penyebaran infeksi melalui

produksi kemokin yang merupakan faktor kemotaktik, menginduksi pembentukan

granuloma, dan mengarahkan molekul mikrobakteria ke makrofag. Kebanyakan

partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag, keluar dari percabangan

trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Amin, 2007). Sebagian

kuman TB dapat bertahan hidup dengan cara menghambat pembentukan enzim-enzim

pencernaan makrofag (Andreoli, 1997; Palomino 2007).

Fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum

tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag

8

Page 9: refrh 2 tb

alveolus dan rongga udara. Pada tahap ini, sebagian besar pasien asimptomatik atau

mengalami gejala seperti flu (Kumar, 2007). Kuman yang bersarang di jaringan paru

ini akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer

atau fokus Ghon. Fokus Ghon merupakan suatu daerah konsolidasi peradangan abu-

abu putih sebesar 1-1,5 cm (Amin, 2007).

Basil tuberkel, baik dalam bentuk bebas maupun dalam fagosit, akan menyebar melalui

saluran limfe menuju kelenjar limfe regional. Penyebaran ini menyebabkan respon inflamasi

yang terjadi pada saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.

Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,

yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer (fokus Ghon),

limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (kompleks Ghon).

Pada proses ini terbentuk formasi tuberkel. Bagian tengah dari tuberkel ini memiliki

karakteristik, yaitu adanya nekrosis kaseosa yang konsistensinya semi-solid atau seperti keju.

Pada bentuk tuberkel ini, kuman TB tidak dapat bermultiplikasi karena rendahnya pH dan

lingkungan yang anoksik pada tuberkel. Walaupun demikian, kuman TB dapat bertahan

hidup dorman pada tuberkel ini selama bertahun-tahun namun tidak menimbulkan gejala

sakit TB (Todar, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kompleks primer yang terbentuk pada

tuberculosis primer dapat menjadi:

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat (restitution ad integrum). Hal ini terjadi

karena terbentuknya reaksi hipersensitivitas dan resistensi. Ada beberapa bukti klinis

dimana kebanyakan orang yang diinfeksi oleh basilus tuberkel (90%) tidak mengalami

penyakit ini selama hidupnya (Palomino, 2007; Kumar, 2007).

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, dan kalsifikasi di

hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya lebih dari 5 mm dan kurang

lebih 10% diantaranya terdapat reaktivasi lagi karena kuman yang dorman (Amin, 2007).

3. Berkomplikasi dan menyebar secara progresif, yaitu dengan cara:

Perkontinuitatum (menyebar ke jaringan sekitarnya)

Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,

biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga

menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis.

Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus

yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut,

yang dikenal sebagai epituberkulosis.

9

Page 10: refrh 2 tb

Bronkogen (baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya)

Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya

tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara

spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan

menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis,

typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat

tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi

dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan sembuh dengan meninggalkan sekuele

(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,

tuberkuloma ) atau meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis

primer.

Menurut Kumar (2007), insidensi tuberkulosis primer progresif sangat tinggi pada

pasien positif HIV dengan derajat imunosupresi lanjut (hitung CD4+ < 200 sel/mm3).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks

primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama

2-12 minggu, biasanya selama 4-8 minggu. Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi

TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh

terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih

negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat

sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil

kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk,

kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler

spesifik (cellular mediated immunity, CMI ).

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi

secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan

dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan

paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,

tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat

disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan

10

Page 11: refrh 2 tb

yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal

infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan

terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi

di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan

ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau

membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga

menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran

limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe

regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.

Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi

darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran

hematogenik tersamar. Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit

demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai

berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik,

paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman

di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya.

Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami

reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

11

Page 12: refrh 2 tb

b.

c.

d. Tuberkulosis Sekunder (Adult Tuberculosis)

Tuberkulosis sekunder adalah pola penyakit yang berkembang pada host yang

dahulunya sudah tersensitisasi. Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul

bertahun – tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis

post primer = TB sekunder ). Biasanya (90%) dihasilkan dari reaktivasi (reinfeksi) lesi

primer dorman setelah beberapa dekade (Halim, 1998).

Menurut Amin (2007) tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas yang menurun

seperti malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS dan gagal ginjal. Lokasinya

biasanya pada bagian apeks dari satu atau kedua lobus paru, dimana berkaitan dengan

tingginya tegangan oksigen di apeks sehingga membantu kuman TB untuk tumbuh

dengan baik (Crofton, 2002 ; Kumar 2007). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru

dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula – mula tampak seperti sarang pneumonia

kecil dan dalam 3 – 10 minggu sarang ini berubah menjadi tuberkel, yakni suatu

granuloma yang terdiri dari sel – sel histiosit dan sel Datia Langhans

12

Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

Page 13: refrh 2 tb

Menurut Amin (2007), sarang dini dapat menjadi beberapa hal, tergantung dari

jumlah kuman, virulensinya, dan imunitas pasien, sarang dini dapat menjadi:

1. Direabsorbsi kembali tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera sembuh dengan serbukan jaringan

fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran.

Sarang dini meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat

sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan membentuk

suatu jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Bila jaringan dibatukkan keluar, maka akan

terbentuk kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama- lama dindingnya

menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar, sehingga menjadi

kavitas sklerotik (kronik).

Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam

nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin

dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic disseminate TB yang

terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut

Secara keseluruhan akan terdapat 3 macam sarang, yakni (Amin, 2007):

1. Sarang yang sudah sembuh. Sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi.

2. Sarang aktif eksudatif. Sarang bentuk ini perlu pengobatan yang lengkap dan

sempurna.

3. Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan,

tetapi mengingat kemungkinan terjadinya eksaserbasi, sebaiknya diberi pengobatan

yang lengkap dan sempurna

Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Menurut PDPI (2006), terdapat beberapa klasifikasi tuberkulosis, yaitu :

1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)

a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu:

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif.

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan

positif.

b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu:

13

Page 14: refrh 2 tb

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan

kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.tuberculosis

positif.

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe

pasien yaitu:

a. Kasus Baru

Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari 1 bulan.

b. Kasus Kambuh (Relaps)

Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis

dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat

dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif.

c. Kasus Defaulted atau Drop Out

Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan 1 bulan dan tidak mengambil obat 2

bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

d. Kasus Gagal (Failure)

Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada

akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan.

e. Kasus Kronik

Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan

ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik.

f. Kasus Bekas TB

Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB

yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.

Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan

OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

3. Pembagiaan Secara Patologi

a. Tuberkulosis Primer (Childhood Tuberculosis).

b. Tuberculosis Sekunder (Adult Tuberculosis).

4. Berdasarkan Aktifitas Radiologi

14

Page 15: refrh 2 tb

a. Lesi TB aktif dicurigai bila:

Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan

segmen posterior lobus bawah

Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.

Bayangan bercak milier

Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

b. Lesi TB inaktif dicurigai bila:

Fibrotik

Kalsifikasi

Schwarte atau penebalan pleura

c. Lesi TB Aktif Yang Mulai Menyembuh (Quiescent)

5. Berdasarkan Luas Lesi Yang Tampak Pada Foto Thorax

a. Tuberkulosis Minimal

Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi

jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.

b. Moderadately Advance Tuberculosis

Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus

tidak lebih dari satu bagian paru. bila banyangannya kasar tidak lebih dari sepertiga

bagian satu paru.

c. Far Advance Tuberculosis

Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advance

tuberculosis.

6. Di Indonesia, klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,

radiologis dan mikrobiologis.

a. TB Paru

b. Bekas TB Paru

c. TB Paru Tersangka, yang terbagi dalam:

TB Paru Tersangka Yang Diobati.

Dengan sputum BTA negatif, tetapi tanda – tanda lain positif.

TB Paru Tersangka Yang Tidak Diobati.

Dengan sputum BTA negatif dan tanda – tanda lain juga meragukan. Dalam 2 – 3

bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk

TB Paru ( Aktif ) Atau Bekas TB Paru.

Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan:

15

Page 16: refrh 2 tb

- Status Bakteriologi

- Mikroskopik Sputum BTA ( Langsung )

- Biakan Sputum BTA

- Status Radiologis, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru.

- Status Kemoterapi, riwayat pengobatan dengan OAT.

II.7 Manifestasi Klinik

Gejala klinis dari tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

respiratorik dan gejala sistemik.

Gejala Respiratorik

a. Batuk >2 Minggu

Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk

ini diperlukan untuk membuang keluar produk – produk radang. Karena terlibatnya

bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit

berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan –

bulan sejak awal peradangan.

Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah timbul

peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ).

b. Batuk Darah

Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi

dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak Nafas

Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah

bagian paru.

d. Nyeri dada.

Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura

sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.

Gejala Sistemik

16

Page 17: refrh 2 tb

a. Demam

Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang – kadang panas

badan dapat mencapai 40 – 41o C. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara,

tetapi kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus, sehingga pasien

merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang

masuk

b. Gejala sistemik lain, seperti :

Malaise

Keringat malam

Anoreksia

Berat badan menurun.

II.8 Alur Diagnostik

1. Anamnesis

Anamnesia pada pasien TB paru biasanya mengeluhkan gejala sebagai berikut :

Batuk >2 minggu

Batuk darah

Sesak nafas

Nyeri dada.

Demam

17

Page 18: refrh 2 tb

Malaise

Keringat malam

Anoreksia

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan

pucatnya konjungtiva mata atau kulit pucat karena anemia, suhu demam subfebril,

badan kurus atau berat badan menurun (Amin, 2007).

Tempat kelainan lesi tuberkulosis paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks

paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas maka didapatkan perkusi yang

redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan ditemukan juga suara napas

tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh

penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikular melemah (Alsagaff, 1989). Tetapi

apabila infiltrat ini ditutupi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi vesikuler

melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi dapat memberikan suara

hipersonor atau tympani dan auskultasi suara nafas amforik.

Pada keadaan konsolidasi dan fibrosis meningkatkan penghantaran getaran

sehingga pada palpasi didapati stem frenitus meningkat serta pada auskultasi suara

napas menjadi bronkovesikuler atau bronkhial. Bila jaringan fibrotik amat luas, yakni

>½ jumlah jaringan paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan

selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal ) diikuti

terjadinya korpulmonale dan gagal jantung kanan. Disini akan timbul tanda – tanda

takipnea, takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham

– Steel, JVP meningkat, hepatomegali, asites dan edema 2.Bila tuberkulosis mengenai

pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam

pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara lemah

sampai tidak terdengar sama sekali (Halim, 1998).

3. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan dahak (sputum) berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk

penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

(Depkes RI, 2011).

18

Page 19: refrh 2 tb

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lainnya (cairan pleura, CSF,

bilasan bronkus, bilasan lambung, urin, feses, dan jaringan biopsi dapat dilakukan dengan

cara mikroskopis dan biakan (PDPI, 2006).

Pemeriksaan mikroskopis dengan menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielssen, sedangkan

pemeriksaan biakan dengan menggunakan Egg Base Media Lowenstein-Jensen atau Ogawa

(PDPI, 2006).

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis

tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Selain itu, pemeriksaan sputum juga dapat memberikan

evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Tidak mudah untuk mendapatkan

sputum terutama pada pasien yang tidak batuk atau batuk yang nonproduktif. Dalam hal ini

dianjurkan 1 hari sebelum pemeriksaan, pasien dianjurkan

minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dan juga dengan

memberikan tambahan obat – obat mukolitik, ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam

hipertonik selama 20 – 30 menit.

Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi, diambil dengan

brushing atau bronchial washing atau Broncho Alveolar Lavage (BAL). Basil tahan asam

dari sputum juga dapat diperoleh dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada

anak – anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya 2. Kuman baru dapat ditemukan

apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar sehingga sputum yang

mengandung kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50 % pasien

BTA + tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum. Kriteria sputum BTA positif

adalah bila sekurang – kurangnya ditemukan ditemukan 3 kuman dalam 1 sediaan, atau

dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 ml sputum.

Cara Pengumpulan & Pengiriman Bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS), yaitu :

1. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

2. Pagi ( keesokan harinya )

3. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot

yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah

dan tidak bocor.Apabila ada fasiliti,spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas

objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat

19

Page 20: refrh 2 tb

dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi

dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak

sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien

yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas

laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim

dengan kertas saring melalui jasa pos.

Cara Pemeriksaan Dahak & Bahan Lain

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor

cerebrospinal, bilasan bronkus,bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces

dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :

Mikroskopik

Biakan

Pemeriksaan Mikroskopik:

Mikroskopik Biasa

Pewarnaan Ziehl-Nielsen

Mikroskopik Fluoresens

Pewarnaan Auramin-Rhodamin (khususnya untuk screening)

Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dahak Dari 3 Kali Pemeriksaan

3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif

1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks,

kemudian

Bila 1 kali positif, 2 kali negatif ® BTA positif

Bila 3 kali negatif ® BTA negatif

20

Page 21: refrh 2 tb

Pemeriksaan Biakan Kuman

Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :

Egg Base Media

Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.

Agar Base Media

Middle Brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat

mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than

tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik

dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin

maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

B. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi adalah pemeriksaan yang sensitif tapi tidak spesifik untuk

mendiagnosa suatu tuberkulosis aktif (Barker, 2009). Beberapa pembagian kelainan yang

dapat digunakan pada foto Rontgen adalah:

1. Sarang berbentuk awan dengan densitas rendah atau sedang dan batas tidak tegas.

Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif.

2. Lubang (kavitas) selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil yang

dinamakan lubang sisa (residual cavity).

21

Page 22: refrh 2 tb

3. Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur yang menunjukkan bahwa

proses telah tenang (Rasad, 2008).

Lokasi lesi tuberkulosis umumnya di daerah apeks paru ( segmen apikal lobus atas atau

segmen apikal lobus bawah ), tetapi dapat juga mengenai lobus bawah (bagian inferior)

atau di daerah hilus menyerupai tumor paru ( misalnya pada tuberkulosis endobronkial ).

Pada awal penyakit saat lesi masih merupakan sarang – sarang pneumonia, gambaran

radiologis berupa bercak – bercak seperti awan dan dengan batas – batas yang tidak tegas.

Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas

yang tegas. Lesi ini dikenal sebagai tuberkuloma. Pada kavitas, bayangannya berupa

cincin yang mula – mula berdinding tipis, lama kelamaan dinding menjadi sklerotik dan

tampak menebal.

Bila terjadi fibrosis, akan tampak bayangan yang bergaris – garis. Pada kalsifikasi,

bayangannya tampak sebagai bercak – bercak padat dengan densitas tinggi. Pada

atelektasis tampak seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada

sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.

TB milier memberikan gambaran berupa bercak – bercak halus yang umumnya tersebar

merata pada seluruh lapangan paru. Gambaran radiologis lain yang sering menyertai

tuberkulosis paru adalah penebalan pleura ( pleuritis ), massa cairan di bagian bawah paru

(efusi pleura atau empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir paru atau pleura

(pneumothoraks).

Biasanya pada TB yang sudah lanjut, dalam satu foto dada seringkali didapatkan

bermacam – macam bayangan sekaligus, seperi infiltrat, garis–garis fibrotik, kalsifikasi,

kavitas (nonsklerotik atau sklerotik) maupun atelektasis dan emfisema. Karena TB sering

memberikan gambaran yang berbeda – beda, terutama pada gambaran radiologisnya,

sehingga tuberkulosis sering disebut sebagai the greatest imitator. Gambaran infiltrasi dan

tuberkuloma sering diartikan sebagai pneumonia, mikosis paru, karsinoma bronkus atau

karsinoma metastasis. Gambaran kavitas sering diartikan sebagai abses paru.

Pemeriksaan khusus yang kadang – kadang diperlukan adalah bronkografi, yakni untuk

melihat kerusakan bronkus atau paru yang disebabkan oleh tuberkulosis. Pemeriksaan ini

umumnya dilakukan bila pasien akan menjalani pembedahan paru. Pemeriksaan lain yang

dapat digunakan adalah CT scan dan MRI. Pemeriksaan MRI tidak sebaik CT scan, tetapi

dapat mengevaluasi proses – proses dekat apeks paru, tulang belakang, perbatasan dada –

perut. Sayatan bisa dibuat transversal, sagital dan koronal.

22

Page 23: refrh 2 tb

Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak

secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu

pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut (Depkes RI,

2011):

1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto

toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.

2. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian

antibiotika non OAT.

3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis atau efusi

pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis

atau aspergiloma).

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman

TB (BTA) pada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu-pagisewaktu (SPS).

Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis

merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak

dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks

tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi

overdiagnosis (Depkes RI, 2011).

C. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu

yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam

perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi

kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik.

M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang

akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu

alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis

danmelakukan uji kepekaan.

23

Page 24: refrh 2 tb

2. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk

DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah

kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati

masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.Hasil pemeriksaan PCR dapat

membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan

dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.

Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang

menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai

pegangan untuk diagnosis TB.Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan /

spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupunekstra paru sesuai dengan organ

yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metode

a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon

humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik

ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.

b. ICT

Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji

diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran

sitoplasma M.tuberculosis.Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis

melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung

dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml

diteteskan kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis

antigen. Apabila serum mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka

antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji

dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari

empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot

Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini

menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat

yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum

pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam

24

Page 25: refrh 2 tb

jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan

warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang

terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi

harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang

terdeteksi.

D. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada

pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis

yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan

eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan

glukosa rendah

2. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.

Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh

melalui biopsi atau otopsi, yaitu :

Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)

Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen

Silverman)

Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans

thoracal biopsy/TTB, biopsiparu terbuka).

Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke

dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan

yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah

Pemeriksaan ini hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifik. Pada saat tuberkulosis baru

mulai (aktif), akan didapatkan jumlah lekosit yang sedikit meninggi dengan hitung jenis

pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju endap darah mulai

25

Page 26: refrh 2 tb

meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah lekosit kembali normal dan jumlah

limfosit masih tinggi. Laju endap darah mulai turun ke arah normal.

Hasil pemeriksaan lain dari darah didapatkan : anemia ringan normokrom normositer,

gama globulin meningkat, kadar natrium darah menurun.

4. Uji tuberkulin (Mantoux)

Pemeriksaan ini masih banyak digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

tuberkulosis terutama pada anak – anak balita.2 Teknik standar (tes mantoux) adalah

dengan menyuntikkan tuberkulin Purified Protein Derivative (P.P.D) sebanyak 0,1 ml

yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan (intermediate strength), pada ⅓

atas permukaan volar atau dorsal lengan bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol.

Biasanya dianjurkan memakai spuit tuberkulin sekali pakai dengan ukuran jarum

suntik 26 – 27 G. Jarum yang pendek ini dipegang dengan permukaan yang miring

diarahkan ke atas dan ujungnya dimasukkan ke bawah permukaan kulit. Akan terbentuk

satu gelembung berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila dosis 0,1 ml

disuntikkan dengan tepat dan cermat.

Bila ditakutkan terjadi reaksi hebat dengan 5 TU, dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first

strength). Bila dengan 5 TU memberikan hasil negatif, dapat diulang dengan 250 TU (second

strength). Bila dengan 250 TU masih memberikan hasil negatif, berarti TB dapat disingkirkan

.Tes ini berdasarkan reaksi alergi tipe lambat.

Untuk memperoleh reaksi kulit yang maksimum diperlukan waktu antara 48 – 72 jam

setelah penyuntikkan dan reaksi harus dibaca dalam rentang waktu tersebut, yaitu dalam

cahaya yang terang, dan posisi lengan bawah sedikit ditekuk. Yang harus dicatat dari reaksi

ini adalah diameter indurasi dalam satuan milimeter, pengukuran harus

dilakukan melintang terhadap sumbu panjang lengan bawah (seperti yang tampak pada

Gambar).

Hanya indurasi (pembengkakan yang teraba) dan bukan eritema yang bernilai. Indurasi

dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi (meraba daerah tersebut dengan jari tangan).

Tidak ada indurasi sebaiknya dicatat sebagai “ 0 mm “dan bukan negatif. Indurasi terdiri dari

infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberculin.

Interpretasi tes kulit menunjukkan berbagai tipe reaksi. Reaksi positif pada tes tuberkulin

mengindikasikan adanya infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun,

tes ini adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasien dan juga berguna

dalam menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat.

26

Page 27: refrh 2 tb

Biasanya semua pasien tuberkulosis memberikan hasil reaksi yang positif (99,8 %).

Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi

mikrobakterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemukan daripada positif palsu.

Klasifikasi Tes Mantoux Intradermal Reaksi Tuberkulin (Tuberkulin dengan TU PPD)

Reaksi Hipersensitivitas

Tuberkuloprotein yang berasal dari basil menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada

pejamu. Respon peradangan dan nekrotik jaringan adalah akibat dari reaksi hipersensitivitas

selular (tipe lambat) dari pejamu terhadap basil TB. Reaksi hipersensitivitas TB biasanya

27

Page 28: refrh 2 tb

terjadi 3 – 10 minggu setelah infeksi. Individu yang terpajan basil tuberkel membentuk

limfosit T yang tersensistisasi. Bila derivat protein tuberkulin yang telah dimurnikan

(Purified Protein Derivative/PPD) disuntikkan ke dalam kulit individu yang limfositnya

sensitif terhadap tuberkuloprotein maka limfosit yang sensitif akan mengadakan reaksi dan

menarik makrofag ke daerah tersebut.

1. Vaksinasi Bacille Calmette-Guérin ( BCG )

Vaksinasi BCG, satu bentuk strain hidup basil TB sapi yang dilemahkan adalah jenis

vaksin yang paling banyak digunakan di berbagai negara. Pada vaksinasi BCG, organisme

ini disuntikkan ke kulit untuk membentuk fokus primer yang berdinding, berkapur dan

berbatas tegas. Bacille Calmette-Guérin tetap berkemampuan untuk meningkatkan

resistensi imunologis pada hewan dan manusia. Infeksi primer dengan BCG memiliki

keuntungan daripada infeksi dengan organism virulen karena tidak menimbulkan penyakit

pada pejamunya.

Vaksinasi dengan BCG biasanya menimbulkan sensitivitas terhadap tes tuberkulin.

Derajat sensitivitasnya bervariasi, bergantung pada strain BCG yang dipakai dan populasi

yang divaksinasi. Tes tuberkulin kulit tidak merupakan kontra indikasi bagi seseorang

yang telah divaksinasi dengan BCG. Terapi pencegahan harus dipertimbangkan bagi

siapapun orang yang telah divaksinasi BCG dan hasil reaksi tes tuberkulin kulitnya

berindurasi ≥ 10 mm, khususnya jika salah satu keadaandibawah ini menyertai :

1.Kontak dengan kasus TB

2.Berasal dari negara yang berprevalensi TB tinggi

3.Terus menerus terpajan dengan populasi berprevalensi TB tinggi (rumah penampungan

tuna wisma, pusat terapi obat)

Vaksinasi BCG hanya memiliki tingkat keefektifan 50 % untuk mencegah semua

bentuk TB. Berdasarkan rekomendasi dari CDC 1996, BCG jarang diindikasikan.

2. Tes Anergi

Anergi adalah tidak ada respon hipersensitifitas tipe lambat terhadap pajanan antigen

terdahulu, seperti tuberkulin. Anergi spesifik adalah tidak ada reaktivitas antigen

seseorang; anergi nonspesifik secara keseluruhan adalah ketidakmampuan untuk bereaksi

terhadap berbagai antigen.

Pada seseorang dengan imunosupresif, respons selular hipersensitivitas tipe lambat seperti

reaksi tuberkulin dapat menurun atau menghilang. Penyebab anergi dapat berasal dari

infeksi HIV, sakit berat atau demam, campak (atau infeksi virus lainnya), penyakit

28

Page 29: refrh 2 tb

hodgkin, sarkoidosis, vaksinasi virus hidup, dan pemberian obat kortikosteroid atau obat

imunosupresif.

Berdasarkan CDC (2000) 10 % sampai 25 % pasien dengan penyakit TB memiliki

reaksi yang negatif ketika diuji dengan tes tuberkulin intradermal pada saat didiagnosis

sebelum pengobatan dimulai. Kira – kira ⅓ pasien yang terinfeksi HIV dan lebih dari 60

% pasien dengan AIDS dapat memperlihatkan hasil reaksi tes kulit yang kurang dari 5

mm, walaupun mereka terinfeksi dengan MTB. Infeksi HIV dapat menekan respon tes

kulit karena jumlah CD4 dan Limfosit T yang menurun hingga kurang dari 200 sel/mm3.

Anergi juga dapat muncul bila jumlah CD4+ Limfosit T cukup tinggi.

Anergi dideteksi dengan memberikan sedikitnya 2 antigen hipersensitivitas dengan

menggunakan metode Mantoux. Tidak ada standarisasi dan hasil data, membatasi evaluasi

keefektifan tes anergi. Karena alasan ini, CDC (2000) tidak lagi menyarankan tes anergi

untuk penapisan rutin TB diantara orang – orang yang menderita HIV positif di Amerika

Serikat.

Diagnosis TB Paru

Alur Diagnosis TB Paru Pada Odha Yang Rawat Jalan

29

Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnosis ini dapat digunakan secara fleksibel yaitu pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan bersamaan dengan foto thoraks dan pemeriksaan yang diperlukan.

Suspek TB paru adalah seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih disertai dengan atau tanpa gejala lain.

Antibiotik non OAT adalah antibiotik spektrum luas yang tidak memilki efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon).

Page 30: refrh 2 tb

Keterangan :

a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut : frekuensi

pernafasan >30 kali/menit, demam >390C, denyut nadi >120 kali/menit, tidak dapat

berjalan bila tidak dibantu.

b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa >1% atau prevalensi HIV

diantara pasien TB >5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka

perlu ditawarkan untuk tes HIV. untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-

nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV.

c. Untuk daerah yang tidak tersedia tes HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien

menolak untuk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.

d. BTA positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif, BTA negatif bila 3 sediaan

hasilnya negatif.

e. PPK = Pengobatan Pencegahan Dengan Kotrikomoksazol.

30

Page 31: refrh 2 tb

f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia

fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV.

g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan

(bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga

mempercepat penegakkan diagnosis.

h. Pemberiaan antibiotik (jangan golongan fluoroquinolones) untuk mengatasi typical &

atypical bacteria.

i. PCP = pneumocystis Carinii Pneumonia atau dikenal juga Pneumonia Pneumocystis

Jirovecii.

j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbil lagi.

II.9 Tatalaksana

A. Medikamentosa

Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2006). Program ini dilakukan dengan cara

mengawasi pasien dalam menelan obat setiap hari, terutama pada fase awal

pengobatan

Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut (Depkes

RI, 2006):

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan (Todar, 2009). Pemakaian

OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat

dianjurkan.

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung

(DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat

(PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

a. Tahap Intensif (2-3 Bulan)

Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi

secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

31

Page 32: refrh 2 tb

Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Obat yang diberikan ada 4 jenis obat, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamide, dan

etambutol (HRZE) (Barker, 2009).

b. Tahap Lanjutan (4-7 bulan)

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka

waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah

terjadinya kekambuhan.

Obat-obatan yang diberikan adalah isoniazid dan rifampisin (HR) (Barker, 2009).

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)

Obat Yang Dipakai

a. Obat Anti Tuberkulosis Golongan 1 (First Line Antituberculosis Drugs)

Rifampisin (R)

Isoniazid (INH/H)

Pirazinamid (PZA)

Streptomisin

Etambutol (E)

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan

dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.

Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1

jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin

diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,

dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis

rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.

Distribusinya sama dengan isoniazid.

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang

menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,

menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan

gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya

32

Pilihan Utama

Obat Tambahan (First Line Supplemental Drugs)

Page 33: refrh 2 tb

ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil

dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.

Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi

oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,

siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin

umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai

digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan

menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan

dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat

ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif

(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif

pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi

simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.

Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15

mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid

yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100

mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan

penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam

1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi

di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga

memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu

(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat

yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.

Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi

yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan

isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2

bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu

pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan

33

Page 34: refrh 2 tb

hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala

dan tanda klinis.

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan

tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada

saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan

dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid

diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana

asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid

aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek

samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi

klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,

anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.

Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan

diberikan bersamaan makanan.

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat

ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan

dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat

mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20

mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam

waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol

ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu

tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan

meningitis.

Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak

dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau

sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam

penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,

etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol

dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat

lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.

34

Page 35: refrh 2 tb

Streptomisin

Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada

keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat

ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting

penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan

secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar

puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5

Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat

melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan

cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika

terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.

Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu

keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan

pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga

perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf

pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

Dari hasil percobaan pada binatang dan pengobatan pada manusia ternyata, hampir

semua obat antituberkulosis mempunyai sifat bakterisid kecuali etambutol dan tiasetazon

yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah terjadinya resistensi

kuman terhadap obat.

Rifampisin dan pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH

dan streptomisin menempati urutan yang lebih bawah. Dalam aktivitas bakterisid:

Rifampisin dan INH disebut bakterisid yang lengkap (complete bactericidal drug) oleh

karena kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. Kedua obat ini masing-

masing mendapat nilai satu.

Pirazinamid dan streptomisin masing-masing hanya mendapat nilai setengah, karena

pirazinamid hanya bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin dalam

lingkungan basa.

Etambutol mendapat nilai setengah.

35

Page 36: refrh 2 tb

Nama Obat Dosis harian

(mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg/hari)

Efek Samping

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,

trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan

berkurang, buta warna merah-hijau,

penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/kgBB/hari.

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat

mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui

sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis

TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis

2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tida dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian

kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4

minggu.

Efek Samping OAT (Obat Anti Tuberkulosis) Dan Penanganannya

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,

rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin

dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut

36

Page 37: refrh 2 tb

pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin

(syndrom pellagra).

Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang

lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan

pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan

simtomatik ialah :

Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang.

Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang

diare.

Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan.

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaansesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala

ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun

gejalanya telah menghilang.

Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur.

Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal

ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB

pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang

dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan

berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,

mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya

ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan

okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-

25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan

penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.

37

Page 38: refrh 2 tb

Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk

dideteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan

keseimbangan dan pendengaran.Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring

dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan

meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal.

Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan

kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau

dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan

makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai

sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang

terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera

setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi

0,25gr.Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada

wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

“Penatalaksanaan Pasien Dengan Efek Samping “Gatal Dan Kemerahan Pada Kulit”:

38

Page 39: refrh 2 tb

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu

kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan

pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian

pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT.

Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah

berat, pasien perlu dirujuk.

2. Obat Anti Tuberkulosis Golongan 2 (Second-Line Antituberculosis Drugs)

Obat lini kedua digunakan jika terjadi Multi Drugs Resisten (MDR) atau jika OAT

golongan 1 tidak tersedia. Obat-obat antituberkulosis golongan 2 kurang efektif jika

dibandingkan dengan OAT golongan 1 dan dapat menimbulkan efek samping yang berat.

Obat-obat ini jarang digunakan dalam pengobatan tuberculosis. Obat-obat yang digunakan

sebagai Obat Anti Tuberkulosis golongan 2 yaitu :

Kuinolon

Obat-obat golongan quinolon digunakan jika terdapat resistensi terhadap OAT

golongan 1 atau pada pasien-pasien yang tidak dapat menggunakan OAT golongan 1.

Obat-obatan yang termasuk golongan quinolon adalah ofloxacin, levofloxacin,

ciprofloxacin, gatifloxacin dan moxifloxacin.

Efek samping jarang sekali dijumpai. Jika ada, biasanya berupa gangguan

gastrointestinal, kemerahan pada kulit, pusing dan sakit kepala. Efek samping yang

cukup berat, seperti kejang, nefritis interstitial, vaskulitis, dan gagal ginjal akut.

Quinolon dapat diberikan secara intravena.

Kanamisin

Amikasin

Amikasin memiliki efek baksterisidal yang berkerja di ekstraseluler. Amikacin ini

efektif terhadap MTB, M. lepra, M. avium complex, dan lain-lain. Dosis yang diberikan

biasanya 7-10mg/kg IM atau IV, 3-5 kali dalam seminggu.

Capreomycin

Capreomycin merupakan suatu kompleks antibiotik polipeptida siklik derifatdari

Streptomyces capreolus, yang memiliki kesamaan dalam pemberian dosis, cara kerja,

farmakologi dan toksisitas dengan streptomisin. Capreomycin diberikan secara

intramuskular dalam dosis 10-15mg/kg/hari atau 5 kali dalam seminggu (dosis maksimal

per-hari 1 g). Setelah diberikan selama 2-4 bulan, dosisnya diturunkan menjadi 1 g

39

Page 40: refrh 2 tb

dalam 2 atau 3 kali seminggu. Capreomycin merupakan obat injeksi pilihan terhadap

tuberculosis setelah streptomisiin.

b. Obat lain masih dalam penelitian

Makrolid

Amoksilin + Asam Klavulanat

c. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :

Kapreomisin

Sikloserino PAS (dulu tersedia)

Para-Aminosalicylic Acid dapat menghambat pertumbuhan MTB dengan cara

menghambat sintesa asam folat. Para-Aminosalicylic Acid jarang menjadi pilihan

pengobatan tuberkulosis karena rendahnya efektivitas dan juga karena menyebabkan

timbulnya gangguan gastrointestinal (mual, muntah, atau diare).

Derivat rifampisin dan INH

Thioamides (Ethionamide dan Prothionamide)

Ethionamide adalah derivat asam isonikotinik, sama seperti isoniazid dan

pirazinamid. Obat ini memiliki efek bakteriostatik. Namun penggunaannya terbatas

karena efek toksisitas dan banyaknya efek samping, seperti gangguan gastrointestinal

berat (mual, muntah, anoreksia, disgesia),gangguan neurologis berat, hepatitis, reaksi

hipersensitivitas, dan juga hipotiroidisme.

Kemasan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

a. Obat Tunggal

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan

Etambutol.

b. Obat Kombinasi Dosis Tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet. Pengembangan

pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting untuk menyembuhkan

pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant tuberculosis). Pengembangan

strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO.

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO

menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam

pengobatan TB primer pada tahun 1998.

40

Page 41: refrh 2 tb

Keuntungan Kombinasi Dosis Tetap

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan

yang tidak disengaja.

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar.

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan

penggunaan monoterapi

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang

telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam

batas dosis terapi dan non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek

samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu

menanganinya.

c. Paket Kombipak

adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisisn, pirazinamid dan

etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. panduan OAT ini disediakan program untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Panduan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (Oat)

Pengobatan tuberkulosis dapat dibagi menjadi beberapa bagian, sesuai dengan kategorinya

(PDPI, 2006).

A. Kategori 1

OAT diberikan untuk:

- Penderita baru TB paru BTA positif.

- Penderita TB paru BTA negatif Rontgen positif, lesi luas.

- Penderita TB ekstra-paru berat.

Paduan obat yang dianjurkan adalah 2 RHZE/4 RH atau 2 RHZE/6 HE atau

2RHZE/4R3H3.

41

Page 42: refrh 2 tb

Bila setelah 2 bulan, dahak masih tetap positif, fase intensif diperpanjang 4 minggu lagi,

apabila setelah diperiksa lagi menjadi negatif, fase lanjutan dapat dimulai. Namun bila

masih positif, dilanjutkan ke kategori 2.

Pada pasien dengan meningitis, tuberkulosis milier, spondilitis kelainan neurologik, fase

lanjutan diberikan lebih lama yaitu 6-7 bulan hingga total pengobatan 8-9 bulan

Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6 HE

Dilakukan pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan

pada akhir pengobatan. Bila hasilnya masih BTA (+) pengobatan dinyatakan gagal dan

diganti dengan kategori 2

Berat Badan

Tahap Intensif

Tiap hari selama 56 hari

RHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu selama 16

minggu RH (150/150)

30-37 Kg 2 Tablet 4KDT 2 Tablet 2KDT

38-54 Kg 3 Tablet 4KDT 3 Tablet 2KDT

55-70 Kg 4 Tablet 4KDT 4 Tablet 2KDT

>71 Kg 5 Tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Untuk Katagori 1

Tahap

Pengobatan

Lama

Pemgobatan

Dosis Perhari/Kali Jumlah

Hari/Kali

Menelan

Obat

Tablet

Isoniazid

@ 300 mg

Kaplet

Rifampisin

@ 450 mg

Tablet

Pirazinamid

@ 500 mg

Tablet

Etambutol

@ 250 mg

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56

Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 1

B. Kategori 2

1. TB paru kasus kambuh. Panduan obat yang dianjurkan:

RHZES/1 RHZE sebelum ada hasil uji resistensi.

Bila hasil uji resistensi telah ada, berikan obat sesuai dengan hasil uji resistensi.

2. TB Paru kasus gagal pengobatan. Panduan obat yang dianjurkan adalah:

42

Page 43: refrh 2 tb

Obat lini 2 sebelum ada hasil uji resistensi (contoh: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin,

etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).

Dalam keadaan tidak memungkinkan fase awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE.

Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.

Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat diberikan 5 RHE.

3. TB Paru kasus putus berobat.

Berobat > 4 bulan

- BTA saat ini negatif. Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka

pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih

lanjut untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan

panyekit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2

RHZES/1RHZE/5R3H3E3).

- BTA saat ini positif. Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih

kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

Berobat < 4 bulan

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yanglebih kuat

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama (2 RHZES/1RHZE/5R3H3E3).

- Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif, pengobatan diteruskan.

Berat Badan

Tahap Intensif

Tiap hari selama 56 hari RHZE

(150/75/400/275)

Tahap Lanjutan

3 kali seminggu

selama 16 minggu RH

(150/150)

Selama 56 hari Selam 28 hari Selama 20 minggu

30-37 Kg2 Tablet 4KDT + 500

mg Streptomisin Inj.2 Tablet 4KDT

2 Tablet 2KDT + 2

Tablet Etambutol

38-54 Kg3 Tablet 4KDT + 750

mg Streptomisin Inj.3 Tablet 4KDT

3 Tablet 2KDT + 3

Tablet Etambutol

55-71 Kg4 Tablet 4KDT + 1000

mg Streptomisin Inj.4 Tablet 4KDT

4 Tablet 2KDT + 4

Tablet Etambutol

>71 Kg5 Tablet 4KDT + 1000

mg Streptomisin Inj.5 Tablet 4KDT

5 Tablet 2KDT + 5

Tablet Etambutol

43

Page 44: refrh 2 tb

Tabel. Dosis Untuk Panduan OAT KDT Katagori 2

Tahap

Pengobata

n

Lama

Pemgobata

n

Dosis Perhari/Kali

Streptomisi

n Inj.

Jumlah

Hari/Kal

i

Menelan

Obat

Tablet

Isoniazid

@ 300 mg

Kaplet

Rifampisi

n @ 450

mg

Tablet

Pirazinami

d @ 500

mg

Tablet

Etambutol

@ 250 mg

Intensif2 Bulan 1 1 3 3 56

1 Bulan

Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

Tabel. Dosis Panduan OAT- Kombipak Untuk Katagori 2

Multi-Drug Resistant (MDR)

Multi-drug resistant tuberculosis adalah resistensi obat terhadap obat anti tuberkulosis

(OAT) isoniazid dan rifampisin, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya (Prasad,

2005). MDR-TB menyebabkan penyakit TB paru menjadi sangat fatal dan mematikan,

(terutama terjadi pada pasien TB dengan HIV), dengan perkiraan terjadinya kematian 2-7

bulan setelah terinfeksi (Bang, 2009).

MDR-TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu primary dan acquired. Tipe primary

disebabkan karena penderita tidak diobati dengan OAT sebelumnya, sedangkan tipe acquired

disebabkan karena adanya pengobatan kemoterapi pada penderita TB paru. Terdapat tiga

faktor risiko penting yang mempengaruhi kejadian MDR-TB, yaitu: 1) pengobatan dengan

OAT yang tidak sesuai; 2) pengobatan dengan OAT yang tidak lengkap; dan 3) adanya

kontak dengan komunitas penderita TB yang memiliki prevalensi resistensi obat yang tinggi.

Faktor risiko lain yang berperan adalah ko-infeksi HIV, sosioekonomi rendah, hidup di

penjara, penyalahgunaan obat intravena, dan keadaan-keadaan imunokompromais seperti

pasien tranplantasi, pasien dengan terapi anti-kanker, HIV/AIDS, dan diabetes

mellitus (Prasad, 2005).

Pengobatan dengan OAT yang lengkap (kombinasi isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

dan etambutol) selama 6-9 bulan adalah salah satu pencegahan yang utama MDR-TB. Bila

44

Page 45: refrh 2 tb

MDR-TB telah terjadi, maka penatalaksanaan yang harus dilakukan adalah memberikan OAT

lini kedua seperti levofloksasin, aminoglikosida, pirazinamid, etambutol, dan tioamida untuk

jangka waktu yang lama, yaitu 18-24 bulan, dengan efek samping yang lebih lama dan biaya

yang lebih mahal (Prasad, 2005).

Nonmedikamentosa

1. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat

sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam

menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya

resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan

pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly

observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh

WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di

Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan

angka kesembuhan yang tinggi.

Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai

berikut :

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.

Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung

oleh pengawas minum obat (PMO).

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi

program penanggulangan TB.

II.10 Pencegahan

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas

kesehatan.

A. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan

1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan

membuang dahak tidak disembarangan tempat.

2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi

harus diberikan vaksinasi BCG.

45

Page 46: refrh 2 tb

3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB

yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.

4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus

TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat

yang memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-

alasan social ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu

perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat

tidur,pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.

6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat

7. dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang

terindikasi

8. dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.

9. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga

dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu

diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.

10. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat.

Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun

dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal

terhadap obatobat, dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

B. Tindakan Pencegahan

1. Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti

kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan.

2. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau suspect

gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita,

kontak, suspect, perawatan.

3. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit

inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.

4. BCG, vaksinasi, diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi

ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut

berupatempat pencegahan.

5. Memberantas penyakti TB paru pada pemerah air susu dan tukang potong sapi, dan

pasteurisasi air susu sapi.

46

Page 47: refrh 2 tb

6. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karean menghirup udara yang

tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan sebagainya.

7. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB paru.

8. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko tinggi,

seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita, petugas dirumah sakit,

petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.

9. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan

tuberculin test.

II.11 Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.

a. Komplikasi Dini

Pleuritis

Efusi Pleura

Empiema

Laringitis

Enteritis

Poncet’s Arthropathy

b. Komplikasi Lanjut

Obstruksi jalan nafas yaitu SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis)

Kerusakan parenkim berat yaitu SOPT/Fibrosis Paru

Amiloidosis

Karsinoma Paru

Sindrom gagal nafas dewasa (ARDS)

II.12 Prognosis

Pada pasien dengan sistem imun yang prima, terapi menggunakan OAT terkini

memberikan hasil yang potensial untuk mencapai kesembuhan. Jika kuman sensitif dan

pengobatan lengkap, kebanyakan anak sembuh dengan gejala sisa yang minimal. Terapi

ulangan lebih sulit dan kurang memuaskan hasilnya. Perhatian lebih harus diberikan

pada pasien dengan imunodefisiensi, yang resisten terhadap berbagai rejimen obat, yang

berespon buruk terhadap terapi atau dengan komplikasi lanjut. Pasien dengan resistensi

multiple terhadap OAT jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi

47

Page 48: refrh 2 tb

karena para dokter meresepkan rejimen terapi yang tidak adekuat ataupun

ketidakpatuhan pasien dalam menjalanin pengobatan.

Ketika terjadi resistensi atau intoleransi terhadap Isoniazid dan Rifampin, angka

kesembuhan menjadi hanya 50%, bahkan lebih rendah lagi. Dengan OAT (terutama

isoniazid) terjadi perbaikan mendekati 100% pada pasien dengan TB milier. Tanpa

terapi OAT pada TB milier maka angka kematian hampir mencapai 100%.

48

Page 49: refrh 2 tb

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Penyakit Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri yang menular dan

disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan

granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang

paru tetapi dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal,

tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.

Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau

ketidakefektifan respon imun. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur

lama selama beberapa tahun.

Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2006), masih menempatkan Indonesia

sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan

jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun.

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai

penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran

pernafasan, dan merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.

III.2 Saran

Mengingat besar dan luasnya masalah TB, maka penyusun menyarankan dalam

penanggulangan TB harus dilakukan melalui kemitraan dengan berbagai sektor baik

pemerintah, swasta maupun lembaga masyarakat. Hal ini sangat penting untuk

mendukung keberhasilan program dalam melakukan ekspansi maupun

kesinambungannya.

49

Page 50: refrh 2 tb

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo F, MD., Janet S. Butel, Phd., dan Stephen A. Morse, Phd. Mikrobiologi

Kedokteran. Bab 24. Edisi 23. Jakarta: EGC.

Guyton, Arthur C. 2008. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Bab 37-42. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Nasional Pengendaliaan

Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid

2. Edisis IV. Jakarta: IPD FKUI.

Price, Sylvia A., dan Lorraine M. Wilson. 2004. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Bab 4. Edisi VI. Jakarta: EGC

Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa. Universitas Diponoegoro. Dikutip dari :

http://eprints.undip.ac.id/5283/1/Rusnoto.pdf [Diakses 7 April 2012]

Sembiring, S., 2008. Multi Drug Resistance (MDR) pada Penderita Tuberkulosis Paru dengan

Diabetes Mellitus. Universitas Sumatera Utara. Dikutip dari:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6406/1/08E00290.pdf. [Diakses 7 April

2012]

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Bab 13. Edisi 6. Jakarta:

EGC.

Tjay, Tan Hoan, Drs., dan Drs. Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. Bab 5. Edisi 6.

Jakarta: Gramedia.

Vinay Kumar, MBBS, MD, FRCPath., dan Abul K. Abbas, MBBS., Nelson Fausto, MD.

2010. Dasar Patologi Penyakit. Bab 15. Edisi 7. Jakarta: EGC.

50